Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan negaranya tidak mungkin akan berdialog dengan Amerika Serikat (AS) karena presidennya, Donald Trump, telah merendahkan martabat bangsa Iran. Karena itu, dalam jumpa pers di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Rabu (20/9/2017) Rouhani mendesak Trump agar meminta maaf kepada bangsa Iran sebelum segala sesuatunya.
Pada kesempatan itu dia menyebutkan bahwa ekonomi Iran mengalami pertumbuhan 7%, yang tidak mungkin dicapai tanpa stabilitas keamanan dan penumpasan terorisme di kawasan secara umum, dan Iran akan terus intensif memerangi terorisme.
Mengenai kesepakatan nuklir Iran, dia menjelaskan bahwa kesepakatan yang dipersoalkan oleh AS ini telah diteken oleh sejumlah negara dan Uni Eropa sehingga menunjukkan bahwa kesepakatan ini bukan bilateral Teheran-Washington, melainkankan disepakati dan didukung oleh sekira 34 negara, dan ini diakui oleh Dewan Keamanan PBB serta berperan penting dalam perdamaian dunia.
“Pihak manapun yang berbalik dari perjanjian ini dan melanggarnya akan terkucil,” katanya.
Menyindir Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Rouhani mengingatkan bahwa semua orang menyokong perjanjian nuklir Iran “kecuali dua orang” sehingga rakyat di negara-negara Eropa maupun di AS sendiri akan mengecam pemerintahan Trump jika berbalik dari perjanjian ini.
“Para pejabat baru AS salah ketika beranggapan bahwa keluarnya mereka dari perjanjian nuklir akan menambah tekanan terhadap Iran… Dalam perundingan nuklir sejak awal kami telah membicarakan persoalan yang terbatas… Tak akan ada pembahasan baru mengenai kesepakatan ini,” ujarnya sembari mengingatkan bahwa isu yang dihembuskan Trump mengenai perjanjian ini hanya akan membuang-buang waktu.
Menyinggung pidato Trump sehari sebelum pada sidang Majelis Umum PBB, Rouhani mengatakan, “Tak seorangpun bergembicara atas pernyataan (Trump) ini kecuali entitas (Zionis) tertolak di kawasan.”
Menurut Rouhani, apa yang dilakukan AS sejak tragedi teror 11 September 2001 hanyalah menebar terorisme dan mendatangkan krisis demi krisis, sedangkan tuduhan bahwa Iran menyokong terorisme bukanlah sesuatu yang baru.
Dia menyoal, “Tapi siapa yang menciptakan dan menyokong al-Qaeda dan Taliban?”
Presiden Iran melanjutkan bahwa negaranya sejak awal berpihak kepada bangsa Suriah dan Irak dan terdepan dalam perang melawan terorisme, dan kini Iran berharap gencatan senjata antara pemerintah dan oposisi Suriah dapat dipertahankan.
Dia menilai tidak ada masalah dalam hubungan Iran dengan negara-negara Eropa, mengingat sejumlah perusahaan raksasa Eropa, termasuk Total milik Perancis, telah berinvestasi besar di Iran, dan Teheran sama sekali tidak berpikir untuk membuat dan memiliki senjata nuklir karena sudah ada fatwa mengenai haramnya membuat dan memiliki senjata pemusnah massal ini sehingga persoalannya semata-mata mengenai volume pengayaan uranium Iran, bukan bom nuklir.
Mengenai isu Sunni dan Syiah dia mengingatkan bahwa pengangkatan isu sektarianisme bertentangan dengan ajaran Islam. Dia memastikan kalangan Sunni Iran berpartisipasi dalam pemilu.
“Sunni di Iran berpartisipasi dalam pemilu, dan saya adalah presiden Iran yang paling banyak memperoleh suara dari kalangan Sunni Iran,” tuturnya.
Dia menambahkan, “Kami menyokong bangsa Palestina, baik di Gaza maupun di Tepi Barat meskipun kaum Muslimin Palestina bukan Syiah, dan kami menyokong pula bangsa Iran dengan semua kalangan Sunni, Syiah dan Kurdinya.”
Mengenai krisis Rohingya di Myanmar dia menyayangkan adanya standar ganda dalam isu kemanusiaan.
“Orang-orang yang telah meraih anugerah Nobel malah memilih bungkam terhadap kejahatan di Myanmar ini,” kecamnya.
Dia juga menyebutkan bahwa semua peserta pertemuan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah mengutuk “pembasmian etnis Rohingya” di Myanmar. Dia juga mengecam “kebungkaman” pemerintah Myanmar terhadap kejahatan yang dilakukan oleh tentara dan para ekstrimis Myanmar ini.
“Apa yang terjadi di Myanmar menyakitkan kami, dan harus ada bantuan kepada para korban serta tekanan terhadap pemerintah,” tuturnya.
Mengenai krisis Yaman, Rouhani mengatakan, “Harus ada gencatan senjata di Yaman, dan penindakan tegas terhadap kelompok-kelompok teroris, kemudian urusan hukum didiskusikan di negara ini… Apa yang terjadi di Yaman sangat menyakitkan, dan masalah ini telah mempengaruhi semua pertemuan saya selama dua tahun terakhir.”
(Liputan-Islam/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email