Oleh: Rayyan Bahlamar
Acara Doa Untuk Bangsa yang diselenggarakan di Monumen Nasional (Monas) Jakarta pada Sabtu 29 September 2018 tercoreng dengan kampanye hitam. Selain pemutaran film G30S/PKI, acara tersebut juga membagi-bagikan buku yang berjudul ‘PKI, Apa dan Bagaimana?’.
Kampanye hitam yang dimaksud karena di salah satu halaman ada ulasan yang berjudul ‘Jokowi & PKI’. Buku yang ditulis oleh Rizieq itu dibagikan oleh beberapa orang berseragam putih bertuliskan Laskar FPI, berisi 30 halaman dan diduga diterbitkan oleh Bidang Bela Negara & Jihad DPP FPI.
Padahal, acara tersebut ada tausiah dari para ulama seperti Ustad Abdul Somad dan tokoh di Front Pembela Islam (FPI). Isi buku tersebut yakni merujuk pada sejarah berdirinya PKI. Setidaknya ada 30 halaman di buku tersebut.
Seakan melupakan kasus tabloid Obor Rakyat, penulis maupun penerbit buku tersebut bisa dianggap melakukan pencemaran nama baik kepada Joko Widodo.
Pengamat hukum Fajar Trio Winarko pun mendesak kepolisian dan Bawaslu untuk mengusut penyebaran buku kampanye hitam tersebut. “Para pelaku bisa dijerat pasal 311 dan 310 KUHP tentang penghinaan dan penyebaran fitnah dengan ancaman penjara 4 tahun,” kata Fajar menjawab MataIndonesia.id, di Jakarta, Minggu 30 September 2018.
Sebagai informasi, Pasal 311 ayat 1 berbunyi:
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Fajar mengatakan, dari judul buku dan materinya menyudutkan atau bahkan bernuansa fitnah kepada Presiden Jokowi yang saat ini menjadi Capres nomor urut 01. Ia menambahkan, selain penulis dan penerbit buku, pihak kepolisian juga bisa menjerat para penyebarnya. “Penyebar buku juga bisa terkena pidana. Mereka ini merusak deklarasi kampanye damai. Jangan sampai memecah belah bangsa dengan isu-isu recehan seperti ini,” kata dia.
Dalam konteks Pilpres, lanjut dia, UU 8/2015, secara tegas disebutkan bahwa melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat merupakan bentuk kampanye hitam atau black campaign.
Ia juga mendesak polisi membongkar dalang atau pendana pembuatan buku tersebut. Jika ada parpol atau pasangan capres yang terbukti menyokong dana, maka peserta pemilu berpotensi melakukan pelanggaran.
Ancaman sanksi bagi setiap pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye Pilpres yang menghasut dan mengadu-domba perseorangan atau masyarakat adalah penjara paling singkat 6 (enam) bulan hingga 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 6 juta dan paling banyak Rp 24 juta. “Sanksi ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,” kata dia.
Tak hanya itu, FPI bisa dinilai tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yaitu “tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”.
“Diduga melanggar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017, yang mengubah sejumlah ketentuan pada UU Ormas.”
(Mata-Indonesia/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email