Pesan Rahbar

Home » , , , , » INILAH FAKTA BUKTI HADIS AHLUS SUNNAH TERHADAP ABU BAKAR (2)

INILAH FAKTA BUKTI HADIS AHLUS SUNNAH TERHADAP ABU BAKAR (2)

Written By Unknown on Saturday 19 July 2014 | 06:01:00

4. Studi Kritis Riwayat Zaid bin Aliy Tentang Fadak : Bantahan Untuk Nashibi
Tulisan ini hanya sedikit tambahan dari tulisan sebelumnya yang membahas tentang riwayat Zaid bin Ali bin Husain dimana ia menyepakati Abu Bakar dalam masalah Fadak. Pada tulisan sebelumnya kami telah membahas illat [cacat] riwayat tersebut yaitu bahwa riwayat Zaid bin Aliy berasal dari seorang yang majhul. Nashibi yang tidak suka kalau hujjah mereka dipatahkan membuat bantahan ngawur untuk membela riwayat Zaid bin Aliy tersebut. Tulisan ini kami buat sebagai bantahan bagi Nashibi yang dimaksud.

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَنَا عَمِّي، قَالَ نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ نَا ابْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ، قَالَ قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، أَمَّا أَنَا فَلَوْ كُنْتُ مَكَانَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَحَكَمْتُ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي فَدَكٍ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Dawud dari Fudhail bin Marzuuq yang berkata Zaid bin Ali bin Husain berkata “adapun aku seandainya berada dalam posisi Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] maka aku akan memutuskan seperti keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] dalam masalah Fadak” [Fadhail Ash Shahabah Daruquthniy no 52].

Riwayat ini juga disebutkan Hammad bin Ishaq dalam Tirkatun Nabiy 1/86  oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 6/302, Dalaail An Nubuwwah 7/281 dan Al I’tiqaad 1/279 semuanya dengan jalan sanad dari Ismail bin Ishaq Al Qadhiy [pamannya Ibrahim bin Hammaad] dari Nashr bin Ali dari ‘Abdullah bin Dawud dari Fudhail bin Marzuuq.

Atsar ini dhaif karena Fudhail bin Marzuq tidak meriwayatkan langsung dari Zaid bin Aliy bin Husain. Ia terbukti melakukan tadlis, atsar ini diambil Fudhail bin Marzuq dari An Numairy bin Hassaan dari Zaid bin Aliy bin Husain. An Numairiy bin Hassaan adalah seorang yang majhul. Inilah buktinya:

 حدثنا محمد بن عبد الله بن الزبير قال حدثنا فضيل ابن مرزوق قال حدثني النميري بن حسان قال قلت لزيد بن علي رحمة الله عليه وأنا أريد أن أهجن أمر أبي بكر إن أبا بكر رضي الله عنه انتزع من فاطمة رضي الله عنها فدك فقال إن أبا بكر رضي الله عنه كان رجلا رحيما وكان يكره أن يغير شئيا تركه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتته فاطمة رضي الله عنها فقالت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاني فدك فقال لها هل لك على هذا بينة ؟ فجاءت بعلي رضي الله عنه فشهد لها، ثم جاءت بأم أيمن فقالت أليس تشهد أني من أهل الجنة ؟ قال بلى قال أبو أحمد يعني أنها قالت ذاك لابي بكر وعمر رضي الله عنهما – قالت فأشهد أن النبي صلى الله عليه وسلم أعطاها فدك فقال أبو بكر رضي الله عنه: فبرجل وامرأة تستحقينها أو تستحقين بها القضية ؟ قال زيد بن علي وأيم الله لو رجع الامر إلى لقضيت فيها بقضاء أبي بكر رضي الله عنه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair yang berkata telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepadaku An Numairiy bin Hassaan yang berkata aku berkata kepada Zaid bin Aliy [rahmat Allah atasnya] dan aku ingin merendahkan Abu Bakar bahwa Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] merampas Fadak dari Fathimah [radiallahu ‘anha]. Maka Zaid berkata “Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] adalah seorang yang penyayang dan ia tidak menyukai mengubah sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], kemudian datanglah Fathimah [radiallahu ‘anha] dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan Fadak kepadaku”. Abu Bakar berkata kepadanya “apakah ada yang bisa membuktikannya?” maka datanglah Aliy [radiallahu ‘anhu] dan bersaksi untuknya kemudian datang Ummu Aiman yang berkata “tidakkah kalian bersaksi bahwa aku termasuk ahli surga?”. Abu Bakar menjawab “benar” [Abu Ahmad berkata bahwa Ummu Aiman mengatakan hal itu kepada Abu Bakar dan Umar]. Ummu Aiman berkata “maka aku bersaksi bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan fadak kepadanya”. Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] kemudian berkata “maka apakah dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan bersaksi atasnya hal ini bisa diputuskan?”. Zaid bin Ali berkata “demi Allah seandainya perkara ini terjadi padaku maka aku akan memutuskan tentangnya dengan keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] [Tarikh Al Madinah Ibnu Syabbah 1/199-200].

Riwayat Ibnu Syabbah dalam Tarikh Madinah ini adalah riwayat yang shahih sanadnya hingga Fudhail bin Marzuq. Maka riwayat ini melengkapi riwayat Daruquthniy sebelumnya. Riwayat Daruquthni dkk memuat sanad dimana “Fudhail bin Marzuq berkata Zaid bin Aliy berkata” sedangkan riwayat Ibnu Syabbah memuat sanad yaitu “Fudhail bin Marzuq berkata telah mengabarkan kepadaku An Numairiy bin Hassaan bahwa Zaid bin Aliy berkata”. Maka ini menjadi bukti Fudhail bin Marzuq tidak meriwayatkan langsung dari Zaid bin Aliy melainkan melalui perantara yang majhul. Kesimpulannya riwayat tersebut dhaif.
Ada seorang nashibi yang berusaha membela riwayat ini dengan pembelaan yang mengada-ada. Ia seolah-olah menunjukkan bantahan ilmiah padahal bantahannya ngawur dan tidak sesuai dengan kaidah ilmu hadis. Pada pembahasannya ia mengatakan apakah tambahan Numairiy bin Hassaan itu mahfuudh?. Ia mengatakan bahwa riwayat Ibnu Syabbah tidak mahfuudh dan yang mahfuudh adalah riwayat tanpa tambahan sanad Numairiy bin Hassaan. 

Mari kita lihat satu persatu alasannya:
Nashibi itu mengatakan bahwa riwayat Ibnu Syabbah sangat gharib karena hanya dibawakan Ibnu Syabbah dalam Tarikh Madinah dan dalam riwayat itu saja. Kami katakan ini alasan yang mengada-ada. Apa riwayat Daruquthni dkk yang ia bawakan itu adalah riwayat yang masyhur?. Jelas sekali bahwa semua riwayat yang ia nukil itu berujung pada Ismaail bin Ishaq Al Qadhiy dari Nashr bin Aliy dari Ibnu Dawud dari Fudhail bin Marzuq. Hanya sanad ini saja, tidak ada sanad lain. Jadi kedudukan riwayat Daruquthni dan riwayat Ibnu Syabbah dari sisi ini adalah sama yaitu sama-sama diriwayatkan dengan satu jalan sanad. Walaupun atsar Zaid bin Aliy ini diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah saja, itu tidak menjadi alasan untuk melemahkan atau menyatakan riwayat tersebut gharib. Mengapa riwayat Ibnu Syabbah yang dikatakan gharib?. Mengapa bukan riwayat Ismail bin Ishaq Al Qadhiy yang dikatakan gharib?. Kalau riwayat Ibnu Syabbah dikatakan gharib maka riwayat Ismail bin Ishaq Al Qaadhiy pun bisa dikatakan gharib.

Sebenarnya jika kita teliti dengan baik riwayat Ibnu Syabbah itu sanadnya lebih tinggi dari riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Hammad bin Ishaq karena sebelum mereka [Daruquthni, Baihaqi dan Hammad bin Ishaq] itu lahir, Ibnu Syabbah telah meriwayatkan atsar Zaid bin Aliy tersebut.

Kemudian nashibi yang dimaksud juga menyatakan riwayat Ibnu Syabbah tidak mahfuudh karena diriwayatkan oleh An Numairiy yang majhul. Ini jelas cara penarikan kesimpulan yang ngawur. An Numairiy itu terletak diantara Fudhail bin Marzuq dan Zaid bin Aliy, justru riwayat Ibnu Syabbah menunjukkan illat [cacat] riwayat Ismail bin Ishaaq Al Qaadhiy yaitu Fudhail bin Marzuq melakukan tadlis dalam riwayat tersebut. Lain halnya jika perawi majhul tersebut terletak diantara Ibnu Syabbah dan Fudhail bin Marzuq maka beralasan untuk menyatakan riwayat Ibnu Syabbah itu tidak mahfuudh karena sanadnya tidak shahih sampai Fudhail bin Marzuuq. Lha ini jelas-jelas riwayat Ibnu Syabbah tersebut sanadnya shahih hingga Fudhail bin Marzuq. Sungguh kami dibuat terheran-heran dengan ilmu hadis ala nashibi.

Nashibi itu menyebarkan Syubhat lain yaitu Ibnu Syabbah walaupun seorang tsiqat tetapi bukan dalam derajat ketsiqahan yang tinggi, Nashibi itu mengutip Ibnu Hajar yang mengkritik riwayatnya dan hal ini membuat Ibnu Hajar menurunkan kredibilitasnya kedalam derajat shaduq.

Kami katakan Ibnu Syabbah itu seorang yang tsiqat. Kritikan terhadapnya itu tidak beralasan alias hanya perkiraan yang tidak menafikan perkiraan lainnya. Daruquthni berkata “tsiqat”. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “mustaqiim al hadits”. Al Khatib berkata “tsiqat”. Al Marzabaaniy berkata “shaduq tsiqat”. Maslamah bin Qasim berkata “tsiqat”. Muhammad bin Sahl berkata “shaduq cerdas”. [At Tahdzib juz 7 no 768]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/719] tetapi Ibnu Hajar dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Ibnu Syabbah seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 4071].

Nashibi itu mengutip Al Bazzar, Ibnu Asakir dan Ibnu Hajar yang mengkritik salah satu riwayat Ibnu Syabbah dimana ia meriwayatkan dari Hushain bin Hafsh dari Sufyan Ats Tsawriy dari Zubaid dari Murrah dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Ibnu Syabbah dikatakan keliru karena riwayat yang masyhur adalah dari Ats Tsawriy dari Mughhirah bin Nu’man dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas secara marfu’.

Kritikan terhadap Ibnu Syabbah ini perlu ditinjau kembali, Ibnu Hibban memasukkan hadis Ibnu Mas’ud tersebut dalam kitab Shahih-nya. Artinya Ibnu Hibban tidak sependapat dengan yang mengatakan riwayat tersebut khata’:

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحٍسْيَنُ الْجَرَادِيُّ بِالْمَوْصِلِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّةَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ حَفْصٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ مُرَّةَ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلا ، وَأَوَّلُ الْخَلائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Husain Al Jaraadiy di Maushulliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Syabbah yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Zubaid dari Murrah dari ‘Abdullah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya kalian dikumpulkan menuju Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak dikhitan. Dan makhluk pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat adalah Ibrahim [Shahih Ibnu Hibban no 7284].

Seandainya pun hadis Ibnu Mas’ud ini khata’ karena telah diriwayatkan banyak perawi tsiqat dari Ats Tsawriy dengan jalan sanad dari Mughirah bin Nu’man dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas secara marfu’ maka perawi yang patut dinyatakan melakukan kekeliruan adalah Husain bin Hafsh Al Ashbahaniy karena ia yang meriwayatkan dari Ats Tsawriy dan telah menyelisihi para perawi tsiqat.

Husain bin Hafsh Al Ashbahaniy biografinya disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib. Abu Hatim berkata “mahallahu shidqu”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 597]. Melihat perkataan Abu Hatim tentangnya maka bisa dimpulkan bahwa Husain bin Hafsh bukan termasuk perawi yang kuat dhabitnya. Kedudukan Husain bin Hafsh jelas dibawah dari kedudukan Ibnu Syabbah dan Husain bin Hafsh adalah perawi yang menyelisihi perawi tsiqat dalam riwayatnya dari Ats Tsawriy. Kesimpulannya kritikan terhadap Ibnu Syabbah itu keliru.

Kemudian nashibi tersebut menyebarkan syubhat soal Abu Ahmad Az Zubairiy yang melakukan banyak kesalahan dari riwayat Ats Tsawriy.

وقال حنبل بن إسحاق عن أحمد بن حنبل كان كثير الخطأ في حديث سفيان

Hanbal bin Ishaq berkata dari Ahmad bin Hanbal “ia banyak melakukan kesalahan dalam hadis Sufyan” [At Tahdzib juz 9 no 422].

وقال أبو حاتم عابد مجتهد حافظ للحديث له أوهام

Abu Hatim berkata “ahli ibadah, mujtahid, hafiz dalam hadis, memiliki beberapa keraguan” [At Tahdzib juz 9 no 422].

Jika memang terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh Abu Ahmad Az Zubairiy maka itupun hanya terbatas pada sebagian riwayatnya dari Sufyan Ats Tsawriy. Pernyataan ini tidaklah mutlak melainkan hanya terbatas pada riwayatnya dari Tsawriy, itupun tidak mutlak untuk semua riwayatnya dari Ats Tsawriy melainkan hanya sebagian. Hal ini dikuatkan oleh beberapa petunjuk yang menguatkan.

Riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyan telah dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih. Kemudian sebagian ulama justru menguatkan riwayatnya dari Sufyan.

نا عبد الرحمن حدثنى ابى حدثنى أبو بكر بن ابى عتاب الاعين قال سمعت احمد بن حنبل وسألته عن اصحاب سفيان قلت له الزبيري ومعاوية بن هشام ايهما احب اليك ؟ قال الزبيري، قلت له زيد بن الحباب أو الزبيري ؟ قال الزبيري

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Itaab Al A’yan yang berkata aku mendengar Ahmad bin Hanbal dan aku bertanya kepadanya tentang sahabat Sufyan. Aku berkata kepadanya “Az Zubairiy dan Muawiyah bin Hisyaam yang mana diantara keduanya yang lebih engkau sukai?”. Ia berkata Az Zubairiy. Aku berkata kepadanya “Zaid bin Hubab atau Az Zubairiy?”. Ia berkata “Az Zubairiy” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/297 no 1211].

قال أبو نعيم في أصحاب سفيان: ليس منهم أحد مثل أبي أحمد الزبيري، واسمه محمد بن عبد الله بن الزبير

Abu Nu’aim berkata tentang para sahabat Sufyan “tidak ada diantara mereka seorangpun yang menyerupai Abu Ahmad Az Zubairiy, Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair” [Ats Tsiqat Ibnu Syahiin no 1262].

قال نصر بن علي سمعت أحمد الزبيري يقول لا أبالي أن يسرق مني كتاب سفيان أني أحفظه كله

Nashr bin ‘Aliy berkata aku mendengar Ahmad Az Zubairiy mengatakan “aku tidak peduli jika seseorang mencuri dariku Kitab Sufyan karena aku telah menghafal semuanya” [At Tahdzib juz 9 no 422].

Abu Ahmad Az Zubairiy adalah seorang yang tsiqat tsabit hanya saja ia dikatakan melakukan kesalahan dalam sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy. Tentu saja hal ini tidaklah melemahkan riwayatnya dari selain Ats Tsawriy. Para perawi sekaliber Malik bin Anas dan Syu’bah saja pernah melakukan beberapa kesalahan dalam meriwayatkan hadis dan tidaklah itu menjatuhkan kedudukan mereka dalam riwayatnya yang lain. Karena sebagai seorang manusia tidak peduli seberapa tinggi kedudukan tsiqat yang ia miliki tetap bisa saja melakukan kesalahan.

Nashibi itu menyatakan bahwa Ismail bin Ishaq, Nashr bin Aliy dan Ibnu Dawud adalah tiga orang perawi yang memiliki martabat ketsiqahan yang tinggi. Kami katakan setinggi apapun tingkat ketsiqatan mereka, hal itu tidak membuat riwayat Ibnu Syabbah itu menjadi lemah, gharib ataupun tidak mahfuudh. Ibnu Syabbah adalah seorang yang tsiqat dan Abu Ahmad Az Zubairiy adalah seorang yang tsiqat lagi tsabit. Bahkan riwayat Ibnu Syabbah lebih tinggi sanadnya dan matannya lebih lengkap dari riwayat Ismail bin Ishaq Al Qaadhiy.

Kedua riwayat, yaitu riwayat Ismail bin Ishaq Al Qaadhiy dan riwayat Ibnu Syabbah adalah benar. Tidak ada dari kedua riwayat tersebut sesuatu yang perlu ditarjih sehingga riwayat yang satu diterima dan riwayat yang lain harus ditolak. Kedua riwayat tersebut sanadnya shahih sampai Fudhail bin Marzuq dan menunjukkan bahwa Fudhail bin Marzuq melakukan tadlis dalam perkataan Zaid bin Aliy dimana sebenarnya ia mengambil perkataan tersebut dari An Numairiy bin Hassaan seorang yang majhul.

Aneh sekali jika nashibi tersebut mempermasalahkan tingkat ketsiqatan para perawi yang ia jadikan hujjah mengingat Fudhail bin Marzuq sendiri adalah seorang yang hadisnya hanya bertaraf hasan dan tidak mencapai derajat ketsiqatan tinggi seperti yang ia katakan pada tiga perawi lain.

Nashibi tersebut kemudian menyatakan bahwa matan riwayat Ibnu Syabbah kontradiktif dengan riwayat shahih. Kami katakan hal itu jika memang benar maka tidaklah berpengaruh sedikitpun pada kedudukan riwayat Zaid bin Aliy disisi kami. Bukankah dari pembahasan sebelumnya kami katakan kalau riwayat Zaid bin Aliy tersebut dhaif maka jika matannya dikatakan nashibi itu bertentangan dengan riwayat shahih, hal itu justru menguatkan kedhaifan riwayat Zaid bin Aliy.

Kemudian nashibi itu mengatakan perkataan Zaid bin Aliy seandainya ia dalam posisi Abu Bakar maka ia akan menetapkan keputusan seperti Abu Bakar dalam masalah Fadak, tidaklah cocok diterapkan dalam konteks riwayat Ibnu Syabbah. Alasan nashibi itu adalah jika memang Zaid bin Aliy tahu persaksian Ali dan Ummu Aiman maka apakah mungkin ia akan menahan tanah Fadak?. Kami katakan kalau melihat secara utuh matan riwayat Ibnu Syabbah maka Abu Bakar tidak menerima kesaksian satu orang laki-laki [Ali bin Abi Thalib] dan satu orang perempuan [Ummu Aiman] sehingga ia menolak bahwa tanah Fadak itu adalah milik Sayyidah Fathimah. Inilah yang disepakati oleh Zaid bin Aliy bahwa kesaksian satu orang laki-laki dan satu orang perempuan tidaklah cukup dan yang menjadi hujjah adalah kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan atau kesaksian dua orang laki-laki.

Nashibi ini telah mencampuradukkan antara hujjah riwayat dengan asumsinya sendiri. Tidak ada keterangan dalam riwayat Ismail bin Ishaaq Al Qaadhiy bahwa yang disepakati oleh Zaid bin Aliy adalah hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan. Ini adalah asumsi nashibi itu sendiri. Riwayat Ismaail bin Ishaaq Al Qaadhiy adalah ringkasan dari riwayat Ibnu Syabbah, hal ini terlihat dari sanadnya yang berujung pada Fudhail bin Marzuq dan matannya yang serupa sehingga penjelasannya pun harus merujuk pada riwayat Ibnu Syabbah yang lebih lengkap baik sanad maupun matannya.

Kami pribadi juga tidak yakin Zaid bin Aliy akan menyepakati hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan mengingat Sayyidah Fathimah sendiri mengingkari hadis tersebut dan Imam Ali setelah Sayyidah Fathimah wafat tetap mengakui di hadapan kaum muslimin bahwa Ahlul bait berhak akan tanah Fadak. Bukankah atsar Zaid bin Aliy dari sisi ini kontradiktif dengan pendirian Ahlul Bait. Maka sederhananya bisa saja dikatakan riwayat tersebut tertolak, apalagi Fudhail bin Marzuuq [meminjam bahasa nashibi itu] bukan perawi yang memiliki derajat ketsiqatan yang tinggi. Aneh bin ajaib nashibi tersebut tidak mengambil kesimpulan seperti ini mungkin karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Ia lebih suka melemahkan riwayat lain yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Dan telah kami tunjukkan di atas betapa menyedihkannya hujjah nashibi. Kesimpulannya baik dari segi sanad maupun matan, riwayat Zaid bin Aliy itu tertolak.

5. Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?
Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya. Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat tersebut tidaklah tsabit.

وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي

Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah, memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam, dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471].

Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat [cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.

Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf. Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no 1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus].

Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H. Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun 9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H. Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.

Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar, Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena sanadnya terputus.

Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah.

قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin ‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.

Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais. Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif [Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan soal pendapat Ibnu Ma’in.
  • Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
  • Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
  • Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100]
  • Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162]
  • Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121]
Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.

Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata “dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9].

Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata “shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391].

Riwayat ini juga diriwayatkan dengan sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim

حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422].

Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman.
  • Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
  • Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228].
Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ  وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ  قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj. Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291].

Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”. Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua riwayat:
  1. Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit].
  2. Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.
Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.
Fadhl bin Muhammad memang dikenal meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal darinya adalah:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ

Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.

Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Uwais seorang yang dhaif.

6. Riwayat Zaid bin Aliy Menyepakati Abu Bakar Dalam Masalah Fadak.
Salah satu trik murahan nashibi dalam menyebarkan syubhat adalah mengutip pendapat ahlul bait yang menguatkan hujjah mereka. Contohnya dalam masalah Fadak dimana terjadi perselisihan antara Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] dan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] para nashibi berhujjah dengan pernyataan Zaid bin Aliy yang menyepakati keputusan Abu Bakar. Berikut riwayat yang mereka jadikan hujjah

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَنَا عَمِّي، قَالَ نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ نَا ابْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ، قَالَ قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، أَمَّا أَنَا فَلَوْ كُنْتُ مَكَانَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَحَكَمْتُ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي فَدَكٍ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Dawud dari Fudhail bin Marzuuq yang berkata Zaid bin Ali bin Husain berkata “adapun aku seandainya berada dalam posisi Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] maka aku akan memutuskan seperti keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] dalam masalah Fadak” [Fadhail Ash Shahabah Daruquthniy no 52] .
  
Riwayat ini juga disebutkan Hammad bin Ishaq dalam Tirkatun Nabiy 1/86  oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 6/302, Dalaail An Nubuwwah 7/281 dan Al I’tiqaad 1/279 semuanya dengan jalan sanad dari Ismail bin Ishaq Al Qadhiy [pamannya Ibrahim bin Hammaad] dari Nashr bin Ali dari ‘Abdullah bin Dawud dari Fudhail bin Marzuuq. Para perawi riwayat ini adalah perawi tsiqat kecuali Fudhail bin Marzuuq, ia seorang yang diperbincangkan tetapi ia seorang yang shaduq hasanul hadis. Sehingga nampak riwayat ini secara zahir sanadnya hasan.

Riwayat ini mengandung illat [cacat], Fudhail bin Marzuq tidak meriwayatkan secara langsung perkataan Zaid bin Aliy tersebut. Ia meriwayatkan melalui perantara perawi lain. Kami menemukan riwayat serupa dengan matan yang lebih detail dan menjelaskan apa maksud perkataan Zaid bin Aliy tersebut.

حدثنا محمد بن عبد الله بن الزبير قال حدثنا فضيل ابن مرزوق قال حدثني النميري بن حسان قال قلت لزيد بن علي رحمة الله عليه وأنا أريد أن أهجن أمر أبي بكر إن أبا بكر رضي الله عنه انتزع من فاطمة رضي الله عنها فدك فقال إن أبا بكر رضي الله عنه كان رجلا رحيما وكان يكره أن يغير شئيا تركه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتته فاطمة رضي الله عنها فقالت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاني فدك فقال لها هل لك على هذا بينة ؟ فجاءت بعلي رضي الله عنه فشهد لها، ثم جاءت بأم أيمن فقالت أليس تشهد أني من أهل الجنة ؟ قال بلى قال أبو أحمد يعني أنها قالت ذاك لابي بكر وعمر رضي الله عنهما – قالت فأشهد أن النبي صلى الله عليه وسلم أعطاها فدك فقال أبو بكر رضي الله عنه: فبرجل وامرأة تستحقينها أو تستحقين بها القضية ؟ قال زيد بن علي وأيم الله لو رجع الامر إلى لقضيت فيها بقضاء أبي بكر رضي الله عنه

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair yang berkata telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepadaku An Numairiy bin Hassaan yang berkata aku berkata kepada Zaid bin Aliy [rahmat Allah atasnya] dan aku ingin merendahkan Abu Bakar bahwa Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] merampas Fadak dari Fathimah [radiallahu ‘anha]. Maka Zaid berkata “Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] adalah seorang yang penyayang dan ia tidak menyukai mengubah sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], kemudian datanglah Fathimah [radiallahu ‘anha] dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan Fadak kepadaku”. Abu Bakar berkata kepadanya “apakah ada yang bisa membuktikannya?” maka datanglah Aliy [radiallahu ‘anhu] dan bersaksi untuknya kemudian datang Ummu Aiman yang berkata “tidakkah kalian bersaksi bahwa aku termasuk ahli surga?”. Abu Bakar menjawab “benar” [Abu Ahmad berkata bahwa Ummu Aiman mengatakan hal itu kepada Abu Bakar dan Umar]. Ummu Aiman berkata “maka aku bersaksi bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan fadak kepadanya”. Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] kemudian berkata “maka apakah dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan bersaksi atasnya hal ini bisa diputuskan?”. Zaid bin Ali berkata “demi Allah seandainya perkara ini terjadi padaku maka aku akan memutuskan tentangnya dengan keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] [Tarikh Al Madinah Ibnu Syabbah 1/199-200].

Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair dalam riwayat di atas adalah Abu Ahmad Az Zubairiy perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat. Ibnu Numair menyatakan ia shaduq. Ibnu Ma’in dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Bindaar berkata “aku belum pernah melihat orang yang lebih hafizh darinya”. Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy menyatakan shaduq. Abu Hatim berkata “ahli ibadah mujathid hafizh dalam hadis dan pernah melakukan kesalahan”. Ahmad bin Hanbal berkata “ia banyak melakukan kesalahan dalam riwayat Sufyan”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad berkata shaduq banyak meriwayatkan hadis. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 422]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit kecuali sering keliru dalam riwayat Ats Tsawriy” [At Taqrib 2/95].

Pernyataan sering keliru dalam riwayat Ats Tsawriy bersumber dari perkataan Ahmad bin Hanbal padahal Ahmad bin Hanbal sendiri pernah mengatakan bahwa diantara sahabat Sufyan, Az Zubairiy lebih ia sukai dari Muawiyah bin Hisyaam dan Zaid bin Hubaab [Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 2357]. Selain itu Bukhari Muslim memasukkan hadis Az Zubairiy dari Sufyan dalam kitab shahih mereka. Pendapat yang rajih Abu Ahmad Az Zubairiy adalah seorang yang tsiqat tsabit.

Jadi ada dua orang yang meriwayatkan dari Fudhail bin Marzuuq yaitu ‘Abdullah bin Dawuud Asy Sya’biy seorang yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/489] dan Abu Ahmad Az Zubairiy seorang yang tsiqat tsabit.
  • Riwayat Ibnu Dawud adalah Fudhail bin Marzuuq berkata bahwa Zaid bin Ali mengatakan hal itu [tidak menggunakan sighat pendengaran langsung].
  • Riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy adalah Fudhail bin Marzuuq berkata telah menceritakan kepadaku An Numairiy bin Hassaan bahwa Zaid bin Ali berkata demikian [menggunakan sighat langsung].
Hal ini menunjukkan bahwa Fudhail bin Marzuuq menukil perkataan Zaid bin Aliy itu dari perawi yang bernama An Numairiy bin Hassaan. Dia tidak dikenal kredibilitasnya alias majhul maka riwayat perkataan Zaid bin Aliy ini kedudukannya dhaif.

Dari segi matan maka pernyataan Zaid bin Aliy ini justru menguatkan bahwa Ahlul Bait yaitu Sayyidah Fathimah [alaihis salam] dan Imam Ali [alaihis salam] mengakui kalau Fadak adalah hak milik mereka. Seandainya riwayat tersebut tsabit maka pernyataan Zaid bin Aliy jelas keliru, Pernyataan Sayyidah Fathimah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan Fadak kepadanya tidaklah perlu diminta kesaksian. Orang yang meminta kesaksian atas perkataan Sayyidah Fathimah berarti orang tersebut tidak mengerti kedudukan Sayyidah Fathimah di sisi Allah SWT dan Rasul-Nya. Sayyidah Fathimah adalah pribadi yang perkataan dan sikapnya menjadi hujjah bagi umat karena Beliau adalah pedoman bagi umat agar tidak tersesat. Silakan saja kalau nashibi itu ingin berhujjah dengan Zaid bin Aliy [itupun kalau riwayatnya shahih] sedangkan kami lebih suka memihak Ahlul Bait yang lebih utama yaitu Sayyidah Fathimah dan Imam Ali.

7. Anomali Bantahan Nashibi Al Fanarku Tentang Warisan Nabi.
Memang parah sekali jika ada orang yang tidak bisa berpikir dengan benar. Bukankah telah disampaikan kepadanya nasihat untuk belajar ilmu logika dengan baik agar ia dapat mengambil kesimpulan dengan cara yang benar. Tetapi anehnya orang ini memang tidak pernah sadar diri. Berulang kali ia menunjukkan cara kerja akalnya yang menyedihkan. Ia berkata dalam tulisannya yang mungkin ia buat dengan niat membantah kami [tetapi hasilnya hanya menunjukkan bantahan “ngeyelisme” kayak anak kecil]
Perselisihan yang terjadi antara Ahlul bait [Sayyidah Fathimah] dan Abu Bakar adalah perselisihan biasa layaknya perselisihan antar mujtahid.
Kami sarankan agar ia belajar dulu apa maknanya “ijtihad” dan apa yang disebut “mujtahid”. Kalau orang bisanya asal sebut maka tulisannya jadi ngawur bin serampangan. Masa’ sih dia gak mikir, apa ketika Abu Bakar membawakan hadis “Nabi tidak mewariskan” ia sedang berijtihad?. Apa yang perlu diijtihadkan kalau hadisnya jelas sekali dan Abu Bakar hanya menyampaikan hadis. Masa’ sih dia gak mikir ketika Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar setelah mendengar hadisnya Abu Bakar, itu dinamakan ijtihad?. Duduk persoalan antara Abu Bakar dan Sayyidah Fathimah adalah Abu Bakar menyampaikan hadis dan Sayyidah Fathimah menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar tersebut. Hal ini tampak dari sikap Beliau yang marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar padahal Abu Bakar hanya menyampaikan hadis tersebut.
Seperti biasa orang syi’ah rafidhah ini tidak henti-hentinya berusaha mendiskreditkan Abu Bakar, padahal jelas Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seorang yang berkata benar, apa yang dikatakan oleh Abu Bakar adalah apa yang dia dengar langsung dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan jelas-jelas Imam Ali telah membenarkannya dalam suatu hadits yang shahih pada masa Umar bin Khattab dan Imam Ali beserta anak keturunannya tidaklah menjadikan peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai warisan dan mereka telah mengikuti apa yang pendahulunya (Abu Bakar, Umar dan Utsman) telah lakukan dalam mengelola peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.
Ini cuma “ngeyelisme” yang lahir dari orang yang sudah putus asa dalam berhujjah. Kami telah membahas hadis yang ia maksud. Dalam hadis tersebut tertera jelas kalau Imam Ali pada masa Umar meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ini bukti nyata kalau Imam Ali menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar. Dalam hadis tersebut Imam Ali menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai orang yang zalim dan durhaka padahal keduanya hanya menyampaikan hadis tersebut maka ini menjadi bukti lebih nyata kalau Imam Ali menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar dan Umar. Imam Ali telah nyata-nyata mengakui di depan kaum muslimin bahwa ahlul bait adalah orang yang berhak akan harta tersebut. Semua fakta ini tidak diperhatikan oleh si nashibi dan ia tenggelam dalam wahamnya yang terus diulang-ulang.
Jika orang syi’ah ini mengatakan bahwa Imam Ali dan Abbas tidak membenarkan lalu apa arti ucapan mereka berdua dihadapan Umar? Apakah ahlul bait itu serba tahu? Apakah suatu aib jika sekali-kali ahlul bait tidak mengetahui suatu hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam? Jika hal tersebut menurutnya adalah suatu aib maka benar-benar pemikiran yang anomali.
Seorang nashibi memang tidak akan pernah tahu keutamaan Ahlul Bait. Hadis shahih telah membuktikan kalau Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat islam agar tidak tersesat. Artinya Ahlul Bait adalah pegangan bagi umat islam termasuk bagi Abu Bakar. Ahlul Bait selalu bersama Al Qur’an dan tidak akan berpisah sampai kembali kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Al Haudh. Sedangkan Abu Bakar sebesar apapun kemuliaan yang ia miliki ia tetap seorang manusia biasa yang bisa salah manusia biasa yang dipesankan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar berpegang teguh pada Al Qur’an dan Ahlul Bait. Sikap Nashibi yang menolak Ahlul Bait sebagai pedoman umat hanya menunjukkan pendustaan mereka terhadap hadis Tsaqalain [kami tidak heran karena ini memang ciri khas nashibi].
Mudah menjawab syubhat orang syi’ah ini, ketika Abu Bakar ditanya apakah dia yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya, maka Abu Bakar menjawab “Bukan aku tetapi keluarganya” adalah benar dan secara umum memang seperti itu, keluarga Nabi-lah yang mewarisi apa-apa yang ditinggalkan Nabi, sekali lagi pada dasarnya adalah seperti itu, tetapi kekhususan telah menafikan hal yang umum dan mendasar ini, makanya kemudian Abu Bakar menyampaikan hadits yang menafikkan hal tersebut yang merupakan kekhususan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam.
Kalau cuma asal jawab baik orang bodoh ataupun orang gila bisa menjawab. Masalahnya bukan “mudah menjawab” atau “susah menjawab” tetapi apakah jawaban itu benar atau paling tidak ada nilainya?. Melihat jawaban yang bersangkutan, yang nampak hanya perkataan tanaqudh alias kontradiksi. Kalau hadis Nabi tidak mewariskan atau Nabi tidak diwarisi adalah benar maka seorang Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah memiliki ahli waris. Maka keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Lha kalau Abu Bakar menyatakan keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang diwariskan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada keluarganya.

Perhatikan cara penarikan kesimpulan “yang sakit”. Ia berkata “adalah benar secara umum memang seperti itu”. Pernyataan ini tidak ada nilainya. Abu Bakar mengakui keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan si nashibi ini berkata secara umum begitu. Apa maksudnya secara umum begitu?. Kalau si nashibi ini bertanya pada ayahnya apakah ia atau tetangganya yang mewarisi ayahnya?. Ayahnya menjawab “tentu saja kamu yang mewarisi ayah”. Apa ia akan ngawur berkata secara umum begitu.

Lihatlah ia berkata “Keluarga Nabi mewarisi apa yang ditinggalkan Nabi” ia bilang secara umum begitu tetapi kekhususan telah menafikan hal yang umum ini. Pembaca sekalian patut bertanya mana kalimat yang umum dan mana kalimat yang khusus. Ini tidak lain akrobat kata-kata yang cuma disusun sekenanya sehingga tampak tidak bermakna sama sekali. Perhatikan dua kalimat berikut:
  1. Keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
  2. Keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kedua pernyataan di atas adalah saling bertentangan dan kontradiktif. Cuma pemikiran bodoh yang menjawab bahwa kalimat pertama adalah umum dan kalimat kedua adalah khusus. Kalau kalimat pertama berbunyi “seorang anak mewarisi Ayahnya” dan kalimat kedua berbunyi “Sayyidah Fathimah tidak mewarisi ayahnya” terus ia menjawab kalimat pertama adalah umum dan kalimat kedua adalah khusus maka hal ini bisa diterima tetapi kalau kalimat pertama “Sayyidah Fathimah mewarisi Ayahnya” dan kalimat kedua berbunyi “Sayyidah Fathimah tidak mewarisi Ayahnya” maka jawaban kalimat pertama umum dan kalimat kedua khusus hanya menunjukkan logika yang sakit. Mungkin yang bersangkutan tidak pernah belajar ilmu logika dasar. Sebenarnya hal seperti ini walau tidak dipelajari secara khusus akan dimengerti oleh logika manusia pada umumnya. Tetapi zaman sekarang bermunculan manusia-manusia yang berlogika bukan dengan logika manusia.
Justru terlihat Sayyidah Fatimah mengakui hujjah Abu Bakar dengan mengatakan : “engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah lebih tahu”  ini adalah sejelas-jelas dalil bahwa Fatimah mengakui apa yang dikatakan Abu Bakar bahkan beliau mengatakan Abu Bakar lebih mengetahui dalam hal ini. Maka tidak ada hujjah lagi buat orang syi’ah ini karena Sayyidah Fatimah sudah mengakuinya.
Komentar yang ini hanya menunjukkan kalau yang bersangkutan tidak bisa membaca dengan baik dan benar. Tahukah anda hadis apakah yang dibenarkan oleh Sayyidah Fathimah. Hadis tersebut bukan “Nabi tidak mewariskan”

فقال أبو بكر إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إن الله عز و جل إذا أطعم نبيا طعمة ثم قبضه جعله للذي يقوم من بعده فرأيت أن أرده على المسلمين

Abu Bakar berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika Allah ‘azza wajalla memberi makan kepada Nabi kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas setelahnya”. Maka aku berpendapat untuk menyerahkannya kepada kaum muslimin.
Dari pernyataan Abu Bakar ini maka hadis yang disampaikan Abu Bakar tidaklah menafikan bahwa keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi waslalam]. Dari pernyataan Abu Bakar juga terlihat bahwa penyerahan harta itu kepada kaum muslimin adalah pendapat pribadi Abu Bakar. Hal ini sangat jelas pada lafaz “maka aku berpendapat”.

Pada awalnya Abu Bakar mengakui kalau keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian selanjutnya Sayyidah Fathimah benar-benar datang kepada Abu Bakar dan meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] baru pada saat itulah Abu Bakar mengeluarkan hadis Nabi tidak mewariskan dan semua yang ditinggalkan adalah sedekah. Sekarang Abu Bakar menyatakan keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan sekarang Abu Bakar menyatakan atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa harta itu sedekah bagi kaum muslimin padahal sebelumnya ia mengaku itu hanya pendapatnya saja. Mendengar jawaban Abu Bakar ini, Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat.
Maka riwayat di atas bisa sebagai informasi bahwa sebenarnya Sayyidah Fatimah telah menerima dan membenarkan apa yang diputuskan oleh Abu Bakar tersebut, demikian juga dengan Imam Ali, akhirnya mereka mau menerima keputusan Abu Bakar, maka case closed. Lalu siapa yang keliru di sini? Yang orang Syi’ah yang pemikiran-nya anomali itu yang keliru
Pernyataan ini cuma waham atau angan-angan nashibi itu. Duduk persoalannya jelas kok Ahlul Bait [Imam Ali dan Sayyidah Fathimah] tidak pernah menerima hadis Nabi tidak mewariskan yang disampaikan Abu Bakar. Mereka menolak hadis tersebut. Penolakan Sayyidah Fathimah tampak dari kemarahannya dan penolakan Imam Ali tampak dari deklarasinya dihadapan kaum muslimin bahwa Ahlul bait berhak akan harta tersbeut. Case closed dan kebenaran ada pada Ahlul Bait.
Sayyidah marah terhadap Abu Bakar dan tidak berbicara dengannya hingga wafat adalah apa yang Nampak oleh A’isyah, bisa jadi beliau tidak mengetahui bahwa sebenarnya Abu Bakar dan Fatimah sudah baikan dan saling mema’afkan sebagaimana telah diriwayatkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.
Kami sudah pernah bahas riwayat dhaif yang ia sebutkan yaitu riwayat Al Baihaqi. Intinya orang ini memang gak pantas kalau berhujjah dengan hadis. Kesan yang kami tangkap tidak peduli riwayat itu dhaif yang penting kalau sesuai dengan keyakinannya maka itu akan dicomot dan dijadikan dasar untuk menolak riwayat shahih. Btw bukannya dia ini dari dulu punya penyakit “itu bukan kitab mu’tabar”. Nah riwayat Baihaqi itu seharusnya tidak mu’tabar di sisinya jika dibandingkan dengan Shahih Bukhari. Dasar tanaqudh bin tanaqudh
Ini namanya mencampurkan antara sesuatu yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum, pada QS Maryam : 5-6 mengapa ditafsirkan warisan ilmu atau kenabian? Karena memang sudah dimaklumi bahwa pada umat Bani Israil kenabian diturunkan ke anak cucu mereka,
Cuma salafy nashibi yang punya keyakinan kalau Kenabian itu diwariskan. Kalau ditanya mana dalilnya bahwa kenabian itu menjadi warisan turun temurun maka kami yakin ia tidak bisa menjawabnya. Kalau ia mengambil contoh ada Nabi yang anaknya juga seorang Nabi maka apa buktinya Kenabian anaknya itu berasal dari warisan ayahnya?. Kalau Kenabian itu diwariskan maka ia akan terus berlanjut, misalnya ia mengambil contoh Nabi Sulaiman [alaihis salam]mewarisi kenabian dari Nabi Daud [alaihis salam]maka siapakah yang mewarisi kenabian Nabi Sulaiman?. Kalau ia mengatakan Nabi Yusuf mewarisi Kenabian Nabi Ya’qub maka siapakah yang mewarisi kenabian Nabi Yusuf?. Dan Nabi Musa [alaihis salam] adalah Nabi bagi bani Israil maka siapakah anak Nabi Musa yang mewarisi kenabiannya?. Kami yakin yang bersangkutan tidak akan bisa menjawab dengan benar [kalau menjawab asal-asalan, ia memang ahlinya].

Selain itu kalau Kenabian itu memang diwariskan maka sang ahli waris Kenabian hanya akan menjadi Nabi jika ayahnya sudah wafat. Karena namanya pewarisan Kenabian adalah pemindahan status Kenabian. Jadi kalau memang Kenabian diwariskan maka Nabi Sulaiman menjadi Nabi setelah Nabi Daud wafat faktanya Nabi Sulaiman telah menjadi Nabi saat Nabi Daud masih hidup. Ini menunjukkan bahwa Kenabian adalah anugerah dari Allah SWT bukan sesuatu yang diwariskan.
“maka anugrahilah aku dari sisiMu seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub”. Apa yang diwarisi dari keluarga Ya’qub? Tidak lain adalah Ilmu dan Kenabian bukan harta benda.
Jangan buru-buru asal jawab. Yang dimaksud Ya’qub disitu siapa?. Kalau Nabi Ya’qub [alaihis salam] bukankah nashibi itu sendiri yang mengatakan bahwa pewaris kenabiannya adalah Nabi Yusuf [alaihis salam]. Kalau yang dimaksud Nabi Yusuf maka kok bisa-bisanya putra Nabi Zakaria mewarisi Kenabian Nabi Yusuf. Seharusnya yang mewarisi kenabian Nabi Yusuf ya putranya Nabi Yusuf. Atau nashibi ini mau mengatakan putranya Nabi Zakaria juga putra Nabi Yusuf. Sungguh alangkah kacaunya.

Kalau yang dimaksud dalam “mewarisi” itu adalah mewarisi Kenabian maka mengapa perlu dipakai kata “mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub”. Apakah Kenabian Nabi Zakaria dan Kenabian keluarga Ya’qub itu dua jenis Kenabian yang berbeda sehingga keduanya bergabung dalam satu warisan untuk putra Nabi Zakaria?. Kami yakin pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan benar oleh orang tersebut [lain cerita kalau jawaban yang ngasal, sekali lagi dia ahlinya].
Tidak pantas bagi seorang yang shalih untuk memohon kepada Allah agar diberi anak hanya untuk mewarisi harta benda, terlebih seorang nabi seperti Zakariya. beliau tidaklah meminta keturunan melainkan hanya untuk mewairisi ilmu dan kenabian, terbukti beliau diberi oleh Allah seorang anak yang bernama Yahya yang juga menjadi nabi.
Nabi Zakaria berdoa kepada Allah SWT untuk meminta keturunan [anak]. Hanya saja lafaz doa yang disebutkan adalah lafaz doa yang menyebutkan sifat seorang anak bahwa anak akan mewarisi orang tuanya. Kalau seandainya nashibi itu susah mendapat keturunan kemudian ia berdoa dengan lafaz “Ya Allah berilah aku seorang putra yang akan jadi ahli warisku” apakah berarti nashibi itu meminta agar diberi anak hanya untuk mewarisi harta benda. Silakan jawab dengan jujur wahai nashibi, itu cuma persepsi anda sendiri
Nabi Yahya [alaihis salam] tidak mewarisi Kenabian Nabi Zakaria, mengapa? Karena keduanya adalah seorang Nabi di masa yang sama. Nabi Yahya telah diangkat oleh Allah SWT sebagai Nabi saat Nabi Zakaria masih hidup. Jadi dimana letak hujjah pewarisan Kenabian yang dimaksud nashibi itu.
sangat masyhur dalam kitab-kitab sejarah bahwa nabi Zakariya adalah seorang yang fakir, disebutkan bahwa ia hanya seorang tukang kayu. Kira kira harta apa yang ia miliki sehingga minta keturunan kepada Allah subhanahu wata’ala untuk mewarisinya?
Kitab sejarah yang mana wahai nashibi. Jangan-jangan anda mengandalkan alkitab [injil atau taurat] atau riwayat-riwayat Israiliyat. Silakan tunjukkan bukti bahwa Nabi Zakaria ['alaihis salam]seorang tukang kayu dan maaf apa masalahnya jika Beliau seorang tukang kayu?. Mau tukang kayu atau seorang Raja warisan ya tetap diwariskan kepada ahli warisnya.

Dan ada satu lagi yang sangat anomaly tetapi tidak disadari oleh nashibi itu. Ia mengatakan bahwa mewarisi yang dimaksud adalah “mewarisi ilmu dan kenabian”. Pertanyaannya adalah apakah ilmu seorang Nabi itu warisan dari ayahnya yang juga seorang Nabi?. Jawabannya tidak, terdapat dalil yang jelas bahwa ilmu seorang Nabi itu langsung dari Allah SWT. Kenabian itu diangkat langsung oleh Allah SWT dan tidak ada hubungannya dengan warisan. Lihat saja Nabi kita yang mulia Nabi Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] apakah Kenabian Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam] diwariskan dari orang tuanya? Sudah jelas tidak. Jadi darimana datangnya keyakinan “Kenabian itu diwariskan”.

8. Kapan Imam Ali Membaiat Abu Bakar? : Membantah Para Nashibi
Cukup banyak situs nashibi [yang ngaku-ngaku salafy] menyebarkan syubhat bahwa Imam Ali membaiat Abu Bakar pada awal-awal ia dibaiat. Mereka mengutip riwayat dhaif dan melemparkan riwayat shahih. Mereka mengutip dari riwayat [yang tidak mu’tabar menurut sebagian mereka] dan melemparkan riwayat mu’tabar dan shahih di sisi mereka. Mengapa hal itu terjadi?. Karena kebencian mereka terhadap Syiah. Salafy nashibi itu menganggap pernyataan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan sebagai “syubhat Syi’ah”. Menurut salafy nashibi yang namanya “syubhat Syi’ah” pasti dusta jadi harus dibantah meskipun dengan dalih mengais-ngais riwayat dhaif.

Kami akan berusaha membahas masalah ini dengan objektif dan akan kami tunjukkan bahwa kabar yang shahih dan tsabit adalah Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘Alaihis Salam] dan ini tidak ada kaitannya dengan Syiah dan riwayat di sisi mereka. Riwayat yang menyatakan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan adalah riwayat shahih dan tsabit dari kitab yang mu’tabar di sisi para ulama yaitu Shahih Bukhari. Tidak ada keraguan akan keshahihan riwayat ini:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aaisyah Bahwasannya Faathimah [‘alaihis-salaam] binti Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus utusan kepada Abu Bakr meminta warisannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. Abu Bakr berkata ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda ‘Kami tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai sedekah”. Hanya saja, keluarga Muhammad [shallallahu 'alaihi wasallam] makan dari harta ini’. Dan demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam] dari keadaannya semula sebagaimana harta itu dikelola semasa Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam], dan akan aku kelola sebagaimana Rasulullah mengelola. Maka Abu Bakr enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fathimah sehingga Fathimah marah kepada Abu Bakr dalam masalah ini. Fathimah akhirnya mengabaikan Abu Bakr dan tak pernah mengajaknya bicara hingga ia meninggal. Dan ia hidup enam bulan sepeninggal Nabi [shallallaahu 'alaihi wa sallam]. Ketika wafat, ia dimandikan oleh suaminya, Aliy, ketika malam hari, dan ‘Aliy tidak memberitahukan perihal meninggalnya kepada Abu Bakr. Padahal semasa Faathimah hidup, Aliy dituakan oleh masyarakat tetapi, ketika Faathimah wafat, ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu. ‘Aliy kemudian mengutus seorang utusan kepada Abu Bakar yang inti pesannya  ‘Tolong datang kepada kami, dan jangan seorangpun bersamamu!’. Ucapan ‘Aliy ini karena ia tidak suka jika Umar turut hadir. Namun ‘Umar berkata ‘Tidak, demi Allah, jangan engkau temui mereka sendirian’. Abu Bakr berkata ‘Kalian tidak tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Demi Allah, aku sajalah yang menemui mereka.’ Abu Bakr lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata ”Kami tahu keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpandangan, kami lebih berhak karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam’]. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis. Ketika Abu Bakr bicara, ia berkata “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung kekerabatanku sendiri. Adapun perselisihan antara aku dan kalian dalam perkara ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah [shallallahu 'alaihi wa sallam] melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian ‘Aliy berkata kepada Abu Bakr ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya. ‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan keagungan hak Abu Bakar, dan ia menceritakan bahwa apa yang ia lakukan tidak sampai membuatnya dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. Ia berkata “Hanya saja, kami berpandangan bahwa kami lebih berhak  dalam masalah ini namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami sehingga kami pun merasa marah terhadapnya”. Kaum muslimin pun bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berkata “Engkau benar”. Sehingga kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan keadaan menjadi baik” [Shahih Bukhaari no. 4240-4241].

Hadis riwayat Bukhari ini juga disebutkan dalam Shahih Muslim 3/1380 no 1759 dan Shahih Ibnu Hibban 11/152 no 4823. Dari hadis yang panjang di atas terdapat bukti nyata kalau Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam]. Sisi pendalilannya adalah sebagai berikut. Pehatikan lafaz Perkataan Aisyah:

فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ

Ketika [Sayyidah Fathimah] wafat ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.

Aisyah [radiallahu ‘anha] menyatakan dengan jelas bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar adalah setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan dan Imam Ali tidak pernah membaiat pada bulan-bulan sebelumnya. Jadi dari sisi ini tidak ada yang namanya istilah baiat kedua. Itulah baiat Imam Ali yang pertama dan satu-satunya.

Aisyah [radiallahu ‘anha] kemudian menyebutkan dengan jelas peristiwa yang terjadi setelah Sayyidah Fathimah wafat yaitu Imam Ali memanggil Abu Bakar kemudian memutuskan untuk memberikan baiat di hadapan kaum muslimin. Aisyah [radiallahu ‘anha] menyebutkan bahwa Abu Bakar berkhutbah di hadapan kaum muslimin, perhatikan lafaz:

فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ

Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia menaiki mimbar. Ia mengucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaan Ali dari bai’at serta alasannya.
Abu Bakar sendiri sebagai khalifah yang akan dibaiat menyatakan di hadapan kaum muslimin alasan Imam Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Ini bukti nyata kalau Abu Bakar sendiri merasa dirinya tidak pernah dibaiat oleh Imam Ali. Khutbah Abu Bakar disampaikan di hadapan kaum muslimin dan tidak satupun dari mereka yang mengingkarinya. Maka dari sini dapat diketahui bahwa Abu Bakar dan kaum muslimin bersaksi bahwa Ali tidak pernah membaiat sebelumnya kepada Abu Bakar.

Kemudian mari kita lihat riwayat yang dijadikan hujjah oleh salafy nashibi bahwa Imam Ali telah memberikan baiat kepada Abu Bakar pada awal pembaiatan Abu Bakar.

