Pesan Rahbar

Home » » Ketum PBNU: Percuma Nobel Perdamaian Untuk Aung San Suu Kyi

Ketum PBNU: Percuma Nobel Perdamaian Untuk Aung San Suu Kyi

Written By Unknown on Tuesday, 5 September 2017 | 13:55:00

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj saat ditemui di Pesantren Al-Tsaqafah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis 31 Agustus 2017 (Foto: Kompas)

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyatakan warga NU mengutuk pembantaian etnis muslim Rohingya di Myanmar. Ia mendesak agar gelar tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi sebagai penerima Nobel perdamaian segera dicopot.

Said mempertanyakan peran Aung San Suu Kyi karena hanya diam ditengah militer dan warga Myanmar melakukan pelanggaran kemanusiaan terhadap warga Rohingya.

“Ya itu, mencoreng nama baik beliau sebagai peraih Nobel perdamaian, percuma itu Nobel kalau membiarkan kejahatan pembantaian terhadap Muslim Rohingya, khususnya umat Islam di sana, umumnya semua umat manusia mengutuk perilaku itu,” kata Said kepada wartawan di Hotel Bidakara, Jakarta, Sabtu 2 September 2017.

Pemerintah Myanmar yang terkesan abai terhadap pembantaian yang menimpa etnis muslim Rohingya. Terlebih, lanjut Said, mereka bukan sekelompok pemberontak yang melawan negara.

“Saya pernah mendengar, mereka itu hidupnya enggak macem-macem, enggak ada gerakan politik, lain misalnya di negara lain ada gerakan politik, ini enggak, enggak pernah aneh-aneh melawan pemerintah mengadakan oposisi, enggak,” ujar Said.

Terlebih, lanjut Said, mereka bukan sekelompok pemberontak yang melawan negara. Para muslim Rohingya hidup secara normal, mereka tidak ikut gerakan politik atau melakukan oposisi dan menentang pemerintah.

“Kalau misalnya di negara lain ada gerakan politik, ini nggak, (muslim Rohingya) nggak pernah aneh-aneh, (nggak pernah) melawan pemerintah, mengadakan oposisi, nggak,” tegas Said Aqil.

Tentunya menurutnya kehidupan muslim Rohingya berbeda dengan gerakan pemberontakan yang ada di negara lain, satu diantaranya di Filipina Selatan. “Lain situasi misalkan Filipina Selatan atau Pattani (wilayah) Thailand,” kata Said Aqil.

Ia pun menilai pemicu terjadinya pembantaian secafa besar-besaram terhadap muslim Rohingya karena pihak Myanmar menganggap etnis tersebut bukan merupakan penduduk asli Myanmar.

Kekerasan mematikan semakin memburuk di negara bagian Rakhine, Myanmar. Hingga Minggu 27 Agustus 2017 korban tewas mencapai 100 orang.

Korban tewas meningkat karena bentrokan bersenjata antara tentara dan militan Rohingya berlanjut untuk hari ketiga, Minggu kemarin, seperti diberitakan kantor berita Perancis, AFP, dan media Inggris, The Guardian.

Pemerintah telah mengevakuasi setidaknya 4.000 warga desa non-Muslim di tengah bentrokan yang berlangsung di Rakhine barat laut. Ribuan Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

(Kompas/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: