Allah SWT berfirman;
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الاْمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyuk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”[1]
Khusyuk ditafsirkan oleh para ulama sebagai ketundukan yang berbaur dengan kecintaan yang menyebabkan jiwa bersimpuh di hadapan wibawa dan keagungan yang dicinta, atau ketundukan yang dibarengi dengan rasa takut kepada siapa yang ditakuti balasannya.[2]
Karena itu, dalam doa-doa khusus yang dibaca menjelang subuh di bulan suci Ramadhan terdapat ungkapan;
اللَّهمّ إنّي أسألك خشوع الإيمان قبل خشوع الذلّ في النار.
“Ya Allah, sesungguhnya memohon kepadaMu kekhusyukan iman sebelum kekhusyukan hati ihwal neraka.”[3]
Keimanan menyebabkan kekhusyukan dalam dua makna tersebut, sedangkan hal ihwal neraka menyebabkan kekhusyukan dalam maknanya yang kedua.
Ada berbagai hikayat mengenai pengaruh ayat tersebut bagi sebagian orang. Satu kisah di antaranya menyebutkan bahwa dahulu di Basrah terdapat seorang “ahli hal” (ruhaniwan tingkat tinggi) yang ambruk dan pingsan setelah mendengar ayat tersebut, dan ketika siuman dia membaca syair mistik lalu pingsan lagi hingga kemudian meninggal dunia.
Kisah demikian, seandainyapun benar dan bukan karangan sebagian kalangan sufi nyeleneh maka kepingsanan hingga meninggal dunia terjadi adalah karena orang yang bersangkutan mengalami perkembangan ruhani di satu sisi tapi tak berkembang di sisi lain. Karena jelas bahwa kekhusyukan kepada Allah tidak semestinya mengganggu kejiwaan dan kesadaran orang dan apalagi sampai meninggal dunia akibat mendengar firman Allah SWT dan lain-lain, sehingga kalaupun itu terjadi maka menandakan adanya suatu kelemahan dalam diri orang yang mengalaminya.
Kisah serupa bahkan juga masyhur berkenaan dengan seseorang yang berpekik lalu meninggal dunia karena sedemikian khusyuk mendengar Imam Ali bin Abi Thalib as berpidato menerangkan sifat-sifat orang yang bertakwa.[4] Diriwayatkan bahwa mengenai sahabat beliau yang bernama Hammam itu Imam Ali as berkata; “Demi Allah sejak semula aku sudah kuatir terhadapnya.” Beliau berkata lagi. “Demikianlah pengaruh nasihat-nasihat yang mengena pada orangnya.” Seseorang lantas melontarkan pertanyaan yang menyudutkan beliau, “Lantas engkau sendiri bagaimana, wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab;
ويحك إنّ لكلّ أجل وقتاً لا يعدوه، وسبباً لا يتجاوزه. فمهلاً لا تعد لمثلها، فإنّما نفث الشيطان على لسانك.
“Celakalah kamu, sesungguhnya setiap ajal itu ada tenggat waktunya yang tak terlampaui dan ada pula sebabnya yang tak terlanggarkan, maka diamlah dan jangan berkata demikian lagi, karena sesungguhnya pada lisanmu itu hanyalah terdapat ludah syaitan.”
Jawaban ini diucapkan Imam Ali as sesuai kadar pemahaman orang yang bertanya. Karena seandainya orang itu mengetahui barang sedikit saja keadaan ruhani beliau dan betapa beliau selalu menangis di mihrab setiap malam namun ceria di siang hari meskipun ujian berat datang silih berganti niscaya dia tidak akan bertanya demikian. Di samping juga karena Hammam tidaklah memiliki kapasitas jiwa seperti Imam Ali as yang setiap malam tertempa rasa takzim dan takut kepada Allah di malam hari, sedangkan di siang hari terasah dengan pengabdian kepada Islam dan umat.
Kemudian, dalam pidato yang sama beliau sendiri juga menegaskan;
ولولا الأجل الذي كتب الله عليهم لم تستقرّ أرواحهم في أجسادهم طرفة عين شوقاً إلى الثواب وخوفاً من العقاب… وأمّا النهار فحلماء علماء أبرار أتقياء
Kalimat ini juga sekaligus menggambarkan keharusan adanya keseimbangan antara ibadah personal vertikal di malam hari di satu sisi dan ibadah sosial horisontal di siang hari di sisi lain. Dan untuk mencapai kedudukan spiritial nan seimbang sedemikian rupa tentu saja diperlukan kesungguhan yang luar biasa dan penggemblengan jiwa tanpa henti.
Referensi:
[1] QS. Al-Hadid [57]: 16.
[2] Lihat Manazil al-Sa’irin karya Kamaluddin Abdul Razzak, hal. 50.
[3] Mafatih al-Jinan, bagian akhir Doa Abu Hamzah al-Tsumali, hal. 198.
[4] Lihat Nahjul Balaghah, Khutbah 193.
(Safina-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email