Kendati ditulis puluhan tahun lalu, namun semua yang diungkapkan buku ini seperti menembus dimensi ruang dan waktu.
Judul Buku : Slilit Sang Kiai
Penulis : Emha Ainun Nadjib. Penerbit: Mizan Pustaka Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2013 (Edisi ke-2). 310 halaman
Dapatkah seorang kiai tertahan masuk sorga? Dalam Slilit Sang Kiai, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) meniscayakan itu. Syahdan, seorang kiai pulang dari sebuah pesta kenduri. Karena merasa tidak nyaman dengan slilit yang menyelip di sela-sela giginya, tanpa meminta izin, sang kiai lantas memotong seruas kecil kayu dari pagar seorang warga kampung untuk dijadikan tusuk gigi. Ketika ia meninggal, tak ayal “soal sepele” itu ternyata bukan saja dipertanyakan Allah tapi menjadikannya tertunda untuk masuk sorga.
“Alangkah lebih malangnya nasib sang kiai, bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan…” tulis Cak Nun di buku tersebut.
Banyak yang terpukau dengan kisah alegoris tersebut termasuk bapak saya yang aktivis masjid kampung di Cianjur. Begitu terpukaunya dengan cerita yang disampaikan oleh Cak Nun itu, hingga ia ngotot meminta buku Slilit Sang Kiai yang kemarin kembali saya baca, supaya ditinggal dan tak usah saya bawa pulang ke Depok.
“Saya menjadi diingatkan kembali betapa banyaknya hal-hal kecil yang disepelekan ternyata “penting” di mata Allah. Buku ini seharusnya dibaca oleh para pejabat yang rawan melakukan korupsi,”ujar bapak saya yang sebelumnya tak mengenal nama Cak Nun.
Kendati ditulis puluhan tahun lalu, banyak hal yang dibahas Cak Nun dalam Slilit Sang Kiai ternyata masih relevan hingga kini. Najib Azca menyebut kerelevansian isi buku tersebut sebagai kelebihan yang dimiliki Cak Nun. Menurut dosen FISIP UGM itu, lewat tulisan-tulisannya, Cak Nun bukan saja mampu menampilkan ironi-ironi dalam bahasa yang sederhana dan kadang humoris, tapi juga seolah bisa “menengok” masa depan.
“Keabadian pesan-pesan yang disampaikan Cak Nun dalam buku ini begitu kuat,” ujar Najib saat dipercaya sebagai pembahas dalam peluncuran edisi ke-2 Slilit Sang Kiai di Yogyakarta seminggu yang lalu.
Saya mengiyakan pendapat Najib tersebut. Dalam Tamu Entah Siapa misalnya, saya menangkap bagaimana kepiawaian Cak Nun membuat alegori-alegori dan sindiran-sindiran yang ciamik mengenai kuasa kapitalismel atas sebuah bangsa (saya yakin yang dimaksud Cak Nun tentunya bangsa Indonesia, siapa lagi?). Dan suatu pemerintah yang egois, maruk dan pandir ternyata bukan hanya milik era-nya Cak Nun kala ia menulis artikel ini: sekarang pun situasi seperti itu masih terjadi (malah semakin menggila).
Lalu silakan baca bagian yang berjudul Mas Pinter yang Genit (tiba-tiba saya kok jadi ingat Mas Vicky). Begitu “kejam dan lucunya”, Cak Nun mengkritik kegandrungan manusia-manusia Indonesia dengan istilah dan kegiatan yang seolah-olah “intelek”. Ia menyebut prilaku itu sebagai bentuk kekenesan, kegenitan dan kecongkakan. Padahal, ” kenes, genit itu biasanya kecenderungan yang berlanjut ke melacur,”tulisnya tajam.
Semua tulisan Cak Nun memang luar biasa di buku ini. Namun sayang, keluarbiasaan itu tak bisa (atau belum) ia ulang untuk hari-hari ini. Kendati relevansi tulisan-tulisannya masih kuat, namun tak urung sebagai penikmat tulisan-tulisannya, saya sungguh menunggu karya-karya Cak Nun sehebat dalam Slilit Sang Kiai bisa hadir dalam konteks kekinian. Rasanya akan seru membayangkan gaya Cak Nun “memarahi” SBY atau saat ia menulis tentang dialog Tuhan dengan Ruhut Sitompul misalnya.[]
Terbit pertama kali di Islam Indonesia Januari 2014
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email