Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby
Hati-hati dengan kelompok rasis. Waspadalah dengan politik rasisme. Masyarakat harus hati-hati dan tetap waspada, jangan mau diadu-domba dan digiring oleh para “pecundang kesiangan” dan tokoh-tokoh “bermental Hitler” atau Trump atau “si anu” yang hobi “mainin si sara” dan isu-isu rasisme.
Kaum bigot dan rasis ada dimana-mana, di suku-bangsa manapun: Jawa, Betawi, Sunda, Cina, Arab, Eropah (pakai “h”), Persi, Afrika, India, Ngamerika, dlsb. Oleh gerombolan rasis ini, rakyat hanyalah dijadikan sebagai “bahan bakar” belaka: sebagai pembuat spanduk, tukang yel-yel waktu demo, pemandu sorak pawai, dan seterusnya.
Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa di kemudian hari, paling-paling cuma dapat pegel-pegel karena disuruh demo terus sama nasbung dan uang recehan doang he he. Di mana-mana, rakyat kecil memang hanya dijadikan sebagai “tumbal” oleh sejumlah “kelompok menengah-elit tengil” yang rakus bin serakah dengan kekuasaan dan keduniaan.
Kita hendaknya melihat orang dari pemikiran, tindakan, atau kelakuan orang, bukan dari etnik dan suku-bangsa mereka.
Memang ada tokoh-tokoh China yang “bermental Eddy Tansil” alias Tan Tjoe Hong yang berengsek mengemplang trilyunan uang rakyat. Entah dimana rimbanya dia sekarang kok lenyap seperti Bang Tayyip gak pulang-pulang kayak “si anu”. Ingin sekali saya memberi hadiah “bom panci” untuknya. Atau Si Felix meskipun kemana-mana sering pakai baju batik, tapi ngomongnya khilafah melulu. Sepertinya si doi cinta mati sama mbak khilafah.
Tetapi ada pula tokoh Tionghoa seperti Pak Kwik Kian Gie atau Pak Eddie Lembong atau Pak Sudhamek yang sangat nasionalis dan tidak diragukan lagi jiwa nasionalisme, spirit keindonesiaan, dan semangat kebangsaannya.
Dulu, di zaman kompeni dan perjuangan kemerdekaan, juga ada tokoh-tokoh Tionghoa yang sangat nasionalis dan anti-kolonial seperti Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, atau Laksamana John Lie Tjeng Tjoan. Liem Koen Hian dulu mendirikan Partai Tionghoa Indonesia untuk membantu proses kemerdekaan RI. Ia juga memimpin surat kabar Sin Tit Po sebagai “corong gerakan nasionalisme yang anti penjajah”. Tetapi ada pula kelompok Tionghoa yang bergabung di Chung Hwa Hui yang pro-Tionghoa dan Belanda.
Kubu Arab juga sama. Dulu ada tokoh bernama Syaikh Salim bin Abdullah bin Sumair, kakeknya Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi di Surabaya yang sangat masyhur itu, yang sangat anti-penjajah kolonial Belanda. Tetapi juga ada tokoh bernama Sayyid Usman bin Abdullah al-Hussaini yang pro-Belanda. Atas usulan Christian Snouck Hurgronje, Sayyid Usman diangkat sebagai penasehat Belanda untuk mengurusi masyarakat Arab di Hindia Belanda yang sekarang bernama Indonesia.
Dewasa ini juga banyak para habib seperti Habib Luthfi bin Yahya, Habib Syech Abdul Qadir Assegaf, Habib Ahmad Muthahar, dlsb yang sangat toleran, humanis, nasionalis, dan masya Allah lembutnya. Tetapi ada juga sejumlah habib yang tergabung di “Kelompok Petamburan” yang assuudahlah…
Jadi, sekali lagi, lihatlah atau fokuslah pada pemikiran dan tindakan, bukan etnis dan suku-bangsa seseorang. Politik rasisme hanya akan merugikan kita dan anak-cucu kita semua. Masak jaman now kok cuma HP-nya doang yang smart he he
Jabal Dhahran, Arabia
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email