Pesan Rahbar

Home » » Cerita Lebaran Masa Penjajahan dan Pasca Kemerdekaan

Cerita Lebaran Masa Penjajahan dan Pasca Kemerdekaan

Written By Unknown on Wednesday, 5 July 2017 | 13:35:00


Terlepas dari hiruk pikuk lebaran pada masa sekarang yang tak jauh dari melonjaknya harga-harga, suasana arus mudik dengan istilah H minus (H -) atau plus (H+), ada baiknya sejenak kita menengok ke suasana lebaran masa lalu dalam konteks politik dan ekonomi. Suasana yang tak jauh berbeda dengan situasi sekarang.

Pada 1929, dunia dilanda krisis. Ditandai dengan jatuhnya harga saham di Wall Street, New York yang dikenal dengan nama Black Thursday (Kamis Hitam). Peristiwa itu diikuti dengan ditutupnya sejumlah pabrik, bangkrutnya bank-bank, merosotnya harga komoditi dunia. Di Hindia Belanda, masa krisis itu atau Malaise dikenal dengan sebutan “zaman meleset”.

Suasana politik di Hindia Belanda pun kacau. Dalam sebuah artikel di Daulat Ra’jat, Syahrir mengungkapkan perlunya keterpaduan Indonesia-Belanda untuk menghadapi bahaya fasisme (Jerman dan sekutunya) yang mulai merangsek. Konsep Indië Weerbar (pertahanan Hindia) yang popular, dianggap tidak menguntungkan oleh Soekarno. Soekarno lebih condong untuk memanfaatkan situasi pecahnya perang di Pasifik. Hasrat “kemerdekaan” rakyat Hindia yang akan diberikan bila mendukung konsep Indië Weerbar ditanggapi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Limburg van Stirum dengan mengatakan: “Jika diperlukan, Hindia akan dijajah Belanda hingga seratus tahun lagi!”

Berkaitan dengan hal tersebut, Idulfitri tahun 1929 pun dijadikan momentum politis. Pada halaman muka Java Bode disebutkan umat Islam di Jakarta untuk pertama kali mengadakan sembahyang Idulfitri di lapangan terbuka Koningsplein (Gambir). Entahlah apakah pemerintah Hindia Belanda mengetahui hal tersebut.

Sementara itu dalam sebuah foto hitam-putih dari tahun 1930-an digambarkan suasana Lebaran di sebuah sudut kota, yang tampaknya sebuah pasar. Orang-orang tampak bersuka cita. Banyak di antara mereka, baik tua maupun muda mengenakan pakaian berwarna terang dan bercelana pendek. Ada pula yang mengenakan sarung dan destar atau kopiah. Beberapa penjual makanan dan minuman tampak dipadati pembeli.

Dimanfaatkannya Koningsplein sebagai pusat shalat Id di Jakarta berlangsung hingga pendudukan Jepang. Ketika itu namanya berganti menjadi lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta).

Belanda memang takluk tapi kini kekuasaan berada di tangan Jepang yang mengaku “saudara tua” yang akan membawa kejayaan bagi bangsa Asia. Polah pemerintah militer Jepang pun membuat geram. Harry J Benda dalam The Crescents and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation menulis kebijakan agama penguasa Jepang yang membuat sakit hati.

Pada saat akan digelar shalat Id, Jepang mengimbau agar shalat Id diadakan di pagi buta persis selesai subuh. Alasannya, sebelum matahari terbit Jepang harus upacara sekerei (sembah matahari) di lapangan yang sama. Mungkin saja para tentara Jepang itu takut merasa tersaingi.

Tiga setengah tahun lewat, Jepang bertekuk lutut di kaki sekutu. Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jatuh pada bulan Ramadhan. Panitia Proklamasi Kemerdekaan pun memiliki rencana untuk menggelar shalat Id di halaman gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur No 17, Jakarta. Shalat tetap bisa dilaksanakan tetapi di sekitar gedung dijaga ketat oleh tentara Dai Nippon.

Akhir tahun 1945 ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Belanda dengan membonceng pasukan sekutu masih ingin kembali berkuasa di Indonesia. Masa yang dalam historiografi Indonesia dikenal dengan masa revolusi membuat sejarah sendiri. Pertentangan antara tokoh-tokoh penting yang ingin berjuang dengan cara dan pendapatnya masing-masing merebak. Tokoh-tokoh nasionalis, agama dan komunis berargumen dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang belum genap berusia setahun.

Pada bulan Ramadhan 1946, beberapa tokoh melobi Bung Karno. Mereka meminta supaya Bung Karno pada hari raya Idulfitri yang bertepatan jatuh pada bulan Agustus bersedia merayakan lebaran dengan mengundang semua tokoh revolusi yang berbeda pendapat. Diharapkan pada suasana lebaran itu, semua pihak yang berbeda pendapat akan saling memaafkan dan menerima keragaman mereka untuk sama-sama berjuang melawan Belanda yang kembali ingin berkuasa. Bung Karno pun setuju. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, itulah saat lahirnya istilah halal bi halal. Istilah dari bahasa Arab yang dirancang oleh para pendiri RI sebagai ajang menghalalkan perbedaan, tetapi bersatu dalam kebersamaan. Ketika Lebaran tiba, di Istana Yogyakarta diselenggarakan halal bi halal.

Sementara itu suasana shalat Id tahun 1947 di Alun-alun Yogyakarta terekam dalam sebuah foto koleksi Antara/Ipphos. Dalam foto itu tampak Panglima Besar Jenderal Sudirman berpeci, berjas putih dengan empat saku berdiri di sebelah Soekarno. Di sebelahnya lagi ada Sultan Hamengku Buwono IX, Moch Ichsan (walikota Semarang yang diusir Belanda dan menyusul pemerintahan sementara di Yogyakarta) serta Soepardjo Rustam yang ketika itu ajudan Sudirman. Tampak jas dan pakaian keempat tokoh tersebut kumal, lusuh dan tak disetrika, sama seperti semua rakyat yang berjemaah bersama mereka.

Tahun 1950-an, pada masa demokrasi liberal, shalat Id dipindahkan ke lapangan Banteng. Setelah di tengah lapangan berdiri monumen pembebasan Irian Barat, sejak itu shalat Id terpencar di lapangan dan mesjid yang ada di Jakarta.

Tahun 1961, Taman Wijayakusuma yang semula bernama Wilhemina Park dibongkar dan akan dibangun Masjid Istiqlal, mesjid yang ketika itu terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini pun menjadi salah satu pusat shalat Id di Jakarta.

Dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Rosihan Anwar menceritakan pengalaman pada hari Idulfitri 1961. Ketika pergi shalat Id di Kebayoran Baru, Rosihan melihat banyak becak yang dihiasi kulit ketupat. Awalnya ia menganggap upaya abang becak itu gerakan spontan menyambut lebaran. Namun, dari penuturan seorang sopir jip, kulit-kulit ketupat itu dibuang di pasar-pasar karena tak habis terjual. Mengapa dibuang? Sopir jip menjawab karena tidak ada isinya. Beras yang seharusnya menjadi isi ketupat ternyata tak mampu terbeli oleh rakyat karena harganya sudah sampai 14 rupiah per liter. Inflasi di waktu lebaran.

Pada tahun berikutnya, situasi tidak berubah. Menurut Rosihan, menjelang Lebaran 1962, harga-harga di Jakarta melonjak. Sayur mayur dan bahan-bahan bumbu melonjak 100 hingga 150 persen. Begitupula tepung terigu, minyak goreng, dan gula pasir ikut melonjak. Anehnya, barang-barang itu belum tentu tersedia. Pada masa itu di pinggiran Jakarta dikenal istilah “kambing barter”. Para penduduk pinggiran Jakarta dapat menukarkan seekor kambing dengan 20 liter beras dan 1 ayam ditukar dengan 3 sampai 4 liter beras.

Perbedaan pendapat mengenai jatuhnya Idulfitri pun terjadi pada 1962. Muhammadiyah memutuskan Lebaran jatuh pada 7 Maret sedangkan Nahdlatul Ulama merayakan Lebaran pada 8 Maret. Oleh karena NU ketika itu duduk di pemerintahan, maka melalui Menteri Agama, Lebaran didekritkan pada 8 Maret. Dalam khotbah Idulfitri yang dilaksanakan 7 Maret di mesjid Al Azhar, Kebayoran Buya Hamka mengatakan adanya dua Hari Raya Idulfitri hendaknya jangan diartikan sebagai perpecahan di kalangan umat Islam. Karena semuanya bernaung di bawah bendera merah putih.

Sementara itu dalam pidato Presiden Soekarno yang diucapkan pada pidato Hari Raya Idulfitri 8 Maret 1962, Soekarno menyinggung soal sengketa dengan Belanda mengenai Irian Barat. Ia menegaskan Trikora (Tri Komando Rakyat) tak dapat dihentikan. Salah satunya, merah putih harus dikibarkan di Irian Barat.

Pada Lebaran 1963, Soekarno tidak hadir dalam shalat Idulfitri di halaman istana. Alasannya adalah khawatir ratusan kartu undangan disalahgunakan sehingga akan banyak yang tak berhak ikut hadir. Demi keamanan dan keselamatan Presiden, Komandan Pasukan Pengawal Presiden, Resimen Cakrabirawa, Kolonel Sabur menyarankan supaya Presiden tidak menghadiri shalat tersebut. Akhirnya orang yang menghadiri shalat itu pun hanya sedikit.

Seusai shalat Idulfitri 1964 dalam pidato sambutannya di Masjid Baitul Rachim, Presiden Soekarno kembali menegaskan: “Malaysia memang buatan kolonialis Inggris!”

Ketika itu memang Indonesia sedang hangat-hangatnya berkonfrontasi dengan Malaysia. Kita tentu masih ingat slogan populer: “Ganjang Malaysia!”

Demikianlah suasana lebaran masa lalu yang penuh dinamika apalagi jika dikaitkan dengan hal-hal politik dan ekonomi. Ironisnya, hal serupa terus berlanjut hingga kini.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: