Pesan Rahbar

Home » » Cak Nun: Semar Itu Gagasan Tentang Nabi Muhammad, Bukan Badut

Cak Nun: Semar Itu Gagasan Tentang Nabi Muhammad, Bukan Badut

Written By Unknown on Thursday, 6 July 2017 | 20:52:00


Budayawan kondang Emha Ainun Najib menyayangkan generasi muda yang tidak dibesarkan bersama wacana wayang. Selain fakor kurikulum sekolah, akselerasi pengetahuan tradisi dan budaya juga tidak didapatkan dalam wacana sosial media. Sedemikian sehingga, aktor Punakawan wayang seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak jarang dipertontonkan seolah-olah hanya sebagai badut di stasiun TV.

“Ada kesalahan luar biasa dalam sejarah kita,” kata Cak Nun lepas menyaksikan pementasan wayang ‘dramatic reading’ bertajuk ‘Mencari Buah Simalakama’ di Mocopat Syafaat, Yogyakarta, 17 Juni lalu.

Salah satu sebabnya, menurutnya, karena masyarakat tidak lagi berangkat dari dirinya untuk melihat dirinya sendiri tapi berangkat dari orang lain. Wayang adalah perumpamaan dan hidup tanpa perumpamaan, kata Cak Nun, tidak akan bisa. Pria yang pernah nyantri di Pondok Gontor ini kemudian menjelaskan mengapa Tuhan senantiasa memberi perumpamaan seperti nyamuk di dalam Al-Qur’an.

“Punakawan itu bukan badut, tapi yang memiliki kematangan ilmu. Mereka (bahkan) berkewajiban membimbing raja-raja,” tegas Cak Nun sebelum mengurai bagaimana Sunan Kalijaga merumuskan sosok Semar, yang kemudian punya tiga anak itu.

Seperti diketahui, sosok Punakawan merupakan hasil modifikasi Sunan Kalijaga yang tidak ditemukan dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Semar contohnya, lanjut Cak Nun, sosok yang merangkum seluruhnya. Semar itu ya dewa, ya wong cilik (rakyat kecil). Kalau ditarik garis, Semar bagaikan garis melingkar. Di atas sebagai dewa, di bawah sebagai wong cilik.

“Karena Semar itu ya mbahnya (moyang) semua dewa. Meski demikian, Semar juga adalah wong cilik yang paling cilik. Anda memiliki kemungkinan (menjadi) salah satu atau keduanya. Dan itulah Muhammad, dimana dia adalah nabi yang paling utama, namun dia juga wong cilik yang paling jelata. Itu karena pilihan (Muhammad sendiri) untuk menjadi jelata,” katanya sambil menegaskan bahwa Semar adalah gagasan tentang insan kamil.

Malam itu, sebagaimana pengamatan IslamIndonesia, pementasan wayang berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam. Sejumlah teaterawan senior Yogyakarta tampil memerankan sejumlah tokoh Punakawan. Dengan gaya khas masing-masing tokoh, wayang yang bertajuk ‘Mencari Buah Simalakama’ ini berbicara tentang fenomena yang sedang terjadi di Indonesia.

“Buah simalakama itu kan dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Saya membayangkan ‘bapak’ itu pemerintah kita ini, dan ibu itu alam (tanah air) yang memberi kita kehidupan. Saat ini bapak dan ibu ini sedang tidak akur, bertentangan terus. Nah, kita, rakyat sebagai anak dihadapkan untuk memilih bapak atau ibu.” kata Simon, salah satu penulis naskah.

Sebetulnya tanpa ‘bapak’, kata Simon, kita juga bisa hidup dari alam yang berlimpah ruah ini. “Malah justru dari adanya pemerintah hidup justru jadi sulit,” katanya disambut tawa dan tepuk tangan oleh hadirin. []


(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: