Ahlusunnah, mereka “mampu melihat semut di seberang lautan tetapi gajah di pelupuk mata luput dari pandangan.”.
Imam Malik bin Anas pendiri Mazhab Maliki juga berkeyakinan bahwa Surah al-Baraah yang ada sekarang telah kehilangan banyak ayat di bagian awalnya sehingga gugurlah basmallahnya. (Baca: Durr al-Mantsur).
.
Mengapa ini tidak disinggung sedikitpun oleh Ahlussunnah, lalu mengkafirkan Imam Malik???????????
Ahlusunnah telah mengidap penyakit hati yang sangat kronis sehingga amat mustahil untuk disembuhkan lagi.
lantas apa yang anda katakan ketika ada hadis dari kitab Sahih anda yang menyatakan ada surat yang hilang karena dimakan rayap? atau ada hadis2 lain yang membuktikan perobahan dalam al-Quran? padahal anda sudah terburu menanamainya dengan kitab sahih yang tidak bisa digangu-gugat? Saran saya, lihat kitab sendiri sebelum menilai kitab orang lain!
Pernah di kampus ada seminar tentang “Dikotomi Sunni Syiah” dan tema Al-Quran Syiah pun sempat ditanyakan. Pak Miftah (sebagai pembicara dari Syiah nya) menjelaskan, “Jadi perbedaan antara Al-Quran Syiah dan (Ahlus) Sunnah hanya terletak pada jenis kertas saja. Di Iran dicetak dengan jenis kertas yang paling mahal dan di dalamnya terdapat keindahan, karena Al-Quran merupakan kalamullah.” Jadi kaum Syiah di Indonesia tidak perlu impor Quran dari Iran, karena Quran nya sama. <= kaya kenal sama tulisan ini.
Hadis Perubahan Al-Quran dalam Kitab Ahlus Sunnah.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa Al-Kafi bukanlah kitab shahih, yang hadisnya pun sampai sekarang masih diteliti, makanya tidak bernama “Shahih Al-Kafi”. Lucunya (atau tidak lucunya) di dalam kitab Ahlus Sunnah, yang bernama Shahih Bukhari atau Shahih Muslim, juga terdapat hadis tentang perubahan Al-Quran. Bedanya, ini kitab shahih! Tentu saja shahih menurut penulisnya. Jadi di dalam Shahih Bukhari atau Muslim tidak perlu pengklasifikasian hadis, karena semuanya shahih (menurut saudara Ahlus Sunnah).
Tentang Surah Al-Lail.
Dari Qabshah ibn Uqbah yang berasal dari Ibrahim ibn Al-Qamah. Ia berkata kepada kami: “Saya bersama pengikut Abdullah ibn Ubay datang ke Syam. Abu Darda’ yang mendengar kedatangan kami segera datang dan bertanya: ‘Adakah di antara kalian yang membaca Al-Quran?’ Orang-orang menunjuk saya. Kemudian ia berkata: ‘Bacalah!’ Maka saya pun membaca: Wal-Laili idzaa yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wadzdzakraa wal-untsaa…
Mendengar itu dia bertanya: ‘Apakah engkau mendengar dari mulut temanmu Abdullah ibn Ubay?’ Saya menjawab: ‘Ya.’ Ia melanjutkan: ‘Saya sendiri mendengarnya dari mulut Nabi SAW. Dan mereka menolak untuk menerimanya’.” (Shahih Bukhari, Kitab At-Tafsir, bab Surah wal-Laili idzaa yaghsyaa; pada catatan kaki As-Sanadiy, jilid III, hlm. 139; jilid VI, hlm. 21; jilid V, hlm. 35; Musnad Ahmad, jilid VI, hlm. 449, 451; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 358 dari Said ibn Manshur, Ahmad Abd ibn Hamid, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Marduwaih, Ibn Al-Qamah, dll.) Padahal yang tertulis dalam Al-Quran sekarang adalah Wal-Laili idzaa yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wamaa khalaqadzdzakraa wal-untsaa.
Ayat Rajam.
Umar ibn Khaththab berkata: “Bila bukan karena orang akan mengatakan bahwa Umar menambah (ayat) ke dalam Kitab Allah, akan kutulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” (Shahih Bukhari, bab Asy-Syahadah ‘indal-Hakim fi Wilayatil-Qadha; Al-Itqan, jilid II, hlm. 25-26; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid I, hlm. 230; jilid V, hlm. 179 dari Imam Malik, Bukhari, Muslim, dan Ibnu Dhurais, dan hlm. 180 berasal dari Nasa’i, Ahmad, Ibnu Auf; Musnad Ahmad, jilid I, hlm. 23, 29, 36, 40, 43, 47, 50, 55; jilid V, hlm. 132, 183; Hayat Ash-Shahabah, jilid II, hlm. 12; jilid III, hlm. 449) Jadi, Umar meyakini Ayat Rajam itu ada dalam Al-Quran, tapi kenyataannya tidak ada. Tapi Umar tidak menulisnya karena takut ucapan orang-orang bahwa Umar menambah ayat. Seperti itulah yang dijelaskan As-Suyuthi dalam Al-Itqan jilid II, hlm. 26, mengutip tulisan Az-Zarkasyi: “Tampaknya penulisan ayat tersebut boleh saja. Hanya ucapan oranglah yang mencegah (Umar melakukan) hal itu…
Seharusnya ayat itu dimasukkan ke dalam Al-Quran, ayat itu semestinya ditulis.” Ayat rajam ini juga pernah disebut-sebut waktu saya (pertama kali) belajar Ulumul-Quran di kampus.
An-Naas dan Al-Falaq.
Dinukil dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia membuang Surah Mu’awidzdzatain (An-Naas dan Al-Falaq) dari mushhafnya dan mengatakan keduanya tidak termasuk Al-Quran. (Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 146; Ruhul-Ma’ani, jilid I, hlm. 24; Al-Itqan, jilid I, hlm. 79; Fathul-Bari, jilid VIII, hlm. 581).
Ya saya pernah mengkaji masalah ini.
Pihak yang menuduh Syiah punya Al Quran sendiri itu berlebihan memang dan mereka cuma mengulang lagu lagu lama yang basi.
Anehnya mereka seolah-olah tidak pernah mendengar atau membaca tulisan Ulama-ulama syiah sendiri tentang ini.
mereka maunya terus berbicara itu-itu aja, dan akhirnya dikutip oleh blog-blog pengikut muda mereka yang cumanya mengikut saja dan tidak pernah mengkaji sendiri.
kemudian dipasarkan lagi fitnahan lama itu hanya sekedar untuk mendiskreditkan Syiah, mengaku golongan yang selamat tetapi mudah memfitnah orang lain. Sebenarnya Syiah mana yang mereka bicarakan itu
Syiah yang ada dalam pikiran mereka sendiri.
Al-Quran Sunni-Syiah Satu, Tiada Perobahan dalam Al-Quran.
Semakin banyak tulisan yang menyebutkan bahwa kaum Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda, hal ini menjadi salah satu alasan kafirnya Syiah dari sekian banyak tuduhan yang tidak berdasar. Tuduhan yang mengatakan bahwa kaum Syiah mempunyai Al-Quran yang berbeda sangatlah tidak adil.
Kaum Syiah meyakini tidak terjadinya tahrif di dalam Al-Quran dari zaman kapan pun sampai zaman kapan pun. Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al-Hijr ayat 9, “Sungguh Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sungguh Kamilah yang menjaganya.”.
Tidak dapat disangkal bahwa di dalam kitab hadis Syiah terdapat riwayat yang menyebutkan hal tersebut, namun perlu diingat bahwa kitab tersebut, Al-Kafi, bukanlah kitab hadis yang shahih, sebagaimana Shahih Bukhari atau Muslim.
Seorang ulama Syiah, Sayid Hasyim Ma’ruf Al-Hasani, pernah melakukan penelitian dan menyatakan bahwa Al-Kafi berisi 16.199 hadis; diantaranya 5.072 dianggap shahih, 144 hasan, 1128 nuwatstsa’, 302 qawiy, dan 9.480 hadis dhaif. Pengklasifikasian itu pun baru berdasarkan keabsahan sanad, belum isinya (matan).
Penolakan Tahrif (Perobahan) Al-Quran oleh Ulama Syiah.
Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Husain ibn Babawaih Al-Qummiy (Ash-Shaduq): “Keyakinan kita tentang Al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yaitu ada di antara dua sisi kitab yang berada di tangan kaum Muslim dan tidak lebih dari itu. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa kami meyakini yang lebih dari itu, pastilah orang tersebut berbuat dusta.”.
Syaikh Thaifah Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan Ath-Thusiy: “Pembicaraan tentang adanya penambahan dan pengurangan pada Al-Quran adalah sesuatu yang tidak pantas… Dan itulah yang sesuai dengan kebenaran dari mazhab kita. Itulah yang dibela Al-Murtadha (Imam Ali ibn Abi Thalib AS), yang tampak dari banyak riwayat…”.
