Wacana pemerintahan Joko Widodo yang ingin menggunakan dana ibadah haji untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur masih ramai diperbincangkan. Wacana ini menuai kontroversi di masyarakat, baik yang mendukung maupun menolak, tak terkecuali dari kalangan DPR.
Salah satu yang menolak gagasan ini datang dari komisi terkait yakni Komisi VIII DPR. Komisi ini menilai penggunaan dana haji berpotensi melanggar hukum yakni UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Selain menyalahi tujuan penggunaan dana haji, juga bertentangan dengan kepentingan jemaah haji yang hendak melaksanakan ibadah haji.
Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Iskan Qolba Lubis melalui keterangan tertulis di Gedung DPR, Senin (31/7/2017). Iskan menuturkan para jamaah haji membayarkan sejumlah rupiah melalui pemerintah diperuntukan bagi kepentingan ibadah haji. “Akad yang diniatkan untuk ibadah haji, bukan untuk infrastruktur atau yang lain,” ujarnya.
Menurutnya, penggunaan dana haji memang diperbolehkan bagi pembangunan infrastruktur sepanjang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji dalam upaya peningkatan/perbaikan fasilitas haji. Misalnya, pembangunan pemondokan jemaah haji, pembangunan rumah sakit bagi jamaah haji, revitalisasi pemondokan di dalam negeri maupun di Saudi Arabia.
“Pemerintah pun tak boleh sembarangan atau semaunya menggunakan dana haji dengan alasan defisit anggaran,” ujarnya mengingatkan.
Dia khawatir apabila dana tabungan haji digunakan untuk investasi infrastruktur justru potensi mengganggu jadwal pelaksanaan ibadah haji yang berakibat merugikan calon jemaah haji. Misalnya, ketika jadwal keberangkatan para jamaah sudah jatuh tempo, dana calon jemaah haji yang bersangkutan belum dapat dikembalikan pemerintah. “Penggunaan dana haji di luar peruntukan bagi jemaah haji itu berpotensi melanggar hukum, terutama UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji,” tegasnya.
Dia menegaskan UU Pengelolaan Keuangan Haji, pengelolaan dana haji merupakan wewenang Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dimana pengelolaan dana haji masih diperbolehkan untuk diinvestasikan sepanjang bermanfaat bagi kepentingan jemaah haji. “(Kalau begini), apa gunanya BPKH itu dibentuk?”
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menilai rencana Jokowi menggunakan dana jemaah haji akan bermasalah dari aspek mekanisme menghitung keuntungan bagi jemaah haji. Apalagi, selama ini hitungan dengan metode surat berharga syariah negara (SBSN) tidaklah efektif menghasilkan keuntungan besar.
“Rencananya pemerintah menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bandara. Tetapi, investasi ini tidak liquid, sehingga masalahnya berapa lama agar dana itu dikembalikan lagi ke tabungan jemaah,” ujarnya mempertanyakan.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Abdul Malik Haramaian mengingatkan penggunaan dana tabungan haji yang terkumpul dari calon jemaah haji harus sesuai peruntukkannya. Dia merujuk Pasal 3 UU No. 34 Tahun 2014 yang menyebutkan, “Pengelolaan Keuangan Haji bertujuan meningkatkan: a. kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji; b. rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH; dan c. manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.”
Yang dimaksud dengan “kemaslahatan umat Islam” yakni kegiatan pelayanan ibadah haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi umat, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah. Dengan begitu, bila penggunaan dana haji tanpa merujuk Pasal 3 UU No. 34 Tahun 2014 jelas-jelas melanggar hukum. “Karena itu, rencana menggunakan dana haji harus merujuk Pasal 3 UU No. 34/2014,” ujar politisi PKB ini.
Sementara pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra menilai dana haji yang disimpan di bank pemerintah seluruhnya menjadi hak calon jamaah haji dan umat Islam. Karena itu, dana haji yang tersimpan berkisar Rp80 triliun semestinya hanya digunakan kepentingan pelaksanaan ibadah haji dan membangun rumah sakit bagi kesehatan jemaah.
“Pemerintah Jokowi kini memang tengah kesulitan menghimpun dana untuk membangun infrastruktur yang sedang jor-joran. Sementara hutang kian ‘menggunung’ dan defisit APBN sudah mendekati ambang batas 3 persen,” kritiknya.
Dia menyarankan apabila pemerintah ingin menggunakan dana haji untuk keperluan infrastruktur agar berdialog terlebih dahulu dengan DPR, MUI dan ormas Islam. “Angka sebesar itu, pemiliknya adalah umat Islam, tidak bisa seenaknya diinstruksikan oleh Presiden Jokowi, lalu dilaksanakan,”
Senada, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan dana calon jemaah haji yang terkumpul mesti digunakan bagi kepentingan pelaksanaan haji termasuk kepentingan fasilitas kesehatan para calon jemaah haji. Karena itu, investasi dana calon jemaah haji dalam bentuk pembangunan infrastruktur tidaklah tepat atau tidak sesuai peruntukan. Terlebih, saat ini banyak pembangunan infrastruktur yang mangkrak.
“Saya kira harus ada kesepakatan dari pemilik dana (calon jemaah haji), diinvestasikan untuk bidang apa? Kalau diinvestasikan dalam konteks sekarang menurut saya tidak tepat,” ujarnya.
Baginya, pembangunan insfrastruktur yang sedang berproses di berbagai titik tidak berdampak terhadap perekonomian. Justru, risikonya terbilang tinggi karena belum tentu uang yang diinvestasikan itu cepat dikembalikan untuk keperluan keberangkatan ibadah haji ke Saudi. Lain halnya, pembangunan infrastruktur hotel atau apartemen, rumah sakit untuk kepentingan calon jemaah haji di Saudi. Sebab, hal ini akan dirasakan manfaatnya ketika melaksanakan ibadah haji di Saudi.
“Saya termasuk menolak dana haji untuk (pembangunan) infrastruktur dalam konteks sekarang,” ujar politisi Gerindra itu.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email