Pesan Rahbar

Home » » Apakah Hak dan Kewajiban Timbal Balik Antara Dokter dan Pasien Dapat Dijelaskan Berdasarkan Syariat Islam?

Apakah Hak dan Kewajiban Timbal Balik Antara Dokter dan Pasien Dapat Dijelaskan Berdasarkan Syariat Islam?

Written By Unknown on Friday 28 July 2017 | 12:15:00


Pada setiap interaksi Allah Swt telah menetapkan hak dan kewajiban timbal balik. Dengan ilustrasi seperti ini, apakah dapat digambarkan hak dan kewajiban timbal balik antara dokter dan pasien berdasarkan syariat Islam?
*****

Dari satu sisi hukum-hukum Ilahi terbagi menjadi dua bagian. Pertama hukum-hukum imdhâi (yang disetujui) Kedua hukum-hukum ta’sisi (yang dibuat).

Hukum-hukum imdhâi adalah hukum-hukum yang memiliki latar belakang sebelum Islam, namun Islam menyetujui hukum-hukum tersebut dengan beberapa perbaikan; seperti kebanyakan jenis transaksi yang terdapat dalam hukum Islam.

Adapun hukum-hukum ta’sisi adalah hukum yang tidak memiliki latar belakang melainkan hasil dari kreativitas Islam seperti kebanyakan ibadah.

Hak dan kewajiban timbal balik di antara manusia tidak hanya terkhusus bagi Islam, melainkan juga terdapat pada seluruh agama Ilahi, bahkan pada agama-agama non-Ilahi.

Mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang hidup secara berkelompok dan sosial (madani bitthaba’); karena itu untuk menjaga sistem sosial dalam masyarakat maka peraturan-peraturan harus dibuat dan hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat harus didefinisikan dan seluruh anggota masyarakat bertugas untuk menjalankan peraturan-peraturan tersebut dan demikianlah apa yang disebut sebagai hak dan kewajiban timbal balik (mutual rights).

Sehubungan dengan hak-hak timbal balik antara dokter dan pasien harus dikatakan; masing-masing dokter dan pasien memiliki hak dan kewajiban satu sama lain yang harus dipenuhi; misalnya:

1. Pasien harus mempercayai dokter dan dokter juga harus menjaga amanah yang diberikan pasien kepadanya; artinya apabila pasien memiliki penyakit atau aib yang tersembunyi dan termasuk rahasia bagi pasien maka dokter tidak boleh menyampaikan penyakit tersebut kepada orang lain.

2. Apabila pasien adalah non-mahram, maka dokter harus menjaga batasan-batasan syariat dalam memandang, menyentuh dan lain sebagainya.

3. Dokter harus berupaya keras untuk mendiagnosa dan memahami dengan baik penyakit yang diderita oleh pasien bukan bersandar pada dugaan-dugaan dan asumsi-asumsi semata.

4. Dokter harus memformulasikan obat-obat sebatas yang diperlukan oleh pasien...[1]

5. Dokter tidak boleh memandang pekerjaannya dari sudut pandang material dan finansial, melainkan memperlakukan pasien dari sudut pandang risalah kemanusiaan. Pasien juga sebagai balasannya harus memperhatikan fee yang harus diserahkan kepada dokter.

6. Pasien harus mencamkan anjuran-anjuran dokter dan menjalankan seluruh anjuran tersebut untuk memperoleh kesembuhan.


Catatan Kaki:

[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 235, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H. Diriwayatkan dari Ali As yang bersabda, “Tiga hal yang diperlukan oleh setiap warga di setiap tempat dalam urusan duniawi dan ukhrawi yang apabila mereka meninggalkannya mereka adalah orang-orang bodoh dan dungu. (Tiga hal tersebut) adalah fakih dan cendekia yang wara, pemimpin yang ditaati oleh rakyat dan dokter yang dipercaya.

(Islam-Quest/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: