Pesan Rahbar

Home » » Membantah Syubhat Orang Yang Mengaku ASWJ (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) Terhadap Hadis Kisa’

Membantah Syubhat Orang Yang Mengaku ASWJ (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) Terhadap Hadis Kisa’

Written By Unknown on Friday, 21 July 2017 | 10:25:00


Tulisan ini kami buat dengan tujuan membantah syubhat yang dilontarkan orang yang mengaku dirinya Ahlus Sunnah


tetapi sebenarnya ia mengidap penyakit khas salafy nashibi yaitu “syiahpobhia” [untuk selanjutnya kami sebut ia aswj]. Ia mengutip hadis-hadis Kisa’ yang kami tulis kemudian sok membantah kami dengan gaya bantahan terhadap Syiah.

Perlu kami ingatkan kepada pembaca yang terhormat bahwa kami bukanlah penganut Syiah. Kami berhujjah dengan hadis kisa’ semata-mata karena kecintaan kami kepada Ahlul Bait. Kami tidak mengusung mazhab tertentu, kami hanya menyampaikan kebenaran terlepas dari apakah kebenaran itu memihak mazhab tertentu atau tidak.

Perkara Syiah meyakini kemaksuman Ahlul Bait atau menjadikan itu sebagai akidah maka itu adalah urusan mazhab Syiah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kami. Hadis kisa’ yang kami tulis adalah hujjah bagi kami sedangkan Syiah memiliki hujjah sendiri yaitu hadis-hadis kisa’ yang jumlahnya banyak dalam kitab-kitab mereka. Maka aneh dan nampak skizofrenik jika hadis yang kami tulis dibantah dengan bantahan terhadap Syiah.

Pada tulisan ini kami hanya akan membahas hadis-hadis yang dilemahkan dengan cara yang ngawur oleh aswj. Aswj menyatakan bahwa hadis kisa’ adalah hujjah kemaksuman ahlul bait di sisi Syiah dan menjadi akidah di sisi mereka. Maka kami katakan, kalau begitu apa urusannya dengan kami.

Hadis kisa’ di sisi kami adalah bukti bahwa ahlul bait adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah SWT. Kesucian itu adalah keutamaan yang besar bagi mereka seiring dengan status mereka sebagai sumber pedoman bagi umat islam. Perkara anda aswj, sunni, salafy atau syiah atau siapa saja mau menyebut kesucian itu sebagai kemaksuman maka itu tidak ada sangkut pautnya dengan kami.

Mengapa? Karena kemaksuman itu telah diartikan dengan cara yang berbeda-beda baik oleh sunni, salafy, nashibi, syiah dan bahkan mungkin oleh si aswj ini. Silakan para pembaca tanyakan pada aswj kemaksuman versi apa yang ia anut.
1. Apakah kemaksuman dalam arti tidak mungkin salah dan lupa?. Kalau begitu bagaimana dengan hadis yang menyebutkan para Nabi terbukti melakukan kesalahan dan pernah lupa.
2. Apakah kemaksuman itu diartikan tidak pernah berdosa?. Kalau begitu bagaimana dengan para Nabi yang mengakui bahwa mereka pernah berbuat dosa dan bertaubat kepada Allah SWT.
3. Apakah kemaksuman itu berarti tidak pernah marah?. Kalau begitu bagaimana dengan para Nabi yang dikabarkan ternyata pernah marah.
4. Apakah kemaksuman itu berarti dijaga oleh Allah SWT?. Kalau begitu silakan jelaskan apa tepatnya yang dijaga oleh Allah SWT jika para Nabi terbukti pernah salah, lupa, berbuat dosa dan marah.


Kalau aswj itu beranggapan para Nabi tidak pernah salah, tidak pernah lupa, tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah marah karena mereka maksum maka nampaknya ia sendiri meyakini kemaksuman versi Syiah yang sering digembar-gemborkan oleh salafy nashibi. Intinya sebelum anda aswj sibuk mengulang-ngulang kata kemaksuman maka ada baiknya anda definisikan kemaksuman yang anda yakini sebagai akidah.

Selanjutnya kami akan menyorot penggunaan kata akidah yang disebutkan oleh aswj dimana ia menyatakan hadis untuk masalah akidah harus shahih dan qathi’. Ada beberapa hal yang perlu diluruskan terlebih dahulu

Apa yang dimaksud sebagai akidah oleh aswj?. Apakah akidah yang dimaksud adalah sesuatu yang jika tidak diyakini akan mengeluarkan kita dari agama islam?. Apakah akidah yang dimaksud adalah perkara yang tidak diperbolehkan khilaf [berselisih] diantara sesama umat islam?. Apakah akidah itu adalah akidah versi aswj asyariyah wa maturidiah? Atau apakah akidah itu akidah versi salafy wa nashibi?.

Ambil contoh sederhana apakah keyakinan “semua sahabat adalah adil” versi salafy termasuk akidah?. Lantas apakah ada dalil shahih dan qathi’ tentang keadilan sahabat?. Salafy nashibi akan mengutip berbagai ayat Al Qur’an dan hadis tentang keutamaan sahabat tetapi mereka lupa bahwa ada ayat Al Qur’an dan hadis yang menunjukkan keburukan sebagian sahabat.

Ambil contoh lain, apakah “berpegang pada hukum islam” adalah akidah? Seandainya tidak berpegang pada hukum islam apakah itu berarti melanggar akidah. Apakah tawasul itu termasuk perkara akidah?. Lantas bagaimana dengan sunni asyariyah yang membolehkan tawasul dan salafy yang melarang tawasul?. Apakah keduanya sunni asyariyah dan salafy berbeda akidah?. Apakah mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas sahabat lain termasuk perkara akidah?. Apakah mengakui keutamaan Muawiyah termasuk perkara akidah?. Daftar pertanyaan ini dapat kami buat lebih panjang untuk membangunkan aswj dari tidurnya. Ia sok berhujjah dengan kata “akidah” padahal apa maksud akidah yang ia katakan itu?. Apakah ia meyakini kemaksuman para Nabi dan menjadikannya sebagai akidah?. Kalau begitu apa dalil shahih dan qathinya menurut anda aswj?.

Ada lagi yang lucu, aswj mengatakan bahwa dalam perkara akidah hadisnya mesti shahih dan qathi. Mengapa kami katakan lucu karena dulu kami pernah mengikuti diskusi soal ini antara orang yang mengaku sunni asyariyah dan orang yang mengaku salafy. Menurut sunni asyariyah hadis dalam masalah akidah harus mutawatir tidak cukup hanya dengan hadis ahad yang shahih sedangkan menurut salafy, hadis dalam masalah akidah bisa dengan hadis ahad yang shahih tidak perlu mutawatir. Dan memang terjadi perdebatan diantara para ulama apakah hadis ahad bisa dijadikan hujjah dalam akidah?. Dalam perkara ini si aswj ini mengaku asyariyah tetapi sejatinya salafy. Atau mungkin sebenarnya hanya orang awam sok mengaku ahlussunnah dan sok mengaku asyariyah maturidiyah.

Kami tidak akan berpanjang-lebar membahas soal akidah atau bukan. Hujjah kami sangat sederhana yaitu kesucian Ahlul Kisa’. Apa dalilnya? Yaitu Al Qur’an Al Ahzab 33 dan hadis Kisa’. Apakah dalilnya shahih? Tentu saja dan dalam keilmuan yang kami pelajari, hadis shahih itu ada dua macam yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Apakah hadis hasan bisa digunakan? Tentu saja karena dalam ilmu hadis yang kami pelajari, hadis hasan bisa dijadikan hujjah.


Mari kita masuk ke bagian inti yaitu hadis-hadis yang aswj kutip dan ia lemahkan dengan cara yang ngawur seolah-olah ilmiah padahal cuma taklid tanpa meneliti dengan baik.

وحدثنا ابن أبي داود أيضا قال حدثنا سليمان بن داود المهري قال حدثنا عبد الله بن وهب قال حدثنا أبو صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء عن عمرة الهمدانية قالت قالت لي أم سلمة أنت عمرة ؟ قالت : قلت نعم يا أمتاه ألا تخبريني عن هذا الرجل الذي أصيب بين ظهرانينا ، فمحب وغير محب ؟ فقالت أم سلمة أنزل الله عز وجل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا وما في البيت إلا جبريل ورسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهما وأنا فقلت : يا رسول الله أنا من أهل البيت ؟ قال أنت من صالحي نسائي قالت أم سلمة : يا عمرة فلو قال نعم كان أحب إلي مما تطلع عليه الشمس وتغرب

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Mahriy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shakhr dari Abu Muawiyah Al Bajaliy dari Sa’id bin Jubair dari Abi Shahba’ dari ‘Amrah Al Hamdaniyah yang berkata Ummu Salamah berkata kepadaku “engkau ‘Amrah?”. Aku berkata “ya, wahai Ibu kabarkanlah kepadaku tentang laki-laki yang gugur di tengah-tengah kita, ia dicintai sebagian orang dan tidak dicintai oleh yang lain. Ummu Salamah berkata Allah SWT menurunkan ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, dan ketika itu tidak ada di rumahku selain Jibril, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan, Husein dan aku, aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau termasuk istriku yang shalih”. Ummu Salamah berkata “wahai ‘Amrah sekiranya Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab iya niscaya jawaban itu lebih aku sukai daripada semua yang terbentang antara timur dan barat [dunia dan seisinya] [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/248 no 1542].


Hadis ini kedudukannya shahih sesuai dengan standar ilmu hadis. Aswj melemahkan hadis ini karena ‘Amrah Al Hamdaniyah majhul dimana ia hanya ditautsiq oleh Ibnu Hibban dan Al Ijli. Aswj mengatakan keduanya dikenal mutasahil dalam penilaian tsiqat.

Pernyataannya Ibnu Hibban dan Al Ijli dikenal mutasahil patut diberikan catatan. Ibnu Hibban memang dikenal mutasahil dalam arti ia memasukkan dalam kitabnya Ats Tsiqat perawi yang ia sendiri menganggapnya majhul atau tidak dikenal. Ibnu Hibban mengakui bahwa perawi yang tidak ternukil jarh-nya maka ia dianggap adil meskipun perawi tersebut majhul. Standar Ibnu Hibban ini tidak disepakati oleh para ulama sehingga banyak yang menuduhnya tasahul.

Apa yang terjadi pada Ibnu Hibban sangatlah berbeda dengan Al Ijli. Tidak ada keterangan dalam kitab Al Ijli bahwa ia menetapkan standar yang sama dengan Ibnu Hibban yaitu menganggap perawi majhul sebagai tsiqat. Tidak ada satupun ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin yang menyatakan Al Ijli tasahul. Yang menuduh Al Ijli tasahul adalah sebagian ulama salafy yaitu Al Mu’allimiy dan Al Albaniy [diikuti oleh ulama salafy lainnya]. Sebagian ulama lain tidak menerima tuduhan tasahul terhadap Al Ijli seperti Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh. Bahkan ulama hadis terkenal Ibnu Hajar Al Asqallaniy tidak menganggap Al Ijli tasahul sebaliknya ia malah sering sekali berhujjah dengan tautsiq Al Ijli.

Perkara ini adalah fakta ilmiah yang tidak dikenal oleh pengikut salafy yang baru belajar ilmu hadis. Ilmu hadis mereka murni taklid buta dari syaikh syaikh salafy mereka. Kami akan buktikan kepada para pembaca bahwa di sisi Ibnu Hajar, pentautsiqan Al Ijli juga menjadi hujjah.

Ibnu Hajar dalam kitabnya At Tahdzib menyebutkan biografi Hujr bin Qais Al Hamdaniy perawi Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Majah seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi dan telah meriwayatkan darinya dua orang perawi. Al Ijli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 394]. Ibnu Hajar tidak menyebutkan ulama lain yang mentautsiqnya, ia hanya mengutip Al Ijli dan Ibnu Hibban. Lantas bagaimana pendapat Ibnu Hajar sendiri? Apakah seperti aswj, Ibnu Hajar mengganggap Hujr bin Qais majhul?. Jawabannya tidak. Dalam kitabnya At Taqrib, Ibnu Hajar menyatakan Hujr bin Qais tsiqat [At Taqrib 1/191]. Masih banyak contoh lain:
1.Hassan bin Adh Dhamriy, perawi Nasa’i disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia termasuk tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi, telah meriwayatkan darinya satu orang yaitu Abu Idris Al Khaulaniy. Nasa’i berkata “tidak masyhur”. Al Ijli berkata “orang syam yang tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 455]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/198].
2. Hafsh bin Umar bin Ubaid Ath Thanaafisiy, perawi Tirmidzi disebutkan Ibnu Hajar tiga orang meriwayatkan darinya. Ibnu Hajar hanya mengutip Al Ijli yang menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 715]. Kemudian dalam At Taqrib Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/227].
Rabii’ bin Barra’ bin ‘Aazib perawi Tirmidzi dan Nasa’i disebutkan Ibnu Hajar dia seorang tabiin yang meriwayatkan dari ayahnya [sahabat Nabi] dan telah meriwayatkan darinya Abu Ishaq. Al Ijli berkata “orang kufah tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 463]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/293].
4. Rabi’ah bin Naajid Al ‘Azdiy perawi Nasa’i dalam Khasa’is Aliy disebutkan Ibnu Hajar dia seorang tabiin yang meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan telah meriwayatkan darinya Abu Shaadiq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 498]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/298].
5. Sulaiman bin Sinan Al Muzanniy perawi Nasa’i disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi dan telah meriwayatkan darinya dua orang perawi. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan Al Ijli berkata “tabiin mesir yang tsiqat” [At Tahdzib juz 4 no 336]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/386].
6. Ummul Aswad Al Khuza’iyah perawi Ibnu Majah, Ibnu Hajar hanya mengutip Al Ijli yang menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 12 no 2912]. Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib “tsiqat” [At Taqrib 2/664].

Contoh-contoh diatas kami kutip sebagai bukti bahwa Ibnu Hajar mengambil perkataan Al Ijli sebagai hujjah dan tidak menganggapnya tasahul seperti aswj. Selain Ibnu Hajar ternyata Adz Dzahabiy juga mengambil tautsiq Al Ijli dan tidak menuduhnya tasahul.
1. Adz Dzahabiy dalam Al Mizan biografi Hujayyah bin Adiy Al Kindiy mengutip Abu Hatim yang menyatakan ia majhul tidak bisa dijadikan hujjah dengannya. Adz Dzahabiy membantahnya dengan berkata “telah meriwayatkan darinya Al Hakam, Salamah bin Kuhail dan Abu Ishaq, ia seorang yang shaduq insya Allah sungguh Al Ijli telah berkata tentangnya “tsiqat” [Mizan Al Itidal juz 1 no 1759].
2. Adz Dzahabi dalam Al Mizan biografi Abdullah bin Farukh At Taimiy mengutip Abu Hatim yang berkata majhul. Adz Dzahabi membantahnya dengan berkata “ia shaduq masyhur telah meriwayatkan darinya jama’ah dan Al Ijli menyatakan ia tsiqat” [Mizan Al Itidal juz 2 no 4505]. Adz Dzahabiy hanya mengutip tautsiq dari Al Ijli dan dalam Al Kasyf ia berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 2906]
3. Adz Dzahabi dalam Al Mizan biografi ‘Abdurrahman bin Maisarah Al Himshiy mengutip pernyataan Al Ijli “tsiqat” dan Ibnu Madini berkata “majhul” [Mizan Al Itidal juz 2 no 4986]. Adz Dzahabiy hanya mengutip tautsiq dari Al Ijli kemudian ia menyimpulkan dalam Al Kasyf tentang ‘Abdurrahman bin Maisarah bahwa ia tsiqat [Al Kasyf no 3327]

Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa di mata Adz Dzahabiy tautsiq Al Ijli tetap dapat dijadikan hujjah. Adz Dzahabiy tidak menganggapnya tasahul bahkan ia mendahulukan tautsiq Al Ijli daripada pernyataan majhul Abu Hatim.

Mengapa ada ulama semisal Al Mu’allimiy dan Al Albaniy yang menganggap Al Ijli tasahul?. Jawabannya karena terdapat sebagian perawi yang dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli tetapi dinyatakan majhul dan dhaif oleh ulama lain.

Hal ini jelas bukanlah bukti kuat bahwa Al Ijli tasahul, perkara ini adalah perbedaan ijtihad yang biasa terjadi diantara para ulama jarh dan ta’dil. Ada sebagian ulama yang menta’dilkan perawi tetapi dalam pandangan ulama lain perawi tersebut majhul atau mendapat predikat jarh. Perkara seperti ini tidak hanya terjadi pada Al Ijli, tetapi juga pada ulama lain seperti Abu Hatim, Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya.

Perbedaan seperti itu hendaknya disikapi secara metodologis, kami pribadi juga tidak semata-mata membela Al Ijli secara buta. Jika seandainya ternukil pendapat ulama lain yang bertentangan dengan pendapat Al Ijli maka hendaknya ditimbang secara adil, dinilai mana yang lebih kuat atau rajih. Tetapi jika tidak ternukil pendapat ulama yang bertentangan dengan Al Ijli maka tautsiq Al Ijli dapat diterima. Inilah pendapat yang benar dan kami ambil perihal tautsiq Al Ijli.


Aswj yang bisanya cuma bilang majhul sebenarnya tidak paham kriteria majhul dalam ilmu hadis dan pembahasannya. Majhul itu ada dua macam yaitu majhul ‘ain dan majhul hal atau mastur. Perawi yang diriwayatkan oleh dua orang perawi tsiqat maka terangkat majhul-nya yaitu majhul ‘ain dan kedudukannya adalah majhul hal atau mastur. Apakah perawi dengan kedudukan majhul hal tertolak?. Ia memang tidak bisa dijadikan hujjah tetapi bisa dijadikan penguat syawahid atau mutaba’ah. Inilah yang dikenal dalam ilmu hadis. Selain itu di sisi para ulama, terdapat nilai tambah jika perawi mastur tersebut adalah tabiin awal yang bertemu dan meriwayatkan dari para sahabat.

Syaikh Al Albani sendiri menilai hadis yang diriwayatkan oleh tabiin yang mastur atau majhul hal dan dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat sebagai hadis hasan. Inilah contohnya:
1. Hadis Abu Sa’id Al Ghifari, tabiin yang meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat dan biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Syaikh Al Albani menguatkan hadisnya dan menilainya hasan [Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 680].
2. Hadis Hasan bin Muhammad Al Abdiy, tabiin yang telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat dan biografinya disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat. Syaikh Al Albani menghasankan hadisnya [Irwa’ Al Ghalil no 225].


Jadi kepada aswj kami sarankan agar perbanyak belajar ilmu hadis jangan cuma taklid pada perkataan salafy nashibi dan da’i-da’i mereka yang sok ilmiah. Tidak perlu anda sok mengatasnamakan diri sebagai ahlus sunnah wal jamaah apalagi dengan embel-embel Asy’ariyah Maturidiyah. Bersikap jantanlah dan jangan berlindung dibalik nama besar mazhab tertentu.


حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat ini turun untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain yaitu Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227].

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Ja’far bin Abdurrahman Al Bajalliy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 6 no 7050]. Ia seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat Nabi yaitu Ummu Thariq maula Sa’ad bin Ubadah. Telah meriwayatkan darinya Al A’masy dimana ia berkata tentang Ja’far bin ‘Abdurrahman “Syaikh” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 2 no 2174]. Lafaz “syaikh” dalam ilmu hadis dikenal sebagai lafaz ta’dil yang ringan.

Al Haitsami membawakan hadis Ja’far dari Ummu Thariq dan berkata “riwayat Ahmad dan Thabraniy dalam Al Kabir, para perawinya tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 2/361 no 3823]. Hal yang sama juga diungkapkan Al Buushiriy ketika membawakan hadis Ja’far dari Ummu Thariq, ia berkata “sanad ini diriwayatkan orang-orang tsiqat”[Ittihaaful Khairah 6/16 no 5304]. Hal ini menunjukkan bahwa Al Haitsami dan Al Buushiriy menganggap Ja’far bin ‘Abdurrahman sebagai perawi tsiqat. Hadis Ja’far ini dikuatkan oleh hadis berikut:

أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَفْصٍ الْمَالِينِيُّ ، أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ رَشِيقٍ بِمِصْرَ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ الرَّازِيُّ ، حَدَّثَنِي أَبُو أُمَيَّةَ عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأُمَوِيُّ ، حَدَّثَنَا عَمِّي عُبَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ ، عَنِ الثَّوْرِيِّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، : أَنَّ رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” دَعَا عَلِيًّا ، وَفَاطِمَةَ ، وَحَسَنًا ، وَحُسَيْنًا ، فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ ، ثُمَّ تَلا : إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا قَالَ وَفِيهِمْ أُنْزِلَتْ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Sa’d Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Hafsh Al Maaliiniy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Hasan bin Rasyiiq di Mesir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id bin Basyiir Ar Raaziy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Umayyah ‘Amru bin Yahya bin Sa’id Al Umawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku ‘Ubaid bin Sa’id dari Ats Tsawriy dari ‘Amru bin Qais dari Zubaid dari Syahr bin Hausab dari Ummu Salamah radiallahu ‘anha bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husein kemudian menyelimutinya dengan kain kemudian membaca “Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” dan berkata “untuk merekalah turunnya ayat” [Muudhih Awham Jami’ Wal Tafriq Al Khatib Baghdad 2/281].

Hadis riwayat Al Khatib ini diriwayatkan para perawi yang tsiqat kecuali Syahr bin Hausyab, ia seorang yang shaduq tetapi diperbincangkan oleh sebagian ulama. Syahr bin Hausab perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ahmad berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat sebagian mencelanya”. As Saji berkata “dhaif tidak hafizh”.Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy berkata “tidak kuat dalam hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibban berkata “ia sering meriwayatkan dari perawi tsiqat hadis-hadis mu’dhal dan sering meriwayatkan dari perawi tsabit hadis yang terbolak-balik. Al Baihaqi berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 4 no 635]. Ibnu Hajar berkata “shaduq banyak melakukan irsal dan wahm” [At Taqrib 1/423]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 162.

Kedua hadis Ummu Salamah riwayat Ath Thahawiy dan riwayat Al Khatib saling menguatkan sehingga kedudukannya menjadi shahih lighairihi. Hadis Ummu Salamah dikuatkan pula oleh hadis Abu Sa’id berikut:

حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceirtakan kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi ‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun untuk lima orang yaitu Rasulullah SAW Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhum [Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375].

Hadis Abu Sa’id di atas diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat dan shaduq kecuali Athiyyah Al ‘Aufiy, ia seorang yang diperbincangkan. Pada dasarnya ia seorang tabiin yang shaduq tetapi dituduh melakukan tadlis syuyukh sehingga banyak yang mendhaifkannya. Kami sudah pernah membahas kedudukannya secara khusus. Secara garis besar pendapat para ulama terhadapnya adalah:
1. Mereka yang menta’dilkannya seperti Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Ibnu Ma’in, Tirmidzi, Ibnu Syahiin, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hajar.
2. Mereka yang melemahkannya karena ia melakukan tadlis syuyukh seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, dan Sufyan.
3. Mereka yang melemahkan dari segi dhabitnya atau dengan jarh mubham seperti Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Adiy.

Tuduhan tadlis syuyukh atas Athiyah Al Aufiy adalah tuduhan dusta dan mereka yang melemahkan Athiyah karena tadlis syuyukh telah keliru. Mengapa? karena tuduhan ini berasal dari Al Kalbi yang dikenal pendusta. Jadi tinggallah penta’dilan atas Athiyah dan kelemahan dari segi dhabitnya. Maka hadisnya hasan dengan adanya penguat atau jikapun dhaif ia bisa dijadikan i’tibar.

Secara keseluruhan hadis tersebut saling menguatkan maka turunnya al ahzab 33 untuk ahlul kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah shahih.

Aswj tidak memahami ilmu hadis dengan baik. Ilmu hadis yang ia pelajari adalah ilmu hadis versi salafy nashibi yang tidak bisa menerima hadis lemah walaupun memiliki syawahid dan mutaba’ah. Di sisi aswj hadis yang bisa dijadikan hujjah hanya hadis shahih yang para perawinya tsiqat tanpa cacat atau zero jarh-nya [ini ilmu hadis ala nashibi]. Mungkin aswj akan berdalih bahwa dalam masalah akidah hadisnya harus shahih qathi tanpa cacat sedikitpun.

Kami katakan itu adalah aturan anda sendiri dan tidak ada urusan dengan kami. Andalah yang sibuk bicara soal syiah padahal anda mengutip hadis yang kami tulis. Andalah yang sibuk bicara akidah padahal kami tidak menyinggungnya. Sejauh yang kami ingat pokok bahasan hadis kisa’ ini berkenaan dengan manaqib ahlul bait. Hadis dengan sedikit kelemahan dan saling menguatkan dapat terangkat kedudukannya sehingga menjadi shahih lighairihi dan dapat dijadikan hujjah. Jika anda aswj tidak paham maka silakan dibuka Ulumul hadis jangan cuma kopipaste nukilan para nashibi. Kelihatan sekali kalau anda tidak membaca sendiri apa yang anda tulis melainkan hanya mengutip sepotong-sepotong dari da’i salafy nashibi bahkan dari nashibi di luar negri sana.

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا العباس بن محمد بن الدوري ثنا عثمان بن عمر ثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن دينار ثنا شريك بن أبي نمر عن عطاء بن يسار عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق

Telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad bin Ad Duuriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Utsman bin Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik bin Abi Namr dari Atha’ bin Yasaar dari Ummu Salamah radiallahu ‘anha bahwa ia berkata “di rumahku turun ayat sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu Ahlul Bait, [Ummu Salamah] berkata “maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan berkata “ya Allah mereka adalah ahlul baitku”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah, bukankah aku termasuk ahlul bait”. Beliau berkata “sesungguhnya kamu keluargaku yang baik dan mereka adalah ahlul baitku, ya Allah keluargaku yang haq” [Al Mustadrak Ash Shahihain 3/278 no 3558].

Berkenaan dengan hadis di atas, Al Hakim berkata “hadis ini shahih dengan syarat Bukhari hanya saja ia tidak mengeluarkannya”. Adz Dzahabi berkata “atas syarat Muslim”.

Jika diteliti dengan baik hadis riwayat Al Hakim ini mengandung kelemahan yaitu ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Diinar, ia termasuk perawi Bukhari yang diperbincangkan. Ibnu Main berkata “disisiku terdapat kelemahan dalam hadisnya dan telah meriwayatkan darinya Yahya Al Qaththan”. Abu Hatim berkata “ada kelemahan padanya, ditulis hadisnya dan tidak dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy menyatakan ia termasuk perawi dhaif yang ditulis hadisnya. Abu Qasim Al Baghawiy berkata “shalih al hadits”. Ali bin Madini berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 6 no 422]. Ibnu Hibban berkata “tidak dapat dijadikan hujjah jika tafarrud” [Al Majruhin Ibnu Hibban 2/52]

Memang dalam riwayat ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Dinar yang lain nampak perbedaan lafaz jawaban Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu sebagaimana diriwayatkan Baihaqi,

قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا أَنَا مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ؟ قَالَ: بَلَى إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

[Ummu Salamah] berkata “wahai Rasulullah bukankah aku termasuk ahlul bait?. Beliau berkata “tentu jika Allah menghendaki” [Sunan Baihaqi 2/149].

Aswj dan nashibi yang dikutipnya beranggapan kalau lafaz ini saling bertentangan padahal sebenarnya akal mereka saja yang lemah. Sebelum kita mengatakan bertentangan ada baiknya kita pahami terlebih dahulu kedua lafaz tersebut baik-baik. Perhatikan lafaz pertama yaitu “sesungguhnya kamu keluargaku yang baik dan mereka adalah ahlul baitku, ya Allah keluargaku yang haq”.

Aswj [dan nashibi yang dikutipnya] bingung dengan lafaz ini karena terkesan membedakan antara “ahlu” dan “ahlul bait”. Pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama tetapi yang satu lebih luas maknanya dibanding yang lain. Kata “ahlu” lebih luas maknanya dibanding kata “ahlul bait” hal ini tergantung penggunaannya dalam kalimat. Kata “ahlu” bisa bermakna keluarga, kerabat bahkan pengikut sedangkan “ahlul bait” walaupun bermakna keluarga, ia bersifat lebih khusus. Jadi masih mungkin seseorang disebut ahlu Nabi tetapi bukan ahlul bait Nabi. Contoh : Watsilah bin Asqa’ dalam suatu hadis disebut juga ahlu Nabi tetapi ia bukanlah ahlul bait Nabi.

Seorang istri Nabi seperti Ummu Salamah, ia bisa disebut sebagai ahlu Nabi dan ahlul bait Nabi [hal ini tertera dalam hadis-hadis shahih]. Tentu saja Ummu Salamah sebagai istri Nabi paham bahwa ia termasuk ahlul bait Nabi. Tetapi dalam hadis Kisa’, Ummu Salamah bertanya “apakah aku termasuk ahlul bait” atau “bukankah aku termasuk ahlul bait” atau “apakah aku bersama mereka”. Pernahkah para pembaca memikirkan untuk apa Ummu Salamah mengajukan pertanyaan seperti itu padahal ia sebagai istri Nabi jelas adalah ahlul bait. Jawabannya karena ahlul bait yang dibicarakan dalam hadis kisa’ bukanlah ahlul bait secara umum yang maknanya sama dengan “ahlu” tetapi ahlul bait yang disucikan oleh Allah SWT.

Ahlul Bait dalam al ahzab 33 tidak diperuntukkan untuk semua keluarga dan kerabat Nabi yang disebut ahlul bait. Bukankah istri-istri Nabi, keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga Abbas dan Keluarga Aqil juga disebut ahlul bait Nabi?. Tetapi apakah al ahzab 33 diperuntukkan bagi mereka semua. Tidak, ayat tersebut ditujukan kepada ahlul bait yang khusus dan siapa mereka? Yaitu yang tertera dalam hadis Kisa’ dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan dengan jelas ahlul bait yang dimaksud.

Kembali ke lafaz “sesungguhnya kamu keluargaku yang baik”, ini maknanya sama dengan “kamu menuju kebaikan” atau “kamu di atas kebaikan” atau “sesungguhnya kamu termasuk istriku yang shalih”. Ini adalah keutamaan Ummu Salamah yang dikatakan Nabi untuk membedakan dengan keutamaan ahlul bait yang disucikan dalam al ahzab 33. Sehingga lafaz selanjutnya “ dan mereka adalah ahlul baitku, ya Allah keluargaku yang haq” maksud dari lafaz ini adalah mereka yang diselimuti Nabi adalah ahlul bait dalam al ahzab 33, yaitu keluarga [ahlu] Nabi yang berhak atas keutamaan tersebut diantara banyak ahlu Nabi lainnya.

Kemudian lafaz kedua yang dianggap bertentangan yaitu Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah bukankah aku termasuk ahlul bait?” menunjukkan bahwa Ummu Salamah tahu bahwa dirinya ahlul bait tetapi ia bertanya untuk mengetahui apakah ia termasuk ahlul bait yang disucikan dalam al ahzab 33. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “tentu jika Allah menghendaki”. Lafaz ini bermakna Ummu Salamah bukanlah ahlul bait yang dimaksud dalam al ahzab 33, karena pada saat itu Allah SWT telah menurunkan al ahzab 33 kepada Rasulullah dan Beliau telah mengetahui siapa ahlul bait yang dikehendaki Allah untuk disucikan sehingga Beliau mengumpulkan mereka, menyelimuti mereka dan membacakan ayat tersebut untuk mereka. Jadi untuk siapa al ahzab 33 diturunkan telah jelas diketahui Nabi.

Nah jika memang ayat tersebut diturunkan untuk Ummu Salamah selaku istri Nabi maka mengapa Nabi berkata “tentu jika Allah menghendaki”. Lafaz “jika Allah menghendaki” hanya ditujukan untuk perkara yang belum pasti kebenarannya atau belum pasti ketetapan Allah SWT atasnya. Jadi tidak lain lafaz ini menunjukkan bahwa Ummu Salamah pada dasarnya bukanlah ahlul bait yang dimaksud dalam al ahzab 33. Silakan perhatikan para pembaca, setelah dipahami dengan baik kedua lafaz yang menurut anggapan aswj dan nashibi bertentangan sebenarnya memiliki makna yang sama.

وأنبأنا أبو محمد عبد الله بن صالح البخاري قال حدثنا الحسن بن علي الحلواني قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن أم سلمة وعن داود بن أبي عوف عن شهر بن حوشب عن أم سلمة وعن أبي ليلى الكندي عن أم سلمة رحمها الله بينما النبي صلى الله عليه وسلم في بيتي على منامة له عليها كساء خيبري إذ جاءته فاطمة رضي الله عنها ببرمة فيها خزيرة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم ادعي زوجك وابنيك قالت : فدعتهم فاجتمعوا على تلك البرمة يأكلون منها ، فنزلت الآية : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل الكساء فغشاهم مهيمه إياه ، ثم أخرج يده فقال بها نحو السماء ، فقال اللهم هؤلاء أهل بيتي وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت : فأدخلت رأسي في الثوب ، فقلت : رسول الله أنا معكم ؟ قال إنك إلى خير إنك إلى خير قالت : وهم خمسة : رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ dari Ummu Salamah dan dari Dawud bin Abi ‘Auf dari Syahr bin Hawsyaab dari Ummu Salamah dan dari Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah “sesungguhnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berada di rumahku di atas tempat tidur yang beralaskan kain buatan Khaibar. Kemudian datanglah Fathimah dengan membawa bubur, maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “panggillah suamimu dan kedua putramu”. [Ummu Salamah] berkata “kemudian ia memanggil mereka dan ketika mereka berkumpul makan bubur tersebut turunlah ayat Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil sisa kain tersebut dan menutupi mereka dengannya, kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengulurkan tangannya dan berkata sembari menghadap langit “ya Allah mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah sesuci-sucinya. [Ummu Salamah] berkata “aku memasukkan kepalaku kedalam kain dan berkata “Rasulullah, apakah aku bersama kalian?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kamu menuju kebaikan kamu menuju kebaikan. [Ummu Salamah] berkata “mereka adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husein raidallahu ‘anhum” [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/383 no 1650].

Hadis di atas kedudukannya shahih diriwayatkan oleh Abu Laila Al Kindy, Syahr bin Hausab dan Atha’ dari Ummu Salamah dan merupakan hadis kisa’ Ummu Salamah yang paling shahih. Dalam hadis tersebut Ummu Salamah mengakui bahwa ahlul bait dalam al ahzab 33 adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

Banyak diantara ulama ahlussunnah yang mengakui bahwa al ahzab 33 turun untuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husain diantaranya Ath Thahawiy, Al Ajjuriy, Asy Syaukaniy, Ibnu Asakir dan Adz Dzahabiy. Adz Dzahabiy pernah berkata:

وفي فاطمة وزوجها وبنيها نزلت إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فجللهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بكساء وقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي

Dan untuk Fathimah, suaminya dan kedua anaknya turun ayat “sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyelimuti mereka dengan kain dan berkata “ya Allah mereka ahlulbaitku” [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 3/44].

Kami cukup heran dengan orang yang menyebut dirinya Aswj, ia mengatakan hanya syiah bertaraf junior saja yang mengutip riwayat-riwayat ini karena terdapat pembahasan yang menolaknya. Lucu sekali makhluk satu ini, seolah ia ingin mengesankan bahwa syiah senior, sesepuh atau ulama mereka mengutip riwayat-riwayat brilian yang tidak terdapat pembahasan menolaknya. Padahal dalam anggapan nashibi mau junior, senior, sesepuh atau ulama jika mereka Syiah semua pembahasannya harus ditolak karena Syiah itu menyesatkan.

Anggap saja toh Syiah menjadikan kemaksuman ahlul bait sebagai akidah, maka patutlah kita bertanya apa akidah syiah itu mereka ambil dari kitab hadis sunni?. Alangkah naifnya anda wahai aswj, Syiah punya banyak kitab hadis yang jadi pegangan buat mereka dan gak perlu jauh-jauh mengutip riwayat seperti yang kami kutip hanya untuk menegakkan akidah mereka. Yah memang kebanyakan pengikut nashibi menunjukkan ketidakwarasan jika menyangkut kebencian mereka terhadap Syiah. Hanya orang yang bebas dari kebencian yang bisa membahas permasalahan dengan tenang dan objektif.

Kami katakan pada anda wahai Aswj kami bukan bagian dari Syiah. Pandangan kami adalah apa yang kami peroleh dari penelitian terhadap kitab-kitab hadis dimana sampai saat ini masih kami baca dan pelajari. Kami bukan orang seperti anda yang gampangan dan bangga mengatasnamakan mazhab tertentu. Kami hanya mewakili diri kami sendiri.

Salam Damai

(Scondprince/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: