“Dunia” kadang-kadang dapat diartikan sebagai tingkat eksistensi paling rendah dan tempat perubahan, peralihan dan kemusnahan. “Akhirat” menunjukkan kembalinya seseorang dari alam eksistensi yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi, alam samawi, alam bathiniah, yang merupakan tempat yang tetap, tidak berubah dan abadi. Dua alam itu ada pada setiap individu.
Yang pertama ialah alam meteril, tempat perkembangan dan kemunculan, yang merupakan tempat eksistensi dunia yang lebih rendah. Yang kedua adalah tingkat eksistensi yang tersembunyi, bathin, dan samawi, yang merupakan alam keberadaan ukhrawi yang lebih tinggi.
Meskipun eksistensi duniawi adalah alam keberadaan yang lebih rendah dan tidak sempurna, selama ia menjadi ladang untuk latihan jiwa yang mulia dan sekolah untuk mencapai kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi atau menjadi lahan untuk mengolah akhirat.
Dalam arti ini, dunia merupakan alam keberadaan yang paling agung dan alam yang paling menguntungkan bagi pencinta Tuhan dan para musafir di jalan akhirat. Dan, jika bukan karena alam materi duniawi ini, wilayah transformasi dan perubahan fisik dan ruhaniah, serta jika Allah Swt tidak menjadikannya sebagai alam peralihan dan kemusnahan, yang tidak sempurna tentu tidak akan dapat mencapai status ksempurnaan yang dijanjikan dan tidak dapat menjangkau alam yang permanen dan stabil. Sedangkan penjelmaan ketaksempurnaan tidak dapat memasuki kerjaan Allah.
Dengan demikian, yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadist sebagai ‘dunia’ yang tercela sesungguhnya tidak berlaku bagi dunia itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan adalah ketenggelaman, kecintaan, dan ketertarikan mansuai padanya. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai dua dunia: yang satu dikutuk, sementara yang lain diagungkan dan dipuji.
Dunia yang dipuji apabila pada tahap eksistensi duniawi, yang merupakan kampung pendidikan dan tempat perdagangan ini, seorang memperoleh pelbagai kedudukan ruhaniah yang tinggi, kesempurnaan, dan kebahagiaan abadi. Semua itu tidak mungkin dapat diperoleh tanpa memasuki dunia ini, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib dalam salah satu khotbahnya yang ia sampaikan ketika mendengar seorang menghina dunia.
“Sesungguhnya dunia ini adalah tempat kebenaran bagi mereka yang menyadari kebenarannya, tempat keselamatan bagi mereka yang memahaminya, tempat kekayaan bagi mereka yang mencari bekal darinya (untuk akhirat), dan tempat pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran darinya. Ia adalah tempat sujud para kekasih Allah, tempat salat para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan pasar orang-orang yang taat kepadaNya (untuk mengambil untung darinya). Di situ, mereka memperoleh rahmat-Nya dan di situ pula mereka memperoleh surga.”
Adapun dunia yang terkutuk ialah dunia (yang berada dalam hati) manusia sendiri, dalam arti ketenggelaman, keterikatan, dan kecintaan pada dunia. Dunia yang demikian ini merupakan sumber dari segala kejahatan dan dosa lahir maupun batin, sebagaimana dalam hadist, “Cinta dunia adalah sumber segala pelanggaran.”
Dalam riwayat lain dikatakan, “Luka yang disebabkan tikaman dua serigala buas, yang satu menyerang dari depan dan yang lain dari belakang, pada sekelompok kambing tanpa penggembala, tidak lebih cepat merusak dibandingkan dengan luka yang disebabkan oleh tikaman cinta dunia terhadap iman seorang Mukmin.”
Dengan demikian, ketertarikan hati dan kecintaan pada dunia adalah sama artinya dengan dunia yang dikutuk, dan makin besar ketertarikan itu, makin tebal pula tirai antara manusia dan alam keagungan, serta makin tebal juga tirai antara hati manusia dan Penciptanya.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email