Dalam agama Islam puasa merupakan satu bentuk ibadah yang melengkapi bentuk-bentuk ibadah lain semisal mendirikan shalat, membaca kitab suci al-Quran, berzikir, dan lain-lain. Puasa tercatat sebagai salah satu ibadah yang kedudukannya sangat tinggi karena juga berperan kunci dalam tazkiyah atau penyucian ruhani dan bahkan juga jasmani.
Tulisan ini akan membahas ibadah puasa lebih dari sebatas kedudukannya sebagai satu kewajiban yang harus ditunaikan sesuai aturan fikih, melainkan lebih menelisik jauh pada dimensi ruh, spirit, dan hakikat yang terkandung di baliknya dan yang menjadi kunci dalam tazkiyah dan pembersihan jiwa manusia dari segala jenis kotoran dan nista, dan pada gilirannya dalam ketersandangan sifat-sifat ilahiyah pada manusia.
Pendahuluan
Puasa merupakan ibadah yang juga pernah ada dan berlaku dalam semua tradisi dan syariat terdahulu. Suku-suku primitif Arab (Baduwi) bahkan juga menjalankan tradisi berkuasa dengan niat membersihkan diri dari dosa-dosa, mengusir syaitan, dan berharap mendapat kerelaan dari tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang mereka yakini. Kaum Arab Jahiliyah juga meyakini puasa sebagai ibadah dan penyucian diri.[1]
Terinspirasi oleh teks-teks suci, para arif atau bijakawan Muslim memandang puasa sebagai zakat bagi raga. Mereka juga mengatakan bahwa dengan berpuasa manusia akan dapat menemukan dimensi karakteristik malaikat, karena dapat menahan diri dari santapan-santapan lahirian agar dapat berpesta lebih sempurna dengan santapan-santapan ruhani berupa zikir, tasbih dan tahlil.[2]
Syeikh Abu Hafas Syihabuddin Suhrawardi, pendiri aliran irfan Suhrawardiyah dalam karyanya yang tersohor, Awarif al-Ma’arif, saat menjelaskan keutamaan puasa mengutip sabda Rasulullah SAW;
اَلصَّوْمُ نصْفُ الصَّبْر وَ الصَّبْرُ نصْفُ الاْیمان.
“Puasa adalah separuh kesabaran, dan kesabaran adalah separuh iman.”
Dia juga mengutip hadis qudsi;
الصَّوْمُ لِی وَ أَنَا أُجْزَى بِهِ.
“Puasa adalah untukKu, dan Aku adalah balasannya.”
Disebutkan bahwa puasa dikaitkan langsung dengan Allah dengan maksud bahwa Dia akan menghiasi orang yang berpuasa dengan keindahan akhlak ilahiyyah.[3] Di mata para arif, puasa memiliki dimensi batin dan hakiki yang tak semua orang dapat melihatnya. Menurut mereka, keimanan terdiri atas dua unsur yang sama besarnya; satu kesabaran dan yang lain kebersyukuran, sementara puasa menggabungkan dua unsur ini.[4]
Artikel ini adalah dalam rangka menjelaskan puasa bukan sebatas menahan lapar, haus dan semisalnya yang hanya bersentuhan dengan faktor-faktor lahiriah, melainkan juga karena terdorong oleh pengetahuan akan dimensi spiritual dan hakikatnya dalam menunjang proses tazkiyah dan peningkatan kualitas eksistensial dan gradasi keruhaniannya. Kaum arif memandang puasa sebagai penempaan diri agar dapat menyandang sifat-sifat ilahiah dan mencapai kesempurnaan berada di sisi Allah SWT.
Makna Shoum
Kata “shoum” dalam bahasa Arab berarti puasa, yakni menahan diri dari makan dan minum.[5] Sedangkan dalam terminologi syariat berarti menahan diri dari beberapa hal tertentu, yaitu makan, minum dan bersetubuh dari sejak tibanya waktu shalat subuh hingga tibanya waktu shalat maghrib.[6]
Dalam Majma’ al-Suluk disebutkan; “Puasa memiliki tiga jenjang. Pertama, puasa kalangan umum (awam) berupa menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Kedua, puasa kalangan khusus (khas) berupa menahan mata, telinga, dan semua organ tubuh dari perbuatan dosa agar tak satupun anggota tubuh berbuat dosa. Ketiga, puasa kalangan yang lebih khusus (akhash al-khawash) berupa menahan diri dari kepedulian-kepedulian yang hina, ingatan dunia, dan segala sesuatu selain Allah SWT.”[7]
Referensi:
[1] Ahkam-e Qor’an, Mohammad Khazaili, hal. 415 – 416.
[2] Al-Risalah al-Aliyyah, Kamaluddin Husain Kasyifi, hal. 73.
[3] Lihat Awarif al-Ma’arif , hal. 138.
[4] Ibid.
[5] Muntaha al-Irb.
[6] Ta’rifat-e Jurjani, hal. 119.
[7] Kasysyafu Ishthilahat al-Funun, hal. 818.
Puasa Bagian Dari Rukun Islam
Dalam berbagai hadis yang termuat dalam literatur umat Islam puasa tercatat sebagai salah satu rukun Islam. Di kalangan Ahlussunnah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
بَنَى الْإِسْلَامَ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَ أَنَّ مُحَمَّداً (ص) عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ وَ إِیتَاءِ الزَّکَاةِ وَ حِجِّ الْبَیْتِ وَ صِیَامِ شَهْرِ رَمَضَان.
“Islam berdiri di atas lima perkara (rukun/pilar), yaitu; kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan utusanNya, pendirian shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadhan.”[1]
Sedangkan di kalangan Syiah juga terdapat riwayat yang mirip dengan riwayat ini, yaitu bahwa Imam Muhammad al-Baqir as berkata;
بنی الاسلام علی خمسة اشیاء، علی الصلوة و الزکاة و الحج و الصوم و الولایة.
“Islam dibangun di atas lima sesuatu; shalat, zakat, haji, puasa dan wilayat (kepemimpinan).”[2]
Sedemikian tingginya kedudukan puasa sehingga para bijakawan arif mementingkan ibadah ini bukan hanya di bulan suci Ramadhan, melainkan di sepanjang tahun dan di banyak bagian usianya. Bahkan ada sebagian di antara mereka berpuasa di hampir seluruh harinya, kecuali hari-hari diharamkannya puasa, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut beberapa hadis sahih, Rasulullah saw juga mengutamakan berpuasa pada hari-hari tertentu.
Kewajiban Berpuasa Dalam al-Quran Dan Hadis
Ibadah puasa disyariatkan bukan pada syariat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw, melainkan juga pada syariat-syariat sebelumnya, sebagaimana disebutkan secara gamblang dalam al-Quran al-Karim;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”[3]
Dalam berbagai hadis Nabi saw, baik di kalangan Ahlussunnah maupun Syiah, puasa sedemikian agung kedudukannya sehingga disebutkan bahwa jika ibadah ini ditunaikan secara hakiki dan benar maka akan membasuh penunainya dari segala dosa yang bersimbah dalam dirinya masa lalu. Di kalangan Ahlussunnah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِیمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ مَنْ قَامَ لَیْلَةَ الْقَدْرِ إِیمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka dosanya di masa lalu pasti diampuni, dan barangsiapa menegakkan Lailatul Qadar (mengisinya dengan ibadah) karena iman dan mengharapkan pahala maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[4]
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ,وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ، وَلَايَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ. وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فْرحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ صَوْمِهِ.
“Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya’. Puasa adalah perisai. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor atau keji dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya atau mengajak bertengkar, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya’.”[5]
Dalam Nahjul Balaghah khutbah 192 disebutkan bahwa mengenai hikmah berbagai ibadah dalam Islam Imam Ali bin Abi Thalib as berkata;
… مَا حَرَسَ اَللَّهُ عِبَادَهُ اَلْمُؤْمِنِینَ بِالصَّلَوَاتِ وَ اَلزَّکَوَاتِ وَ مُجَاهَدَهِ اَلصِّیَامِ فِی اَلْأَیَّامِ اَلْمَفْرُوضَاتِ تَسْکِیناً لِأَطْرَافِهِمْ وَ تَخْشِیعاً لِأَبْصَارِهِمْ وَ تَذْلِیلاً لِنُفُوسِهِمْ وَ تَخْفِیضاً لِقُلُوبِهِمْ وَ إِذْهَاباً لِلْخُیَلاَءِ عَنْهُمْ وَ لِمَا فِی ذَلِکَ مِنْ تَعْفِیرِ عِتَاقِ اَلْوُجُوهِ بِالتُّرَابِ تَوَاضُعاً وَ اِلْتِصَاقِ کَرَائِمِ اَلْجَوَارِحِ بِالْأَرْضِ تَصَاغُراً وَ لُحُوقِ اَلْبُطُونِ بِالْمُتُونِ مِنَ اَلصِّیَامِ تَذَلُّلاً مَعَ مَا فِی اَلزَّکَاهِ مِنْ صَرْفِ ثَمَرَاتِ اَلْأَرْضِ وَ غَیْرِ ذَلِکَ إِلَى أَهْلِ اَلْمَسْکَنَهِ وَ اَلْفَقْرِ.
“Allah SWT menjaga menjaga hamba-hambaNya dengan shalat, zakat, dan upaya dalam puasa agar organ dan anggota tubuhnya tentram, pandangannya khusyuk, jiwanya merendah, hatinya merunduk, kesombongan dan egonya tertanggal dari mereka, karena sujud di mana bagian terbaik kepala menyatu dengan tanah merupakan kerendahan, dan peletakan anggota tubuh yang paling berharga di tanah merupakan ungkapan akan kekerdilan, sedangkan puasa dan pelekatan perut dengan kulit merupakan kesadaran akan kehinaan, dan pembayaran zakat dari pemanfaatan hasil-hasil bumi dan lain-lain adalah demi para fakir miskin.”
Dalam Nahjul Balaghah Hikmah 353 disebutkan bahwa Imam Ali as berkata;
فرض الله. .. الصیام ابتلاء لاخلاص الخلق.
“Allah mewajibkan puasa untuk menguji keikhlasan makhlukNya.”
Referensi:
[1] Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Umar.
[2] Furu’ al-Kafi, jilid 4, hal. 62, hadis 1.
[3] QS. Al-Baqarah [2]: 183 – 185.
[4] Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah.
[5] Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Buruknya Kekenyangan
Bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan untuk menyingkap tabir rahasia alam semesta, namun untuk dapat memanfaatkan kesempatan ini manusia memerlukan asupan makanan dan minuman sebatas apa yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Perut yang kekenyangan akan cenderung mengganggu kelancaran berpikir dan memperoleh pemahaman. Dan dalam ungkapan akhlak Islam disebutkan; “Tak ada tempat yang diisi oleh manusia lebih kotor daripada perut.”[1]
Kekenyangan menyebabkan orang malas, sementara menjaga keseimbangan dalam makan akan menyehatkan tubuh, menyebabkan panjang umur, dan pada gilirannya menyehatkan pikiran. Makan secara berlebihan selain menyebabkan ruh manusia tersibukkan oleh proses percernaan makanan yang berlebih, juga menyebabkan organ-organ tubuh bekerja lebih keras sehingga raga menjadi kurang sehat, mudah sakit, dan lebih sulit untuk dapat panjang umur.
Kekenyangan dapat menyebabkan kemalasan dan rasa kantuk. Manusia tidur sebagai istirahat untuk dapat memahami sesuatu dengan baik, bukan banyak tidur lantaran kekenyangan. Karena itu suatu hari Rasulullah saw bertanya para sahabatnya; “Semalam mimpi apa yang membuat kalian bergembira?”[2]
Seseorang pernah bersendawa di depan beliau sehingga beliau menasehatinya bahwa tidaklah patut makan terlalu banyak sampai bersendawa ketika berkumpul dengan orang lain. Beliau juga bersabda; “Enyahkan sendawamu, sesungguhnya orang yang paling lama lapar di hari kiamat adalah orang yang paling kenyang di dunia.”[3]
Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Ali as bertanya kepada penjaga kebunnya, “Ada makanan?” Penjaga itu menjawab, “Hanya ada makanan sederhana yang tak pantas untukmu. Aku hanya menyiapkan labu tanpa mentega.” Beliau berkata, “Siapkanlah.” Beliau mencuci tangan dan memakan labu itu kemudian sambil mengelus perut beliau berucap, “(Beruntunglah) perut yang kenyang dengan makanan sederhana ini, dan celakalah orang yang perutnya membawanya masuk ke neraka.”[4]
Nilai Kebebasan
Para bijakawan Islam mengakui bahwa puasa adalah amalan yang sulit dan berat, tapi rasa berat ini menjadi sirna karena mereka merasakan nikmatnya panggilan firman ilahi[5]; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”[6]
Rasulullah SAW dalam khutbah pada Jumat terakhir bulan Syakban bersabda;
“Wahai manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadai dengan amal perbuatan kalian maka bebaskanlah jiwa kalian dengan istighfar (permohonan ampunan) kalian.”[7]
Hadis Nabi SAW ini mengingatkan bahwa manusia terbelenggu oleh dosa dan hawa nafsunya namun mereka tidak menyadari keterbelengguannya, maka bulan Ramadhan menjadi momentum bagi mereka untuk memohon ampunan.
Dalam Islam tak ada sesuatu yang berharga melebihi kebebasan dan kemerdekaan dari hawa nafsu. Imam Ali AS berkata; “Barangsiapa meninggalkan syahwat maka dia merdeka.”[8]
Para imam maksum as dalam banyak kalimat mutiaranya mengajarkan kepada manusia agar menjadi makhluk yang merdeka. Kemerdekaan dari musuh batiniah lebih penting daripada kemerdekaan dari musuh lahiriah. Tanda keterbelengguan batin ialah bertindak semau sendiri, sedangkan manusia merdeka adalah mereka yang berbuat sesuai ajaran Allah SWT. Manusia merdeka tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah SWT.
Memerdekakan diri di bulan suci Ramadhan merupakan salah satu misi utama manusia. Manusia harus membulatkan kehendak dan tekadnya untuk menghancurkan belenggu yang memasungnya. Caranya ialah memohon ampunan. Karena itu siang malam manusia dianjurkan membaca istighfar berulangkali. Rasulullah SAW bersabda; “Siang malam aku beristighfar 70 kali.”[9]
Manusia dianjurkan beristighfar bagi dirinya dan orang-orang lain, bukan untuk lolos dari kobaran api neraka, juga bukan untuk mendapatkan kenikmatan surgawi, melainkan demi tujuan yang lebih agung lagi.
Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia juga merupakan perjuangan untuk kebebasan, tapi bukan kebebasan dari status dan hakikatnya sebagai hamba Allah SWT. Sebaliknya, kemerdekaan ini adalah untuk menegaskan bahwa bangsa ini adalah hamba Allah SWT semata, bukan hamba selainNya.
Referensi:
[1] Bihar al-Anwar, jilid 63, hal. 330.
[2] Al-Kafi, jilid 8, hal. 90.
[3] Al-Wasa’il, juz 16, hal. 420.
[4] Al-Kuna wa Alqab, jilid 3, hal. 138.
[5] Lihat Majma’ al-Bayan, jilid 2, hal. 490.
[6] QS. Al-Baqarah [2]: 183 – 185.
[7] Al-Amali wa al-Majalis Shaduq, hal.85, Majlis 20, Hadis 4, dan Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 1, hal. 295.
[8] Bihar al-Anwar, jilid 74, hal. 239.
[9] Bihar al-Anwar, jilid 17, hal. 44.
Imam Ali AS mengatakan bahwa agamapun juga pernah dijajah oleh manusia-manusia keji. Beliau berkata, “Sesungguhnya agama ini pernah menjadi tawanan di tangan orang-orang keji yang mengamalkannya sesuai hawa nafsu, dan dengannya dunia justru dicari.”
Banyak manusia tertawan oleh hawan nafsunya sehingga betah tinggal di dunia dan takut meninggalkannya. Untuk menggeser pendirian ini, Islam mengajarkan pinsip bahwa manusia hendaknya tidak bergantung pada alam materi dan tidak pula takut kepada alam non-materi.
Imam Ali as menyoal; “Bukankah orang yang merdeka adalah orang meninggalkan sisa makanan ini kepada ahlinya (orang-orang memang menyukainya)?”[1]
Artinya, apa yang kini disebut sebagai dunia semisal jabatan, status sosial dan harta benda tak lain adalah sesuatu yang telah dikonsumsi oleh orang-orang terdahulu yang sisanya masih ada sampai sekarang. Karena itu, manusia yang bijak tentunya tidak boleh terpasung oleh sesuatu yang ternyata sedemikian remeh itu.
Dalam al-Quran al-Karim Allah SWT berfirman;
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ.
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan )yamin),.”[2]
Golongan “yamin” adalah orang-orang yang mendapat anugerah (maimanah) sehingga memancar dari mereka adalah keberkahan semata, dan merekapun tidak berurusan dengan apapun kecuali maimanah dari Allah SWT. Seruan agama agar manusia berusaha meraih anugerah itu sendiri merupakan anugerah nikmat terbesar dariNya.
Bulan suci Ramadhan adalah momen kemerdekaan manusia. Bulan suci ini merupakan momentum di mana hari demi hari manusia diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk melepaskan belenggu demi belenggu yang memasungnya. Dan cara terbaik untuk melepaskan belenggu ini adalah memahami hikmah-hikmah yang terkandung dalam setiap amal ibadah.
Pahala Puasa
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa manusia hendaknya berpuasa demi meninggalkan kesenangan dan kegembiraan yang ada di luar bulan Ramadhan karena semua itu hanyalah semu belaka. Puasa menyajikan makna batini yang mengajak manusia kepada Allah SWT. Karena itu, sebagaimana telah disebutkan, dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman; “Puasa adalah untukku, dan Aku-lah yang akan mengganjarnya.” Bahkan menurut versi lain, bagian dari teks hadis Qudsi ini diberi harakat dan bunyi lain sehingga berarti: “….Aku-lah ganjaran/pahalanya.” Ungkapan demikian hanya disebutkan berkenaan dengan ibadah puasa.
Segala sesuatu yang ada alam semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Tak ada suatu apapun yang luput dari kepemilikanNya. Bahkan organ tubuh manusia juga milikNya, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ.
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah ‘Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?’”[3]
Imam Ali as berkata: “Organ tubuhmu adalah saksiNya, anggota tubuhmu adalah pasukanNya, perasaanmu adalah mata-matanya, dan kesendirianmu adalah pengawasanNya.”[4]
Beliau mengingatkan bahwa manusia dalam segala keadaannya, termasuk ketika menyepi dan menyendiri, tidak akan pernah luput dari pengawasan Allah SWT. Malaikat bahkan menghitung nafas demi nafas manusia serta mengawasi untuk apa mereka bernafas. Allah SWT berfirman;
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.”[5]
Firman suci ini menunjukkan bahwa seluruh organ tubuh manusia juga merupakan prajurit Allah SWT, yaitu prajurit yang juga disinggung dalam firmanNya;
وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا.
“Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[6]
Referensi:
[1] Nahjul Balaghah, Hikmah 456.
[2] QS. Al-Muddatstsir [74]: 38-39.
[3] QS. Yunus [10]: 31.
[4] Nahjul Balaghah, Khutbah 199.
[5] QS. Ali Imran [3]: 189.
[6] QS. Al-Fath [48]: 7.
Firman Allah SWT dalam hadis qudsi “Puasa adalah untukku, dan Akulah yang memberi pahalanya,” merupakan suatu keistimewaan bagi ibadah puasa sehingga perlu mendapat perhatian tersendiri dan lebih cermat. Seseorang bisa saja menahan lapar dan haus dari Subuh hingga Maghrib namun berkutat pada jenjang di mana ekspektasi maksimalnya ialah tidak masuk ke dalam neraka, atau kalaupun masuk surga maka tingkatan surganya ialah seperti disebutkan firman Allah SWT :
جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ…
“… surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai…..”[1]
Bukan surga yang diisyaratkan dalam firmanNya;
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”[2]
Artinya ialah bahwa puasa selain memiliki hukum dan adab tertentu juga memiliki hikmah berupa perjumpaan dan kecintaan Allah SWT. Hadis qudsi tersebut mengajarkan kepada manusia agar menjadi pecinta, karena manusia tidak akan berusaha jika tidak merindu. Manusia akan cenderung berusaha dan berusaha lagi dengan kondisi jatuh bangun demi mencapai kekasih yang dirindukannya. Ketika puasa dalam hadis itu disebutkan sebagai milik Allah maka Dia Sendiri yang akan memberikan pahalanya.
Bentuk Pahala Puasa
Di tengah manusia terdapat figur-figur agung yang bukan hanya menjalankan puasa sunnah melainkan juga telah memberikan jatah buka puasanya kepada kaum papa. Figur demikian selain memperoleh “surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai” juga beruntung mendapat panggilan dari Allah, “Masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surgaKu,” karena mereka berpuasa untuk tujuan yang lebih mulia daripada tujuan kebanyakan orang.
Berkenaan dengan ibadah selain puasa, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran para malaikat ketika menyambut orang-orang yang beriman berkata;
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ.
“Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah syurga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” [3]
Tapi berkenaan dengan puasa Allah SWT berfirman; “Akulah yang memberi pahalanya.” Hal ini berkenaan bukan dengan hukum dan tatacara puasa sehingga tidak masuk dalam rangkaian bahasan mengenai hukum wajib dan sunnah yang kajiannya menjadi tanggungjawab para fakih. Sebaliknya, hal ini berkenaan dengan hikmah ibadah dan ihwal bagaimana manusia bisa mencapai jenjang amalan di mana Allah SWT Sendiri yang membalasnya.
Ibnu Atsir menjelaskan bahwa berkenaan dengan hadis qudsi “Puasa adalah untukKu dan Akulah yang memberi pahalanya” poin yang layak dicermati ialah bahwa dalam agama-agama syirik dan penyembah berhala tidak ada penyembahan yang dilakukan dengan cara berpuasa untuk pendekatan diri kepada apa yang dituhankan, walaupun mereka melakukan berbagai ritus pemujaan atau sembahyang lainnya dan mempersembahkan kurban atau sesajen. Puasalah satu-satunya ibadah yang khas untuk Allah SWT, sedangkan ibadah dalam bentuk-bentuk lain seperti sembahyang masih digunakan oleh sebagian orang untuk penyembahan kepada selainNya. Karena itu Allah mengaitkan puasa dengan DiriNya, dan Dia Sendiri yang akan membalas dan memberikan pahala ibadah puasa.[4]
Jenjang Perjumpaan Dengan Allah SWT
Ibadah puasa diamalkan adalah supaya manusia dapat bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”[5]
Sedangkan orang yang bertakwa memili dua jenjang. Satu diantaranya ialah jenjang surga yang di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan lahiriah, sebagaimana disebutkan dalam firmaNya;
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai.”[6]
Sedangkan satu jenjang lainnya ialah keberadaan di sisi Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ.
“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.”[7]
Pada jenjang ini duduk persoalannya bukan lagi kenikmatan yang bersifat ragawi semisal taman, buah, istana, dan sungai-sungai yang mengalir, melainkan kenikmatan yang bersifat batini dan ruhani berupa perjumpaan dengan Allah SWT. Di sinilah rahasia keutamaan ibadah puasa.
Referensi:
[1] QS. Ali Imran [3]: 15.
[2] QS. Al-Fajr [89] 27 – 30.
[3] QS. al-Zumar [39]: 73.
[4] Nihayah, Ibnu Atsir, jilid 1, hal, 120.
[5] QS. Al-Baqarah [2]: 183.
[6] QS. Al-Qamar [54]: 54.
[7] QS. Al-Qamar [54]: 55.
Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata; “Bagi orang yang berpuasa terdapat dua gembira; gembira ketika berbuka, dan gembira ketika berjumpa Allah.”[1] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dia berkata; “Bagi orang yang berpuasa terdapat dua gembira; gembira ketika berbuka, dan gembira ketika bertemu dengan Tuhannya.”[2]
Dalam Doa Sahar disebutkan;
اللَّهُمَّ إِنِّی أَسْأَلُکَ مِنْ جَمَالِکَ بِأَجْمَلِهِ وَ کُلُّ جَمَالِکَ جَمِیلٌ.
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dengan keindahanMu yang terindah, dan setiap keindahanMu sangatlah indah.”[3]
Dalam Kisah Qais (Majnun) dan Laila telah dilukiskan dengan sangat indah bagaimana manusia tidak seharusnya menambatkan hatinya kepada makhluk yang rentan dan mudah mati. Dikisahkan bahwa ketika akan menghembus nafas terakhirnya karena sakit, Laila berpesan kepada ibunya untuk disampaikan kepada Majnun; “Jika kamu hendak mencintai seseorang maka janganlah menyintai orang yang karena demam saja dia binasa.”
Pesan ini mengatakan betapa naifnya manusia ketika alih-alih menyintai Sang Maha Kuasa malah menyintai dirinya dan menyintai segala sesuatu yang mudah berubah dan binasa. Segala sesuatu selainNya hanyalah kebinasaan dan ketiadaan sehingga tidak mungkin dapat memberikan kebahagiaan yang diidam-idamkan siang dan malam.
Doa Sahar mengajak manusia supaya di waktu sahur bulan suci Ramadhan hendaknya memohon untuk mendapatkan keindahan yang mutlak. Betapa agungnya kedudukan manusia apabila dia khusyuk berdoa seperti yang disebutkan dalam Doa Sahar;
اللَّهُمَّ إِنِّی أَسْأَلُکَ مِنْ نُورِکَ بِأَنْوَرِهِ وَ کُلُّ نُورِکَ نَیِّرٌ .
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cahayaMu dengan cahaya-cahayanya, dan setiap cahayaMu adalah terang benderang.”
Doa ini mengajarkan kepada kita bahwa orang yang berpuasa memang layak memohon demikian, atau berdoa;
اَللّهُمَّ اِنّى اَسْئَلُکَ مِنْ جَلالِکَ بِاَجَلِّهِ وَکُلُّ جَلالِکَ جَلیلٌ.
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu keagunganMu dengan yang teragungnya, dan setiap keagunganMu adalah sangatlah agung.”[4]
Kalimat-kalimat mutiara dalam Doa Sahar ini tidak lagi berbicara buah-buahan, “anak-anak muda yang tetap muda” (wildan al-mukhalladun), atau sungai-sungai yang mengalir, melainkan tentang kesempurnaan-kesempurnaan maknawi, dan bahwa kedudukan yang sedemikian agung ini memang tersedia bagi manusia. Seandainya manusia biasa seperti kita tidak berpotensi untuk meraih kedudukan ini tentu tidak akan ada anjuran bagi kita untuk membaca doa demikian.
Nilai Manusia
Al-Kulaini meriwayat bahwa Imam Musa al-Kadhim as berkata; “Sesungguhnya ragamu tak dapat dinilai kecuali dengan surga maka janganlah menjualnya dengan selainnya.”[5]
Muhaqqiq Damad berkomentar bahwa riwayat ini mengacu pada hakikat ruhani yang melampaui surga. Ruh harus mencapai “jannat al-liqa’” , yaitu surga berupa perjumpaan dengan Yang Maha Kuasa. Ruh harus berada “di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.”[6] Ruh harus ditempa dengan puasa untuk meniti jalan menuju kedudukan “inda Allahi” (keberadaan di sisi Allah).[7]
Hakikat puasa akan menampak dalam bentuk perjumpaan dengan Allah, dan bagi manusia tak ada kepentingan yang lebih besar daripada perjumpaan denganNya, sebab manusia adalah wujud yang abadi dan tidak akan musnah. Manusia mati hanya untuk pindah dari alam sementara kepada alam keabadian. Jika manusia dapat mencapai hakikat puasa maka hasilnya adalah keterhubungan denganNya, tanpa ada derita kejenuhan atas keabadian. Derita ini bahkan tak berlaku lagi saat itu, termasuk ketika manusia menikmati surga ragawi. Saat itu tidak ada lagi rasa takut, kuatir, kesepian, haus dan lapar seperti yang dialami manusia di dunia. Alam surgawi sepenuhnya berbeda dengan alam dunia.
Referensi:
[1] Al-Wasa’il, jilid 10, hal. 403.
[2] Raudhat al-Muttaqin, jilid 3. Hal. 226, dan Wasa’il, jilid 10, hal. 400.
[3] Mafatih al-Jinan, Doa Sahar.
[4] Ibid.
[5] Al-Kafi, juz 1, hal. 19, hadis 12.
[6] QS. Al-Qamar [54]: 55.
[7] Ta’liqeh e Mirdamad bar Ushul Kafi, hal. 38.
Puasa Dalam Penyelesaian Masalah
Manusia dalam menjalani hidup tak jarang menghadapi aneka persoalan berat. Di tengah kondisi demikian anjuran beribadah puasa justru lebih ditekankan, meskipun seolah menambah beban. Patut diingat bahwa dalam setiap kali mendirikan shalat kita selalu memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan berucap;
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”[1]
Ketika manusia memerlukan pertolongan, Allah juga mengajarkan kepadanya cara yang tepat dalam memohon pertolongan kepadaNya, yaitu tidak dengan begitu saja berucap; “Tolonglah kami!” karena manusia tidaklah patut mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma. Sebaliknya, Al-Quran mengajarkan;
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.”[2]
Sabar dalam ayat ini ditafsirkan sebagai puasa, sesuai dengan hadis yang menyebutkan; “Jika suatu peristiwa tertentu dan kesusahan menimpa seseorang maka hendaknya dia berpuasa.”[3]
Bagaimana puasa sedemikian berpesan sehingga dapat mengatasi kesulitan? Puasa membawa manusia ke mana sehingga dia akan dapat mengatasi kesulitan? Padahal ini baru pada tataran imsak secara fisik, dan belum masuk pada dimensi spiritualnya yang menjanjikan kedudukan dan kesempurnaan yang jauh berada di atas dimensi materi.
Jawabannya jelas bahwa ketika manusia berpuasa untuk Allah maka Dia akan memberikan pertolongan untuk segala urusan yang memang tidaklah lepas dari kekuasaaNya, sebagaimana disebutkan dalam kalimat dalam doa para bijakawan Islam ;
يا مسهل الامور الصعابز
“Wahai Zat yang memudahkan perkara-perkara yang sulit.”
Dalam al-Quranpun disebutkan;
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ.
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.”[4]
Nabi Musa as pernah memohon kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي وَاجْعَل لِّي وَزِيرًا مِّنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيرًا وَنَذْكُرَكَ كَثِيرًا إِنَّكَ كُنتَ بِنَا بَصِيرًا.
“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami.”[5]
Allah SWT menjawab;
قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَىٰ.
“Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.”[6]
Demikian pula berkenaan dengan Rasulullah SAW Allah SWT berfirman;
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ.
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu, Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”[7]
Firnan-firman suci ilahi ini mengajarkan kepada cara-cara untuk mendapatkan pertolongan dari Allah SWT, dan ibadah semisal puasa memiliki daya batiniah yang akan membuat pengamalnya dapat mengatasi faktor-faktor alamiah dalam berbagai kesulitan, dengan seizinNya.
Referensi:
[1] QS. Al-Fatihah [1]: 5.
[2] QS. Al-Baqarah [2]: 45.
[3] Al-Kafi, jilid 4, hal. 63.
[4] QS. Al-Lail [92]: 5-7.
[5] QS. Thaha [20]; 26-35
[6] QS. Thaha [20]; 36:
[7] QS. Alalm nashrah [94]: 1 – 4.
Doa Para Malaikat
Dalam hadis disebutkan bahwa para malaikat berdoa untuk kebaikan orang-orang yang menjalankan ibadah puasa. Rasulullah saw bersabda; “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepada para malaikat agar berdoa untuk orang-orang yang berpuasa.” Beliau juga bersabda; “Jibril telah memberitahu aku dari Tuhannya bahwa Dia berfirman; ‘Aku tidak memerintahkan kepada para malaikatku berdoa untuk seseorang di antara hambaKu kecuali aku kabulkan doa mereka untuknya.”[1]
Di dunia ini jika daun dapat dengan mudah menjadi sutera maka manusiapun bisa menjadi seperti malaikat. Al-Quran menyebutkan bahwa di dalam surga terdapat permadani yang sebelah dalamnya adalah sutera. Allah SWT berfirman:
مُتَّكِئِينَ عَلَىٰ فُرُشٍ بَطَائِنُهَا مِنْ إِسْتَبْرَقٍ.
“Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera.”[2]
Disebutkan bahwa di sebelah dalamnya adalah sutera, lantas apa bagian permukaannya? Al-Quran tidak menyebutkan apa atau seperti apa bagian luarnya, sebab di alam ini tidak ada rajutan yang lebih mewah daripada rajutan sutera sehingga al-Quran menjadikan sutera sebagai iming-iming bagi manusia. Karena itu, untuk mengetahui bagian luarnya manusia dipersilakan masuk sendiri ke dalam surga. Kemudian, sutera pada permadani surga itu dibuat dan dirajut bukan oleh ulat, melainkan oleh ibadah semisal shalat dan puasa. Sutera yang dibuat oleh satu ulat bisa dirusak oleh ulat lain, sedangkan sutera yang dibuat dan dirajut oleh shalat dan puasa sama sekali tak kenal kumuh dan rusak.
Sungguhpun demikian, semua ini baru berkenaan dengan kenikmatan ragawi, belum menyentuh kenikmatan “surga pertemuan dengan Sang Pencipta” (jannat al-liqa’) seperti yang diisyaratkan dalam hadis qudsi: “Puasa adalah untukku, dan Aku Sendiri yang akan membalasnya,” atau “Akulah balasannya.” Nah, doa yang dipanjatkan oleh para malaikat adalah doa yang berkenaan dengan kenikmatan “jannat al-liqa’”.
Mengenai para malaikat Allah SWT berfirman:
وَمَا مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ.
“Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.”[3]
Setiap malaikat memiliki kedukakannya masing-masing, sementara malaikat yang diperintahkan untuk berdoa untuk orang yang berpuasa bukanlah malaikat yang diperintahkan berdoa untuk orang yang beribadah lainnya. Jenjang para malaikat serta doa-doa mereka bervariasi.
Karena itu, seorang Muslim harus melihat aspek batiniah puasa, dan tidak berkutat hanya pada aspek lahiriah berupa menahan lapar dan haus. Dalam konteks ini, jangan sampai dalam pikirannya terlintas sesuatu yang tidak diridhai Allah, karena Dia mengetahui apa saja yang terlintas dalam pikiran hambaNya.
Puasa orang kebanyakan berbeda dengan puasa kalangan khusus, dan puasa kalangan khususpun berbeda dengan kalangan yang lebih khusus (akhash). Puasa yang dilakukan karena riya’ atau pencitraan diri jelas tidak akan menghasilkan apa-apa, karena dia terjauh dari puasa batin, meskipun secara fisik berpuasa.
Perpisahan Dengan Bulan Suci
Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as menyebut bulan suci Ramadhan sebagai ied atau hari raya bagi para wali Allah. Dalam kumpulan doa beliau yang berjudul al-Shahifah al-Sajjadiyyah terdapat doa khusus perpisahan dengan bulan suci. Di bagian awal doa ini disebutkan berbagai anugerah nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepada hambaNya secara cuma-cuma (ibtida’i) , bukan karena ada pamrih (istihqaqi). Setelah itu baru disebutkan bahwa salah satu anugerah nikmat terbesar Allah SWT bagi hambaNya antara lain ialah bulan suci Ramadhan dan ibadah puasa di bulan ini.[4]
Betapa tidak, jangankan amal ibadah semisal shalat dan sedekah, bernafas dan tidurpun bahkan dicatat sebagai ibadah di bulan ini, sebagaimana disebutkan dalam sabda terkenal Nabi saw;
أنفاسكم فيه تسبيح، ونومكم فيه عبادة.
“Nafas-nafasmu di dalamnya adalah tasbih, dan tidurmu di dalamnya adalah ibadah.”
Idul Fitri yang datang menyusul bulan suci adalah hadiah atas amal ibadah yang telah dilakukan selama bulan ini. Hari raya ini adalah buah yang dihasilkan bulan suci Ramadhan. Dengan demikian kebesaran Idul Fitri kembali kepada keagungan bulan suci ini.
Referensi:
[1] Raudhat al-Muttaqin, jilid 3, hal. 228.
[2] QS. Al-Rahman [55]: 54.
[3] QS. Al-Shaffat [37]: 164.
[4] Al-Shahifah al-Sajjadiyyah, Doa 45.
Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as dalam Doa Wada’ (perpisahan dengan bulan suci Ramadhan) mula-mula menyebutkan berbagai anugerah nikmat Allah SWT lalu berucap kepadaNya kurang lebih;
“Ya Allah, berbagai kenikmatan telah Engkau berikan kepada kami, satu di antaranya yang terbesar ialah kenikmatan bulan suci Ramadhan, dan satu di antara keutamaan yang terbesar ialah puasa yang telah Engkau tetapkan di bulan ini. Dan tiada saat yang lebih agung daripada saat bulan Ramadhan.
“Terlepas dari keberadaan Lailatul Qadar di dalamnya, bulan ini merupakan bulan di mana Engkau menurunkan kitab suci al-Quran sehingga sedemikian besar anugerah yang tercurah di bulan ini. Jika seseorang bersama al-Quran maka dia akan terbang bersamanya, dan dengan ini pula Engkau memberi anugerah kepada umat Islam, sebab umat-umat lain tidaklah berpuasa di bulan Ramadhan sehingga ini menjadi kenikmatan yang Engkau khususkan untuk umat Islam. ”[1]
Doa atau salam perpisahan dengan Ramadhan adalah doa bagi orang yang merasa bahagia di bulan suci ini karena jika tidak demikian maka salam dan ekspresi sedih atas perpisahan menjadi tidak bermakna. Ini sama halnya dengan orang yang akan berpisah lama dengan sahabat atau kekasih yang dicintainya. Keindahan di saat-saat bersama kekasih membuatnya berat dan seakan tak percaya akan berpisah.
Imam al-Sajjad as memanjatkan doa itu dengan jiwa yang remuk redam. Beliau berucap: “Bulan Ramadhan telah bersama kami sehingga patut disyukuri karena ia datang membawa rahmat, menjadi kawan yang baik bagi kami, dan dalam bercengkrama dengannya kami telah meraih berbagai keutamaan dan nikmat. Ia adalah kawan yang menghadirkan rahmat, ampunan dan berkah…. Kemudian ia pergi meninggalkan kami dan membiarkan kami seorang diri di sepanjang waktu, dan kini kami menyampaikan salam perpisahan dengannya.”
Rasulullah saw dalam Khutbah Syakbaniyyah untuk menyambut tibanya bulan suci Ramadhan bersabda; “Telah datang kepada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan ampunan.”
Syeikh Muhammad Hasan al-Najafi, penulis Jawahir al-Kalam, menyebutkan, “Mengenai keutamaan puasa cukuplah kiranya bahwa manusia menjadi mirip dengan malaikat dari segi bahwa dia telah meninggalkan banyak perbuatan. Dia menjadi lebih mirip dengan malaikat ketika dia bebas dari beban memikirkan urusan perut.” [2]
Beliau kemudian menganjurkan, “Setelah Idul Fitri, berpuasalah enam hari sejak awal-awal bulan Syawal sebagai pengantar perpisahan. Seseorang ketika akan berpisah dengan sahabat tercintanya maka akan mengantarnya beberapa langkah. Imam al-Sajjadpun berucap, ‘Setelah ia pergi kami menjadi tercekam rasa takut, karena kehilangan sahabat tercinta dan penuh berkah.’ Inilah sebab mengapa di akhir bulan suci Ramadhan para wali Allah merasa berada di pengasingan.”
Imam Jakfar al-Shadiq as juga mengungkapkan rasa sedihnya kepada Allah SWT dalam perpisahan dengan bulan suci. Beliau berucap; ‘Ya Allah, Engkau dalam kitab suciMu telah berfirman bahwa di bulan Ramadhan Engkau telah menurunkan al-Quran yang merupakan sumber petunjuk dan keberuntungan bagi manusia serta pegangan untuk mengetahui yang benar di antara yang batil. Sekarang bulan Ramadhan segera berakhir, maka aku memohon kepadamu bahwa jika pada diriku masih terdapat dosa dan belum jua Engkau ampuni atau Engkau akan mengazabku atas dosa ini maka hingga terbit fajar malam (terakhir) bulan suci ini ampunilah dosa-dosaku, dan maafkanlah kekuranganku, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”[3]
Sebagai penutup, mari kita simak satu hadis Nabi SAW di mana sabahat mulia beliau Jabir bin Abdullah al-Ansari ra meriwayatkan: Pada hari Jumat terahir (bulan Ramadhan) aku menghadap Rasulullah saw. Ketika memandangku beliau bersabda;
اللهمَّ لا تجعله آخر العهد من صيامنا إيَّاه، فإن جعلته فاجعلني مرحومًا ولا تجعلني محرومًا.
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan bulan Ramadhan ini sebagai saat terakhir puasa kami di dalamnya. Jika Engkau jadikan demikian maka jadikanlah aku orang yang disayangi dan jangan jadikan aku sebagai orang yang diabaikan.”
Beliau melanjutkan;
فإنَّه من قال ذلك ظفر بإحدى الحُسنيين، إمَّا ببلوغ شهر رمضان، وإمَّا بغفران الله ورحمته.
“Barangsiapa berkata demikian maka dia akan mendapat satu di antara dua kebaikan; mencapai bulan Ramadhan, atau diampuni dan dikasihi oleh Allah.”[4]
Referensi:
[1] Al-Shahihfah al-Sajjadiyyah, Doa 45.
[2] Jawahir al-Kalam, jilid 16, hal. 181.
[3] Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jilid 2, hal. 164.
[4] Bihar al-Anwar, jilid 98, hal. 172.
(Safina-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email