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457].

Hadis riwayat Al Hakim di atas juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16315 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 349-350 dengan jalan sanad yang sama dengan riwayat Al Hakim di atas.
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277, Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16316 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 350. Berikut riwayat Ibnu Asakir.

وأخبرنا أبو القاسم الشحامي أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو الحسن علي بن محمد بن علي الحافظ الإسفراييني قال نا أبو علي الحسين بن علي الحافظ نا أبو بكر بن إسحاق بن خزيمة وإبراهيم بن أبي طالب قالا نا بندار بن بشار نا أبو هشام المخزومي نا وهيب نا داود بن أبي هند نا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري قال قبض النبي (صلى الله عليه وسلم) واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) كان من المهاجرين وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فنحن أنصار خليفته كما كنا أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم غير هذا لم نتابعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه وبايعه عمر وبايعه المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت أين ابن عمة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وختنه على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فبايعه هذا أو معنا

Telah mengabarkan kepada kami Abul Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Bindaar bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata “tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari golongan muhajirin dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita adalah penolong penggantinya sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata “sesungguhnya pembicara kalian benar, seandainya kalian mengatakan selain itu maka kami tidak akan membaiat kalian” dan Umar memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia”. Umar mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan Anshar.
Abu Bakar naik ke atas mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Zubair maka ia memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang dan ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Inilah riwayatnya atau dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277].

Salafy berhujjah dengan riwayat Abu Sa’id di atas dan melemparkan riwayat Aisyah dalam kitab shahih. Mereka mengatakan “bisa saja Aisyah tidak menyaksikan baiat tersebut”. Sayang sekali hujjah mereka keliru, riwayat Aisyah shahih dan tsabit sedangkan riwayat Abu Sa’id mengandung illat [cacat] yaitu pada sisi kisah “adanya pembaiatan Ali dan Zubair”.

Perhatikan kedua riwayat di atas yang kami kutip. Kami membagi riwayat tersebut dalam dua bagian. Bagian pertama yang menyebutkan pembaiatan Abu Bakar oleh kaum Anshar dan bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair [yang kami cetak biru]. Bagian pertama kedudukannya shahih sedangkan bagian kedua mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’. Perawinya melakukan kesalahan dengan menggabungkan kedua bagian tersebut. Buktinya adalah sebagai berikut:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا وهيب ثنا داود عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم قام خطباء الأنصار فجعل منهم من يقول يا معشر المهاجرين ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك قال فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان من المهاجرين وإنما الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه و سلم فقام أبو بكر فقال جزاكم الله خيرا من حي يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال والله لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “ demi Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”].

Hadis riwayat Ahmad ini juga diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 5/114 no 4785, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/562 no 38195, Ahadits ‘Affan bin Muslim no 307, Tarikh Ibnu Asakir 30/278 dengan jalan sanad ‘Affan bin Muslim. ‘Affan bin Muslim memiliki mutaba’ah yitu Abu Dawud Ath Thayalisi sebagaimana disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/84 no 602. Riwayat Wuhaib bin Khalid dengan jalan sanad yang tinggi hanya menyebutkan bagian pertama tanpa menyebutkan bagian kedua. Sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah.

حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، نا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ ، قَالَ : ” لَمَّا اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ مَا لِي لا أَرَى عَلِيًّا ، قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ لَهُ : يَا عَلِيُّ قُلْتَ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ وَخَتَنُ رَسُولِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا لِي لا أَرَى الزُّبَيْرَ ؟ قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ : يَا زُبَيْرُ قُلْتَ ابْنُ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَحَوَارِيُّ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ الزُّبَيْرُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ

Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy  yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang berkata telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah yang berkata Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya Lalu Abu Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu beliau?”. ‘Ali radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya. Abu Bakr berkata “Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata “Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].

Dawud bin Abi Hind dalam periwayatannya dari Abu Nadhrah memiliki mutaba’ah dari Al Jurairiy sebagaimana yang diriwayatkan Al Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf 1/252 dengan jalan sanad Hudbah bin Khalid dari Hammad bin Salamah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah. Hammad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari Ibnu Ulayyah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah sebagaimana disebutkan Abdullah bin Ahmad dalam As Sunnah no 1293.

Riwayat Al Jurairy juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dengan jalan sanad dari Ali bin ‘Aashim dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id [Tarikh Ibnu Asakir 30/278]. Riwayat Ibnu Asakir ini tidak mahzfuzh karena kelemahan Ali bin ‘Aashim. Yaqub bin Syaibah mengatakan ia banyak melakukan kesalahan. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Fallas berkata “ada kelemahan padanya, ia insya Allah termasuk orang jujur”. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Bukhari berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Daruqutni juga menyatakan ia sering keliru. [At Tahdzib juz 7 no 572]. An Nasa’i menyatakan Ali bin ‘Aashim “dhaif” [Ad Dhu’afa no 430]. Ali bin ‘Aashim dhaif karena banyak melakukan kesalahan dan dalam riwayatnya dari Al Jurairiy ia telah menyelisihi Hammad bin Salamah dan Ibnu Ulayyah keduanya perawi tsiqat. Riwayat yang mahfuzh adalah riwayat dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah tanpa tambahan dari Abu Sa’id.

Dengan jalan sanad yang tinggi yaitu riwayat Dawud bin Abi Hind dan riwayat Al Jurairiy dari Abu Nadhrah maka diketahui bahwa bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair bukan perkataan Abu Sa’id Al Khudriy melainkan perkataan Abu Nadhrah.

Riwayat Wuhaib yang disebutkan Al Hakim, Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang panjang menggabungkan kedua bagian tersebut dalam satu riwayat padahal sebenarnya bagian pertama adalah perkataan Abu Sa’id Al Khudriy sedangkan bagian kedua adalah perkataan Abu Nadhrah. Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib memiliki pertentangan yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut diriwayatkan dengan maknanya sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran kedua perkataan Abu Sa’id dan Abu Nadhrah.
  • Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang berkata “sesungguhnya juru bicara kalian benar” adalah Abu Bakar tetapi pada riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang mengatakan itu adalah Umar.
  • Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian” adalah Zaid bin Tsabit tetapi dalam riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan itu adalah Umar.
Riwayat yang tsabit dalam penyebutan baiat Ali dan Zubair kepada Abu Bakar adalah riwayat perkataan Abu Nadhrah sedangkan riwayat Wuhaib dengan sanad yang panjang telah terjadi pencampuran antara perkataan Abu Nadhrah dan Abu Sa’id Al Khudri. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Wuhaib dengan sanad yang tinggi tidak terdapat keterangan penyebutan baiat Ali dan Zubair. Abu Nadhrah Mundzir bin Malik adalah tabiin yang riwayatnya dari Ali, Abu Dzar dan para sahabat terdahulu [Abu Bakar, Umar dan Utsman] adalah mursal [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 800] maka riwayat yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair adalah riwayat dhaif.

Apalagi telah disebutkan dalam riwayat shahih dan tsabit dari Aisyah sebelumnya bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar terjadi setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan. Dalih salafy yang melahirkan istilah “baiat kedua” jelas tidak masuk akal karena jika memang riwayat Abu Sa’id benar maka baiat Imam Ali kepada Abu Bakar itu sudah disaksikan oleh kaum muslimin lantas mengapa perlu ada lagi baiat kepada Imam Ali setelah enam bulan dihadapan kaum muslimin. Apalagi setelah enam bulan Abu Bakar malah dalam khutbahnya menyebutkan kalau Ali belum pernah memberikan baiat dan alasannya. Kemusykilan ini terjelaskan bahwa riwayat Abu Sa’id itu dhaif, Abu Sa’id tidak menyebutkan baiat Ali dan Zubair, itu adalah perkataan Abu Nadhrah yang tercampur dengan riwayat Abu Sa’id.

Jadi jika kita melengkapi riwayat Al Hakim dan yang lainnya [tentang penyebutan baiat Ali] dengan riwayat yang mahfuzh maka riwayat tersebut sebenarnya sebagai berikut:

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا أبو نضرة قال فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Abu Nadhrah berkata Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya.

Akhir kata sepertinya Salafy nashibi harus berusaha lagi mengais-ngais riwayat dhaif untuk melindungi doktrin mereka. Atau mungkin akan keluar jurus “ngeyelisme” yang seperti biasa adalah senjata pamungkas orang yang berakal kerdil. Lebih dan kurang kami mohon maaf [kayak bahasa “kata sambutan”].

9. Kekonyolan Salafy Dalam Membela Abu Bakar Dan Merendahkan Ahlul Bait
Pernahkah anda membaca blog yang ngaku-ngaku salafy, nah kalau pernah maka anda akan melihat jika ia menulis bantahan kepada Syiah [atau orang yang ia tuduh Syiah] maka tidak segan-segan ia merendahkan Ahlul Bait. Kalau ada orang yang mengutip riwayat kesalahan sahabat maka ia akan meradang setengah mati melemparkan celaan keras seolah-olah orang tersebut melakukan maksiat. Tetapi jika mereka bernafsu membantah Syiah [atau orang yang ia tuduh Syiah] ia dengan gampangan mengutip riwayat yang menyalahkan Ahlul Bait.

Contohnya ia tidak segan-segan menulis tulisan dengan judul Ali bin Abi Thalib Shalat Sambil Mabuk. Sebuah judul yang lebih layak untuk dikatakan provokatif dan bermental nashibi. Sungguh menyedihkan, kebencian mereka terhadap Syiah membuat mereka menghalalkan apa yang mereka haramkan pada orang lain. Mengingat Ali bin Abi Thalib sendiri adalah sahabat dan ahlul bait Nabi, maka dengan caranya yang ia pakai untuk menuduh orang sebagai Syiah maka ia lebih layak untuk dikatakan seorang rafidhah nashibi yang mengaku salafy.

Baru-baru ini ada yang membuat tulisan dengan judul Pengakuan Imam Maksum Bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Pernah Marah Kepadanya. Inti tulisan tersebut adalah untuk membela Abu Bakar dari kemarahan Sayyidah Fathimah bahwa kemarahan Sayyidah Fathimah menurutnya tidak berkonsekuensi apa-apa bagi Abu Bakar bahkan menurutnya Sayyidah Fathimah telah tersilap atas sikap marahnya. Salafy yang bermental nashibi itu mau mementahkan hadis “kemarahan Sayyidah Fathimah adalah kemarahan Nabi”. Bagaimana caranya? Ia berusaha membawakan riwayat bahwa Nabi pun pernah marah kepada Ahlul Bait. Inti dari Syubhat-nya kalau Abu Bakar mau dicela atas kemarahan Sayyidah Fathimah maka Ahlul Bait juga pantas dicela atas kemarahan Nabi. Kalau ahlul bait tidak layak dicela atas kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Abu Bakar pun tidak layak dicela atas kemarahan Sayyidah Fathimah.

حدثنا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني علي بن الحسين: أن الحسين بن علي أخبره: أن علي بن أبي طالب أخبره: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان). فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان أكثر شيء جدلا}.

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin Al-Husain : Bahwasannya Al-Husain bin ‘Aliy pernah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah mengkhabarkan kepadanya : Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi dan membangunkannya dan Faathimah di satu malam, lalu bersabda : “Tidakkah kalian berdua akan shalat (tahajjud) ?”. Lalu aku (‘Aliy) menjawab : “Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami berada di tangan Allah. Seandainya Dia berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami”. Maka beliau berpaling ketika kami mengatakan hal itu dan tidak kembali lagi. Kemudian kami mendengar beliau membaca firman Allah sambil memukul pahanya : ‘Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah’ (QS. Al-Kahfi : 54)” [Shahih Bukhaariy no. 1127. Lihat juga no. 4724 & 7347 & 7465].

Nashibi itu membawakan riwayat di atas dan sebelumnya ia berkata “Nah, sekarang saya ajak Pembaca sekalian untuk menyaksikan pengakuan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah marah dan menghardik dirinya”.

Perhatikan kata-kata yang ia ucapkan bahwa Ali [radiallahu ‘anhu] mengaku Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah marah dan menghardik dirinya. Kemudian lihat kembali riwayat di atas dan silakan dicek para pembaca “adakah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menghardik Ali bin Abi Thalib?”. Tidak ada, itu cuma khayalan atau persepsinya yang lahir dari mental nashibi dan kebencian terhadap orang yang ia tuduh Syiah.

Siapa yang dihardik oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam riwayat di atas?. Kalau ia tidak mampu memahami riwayat tersebut maka kami bisa memberikan bantuan untuk memahaminya. Tentu kami memaklumi keterbatasan dirinya dalam memahami riwayat yang berkaitan dengan ahlul bait. Riwayat di atas menyebutkan peristiwa dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengajak Sayyidah Fathimah dan Imam Ali untuk shalat malam. Imam Ali menjawab “Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami berada di tangan Allah. Seandainya Dia berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami”. Jawaban ini tidak disukai oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga Beliau langsung pergi dan mengutip ayat “manusia ada makhluk yang paling banyak membantah”.

Sekarang kita tanya pada salafy nashibi itu, adakah pelanggaran Syariat disini yang menurut nashibi itu telah membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menghardik ahlul bait. Tidak ada, ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kekecewaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah karena pada saat itu jawaban Imam Ali terkesan enggan melakukan shalat malam yang memang bukan perkara yang diwajibkan. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan Ahlul Bait-nya agar bersegera dalam beribadah baik itu yang diwajibkan atau tidak. Kami tidak menolak riwayat ini tetapi kami yakin setelah Imam Ali mendengar jawaban Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menyiratkan ketidaksukaan dan kekecewaan maka Imam Ali dan Sayyidah Fathimah bersegera melakukan ibadah shalat malam seperti yang dianjurkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Silakan lihat, kami tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menerima riwayat tersebut. Kami juga tidak perlu membuat pembelaan ngawur dan mengait-ngaitkannya dengan kasus Abu Bakar. Apa mau nashibi itu dengan mengutip riwayat ini dan mengaitkannya dengan kasus Abu Bakar?. Apa yang ia inginkan dengan menunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah marah kepada Ahlul Bait?.

Kami mengakui kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah tidak suka, kecewa atau marah terhadap Ahlul Bait. Terdapat riwayat yang menyebutkan soal itu dan dalam riwayat tersebut juga dijelaskan kalau Ahlul Bait bersegera dalam mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ahlul Bait menjadikan kemarahan atau ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu sebagai hujjah sehingga mereka bersegera meninggalkan perkara yang tidak disukai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan Abu Bakar yang berkeras pada pendiriannya sehingga Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara dengannya sampai Beliau wafat.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ أَنَّ جَدَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا أَسْمَاءَ حَدَّثَهُ أَنَّ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَةَ هُبَيْرَةَ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهَا خَوَاتِيمُ مِنْ ذَهَبٍ يُقَالُ لَهَا الْفَتَخُ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَعُ يَدَهَا بِعُصَيَّةٍ مَعَهُ يَقُولُ لَهَا يَسُرُّكِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ فِي يَدِكِ خَوَاتِيمَ مِنْ نَارٍ فَأَتَتْ فَاطِمَةَ فَشَكَتْ إِلَيْهَا مَا صَنَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَانْطَلَقْتُ أَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ خَلْفَ الْبَابِ وَكَانَ إِذَا اسْتَأْذَنَ قَامَ خَلْفَ الْبَابِ قَالَ فَقَالَتْ لَهَا فَاطِمَةُ انْظُرِي إِلَى هَذِهِ السِّلْسِلَةِ الَّتِي أَهْدَاهَا إِلَيَّ أَبُو حَسَنٍ قَالَ وَفِي يَدِهَا سِلْسِلَةٌ مِنْ ذَهَبٍ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا فَاطِمَةُ بِالْعَدْلِ أَنْ يَقُولَ النَّاسُ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَفِي يَدِكِ سِلْسِلَةٌ مِنْ نَارٍ ثُمَّ عَذَمَهَا عَذْمًا شَدِيدًا ثُمَّ خَرَجَ وَلَمْ يَقْعُدْ فَأَمَرَتْ بِالسِّلْسِلَةِ فَبِيعَتْ فَاشْتَرَتْ بِثَمَنِهَا عَبْدًا فَأَعْتَقَتْهُ فَلَمَّا سَمِعَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي نَجَّى فَاطِمَةَ مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku Zaid bin Salaam : Bahwasannya kakeknya pernah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Abu Asmaa’ pernah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Tsaubaan maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan kepadanya : “Anak perempuan Hubairah pernah bertamu ke kediaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan di tangannya ada cincin-cincin emas bernama Al-Fatah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memukul-mukulkan tongkat kecil ke tangannya, dan bersabda kepadanya : “Apakah engkau senang jika Allah mengenakan cincin-cincin dari api neraka ke tanganmu?”. Anak perempuan Hubairah itu lalu mendatangi Fathimah dan mengadukan apa yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Tsaubaan berkata : Aku dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beranjak, lalu beliau berdiri di balik pintu. Dan kebiasaan beliau bila meminta ijin masuk (rumah), beliau berdiri di balik pintu. Lalu Faathimah berkata kepada anak perempuan Hubairah : “Lihatlah kalung ini yang dihadiahkan Abu Hasan (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) kepadaku”. Saat kalung emas itu ada di tangan Faathimah, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuinya dan bersabda : “Wahai Fathimah ! Demi tegaknya keadilan, (senangkah engkau) seandainya orang-orang berkata : ‘Faathimah binti Muhammad mengenakan kalung dari api neraka ?”. Lalu beliau mencela Faathimah dengan keras, setelah itu beliau pergi dan tidak duduk. Kemudian Faathimah memerintahkan agar kalung itu dijual, kemudian harganya dibelikan budak kemudian dimerdekakan. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu, beliau bertakbir dan bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari neraka” [Musnad Ahmad 5/278 no 22451 dengan sanad yang shahih].

Riwayat di atas juga pernah dikutip oleh salafy nashibi itu dan ia berkata “Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits ini adalah bahwa Faathimah binti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pribadi maksum. Ia bisa berbuat keliru, karena barangkali ia belum mengetahui larangan tersebut dari ayahnya shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.

Kami sendiri tidak pernah menyatakan Sayyidah Fathimah maksum seperti yang disinggung nashibi ini. Pandangan kami soal Ahlul Bait adalah mereka adalah pegangan dalam Syariat sebagai salah satu tsaqalain yang harus dipegang teguh sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perkara berbagai riwayat yang menunjukkan ketidaktahuan ahlul bait atau mereka pernah salah dan diingatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu tidak menafikan fakta bahwa pada akhirnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan jaminan bahwa mereka adalah pegangan umat islam agar tidak tersesat.

Berbicara soal konsep maksum, mari kita tanya nashibi itu apakah Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] pernah salah dan lupa? adakah contoh riwayat Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] pernah salah dan lupa?. Kalau menurut nashibi itu ada maka kami tanya lagi apakah itu berarti Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tidak maksum?. Sepertinya nashibi sendiri mengalami inkonsistensi dalam menyatakan kemaksuman Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Mereka mengatakan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] bisa salah dan lupa tetapi mereka tetap menyatakan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] maksum.

Ia juga berkata : Selain itu, dapat kita ketahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah karena melihat adanya pelanggaran syari’at. Tidaklah ia mengecam dengan keras dan mengancam dengan api neraka jika perbuatan itu bukan satu larangan dalam syari’at.

Kalau begitu kami tanya wahai nashibi, mana pelanggaran syariat yang anda maksud. Apakah seorang wanita memakai perhiasan emas adalah pelanggaran syariat dalam islam?. Kami pribadi tidak melihat ada pelanggaran syariat disitu tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] khawatir bahwa hal-hal yang duniawi seperti itu dapat melalaikan pemakainya sehingga terjatuh dalam api neraka. Apalagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan agar Ahlul bait-nya hidup dalam keadaan zuhud. Inilah yang tampak dalam ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.

Bagaimanakah sikap Sayyidah Fathimah terhadap hal ini?. Lihat baik-baik ternyata Sayyidah Fathimah bersegera melepaskan kalung emas tersebut karena hal itu membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak suka. Kami jelas berbeda dengan salafy yang bermental nashibi, ia mengira duduk persoalannya adalah wanita dilarang atau diharamkan memakai perhiasan emas dan Sayyidah Fathimah tidak tahu akan hal itu. Sehingga ketika Sayyidah Fathimah memakai kalung emas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjadi marah. Jadi intinya salafy itu menuduh Imam Ali memberikan barang haram kepada Sayyidah Fathimah dan sayyidah Fathimah memakai barang haram tersebut. silakan pembaca lihat betapa kejinya tuduhan nashibi kepada Ahlul bait.

Lucunya salafy ini tidak membaca bahwa dalam riwayat di atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pergi tanpa mencabut kalung tersebut dari Sayyidah Fathimah. Kalau memang hal itu diharamkan maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan segera mencabutnya. Tidak terpikirkan oleh kami Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pergi dan membiarkan Sayyidah Fathimah memakai kalung emas yang diharamkan.

Salafy berkata : Keridlaan Faathimah tidak membuat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kendur, karena syari’at tidaklah diukur dari keridlaan ataupun kemarahan seseorang selain beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syari’atlah yang menjadi tolok ukur dalam menghukumi sesuatu.

