4. Studi Kritis Riwayat Zaid bin Aliy Tentang Fadak : Bantahan Untuk Nashibi
Tulisan ini hanya sedikit tambahan dari
tulisan sebelumnya yang membahas tentang riwayat Zaid bin Ali bin Husain
dimana ia menyepakati Abu Bakar dalam masalah Fadak. Pada tulisan
sebelumnya kami telah membahas illat [cacat] riwayat tersebut yaitu
bahwa riwayat Zaid bin Aliy berasal dari seorang yang majhul. Nashibi
yang tidak suka kalau hujjah mereka dipatahkan membuat bantahan ngawur
untuk membela riwayat Zaid bin Aliy tersebut. Tulisan ini kami buat
sebagai bantahan bagi Nashibi yang dimaksud.
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَنَا عَمِّي، قَالَ نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ نَا ابْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ، قَالَ قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، أَمَّا أَنَا فَلَوْ كُنْتُ مَكَانَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَحَكَمْتُ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي فَدَكٍ
Telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku
yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Ibnu Dawud dari Fudhail bin Marzuuq yang
berkata Zaid bin Ali bin Husain berkata “adapun aku seandainya berada
dalam posisi Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] maka aku akan memutuskan
seperti keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] dalam masalah Fadak”
[Fadhail Ash Shahabah Daruquthniy no 52].
Riwayat ini juga disebutkan Hammad bin
Ishaq dalam Tirkatun Nabiy 1/86 oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra
6/302, Dalaail An Nubuwwah 7/281 dan Al I’tiqaad 1/279 semuanya dengan
jalan sanad dari Ismail bin Ishaq Al Qadhiy [pamannya Ibrahim bin Hammaad] dari Nashr bin Ali dari ‘Abdullah bin Dawud dari Fudhail bin Marzuuq.
Atsar ini dhaif karena Fudhail bin Marzuq
tidak meriwayatkan langsung dari Zaid bin Aliy bin Husain. Ia terbukti
melakukan tadlis, atsar ini diambil Fudhail bin Marzuq dari An Numairy
bin Hassaan dari Zaid bin Aliy bin Husain. An Numairiy bin Hassaan
adalah seorang yang majhul. Inilah buktinya:
حدثنا محمد بن عبد الله بن الزبير قال حدثنا فضيل ابن مرزوق قال حدثني النميري بن حسان قال قلت لزيد بن علي رحمة الله عليه وأنا أريد أن أهجن أمر أبي بكر إن أبا بكر رضي الله عنه انتزع من فاطمة رضي الله عنها فدك فقال إن أبا بكر رضي الله عنه كان رجلا رحيما وكان يكره أن يغير شئيا تركه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتته فاطمة رضي الله عنها فقالت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاني فدك فقال لها هل لك على هذا بينة ؟ فجاءت بعلي رضي الله عنه فشهد لها، ثم جاءت بأم أيمن فقالت أليس تشهد أني من أهل الجنة ؟ قال بلى قال أبو أحمد يعني أنها قالت ذاك لابي بكر وعمر رضي الله عنهما – قالت فأشهد أن النبي صلى الله عليه وسلم أعطاها فدك فقال أبو بكر رضي الله عنه: فبرجل وامرأة تستحقينها أو تستحقين بها القضية ؟ قال زيد بن علي وأيم الله لو رجع الامر إلى لقضيت فيها بقضاء أبي بكر رضي الله عنه
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair yang berkata telah menceritakan kepada
kami Fudhail bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepadaku An
Numairiy bin Hassaan yang berkata aku berkata kepada Zaid bin Aliy
[rahmat Allah atasnya] dan aku ingin merendahkan Abu Bakar bahwa Abu
Bakar [radiallahu ‘anhu] merampas Fadak dari Fathimah [radiallahu
‘anha]. Maka Zaid berkata “Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] adalah seorang
yang penyayang dan ia tidak menyukai mengubah sesuatu yang ditinggalkan
oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], kemudian datanglah
Fathimah [radiallahu ‘anha] dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] telah memberikan Fadak kepadaku”. Abu Bakar berkata kepadanya
“apakah ada yang bisa membuktikannya?” maka datanglah Aliy [radiallahu
‘anhu] dan bersaksi untuknya kemudian datang Ummu Aiman yang berkata
“tidakkah kalian bersaksi bahwa aku termasuk ahli surga?”. Abu Bakar
menjawab “benar” [Abu Ahmad berkata bahwa Ummu Aiman mengatakan hal itu
kepada Abu Bakar dan Umar]. Ummu Aiman berkata “maka aku bersaksi bahwa
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan fadak kepadanya”.
Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] kemudian berkata “maka apakah dengan
seorang laki-laki dan seorang perempuan bersaksi atasnya hal ini bisa
diputuskan?”. Zaid bin Ali berkata “demi Allah seandainya perkara ini
terjadi padaku maka aku akan memutuskan tentangnya dengan keputusan Abu
Bakar [radiallahu ‘anhu] [Tarikh Al Madinah Ibnu Syabbah 1/199-200].
Riwayat Ibnu Syabbah dalam Tarikh Madinah
ini adalah riwayat yang shahih sanadnya hingga Fudhail bin Marzuq. Maka
riwayat ini melengkapi riwayat Daruquthniy sebelumnya. Riwayat
Daruquthni dkk memuat sanad dimana “Fudhail bin Marzuq berkata Zaid bin Aliy berkata” sedangkan riwayat Ibnu Syabbah memuat sanad yaitu “Fudhail bin Marzuq berkata telah mengabarkan kepadaku An Numairiy bin Hassaan bahwa Zaid bin Aliy berkata”.
Maka ini menjadi bukti Fudhail bin Marzuq tidak meriwayatkan langsung
dari Zaid bin Aliy melainkan melalui perantara yang majhul.
Kesimpulannya riwayat tersebut dhaif.
Ada seorang nashibi yang berusaha membela
riwayat ini dengan pembelaan yang mengada-ada. Ia seolah-olah
menunjukkan bantahan ilmiah padahal bantahannya ngawur dan tidak sesuai
dengan kaidah ilmu hadis. Pada pembahasannya ia mengatakan apakah
tambahan Numairiy bin Hassaan itu mahfuudh?. Ia mengatakan bahwa riwayat
Ibnu Syabbah tidak mahfuudh dan yang mahfuudh adalah riwayat tanpa
tambahan sanad Numairiy bin Hassaan.
Mari kita lihat satu persatu
alasannya:
Nashibi itu mengatakan bahwa riwayat Ibnu
Syabbah sangat gharib karena hanya dibawakan Ibnu Syabbah dalam Tarikh
Madinah dan dalam riwayat itu saja. Kami katakan ini alasan yang
mengada-ada. Apa riwayat Daruquthni dkk yang ia bawakan itu adalah
riwayat yang masyhur?. Jelas sekali bahwa semua riwayat yang ia nukil
itu berujung pada Ismaail bin Ishaq Al Qadhiy dari Nashr bin Aliy dari
Ibnu Dawud dari Fudhail bin Marzuq. Hanya sanad ini saja, tidak ada
sanad lain. Jadi kedudukan riwayat Daruquthni dan riwayat Ibnu Syabbah
dari sisi ini adalah sama yaitu sama-sama diriwayatkan dengan satu jalan
sanad. Walaupun atsar Zaid bin Aliy ini diriwayatkan oleh Ibnu Syabbah
saja, itu tidak menjadi alasan untuk melemahkan atau menyatakan riwayat
tersebut gharib. Mengapa riwayat Ibnu Syabbah yang dikatakan gharib?.
Mengapa bukan riwayat Ismail bin Ishaq Al Qadhiy yang dikatakan gharib?.
Kalau riwayat Ibnu Syabbah dikatakan gharib maka riwayat Ismail bin
Ishaq Al Qaadhiy pun bisa dikatakan gharib.
Sebenarnya jika kita teliti dengan baik
riwayat Ibnu Syabbah itu sanadnya lebih tinggi dari riwayat Daruquthni,
Baihaqi dan Hammad bin Ishaq karena sebelum mereka [Daruquthni, Baihaqi
dan Hammad bin Ishaq] itu lahir, Ibnu Syabbah telah meriwayatkan atsar
Zaid bin Aliy tersebut.
Kemudian nashibi yang dimaksud juga
menyatakan riwayat Ibnu Syabbah tidak mahfuudh karena diriwayatkan oleh
An Numairiy yang majhul. Ini jelas cara penarikan kesimpulan yang
ngawur. An Numairiy itu terletak diantara Fudhail bin Marzuq dan Zaid
bin Aliy, justru riwayat Ibnu Syabbah menunjukkan illat [cacat] riwayat
Ismail bin Ishaaq Al Qaadhiy yaitu Fudhail bin Marzuq melakukan tadlis
dalam riwayat tersebut. Lain halnya jika perawi majhul tersebut terletak
diantara Ibnu Syabbah dan Fudhail bin Marzuq maka beralasan untuk
menyatakan riwayat Ibnu Syabbah itu tidak mahfuudh karena sanadnya tidak
shahih sampai Fudhail bin Marzuuq. Lha ini jelas-jelas riwayat Ibnu
Syabbah tersebut sanadnya shahih hingga Fudhail bin Marzuq. Sungguh kami
dibuat terheran-heran dengan ilmu hadis ala nashibi.
Nashibi itu menyebarkan Syubhat lain
yaitu Ibnu Syabbah walaupun seorang tsiqat tetapi bukan dalam derajat
ketsiqahan yang tinggi, Nashibi itu mengutip Ibnu Hajar yang mengkritik
riwayatnya dan hal ini membuat Ibnu Hajar menurunkan kredibilitasnya
kedalam derajat shaduq.
Kami katakan Ibnu Syabbah itu seorang
yang tsiqat. Kritikan terhadapnya itu tidak beralasan alias hanya
perkiraan yang tidak menafikan perkiraan lainnya. Daruquthni berkata
“tsiqat”. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya
dalam Ats Tsiqat dan berkata “mustaqiim al hadits”. Al Khatib berkata
“tsiqat”. Al Marzabaaniy berkata “shaduq tsiqat”. Maslamah bin Qasim
berkata “tsiqat”. Muhammad bin Sahl berkata “shaduq cerdas”. [At Tahdzib
juz 7 no 768]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/719] tetapi
Ibnu Hajar dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Ibnu Syabbah seorang
yang tsiqat. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 4071].
Nashibi itu mengutip Al Bazzar, Ibnu
Asakir dan Ibnu Hajar yang mengkritik salah satu riwayat Ibnu Syabbah
dimana ia meriwayatkan dari Hushain bin Hafsh dari Sufyan Ats Tsawriy
dari Zubaid dari Murrah dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Ibnu Syabbah
dikatakan keliru karena riwayat yang masyhur adalah dari Ats Tsawriy
dari Mughhirah bin Nu’man dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas secara
marfu’.
Kritikan terhadap Ibnu Syabbah ini perlu
ditinjau kembali, Ibnu Hibban memasukkan hadis Ibnu Mas’ud tersebut
dalam kitab Shahih-nya. Artinya Ibnu Hibban tidak sependapat dengan yang
mengatakan riwayat tersebut khata’:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحٍسْيَنُ الْجَرَادِيُّ بِالْمَوْصِلِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ شَبَّةَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ حَفْصٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ مُرَّةَ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلا ، وَأَوَّلُ الْخَلائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad
bin Husain Al Jaraadiy di Maushulliy yang berkata telah menceritakan
kepada kami ‘Umar bin Syabbah yang berkata telah menceritakan kepada
kami Husain bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan
dari Zubaid dari Murrah dari ‘Abdullah yang berkata Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya kalian dikumpulkan
menuju Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak
dikhitan. Dan makhluk pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat
adalah Ibrahim [Shahih Ibnu Hibban no 7284].
Seandainya pun hadis Ibnu Mas’ud ini
khata’ karena telah diriwayatkan banyak perawi tsiqat dari Ats Tsawriy
dengan jalan sanad dari Mughirah bin Nu’man dari Sa’id bin Jubair dari
Ibnu Abbas secara marfu’ maka perawi yang patut dinyatakan melakukan
kekeliruan adalah Husain bin Hafsh Al Ashbahaniy karena ia yang meriwayatkan dari Ats Tsawriy dan telah menyelisihi para perawi tsiqat.
Husain bin Hafsh Al Ashbahaniy
biografinya disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib. Abu Hatim
berkata “mahallahu shidqu”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat
[At Tahdzib juz 2 no 597]. Melihat perkataan Abu Hatim tentangnya maka
bisa dimpulkan bahwa Husain bin Hafsh bukan termasuk perawi yang kuat
dhabitnya. Kedudukan Husain bin Hafsh jelas dibawah dari kedudukan Ibnu
Syabbah dan Husain bin Hafsh adalah perawi yang menyelisihi perawi
tsiqat dalam riwayatnya dari Ats Tsawriy. Kesimpulannya kritikan
terhadap Ibnu Syabbah itu keliru.
Kemudian nashibi tersebut menyebarkan syubhat soal Abu Ahmad Az
Zubairiy yang melakukan banyak kesalahan dari riwayat Ats Tsawriy.
وقال حنبل بن إسحاق عن أحمد بن حنبل كان كثير الخطأ في حديث سفيان
Hanbal bin Ishaq berkata dari Ahmad bin Hanbal “ia banyak melakukan kesalahan dalam hadis Sufyan” [At Tahdzib juz 9 no 422].
وقال أبو حاتم عابد مجتهد حافظ للحديث له أوهام
Abu Hatim berkata “ahli ibadah, mujtahid, hafiz dalam hadis, memiliki beberapa keraguan” [At Tahdzib juz 9 no 422].
Jika memang terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh Abu Ahmad Az Zubairiy maka itupun hanya terbatas pada sebagian riwayatnya dari Sufyan Ats Tsawriy.
Pernyataan ini tidaklah mutlak melainkan hanya terbatas pada riwayatnya
dari Tsawriy, itupun tidak mutlak untuk semua riwayatnya dari Ats
Tsawriy melainkan hanya sebagian. Hal ini dikuatkan oleh beberapa
petunjuk yang menguatkan.
Riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyan
telah dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih. Kemudian
sebagian ulama justru menguatkan riwayatnya dari Sufyan.
نا عبد الرحمن حدثنى ابى حدثنى أبو بكر بن ابى عتاب الاعين قال سمعت احمد بن حنبل وسألته عن اصحاب سفيان قلت له الزبيري ومعاوية بن هشام ايهما احب اليك ؟ قال الزبيري، قلت له زيد بن الحباب أو الزبيري ؟ قال الزبيري
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang
berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Itaab Al A’yan
yang berkata aku mendengar Ahmad bin Hanbal dan aku bertanya kepadanya
tentang sahabat Sufyan. Aku berkata kepadanya “Az Zubairiy dan Muawiyah
bin Hisyaam yang mana diantara keduanya yang lebih engkau sukai?”. Ia
berkata Az Zubairiy. Aku berkata kepadanya “Zaid bin Hubab atau Az
Zubairiy?”. Ia berkata “Az Zubairiy” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/297 no 1211].
قال أبو نعيم في أصحاب سفيان: ليس منهم أحد مثل أبي أحمد الزبيري، واسمه محمد بن عبد الله بن الزبير
Abu Nu’aim berkata tentang para
sahabat Sufyan “tidak ada diantara mereka seorangpun yang menyerupai Abu
Ahmad Az Zubairiy, Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair” [Ats Tsiqat Ibnu
Syahiin no 1262].
قال نصر بن علي سمعت أحمد الزبيري يقول لا أبالي أن يسرق مني كتاب سفيان أني أحفظه كله
Nashr bin ‘Aliy berkata aku mendengar
Ahmad Az Zubairiy mengatakan “aku tidak peduli jika seseorang mencuri
dariku Kitab Sufyan karena aku telah menghafal semuanya” [At Tahdzib juz
9 no 422].
Abu Ahmad Az Zubairiy adalah seorang yang
tsiqat tsabit hanya saja ia dikatakan melakukan kesalahan dalam
sebagian riwayatnya dari Ats Tsawriy. Tentu saja hal ini tidaklah
melemahkan riwayatnya dari selain Ats Tsawriy. Para perawi sekaliber
Malik bin Anas dan Syu’bah saja pernah melakukan beberapa kesalahan
dalam meriwayatkan hadis dan tidaklah itu menjatuhkan kedudukan mereka
dalam riwayatnya yang lain. Karena sebagai seorang manusia tidak peduli
seberapa tinggi kedudukan tsiqat yang ia miliki tetap bisa saja
melakukan kesalahan.
Nashibi itu menyatakan bahwa Ismail bin
Ishaq, Nashr bin Aliy dan Ibnu Dawud adalah tiga orang perawi yang
memiliki martabat ketsiqahan yang tinggi. Kami katakan setinggi apapun
tingkat ketsiqatan mereka, hal itu tidak membuat riwayat Ibnu Syabbah
itu menjadi lemah, gharib ataupun tidak mahfuudh. Ibnu Syabbah adalah
seorang yang tsiqat dan Abu Ahmad Az Zubairiy adalah seorang yang tsiqat
lagi tsabit. Bahkan riwayat Ibnu Syabbah lebih tinggi sanadnya dan
matannya lebih lengkap dari riwayat Ismail bin Ishaq Al Qaadhiy.
Kedua riwayat, yaitu riwayat Ismail bin
Ishaq Al Qaadhiy dan riwayat Ibnu Syabbah adalah benar. Tidak ada dari
kedua riwayat tersebut sesuatu yang perlu ditarjih sehingga riwayat yang
satu diterima dan riwayat yang lain harus ditolak. Kedua riwayat
tersebut sanadnya shahih sampai Fudhail bin Marzuq dan menunjukkan bahwa
Fudhail bin Marzuq melakukan tadlis dalam perkataan Zaid bin Aliy
dimana sebenarnya ia mengambil perkataan tersebut dari An Numairiy bin
Hassaan seorang yang majhul.
Aneh sekali jika nashibi tersebut
mempermasalahkan tingkat ketsiqatan para perawi yang ia jadikan hujjah
mengingat Fudhail bin Marzuq sendiri adalah seorang yang hadisnya hanya
bertaraf hasan dan tidak mencapai derajat ketsiqatan tinggi seperti yang
ia katakan pada tiga perawi lain.
Nashibi tersebut kemudian menyatakan
bahwa matan riwayat Ibnu Syabbah kontradiktif dengan riwayat shahih.
Kami katakan hal itu jika memang benar maka tidaklah berpengaruh
sedikitpun pada kedudukan riwayat Zaid bin Aliy disisi kami. Bukankah
dari pembahasan sebelumnya kami katakan kalau riwayat Zaid bin Aliy
tersebut dhaif maka jika matannya dikatakan nashibi itu bertentangan
dengan riwayat shahih, hal itu justru menguatkan kedhaifan riwayat Zaid
bin Aliy.
Kemudian nashibi itu mengatakan perkataan
Zaid bin Aliy seandainya ia dalam posisi Abu Bakar maka ia akan
menetapkan keputusan seperti Abu Bakar dalam masalah Fadak, tidaklah
cocok diterapkan dalam konteks riwayat Ibnu Syabbah. Alasan nashibi itu
adalah jika memang Zaid bin Aliy tahu persaksian Ali dan Ummu Aiman maka
apakah mungkin ia akan menahan tanah Fadak?. Kami katakan kalau melihat
secara utuh matan riwayat Ibnu Syabbah maka Abu Bakar tidak menerima
kesaksian satu orang laki-laki [Ali bin Abi Thalib] dan satu orang
perempuan [Ummu Aiman] sehingga ia menolak bahwa tanah Fadak itu adalah
milik Sayyidah Fathimah. Inilah yang disepakati oleh Zaid bin Aliy bahwa
kesaksian satu orang laki-laki dan satu orang perempuan tidaklah cukup
dan yang menjadi hujjah adalah kesaksian satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan atau kesaksian dua orang laki-laki.
Nashibi ini telah mencampuradukkan antara
hujjah riwayat dengan asumsinya sendiri. Tidak ada keterangan dalam
riwayat Ismail bin Ishaaq Al Qaadhiy bahwa yang disepakati oleh Zaid bin
Aliy adalah hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan. Ini adalah
asumsi nashibi itu sendiri. Riwayat Ismaail bin Ishaaq Al Qaadhiy adalah
ringkasan dari riwayat Ibnu Syabbah, hal ini terlihat dari sanadnya
yang berujung pada Fudhail bin Marzuq dan matannya yang serupa sehingga
penjelasannya pun harus merujuk pada riwayat Ibnu Syabbah yang lebih
lengkap baik sanad maupun matannya.
Kami pribadi juga tidak yakin Zaid bin
Aliy akan menyepakati hadis Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan
mengingat Sayyidah Fathimah sendiri mengingkari hadis tersebut dan Imam
Ali setelah Sayyidah Fathimah wafat tetap mengakui di hadapan kaum
muslimin bahwa Ahlul bait berhak akan tanah Fadak. Bukankah atsar Zaid
bin Aliy dari sisi ini kontradiktif dengan pendirian Ahlul Bait. Maka
sederhananya bisa saja dikatakan riwayat tersebut tertolak, apalagi
Fudhail bin Marzuuq [meminjam bahasa nashibi itu] bukan perawi yang
memiliki derajat ketsiqatan yang tinggi. Aneh bin ajaib nashibi tersebut
tidak mengambil kesimpulan seperti ini mungkin karena tidak sesuai
dengan hawa nafsunya. Ia lebih suka melemahkan riwayat lain yang tidak
sesuai dengan hawa nafsunya. Dan telah kami tunjukkan di atas betapa
menyedihkannya hujjah nashibi. Kesimpulannya baik dari segi sanad maupun
matan, riwayat Zaid bin Aliy itu tertolak.
5. Apakah Ali dan Zubair Mengakui Abu Bakar Berhak Menjadi Khalifah?
Ada riwayat yang sering dinukil oleh para nashibi untuk membuktikan klaim mereka bahwa Imam Ali mengakui Abu Bakar berhak sebagai khalifah. Riwayat tersebut dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah
dimana ia sendiri menukil dari Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazi-nya.
Kami akan meneliti riwayat tersebut dan membuktikan bahwa riwayat
tersebut tidaklah tsabit.
وقال موسى بن عقبة في مغازيه عن سعد بن إبراهيم حدثني أبي أن أباه عبد الرحمن بن عوف كان مع عمر وأن محمد بن مسلمة كسر سيف الزبير ثم خطب أبو بكر واعتذر إلى الناس وقال والله ما كنت حريصا على الإمارة يوما ولا ليلة ولا سألتها الله في سر ولا علانية فقبل المهاجرون مقالته وقال علي والزبير ما غضبنا إلا لأننا أخرنا عن المشورة وإنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه لصاحب الغار وإنا لنعرف شرفه وخيره ولقد أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي
Dan berkata Musa bin Uqbah dalam Maghazi-nya dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku
bahwa ayahnya Abdurrahman bin ‘Auf bersama Umar, dan bahwa Muhammad bin
Maslamah mematahkan pedang Zubair kemudian Abu Bakar berkhutbah,
memohon maaf kepada orang orang dan berkata “demi Allah sesungguhnya aku
tidak pernah berambisi atas kepemimpinan ini baik siang maupun malam,
dan aku tidak pernah meminta hal tersebut kepada Allah baik sembunyi
maupun terang terangan”. Maka kaum Muhajirin menerima perkataannya. Ali
dan Zubair berkata “kami tidak marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah ini dan kami berpandangan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak atasnya sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Dialah orang yang menemani Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di
dalam gua, kami telah mengenal kemuliaan dan kebaikannya. Dialah yang
diperintahkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memimpin
shalat manusia ketika Beliau masih hidup [Al Bidayah Wan Nihayah Ibnu Katsir 9/471].
Riwayat ini [jika memang tsabit dari Musa
bin Uqbah] diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tetapi mengandung illat
[cacat]. Riwayat ini sanadnya berhenti pada Ibrahim bin ‘Abdurrahman
bin ‘Auf dimana ia menceritakan kisah pembaiatan kepada Abu Bakar bahwa
ayahnya ikut bersama rombongan Umar bin Khaththab yang mematahkan pedang
Zubair kemudian ia juga menceritakan khutbah Abu Bakar dan pengakuan
Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar berhak atas khilafah. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 11 H yaitu saat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] wafat.
Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf wafat
pada tahun 96 H [Al Kasyf no 165]. Jadi ada jeda sekitar 85 tahun antara
peristiwa tersebut dan wafatnya Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Auf.
Diperselisihkan kapan ia lahir. Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat menyatakan
ia wafat di madinah tahun 96 H dalam usia 75 tahun [Ats Tsiqat juz 4 no
1594]. Menurut keterangan Ibnu Hibban maka ia lahir sekitar tahun 21 H
dan itu berarti sangat jelas riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya
terputus].
Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia
sebenarnya lahir pada masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [At
Tahdzib juz 1 no 248]. Pernyataan ini patut diberikan catatan. Ibu dari
Ibrahim bin ‘Abdurrahman adalah Ummu Kultsum binti Uqbah dan ayahnya
adalah ‘Abdurrahman bin Auf. Ummu Kultsum binti Uqbah awalnya menikah
dengan Zaid bin Haritsah kemudian ketika Zaid terbunuh [pada perang
mu’tah tahun 8 H] ia menikah dengan Zubair sehingga melahirkan Zainab
kemudian bercerai dan baru menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. [Al
Ishabah 8/291 no 12227 biografi Ummu Kultsum]. Jika ia menikah dengan
Zubair pada tahun 8 H maka mungkin ia melahirkan Zainab pada tahun 9 H.
Itu berarti Ummu Kultsum menikah dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf pada tahun
9 H. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat pada tahun 11 H.
Seandainya dikatakan Ibrahim bin ‘Abdurrahman lahir dimasa hidup Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia lahir pada tahun 10 H atau 11 H.
Jadi saat peristiwa tersebut terjadi yaitu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar dibaiat kemudian berkhutbah, Ali dan Zubair mengakui khalifah Abu Bakar,
Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berusia lebih kurang satu tahun maka
riwayat ini sanadnya inqitha’ [terputus]. Ibrahim tidak menyaksikan
peristiwa tersebut dan ia meriwayatkannya melalui perantara yang tidak
ia sebutkan. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah itu dhaif karena
sanadnya terputus.
Selain itu terdapat illat [cacat] lain dari riwayat Musa bin Uqbah tersebut, sanadnya tidaklah tsabit sampai Musa bin Uqbah. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al Ahadits Al Muntakhab Min Maghazi Musa bin Uqbah Ibnu Qaadhiy Asy Syuhbah hal 94 no 19. Berikut ringkasan sanad penulis kitab ini sampai Musa bin Uqbah.
قنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَتَّابٍ الْعَبْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ عَمِّهِ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، صَاحِبِ الْمَغَازِي
Telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin ‘Attaab Al ‘Abdiy yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Qaasim bin
‘Abdullah bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Ibrahim bin Uqbah dari pamannya Musa bin Uqbah penulis Maghaaziy.
Sanad ini dhaif karena Ismail bin Abi Uwais.
Ia adalah perawi Bukhari Muslim yang dikenal dhaif. Ahmad bin Hanbal
berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata
“dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif
[Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran
dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan
soal pendapat Ibnu Ma’in.
- Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
- Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
- Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100]
- Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162]
- Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121]
Pendapat yang rajih, Ibnu Ma’in pada
awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti
bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in
menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.
Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari
Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais
ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah
atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari
syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya
dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata
“dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar
Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk
penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara
mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9].
Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata
“shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian
dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi
dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al
Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali
yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang
lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391].
Riwayat ini juga diriwayatkan dengan
sanad lain hingga Musa bin Uqbah sebagaimana disebutkan oleh Al Hakim
dalam Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422 dan Al Baihaqi dalam Sunan
Al Kubra 8/152 no 16364 dan Al I’tiqaad hal 350. Riwayat Baihaqi berasal
dari gurunya Al Hakim jadi sanadnya kembali kepada Al Hakim, berikut
sanad riwayat tersebut dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim
حدثنا محمد بن صالح بن هانئ ثنا الفضل بن محمد البيهقي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا محمد بن فليح عن موسى بن عقبة عن سعد بن إبراهيم قال حدثني إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shalih bin Haani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir Al Hizaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih dari Musa bin Uqbah dari Sa’d bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf [Mustadrak Ash Shahihain juz 3 no 4422].
Sanad ini mengandung illat [cacat] yaitu
dua orang perawinya diperbincangkan yaitu Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy
dan Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman.
- Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy, Ibnu Abi Hatim berkata “ia dibicarakan” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/396 no 393]. Al Hakim menyatakan ia tsiqat. Abu Ali Al Hafizh mendustakannya. Abu ‘Abdullah Al Akhram berkata shaduq hanya saja berlebihan dalam bertasyayyu’ [Lisan Al Mizan juz 4 no 1368]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa 2/513 no 4939].
- Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Main menyatakan ia tidak tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak mengapa dengannya tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 661]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak diikuti hadisnya” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/124 no 1682]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3159]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq sering salah dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Fulaih dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar [Tahrir At Taqrib no 6228].
Riwayat Muhammad bin Fulaih dari Musa bin
Uqbah juga disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad tetapi dengan matan yang
tidak memuat khutbah Abu Bakar dan perkataan Ali dan Zubair.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْمَخْزُومِيُّ الْمُسَيَّبِيُّ نا مُحَمَّدُ بْنُ فُلَيْحِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ وَغَضِبَ رِجَالٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ فِي بَيْعَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، مِنْهُمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، فَدَخَلا بَيْتَ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُمَا السِّلاحُ فَجَاءَهُمَا عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي عِصَابَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فِيهِمْ أُسَيْدُ وَسَلَمَةُ بْنُ سَلامَةَ بْنِ وَقْشٍ وَهُمَا مِنْ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ وَيُقَالُ فِيهِمْ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ الشَّمَّاسِ أَخُو بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ فَأَخَذَ أَحَدُهُمْ سَيْفَ الزُّبَيْرِ فَضَرَبَ بِهِ الْحَجَرَ حَتَّى كَسَرَهُ قَالَ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ : قَالَ سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al Makhzuumiy Al Musayyabiy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari
Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihaab yang berkata sekelompok orang dari
Muhajirin marah atas dibaiatnya Abu Bakar, diantara mereka ada Ali bin
Abi Thalib dan Zubair bin ‘Awwaam radiallahu ‘anhuma, maka masuklah
mereka ke rumah Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan bersama mereka ada senjata. Umar datang kepada mereka dengan
sekelompok kaum muslimin diantaranya Usaid dan Salamah bin Salamah bin
Waqsy keduanya dari bani ‘Abdul Asyhal, dikatakan juga diantara mereka
ada Tsaabit bin Qais bin Asy Syammaas saudara bani Haarits bin Khazraaj.
Maka salah satu dari mereka mengambil pedang Zubair dan memukulkannya
ke batu hingga patah. Musa bin Uqbah berkata Sa’d bin Ibrahim berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah yang mematahkan pedang Zubair, wallahu a’lam [As Sunnah Abdullah bin Ahmad 2/553-554 no 1291].
Muhammad bin Ishaq bin Muhammad Al
Makhzuumiy adalah seorang tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata aku
mendengar Mushab bin Zubair berkata “tidak ada diantara orang quraisy
yang lebih utama dari Al Musayyabiy” dan Shalih berkata “ia tsiqat”.
Ibnu Qaani’ dan Ibrahin bin Ishaq Ash Shawwaaf menyatakan tsiqat. [At
Tahdzib juz 9 no 49]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/54]. Adz
Dzahabiy berkata “tsiqat faqih shalih” [Al Kasyf no 4716]. Maka ada dua
riwayat:
- Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Muhammad bin Ishaq Al Makhzuumiy dari Muhammad bin Fulaih [lebih tsabit].
- Riwayat Fadhl bin Muhammad Al Baihaqiy dari Ibrahim bin Mundzir dari Muhammad bin Fulaih.
Riwayat Abdullah bin Ahmad lebih tsabit
dari riwayat Fadhl bin Muhammad. Hal ini karena Fadhl bin Muhammad
seorang yang diperbincangkan dan matan riwayat Muhammad bin Fulaih yang
ia sebutkan soal khutbah Abu Bakar adalah matan riwayat Ismail bin Abi
Uwais dari Ismail bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah.
Fadhl bin Muhammad memang dikenal
meriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Abi Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/69 no 393]. Jadi nampak disini Fadhl bin
Muhammad mencampuradukkan riwayat Muhammad bin Fulaih dengan riwayat
Ismail bin Abi Uwais. Riwayat Muhammad bin Fulaih yang tsabit berasal
darinya adalah:
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ كَانَ مَعَ عُمَرَ يَوْمَئِذٍ وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ كَسَرَ سَيْفَ الزُّبَيْرِ
Bahwa ‘Abdurrahman bersama Umar pada hari itu dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair.
Sedangkan matan yang menyebutkan khutbah
Abu Bakar dan pengakuan Ali dan Zubair bahwa Abu Bakar lebih berhak
sebagai khalifah adalah matan riwayat Ismail bin Abi Uwais dari Ismail
bin Ibrahim dari Musa bin Uqbah. Kesimpulannya riwayat Musa bin Uqbah
yang menyebutkan soal pengakuan Ali dan Zubair kedudukannya dhaif dan
tidak tsabit sampai ke Musa bin Uqbah karena diriwayatkan oleh Ismail
bin Abi Uwais seorang yang dhaif.
6. Riwayat Zaid bin Aliy Menyepakati Abu Bakar Dalam Masalah Fadak.
Salah satu trik murahan nashibi dalam
menyebarkan syubhat adalah mengutip pendapat ahlul bait yang menguatkan
hujjah mereka. Contohnya dalam masalah Fadak dimana terjadi perselisihan
antara Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] dan Abu Bakar [radiallahu
‘anhu] para nashibi berhujjah dengan pernyataan Zaid bin Aliy yang
menyepakati keputusan Abu Bakar. Berikut riwayat yang mereka jadikan
hujjah
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمَّادٍ، قَالَنَا عَمِّي، قَالَ نَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ نَا ابْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ، قَالَ قَالَ زَيْدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ، أَمَّا أَنَا فَلَوْ كُنْتُ مَكَانَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَحَكَمْتُ بِمِثْلِ مَا حَكَمَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي فَدَكٍ
Telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku
yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata
telah menceritakan kepada kami Ibnu Dawud dari Fudhail bin Marzuuq yang
berkata Zaid bin Ali bin Husain berkata “adapun
aku seandainya berada dalam posisi Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] maka
aku akan memutuskan seperti keputusan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] dalam
masalah Fadak” [Fadhail Ash Shahabah Daruquthniy no 52] .
Riwayat ini juga disebutkan Hammad bin
Ishaq dalam Tirkatun Nabiy 1/86 oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra
6/302, Dalaail An Nubuwwah 7/281 dan Al I’tiqaad 1/279 semuanya dengan
jalan sanad dari Ismail bin Ishaq Al Qadhiy [pamannya Ibrahim bin
Hammaad] dari Nashr bin Ali dari ‘Abdullah bin Dawud dari Fudhail bin
Marzuuq. Para perawi riwayat ini adalah perawi tsiqat kecuali Fudhail
bin Marzuuq, ia seorang yang diperbincangkan tetapi ia seorang yang
shaduq hasanul hadis. Sehingga nampak riwayat ini secara zahir sanadnya
hasan.
Riwayat ini mengandung illat [cacat],
Fudhail bin Marzuq tidak meriwayatkan secara langsung perkataan Zaid bin
Aliy tersebut. Ia meriwayatkan melalui perantara perawi lain. Kami
menemukan riwayat serupa dengan matan yang lebih detail dan menjelaskan
apa maksud perkataan Zaid bin Aliy tersebut.
حدثنا محمد بن عبد الله بن الزبير قال حدثنا فضيل ابن مرزوق قال حدثني النميري بن حسان قال قلت لزيد بن علي رحمة الله عليه وأنا أريد أن أهجن أمر أبي بكر إن أبا بكر رضي الله عنه انتزع من فاطمة رضي الله عنها فدك فقال إن أبا بكر رضي الله عنه كان رجلا رحيما وكان يكره أن يغير شئيا تركه رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتته فاطمة رضي الله عنها فقالت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاني فدك فقال لها هل لك على هذا بينة ؟ فجاءت بعلي رضي الله عنه فشهد لها، ثم جاءت بأم أيمن فقالت أليس تشهد أني من أهل الجنة ؟ قال بلى قال أبو أحمد يعني أنها قالت ذاك لابي بكر وعمر رضي الله عنهما – قالت فأشهد أن النبي صلى الله عليه وسلم أعطاها فدك فقال أبو بكر رضي الله عنه: فبرجل وامرأة تستحقينها أو تستحقين بها القضية ؟ قال زيد بن علي وأيم الله لو رجع الامر إلى لقضيت فيها بقضاء أبي بكر رضي الله عنه
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair yang berkata telah menceritakan kepada
kami Fudhail bin Marzuuq yang berkata telah menceritakan kepadaku An
Numairiy bin Hassaan yang berkata aku berkata kepada Zaid bin Aliy
[rahmat Allah atasnya] dan aku ingin merendahkan Abu Bakar bahwa Abu
Bakar [radiallahu ‘anhu] merampas Fadak dari Fathimah [radiallahu
‘anha]. Maka Zaid berkata “Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] adalah seorang
yang penyayang dan ia tidak menyukai mengubah sesuatu yang ditinggalkan
oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], kemudian datanglah
Fathimah [radiallahu ‘anha] dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] telah memberikan Fadak kepadaku”. Abu Bakar berkata kepadanya
“apakah ada yang bisa membuktikannya?” maka datanglah Aliy [radiallahu
‘anhu] dan bersaksi untuknya kemudian datang Ummu Aiman yang berkata
“tidakkah kalian bersaksi bahwa aku termasuk ahli surga?”. Abu Bakar
menjawab “benar” [Abu Ahmad berkata bahwa Ummu Aiman mengatakan hal itu
kepada Abu Bakar dan Umar]. Ummu Aiman berkata “maka aku bersaksi bahwa
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan fadak kepadanya”.
Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] kemudian berkata “maka apakah dengan
seorang laki-laki dan seorang perempuan bersaksi atasnya hal ini bisa
diputuskan?”. Zaid
bin Ali berkata “demi Allah seandainya perkara ini terjadi padaku maka
aku akan memutuskan tentangnya dengan keputusan Abu Bakar [radiallahu
‘anhu] [Tarikh Al Madinah Ibnu Syabbah 1/199-200].
Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair
dalam riwayat di atas adalah Abu Ahmad Az Zubairiy perawi Bukhari dan
Muslim yang tsiqat. Ibnu Numair menyatakan ia shaduq. Ibnu Ma’in dan Al
Ijliy menyatakan tsiqat. Bindaar berkata “aku belum pernah melihat orang
yang lebih hafizh darinya”. Abu Zur’ah dan Ibnu Khirasy menyatakan
shaduq. Abu Hatim berkata “ahli ibadah mujathid hafizh dalam hadis dan
pernah melakukan kesalahan”. Ahmad bin Hanbal berkata “ia banyak
melakukan kesalahan dalam riwayat Sufyan”. Nasa’i berkata “tidak ada
masalah padanya”. Ibnu Sa’ad berkata shaduq banyak meriwayatkan hadis.
Ibnu Qani’ berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 9 no 422]. Ibnu Hajar
berkata “tsiqat tsabit kecuali sering keliru dalam riwayat Ats Tsawriy”
[At Taqrib 2/95].
Pernyataan sering keliru dalam riwayat
Ats Tsawriy bersumber dari perkataan Ahmad bin Hanbal padahal Ahmad bin
Hanbal sendiri pernah mengatakan bahwa diantara sahabat Sufyan, Az
Zubairiy lebih ia sukai dari Muawiyah bin Hisyaam dan Zaid bin Hubaab
[Mausu’ah Aqwaal Ahmad no 2357]. Selain itu Bukhari Muslim memasukkan
hadis Az Zubairiy dari Sufyan dalam kitab shahih mereka. Pendapat yang
rajih Abu Ahmad Az Zubairiy adalah seorang yang tsiqat tsabit.
Jadi ada dua orang yang meriwayatkan dari
Fudhail bin Marzuuq yaitu ‘Abdullah bin Dawuud Asy Sya’biy seorang yang
tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/489] dan Abu Ahmad Az Zubairiy
seorang yang tsiqat tsabit.
- Riwayat Ibnu Dawud adalah Fudhail bin Marzuuq berkata bahwa Zaid bin Ali mengatakan hal itu [tidak menggunakan sighat pendengaran langsung].
- Riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy adalah Fudhail bin Marzuuq berkata telah menceritakan kepadaku An Numairiy bin Hassaan bahwa Zaid bin Ali berkata demikian [menggunakan sighat langsung].
Hal ini menunjukkan bahwa Fudhail bin Marzuuq menukil perkataan Zaid bin Aliy itu dari perawi yang bernama An Numairiy bin Hassaan. Dia tidak dikenal kredibilitasnya alias majhul maka riwayat perkataan Zaid bin Aliy ini kedudukannya dhaif.
Dari segi matan maka pernyataan Zaid bin Aliy ini justru menguatkan bahwa Ahlul Bait yaitu Sayyidah Fathimah [alaihis salam] dan Imam Ali [alaihis salam] mengakui kalau Fadak adalah hak milik mereka.
Seandainya riwayat tersebut tsabit maka pernyataan Zaid bin Aliy jelas
keliru, Pernyataan Sayyidah Fathimah bahwa Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] memberikan Fadak kepadanya tidaklah perlu diminta
kesaksian. Orang yang meminta kesaksian atas perkataan Sayyidah Fathimah
berarti orang tersebut tidak mengerti kedudukan Sayyidah Fathimah di
sisi Allah SWT dan Rasul-Nya. Sayyidah Fathimah adalah pribadi yang
perkataan dan sikapnya menjadi hujjah bagi umat karena Beliau adalah
pedoman bagi umat agar tidak tersesat. Silakan saja kalau nashibi itu
ingin berhujjah dengan Zaid bin Aliy [itupun kalau riwayatnya shahih]
sedangkan kami lebih suka memihak Ahlul Bait yang lebih utama yaitu
Sayyidah Fathimah dan Imam Ali.
7. Anomali Bantahan Nashibi Al Fanarku Tentang Warisan Nabi.
Memang parah sekali jika ada orang yang
tidak bisa berpikir dengan benar. Bukankah telah disampaikan kepadanya
nasihat untuk belajar ilmu logika dengan baik agar ia dapat mengambil
kesimpulan dengan cara yang benar. Tetapi anehnya orang ini memang tidak
pernah sadar diri. Berulang kali ia menunjukkan cara kerja akalnya yang
menyedihkan. Ia berkata dalam tulisannya yang mungkin ia buat dengan
niat membantah kami [tetapi hasilnya hanya menunjukkan bantahan
“ngeyelisme” kayak anak kecil]
Perselisihan yang terjadi antara Ahlul bait [Sayyidah Fathimah] dan Abu Bakar adalah perselisihan biasa layaknya perselisihan antar mujtahid.
Kami sarankan agar ia belajar dulu apa maknanya “ijtihad” dan apa yang disebut “mujtahid”.
Kalau orang bisanya asal sebut maka tulisannya jadi ngawur bin
serampangan. Masa’ sih dia gak mikir, apa ketika Abu Bakar membawakan
hadis “Nabi tidak mewariskan” ia sedang berijtihad?. Apa yang
perlu diijtihadkan kalau hadisnya jelas sekali dan Abu Bakar hanya
menyampaikan hadis. Masa’ sih dia gak mikir ketika Sayyidah Fathimah
marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar setelah mendengar hadisnya
Abu Bakar, itu dinamakan ijtihad?. Duduk persoalan antara Abu Bakar dan
Sayyidah Fathimah adalah Abu Bakar menyampaikan hadis dan Sayyidah
Fathimah menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar tersebut. Hal ini
tampak dari sikap Beliau yang marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar
padahal Abu Bakar hanya menyampaikan hadis tersebut.
Seperti biasa orang syi’ah rafidhah ini tidak henti-hentinya berusaha mendiskreditkan Abu Bakar, padahal jelas Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seorang yang berkata benar, apa yang dikatakan oleh Abu Bakar adalah apa yang dia dengar langsung dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan jelas-jelas Imam Ali telah membenarkannya dalam suatu hadits yang shahih pada masa Umar bin Khattab dan Imam Ali beserta anak keturunannya tidaklah menjadikan peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai warisan dan mereka telah mengikuti apa yang pendahulunya (Abu Bakar, Umar dan Utsman) telah lakukan dalam mengelola peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.
Ini cuma “ngeyelisme” yang lahir dari
orang yang sudah putus asa dalam berhujjah. Kami telah membahas hadis
yang ia maksud. Dalam hadis tersebut tertera jelas kalau Imam Ali pada masa Umar meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ini bukti nyata kalau Imam Ali menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar. Dalam hadis tersebut Imam Ali menganggap Abu Bakar dan Umar sebagai orang yang zalim dan durhaka
padahal keduanya hanya menyampaikan hadis tersebut maka ini menjadi
bukti lebih nyata kalau Imam Ali menolak hadis yang disampaikan Abu
Bakar dan Umar. Imam Ali telah nyata-nyata mengakui di depan kaum
muslimin bahwa ahlul bait adalah orang yang berhak akan harta tersebut. Semua fakta ini tidak diperhatikan oleh si nashibi dan ia tenggelam dalam wahamnya yang terus diulang-ulang.
Jika orang syi’ah ini mengatakan bahwa Imam Ali dan Abbas tidak membenarkan lalu apa arti ucapan mereka berdua dihadapan Umar? Apakah ahlul bait itu serba tahu? Apakah suatu aib jika sekali-kali ahlul bait tidak mengetahui suatu hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam? Jika hal tersebut menurutnya adalah suatu aib maka benar-benar pemikiran yang anomali.
Seorang nashibi memang tidak akan pernah
tahu keutamaan Ahlul Bait. Hadis shahih telah membuktikan kalau Ahlul
Bait adalah pedoman bagi umat islam agar tidak tersesat. Artinya Ahlul
Bait adalah pegangan bagi umat islam termasuk bagi Abu Bakar. Ahlul Bait
selalu bersama Al Qur’an dan tidak akan berpisah sampai kembali kepada
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Al Haudh. Sedangkan Abu
Bakar sebesar apapun kemuliaan yang ia miliki ia tetap seorang manusia
biasa yang bisa salah manusia biasa yang dipesankan oleh Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] agar berpegang teguh pada Al Qur’an dan
Ahlul Bait. Sikap Nashibi yang menolak Ahlul Bait sebagai pedoman umat
hanya menunjukkan pendustaan mereka terhadap hadis Tsaqalain [kami tidak
heran karena ini memang ciri khas nashibi].
Mudah menjawab syubhat orang syi’ah ini, ketika Abu Bakar ditanya apakah dia yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya, maka Abu Bakar menjawab “Bukan aku tetapi keluarganya” adalah benar dan secara umum memang seperti itu, keluarga Nabi-lah yang mewarisi apa-apa yang ditinggalkan Nabi, sekali lagi pada dasarnya adalah seperti itu, tetapi kekhususan telah menafikan hal yang umum dan mendasar ini, makanya kemudian Abu Bakar menyampaikan hadits yang menafikkan hal tersebut yang merupakan kekhususan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam.
Kalau cuma asal jawab baik orang bodoh ataupun orang gila bisa menjawab. Masalahnya bukan “mudah menjawab” atau “susah menjawab”
tetapi apakah jawaban itu benar atau paling tidak ada nilainya?.
Melihat jawaban yang bersangkutan, yang nampak hanya perkataan tanaqudh
alias kontradiksi. Kalau hadis Nabi tidak mewariskan atau Nabi tidak diwarisi adalah benar maka seorang Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah memiliki ahli waris. Maka keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Lha kalau Abu Bakar menyatakan keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka itu
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang diwariskan Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] kepada keluarganya.
Perhatikan cara penarikan kesimpulan “yang sakit”. Ia berkata “adalah benar secara umum memang seperti itu”. Pernyataan ini tidak ada nilainya. Abu Bakar mengakui keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
dan si nashibi ini berkata secara umum begitu. Apa maksudnya secara
umum begitu?. Kalau si nashibi ini bertanya pada ayahnya apakah ia atau
tetangganya yang mewarisi ayahnya?. Ayahnya menjawab “tentu saja kamu
yang mewarisi ayah”. Apa ia akan ngawur berkata secara umum begitu.
Lihatlah ia berkata “Keluarga Nabi mewarisi apa yang ditinggalkan Nabi” ia bilang secara umum begitu tetapi kekhususan telah menafikan hal yang umum ini. Pembaca sekalian patut bertanya mana kalimat yang umum dan mana kalimat yang khusus.
Ini tidak lain akrobat kata-kata yang cuma disusun sekenanya sehingga
tampak tidak bermakna sama sekali. Perhatikan dua kalimat berikut:
- Keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
- Keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Kedua pernyataan di atas adalah saling bertentangan dan kontradiktif. Cuma pemikiran bodoh yang menjawab bahwa kalimat pertama adalah umum dan kalimat kedua adalah khusus. Kalau kalimat pertama berbunyi “seorang anak mewarisi Ayahnya” dan kalimat kedua berbunyi “Sayyidah Fathimah tidak mewarisi ayahnya”
terus ia menjawab kalimat pertama adalah umum dan kalimat kedua adalah
khusus maka hal ini bisa diterima tetapi kalau kalimat pertama “Sayyidah Fathimah mewarisi Ayahnya” dan kalimat kedua berbunyi “Sayyidah Fathimah tidak mewarisi Ayahnya”
maka jawaban kalimat pertama umum dan kalimat kedua khusus hanya
menunjukkan logika yang sakit. Mungkin yang bersangkutan tidak pernah
belajar ilmu logika dasar. Sebenarnya hal seperti ini walau tidak
dipelajari secara khusus akan dimengerti oleh logika manusia pada
umumnya. Tetapi zaman sekarang bermunculan manusia-manusia yang
berlogika bukan dengan logika manusia.
Justru terlihat Sayyidah Fatimah mengakui hujjah Abu Bakar dengan mengatakan : “engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah lebih tahu” ini adalah sejelas-jelas dalil bahwa Fatimah mengakui apa yang dikatakan Abu Bakar bahkan beliau mengatakan Abu Bakar lebih mengetahui dalam hal ini. Maka tidak ada hujjah lagi buat orang syi’ah ini karena Sayyidah Fatimah sudah mengakuinya.
Komentar yang ini hanya menunjukkan kalau
yang bersangkutan tidak bisa membaca dengan baik dan benar. Tahukah
anda hadis apakah yang dibenarkan oleh Sayyidah Fathimah. Hadis tersebut
bukan “Nabi tidak mewariskan”
فقال أبو بكر إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إن الله عز و جل إذا أطعم نبيا طعمة ثم قبضه جعله للذي يقوم من بعده فرأيت أن أرده على المسلمين
Abu Bakar berkata aku mendengar
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika Allah ‘azza
wajalla memberi makan kepada Nabi kemudian ia wafat maka dijadikan itu
untuk orang yang bertugas setelahnya”. Maka aku berpendapat untuk menyerahkannya kepada kaum muslimin.
Dari pernyataan Abu Bakar ini maka hadis
yang disampaikan Abu Bakar tidaklah menafikan bahwa keluarga Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi
waslalam]. Dari pernyataan Abu Bakar juga terlihat bahwa penyerahan
harta itu kepada kaum muslimin adalah pendapat pribadi Abu Bakar. Hal ini sangat jelas pada lafaz “maka aku berpendapat”.
Pada awalnya Abu Bakar mengakui kalau keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
kemudian selanjutnya Sayyidah Fathimah benar-benar datang kepada Abu
Bakar dan meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] baru pada
saat itulah Abu Bakar mengeluarkan hadis Nabi tidak mewariskan dan semua yang ditinggalkan adalah sedekah.
Sekarang Abu Bakar menyatakan keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] tidak mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
sekarang Abu Bakar menyatakan atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] bahwa harta itu sedekah bagi kaum muslimin
padahal sebelumnya ia mengaku itu hanya pendapatnya saja. Mendengar
jawaban Abu Bakar ini, Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara
kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat.
Maka riwayat di atas bisa sebagai informasi bahwa sebenarnya Sayyidah Fatimah telah menerima dan membenarkan apa yang diputuskan oleh Abu Bakar tersebut, demikian juga dengan Imam Ali, akhirnya mereka mau menerima keputusan Abu Bakar, maka case closed. Lalu siapa yang keliru di sini? Yang orang Syi’ah yang pemikiran-nya anomali itu yang keliru
Pernyataan ini cuma waham atau
angan-angan nashibi itu. Duduk persoalannya jelas kok Ahlul Bait [Imam
Ali dan Sayyidah Fathimah] tidak pernah menerima hadis Nabi tidak
mewariskan yang disampaikan Abu Bakar. Mereka menolak hadis tersebut.
Penolakan Sayyidah Fathimah tampak dari kemarahannya dan penolakan Imam
Ali tampak dari deklarasinya dihadapan kaum muslimin bahwa Ahlul bait
berhak akan harta tersbeut. Case closed dan kebenaran ada pada Ahlul
Bait.
Sayyidah marah terhadap Abu Bakar dan tidak berbicara dengannya hingga wafat adalah apa yang Nampak oleh A’isyah, bisa jadi beliau tidak mengetahui bahwa sebenarnya Abu Bakar dan Fatimah sudah baikan dan saling mema’afkan sebagaimana telah diriwayatkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.
Kami sudah pernah bahas riwayat dhaif
yang ia sebutkan yaitu riwayat Al Baihaqi. Intinya orang ini memang gak
pantas kalau berhujjah dengan hadis. Kesan yang kami tangkap tidak
peduli riwayat itu dhaif yang penting kalau sesuai dengan keyakinannya
maka itu akan dicomot dan dijadikan dasar untuk menolak riwayat shahih.
Btw bukannya dia ini dari dulu punya penyakit “itu bukan kitab mu’tabar”.
Nah riwayat Baihaqi itu seharusnya tidak mu’tabar di sisinya jika
dibandingkan dengan Shahih Bukhari. Dasar tanaqudh bin tanaqudh
Ini namanya mencampurkan antara sesuatu yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum, pada QS Maryam : 5-6 mengapa ditafsirkan warisan ilmu atau kenabian? Karena memang sudah dimaklumi bahwa pada umat Bani Israil kenabian diturunkan ke anak cucu mereka,
Cuma salafy nashibi yang punya keyakinan kalau Kenabian itu diwariskan. Kalau ditanya mana dalilnya bahwa kenabian itu menjadi warisan turun temurun
maka kami yakin ia tidak bisa menjawabnya. Kalau ia mengambil contoh
ada Nabi yang anaknya juga seorang Nabi maka apa buktinya Kenabian
anaknya itu berasal dari warisan ayahnya?. Kalau Kenabian itu diwariskan
maka ia akan terus berlanjut, misalnya ia mengambil contoh Nabi
Sulaiman [alaihis salam]mewarisi kenabian dari Nabi Daud [alaihis
salam]maka siapakah yang mewarisi kenabian Nabi Sulaiman?. Kalau ia
mengatakan Nabi Yusuf mewarisi Kenabian Nabi Ya’qub maka siapakah yang
mewarisi kenabian Nabi Yusuf?. Dan Nabi Musa [alaihis salam] adalah Nabi
bagi bani Israil maka siapakah anak Nabi Musa yang mewarisi
kenabiannya?. Kami yakin yang bersangkutan tidak akan bisa menjawab
dengan benar [kalau menjawab asal-asalan, ia memang ahlinya].
Selain itu kalau Kenabian itu memang
diwariskan maka sang ahli waris Kenabian hanya akan menjadi Nabi jika
ayahnya sudah wafat. Karena namanya pewarisan Kenabian adalah pemindahan
status Kenabian. Jadi kalau memang Kenabian diwariskan maka Nabi
Sulaiman menjadi Nabi setelah Nabi Daud wafat faktanya Nabi Sulaiman
telah menjadi Nabi saat Nabi Daud masih hidup. Ini menunjukkan bahwa
Kenabian adalah anugerah dari Allah SWT bukan sesuatu yang diwariskan.
“maka anugrahilah aku dari sisiMu seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub”. Apa yang diwarisi dari keluarga Ya’qub? Tidak lain adalah Ilmu dan Kenabian bukan harta benda.
Jangan buru-buru asal jawab. Yang
dimaksud Ya’qub disitu siapa?. Kalau Nabi Ya’qub [alaihis salam]
bukankah nashibi itu sendiri yang mengatakan bahwa pewaris kenabiannya
adalah Nabi Yusuf [alaihis salam]. Kalau yang dimaksud Nabi Yusuf maka
kok bisa-bisanya putra Nabi Zakaria mewarisi Kenabian Nabi Yusuf.
Seharusnya yang mewarisi kenabian Nabi Yusuf ya putranya Nabi Yusuf.
Atau nashibi ini mau mengatakan putranya Nabi Zakaria juga putra Nabi
Yusuf. Sungguh alangkah kacaunya.
Kalau yang dimaksud dalam “mewarisi” itu
adalah mewarisi Kenabian maka mengapa perlu dipakai kata “mewarisi aku
dan mewarisi keluarga Ya’qub”. Apakah Kenabian Nabi Zakaria dan Kenabian
keluarga Ya’qub itu dua jenis Kenabian yang berbeda sehingga keduanya
bergabung dalam satu warisan untuk putra Nabi Zakaria?. Kami yakin
pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan benar oleh orang tersebut [lain
cerita kalau jawaban yang ngasal, sekali lagi dia ahlinya].
Tidak pantas bagi seorang yang shalih untuk memohon kepada Allah agar diberi anak hanya untuk mewarisi harta benda, terlebih seorang nabi seperti Zakariya. beliau tidaklah meminta keturunan melainkan hanya untuk mewairisi ilmu dan kenabian, terbukti beliau diberi oleh Allah seorang anak yang bernama Yahya yang juga menjadi nabi.
Nabi Zakaria berdoa kepada Allah SWT
untuk meminta keturunan [anak]. Hanya saja lafaz doa yang disebutkan
adalah lafaz doa yang menyebutkan sifat seorang anak bahwa anak akan
mewarisi orang tuanya. Kalau seandainya nashibi itu susah mendapat
keturunan kemudian ia berdoa dengan lafaz “Ya Allah berilah aku seorang putra yang akan jadi ahli warisku”
apakah berarti nashibi itu meminta agar diberi anak hanya untuk
mewarisi harta benda. Silakan jawab dengan jujur wahai nashibi, itu cuma
persepsi anda sendiri
Nabi Yahya [alaihis salam] tidak mewarisi
Kenabian Nabi Zakaria, mengapa? Karena keduanya adalah seorang Nabi di
masa yang sama. Nabi Yahya telah diangkat oleh Allah SWT sebagai Nabi
saat Nabi Zakaria masih hidup. Jadi dimana letak hujjah pewarisan
Kenabian yang dimaksud nashibi itu.
sangat masyhur dalam kitab-kitab sejarah bahwa nabi Zakariya adalah seorang yang fakir, disebutkan bahwa ia hanya seorang tukang kayu. Kira kira harta apa yang ia miliki sehingga minta keturunan kepada Allah subhanahu wata’ala untuk mewarisinya?
Kitab sejarah yang mana wahai nashibi.
Jangan-jangan anda mengandalkan alkitab [injil atau taurat] atau
riwayat-riwayat Israiliyat. Silakan tunjukkan bukti bahwa Nabi Zakaria
['alaihis salam]seorang tukang kayu dan maaf apa masalahnya jika Beliau
seorang tukang kayu?. Mau tukang kayu atau seorang Raja warisan ya tetap
diwariskan kepada ahli warisnya.
Dan ada satu lagi yang sangat anomaly tetapi tidak disadari oleh nashibi itu. Ia mengatakan bahwa mewarisi yang dimaksud adalah “mewarisi ilmu dan kenabian”.
Pertanyaannya adalah apakah ilmu seorang Nabi itu warisan dari ayahnya
yang juga seorang Nabi?. Jawabannya tidak, terdapat dalil yang jelas
bahwa ilmu seorang Nabi itu langsung dari Allah SWT. Kenabian itu
diangkat langsung oleh Allah SWT dan tidak ada hubungannya dengan
warisan. Lihat saja Nabi kita yang mulia Nabi Muhammad [shallallahu
‘alaihi wasallam] apakah Kenabian Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam]
diwariskan dari orang tuanya? Sudah jelas tidak. Jadi darimana datangnya
keyakinan “Kenabian itu diwariskan”.
8. Kapan Imam Ali Membaiat Abu Bakar? : Membantah Para Nashibi
Cukup banyak situs nashibi [yang ngaku-ngaku salafy] menyebarkan syubhat bahwa Imam Ali membaiat Abu Bakar pada awal-awal ia dibaiat.
Mereka mengutip riwayat dhaif dan melemparkan riwayat shahih. Mereka
mengutip dari riwayat [yang tidak mu’tabar menurut sebagian mereka] dan
melemparkan riwayat mu’tabar dan shahih di sisi mereka. Mengapa hal itu
terjadi?. Karena kebencian mereka terhadap Syiah. Salafy nashibi itu
menganggap pernyataan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan
sebagai “syubhat Syi’ah”. Menurut salafy nashibi yang namanya “syubhat
Syi’ah” pasti dusta jadi harus dibantah meskipun dengan dalih
mengais-ngais riwayat dhaif.
Kami akan berusaha membahas masalah ini
dengan objektif dan akan kami tunjukkan bahwa kabar yang shahih dan
tsabit adalah Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu
setelah wafatnya Sayyidah Fathimah [‘Alaihis Salam] dan ini tidak ada
kaitannya dengan Syiah dan riwayat di sisi mereka. Riwayat yang
menyatakan Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan adalah riwayat
shahih dan tsabit dari kitab yang mu’tabar di sisi para ulama yaitu
Shahih Bukhari. Tidak ada keraguan akan keshahihan riwayat ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa
bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari
‘Uqail dari Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aaisyah Bahwasannya Faathimah
[‘alaihis-salaam] binti Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] mengutus
utusan kepada Abu Bakr meminta warisannya dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di
Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. Abu Bakr
berkata ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda ‘Kami
tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai sedekah”.
Hanya saja, keluarga Muhammad [shallallahu 'alaihi wasallam] makan dari
harta ini’. Dan demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah
Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wa sallam] dari keadaannya semula
sebagaimana harta itu dikelola semasa Rasulullah [shallallaahu 'alaihi
wa sallam], dan akan aku kelola sebagaimana Rasulullah mengelola. Maka
Abu Bakr enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fathimah sehingga Fathimah
marah kepada Abu Bakr dalam masalah ini. Fathimah akhirnya mengabaikan
Abu Bakr dan tak pernah mengajaknya bicara hingga ia meninggal. Dan ia
hidup enam bulan sepeninggal Nabi [shallallaahu 'alaihi wa sallam].
Ketika wafat, ia dimandikan oleh suaminya, Aliy, ketika malam hari, dan
‘Aliy tidak memberitahukan perihal meninggalnya kepada Abu Bakr. Padahal
semasa Faathimah hidup, Aliy dituakan oleh masyarakat tetapi, ketika
Faathimah wafat, ‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya,
dan ia lebih cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya,
meskipun ia sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.
‘Aliy kemudian mengutus seorang utusan kepada Abu Bakar yang inti
pesannya ‘Tolong datang kepada kami, dan jangan seorangpun bersamamu!’.
Ucapan ‘Aliy ini karena ia tidak suka jika Umar turut hadir. Namun
‘Umar berkata ‘Tidak, demi Allah, jangan engkau temui mereka sendirian’.
Abu Bakr berkata ‘Kalian tidak tahu apa yang akan mereka lakukan
terhadapku. Demi Allah, aku sajalah yang menemui mereka.’ Abu Bakr
lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata ”Kami tahu
keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak
mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah
sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpandangan, kami lebih
berhak karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallaahu
'alaihi wa sallam’]. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis.
Ketika Abu Bakr bicara, ia berkata “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung
kekerabatanku sendiri. Adapun perselisihan antara aku dan kalian dalam
perkara ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah
kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah [shallallahu 'alaihi
wa sallam] melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian
‘Aliy berkata kepada Abu Bakr ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya.
‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan
keagungan hak Abu Bakar, dan ia menceritakan bahwa apa yang ia lakukan
tidak sampai membuatnya dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai
mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. Ia
berkata “Hanya saja, kami berpandangan bahwa kami lebih berhak dalam
masalah ini namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami
sehingga kami pun merasa marah terhadapnya”. Kaum muslimin pun
bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berkata “Engkau benar”. Sehingga
kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan
keadaan menjadi baik” [Shahih Bukhaari no. 4240-4241].
Hadis riwayat Bukhari ini juga disebutkan
dalam Shahih Muslim 3/1380 no 1759 dan Shahih Ibnu Hibban 11/152 no
4823. Dari hadis yang panjang di atas terdapat bukti nyata kalau Imam
Ali membaiat Abu Bakar setelah enam bulan yaitu setelah wafatnya
Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam]. Sisi pendalilannya adalah sebagai
berikut. Pehatikan lafaz Perkataan Aisyah:
فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ
Ketika [Sayyidah Fathimah] wafat
‘Aliy memungkiri penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia lebih
cenderung berdamai dengan Abu Bakr dan berbaiat kepadanya, meskipun ia
sendiri tidak berbaiat di bulan-bulan itu.
Aisyah [radiallahu ‘anha] menyatakan
dengan jelas bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar adalah setelah
kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan dan
Imam Ali tidak pernah membaiat pada bulan-bulan sebelumnya. Jadi dari
sisi ini tidak ada yang namanya istilah baiat kedua. Itulah baiat Imam
Ali yang pertama dan satu-satunya.
Aisyah [radiallahu ‘anha] kemudian
menyebutkan dengan jelas peristiwa yang terjadi setelah Sayyidah
Fathimah wafat yaitu Imam Ali memanggil Abu Bakar kemudian memutuskan
untuk memberikan baiat di hadapan kaum muslimin. Aisyah [radiallahu
‘anha] menyebutkan bahwa Abu Bakar berkhutbah di hadapan kaum muslimin,
perhatikan lafaz:
فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ
Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur,
ia menaiki mimbar. Ia mengucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan
permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaan Ali dari bai’at serta
alasannya.
Abu Bakar sendiri sebagai khalifah yang
akan dibaiat menyatakan di hadapan kaum muslimin alasan Imam Ali tidak
memberikan baiat kepadanya. Ini bukti nyata kalau Abu Bakar sendiri
merasa dirinya tidak pernah dibaiat oleh Imam Ali. Khutbah Abu Bakar
disampaikan di hadapan kaum muslimin dan tidak satupun dari mereka yang
mengingkarinya. Maka dari sini dapat diketahui bahwa Abu Bakar dan kaum
muslimin bersaksi bahwa Ali tidak pernah membaiat sebelumnya kepada Abu
Bakar.
Kemudian mari kita lihat riwayat yang
dijadikan hujjah oleh salafy nashibi bahwa Imam Ali telah memberikan
baiat kepada Abu Bakar pada awal pembaiatan Abu Bakar.
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه
Telah menceritakan kepada kami Abul
‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami
Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami
Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan
anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata
“wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan
salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang
urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya
dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit
berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal
dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah
penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata
“semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar,
benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian
mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan
kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata
“ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Ketika
Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian
ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh
orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai
sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar
tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian
berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah”
maka ia membaiatnya. [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4457].
Hadis riwayat Al Hakim di atas juga
diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 8/143 no 16315 dan Al
I’tiqad Wal Hidayah hal 349-350 dengan jalan sanad yang sama dengan
riwayat Al Hakim di atas.
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Ibnu
Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277, Baihaqi dalam Sunan Al
Kubra 8/143 no 16316 dan Al I’tiqad Wal Hidayah hal 350. Berikut riwayat
Ibnu Asakir.
وأخبرنا أبو القاسم الشحامي أنا أبو بكر البيهقي أنا أبو الحسن علي بن محمد بن علي الحافظ الإسفراييني قال نا أبو علي الحسين بن علي الحافظ نا أبو بكر بن إسحاق بن خزيمة وإبراهيم بن أبي طالب قالا نا بندار بن بشار نا أبو هشام المخزومي نا وهيب نا داود بن أبي هند نا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري قال قبض النبي (صلى الله عليه وسلم) واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) كان من المهاجرين وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فنحن أنصار خليفته كما كنا أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم غير هذا لم نتابعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه وبايعه عمر وبايعه المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت أين ابن عمة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) وختنه على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فبايعه هذا أو معنا
Telah mengabarkan kepada kami Abul
Qaasim Asy Syahaamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar Al Baihaqi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan
Ali bin Muhammad bin Al Al Hafizh Al Isfirayiniy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Ali Husain bin ‘Ali Al Hafizh yang berkata
telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq bin Khuzaimah dan
Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami
Bindaar bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Hisyaam Al Makhzuumiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib
yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al
Khudriy yang berkata “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dan
orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah dan diantara mereka ada
Abu Bakar dan Umar. Pembicara [khatib] Anshar berdiri dan berkata
“tahukah kalian bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari
golongan muhajirin dan penggantinya dari Muhajirin juga sedangkan kita
adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kita
adalah penolong penggantinya sebagaimana kita menolongnya. Umar berkata
“sesungguhnya pembicara kalian benar, seandainya kalian mengatakan
selain itu maka kami tidak akan membaiat kalian” dan Umar memegang
tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia”. Umar
mulai membaiatnya kemudian diikuti kaum Muhajirin dan Anshar.
Abu
Bakar naik ke atas mimbar dan melihat kearah orang-orang dan ia tidak
melihat Zubair maka ia memanggilnya dan Zubair datang. Abu Bakar berkata
“wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah”
maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar melihat kearah orang-orang dan
ia tidak melihat Ali maka ia memanggilnya dan Ali pun datang. Abu Bakar
berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin
memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai
khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya.
Inilah riwayatnya atau dengan maknanya [Tarikh Ibnu Asakir 30/276-277].
Salafy berhujjah dengan riwayat Abu Sa’id di atas dan melemparkan riwayat Aisyah dalam kitab shahih. Mereka mengatakan “bisa saja Aisyah tidak menyaksikan baiat tersebut”.
Sayang sekali hujjah mereka keliru, riwayat Aisyah shahih dan tsabit
sedangkan riwayat Abu Sa’id mengandung illat [cacat] yaitu pada sisi
kisah “adanya pembaiatan Ali dan Zubair”.
Perhatikan kedua riwayat di atas yang
kami kutip. Kami membagi riwayat tersebut dalam dua bagian. Bagian
pertama yang menyebutkan pembaiatan Abu Bakar oleh kaum Anshar dan
bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair [yang kami cetak
biru]. Bagian pertama kedudukannya shahih sedangkan bagian kedua
mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’. Perawinya melakukan kesalahan
dengan menggabungkan kedua bagian tersebut. Buktinya adalah sebagai
berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا وهيب ثنا داود عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم قام خطباء الأنصار فجعل منهم من يقول يا معشر المهاجرين ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك قال فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان من المهاجرين وإنما الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه و سلم فقام أبو بكر فقال جزاكم الله خيرا من حي يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال والله لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Affan yang berkata telah menceritakan
kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud
dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id Al Khudriy yang berkata “ketika
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di
kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka
yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] menunjuk salah seorang diantara kalian maka Beliau
menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang
memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan
salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya.
Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum
muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala
anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian
wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “
demi Allah, jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak
akan sepakat dengan kalian” [Musnad Ahmad 5/185 no 21657, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”].
Hadis riwayat Ahmad ini juga diriwayatkan
dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 5/114 no 4785, Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah 14/562 no 38195, Ahadits ‘Affan bin Muslim no 307, Tarikh Ibnu
Asakir 30/278 dengan jalan sanad ‘Affan bin Muslim. ‘Affan bin Muslim
memiliki mutaba’ah yitu Abu Dawud Ath Thayalisi sebagaimana disebutkan
dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/84 no 602. Riwayat Wuhaib bin
Khalid dengan jalan sanad yang tinggi hanya menyebutkan bagian pertama
tanpa menyebutkan bagian kedua. Sedangkan bagian kedua adalah perkataan
Abu Nadhrah.
حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، نا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، نا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ ، قَالَ : ” لَمَّا اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ مَا لِي لا أَرَى عَلِيًّا ، قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ لَهُ : يَا عَلِيُّ قُلْتَ ابْنُ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ وَخَتَنُ رَسُولِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ أَبُو بَكْرٍ : مَا لِي لا أَرَى الزُّبَيْرَ ؟ قَالَ : فَذَهَبَ رِجَالٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَجَاءُوا بِهِ ، فَقَالَ : يَا زُبَيْرُ قُلْتَ ابْنُ عَمَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَحَوَارِيُّ رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ الزُّبَيْرُ : لا تَثْرِيبَ يَا خَلِيفَةَ رَسُولِ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ فَبَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ “
Telah menceritakan kepadaku
Ubaidullah bin Umar Al Qawaariiriy yang berkata telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa yang berkata telah
menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadhrah yang berkata
Ketika orang-orang berkumpul kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata “Ada apa denganku, aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah
beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya
Lalu Abu Bakr berkata kepadanya “Wahai ‘Ali, engkau katakan engkau anak
paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu
beliau?”. ‘Ali radliyallaahu ‘anhu berkata : “Jangan mencela wahai
khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu” kemudian ia membentangkan
tangannya dan berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata “Ada apa
denganku, aku tidak melihat Az-Zubair?”. Maka pergilan beberapa orang
dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya. Abu Bakr berkata
“Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata
“Janganlah engkau mencela wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah
tanganmu”. Kemudian ia membentangkan tangannya dan berbaiat kepadanya” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1292].
Dawud bin Abi Hind dalam periwayatannya
dari Abu Nadhrah memiliki mutaba’ah dari Al Jurairiy sebagaimana yang
diriwayatkan Al Baladzuri dalam Ansab Al Asyraf 1/252 dengan jalan sanad
Hudbah bin Khalid dari Hammad bin Salamah dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah.
Hammad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari Ibnu Ulayyah dari Al Jurairy
dari Abu Nadhrah sebagaimana disebutkan Abdullah bin Ahmad dalam As
Sunnah no 1293.
Riwayat Al Jurairy juga disebutkan oleh Ibnu Asakir dengan jalan sanad dari Ali bin ‘Aashim dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
[Tarikh Ibnu Asakir 30/278]. Riwayat Ibnu Asakir ini tidak mahzfuzh
karena kelemahan Ali bin ‘Aashim. Yaqub bin Syaibah mengatakan ia banyak melakukan kesalahan. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Fallas berkata “ada kelemahan padanya, ia insya Allah termasuk orang jujur”. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Bukhari berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Daruqutni juga menyatakan ia sering keliru. [At Tahdzib juz 7 no 572]. An Nasa’i menyatakan Ali bin ‘Aashim “dhaif”
[Ad Dhu’afa no 430]. Ali bin ‘Aashim dhaif karena banyak melakukan
kesalahan dan dalam riwayatnya dari Al Jurairiy ia telah menyelisihi
Hammad bin Salamah dan Ibnu Ulayyah keduanya perawi tsiqat. Riwayat yang
mahfuzh adalah riwayat dari Al Jurairy dari Abu Nadhrah tanpa tambahan dari Abu Sa’id.
Dengan jalan sanad yang tinggi yaitu
riwayat Dawud bin Abi Hind dan riwayat Al Jurairiy dari Abu Nadhrah maka
diketahui bahwa bagian kedua yang menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair
bukan perkataan Abu Sa’id Al Khudriy melainkan perkataan Abu Nadhrah.
Riwayat Wuhaib yang disebutkan Al Hakim,
Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang panjang menggabungkan kedua
bagian tersebut dalam satu riwayat padahal sebenarnya bagian pertama
adalah perkataan Abu Sa’id Al Khudriy sedangkan bagian kedua adalah
perkataan Abu Nadhrah. Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib
memiliki pertentangan yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut
diriwayatkan dengan maknanya sehingga memungkinkan terjadinya
pencampuran kedua perkataan Abu Sa’id dan Abu Nadhrah.
- Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang berkata “sesungguhnya juru bicara kalian benar” adalah Abu Bakar tetapi pada riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang mengatakan itu adalah Umar.
- Pada riwayat ‘Affan dari Wuhaib disebutkan kalau yang memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian” adalah Zaid bin Tsabit tetapi dalam riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib yang memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan itu adalah Umar.
Riwayat yang tsabit dalam penyebutan baiat Ali dan Zubair kepada Abu Bakar adalah riwayat perkataan Abu Nadhrah
sedangkan riwayat Wuhaib dengan sanad yang panjang telah terjadi
pencampuran antara perkataan Abu Nadhrah dan Abu Sa’id Al Khudri. Hal
ini dikuatkan oleh riwayat Wuhaib dengan sanad yang tinggi tidak terdapat keterangan penyebutan baiat Ali dan Zubair.
Abu Nadhrah Mundzir bin Malik adalah tabiin yang riwayatnya dari Ali,
Abu Dzar dan para sahabat terdahulu [Abu Bakar, Umar dan Utsman] adalah
mursal [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 800] maka riwayat yang
menyebutkan pembaiatan Ali dan Zubair adalah riwayat dhaif.
Apalagi telah disebutkan dalam riwayat shahih dan tsabit dari Aisyah sebelumnya bahwa baiat Imam Ali kepada Abu Bakar terjadi setelah kematian Sayyidah Fathimah [‘alaihis salam] yaitu setelah enam bulan. Dalih salafy yang melahirkan istilah “baiat kedua”
jelas tidak masuk akal karena jika memang riwayat Abu Sa’id benar maka
baiat Imam Ali kepada Abu Bakar itu sudah disaksikan oleh kaum muslimin
lantas mengapa perlu ada lagi baiat kepada Imam Ali setelah enam bulan
dihadapan kaum muslimin. Apalagi setelah enam bulan Abu Bakar malah
dalam khutbahnya menyebutkan kalau Ali belum pernah memberikan baiat dan
alasannya. Kemusykilan ini terjelaskan bahwa riwayat Abu Sa’id itu
dhaif, Abu Sa’id tidak menyebutkan baiat Ali dan Zubair, itu adalah
perkataan Abu Nadhrah yang tercampur dengan riwayat Abu Sa’id.
Jadi jika kita melengkapi riwayat Al
Hakim dan yang lainnya [tentang penyebutan baiat Ali] dengan riwayat
yang mahfuzh maka riwayat tersebut sebenarnya sebagai berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقوا أبو نضرة قال فلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه
Telah menceritakan kepada kami Abul
‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami
Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami
Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind
yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan
anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata
“wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan
salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang
urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya
dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit
berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal
dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah
penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata
“semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar,
benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian
mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan
kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata
“ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.
Abu Nadhrah berkata
Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang
kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh
orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai
sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar
tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian
berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum
muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah”
maka ia membaiatnya.
Akhir kata sepertinya Salafy nashibi
harus berusaha lagi mengais-ngais riwayat dhaif untuk melindungi doktrin
mereka. Atau mungkin akan keluar jurus “ngeyelisme” yang
seperti biasa adalah senjata pamungkas orang yang berakal kerdil. Lebih
dan kurang kami mohon maaf [kayak bahasa “kata sambutan”].
9. Kekonyolan Salafy Dalam Membela Abu Bakar Dan Merendahkan Ahlul Bait
Pernahkah anda membaca blog yang
ngaku-ngaku salafy, nah kalau pernah maka anda akan melihat jika ia
menulis bantahan kepada Syiah [atau orang yang ia tuduh Syiah] maka tidak segan-segan ia merendahkan Ahlul Bait. Kalau ada orang yang mengutip riwayat kesalahan sahabat
maka ia akan meradang setengah mati melemparkan celaan keras
seolah-olah orang tersebut melakukan maksiat. Tetapi jika mereka
bernafsu membantah Syiah [atau orang yang ia tuduh Syiah] ia dengan
gampangan mengutip riwayat yang menyalahkan Ahlul Bait.
Contohnya ia tidak segan-segan menulis tulisan dengan judul Ali bin Abi Thalib Shalat Sambil Mabuk.
Sebuah judul yang lebih layak untuk dikatakan provokatif dan bermental
nashibi. Sungguh menyedihkan, kebencian mereka terhadap Syiah membuat
mereka menghalalkan apa yang mereka haramkan pada orang lain. Mengingat
Ali bin Abi Thalib sendiri adalah sahabat dan ahlul bait Nabi, maka
dengan caranya yang ia pakai untuk menuduh orang sebagai Syiah maka ia lebih layak untuk dikatakan seorang rafidhah nashibi yang mengaku salafy.
Baru-baru ini ada yang membuat tulisan dengan judul Pengakuan Imam Maksum Bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Pernah Marah Kepadanya.
Inti tulisan tersebut adalah untuk membela Abu Bakar dari kemarahan
Sayyidah Fathimah bahwa kemarahan Sayyidah Fathimah menurutnya tidak
berkonsekuensi apa-apa bagi Abu Bakar bahkan menurutnya Sayyidah
Fathimah telah tersilap atas sikap marahnya. Salafy yang bermental
nashibi itu mau mementahkan hadis “kemarahan Sayyidah Fathimah adalah kemarahan Nabi”.
Bagaimana caranya? Ia berusaha membawakan riwayat bahwa Nabi pun pernah
marah kepada Ahlul Bait. Inti dari Syubhat-nya kalau Abu Bakar mau
dicela atas kemarahan Sayyidah Fathimah maka Ahlul Bait juga pantas
dicela atas kemarahan Nabi. Kalau ahlul bait tidak layak dicela atas
kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Abu Bakar pun tidak
layak dicela atas kemarahan Sayyidah Fathimah.
حدثنا أبو اليمان قال: أخبرنا شعيب، عن الزهري قال: أخبرني علي بن الحسين: أن الحسين بن علي أخبره: أن علي بن أبي طالب أخبره: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طرقه وفاطمة بنت النبي عليه السلام ليلة، فقال: (ألا تصليان). فقلت: يا رسول الله، أنفسنا بيد الله، فإذا شاء أن يبعثنا بعثنا، فانصرف حين قلنا ذلك ولم يرجع إلي شيئا، ثم سمعته وهو مول، يضرب فخذه، وهو يقول: {وكان الإنسان أكثر شيء جدلا}.
Telah menceritakan kepada kami
Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari
Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin Al-Husain
: Bahwasannya Al-Husain bin ‘Aliy pernah mengkhabarkan kepadanya :
Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah mengkhabarkan kepadanya :
Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi dan
membangunkannya dan Faathimah di satu malam, lalu bersabda : “Tidakkah
kalian berdua akan shalat (tahajjud) ?”. Lalu aku (‘Aliy) menjawab :
“Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami berada di tangan Allah. Seandainya Dia
berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan
kami”. Maka beliau berpaling ketika kami mengatakan hal itu dan tidak
kembali lagi. Kemudian kami mendengar beliau membaca firman Allah sambil
memukul pahanya : ‘Manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah’
(QS. Al-Kahfi : 54)” [Shahih Bukhaariy no. 1127. Lihat juga no. 4724 & 7347 & 7465].
Nashibi itu membawakan riwayat di atas dan sebelumnya ia berkata “Nah,
sekarang saya ajak Pembaca sekalian untuk menyaksikan pengakuan ‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah marah dan menghardik dirinya”.
Perhatikan kata-kata yang ia ucapkan bahwa Ali [radiallahu ‘anhu] mengaku Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah marah dan menghardik dirinya.
Kemudian lihat kembali riwayat di atas dan silakan dicek para pembaca
“adakah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menghardik Ali bin
Abi Thalib?”. Tidak ada, itu cuma khayalan atau persepsinya yang lahir
dari mental nashibi dan kebencian terhadap orang yang ia tuduh Syiah.
Siapa yang dihardik oleh Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam riwayat di atas?. Kalau ia tidak
mampu memahami riwayat tersebut maka kami bisa memberikan bantuan untuk
memahaminya. Tentu kami memaklumi keterbatasan dirinya dalam memahami
riwayat yang berkaitan dengan ahlul bait. Riwayat di atas menyebutkan
peristiwa dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengajak Sayyidah
Fathimah dan Imam Ali untuk shalat malam. Imam Ali menjawab “Wahai
Rasulullah, jiwa-jiwa kami berada di tangan Allah. Seandainya Dia
berkehendak untuk membangunkan kami, niscaya Dia akan membangunkan kami”. Jawaban ini tidak disukai oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga Beliau langsung pergi dan mengutip ayat “manusia ada makhluk yang paling banyak membantah”.
Sekarang kita tanya pada salafy nashibi
itu, adakah pelanggaran Syariat disini yang menurut nashibi itu telah
membuat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan menghardik ahlul
bait. Tidak ada, ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan
kekecewaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah karena pada saat
itu jawaban Imam Ali terkesan enggan melakukan shalat malam yang memang
bukan perkara yang diwajibkan. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
menginginkan Ahlul Bait-nya agar bersegera dalam beribadah baik itu yang
diwajibkan atau tidak. Kami tidak menolak riwayat ini tetapi kami yakin
setelah
Imam Ali mendengar jawaban Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang
menyiratkan ketidaksukaan dan kekecewaan maka Imam Ali dan Sayyidah
Fathimah bersegera melakukan ibadah shalat malam seperti yang dianjurkan
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Silakan lihat, kami tidak ada kesulitan
sedikitpun untuk menerima riwayat tersebut. Kami juga tidak perlu
membuat pembelaan ngawur dan mengait-ngaitkannya dengan kasus Abu Bakar.
Apa mau nashibi itu dengan mengutip riwayat ini dan mengaitkannya
dengan kasus Abu Bakar?. Apa yang ia inginkan dengan menunjukkan Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah marah kepada Ahlul Bait?.
Kami mengakui kalau Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah tidak suka, kecewa atau marah
terhadap Ahlul Bait. Terdapat riwayat yang menyebutkan soal itu dan
dalam riwayat tersebut juga dijelaskan kalau Ahlul Bait bersegera dalam
mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ahlul Bait menjadikan
kemarahan atau ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu
sebagai hujjah sehingga mereka bersegera meninggalkan perkara yang tidak
disukai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Hal ini sangat
berbeda dengan Abu Bakar yang berkeras pada pendiriannya sehingga
Sayyidah Fathimah marah dan tidak berbicara dengannya sampai Beliau
wafat.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ أَنَّ جَدَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا أَسْمَاءَ حَدَّثَهُ أَنَّ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَةَ هُبَيْرَةَ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهَا خَوَاتِيمُ مِنْ ذَهَبٍ يُقَالُ لَهَا الْفَتَخُ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَعُ يَدَهَا بِعُصَيَّةٍ مَعَهُ يَقُولُ لَهَا يَسُرُّكِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ فِي يَدِكِ خَوَاتِيمَ مِنْ نَارٍ فَأَتَتْ فَاطِمَةَ فَشَكَتْ إِلَيْهَا مَا صَنَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَانْطَلَقْتُ أَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ خَلْفَ الْبَابِ وَكَانَ إِذَا اسْتَأْذَنَ قَامَ خَلْفَ الْبَابِ قَالَ فَقَالَتْ لَهَا فَاطِمَةُ انْظُرِي إِلَى هَذِهِ السِّلْسِلَةِ الَّتِي أَهْدَاهَا إِلَيَّ أَبُو حَسَنٍ قَالَ وَفِي يَدِهَا سِلْسِلَةٌ مِنْ ذَهَبٍ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا فَاطِمَةُ بِالْعَدْلِ أَنْ يَقُولَ النَّاسُ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَفِي يَدِكِ سِلْسِلَةٌ مِنْ نَارٍ ثُمَّ عَذَمَهَا عَذْمًا شَدِيدًا ثُمَّ خَرَجَ وَلَمْ يَقْعُدْ فَأَمَرَتْ بِالسِّلْسِلَةِ فَبِيعَتْ فَاشْتَرَتْ بِثَمَنِهَا عَبْدًا فَأَعْتَقَتْهُ فَلَمَّا سَمِعَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي نَجَّى فَاطِمَةَ مِنْ النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku Zaid bin
Salaam : Bahwasannya kakeknya pernah menceritakan kepadanya :
Bahwasannya Abu Asmaa’ pernah menceritakan kepadanya : Bahwasannya
Tsaubaan maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menceritakan kepadanya : “Anak perempuan Hubairah pernah bertamu ke
kediaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedangkan di
tangannya ada cincin-cincin emas bernama Al-Fatah. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memukul-mukulkan tongkat kecil ke
tangannya, dan bersabda kepadanya : “Apakah engkau senang jika Allah
mengenakan cincin-cincin dari api neraka ke tanganmu?”. Anak perempuan
Hubairah itu lalu mendatangi Fathimah dan mengadukan apa yang dilakukan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Tsaubaan berkata :
Aku dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beranjak, lalu beliau
berdiri di balik pintu. Dan kebiasaan beliau bila meminta ijin masuk
(rumah), beliau berdiri di balik pintu. Lalu Faathimah berkata kepada
anak perempuan Hubairah : “Lihatlah kalung ini yang dihadiahkan Abu
Hasan (yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) kepadaku”. Saat
kalung emas itu ada di tangan Faathimah, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam masuk menemuinya dan bersabda : “Wahai Fathimah ! Demi
tegaknya keadilan, (senangkah engkau) seandainya orang-orang berkata :
‘Faathimah binti Muhammad mengenakan kalung dari api neraka ?”. Lalu
beliau mencela Faathimah dengan keras, setelah itu beliau pergi dan
tidak duduk. Kemudian Faathimah memerintahkan agar kalung itu dijual,
kemudian harganya dibelikan budak kemudian dimerdekakan. Saat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal itu, beliau bertakbir dan
bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah
dari neraka” [Musnad Ahmad 5/278 no 22451 dengan sanad yang shahih].
Riwayat di atas juga pernah dikutip oleh salafy nashibi itu dan ia berkata “Pelajaran
yang dapat kita ambil dari hadits ini adalah bahwa Faathimah binti
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pribadi maksum. Ia
bisa berbuat keliru, karena barangkali ia belum mengetahui larangan
tersebut dari ayahnya shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Kami sendiri tidak pernah menyatakan
Sayyidah Fathimah maksum seperti yang disinggung nashibi ini. Pandangan
kami soal Ahlul Bait adalah mereka adalah pegangan dalam Syariat sebagai
salah satu tsaqalain yang harus dipegang teguh sepeninggal Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perkara berbagai riwayat yang
menunjukkan ketidaktahuan ahlul bait atau mereka pernah salah dan
diingatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu tidak menafikan fakta
bahwa pada akhirnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan
jaminan bahwa mereka adalah pegangan umat islam agar tidak tersesat.
Berbicara soal konsep maksum, mari kita
tanya nashibi itu apakah Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] pernah
salah dan lupa? adakah contoh riwayat Nabi [shallallahu 'alaihi
wasallam] pernah salah dan lupa?. Kalau menurut nashibi itu ada maka
kami tanya lagi apakah itu berarti Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]
tidak maksum?. Sepertinya nashibi sendiri mengalami inkonsistensi dalam
menyatakan kemaksuman Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Mereka
mengatakan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] bisa salah dan lupa
tetapi mereka tetap menyatakan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]
maksum.
Ia juga berkata : Selain
itu, dapat kita ketahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
marah karena melihat adanya pelanggaran syari’at. Tidaklah ia mengecam
dengan keras dan mengancam dengan api neraka jika perbuatan itu bukan
satu larangan dalam syari’at.
Kalau begitu kami tanya wahai nashibi,
mana pelanggaran syariat yang anda maksud. Apakah seorang wanita memakai
perhiasan emas adalah pelanggaran syariat dalam islam?. Kami pribadi
tidak melihat ada pelanggaran syariat disitu tetapi Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] khawatir bahwa hal-hal yang duniawi seperti itu dapat
melalaikan pemakainya sehingga terjatuh dalam api neraka. Apalagi Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] menginginkan agar Ahlul bait-nya hidup
dalam keadaan zuhud. Inilah yang tampak dalam ketidaksukaan Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimanakah sikap Sayyidah Fathimah
terhadap hal ini?. Lihat baik-baik ternyata Sayyidah Fathimah bersegera
melepaskan kalung emas tersebut karena hal itu membuat Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] tidak suka. Kami jelas berbeda dengan salafy yang
bermental nashibi, ia mengira duduk persoalannya adalah wanita dilarang atau diharamkan memakai perhiasan emas
dan Sayyidah Fathimah tidak tahu akan hal itu. Sehingga ketika Sayyidah
Fathimah memakai kalung emas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
menjadi marah. Jadi intinya salafy itu menuduh Imam Ali memberikan
barang haram kepada Sayyidah Fathimah dan sayyidah Fathimah memakai
barang haram tersebut. silakan pembaca lihat betapa kejinya tuduhan
nashibi kepada Ahlul bait.
Lucunya salafy ini tidak membaca bahwa
dalam riwayat di atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pergi tanpa
mencabut kalung tersebut dari Sayyidah Fathimah. Kalau memang hal itu
diharamkan maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan segera
mencabutnya. Tidak terpikirkan oleh kami Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] pergi dan membiarkan Sayyidah Fathimah memakai kalung emas
yang diharamkan.
Salafy berkata : Keridlaan
Faathimah tidak membuat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kendur,
karena syari’at tidaklah diukur dari keridlaan ataupun kemarahan
seseorang selain beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syari’atlah yang
menjadi tolok ukur dalam menghukumi sesuatu.
Lha salafy ini tidak mengerti apa yang
ia ucapkan. Kalau ia bisa berkata Syariat tidak diukur dari keridhaan
ataupun kemarahan seseorang selain Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
maka kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah syariat.
Riwayat di atas justru menunjukkan bagaimana Ahlul Bait bersegera
meninggalkan apa yang tidak disukai Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
walaupun itu termasuk perkara yang dibolehkan.
Bukankah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mengatakan kalau kemarahan Sayyidah Fathimah adalah kemarahannya.
Apa yang membuat Sayyidah Fathimah marah maka membuat Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] marah, itulah hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam]. Bukankah hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah
syariat. Jadi kemarahan Sayyidah Fathimah adalah hujjah sebagaimana
halnya kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Seharusnya sikap Abu Bakar setelah
menyaksikan kemarahan Sayyidah Fathimah maka ia merujuk sikap dan
pernyataannya kemudian membenarkan Sayyidah Fathimah karena kemarahannya
adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bukankah Ahlul
Bait ketika mereka melihat ketidaksukaan Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] mereka bersegera meninggalkan perkara tersebut walaupun
perkara tersebut dibolehkan. Tidak ada satupun diantara mereka yang
berkata “memakai perhiasan emas bagi wanita itu halal” [walaupun Nabi
memang menghalalkannya].
Fakta riwayat menunjukkan Abu Bakar malah
berkeras pada hadis yang ia riwayatkan sehingga Sayyidah Fathimah marah
kepadanya sampai Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat. Kalau
hadis tersebut benar maka sangat tidak mungkin Sayyidah Fathimah
menunjukkan kemarahannya, Beliau akan berpegang pada hadis Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut. Kemarahannya menunjukkan bahwa
ia menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar.
Jika ahlul bait dan sahabat bertentangan
dalam masalah Syariat maka kami berpegang pada Ahlul Bait. Abu Bakar
boleh saja mengaku ia meriwayatkan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] tetapi Sayyidah Fathimah adalah ahlul bait yang menjadi
pegangan bagi umat termasuk Abu Bakar, Sayyidah Fathimah adalah orang
yang kemarahannya adalah kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Sayyidah Fathimah adalah orang yang paling tahu dalam masalah ini
dibanding Abu Bakar.
Salafy nashibi bersikeras membela Abu
Bakar bahwa hadis Abu Bakar benar kalau begitu maka konsekuensinya
salafy nashibi menuduh Sayyidah Fathimah mendustakan hadis shahih [kami
berlindung kepada Allah SWT dari tuduhan seperti ni]. Lha apa lagi
artinya Sayyidah Fathimah marah sampai beliau wafat kepada Abu Bakar
[padahal Abu Bakar hanya menyampaikan hadis tersebut] selain Sayyidah
Fathimah mendustakan hadis yang dibawa Abu Bakar. Kan tidak masuk akal
Sayyidah Fathimah menerima hadis tersebut tetapi marah sampai Beliau
wafat. Akankah salafy nashibi menjawab dilema yang mereka hadapi?
Jangan-jangan mereka malah tidak paham dilema yang kami sampaikan. Yah
akal yang kerdil dan kebencian kepada ahlul bait memang sudah jadi
penyakit lama kaum nashibi.
10. Anomali Hadis Abu Bakar Tentang Warisan Nabi?
Tulisan ini tentu saja tidak bertujuan
merendahkan sahabat yang mulia Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] tetapi
tulisan ini bertujuan untuk membela ahlul bait dan syubhat-syubhat yang
dilontarkan oleh salafy dan pengikutnya [yang ngaku-ngaku mencintai
ahlul bait]. Perselisihan yang terjadi antara Ahlul bait [Sayyidah
Fathimah] dan Abu Bakar bukan perselisihan biasa layaknya perselisihan
antar mujtahid. Sayyidah Fathimah meminta warisan Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar menolak permintaan Sayyidah Fathimah
[‘Alaihis salam] dengan membawakan hadis “Nabi tidak mewariskan dan
semua yang ditinggalkan adalah sedekah”. Mendengar hal ini, Sayyidah
Fathimah marah dan tidak berbicara kepada Abu Bakar sampai Beliau wafat.
Hadis yang dibawakan Abu Bakar adalah
keliru, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga mewariskan seperti yang
dikatakan Ahlul bait. Abu Bakar sendiri pada awalnya ternyata mengakui
kalau keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah yang mewarisi
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Anehnya setelah itu Abu Bakar
membawakan hadis yang menentang perkataannya.
حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قال ثنا عبد الله بن محمد بن أبي شيبة قال عبد الله وسمعته من عبد الله بن أبي شيبة قال ثنا محمد بن فضيل عن الوليد بن جميع عن أبي الطفيل قال لما قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم أرسلت فاطمة إلى أبي بكر أنت ورثت رسول الله صلى الله عليه و سلم أم أهله قال فقال لا بل أهله قالت فأين سهم رسول الله صلى الله عليه و سلم قال فقال أبو بكر إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إن الله عز و جل إذا أطعم نبيا طعمة ثم قبضه جعله للذي يقوم من بعده فرأيت أن أرده على المسلمين فقالت فأنت وما سمعت من رسول الله صلى الله عليه و سلم أعلم
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah.
Abdullah berkata dan aku mendengarnya [juga] dari ‘Abdullah bin Abi
Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail
dari Walid bin Jumai’ dari Abu Thufail yang berkata “ketika Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Fathimah mengirim utusan kepada
Abu Bakar yang pesannya “engkau yang mewarisi Rasulullah atau keluarganya?”. Abu Bakar menjawab “bukan aku tapi keluarganya”.
Sayyidah Fathimah berkata “dimana bagian Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam]?”. Abu Bakar berkata “aku mendengar Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla jika memberi makan seorang Nabi kemudian ia wafat maka dijadikan
itu untuk orang yang bertugas setelahnya, maka aku berpendapat untuk
menyerahkannya kepada kaum muslimin”. Sayyidah Fathimah berkata “engkau
dan apa yang engkau dengar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] adalah lebih tahu” [Musnad Ahmad 1/4 no 14, Syaikh
Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan perawinya perawi tsiqat
perawi Bukhari dan Muslim kecuali Walid bin Jumai’ ia termasuk perawi
Muslim].
Hadis riwayat Ahmad di atas kedudukannya
shahih dengan syarat Muslim. Faedah yang dapat diambil dari hadis ini
adalah Abu Bakar [radiallahu ‘anhu] sendiri mengakui bahwa keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Tetapi setelah itu, ketika Sayyidah Fathimah [‘Alaihis salam] datang
kepadanya dan meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Abu
Bakar malah membawakan hadis bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diwarisi.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقْسِمَ لَهَا مِيرَاثَهَا مِمَّا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْه فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ فَغَضِبَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَرَتْ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ تَزَلْ مُهَاجِرَتَهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ.ِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim
bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan
kepadaku ‘Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah Ummul Mukminin radiallahu ‘anha
mengabarkan kepadanya bahwa Fathimah [‘Alaihimus Salaam] putri
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] meminta kepada Abu Bakar
shiddiq setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar
membagi untuknya bagian harta warisan yang ditinggalkan Rasulullah
[shallallahu ‘alihi wasallam] dari harta fa’i yang Allah karuniakan
untuk Beliau. Abu Bakar berkata kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] bersabda “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”
maka Fathimah binti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] marah dan
tidak berbicara kepada Abu Bakar dan ia terus tidak berbicara dengan
Abu Bakar sampai ia wafat, ia hidup setelah wafatnya Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] selama enam bulan. [Shahih Bukhari 4/79 no 3092].
Pada awalnya Abu Bakar mengakui bahwa keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu ‘alihi wasallam] tetapi setelah itu ia mengatakan bahwa Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] tidak diwarisi.
Sikap Sayyidah Fathimah [‘Alaihis salam] yang marah dan tidak berbicara
kepada Abu Bakar menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah menolak hadis yang
disampaikan Abu Bakar tersebut.
Mari kita tanyakan kepada nashibi yang
ngaku-ngaku salafy. Jika memang Nabi tidak diwarisi maka mengapa Abu
Bakar mengakui kalau keluarga Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] yang mewarisi Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam].
Apakah pada saat itu Abu Bakar belum mendengar hadis tersebut? lho
kalau begitu kapan lagi Abu Bakar mendengar hadis tersebut padahal
ketika Abu Bakar mengakui hal itu Rasulullah [shallallahu 'alaihi
wasallam] sudah wafat. Atau Abu Bakar sengaja mendustakan hadis yang ia
dengar?. btw silakan pilih wahai nashibi. Kalau pilihan kami cukup
sederhana Abu Bakar keliru dalam meriwayatkan hadis tersebut, lebih
sederhana dan lebih menjaga etika baik kepada Ahlul Bait ataupun kepada
sahabat. Banyak sekali contohnya sahabat bisa salah dalam meriwayatkan
hadis, yang tidak tahu silakan cari tahu.
Seandainya Sayyidah Fathimah menerima
hadis tersebut maka tidak ada alasan bagi Beliau untuk marah dan tidak
berbicara kepada Abu Bakar. Ada baiknya mereka yang membela Abu Bakar
dan menyalahkan Sayyidah Fathimah itu memperhatikan ayat Al Qur’an
berikut
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka [pada hakikatnya] tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima
dengan sepenuhnya [QS An Nisa : 65].
Jika memang hadis Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang disampaikan Abu Bakar adalah benar maka sikap
Sayyidah Fathimah yang keberatan sehingga Beliau marah dan tidak
berbicara kepada Abu Bakar sampai enam bulan dapat dikenakan pada ayat
Al Qur’an di atas. Kami berlindung kepada Allah SWT atas konsekuensi
yang seperti ini.
Sayyidah Fathimah adalah Ahlul Bait yang
selalu bersama Al Qur’an. Beliau adalah putri Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] Sayyidah wanita di surga, orang yang paling memahami
Al Qur’an setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Orang yang
kemarahannya sama dengan kemarahan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Maka tidak lain kemarahan Sayyidah Fathimah menunjukkan bahwa hadis yang
disampaikan Abu Bakar itu adalah keliru.
Apalagi hadis bahwa Nabi tidak mewariskan
adalah hadis musykil yang bertentangan dengan Al Qur’anil Karim yang
jelas menyatakan kalau para Nabi juga mewariskan. Perhatikan ayat
berikut dimana Nabi Zakaria [‘Alaihis salam] berdoa:
وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيّاً
Dan sesungguhnya aku khawatir
terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang
mandul maka anugrahilah aku dari sisiMu seorang putra yang akan mewarisi
aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia Tuhanku
seorang yang diridhai [QS Maryam : 5&6].
Sebagian orang berusaha mencari dalih
bahwa “mewarisi” yang dimaksud adalah mewarisi kenabian. Tentu saja ini
alasan yang dicari-cari, kami pribadi tidak tahu berasal dari mana
konsep “kenabian itu diwariskan”. Sangat jelas bahwa doa Nabi Zakaria di atas adalah keinginan Beliau memiliki seorang putra yang akan menjadi ahli waris Beliau.
Karena konsep putra sebagai ahli waris yang mewarisi orang tuanya [ayah
dan ibunya] adalah konsep yang sudah ada sepanjang masa dan ditetapkan
dalam kitab-kitab samawi. Seandainya dari dahulu para Nabi tidak
mewariskan maka Nabi Zakaria tidak akan melafazkan doa dengan lafaz yang
seperti itu. Lafaz doa Nabi Zakaria menunjukkan bahwa Nabi pun dapat
mewariskan kepada putranya.
Kata “mawaliy” yang berkaitan dengan kata “mewarisi” itu terkait dengan mewariskan harta atau apa-apa yang dimiliki seseorang.
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيداً
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan
[mawaliy] pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka maka berikanlah kepada mereka bagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu [QS An Nisa : 33].
Jadi arti dari mawaliy itu adalah
orang-orang yang akan mewarisi harta. Nabi Zakaria khawatir terhadap
orang [kerabat] yang akan mewarisi harta Beliau, sehingga Beliau berdoa
kepada Allah SWT agar diberikan seorang putera yang dapat mewarisi
Beliau. Maka kata “mewarisi” disini sangat berkaitan dengan pewarisan
harta peninggalan.
Kesimpulan : Hadis Abu
Bakar bahwa para Nabi tidak mewariskan jelas bertentangan dengan Al
Qur’an dan Ahlul Bait maka dengan jelas menurut kami hadis tersebut
keliru. Ahlul Bait Sayyidah Fathimah jelas berada dalam kebenaran.
Post a Comment
mohon gunakan email