Abu Ali Thabarsi: “…Adapun tentang adanya penambahan pada Al-Quran maka hal tersebut disepakati sebagai sesuatu yang batil…”.
Sayid Ibnu Thawus: “Imamiyah yakin tidak ada tahrif dalam Al-Quran.”.
Syaikh Muhammad ibn Hasan Al-Hurr Al-Amiliy: “Barang siapa mau meneliti tarikh, riwayat-riwayat dan atsar, maka dia tahu dengan pasti bahwa Al-Quran telah ditetapkan pada tingkat ke-mutawatir-an yang sangat kuat, dan dengan penukilan ribuan sahabat, dan bahwa Al-Quran telah tersusun dan terkumpul rapi pada masa Rasulallah SAW.”
Syaikh Abu Zuhrah: “Sejumlah ulama besar Imamiyah yang diketuai Al-Murtadha, Syaikh Thusi, dan lain-lain menolak…”
Ayatullah Sayid Burujerdi: “Merupakan suatu kemestian logis untuk menolak (tahrif) dan kabar-kabar yang menolak kemurnian ayat Al-Quran amat sangat lemah dan bertentang dengan hadis yang pasti (qath’i) dan mesti (dharurah), malah bertentangan dengan tujuan kenabian.Kemudian, sungguh sangat mengherankan adanya sebagian orang-orang yang mempertahankan kabar angin ini, lisan maupun tulisan yang tersimpan selama lebih dari tiga belas abad, yang menyatakan bahwa ada penghapusan ayat-ayat dalam Al-Quran Al-Majid.”.
Allamah Syahsyahani: “Hadis-hadis ini tidak pantas diperhatikan bila ditinjau dari segi sanadnya. Tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa ada satu ayat saja dari hadis itu yang shahih… Hadis-hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis mutawatir yang lebih kuat, dan sesuai dengan Al-Quran, sunnah, akal sehat, dan kesepakatan.”.
Imam Khomaini: “Lemah, tidak pantas berdalil dengannya.”.
Dan masih banyak ulama-ulama Syiah yang menolak perubahan Al-Quran, seperti Zainuddin Al-Bayadli, Al-Muqaddas Al-Baghdadi, Kasyful-Ghitha, Sayid Muhammad Jawad Al-Balaghiy, Sayid Muhammad Thabathaba’i Bahrul-Ulum, Ayatullah Kuh Kamariy, Sayid Muhsin Al-Amin Al-Amiliy, Sayid Muhammad Mahdi Syirazy, dll. Oleh karena di dalam kitab Al-Kafi terdapat hadis yang lemah, maka juga terdapat periwayat (rawi) yang lemah. Seperti Abi Al-Jarud Ziyad ibn Mundzir As-Sarhub (pemimpin sekte Jarudiyah/Sarhubiyah), Ahmad ibn Muhammad As-Sayyari, Mankhal ibn Jamil Al-Kufi, Muhammad ibn Hasan ibn Jumhur, dll.
Itulah akidah Syiah Imamiyah terhadap Al-Quran yang tidak mengalami pengurangan atau penambahan hingga akhir zaman. Jadi apabila masih ada yang mengatakan bahwa Syiah memiliki Al-Quran yang berbeda, itu merupakan hal dusta, dan lebih konyol lagi ada yang mengatakan bahwa Jibril AS salah menyampaikan wahyu yang seharusnya diturunkan kepada Imam Ali AS. Pastilah kaum Syiah akan menertawakannya.
Al-Quran yang ada di Iran pun (yang notabene mayoritas Syiah) tidak sedikit yang didatangkan/dicetak dari Beirut (Lebanon) dan Kairo (Mesir). Iran pun mengadakan MTQ Internasional yang dihadiri negara-negara Timur Tengah, bahkan kalau tidak salah Indonesia pernah mengirim wakilnya. Entah bagaimana jadinya jika Quran yang dibaca wakil Iran berbeda? Pastilah juri akan pusing menilainya.
Pernah di kampus ada seminar tentang “Dikotomi Sunni Syiah” dan tema Al-Quran Syiah pun sempat ditanyakan. Pak Miftah (sebagai pembicara dari Syiah nya) menjelaskan, “Jadi perbedaan antara Al-Quran Syiah dan (Ahlus) Sunnah hanya terletak pada jenis kertas saja. Di Iran dicetak dengan jenis kertas yang paling mahal dan di dalamnya terdapat keindahan, karena Al-Quran merupakan kalamullah.” Jadi kaum Syiah di Indonesia tidak perlu impor Quran dari Iran, karena Quran nya sama.
Hadis Perubahan Al-Quran dalam Kitab Ahlus Sunnah.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa Al-Kafi bukanlah kitab shahih, yang hadisnya pun sampai sekarang masih diteliti, makanya tidak bernama “Shahih Al-Kafi”. Lucunya (atau tidak lucunya) di dalam kitab Ahlus Sunnah, yang bernama Shahih Bukhari atau Shahih Muslim, juga terdapat hadis tentang perubahan Al-Quran. Bedanya, ini kitab shahih! Tentu saja shahih menurut penulisnya. Jadi di dalam Shahih Bukhari atau Muslim tidak perlu pengklasifikasian hadis, karena semuanya shahih (menurut saudara Ahlus Sunnah).
Tentang Surah Al-Lail.
Dari Qabshah ibn Uqbah yang berasal dari Ibrahim ibn Al-Qamah. Ia berkata kepada kami: “Saya bersama pengikut Abdullah ibn Ubay datang ke Syam. Abu Darda’ yang mendengar kedatangan kami segera datang dan bertanya: ‘Adakah di antara kalian yang membaca Al-Quran?’ Orang-orang menunjuk saya. Kemudian ia berkata: ‘Bacalah!’ Maka saya pun membaca: Wal-Laili idzaa yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wadzdzakraa wal-untsaa…
Mendengar itu dia bertanya: ‘Apakah engkau mendengar dari mulut temanmu Abdullah ibn Ubay?’ Saya menjawab: ‘Ya.’ Ia melanjutkan: ‘Saya sendiri mendengarnya dari mulut Nabi SAW. Dan mereka menolak untuk menerimanya’.” (Shahih Bukhari, Kitab At-Tafsir, bab Surah wal-Laili idzaa yaghsyaa; pada catatan kaki As-Sanadiy, jilid III, hlm. 139; jilid VI, hlm. 21; jilid V, hlm. 35; Musnad Ahmad, jilid VI, hlm. 449, 451; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 358 dari Said ibn Manshur, Ahmad Abd ibn Hamid, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Marduwaih, Ibn Al-Qamah, dll.) Padahal yang tertulis dalam Al-Quran sekarang adalah Wal-Laili idzaa yaghsyaa, wan-nahaari idzaa tajallaa, wamaa khalaqadzdzakraa wal-untsaa.
Ayat Rajam.
Umar ibn Khaththab berkata: “Bila bukan karena orang akan mengatakan bahwa Umar menambah (ayat) ke dalam Kitab Allah, akan kutulis ayat rajam dengan tanganku sendiri.” (Shahih Bukhari, bab Asy-Syahadah ‘indal-Hakim fi Wilayatil-Qadha; Al-Itqan, jilid II, hlm. 25-26; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid I, hlm. 230; jilid V, hlm. 179 dari Imam Malik, Bukhari, Muslim, dan Ibnu Dhurais, dan hlm. 180 berasal dari Nasa’i, Ahmad, Ibnu Auf; Musnad Ahmad, jilid I, hlm. 23, 29, 36, 40, 43, 47, 50, 55; jilid V, hlm. 132, 183; Hayat Ash-Shahabah, jilid II, hlm. 12; jilid III, hlm. 449) Jadi, Umar meyakini Ayat Rajam itu ada dalam Al-Quran, tapi kenyataannya tidak ada. Tapi Umar tidak menulisnya karena takut ucapan orang-orang bahwa Umar menambah ayat. Seperti itulah yang dijelaskan As-Suyuthi dalam Al-Itqan jilid II, hlm. 26, mengutip tulisan Az-Zarkasyi: “Tampaknya penulisan ayat tersebut boleh saja. Hanya ucapan oranglah yang mencegah (Umar melakukan) hal itu… Seharusnya ayat itu dimasukkan ke dalam Al-Quran, ayat itu semestinya ditulis.” Ayat rajam ini juga pernah disebut-sebut waktu saya (pertama kali) belajar Ulumul-Quran di kampus.
An-Naas dan Al-Falaq
Dinukil dari Ibnu Mas’ud, bahwa dia membuang Surah Mu’awidzdzatain (An-Naas dan Al-Falaq) dari mushhafnya dan mengatakan keduanya tidak termasuk Al-Quran. (Ad-Durr Al-Mantsur, jilid VI, hlm. 146; Ruhul-Ma’ani, jilid I, hlm. 24; Al-Itqan, jilid I, hlm. 79; Fathul-Bari, jilid VIII, hlm. 581).
195 Ayat Surah Al-Ahzab Hilang.
Demikian riwayat dari Abdurrazaq yang berasal dari Tsauri, dari Zirr ibn Hubaisy yang berkata: “Ubay ibn Kaab telah bertanya kepada saya: ‘Berapa jumlah ayat yang kalian baca dalam surah Al-Ahzab?’ Saya menjawab: ’73 atau 74 ayat.’ Dia bertanya: ‘Hanya sebanyak itu? Pada mulanya surah tersebut sama panjangnya dengan Al-Baqarah atau lebih. Dan di dalamnya terdapat surah (ayat) rajam.’ Saya bertanya: ‘Wahai Abu Mundzir, bagaimana bunyinya?’ Dia menjawab: ‘Ayat tersebut berbunyi: Idzaa zanayaa asysyaikhu wasy-syaikhah farjamuu…’.” (Al-Itqan, jilid II, hlm. 25; Mushhanaf Abdurrazaq, jilid VII, hlm. 320; Muntakhab Kanzul-Ummal pada catatan kaki Musnad Ahmad, jilid II, hlm. 1) Ternyata ayat rajam tersebut tidak ada dalam Al-Quran, dan tampaknya sama seperti apa yang diucapkan oleh khalifah kedua bahwa ada ayat rajam.
Ada Surah seperti At-Taubah yang Hilang.
Abu Harb ibn Abi Aswad meriwayatkan dari ayahnya yang berkata: “Abu Musa Al-Asyari berkunjung ke Basrah untuk menemui para qari di sana. Dia bertemu dengan 300 qari dan berkata kepada mereka: ‘Kalian adalah sebaik-baiknya penduduk Basrah dan qari mereka.’ Maka mereka membaca surah panjang seperti Al-Bara’ah (At-Taubah). Saya lupa surah tersebut. Akan tetapi beberapa ayatnya masih saya hapal, yaitu: …Law kaani li ibni Adam… Demikian pula kami pernah membaca surah mirip dengan satu surah yang diawali shabaha lillaahi. Saya telah lupa surah itu. Hanya beberapa ayatnya masih saya ingat. Di antaranya: Yaa ayyuhalladziina aamanuu limaa taquuluu… (Shahih Muslim, jilid II, hlm. 100; Al-Itqan, jilid II, hlm. 25; Al-Burhan fii Ulumil-Quran, jilid II, hlm. 43).
Ayat Radha’ah yang Hilang.
Dari Ummul-Mu’minin Aisyah yang berkata: “Di antara ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan adalah: “‘Asyru radha’aat ma’luumaat yuharramna… (Shahih Muslim, jilid IV, hlm. 167-168; Al-Bidayatul-Mujtahid, jilid II, hlm. 36; Ad-Durr Al-Mantsur, jilid II, hlm. 135).
Awal Surah At-Taubah Hilang dengan Basmalah.
Dari Imam Malik: “Ketika awal surah Al-Bara’ah (At-Taubah) hilang, maka basmalah (bismillahirrahmaanirrahiim) pun hilang bersamanya. Padahal sudah pasti sebelumnya surah tersebut sama panjangnya dengan surah Al-Baqarah (Al-Itqan, jilid I, hlm. 65) Sebagaimana diketahui bersama bahwa At-Taubah merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan basmalah. Dan terlihat riwayat ini sesuai dengan riwayat sebelumnya bahwa 195 ayat surah At-Taubah hilang, sehingga panjangnya sama seperti Al-Baqarah.
Ayat Ali Mawla Mu’minin.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata: “Pada masa Rasulallah kami membaca ayat yang berbunyi: Yaa ayyuharrasuul ballagh maa anzal ilayka min rabbika anna Aliyan mawlal-mu’minin wa in lam… (Ad-Durr Al-Mantsur, jilid II, hlm. 298; At-Tahmid fi Ulumil-Quran, jilid I, hlm. 261) Padahal dalam surah Al-Maidah ayat 67 tidak ada kata-kata Ali, dan kaum Syiah pun menolak adanya kalimat tersebut dalam Al-Quran.
Itulah sebagian riwayat tahrif Al-Quran yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Jadi baik Syiah maupun Ahlus Sunnah ada riwayat tahrif, bedanya yang satu shahih yang satu lagi tidak shahih (menurut masing-masing). Jadi jangan mengatakan bahwa Syiah mempunyai Quran yang berbeda, sementara di sisi lain ada juga riwayat tahrif dalam kitab shahih. Sudah saatnya berhenti bertikai. Justru kita harus mengamalkan apa yang ada di Al-Quran Al-Karim, insya Allah. Mohon maaf apabila ada kata-kata kurang berkenan.
Salam Damai
(Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email