Lha salafy ini tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Kalau ia bisa berkata Syariat tidak diukur dari keridhaan ataupun kemarahan seseorang selain Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah syariat. Riwayat di atas justru menunjukkan bagaimana Ahlul Bait bersegera meninggalkan apa yang tidak disukai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun itu termasuk perkara yang dibolehkan.

Bukankah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mengatakan kalau kemarahan Sayyidah Fathimah adalah kemarahannya. Apa yang membuat Sayyidah Fathimah marah maka membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah, itulah hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah syariat. Jadi kemarahan Sayyidah Fathimah adalah hujjah sebagaimana halnya kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Seharusnya sikap Abu Bakar setelah menyaksikan kemarahan Sayyidah Fathimah maka ia merujuk sikap dan pernyataannya kemudian membenarkan Sayyidah Fathimah karena kemarahannya adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah Ahlul Bait ketika mereka melihat ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka bersegera meninggalkan perkara tersebut walaupun perkara tersebut dibolehkan. Tidak ada satupun diantara mereka yang berkata “memakai perhiasan emas bagi wanita itu halal” [walaupun Nabi memang menghalalkannya].

Fakta riwayat menunjukkan Abu Bakar malah berkeras pada hadis yang ia riwayatkan sehingga Sayyidah Fathimah marah kepadanya sampai Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Kalau hadis tersebut benar maka sangat tidak mungkin Sayyidah Fathimah menunjukkan kemarahannya, Beliau akan berpegang pada hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Kemarahannya menunjukkan bahwa ia menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar.

Jika ahlul bait dan sahabat bertentangan dalam masalah Syariat maka kami berpegang pada Ahlul Bait. Abu Bakar boleh saja mengaku ia meriwayatkan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Sayyidah Fathimah adalah ahlul bait yang menjadi pegangan bagi umat termasuk Abu Bakar, Sayyidah Fathimah adalah orang yang kemarahannya adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sayyidah Fathimah adalah orang yang paling tahu dalam masalah ini dibanding Abu Bakar.

Salafy nashibi bersikeras membela Abu Bakar bahwa hadis Abu Bakar benar kalau begitu maka konsekuensinya salafy nashibi menuduh Sayyidah Fathimah mendustakan hadis shahih [kami berlindung kepada Allah SWT dari tuduhan seperti ni]. Lha apa lagi artinya Sayyidah Fathimah marah sampai beliau wafat kepada Abu Bakar [padahal Abu Bakar hanya menyampaikan hadis tersebut] selain Sayyidah Fathimah mendustakan hadis yang dibawa Abu Bakar. Kan tidak masuk akal Sayyidah Fathimah menerima hadis tersebut tetapi marah sampai Beliau wafat. Akankah salafy nashibi menjawab dilema yang mereka hadapi? Jangan-jangan mereka malah tidak paham dilema yang kami sampaikan. Yah akal yang kerdil dan kebencian kepada ahlul bait memang sudah jadi penyakit lama kaum nashibi.

10. Anomali Hadis Abu Bakar Tentang Warisan Nabi?
Tulisan ini tentu saja tidak bertujuan merendahkan sahabat yang mulia Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] tetapi tulisan ini bertujuan untuk membela ahlul bait dan syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh salafy dan pengikutnya [yang ngaku-ngaku mencintai ahlul bait]. Perselisihan yang terjadi antara Ahlul bait [Sayyidah Fathimah] dan Abu Bakar bukan perselisihan biasa layaknya perselisihan antar mujtahid. Sayyidah Fathimah meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah [‘Alaihis salam] dengan membawakan hadis “Nabi tidak mewariskan dan semua yang ditinggalkan adalah sedekah”. Mendengar hal ini, Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat.

Hadis yang dibawakan Abu Bakar adalah keliru, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga mewariskan seperti yang dikatakan Ahlul bait. Abu Bakar sendiri pada awalnya ternyata mengakui kalau keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Anehnya setelah itu Abu Bakar membawakan hadis yang menentang perkataannya.

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قال ثنا عبد الله بن محمد بن أبي شيبة قال عبد الله وسمعته من عبد الله بن أبي شيبة قال ثنا محمد بن فضيل عن الوليد بن جميع عن أبي الطفيل قال لما قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم أرسلت فاطمة إلى أبي بكر أنت ورثت رسول الله صلى الله عليه و سلم أم أهله قال فقال لا بل أهله قالت فأين سهم رسول الله صلى الله عليه و سلم قال فقال أبو بكر إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إن الله عز و جل إذا أطعم نبيا طعمة ثم قبضه جعله للذي يقوم من بعده فرأيت أن أرده على المسلمين فقالت فأنت وما سمعت من رسول الله صلى الله عليه و سلم أعلم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah. Abdullah berkata dan aku mendengarnya [juga] dari ‘Abdullah bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Walid bin Jumai’ dari Abu Thufail yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar yang pesannya “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”. Abu Bakar menjawab “bukan aku tapi keluarganya”. Sayyidah Fathimah berkata “dimana bagian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?”. Abu Bakar berkata “aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla jika memberi makan seorang Nabi kemudian ia wafat maka dijadikan itu untuk orang yang bertugas setelahnya, maka aku berpendapat untuk menyerahkannya kepada kaum muslimin”. Sayyidah Fathimah berkata “engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah lebih tahu” [Musnad Ahmad 1/4 no 14, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan perawinya perawi tsiqat perawi Bukhari dan Muslim kecuali Walid bin Jumai’ ia termasuk perawi Muslim].

Hadis riwayat Ahmad di atas kedudukannya shahih dengan syarat Muslim. Faedah yang dapat diambil dari hadis ini adalah Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sendiri mengakui bahwa keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].  Tetapi setelah itu, ketika Sayyidah Fathimah [‘Alaihis salam] datang kepadanya dan meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Abu Bakar malah membawakan hadis bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diwarisi.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْه فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ.ِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah Ummul Mukminin radiallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah [‘Alaihimus Salaam] putri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] meminta kepada Abu Bakar shiddiq setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar membagi untuknya bagian harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah [shallallahu ‘alihi wasallam] dari harta fa’i yang Allah karuniakan untuk Beliau. Abu Bakar berkata kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” maka Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar dan ia terus tidak berbicara dengan Abu Bakar sampai ia wafat, ia hidup setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan. [Shahih Bukhari 4/79 no 3092].

Pada awalnya Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alihi wasallam] tetapi setelah itu ia mengatakan bahwa Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tidak diwarisi. Sikap Sayyidah Fathimah [‘Alaihis salam] yang marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar tersebut.

Mari kita tanyakan kepada nashibi yang ngaku-ngaku salafy. Jika memang Nabi tidak diwarisi maka mengapa Abu Bakar mengakui kalau keluarga Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Apakah pada saat itu Abu Bakar belum mendengar hadis tersebut? lho kalau begitu kapan lagi Abu Bakar mendengar hadis tersebut padahal ketika Abu Bakar mengakui hal itu Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] sudah wafat. Atau Abu Bakar sengaja mendustakan hadis yang ia dengar?. btw silakan pilih wahai nashibi. Kalau pilihan kami cukup sederhana Abu Bakar keliru dalam meriwayatkan hadis tersebut, lebih sederhana dan lebih menjaga etika baik kepada Ahlul Bait ataupun kepada sahabat. Banyak sekali contohnya sahabat bisa salah dalam meriwayatkan hadis, yang tidak tahu silakan cari tahu.

Seandainya Sayyidah Fathimah menerima hadis tersebut maka tidak ada alasan bagi Beliau untuk marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar. Ada baiknya mereka yang membela Abu Bakar dan menyalahkan Sayyidah Fathimah itu memperhatikan ayat Al Qur’an berikut

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakikatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya [QS An Nisa : 65].

Jika memang hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang disampaikan Abu Bakar adalah benar maka sikap Sayyidah Fathimah yang keberatan sehingga Beliau marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai enam bulan dapat dikenakan pada ayat Al Qur’an di atas. Kami berlindung kepada Allah SWT atas konsekuensi yang seperti ini.

Sayyidah Fathimah adalah Ahlul Bait yang selalu bersama Al Qur’an. Beliau adalah putri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Sayyidah wanita di surga, orang yang paling memahami Al Qur’an setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Orang yang kemarahannya sama dengan kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka tidak lain kemarahan Sayyidah Fathimah menunjukkan bahwa hadis yang disampaikan Abu Bakar itu adalah keliru.

Apalagi hadis bahwa Nabi tidak mewariskan adalah hadis musykil yang bertentangan dengan Al Qur’anil Karim yang jelas menyatakan kalau para Nabi juga mewariskan. Perhatikan ayat berikut dimana Nabi Zakaria [‘Alaihis salam] berdoa:

وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيّاً

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul maka anugrahilah aku dari sisiMu seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia Tuhanku seorang yang diridhai [QS Maryam : 5&6].

Sebagian orang berusaha mencari dalih bahwa “mewarisi” yang dimaksud adalah mewarisi kenabian. Tentu saja ini alasan yang dicari-cari, kami pribadi tidak tahu berasal dari mana konsep “kenabian itu diwariskan”. Sangat jelas bahwa doa Nabi Zakaria di atas adalah keinginan Beliau memiliki seorang putra yang akan menjadi ahli waris Beliau. Karena konsep putra sebagai ahli waris yang mewarisi orang tuanya [ayah dan ibunya] adalah konsep yang sudah ada sepanjang masa dan ditetapkan dalam kitab-kitab samawi. Seandainya dari dahulu para Nabi tidak mewariskan maka Nabi Zakaria tidak akan melafazkan doa dengan lafaz yang seperti itu. Lafaz doa Nabi Zakaria menunjukkan bahwa Nabi pun dapat mewariskan kepada putranya.
Kata “mawaliy” yang berkaitan dengan kata “mewarisi” itu terkait dengan mewariskan harta atau apa-apa yang dimiliki seseorang.

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيداً

Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan [mawaliy] pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu [QS An Nisa : 33].

Jadi arti dari mawaliy itu adalah orang-orang yang akan mewarisi harta. Nabi Zakaria khawatir terhadap orang [kerabat] yang akan mewarisi harta Beliau, sehingga Beliau berdoa kepada Allah SWT agar diberikan seorang putera yang dapat mewarisi Beliau. Maka kata “mewarisi” disini sangat berkaitan dengan pewarisan harta peninggalan.

Kesimpulan : Hadis Abu Bakar bahwa para Nabi tidak mewariskan jelas bertentangan dengan Al Qur’an dan Ahlul Bait maka dengan jelas menurut kami hadis tersebut keliru. Ahlul Bait Sayyidah Fathimah jelas berada dalam kebenaran.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: