Pesan Rahbar

Home » » Menggugat Amidhan dan Kholil Ridhwan, membela Kyai Umar Shihab Bagian Pertama

Menggugat Amidhan dan Kholil Ridhwan, membela Kyai Umar Shihab Bagian Pertama

Written By Unknown on Thursday, 24 July 2014 | 20:04:00

“Apakah Sunni Yang Mengingkari Hadis Syi’ah Imamiyah Tidak Dianggap Ingkar Sunnah ?? Apa anda mau mubahalah bahwa semua hadis syi’ah palsu ?”

Menggugat Amidhan dan Kholil Ridhwan, membela Kyai Umar Shihab: “Apakah Sunni Yang Mengingkari  Hadis  Syi’ah Imamiyah Tidak Dianggap Ingkar  Sunnah ?? Apa anda mau mubahalah bahwa semua hadis syi’ah  palsu ?”
Jumat, 20 Mei 2011.
Mazhab Sunni akan berantakan jika kitab hadis sunni beredar sesuai dengan versi aslinya !
Oleh karena itu ulama sunni  perlu mengedit teks, meringkas matan dan membersihkan sebagian hadis yang menghantam doktrin sunni agar mazhabnya tetap tegak.


Seorang suku Kurdi Sunni Iran memegang tasbih sambil duduk di situs bersejarah di kota Sanandaj, provinsi Kordistan, 763 km barat laut Teheran.

Dimanakah letak perbedaan dua mazhab besar Islam, Sunni dan Syiah ?  Ternyata, menurut Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat, terletak dasar hadits yang digunakan kedua aliran besar itu.

“Sunni memiliki empat mazhab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Apakah ajaran keempat mazhab itu sama? Tidak ada yang berbeda,” katanya dalam seminar dan deklarasi Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, Jumat (20/5).

Jalaluddin mengatakan perbedaan keduanya hanya terletak pada hadits.  Jika hadits Sunni paling besar berasal dari sahabat nabi seperti Abu Hurairoh, maka hadtis Syiah berasal dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi Muhammad SAW).

“Jadi bukan berarti ajaran Sunni itu salah, dan Syiah sebaliknya,” katanya.
Hal senada diutarakan Duta Besar Iran untuk Indonesia  Mahmoud Farazandeh, yang menyebut “Perbedaan Sunni dan Syiah di Iran lebih bermuatan politik.
*****

HADITS sunni :

TAFSIR:
Versi  syi’ah, didalam  ALQURAN tidak ada satupun ayat  yang menyatakan  “sahabat Nabi  SAW yang  menentang imamah Ali  dijamin surga !!”

Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Qurtuby  
Tafsir Thobary
Tafsir Jalalain
Tafsir Baidhowi

Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis sunni edisi lengkap sengaja disembunyikan ???

Datanglah ke pesantren , adakah barang tersebut ???
Tidakkah anda heran kenapa kitab kitab hadis banyak diedit dan diringkas ???
Tidakkkah anda heran kenapa banyak hadis disembunyikan ulama ??
Sehingga anda terkejut kejut, kok hadis ini ada padahal dulu tidak dinamppakkan para ustad..
Motifnya : motif politik agar mazhab sunni tetap tegak.
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak kontradiksi dan pertentangan antar hadis
Jika kitab hadis beredar sesuai asli, maka akan nampak  kebenaran syi’ah.
Ini bukan fitnah apalagi provokasi. 

Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !

Tidak ada kesepakatan sunni – syi’ah tentang keorisinilan semua hadis Nabi SAW, ini berbeda dengan masalah ayat ayat Al Quran.
Karena hadis sunni tidak dihapal dan tidak dicatat sejak awal secara sistematis, maka ahlul hadis sunni kebingungan untuk memastikan mana hadis yang betul betul berasal dari Nabi (orisinil) dan mana hadis yang dibuat-buat.
Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi..
Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat  antek antek  raja zalim !!

Pertanyaan :
  1. Apakah Bukhari maksum sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
  2. Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah masuk akal Nabi SAW mengucapkan sabda sabda yang saling saling berlawanan alias plin plan ??? Ingat, Nabi SAW itu maksum (infallible)
Legenda:
1. Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits)
tapi  hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ????????????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
2. Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???
Syi’ah dan Sunni sepakat tentang keorisinilan Al Quran. Syi’ah tidak sepakat tentang keorisinilan semua hadis sunni yang “berlabel shahih”. Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !
3. Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.
AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya juga gemar mengedit dan meringkas ringkas hadis…. Kenapa hadis sunni diedit dan diringkas ??? ya agar mazhab sunni tetap tegak, segala bau syi’ah dibuang dari hadis. 

Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!

60 minit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 minit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14,016 minit untuk 1 hadis.

adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14,016 minit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7 minit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira berasaskan matematik

Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). 
Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.

Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).

Penelitian Hadits.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

*****

Mengenal Pemimpin Mazhab Ja’fariyah


Imam Ja’far Shadiq adalah Imam Keenam dalam hierarki dua belas Imam Maksum. Panggilannya adalah Abu Abdillah dan gelarnya yang masyhur adalah as-Shadiq, al-Fadil dan at-Tahir. Imam Shadiq adalah putra Imam Baqir, Imam Kelima, dan ibunya adalah putri dari Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar.Imam Ja’far Shadiq dibesarkan oleh datuknya, Imam Zainal Abidin di Madinah selama dua belas tahun dan dilanjutkan oleh lindungan kasih ayahandanya Imam Muhammad Baqir selama sembilan belas tahun.Setelah syahadah ayahandanya pada tahun 114 H, Imam Ja’far Shadiq menjadi Imam Keenam menggantikan ayahandanya, dan misi suci Islam dan bimbingan ruhani dilimpahkan ke atas pundaknya dari Rasulullah Saw melalui suksesi para Imam sebelumnya.

Keadaan Politik
Masa Imâmah Imam Shadiq bertepatan dengan masa-masa revolusi dan bersejarah dalam sejarah Islam yang menyaksikan kejatuhan Dinasti Bani Umayyah dan kebangkitan Dinasti Bani Abbasiyah. Perang saudara dan gejolak politik menyebabkan terjadinya perombakan secara cepat dalam pemerintahan. Dengan demikian, Imam Shadiq menyaksikan raja-raja rezim yang berkuasa mulai dari Abdul Malik hingga penguasa Dinasti Bani Umayyah, Marwan al-Himar. Ia masih hidup hingga masa Abul Abbas as-Saffah dan Mansur dari Dinasti Bani Abbasiyah. Karena perebutan kekuasan politik antara dua kelompok, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah maka gerakan Imam menjadi tidak terkontrol untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan misi-misinya dalam menyampaikan Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran Rasulullah Saw.

Pada masa-masa terakhir kekuasan Bani Umayyah, Dinasti mereka berada di ambang kejatuhan. Keadaan kacau-balau dan pemerintahan yang tak-terurus terjadi di seluruh negara-negara Islam. Bani Abbasiyah memanfaatkan kesempatan emas dari ketidakstabilan politik ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai “Penuntut Balas Bani Hasyim”. Mereka berprentensi dengan dalih menuntut balas terhadap Bani Umayyah karena telah menumpahkan darah Imam Husain As.

Orang-orang awam yang sudah muak dan kesal dengan kekejaman Bani Umayyah dan secara diam-diam merindukan Ahlulbait Nabi Saw untuk berkuasa. Mereka menyadari bahwa jika kepemimpinan dikuasai oleh Ahlulbait, yang merupakan pewaris sah, wibawa Islam akan bertambah dan misi Nabi Saw yang asli dapat disebarkan. Bagaimanapun, sekelompok Bani Abbasiyah dengan diam-diam mengadakan kampanye untuk merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah dengan dalih bahwa mereka merebutnya untuk diserahkan kepada Bani Hasyim. Sebenarnya, mereka sedang berkomplot untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian, orang-orang awam ini terkecoh dengan membantu mereka dan ketika Bani Abbasiyah berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah, mereka berbalik menentang Ahlulbait.

Keadaan Agama
Kejatuhan Bani Umayyah dan kebangkitan Bani Abbasiyah telah membentuk dua plot utama dalam drama sejarah Islam. Masa-masa kacau dan revolusioner ini terjadi ketika ajaran-ajaran moral Islam telah ditinggalkan dan ajaran-ajaran Nabi Saw dilupakan, sebuah keadaan anarki yang merajalela. Di tengah-tengah keadaan kacau seperti ini, Imam Ja’far Shadiq tampil ibarat mercusuar yang menyebarkan cahaya untuk menerangi samudra kegelapan dan gelimang dosa di sekelilingnya. Dunia cenderung terhadap pesona dan keutamaannya. Abu Salamah Khallal juga menawarkan mahkota khalifah kepadanya.

Akan tetapi, Imam melanjutkan tradisi temurun dari moyangnya menolak dengan tegas tawaran ini, dan lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan penyebaran ilmu dan khidmat terhadap Islam.

Ajaran-ajaran Imam Ja’far As
Kecakapan Imam Ja’far dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan diakui oleh seluruh dunia Islam, yang menarik pelajar-pelajar dari berbagai penjuru, dekat dan jauh, datang kepadanya sehingga murid-murid Imam Ja’far mencapai sekitar empat ribu. Para ‘ulama dan fuqaha dalam bidang hukum banyak menukil hadis-hadis dari Imam Ja’far Shadiq. Murid-muridnya mengadakan kompilasi ratusan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan sastra. Selain ilmu fiqh, hadis, tafsir, dan sebagainya, Imam juga mengajarkan matematika dan kimia kepada beberapa orang muridnya. Jabir bin Hayyan Tusi, seorang ilmuwan matematika ternama, merupakan salah seorang murid Imam yang dapat mengambil manfaat dari ilmu dan bimbingan Imam dan mampu menulis empat ratus kitab dalam subjek yang beragam.

Kenyataan ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat diingkari kebenarannya sehingga seluruh ulama-ulama besar Islam berhutang budi atas kehadiran Ahlulbait yang merupakan mata-air ilmu dan pelajaran.

Allamah Sibli menulis dalam kitabnya, Sirâtun ‘Nu’man: “Abu Hanifah beberapa lama hadir (menuntut ilmu, penj.) di hadapan Imam Ja’far Shadiq, mendapatkan penelitian berharga darinya dalam bidang ilmu fiqh dan hadis. Kedua mazhab – Sunni dan Syiah – meyakini bahwa sumber ilmu Abu Hanifah kebanyakan bersumber dari pergaulannya bersama Imam Ja’far Shadiq.”

Imam mempersembahkan seluruh hidupnya semata untuk menyebarkan ajaran agama dan mendakwahkan ajaran-ajaran Nabi Saw dan tidak pernah bermaksud untuk berkuasa. Karena keluasan ilmunya dan kebaikan ajarannya, orang-orang berkumpul di sekelilingnya, memberikan penghormatan dan perhatian kepadanya. Karena takut popularitas Imam Ja’far semakin luas, hasud dan dengki menguasai diri penguasa Abbasiyah Mansur Dawaniqi sehingga memutuskan untuk mengenyahkannya.

Allamah Tabataba’i menulis:
Imam Ja’far bin Muhammad, putra Imam Kelima, lahir pada tahun 83 H/ 702 M. Ia syahid pada tahun 148 H/ 765 M. Menurut sumber-sumber Syiah, diracun melalui intrik Khalifah Abbasiyah Mansur. Setelah syahadah ayahnya, Imam Ja’far menjabat Imam melalui perintah Allah Swt dan keputusan para Imam sebelumnya.

Selama masa Imâmah Imam Keenam, kesempatan dan iklim yang lebih bersahabat datang kepadanya untuk lebih leluasa menyebarkan ajaran-ajaran agama. Kesempatan ini muncul sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Islam, khususnya bangkitnya Muswaddah yang menggoyang khalifah Bani Umayyah, perang berdarah terjadi yang akhirnya menuntun kepada kejatuhan dan pengasingan Bani Umayyah. Kesempatan emas ini juga adalah hasil dari pembukaan lahan yang dilakukan oleh Imam Kelima yang telah dipersiapkan sebelumnya selama masa imâmahnya yang mencakup dua puluh tahun melalui tabligh ajaran-ajaran asli Islam dan ilmu Ahlulbait Nabi As.

Imam Shadiq mengambil kesempatan emas ini untuk mendakwahkan ilmu agama hingga akhir masa Imâmahnya, seiring dengan masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kemunculan Bani Abbasiyah. Imam mengajar banyak ulama dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan ilmu periwayatan, seperti Zurarah bin A’yan, Muhammad bin Muslim, Mu’minut Taq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam Kalbi an-Nassabah dan Jabir bin Hayyan (Ahli Kimia). Bahkan beberapa ulama Sunni ternama seperti: Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, pendiri Mazhab Fiqh Hanafi, al-Qadi as-Sukuni, al-Qadi Abul Bakhtari, dan yang lainnya, mendapatkan kehormatan untuk menjadi murid-murid Imam Ja’far. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan tahapan-tahapan instruksinya menghasilkan ribuan ulama hadis dan ilmu-ilmu lainnya. Jumlah hadis-hadis yang bersumber dari Imam Kelima dan Keenam lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam yang lain.

Akan tetapi, pada akhir hayatnya, Imam dikenai pencekalan secara ketat oleh Khalifah Abbasiyah, Mansur, yang memerintahkan seperti penyiksaan dan pembunuhan berdarah dingin terhadap keturunan Nabi Saw yang merupakan penganut Syiah sehingga perbuatannya melebihi kekejaman dan kebiadaban Bani Umayyah. Atas perintah Mansur, mereka ditangkap secara berkelompok, beberapa dilemparkan ke penjara gelap dan pengap kemudian disiksa hingga mati, sementara yang lainnya dipancung atau dikubur hidup-hidup di bawah tanah atau di antara dinding-dinding bangunan, dan dinding dibangun di atas mereka.

Hisyam, Khalifah Umayyah, memerintahkan agar Imam Keenam ditangkap dan dibawa ke Damaskus. Kemudian, Imam ditangkap oleh Saffah, Khalifah Abbasiyah, dan dibawa ke Irak. Akhirnya, Mansur menangkap Imam dan membawanya ke Samarra di mana Imam disekap, diperlakukan secara kasar dan beberapa kali berusaha untuk membunuh Imam. Kemudian, Imam diperbolehkan untuk kembali ke Madinah di mana Imam menghabiskan sisa-sisa umurnya dalam persembunyian, hingga ia diracun dan syahid melalui intrik licik Mansur.

Setelah mendengar syahadah Imam, Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah yang memerintahkan sang gubernur untuk pergi melayat ke rumah Imam dengan dalih menyampaikan ucapan bela-sungkawa kepada keluarganya, untuk mencari wasiat Imam dan membacakannya. Siapa pun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penggantinya harus dipancung di tempat. Tentu saja, maksud Mansur ini adalah untuk mengakhiri seluruh masalah Imâmah dan hasrat-hasrat Syiah. Ketika gubernur Madinah mengikuti perintah Makmun, untuk membaca wasiat terakhir, dia melihat bahwa Imam, alih-alih memilih satu orang, ia telah memilih empat orang sebagai pelaksana wasiat terakhirnya; khalifah sendiri, gubernur Madinah, ‘Abdullah Aftah, putra sulung Imam, dan Musa, putra bungsu Imam. Dengan cara seperti ini, siasat licik Mansur dapat dipatahkan. (Shiite Islam)

Syahadah
Pada tanggal 25 Syawal 148 H. Imam syahid karena diracun oleh Gubernur Madinah atas perintah Mansur. Shalat jenazah dilakukan oleh putra Imam, Musa Kazhim, Imam Ketujuh, dan jasadnya dikebumikan di pemakaman Jannatul Baqi Madinah. Salam padamu Wahai Aba Abdillah…..

*****

Selamanya kaum munafik tidak akan pernah mencintai Imam Ali as…. semua upaya mereka hanya akan tercurah pada bagaimana mereka dapat melampiaskan kedengkian dan kebencian mereka kepada Imam Ali as. dengan berbagai cara:
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as. seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.
(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menndingi keisitimewaan Imam Ali dan Ahlulbait as.
(8) Dll.
Pengaruh fitnah mereka ini sangat besar sekali, sehingga tanpa disadari telah menyelinap ke kalangan sebagia Ahlusunnah dan mempengaruhi alur berpikir sebagian mereka.
Dalam makalah ini saya akan sajikan bebarapa kasus kekejaman para tiran dan para ulama Nawâshib (yang mengaku Ahlusunnah, tapi saya yakin mereka bukan Ahlusunnah) dalam memerangi Sunnah Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali as.

Contoh Kekejaman Para Penguasa Tiran
Kekejaman para penguasa tiran terhadap para pecinta Nabi saw. dan keluarga suci kenabian tidak hanya terbatas pada para penguasa rezim Umayyah. Para penguasa rezim Abbasiyah juga tidak ketinggalan dalam menekan, mengintimidasi serta menyiksa siapa saja yang berani-berani berjuang dalam menyampaikan sunnah Nabi saw. tentang keutamaan Ahlulbait as.
Banyak kisah sedih kekejaman para penguasa dan aparatnya dalam rangka membrangus sabda-sabda suci Nabi saw. dan dalam usaha mereka untuk menyegel mulut-mulut para muhaddis agar tidak menyebar luaskannya.

Di bawah ini saya akan sebutkan kisah perjuangan Nashr ibn Ali (seorang ulama) dalam penyampaikan sebuah hadis suci Nabi saw. yang mendapat siksa keras agar membuatnya dan rekan-rekan sejawatnya jerah!

Kisah Perjuangan Nasr ibn Ali Dalam Menyebarkan Hadis Kutamaan Imam Ali as.
At Turmudzi dan para muhaddis lain meriwayatkan dari Nashr ibn Ali al Jahdhami, ia berkata, Ali ibn Ja’far[1] telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ’saudaraku Musa mengabarkan kepadaku dari Ja’far ibn Muhammad ayah beliau dari ayah beliau Muhammad ibn Ali dari ayah beliau Ali ibn Husain dari ayah beliau dari kakek beliau Ali ibn Abi Thalib bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Hasan dan Husain lalu bersabda:

مَنْ أَحَبَّنِيْ وَ أحبَّ هَذَيْنِ و أباهُما وَ اُمَّهُما كان مَعِيْ في درجَتِيْ يومَ القيامةِ

“Barang siapa mencintaiku dan mencintai kedua anak ini, ayah dan ibu keduanya maka ia bersamaku satu derajat denganku kelak di hari kiamat.”[2]

Al Khathib al Baghdâdi dalam Tarikhnya meriwayatkan, “Abu Abd. Rahman ibn Abd. Allah berkata, ‘Ketika Nashr menyampaikan hadis ini, Al Mutawakkil[3] memerintahkan agar ia dicambuk seribu cambukan. Ja’fa ibn Abd. Al Wahid memohon kepada Al Mutawakkil agar membatalkan hukuman itu, ia berkata kepadanya, ‘Dia adalah seorang dari Ahlulsunnah!’ Al Mutawakkil tetap memerintahkan agar Nashr terus dicambuk, dan Ja’far pun terus memohon dan akhirnya cambukan itu dihentikan… Al Khathib berkata, “Al Mutawakkil memerintahkan agar Nashr dihukum cambuk karena ia menyangkannya sebagai seorang rafidhi, namun setelah ia yakin bahwa Nashr dari Ahlusunnah ia hentikan.”[4]

Apa yang aneh dan membuat Al Mutawakkil begitu murka! Apakah kandungan hadis ini bertentangan dengan Al quran dan sunah Nabi saw?! Atau para perawi yang menjadi perantara periwayatan hadis ini para pembohong?! Bukankan mereka adalah para panutan umat dari keturunan Rasulullah saw. yang telah disepakati para ulama akan kejujuran dan keagungan mereka?!

Coba pembaca perhatikan kembali nama-nama perawi hadis ini! Bukankah Anda temukan nama-nama harum dari putra-putra Rasulullah saw.; 1) Ali ibn Ja’far (kakek seluruh dzurriyyah/para saadah asal Hadhramaut) yang sangat diagungkan umat, 2) Imam Musa Al Kadzim as., 3) Imam Ja’far ash Shadiq as.,4) Imam Muhammad Al Baqir as., 5) Imam Ali Zainal Abidin ibn Husain as., 6) Imam Husain as., 7) Imam Ali as.

Inilah salah satu bukti kekejaman Al Mutawakkil. Dan apabila Anda bertanya kepada sebagian ulama, siapa sejatinya al Mutawakkil itu? Apa jasa-jasanya terhadap kemurnian sunnah? Pastilah mereka akan mengatakan, “Ia adalah Khalifah yang sangat besar perhatiannya terhadap sunnah Nabi!”. Al Suyuthi berkata, Al Mutawakkil dibai’at setelah kematian Al Watsiq, bulan Dzul Hijjah tahun232 H. Segera setelah itu ia menampakkan kecenderungannya kepada sunnah, membela ahlinya dan meniadakan mihnah, ujian (penyiksaan/cobaan) atas mereka!…. Sampai-sampai orang-orang berkata, “Para Khalifah itu ada tiga; Abu Bakar dalam memerangi orang-orang murtad, Umar ibn Abd. Aziz dalam mengembalikan hak kepada orang yang dizalimi dan Al Mutawakkil dalam menghidupkan sunnah dan mematikan faham Tajahhum (Mu’tazilah)”.![5]

Apakah Sunnah yang sedang diperjuangkan oleh al Mutawakkil itu? Jika benar ia memperjuangkan Sunnah Nabi saw. mengapakah ia menyiksa seorang alim yang dengan hati tulus meriwayatkan hadis keutamaan Ahlulbait Nabi as.?! Atau Sunnah yang dimaksud adalah Sunnah bani Umayyah dan para Munafik?

Referensi:
[1] Ali ibn Ja’far adalah putra bungsu Imam Ja’far as., ia dikenal sangat alim, rendah hati, dan teladan dalam ketaqwaan. Ia diberkahi umurnya sehingga hidup sezaman dengan Imam Jawad putra Imam Ali Ar Ridha putra Imam Musa Al Kadzim (kakak Ali ibn Ja’far ra.) dan meyakini keimamahannya walaupun dari sisi kekeluargaan beliau adalah berpangkat kakek sepupu terhadap Imam Jawad as. Ditegaskan oleh para sejarawan dari kaum Sâdah sendiri, seperti Al Syilli dalam Masyra’ ar Râwi bahwa beliau bermazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah Itsnâsyariyah. Beliau adalah kakek para sâdah (para sayid keturunan Rasulullah saw.) yang tinggal di Hadhramaut dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, seperti Indonesia, Malaysia, beberapa negara di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika dll.
[2] At Tirmidzi dalam Sunan (dengan syarah al Mubârakfûri).10, 237, Manâqib Ali ibn Abi Thalib, bab 93 hadis 3816, Ahmad dalam Musnad,1.168 hadis 576, Fadhail al Shahabah.2,694 hadis 1185, Al Khathib, Tarikh Baghdad, 13/287, Ibnu Asakir, Tarikh Damaskus, pada biodata Imam Hasan: 52 hadis 95 dan 96 dan Al Khawarizmi dalam Manâqib:138 hadis 156, Ibnu Al Maghazili dalam Manâqib:370, Abu Nu’aim dalam Tarikh Ishfahan:1192,dll.
[3] Al Mutawakkil nama lengkapnya Ja’far Abu Al Fadhl ibnu Al Mu’tashim ibn Harun Ar Rasyid. Ia dibaiat sebagai Khalifah setelah Al Wastiq pada bulan Dzul Hijjah tahun 232H. Para Ulama Sunni menyebut Al Mutawakkil sebagai “Khalifah Rasulullah” yang sangat consen terhadap kemurnian sunnah Nabi saw. mereka memuja dan menyanjungnya dan menggelarinya sebagai penyegar sunah dan pemberantas bid’ah!! (Baca sebagai contoh Tarikh al Khulafâ’; As Suyuthi:320).
[4] Al Khathib, Tarikh Baghdad,13/288.
[5] Tarikh Al Khulafâ’:320.
*****

Pendahuluan:[1]
Dunia hadis Sunni sedang menghadapi ujian berat dalam banyak sisi dan lini untuk mempertahankan kenetralan dan kevalidannya! Mampukah ia keluar darinya dengan sukses mengusung etika kejujuran, kenetralan, obyektifitas dan berpihak kepada al haq? Itulah pertanyaan yang hendak kita cari tau jawabannya dalam artikel ini.
Di antara ujian yang akan menghadang kenetralannya dalam menyaring sumber data adalah sikap dunia hadis Sunni terhadap para perawi hadis.

Kesucian Sahabat Nabi saw. adalah Garis Merah!
Termasuk masalah yang menyita perhatian dan meminta sikap tegas para ahli hadis Sunni adalah sikap hormat para perawi terhadap para sahabat Nabi saw. tanpa terkecuali! Siapapun yang terbukti bersikap buruk dalam menilai sahabat maka para ulama hadis Sunni tidak akan segan-segan menvonisnya sebagai Zindîq[2], Dajjâl, Ahli Bid’ah, Zâighun ‘Anil Haqqi (menyimpang dari kebenaran) dan kecaman-kecaman lainnya yang tidak kalah seramnya.

Banyak parawi hadis yang gugur bergelimpangan menjadi korban format penilian tersebut…. Mereka dicacat, dikecam divonis sebagai pembohong/kadzzâb dan kemudian yang pasti mereka digugurkan kelayakannya sebagai sumber hadis karena terbukti pernah berkata-kata atau pernah bersikap buruk terhadap seorang atau beberapa orang oknum sahabat Nabi saw.

Abu Zur’ah –seorang tokoh terkemuka Ahlusunnah, guru agung Imam Muslim- membangun kaidah baku yang dijadikan tolok ukur penilaian, ia barkata:
“Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq, sebab sesungguhnya Rasulullah saw. itu haq, Al Qur’an itu haq, apa yang dibawa Nabi itu haq, dan yang menyampaikan itu semua kepada kita adalah para sahabat. Maka siapa yang mencacat mereka sesungguhnya ia sedang berusaha membatalkan Al Qur’an dan Sunnah, karenanya mencacat mereka lebih tepat dan menvonis mereka sebagai zindîq, sesat, berdusta dan kerusakan adalah lebih lurus dan lebih berhak.”[3]
Dan atas dasar kaidah di atas para ulama hadis Sunni membangun penilaian terhadap para perawi. Al Khathib al Baghdadi menukil Yahya ibn Ma’în sebagai mengatakan ketika ia menerangkan kualitas seorang parawi bernama Talîd, “Talîd adalah kadzdzâb/ pembohong besar, ia mencaci maki Utsman. Dan setiap yang mencaci maki Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.”[4]

Ibnu Hibban berkata, “Talîd adalah seorang rafidhi pencaci maki sahabat dan ia meriwayatkan hadis-hadis yang aneh tentang keutamaan Ahlulbait.”[5]

Imam Ahmad ibn Hanbal meninggalkan periwayatkan hadis dari Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya gara-gara ia menceloteh Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Tidak cukup itu ia mengutus seorang kepercayaannya untuk mendatangi Yahya ibn Main agar segera meninggalkan meriwayatkan hadis darinya. Ia berpesan kedanya agar menyampaikan kepada Yahya bahwa:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu Abu Abdillah menyampaikan salam dan berkata kepadamu, “inilah engkau berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sementara aku dan engkau sama-sama mendengarnya mencaci Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Aku telah meninggalkan meriwayatkan hadis darinya.”[6]
.
Para ahli hadis Sunni akan segera mengecam seorang perawi dikarenakan ia dituduh mencacat seseorang sahabat dengan kecaman sebagai Rafidhi! Pembohong! Dll.

Akan tetapi apakah mereka setia menjalankan kaidah yang telah mereka bangun sendiri?
Apakah mereka membangun kaidah tersebut dengan i’tikat baik untuk menyaring hadis dari sisipan kaum munafikin?

Apakah mereka akan konsisten menjalankan kaidah tersebut dengan sepenuh hati atas siapa saja yang mencaci dan mencacat apalagi melaknat seorang sahabat Nabi saw.?

Apakah benar kaidah itu mereka bangun untuk membentengi keangungan sahabat Nabi saw, -seluruh sahabat Nabi saw. tanpa memilih dan memilah- dari sikap sinis dan mulut busuk sebagian parawi hadis?
Atau kaidah itu hanya akan diterapkan ke atas para parawi yang menghujat, mencacat dan membenci serta mengutuk sahabat-sahabat tertentu saja, tidak untuk sahabat tertentu lainnya?

Di sini letak ujian berat yang sedang dihadapi kaidah Sunni tersebut!
Namun sepertinya penelusuran acak –apalagi dengan telaten- akan memberi peluang para pemerhati untuk mencurigai ketulusan dan kenetralan kaidah tersebut! Kerena ternyata, kaidah itu hanya diberlakukan ketika menghadapi para parawi yang mencacat atau bahkan sekedar mengkritik oknum-oknum tertentu sahabat Nabi saw., seperti Mu’awiyah, ‘Amr ibn al Âsh, Walîd ibn ‘Uqbah, Thalhah, Utsman, Umar Abu Bakar dkk. Adapaun ketika berhadapan dengan para parawi yang mencaci maki, melaknati dan membenci Imam Ali as., Imam Hasan dan Husain as. serta pribadi-pribadi mulia keluarga Nabi saw. sepertinya kaidah itu lumpuh tanpa daya dan kekuatan! Bahkan tidak jarang, gelar-gelar kehormatan dan pujian menyertai sebutan para perawi pembenci Ali as.!!

Entah mengapa?
Apakah karena para sahabat lainnya itu memiliki kehormatan agung di sisi Allah SWT yang tidak dimiliki oleh Imam Ali dan Ahlulbait Nabi as.?
Atau karena para ulama itu telah mendapat bocoran informasi langit bahwa keridhaan Allah terlatak pada kebencian, kesinisan sikap dan caci-maki serta laknatan atas Ali dan Ahlulbait as.?
Atau memang pada dasarnya mencaci maki dan mencacat sahabat Nabi itu sah-sah saja hukumnya! Semua huru-hara fatwa dalam masalah ini hanya bersifat politis belaka!
Atau karena alasan lain yang masih dirahasiakan hingga hari ini? Wallahu A’lam!

Para ulama Sunni sendiri mengakui adanya sikap nakal dan subyektif serta mengertapan standar ganda dalam pemberlakuan “kaidah filterisasi” perawi hadis tersebut! Ibnu Hajar pernah bertanya-tanya kebingungan menyaksikan sikap tidak sehat itu dari para “Pembela Sunah” Sunni.

Ibnu Hajar berkata, “Dahulu aku merasa isykal (melihat adanya keganjilan sikap para ulama Rijal) dalam menstiqahkan seorang perawi Nashibi [7] (pembenci Ali) dan menghinakan terhadap perawi Syi’ah[8] (pecinta Ali), terlebih telah datang sabda Nabi saw. tentang Ali bahwa “Tidak mencintainya melainkan seorang Mukmin dan tidak membencinya melainkan seorang munafik.”….. “

Dari pernyataan Ibnu Hajar di atas dapat diketahui bahwa demikianlah sikap kebanyakan ulama hadis Sunni dalam mentsiqahkan atau mencacat para parawi…. Mereka mentsiqahkan kaum Nawâshib (pembenci Ali as.) … kaum yang mencaci-maki Ali as. ….. Kaum yang melaknati Ali as. ….
Lalu dinamakan kaidah yang mereka bakukan itu?

Agar pembaca tidak terlalu lama menanti sajian data-data yang membuktikan keharmonisan sikap ulama Sunni terhadap para pembenci Ali dan Ahlulbait as. … sikap kagum dan menyanjung serta terpesona oleh kejujuran, kataqwaan, kezuhudan dan kashalehan para pembenci Ali as., saya langusng sajikan data-data di bawah ini:

Catatan:
Seperti telah disinggung bahwa data-data yang akan saya sajikan ini saya ambil secara acak tanpa bermaksud menelusuri secara detail dan menyeluruh, karena untuk itu diperlukan kerja karas dan waktu panjang.

1. Ishaq ibn Suwaid ibn Hubairah al Adwi.
Dalam Hadyu as Sâri-nya, Ibnu Hajar menegaskan bahwa “Yahya ibn Ma’in, an Nasa’i dan al Ijli mentsiqahkannya, dan ia mengecam Ali ibn Abi Thalib.”[9]
Jadi sepertinya mencaci maki sahabat Nabi saw. tidak mengugurkan keadilan atau mencacat agama seorang!

2. Khalid ibn Salamah ibn al Âsh ibn Hisyam al Makhzumi yang dikenal dengan panggilan al Fa’fa’
Dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb disebutkan bahwa: Ahmad, Ibnu Ma’in dan Ibnu al Madîni mentsiqahkannya. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam daftar perawi tsiqah. Muhammad ibn Hamîd menukil Jarir berkata, “Al Fa’fa’ adalah tokoh sekte Murji’ah. Dan ia mebenci Ali.”
Selain itu kajahatan perawi yang satu ini adalah bahwa ia juga menggubah bait-bait syair untuk bani Marwan yang memuat ejekan atas Nabi Muhammad saw.[10]

Kendati demikian ia mampu meraih kepercayaan para ulama hadis Sunni dan ia diandalkan oleh: Muslim dalam Shahihnya, Abu Daud dalam Sunannya, Ibnu Majah dalam Sunannya, at Turmudzi dalam Sunannya, an Nasa’i dalam Sunnanya.

Ibnu Jakfari berkata:
Selamat atas umat yang menjadikan manusia durjana seperti al Fa’fa’ sebagai panutan dan tempat kepercayaannya!

Saya yakin dan bahkan haqqul yakin, andai ada seorang perawi yang menggubah bait-bait syair menghujat Abu Bakar atau Umar pastilah para ulama yang pecemburu terhadap kesucian agama itu akan bangkit memuntahkan amunisi laknatan dan kecamannya dan pasti tak segan-segan menvonisnya sebagai si Zindiq yang harus segera dipenggal kepalanya! Akan tetapi anehnya ketika yang dijuhat dan dihina serta dilecehkan itu adalah Rasul Allah mereka terdiam dan bahkan memberinya gelar kehormatan sebagai perawi Tsiqah yang harus kita percaya hadis riwayatnya! Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn.

3. Hushain ibn Numair al Wasithi.
Para ulama hadis Sunni, di antaranya adalah Abu Zur’ah mentsiqahkannya, padahal, seperti dilaporkan Abu Khaitsmah, ia terang-terangan menghina Ali.
Bukhari mengandalkannya dalam banyak bab, di antaranya dalam Bab Ahâditsul Anbiya’ (hadis para nabi) dan dalam Bab ath Thibb (pengobatan)… para penulis kitab Sunan –selain Ibnu Majah mengandalkan riwayatnya juga.[11]

4. Khalid ibn Abdillah al Qasri.
Dalam kitab Tadzîb at Tadzîb disebutkan, Yahya al Himmani berkata, ‘Dikatakan kepada Sayyâr, apakah engkau meriwayatkan dari Khalid? Maka ia menjawab, ‘Ia lebih mulia dari berbohong.’
Ibnu Hibbân memasukkannya dalam daftar perawi terpercaya/tsiqat. Dalam kitab al Mîzân dikatakan bahwa ia adalah Shadûq.[12]

Padahal tidak samar lagi bahwa Khalid itu seorang Amir Dinasti Umayyah yang sangat kejam dan sangat membenci Imam Ali as. … Ia banyak melakukan kejahatan yang mengerikan. Berikut ini saya sebutkan keselumit kejahatannya:
  • Khalid itu mengutamakan Abdul Malik ibn Marwan (Khalifah dimasti Umayyah yang dikenal sangat kejam dan haus darah itu) atas Nabi Ibrahim as. (seorang nabi Ulul Azmi yang sangat agung dan mulia  di sisi Allah SWT)… Dia deklarasikan pengutamaan itu di atas mimbar kota suci Mekkah.
  • Dan dalam kesempatan lain ketika ia menjabat sebagai Amir wilayah Iraq, ia terang-terangan di atas mimbar melaknati Ali ibn Abi Thalib as…. ia berpidato: Ya Allah taknatlah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdil Muththalib ib Hasyim, menantu Rasulullah dan ayah Hasan dan Husain… setelahnya ia menghadap kepada para jamaah yang hadir seraya berkata, “Apakah aku menyebutnya samar-samar?”
  • Dilaporkan juga bahwa ia merobohkan masjid dan kemudian membangun di atasnya sebuah gereja untuk ibu kandungnya dan juga membangun di atasnya sinagok-sinagok.
  • Ia memberi jabatan kaum majusi untuk menghinakan kaum Muslimin.
  • Dan juga menikahkan wanita-wanita Muslimat dengan kaum kafir Ahli Kitab….
  • Ia mengatakan andai sang Khalifah tidak ridha kepada kami melainkan dengan menghancurkan bangunan Ka’bah pasti itu akan kami lakukan.
  • Dan ada laporan yang sangat menyayat hati setiap Muslim yang mendengarnya (kecuali jika ia penggemar berat kemunafikan bani Umayyah dan antek-anteknya. Ibnu Khallikan melaporkan bahwa ada seorang wanita Muslimah datang melapor kepada Khalid bahwa ia telah diperkosa oleh seorang pagawainya yang beragama Majusi, maka dengan tanpa keimanan dan rasa malu ia mengabaikan laporannya dan sekaligus mencemoohnya dengan mengatakan: Bagaimana rasa penisnya yang belum dikhitan itu?”
Ibnu Jakfari berkata:
Akankah anjing hina sepertinya dikatakan sebagai parawi tsiqah/jujur terpercaya? Lebih mulia dari berbohong? Adakah seorang Muslim yang peduli akan keselamatan agamanya rela menjadikannya sebagai perantara penukilan agama suci Allah?
Apakah ini yang dibanggakan sebagian musuh-musuh Syi’ah bahwa kitab-kitab hadis Sunni, khususnya Shihâh Sittah dapat diandalkan kevalidannya? Sampai kapan kitab-kitab hadis umat Islam dicemari oleh hadis-hadis kaum fasiq, munafik dan kafir seperti Klahid si durja terkutuk itu?

5. Ziyâd ibn Jubair ats Tsaqafi al Bashri.
Parawi yang satu ini telah memikat hati banyak ulama hadis Sunni sehingga mereka berlomba-lomba memujinya. Imam Ahmad, Yahya ibn Ma’in, Abu Zur’ah, an Nasa’i, al Ijli, dan Ibnu Hibbân telah sepakat mentsiqahkannya. Dan para penulis Shihâh; kitab hadis standar Sunni juga berhujjah dengannya.[13]
Mereka semua sepakat mengandalkannya padahal Ziyâd ini telah mencaci maki Hasan dan Husain as… Ibnu Abi Syaibah melaporkan dari Abdurrahman ibn Abi Nu’aim bahwa Ziyâd telah mencaci maki Hasan dan Husain….”[14]

Ibnu Jakfari berkata:
Apa uzur para ulama Sunni itu di hadapan Allah dan rasul-Nya ketika mereka berhujjah dengan si fasiq yang munafik itu?

Apakah kebencian dan caci maki itu haram jika dialamatkan kepada Mu’awiyah dan Utsman dan halal hukumnya jika dialamatkan kepada kedua cucu tercinta Nabi kita; dua penghulu pemuda ahli surga?

Saya benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada umat ini? Jika Ali, Hasa, Husain as. dicacat seakan kebajikan sedang diperagakan dan pemeraganya berhak mendapat sanjungan! Seakan sebuah kawajiban Allah sedang ditegakkkan di atas muka bumi!

Namun apabila nama Mu’awiyah, Yazid, ‘Amr ibn Ash, Abu Hurairah, Utsman, Mughirah ibn Syu’bah, Abu Bakar dan Umar disentuh mereka bangkitkan dunia … mereka luncurkan tradisi tercanggih kutukan dan laknatan, seakan kehormatan Allah sedang diinjak-injak! Innâ Lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn, semoga kita dilindungi Allah dari kesesatan.

6. Abdullah ibn Zaid ibn ‘Amr al Jarmi al Bashri.
Al Ijli menegaskaan bahwa ia tak henti-hentinya mencacat Ali ibn Abi Thalib dan tidak sudi meriwayatkan satu hadis pun dari Ali, namun demikian al Ijli tetap saja menilainya sebagai tsiqah, ia berkata, “Ia seorang tabi’în yang tisqah, dan mencacat Ali ibn Abi Thalib dan tidak sudi meriwayatkan satu hadis pun dari Ali .” dan bukan kali ini al Ijli menegaskan bahwa seorang perawi itu membenci Imam Ali as., namun ia tetap menegaskan ketsiqahannya!

Bukhari mengatakan bahwa ia: Rajulun Shâleh/seorang yang shaleh.[15] Seperti juga dinukil dalam at Tahdzîb. Demikian juga adalah mengherankan ketika Ibnu Sirin berkata, ‘Dia adalah benar-benar saudaraku.

Perawi yang fasiq ini telah mampu memukau para ulama hadis Sunni, tak terkecuali Imam Ahli hadis tak teetandingi; Bukhari dan Muslim, serta para penulis kitab-kitab Sunan lainnya, seperti Abu Daud, Ibnu Majah, at Turmudzi, dan an Nasa’i.[16]

7. Abdullah ibn Syaqîq al ‘Uqaili al Bashri
Perawi yang satu ini tidak pernah merahasiakan kebenciannya kepada Imam Ali as. sehingga setiap yang menyebut data pribadinya mengakui dalamnya kebencian tersebut. Namun anehnya, para ulama Sunni yang menegaskan kemunafikan perawi yang satu ini, mereka juga menegaskan ketsiqahannya bahkan lebih dari itu, mereka menganggapnya sebagai seorang Waliyullah yang doanya selalu dikabulkan Allah!

Perhatikan data-data di bawah ini:
Ibnu Khirâsy berkata, “Ia seorang Utsmaniy (Nashibi) yang membenci Ali.”[17]

Dalam kitab at Tahdzîb disebutkan bahwa Ibnu Sa’ad menggolongkannya sebagai thabaqah (genesari) pertama tabi’în penduduk kota Bashrah, dan ia berkata: “Ia seorang utsmaniy, ia tsiqah/jujur dalam periwayatan hadis.”[18]

Ahmad al Ijli berkata, “Ia tsiqah. Ia mencerca Ali.”
Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah apa yang dikatakan oleh  al Jariri, “Abdullah ibn Syaqîq adalah seorang yang doanya selalu dikabulkan, terkadang ada awan yang lewat maka ia berkata, ‘Ya Allah jangan biarkan ia berlalu melewati tempat ini dan itu’ maka turunlah hujan.’” Demikian dikisahkan oleh Ibnu Khaistamah.[19]

Ibnu Jakfari berkata:
Orang Mukmin mana yang akan membenarkan dongeng murahan seperti itu?! Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Syaqîq adalah seorang munafik tulen. Dan kebenciannya kepada Imam Ali as. adalah bukti nyata akan hal itu. Andai benar apa yang didongengkan di atas pastilah itu tergolong istidrâj/diberikan sebagai cobaan, seperti yang diberikan Allah kepada dajjal.

Setelah terbukti kemunafikan Ibnu Syaqîq adalah sangat mengherankan ketika kita menyaksikan para ulama’ hadis Sunni berlomba-lomba mendapatkan hak paten periwayatan hadis darinya. Muslim dalam kitab Shahihnya telah mengandalkannya sebagai periwayat hadis. Demikian juga dengan Abu Daud, Ibnu Majah, at Turmudzi dan an Nasa’i.

Dimanakah kita dapat temukan kecemburuan para ulama hadis Sunni ini terhadap kemuliaan para sahabat agung Nabi Muhammad saw.? Mengapa mereka begitu membanggakan perawi yang terang-teranngan membenci Ali as.?

Mengepa mereka menyematkan status kehormatan atasnya? Bukankah –seperti yang ditegaskan Abu Zur’ah: “Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq.” Dan juga yang ditegaskan Yahya ibn Ma’in: “…Dan setiap yang mencaci maki Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.”
Saya benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam dunia hadis Sunni?! Mungkin Anda mengetahuinya?!

8. Limâzah ibn Zabâr al Azdi al Jahdami Abu Labîd al Bashri.
Dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb dipaparkan pujian dan pentsiqahan para ulama Sunni terhadapnya, sementara pada waktu yang sama mereka menegaskan bahwa perawi yang satu ini adalah sangat membenci Imam Ali as. dan tidak pernah menyembunyikan rasa dengki dan dendamnya kepada saudara Rasulullah yang jiwanya adalah belahan jiwa Rasulullah saw.

Ia hadir dalam peperangan Jamal di pihak musuh Imam Ali as. dan ia seorang nashibi yang tak henti-hentinya mencaci maki Ali dan memuji Yazid.

Dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb di atas disebutkan:
Ibnu Main berkata, “Ia seorang yang gemar mencaci maki. Ia mencaci maki Ali.”[20]

Mathar ibn Humrân berkisah, “Kami di sisi Abu Labîd, lalu ada yang berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mencintai Ali?’ Maka ia menjawab, “Bagaimana aku mencintai Ali sedangkan ia telah membunuh enam ribu dari anggota kaumku dalam satu hari.’”

Dari Hawbi ibn Jarîr dari ayahnya, ia berkata, “Labîd adalah orang yang gemar mencaci maki. Maka aku tanyakan kepada ayahku, siapa yang ia caci maki? Maka ayahku menjawab, ‘Ia mencaci maki Ali ibn Abi Thalib.

Kendati demikian tidak sedikit ulama Sunni yang membanggakannya dan menganggapnya Shalihul hadîts/ia bagus hadisnya. Abu Daud, Ibnu Mâjah dan at Turmudzi mengandalkan riwayatnya dalam kitab-kitab Sunan mereka.

9. Harîz ibn Utsman al Himshi.
Kenashibian Harîz tidak samar bagi semua peneliti yang akrab dengan kajian sejarah para perawi hadis. Ia sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya melaknati beliau di berbagai kesempatan, khususnya dalam wirid seusai shalat!! Tidak cukup itu, ia juga tidak segan-segan memalsu hadis yang menyelek-jelekkan Imam Ali as.

Data-data di bawah ini cukup sebagai bukti:
Ditanyakan kepada Yahya ibn Shaleh, “Mengapa Anda tidak menulis hadis dari Harîz? Ia menjawab, ‘Bagaimana aku sudi menulis hadis dari seorang yang selama tujuh tahun aku salat bersamanya, ia tidak keluar dari masjid sebelum melaknat Ali tujuh puluh kali.’“[21]

Ibnu Hibban juga melaporkan, “Ia selalu melaknat Ali ibn Abi Thalib ra. tujuh puluh kali di pagi hari dan tujuh puluh kali di sore hari”. Ketika ia ditegur, ia mengatakan, “Dialah yang memenggal kepala-kepala leluhurku.”[22]

Dan tentang keberaniannya memalsu hadis, ikuti laporan Ismail ibn Iyasy berikut ini, ia berkata, “Aku mendengar Harîz ibn Utsman berkata, ’Hadis yang banyak diriwayatkan orang dari Nabi bahwasannya beliau bersabda kepada Ali, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa”, itu benar tetapi pendengarnya salah dengar. Aku bertanya, “Lalu  redaksi yang benar bagaimana? Ia berkata, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Qarun di sisi Musa”. Aku bertanya lagi, “Dari siapa kamu meriwayatkannya?” ia berkata, “Aku mendengar Walîd ibn Abd. Malik mengatakannya dari atas mimbar”.[23]

Al Azdi juga melaporkan kepada kita “Harîz meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. hendak menaiki baghel-nya[24] datanglah Ali lalu  melepaskan pelananya agar beliau jatuh.”

Al Jauhari juga melaporkan kepada kita dengan sanadnya bersambung kepada Mahfûdz, Ia berkata, “Aku bertanya kepada Yahya ibn Shaleh Al Wahadzi, ‘Kamu telah meriwayatkan dari para guru sekelas Harîz, lalu  mengapakah kamu tidak meriwayatkan  dari Harîz?’ Ia berkata, ‘Aku pernah datang kepadanya lalu ia menyajikan buku catatannya, lalu  aku temukan di dalamnya, Si fulan telah menyampaikan hadis kepadaku dari fulan… bahwa Nabi saw. menjelang wafat beliau berwasiat agar tangan Ali ibn Abi Thalib di potong.”. Maka aku kembalikan buku itu dan aku tidak menghalalkan diriku meriwayatkan darinya!!.[25]

Semua itu tidak rahasia lagi… Akan tetapi yang benar-benar mengeharkan adalah ternyata tidak sedikit tokoh-tokoh besar hadis Ahlusunnah menegaskan ketsiqahannya. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Ia tsiqah, Ia tsiqah, ia tsiqah!”[26]

Di sini, seperti Anda saksikan, Imam Ahmad (seorang tokoh terkemuka empat Mazhab Sunni) tidak cukup sekali dalam mengapresiasi kejujuran dan keadilan Harîz. Ia mengulanginya tiga kali. Menyematkan gelar tsiqah kepaada seorang perawi adalah puncak pengandalan. Dan lebih dari kata tsiqah, apabila kata itu diulang dua apalagi tiga kali.

Itu artinya Harîz benar-benar menempati tempat istimewa dalam jiwa Imam besar Ahhlusunnah. Selain Ahmad, Yahya ibn Ma’in dan para imam hadis Sunni juga mentsiqahkannya. Demikian ditegaskan Ibnu Hajar dalam Hadyu as Sâri-nya.

Abu Hatim menegaskan bahwa tidak ditemukan di kota Syam seorang parawi yang lebih kokoh darinya.
Ibnu Adi berkata, ‘Ia tergolong perawi kota Syam yang tsiqat/jujur terpercaya.”.

Ahmad ibn Abi Yahya berkata, “Ia (Harîz) seorang yang shahih hadisnya, hanya saja ia mencaci maki Ali.”
Al Ijli berkata, “Ia (Harîz) seorang penduduk kota Syam yang tsiqah. Dan ia mencerca dan mencaci maki Ali. Ia menghafal hadisnya.”

Dalam kesempatan lain ia berkata, “Ia kokoh riwayatnya dan ia sangat membenci Ali.”
Ibnu Ammâr berkata, “Para ulama menuduhnya mencaci maki Ali, namun mereka tetap saja meriwayatkan dahis darinya, berhujjah dengannya dan tidak meninggalkannya.”

Dan masih banyak komentar lain sengaja saya tinggalkan….
Karenannya adalah mengherankan sikap ulama Sunni yang masih tetap saja mengandalkannya dalam periwayatan hadis.

Saya tidak mengerti apakah sikap keras para muhaddis Ahlusunnah dalam berpegang teguh dengan hadis riwayatnya itu didasari oleh kebanggaan mereka kepada hadis riwayat kaum munafik pembenci Imam Ali as.? Atau didasari oleh kayakinan mereka akan kejujuran tutur kata kaum munafik pembenci Imam Ali as.?
Atau karena sebab lainnya. Wallahu A’lam, hanya Allah yang Maha mengetahui hakikat sebenarnya.
Yang pasti, sikap tidak sehat seperti itu dapat membuat para pecinta Ahlulbait as. berhak curiga akan ketulusan ulama hadis Sunni dalam klaim kecintaan mereka kepada Imam Ali as. dan Ahlulbait Nabi as.!! Karenanya sudah seharusnya para ulama Sunni kontemporer mengoreksi dan mengintropeksi Manhaj Hadis Sunni demi menemukan kesuciannya!

Penutup:
Untuk sementara saya cukupkan menyebut sembilan contoh  penyalur hadis yang telah dipercaya habis-habisan oleh muhaddis Sunni. Semoga dalam kesempatan lain saya dapat menyajikan data-data lain tentang parawi-parawi munafik seperti mereka. Wallahu Waliyyut taufîq.


Referensi:
[1]Penulis berharap judul di atas tidak akan disalah-pahami oleh musuh-musuh Ahlulbait as. sebagai sebuah stitmen pembenaran atas sikap mencaci maki sahabat mulia Nabi saw.[2] Istilah Zindîq (orang yang lepas dari ikatan agama dan norma-norma langit) sudah disalah-gunakan demi kepentingan-kepntingan tertentu. Misalnya, Khalifah al Mahdi –dari dinasti Abbasiyah- menyebut siapapun yang tidak mengakui kekhalifahannya sebagai Zindîq. (Tarikh Ibnu Katsir,10/153) Demikian juga kata itu dialamatkan kepada seseorang yang mengkritik sebagian hadis sahabat atau menolaknya karena dalam hematnya tidak shahih. (Târîkh Badgdâd,14/7).
[3] Ash Shawâiq al Muhriqah;Ibnu Hajar al Haitami, Penutup:211.
[4] Târîkh Baghdâd,7/145 ketika menyebut data Taid, no.3582.
[5] Al Majrûhîn,1/204.
[6] Tarikh Baghdad,14/427.
[7] Ibnu Hajar mendefenisikan kenashibian sebagai: kebencian kepada Ali dan mengutamakan sahabat lain atasnya. (Hadyu as Sâri Muqaddimah Fathi al Bâri,2/213)
[8] Ibnu Hajar sendiri telah mendefenisikan kesyi’ahan sebagai berikut: Kesyi’ahan adalah kecintaan kepada Ali dan mengutamakannya atas para sahabat. Maka barang siapa yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar berarti ia ekstrim dalam kesyi’ahannya, dan ia disebut juga dengan Rafidhi. Jika tidak (mengutamakannya di atas Abu Bakar dan Umar) maka ia hanya seorang Syi’ah.” (Hadyu as Sâri Muqaddimah Fathi al Bâri,2/213)
[9] 2/143.
[10] Tahdzîb at Tahdzîb, 3/83 dan Mizân al I’tidâl,2/412.
[11] Ibid.152
[12] Istilah Shadûq (jujur) adalah gelar yang diberikan kepada seorang perawi sebagai bukti apresiasi pujian, seperti juga kata tsiqah, hanya saja ia dibawah tinggat apresiasi kata tsiqah dalam hirarki redaksi penta’dilan.
[13] Tahdzîb at Tahdzîb,3/308.
[14] Mushannaf; Ibnu Abi Syaibah,12/96 hadis no.12225.
[15] At Târiîkh al Kabîr; Bukhari,5/92.
[16] Lebih lanjut baca Mizân al I’tidâl,4/103.
[17] Tahdzîb al Kamâl,15/91 data no.3333.
[18] Ath Thabaqât al Kubrâ,7/126.
[19] Tarîkh Damasqus,26/161.
[20] Pernyataan ini juga dapat Anda temukan dalam Ma’rifah ar Rijâl,1/145.
[21] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tarikh Damaskus,12/349.
[22] Al MajRûhuun,1/268.
[23] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tahdzîb al Kamâl,5/577, Tarikh Baghdad.8,268 dan Tarikh Damaskus,12/349.
[24] Baghel adalah peranakan antara kuda dan keledai.
[25] Syarh Nahj al Balâghah; Ibnu Abi Al Hadid al Mu’tazili,4/70.
[26] Tahdzîb al Kamâl,5/175.

*****

Adalah hal mengherankan lagi mengerikan bagi kemurnian agama Islam yang kita yakini kesuciannya apabila para penjahat perang, kaum bengis haus darah, kaum fasik, tiran, pembantai jiwa-jiwa mukminah tak berdosa dan kaum munafik dibanggakan sebagai pembawa ajaran suci tersebut!

Adalah sangat berbahaya dan sekaligus membuka lebar-lebar pintu keraguan atas kemurnian ajaran agama Islam kita, jika orang-orang jahat dan musuh-musuh Islam dan kaum Shalihin dijadikan andalan dalam mentransfer ajaran agama! Maka tidak mengherankan jika kaum berakal akan meragukan kemurnian ajaran agama tersebut!! Sebab pembawanya adalah kaum durnaja dan durhaka!

Banyak contoh kasus yang membuktikan kenyataan pahit dalam dunia penyebaran ajaran agama Islam versi Sunni! Beberapa darinya telah Anda simak bersama dalam edisi sebelumnya, kini kami akan tambahkan beberapa contoh lain.

Para Tokoh Hadis Ahlusunnah Mentsiqahkan  Algojo Penguasa Tiran
Tidak ada yang meragukan bahwa Hajjâj ibn Yusuf dalah aparat bejat, durjana dan durhaka kepada Allah dan rasul-Nya…
sejarah telah mencatat sekelumit dari kejahatannya, walaupun yang sekelumit itu sudah sangat mengerikan… ribuan jiwa mukminah tak berdosa ia bantai dengan darah dingin….
Masjid yang tadinya sebagai tempat ibadah ia rubah menjadi tempat penyembelihan kaum Mukminin Muslimin…
Hajjâj tidak sendirian dalam melakukan kajahatan kemanusian mengerikan itu (yang tidak kalah mengerikannya dari pembantaian atas kaum Muslim Bosnia oleh kaum Nasharani Serbia dan apa yang terjadi di Poso dan Ambon beberapa waktu silam, bahkan apa yang dilakukan Hajjâj jauh lebih mengerikan).
Ia dibantu oleh para algojo haus darah dan tak berpri-kemanusiaan…
namun anehnya, tidak sedikit ulama Ahlusunah yang membela Hajjaj dan memujinya sebagai yang banyak berjasa terhadap Islam…
sebagai mana Ahli Hadis Sunni berebut hak paten dalam memuji dan menyanjung para algojo Hajjâj yang tiran dan fasik itu…

Di antaranya adalah:
  • Isma’il ibn Awsath al Bajali – Amir Wilayah Kufah- (w.117 H).
Ia adalah pembantu setia Hajjâj dalam menjalankan agenda kebengisan dan pembantaian terhadap kaum Muslimin, tidak terkecuali para ulama yang tidak loyal kepada kekuasaan tiran rezim bani Umayyah terkutuk. Dialah yang mengajukan Sa’id ibn Jubair –seorang ulama generasi tabi’in yang karismatik dan teguh pendiriannya-. Ismail telah dipuji dan disanjung oleh banyak ulama Ahli hadis Sunni. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in. Ibnu Hibbân menggolongkannya sebagai perawi jujur terpercaya. (Baca kitab Mîzân al I’tidâl,1/1037 dan Lisân al Mîzân1/395).

Mereka Memuji Pemaki Imam Ali as.
Di antara ketidak konsistenan sikap ulama Hadis Ahlusunnah adalah mereka sering kali memuji dan membanggakan keimanan, keshalihan serta keteguhan beragama mereka yang terang-terangan mencaci maki dan melaknati Imam Ali as. sebelumnya telah kami sebutkan beberapa contoh dalam kasus ini. Kini kami tambahkan lagi untuk melengkapi:
  • Asad ibn Wadâ’ah Adalah Seorang Abid yang Jujur Padahal Ia Selalu Mencaci maki Imam Ali
Kali ini contoh kasus itu adalah sikap terpesona dan bangga serta kagum yang ditampakkan ulama Ahli Hadis Sunni atas seorang Nâshibi (pembenci dan musuh Ali dan Ahlulbait Nabi saw.) dan lidah busuknya selalu berkecomat-kecamit mencaci maki Imam Ali as. – semoga Allah memanggang lidahnya dengan api neraka bersama para tuan dan pujaannya; Mu’awityah dan gembong kaum munafik lainnya.
Kendati demikian An Nasa’i –seorang Ahli hadis senior Sunni- mentsiqahkannya. (Baca kitab Mîzân al I’tidâl,1/07 dan Lisân al Mîzân1/385).
  • Khalid al Qasri –seorang Amir rezim tiran bani Umayyyah-
Contoh lain yang tidak kalah memalukannya adalah pujian Ibnu Hibbân atas Khalid. Ia berkata:

ثقة.

“Ia tsiqah.”

Padahal semua telah mengetahui kejahatan dan kekejaman serta kefasikannya. Ia seorang pembenci Imam Ali as.; nâshibi yang sangat keji, seorang amir yang kejam. Ibunya seorang Kristen dan ia (Khalid) membangunkan untuknya gereja untuk tempat ibadah bagi ibunya! tidak diragukan bahwa ia pantas diragukan keberagamaannya.

Untuk mengetahui lebih lengkap kejahatan dan kebejatan serta kefasikannya baca kitab Târikhnya Ibnu Katsir,10/20-21.

Selaki Lagi Mereka Memuji Pembenci Imam Ali as.!
Selain nama-nama di atas, Anda dapat menemukan nama Ishaq ibn Suwaid al Adwi al Bashir (W.131 H)… para ulama Ahli Hadis kebanggaan Ahlusunnah berlomba-lomba memujinya, padahal mereka mengetahui dan mengakui bahwa Ishaq itu membenci dan tidak segan-segan mencaci maki Imam Ali as.! Bukankan ini sebuah keanehan sikap?!

Ishaq tidak pernah merahasikan dan/atau malu-malu menampakkan kebenciaannya kepada Imam Ali as. bahkan ia membanggakannya. Dia berkata:

لا أحب عليا

“Aku tidak suka Ali.”.

Namun demikian Ahmad (seorang imam besar empat mazhab Sunni), Ibnu Ma’in dan an Nasa’i mentsiqahkannya. Dia diandalkan oleh Imam Bukhari dan Msulim dalam keduan buku Shahihnya (yang diyakini tershahih setelah Al Qur’an; kitab suci terakhir umat Islam). Dan juga diandalkan oleh Abu Daud dan an Nasa’i.

Sikap Dualisme Yang Mengherankan!
Demikianlah mereka bersikap lembek, bersimpatik dan membanggakan ketsiqahan dan kejujuran para pembenci Imam ali as. dan mereka yang telah “menghiasi” mulut-mulut najis dengan caci-maki manusia suci; Ali ibn Abi Thalib….
Namun apabila giliran ada seorang perawi jujur “tertangkap basah” meriwayatkan sabda Nabi saw. tentang kejelakan Mu’awiyah anak Hindun (penguyah jantung Sayyidina Hamzah –paman Nabi saw.-); –khalifah keenam mereka yang sangat mereka banggakan kejeniusan, kesabaran dan ketulusannya kepada Islam dan kaum Muslimin- maka para ulama berlomba-lomba menghujaninya dengan berondongan anak panah beracum kecaman!! Seakan Mu’awiyah itu seorang nabi yang ma’shum yang tidak mungkin berbuat kekejian dan selalu dikawal para malaikat langit!

Data di bawah ini akan membuktikan apa yang saya katakan:
Al Khathib al Baghdâdi melaporkan bahwa Ahmad ibn Hanbal tidak sudi lagi meriwayatkan hadis dari Ubaidullah ibn Musa al ‘Absi setelah ia memergokinya menyebut-nyebut Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Lebih dari itu ia berusaha mempengaruhi Yahya ibn Ma’in agar juga membuang riwayat Ubaidullah. Ia mengutus utusan menemui Yahya dan memerintahnya agar menyampaikan pasan:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu; Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal mengucapkan salam atasmu dan berkata, ‘Ini dia engkau berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sedangkan engkau dan aku mendengarnya menyebut-nyebut Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Kini aku sudah meninggalkan riwayat darinya.’” [1]

Pencaci-maki Imam Ali as. disanjung!! Yang menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah dikecam dan dibuang riwayatnya! Sungguh mengerikan penyimpangan ini!!

Al Hasil, setelah ini semua apakah pentsiqahan dan/atau pencacatan yang dilontarkan para tokoh kenamaan Ahli Hadis Sunni terhadap para parawi itu masih berharga?! Sementara norma dan hakikat dari semua nila-nilai keislaman telah diputar-balikkan… yang fasik dipuji sebagai Abid dan jujur!! Pembenci Imam Ali as. dibanggakan sebagai penyandang Sunnah dan pemberantas Bid’ah!!
Lalu masihkan tersisa ruang untuk ketenteraman dalam kemurnian ajaran agama?!
Akankah kaum fasik itu memikul amanat ballighu ‘anni/sampaikanlah ajaran dariku?! Akankah Nabi saw. memuji mereka sebagai pengemban syari’at untuk generasi lanjutan?
Apakah syarat utama pengemban syari’at Islam dan Sunnah Nabi saw. adalah membenci dan mencaci maki Imam Ali as.?! Mengapakah mencaci maki Imam Ali as. menjadi tindakan terpuji, sementara mencacat Mu’awiyah, Abu Hurairah dkk. dikecam dan kadang dikafirkan sebab termasuk syatmul khiyarah/mencaci maki kaum shaleh yang baik?
Apakah demikian pilar mazhab Sunni? Jawabnya saya serahkan kepada Anda.

Referensi:
[1] Tarikh Baghdad,14/427

————————————————————————————————————————————————
Mu’awiyah Memberantas Hadis Keutamaan Imam Ali as.
Mu’awiyah  Imam  Kaum  Aswaja  Sunni !
Di antara ulama hadis ada sekelompok yang menjual dirinya kepada setan, mereka keberja siang malam hanya untuk membantah setiap hadis sabda Nabi saw. Tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. Setiap perawi yang disinyalir mencintai Ali as. Dan meriwayatkan hadis keutamaan tentangnya dituduhnya Syi’ah dan kemudian dikecam dan dijatuhkan keadilannya untuk selainjutnya seluruh riwayatnya dibuang ke tong sampah!

Mereka benar-benar telah menjual agama dan kehormatan mereka kepada Mu’awiyah dan penguasa tiran yang memimpin umat Islam untuk waktu yang tidak sebentar.
Mereka dengan penuh kepatuhan dan ketulusan menjalankan politik setan yang ditetapkan Mu’awiyah untuk mengubur ajaran agama Islam yag dibawa Rasulullah saw.dan ditegakkan dengan jasa pengorbanan Imam Ali as.

Perhatikan surat keputusan Mu’awiyah di bawah ini!
Mu’awiyah  menulis surat keputusan yang dikirimkan kepada para gubenur dan kepala daerah segera setelah ia berkuasa:

أن برِئَت الذمة مِمن روى شيئا فِي فَضْلِ أبِي تُراب و أهْلِ بَيْتِهِ .

“Lepas kekebalan bagi yang meriwayatkan sesuatu apapun tentang keutamaan Abu Thurab (Imam Ali as.) dan Ahlulbaitnya.”[1]

Maka setelah itu para penceramah di setiap desa dan di atas setiap mimbar berlomba-lomba melaknati Ali dan berlepas tangan darinya serta mencaci makinya dan juga Ahlulbaitnya. Masyarakat paling sengsara saat itu adalah penduduk kota Kufah sebab banyak dari mereka adalah Syi’ah Ali as. Dan untuk lebih menekan mereka, Mu’awiyah  mengangkat Ziyad ibn Sumayyah sebagai gubenur kota tersebut dengan menggabungkan propinsi Basrah dan Kufah. Ziyad menyisir kaum Syiah –dan ia sangat mengenali mereka, sebab dahulu ia pernah bergabung dengan mereka di masa Khilafah Ali as.. Ziyad membantai mereka di manapun mereka ditemukan, mengintimidasi mereka, memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka, menusuk mata-mata mereka dengan besi mengangah dan menyalib mereka di atas batang-batang pohon kurma. Mereka juga diusir dari Irak, sehingga tidak ada lagi dari mereka yang tekenal.[2]

Jadi janganlah Anda heran jika Anda temukan di zaman kita ini pihak-pihak yang rajin mengkufuri sabda-sabda Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as., atau keterangan para sahabat dan tabi’în yang mengungkap kemuliaan, keutamaan dan keagungan Imam Ali as. sebab mereka adalah jebolan “Madrasah Bani Umayyah” yang ditegakkan di atas kebencian dan permusuhan kepada Nabi saw. dan keluarga sucinya as.!

Dan untuk melengkapi politik pemusnahan ajaran murni agama Islam dan demi mengaburkan kebenaran, Mua’wiyah menyusulnya dengan perintah kedua agar disemarakkan dengan segala bentuk rangsangan pemalsuan hadis tentang keutamaan sahabat-sahabat lain demi menandingi keutamaan Imam Ali as. yang disabdakan Rasulullah saw.

Mu’awiyah menulis sepucuk surat:
إن الحديث في عثمان قد كثر و فشا في كل مصر و في كل وجهٍ و ناحية، فإذا جاءكم كتابي هذا فادعوا الناس إلى الرواية في فضائل الصحابة مفتعلة ، فإن هذا أحب إلَيَّ و أقر لعيني و أدحض لحجة أبي تراب و شيعته و أشد عليهم من مناقب عثمان و فضله.

“Sesungguhnya hadis tentang Utsman telah banyak dan tersebar di seluruh penjuru negeri. Maka apabila datang suratku ini kepadamu ajaklah orang-orang untuk meriwayatkan tentang keutamaan sahabat dan para khalifah terdahulu. Dan jangan biarkan sebuah hadis pun yang diriwayatkan kaum Muslim tentang keutamaan Abu Thurab melainkan datangkan kepadaku tandingannya untuk sahabat lain.[3] Yang demikian itu lebih aku sukai dan lebih mendinginkan mataku serta dapat mematahkan hujjah Abu Thurab dan Syi’ahnya, dan lebih menyakitkan mereka dari pada keutamaan Utsman!”

Dan setelahnya manusia berlomba-lomba memalsu hadis keutamaan sahabat demi menandingi sabda Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali as. dan proyek pemalsuan hadis ini dijalankan dengan rapi dan melibatkan banyak pihak yang penampilan lahiriyahnya cukup menipu, sehingga para ulama yang tulus pun tertipu dan menerimanya sebagai kenyataan yang haq! Dan akhirnya pikiran dan keberagamaan generasi amat Islam diracuni dengan riwayat-riwayat palsu, sehingga hingga sekarang pun mereka meyakini hadis-hadis palsu itu sebagai bagian utama agama Islam!

Akibatnya!
Ibnu Abi al Hadid menegaskan bahwa riwayat serupa juga dikeluarkan oleh Ibnu Arafah (yang dikenal dengan nama Nafthawaih), seorang tokoh dan pembesar Ahli Hadis, ia juga mengatakan bahwa “Kebanyakan hadis palsu tentang keutamaan sahabat itu diproduksi di masa kekuasaan rezim Umayyah, sebagai upaya orang-orang mendekatkan diri kepada mereka dengan anggapan bahwa hal demikian menyakitkan Bani Hasyim (keluarga besar Nabi saw.)”[4]


Referensi:
[1] Dari sini dapat dilihat bahwa sikap sebagian muhaddis Sunni terilhami oleh kebijakan Mu’awiyah di atas.
[2]Syarah Nahj al Balâghah, jilid III/juz 11/14-17.
[3] Contoh masalah ini banyak sekali, dapat Anda temukan pada hampir setiap hadis keutamaan Imam Ali as. ada hadis tandingan, seperti hadis Manzilah  dll. Tetapi anehnya, meskipun ia dirangsang dengan rangsangang menggiurkan tetap saja ia tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur-jalur lemah. “Mereka berkeherndak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya walaupn kaum Kâfir tidak menyukainya!”
[4] Syarh Nahjul Balâghah; Ibnu Abi Al Hadid, Jilid 1/juz 4/358.
——————————————————————————————————————
Muqaddimah
Judul yang mengerikan tetapi itulah apa adanya. Penjelasannya bisa sangat panjang dan akan saya buat dengan sesederhana mungkin. Apa itu Sunnah? Nah bahaya kan kalau anda salah menangkap apa yang saya maksud. Bisa dilihat disini, disana atau Untuk mempermudah maka anda dapat melihat penjelasan dari Ustad ini (Baca Website: era muslim). Sederhananya saya ambil yang ini:
Sunnah adalah apapun yang berupa perkataan, perbuatan dan sikap yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.

Tidak percayakah anda kalau Sunnah ini sudah direkayasa!. Mari pikirkan kemungkinan-kemungkinannya. Rasulullah SAW hidup 1400 tahun yang lalu artinya kita terpisah ruang dan waktu yang sangat jauh untuk mengakses apa itu sebenarnya Sunnah atau Bagaimana Sang Rasul SAW sebenarnya. Semudah itukah? belum karena para Pemuka konservatif akan menjawab semua keraguan atas Sunnah dengan menyatakan bahwa para Ulama sudah melakukan metode tersendiri untuk menjaga kemurnian Sunnah. Mereka telah melakukan pencatatan atas Sunnah dan Melakukan penyaringan dengan Metode khusus yang dapat anda lihat dalam Ulumul Hadis(yah berkaitan dengan Jarh wat Ta’dil dan sebagainya).

Keren jawabannya dan akan memuaskan mereka yang cuma awam-awam saja dan mereka yang biasa bertaklid. Percayakah anda dengan validitas kedua hal yang disebutkan yaitu
  • Pencatatan Atas Sunnah.
  • Penyaringan Atas Sunnah.

Pencatatan Sunnah.
Kapan dimulai pencatatan? Dulu kabar yang masyhur pencatatan Sunnah dimulai jauh setelah Rasulullah SAW wafat tetapi syubhat ini dibantah oleh Syaikh yang mulia Mustafa Al Azhami. Beliau membantah semua para pengingkar Sunnah yang meragukan pencatatan Sunnah. Singkatnya beliau membuktikan bahwa Sunnah telah mulai dicatat oleh Sahabat Nabi SAW saat Nabi SAW masih hidup. Kemudian pencatatan terus dilakukan orang perorang(orang tertentu) dari tabiin, tabiit tabiin hingga Ulama hadis. Pernah dengar Lembaran or suhuf tertua soal Sunnah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr dan Abu Suhail. Yang satu sudah tidak ada lagi alias lenyap tinggal nama dan yang satu lagi masih berupa manuskrip catatan tangan. Kesimpulan: Sunnah sudah ditulis sejak awal Rasulullah SAW hidup dan seterusnya sampai sekarang. So saya sepakati saja yang ini.

Siapa itu para pencatat? Manusia yang tidak maksum. Nah ada kemungkinan usil yang lain. Bukankah mereka para pencatat adalah orang-orang yang tidak selalu benar dan mereka punya potensi melakukan kesalahan. jadi bisa saja para pencatat itu melakukan kekeliruan. Ini sebuah kemungkinan yang masih harus dibuktikan tetapi tidak bisa sepenuhnya ditolak. Mari kita melakukan lompatan ribuan tahun dan kembali ke masa kini. Ada berapa banyak kitab yang memuat Sunnah yang anda ketahui? lumayan banyak baik yang semuanya Shahih(menurut Ulama) atau yang campuran shahih, hasan dhaif dan maudhu’.

Ok bisa diperinci Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasai(Kubra dan Shughra/Al Mujtaba), Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Daruquthni, Sunan Baihaqi, Shahih Ibnu Hibban , Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Al Hakim, Musnad Ahmad(suka dengan yang ini), Musnad Al Bazzar, Musnad Abu Ya’la, Mu’jam Al Awsath, Kabir dan Saghir Ath Thabrani. Daftar ini masih bisa dibuat panjang Jami’ As Shaghir Suyuthi, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Kanz Al Ummal Al Hindi, Musnad Ibnul Mubarak, Musnad Abu Daud Ath Thayalisi, Musnad Asy Syamiyyin, Musnad Al Hamidi, Musnad Asy Syafii, Musnad Aisyah, Musnad Abu Bakar, Al Mushannaf Abdur Razaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan uups kita melupakan yang paling senior Al Muwatta Imam Malik.

Selesaikah? oooh belum masih ada lagi(ini belum ditambah dengan banyaknya catatan di kalangan Islam Syiah), tahukah anda bahwa kitab Al Muwatta itu dulu ada banyak sekali tidak hanya Imam Malik yang punya. Informasi yang saya dapat, ada lebih kurang 70 kitab Muwatta dan yang tersisa sekarang hanya Muwatta versi Imam Malik. Selebihnya lenyap ditelan usia.

So apa yang anda pikirkan, Kitab yang mencatat Sunnah itu bisa juga lenyap. Usilkah anda jika berpikir ada Sunnah yang hilang. Boleh saja usil, tapi semua keusilan anda sudah ada apologinya oleh para Pemuka Konservatif. Mereka akan berkata Tidak ada itu yang hilang karena semuanya sudah tercatat pada kitab yang ada. Saya sebut hal itu apologi karena siapa yang bisa membuktikan, toh kitabnya juga sudah tidak ada. Siapa yang bisa memastikan bahwa Sunnah yang tercatat dalam Suhuf Abdullah bin Amr, Kitab Muwatta yang lain dan Kitab-kitab lain(karena masih ada yang lain) itu semuanya tetap tercatat pada kitab yang ada sekarang. Bukankah tetap ada kemungkinan Sunnah yang tidak tercatat. Lagi-lagi ini perlu bukti dan mana bisa dibuktikan kecuali anda menemukan kembali kitab-kitab yang hilang itu dan membandingkannya dengan kitab yang ada sekarang. Jadi berprsangka baik saja.

Lalu apa masalahnya? Nah kalau anda belum tahu masalahnya adalah Terlalu banyak Catatan. Hal ini memperbesar kemungkinan kekeliruan para Pencatat. Cuma asumsi sayakah ini? Ooh tidak ini bisa dibuktikan. Pernahkah anda membaca riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW menikahi Maimunah RA disaat ihram. Padahal ada riwayat lain bahwa Nabi SAW melarang menikah di waktu ihram. Nabi SAW melanggar perkataan Beliau sendiri, nggak mungkin banget kan dan puncaknya ada riwayat lain bahwa Pernikahan Nabi SAW dengan Maimunah RA tidak terjadi waktu ihram. Semua riwayat tersebut Shahih.(sesuai dengan Metode penyaringan). Tidak mungkin 2 hal yang kontradiktif bisa benar. Salah satunya pasti keliru dan lucunya kesalahan dan kekeliruan dijatuhkan pada Sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW menikahi Maimunah RA disaat ihram.

Banyaknya pencatatan menimbulkan banyaknya kemungkinan Inkonsistensi. Mau yang lain lagi nih, pernah dengar riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah melaknat dan mencela orang2 yang tidak berhak mendapatkan laknat dan celaan. Sampai-sampai begitu banyak hadisnya maka ada sang Pencatat Sunnah yang membuat Bab khusus Siapa saja yang pernah dilaknat, dicela dan didoakan jelek oleh Nabi SAW dan dia tidak berhak mendapatkannya maka itu sebagai pembersih, pahala dan rahmat baginya. Padahal ada banyak riwayat lain bahwa Rasul SAW melarang mencela dan melaknat sesama muslim. Yang lebih aneh lagi ada riwayat yang menyatakan bahwa Barang siapa melaknat atau mencela sesuatu yang tidak pantas dilaknat atau dicela maka laknat dan celaan itu akan berbalik pada dirinya sendiri. Luar biasa ternyata semua riwayat tersebut shahih. Nah silakan pikirkan sendiri
Kritis, silakan dan jangan tanya bagaimana sikap para Pemuka Konservatif. Mereka punya banyak pembelaan yang berkesan apologia. Tidak percaya, silakan lihat sendiri bagaimana Mereka menjelaskan semua itu. Intinya Semuanya harus tampak bagus so apapun yang terjadi Tidak ada yang perlu diragukan .

Penyaringan Sunnah.
Bagimana Sunnah disaring? Dengan Metode khusus yang detailnya dapat anda lihat dalam Ulumul Hadis. Saya akan membahas yang paling rawan yaitu Jarh wat Ta’dil . Ilmu ini berkaitan dengan perawi-perawi hadis. Mereka yang belajar ilmu ini kebanyakan adalah cikal bakal pemuka Konservatif. Ilmu ini mempelajari tentang kedudukan mereka yang meriwayatkan hadis, diterimakah atau ditolak hadisnya. Bisa dibilang dalam cabang ilmu ini yang namanya aib dibongkar habis-habisan. Perawi hadis yang tertuduh berdusta, mungkar, dan tidak dipercaya dijabarkan dengan jelas. Ilmu ini adalah ilmu mati alias gak berkembang kemana-mana. Ilmu ini adalah ilmu warisan yang tidak bisa diverifikasi dengan pasti karena anda dituntut percaya atau bertaklid dengan para Pemuka dan Sesepuh sebelumnya.

Sebut saja misalnya sang Perawi A, ia dinyatakan tsiqat oleh karena itu hadisnya diterima sedangkan Perawi B tertuduh pendusta sehingga hadisnya ditolak. Nah bagaimana bisa anda memastikan kalau si A benar-benar bisa dipercaya dan si B benar-benar tertuduh pendusta. Verfikasi yang pasti adalah dengan menilai sendiri watak kedua perawi itu alias ketemu langsung dan untuk itu, anda harus melakukan lompatan ruang dan waktu. Gak mungkin bisa kayaknya, jadi standar mesti diturunkan dengan Metode yang memungkinkan yaitu percaya dengan para Sesepuh sebelumnya yang sempat mengenal perawi tersebut atau dari ulama yang pernah belajar sama sesepuh itu atau ulama yang pernah belajar sama ulama yang belajar dari sesepuh. Singkatnya Taklid gitu loh dan bisa dimaklumi kalau orang-orang tertentu tidak berkenan dengan metode ini dan menilainya tidak ilmiah.

Tetapi saya tidak setuju dengan mereka yang menyatakan ini tidak ilmiah. Metode itu adalah ilmiah yang bisa dilakukan. Jangan mengharap standar yang tinggi kalau memang mustahil. Meragukan penilaian manusia ya sah-sah saja. Seperti hati orang siapa yang tahu:
  • Apakah mereka yang terpercaya itu tidak bisa dipengaruhi kecenderungan tertentu(fanatisme mahzab atau tekanan penguasa, dll) sehingga akhirnya mereka mungkin pernah berbohong dalam menyampaikan hadis walau cuma satu kali atau bisa saja mereka keliru menyampaikan hadis, kan mereka manusia.
  • Apakah mereka yang dinyatakan pendusta itu tidak bisa menyampaikan hadis yang benar?, apakah mereka selalu berdusta? Bisa saja kan mereka berkata benar walau hanya satu kali. Siapa yang bisa memastikan.

Sudah jelas jawabannya tidak ada yang pasti tetapi pemecahannya bisa bersifat metodis.
  • Benar mereka yang tsiqah bisa keliru atau bisa saja dipengaruhi kecenderungan tertentu tapi keraguan ini tidak bisa dibuktikan sehingga lebih aman menerima hadis perawi tsiqah sampai ada kemungkinan yang menguatkan bahwa hadis tersebut keliru. Terima saja sampai ada illat/cacatnya.
  • Benar bahwa mereka yang pendusta bisa saja berkata benar tetapi siapa yang bisa menjamin dan membuktikan bahwa mereka tidak berdusta saat itu. Oleh karena itu untuk amannya lebih baik semua riwayat mereka ditolak sampai ada keterangan yang menyatakan mereka benar misalnya ada perawi tsiqah yang juga meriwayatkan hadis yang sama dengan perawi pendusta tersebut. Tolak saja sampai ada yang menguatkannya.

Lalu apa masalahnya? Nah kalau anda belum tahu masalahnya adalah Terlalu banyak Sesepuh dan Ulama yang ikut andil dalam ilmu ini. Dan seperti biasa catatannya juga banyak dan memungkinkan Inkonsistensi. Sang Perawi tertentu bisa menjadi perdebatan di kalangan sesepuh. Pernah dengar yang ini:
  • Athiyyah Al Aufi dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Saad tetapi dihaifkan oleh banyak ulama lain.
  • Imam Syafii dinyatakan dhaif oleh Ibnu Main dan tsiqah oleh banyak ulama lain (bisa bayangkan kalau Imam Syafii dhaif, waduh bisa hancur itu mahzab Syafii).
  • Imam Tirmidzi dinyatakan majhul oleh Ibnu Hazm tetapi sangat terpercaya oleh ulama lain(apalagi ini nih masa’ Sunan Tirmidzi kitab majhul/tidak dikenal).
  • Beberapa ulama menyatakan cacat hadis seseorang hanya karena berbeda mahzabnya, Al Jauzjani melakukan pencatatan yang keterlaluan pada banyak perawi yang terkait dengan tasyayyu.
  • Ibnu Ishaq dinyatakan dajjal oleh Imam Malik tetapi beliau juga dipercaya oleh Imam Syafii dan Ali bin Madini serta yang lainnya. Dan sampai sekarang kitab Sirah Ibnu ishaq tetap menjadi referensi umat islam.
  • Katsir Al Muzanni adalah perawi yang sangat dhaif dan ini dinyatakan oleh banyak ulama sampai2 Imam Syafii menyebutnya “Tiang Kebohongan”(ini celaan paling jelek dalam Jarh wat Ta’dil). Anehnya Imam Tirmidzi berhujjah dengan hadis Katsir.
  • Beberapa ulama menyatakan cacat pada setiap perawi yang berbau Rafidhah dengan tuduhan bahwa Rafidhah itu pendusta tetapi anehnya banyak hadis yang diriwayatkan oleh Rafidhah dalam kitab2 hadis. Labih aneh lagi malah ada Rafidhah yang justru dikatakan tsiqat dan jujur.

Jangan dikira para Pemuka Konservatif itu diam saja dengan masalah ini. Mereka punya jawaban sederhana yaitu Jarh didahulukan ketimbang ta’dil dengan alasan mereka yang memuji tidak tahu keburukan perawi yang diketahui oleh mereka yang mencela. Ini adalah Alasan yang digeneralisasi karena kenyataannya ada variasi tertentu dimana mereka yang memuji seorang perawi justru mengetahui dan menolak dengan jelas orang lain yang mencacat atau mencela perawi tersebut.


Masalahnya nih seandainya:
  • Kesaksian Ibnu Saad soal Athiyah benar maka hadis2 Athiyah (yang tentunya didhaifkan oleh ulama lain) adalah Sunnah yang shahih.
  • Ketika Imam Tirmidzi berhujjah dengan hadis Katsir dan mengatakannya Sunnah maka hal ini keliru jika Katsir memang Tiang kebohongan seperti yang dikatakan Imam Syafii.
  • Jika Imam Malik benar celaannya bahwa Ibnu Ishaq itu dajjal maka semua Sunah Rasulullah SAW yang dinisbatkan kepada Rasul dalam kitab Sirah Ibnu Ishaq adalah tertolak.

Pembuktian pastinya sangat sulit dan yang bisa dilakukan hanya memilih yang lebih aman dan lebih melegakan(alias berprasangka baik).
Anda lihat Dengan meloncat-loncat pada ulama satu ke ulama lain maka berkesan yang namanya Sunnah itu sudah diRekayasa.

Keanekaragaman Inkonsistensi.
Penilaian ulama yang berbeda soal hadis akan membuat perbedaan pula terhadap apa itu yang namanya Sunnah. Ulama A berkata hadis ini shahih sehingga dengan dasar ini maka hadis itu adalah Sunnah tetapi Ulama B berkata hadis tersebut dhaif atau bisa saja maudhu’ sehingga dengan dasar ini hadis itu tidak layak disebut Sunnah. Pernah dengar hadis2 yang kontradiktif misalnya nih hadis yang melarang menangisi mayat dan hadis yang membolehkan menangisi mayat. Atau hadis-hadis musykil yang begitu anehnya:
  • Nabi Musa telanjang mengejar pakaiannya yang dibawa lari sebongkah batu.
  • Nabi Musa menampar malaikat maut sehingga bola mata malaikat itu keluar dan akhirnya Allah SWT mengembalikan bola matanya.
  • Hadis yang menjelaskan Nabi SAW berhubungan dengan 9 istrinya dalam satu malam.
  • Hadis yang menjelaskan Nabi SAW menikahi anak berumur 9 tahun.
Dan masih ada yang lain, semuanya itu hadis-hadis yang Shahih. Belum lagi Sunnah yang diyakini dalam mahzab-mahzab tertentu. Bagi penganut mahzab Syafii, Qunut itu sunnah tetapi bagi mahzab Hanbali dan Salafy Qunnut itu bid’ah yang berarti bukan Sunnah. Jadi apa itu berarti penganut Syafii sudah merekayasa Sunnah?(dengan asumsi mahzab hanbali dan Salafy benar). Dalam mahzab Syiah berpegang pada Ahlul Bait dan menjadikan mereka Syariat adalah Sunnah tetapi bagi mahzab Sunni tidak. Yang anehnya Rekayasa Sunnah ini bahkan sudah terjadi di kalangan sahabat sendiri dimana ada sebagian sahabat yang melarang apa yang sudah ditetapkan dan dibolehkan oleh Nabi SAW salah satunya yaitu Haji tamattu’(Baca website: Secondprince) (dan bagi Syiah termasuk Nikah Mut’ah).

Kesimpulan:
Jadi Rekayasa Sunnah itu sudah jelas dan memang konsekuensi dari ruang waktu yang berbeda. Jangan diartikan ini sebagai penolakan saya terhadap Sunnah. Bukan seperti itu maksud saya, hanya saja saya mengingatkan bahwa banyaknya sesuatu justru mengaburkan sesuatu. Pilihan anda ya mudah saja, tidak peduli dan ikut aman saja dengan Awamisme Sunnah yang artinya anda tetap saja bagian dari Rekayasa Sunnah yaitu Sunnah yang mayoritas ada membudaya di lingkungan anda atau ikut aktif dalam bagian Rekayasa Sunnah baik dengan mengambil inisiatif bergabung dengan golongan tertentu atau justru membuat Rekayasa Sunnah sendiri seperti saya .

Pemecahannya mudah:
“Jangan pernah menganggap Rekayasa sebagai sesuatu yang menyesatkan. Terima itu apa adanya dan cari pemecahan yang terbaik yang bisa anda lakukan”.

Apakah ini buruk? Ngapain sih bahas ini padahal udah deket puasa?. Lho apa hubungannya, memangnya saya sedang bermaksiat? Nggak banget deh . Waduh waduh saya ini mengingatkan anda semua wahai yang mengaku berpegang pada Sunnah. Anda sama-sama punya masalah jadi mari bahu membahu memecahkan masalah. Tidak mau ya sudah dan tidak perlu menghina. Anggap saja saya salah dan cuma cuap-cuap asal, Gampang kan.

Salam Damai
Catatan : Tulisan ini juga sebuah Rekayasa Sunnah jadi pilihan ada pada anda untuk memperhatikan apa yang tersirat atau memasukkannya dalam kotak sampah sambil terus mengutuk.
——————————————————————————————————————————————-

Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (1).

Sikap damai lagi mesra terhadap para pembenci dan pencaci maki Imam Ali dan Ahlulbait serta berbanggga dalam mengandalkan riwayat mereka oleh para ulama hadis Sunni juga diperagakan Bukhari –Imam Besar Hadis, bahkan mungkin diangap Imam teragung-. Dalam kitab Shahihnya yang diyakini keshahihan seluruh hadis di dalamnya oleh ulama Sunni sehingga menjadi pandangan resmi mazhab itu, telah mengandalkan kaum Nawâshib yang sangat membenci Imam Ali as. dan juga mencaci maki dan menghina serta melaknati beliau as. sebagai sumber kepercayaan agamanya. Ia banyak meriwayatkan dari kaum Nawâshib.

Ibnu Hajar dalam Mukaddimah Fathu al Bâri (kitab syarah terbesar atas Shahih Bukhari) menyebutkan daftar nama para perawi hadis yang diandalkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya yang dicacat para ulama. Di antara mereka adalah para perawi yang dicacat karena alasan kenashibian/kebencian kepada Ali dan Ahlulbait.

Di bawah ini –demi menyingkat waktu pembaca- langsung saja saya sebutkan nama-nama mereka beriktu keterangan singkatnya:
  • Tsaur ibn Yazîd ibn Ziyâd al Kilâ’I al Himshi asy Syâmi (w.153 H).

Imam Bukhari telah mengandalkannya dalam menyumbangkan lima riwayat dalam berbagai bab, di antaranya pada bab: al Buyû’ (jual beli), al Jihâd dan Kitab al Ath’imah (makanan), bab Mâa Yuqâlu Idzâ Faragha Min Tha’âmihi (apa yang diucapkan jika selesai makan)[1]. Imam Bukhari menyebutkan jalur darinya demikian: Telah menyampaikan hadis kepada kami Ishaq ibn Yazîd ad Dimasyqi, ia berkata, telah menyampaikan hadis kepada kami Yahya ibn Hamzah, ia berkata telah menyampaikan hadis kepadaku Tsaur ibn Yazîd dari Khalid ibn Ma’dân.

Tsuar Di Mata Ulama hadis Sunni.
Yahya ibn Ma’in berkata, “Aku tidak menyaksikan seorang pun yang meragukan bahwa ia adalah seorang panganut faham Qadariyah. [2]
Ahmad ibn Hanbal berkata, “Tsaur berfaham Qadariyah. Dan adalah penduduk kota Himsh mengusirnya dari kota mereka. [3]
Ibnu Hajar berkata, “Ia datang ke kota madinah maka Malik melaraang orang-orang untuk duduk bersamanya. Ia dituduh berfaham nushb (membenci Imam Ali dan Ahlulbait as.).”
Yahya ibn main berkata, “Ia (Tsaur) sering duduk-duduk bersama kaum yang mencaci maki Ali. Akan tetapi ia sendiri tidak mencaci makinya.” [4]

Ibnu Jakfari berkata:
Pembelaan Yahya ibn Ma’in terhadap Tsuar di atas tidak benar sebab terbukti bahwa Tsaur tidak hanya gemar dan menikmati duduk bersama kaum yang menjadikan caci maki Imam Ali as. sebagai tema dan obyek pembicaraan… akan tetapi ia juga sangat ganas dalam kebenciannya terhadap Imam Ali as.; sahabat termulia dan khalifah keempat di kalangan Ahlusunuhhah, menantu Nabi saw.

Al Ka’bi melaporkan dalam kitab Qabûl al Khbâr bahwa Tsaur setiap kali menyebut Imam Ali as. selalu berkata, “Aku tidak suka orang yang membunuh kakekku.” [5] Dan kakeknya terbunuh dalam peperangan Shiffîn di pihak Mu’awiyah yang disabdakan Nabi saw. (sesuai riwayat Imam Bukhari) sebagai pemimpin kelompok penganjur ke neraka jahannam.!!

Dan pembelaan seperti itu biasa dilakukan terhadap para perawi pujaan mereka…. Karenanya tidak mengherankan jika Anda juga menemukan pujian dan penghargaan atasnya oleh sebagian ulama dan tokoh sentral Sunni, seperti Yahya al Qaththân, yang memujinya dengan: “Aku tidak pernah menyaksikan seorang penduduk kota Syâm yang lebih kokoh riwayatnya darinya.” Atau pembelaan Ibnu Hajar dengan kata-katanya, “Para ulama bersepakat akan ketepatan riwayatnya.”.

Anda berhak bertanya akan keseriusan para ulama Sunni dalam menyikapi para pembenci dan pencaci maki sahabat, yang dalam rancangan konsep mereka siapa pun yang membenci dan apalagi juga dilengkapi dengan mencaci-maki sahabat Nabi saw. mereka kecam sebagai zindiq, fasik, pembohong yang tidak halal didengar hadisnya!! Lalu bagaimana dengan perawi yang membenci dan mencai-maki Imam Ali as.? 
Apakah mereka akan berkonsekuen dalam mengetrapkannya? 
Atau mereka akan melakukan praktik “Tebang Pilih”! 
Jika seoraang perawi mencaci maki Mu’awiyah, ‘Amr ibn al ‘Âsh, Abu Hurairah, Utsman ibn ‘Affân, Umar ibn al Khathtab, atau Abu Bakar misalnya, hukuman itu ditegakkan! 
Jika yang dicaci dan dibenci saudara Rasulullah saw. dan menantu tercintanya; Ali ibn Abi Thalib as. maka seakan tidak terjadi apa-apa! 
Seakan yang sedang dicaci-maki hanya seorang Muslim biasa atau bisa jadi lebih rendah dari itu…. 
Pujian dan sanjungan tetap dilayangkan… 
kepercayaan terhadapnya tetap terpelihara… 
keimanannya tetap utuh… 
bahkan jangan-jangan bertambah karena mendapat pahala besar di sisi Allah kerenanya, sebab semua itu dilakukan di bawah bendera ijtihad dan keteguhan dalam berpegang dengan as Sunnah!!

Mengapa kegarangan sikap dan ketegasan vonis itu hanyaa mereka tampakkan dan jatuhkan ketika yang dicaci-maki dan dibenci adalah sahabat selain Imam Ali as., betapapun ia seorang fasik berdasarkan nash Al Qur’an, seperti al Walîd ibn ‘Uqbah!
Sementara jika Ali as. atau sahabat dekatnya seperti Ammar ibn Yasir, Salman al Farisi, Abu Darr ra. dkk. yang dicaci-maki dan dibenci serta dilecehkan semua seakan tuli dan bisu….
Inilah yang menjadikan pera peneliti menaruh kecurigaan akan ketulusan, kejujuran dan keseriusan para ulama Sunni dalam membela Ali dan keluarga; Ahlulbait Nabi yang suci dan disucikan Allah.
  • Ishâq ibn Suwaid ibn Hubairah at Tamîmi (w.131H)

Imam Bukhari telah mengandalkannya dalam menyumbangkan hadis dalam Kitab ash Shaum (puasa) digandeng dengan riwayat Khâlid al Hadzdzâ’.
Dalam Hadyu as Sâri-nya, Ibnu Hajar menegaskan bahwa “Yahya ibn Ma’in, an Nasa’i dan al Ijli mentsiqahkannya, dan ia mengecam Ali ibn Abi Thalib.”[6]
Ibnu Hajar juga berkata dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb, “Abu al ‘Arab ash Shaqali berkata dalam kitab adh Dhu’afâ’nya, ‘Ia sangat mengecam/membenci Ali. Ia berkata, ‘Aku tidak suka Ali. Ia tidak banyak hadisnya.’ Dan kemudian ia berkomentar, ‘Siapa yang tidak mencintai sahabat maka ia bukan seorang yang tsiqah/jujur terpercaya dan tidak ada kehormatan baginya.’” [7]

Ibnu Jakfari berkata:
Semoga Allah merahmati ash Shaqali dan membalasnya dengan kebaikan atas ketulusannya dalam membela kesucian Imam Ali as.
Akan tetapi yang disayangkan lagi mengherankan adalah sikap sebagian ulama hadis Sunni yang masih sudi mempercayai perawi fasiq dan munafik sepertinya sebagai sumber agama?!
Tidakkah kebenciannya terhadap Imam Ali as. yang mana kecintaan dan kebencian kepadanya telah dijadikan barometer keimanan dan kemunafikan!
Lalu mengapakah Imam Bukhari dan ahli hadis lainnya seperti Muslim, an Nasa’i dan Abu Daud mempercayainya sebagai penyambung lidah suci Rasulullah?
Mengapakah Imam Bukhari mempercayainya dan menjadikannya hujjah yang menyambungkan dirinya dengan Allah, sementara ia tidak sudi meriwayatkan dari putra teladan Ahlulbait; Imam Ja’far ash Shadiq as. dan meragukannya?
Adilkan sikap mereka itu?

Mereka Bangkit Geram Jika Selain Ali as. Yang Dikecam!
Benar seudaraku –semoga Allah merahmati Anda- bahwa jika yang dikecam itu selain Imam Ali ibn Abi Thalib as. maka mereka tidak akan ragu-ragu untuk spontan menjatuhkan vonis garang atas pelakunya… 
Perhatikan caci-maki dan luapan kemarahan adz Dzahabi atas al Hafidz Ibnu Khirâsy –kendati tadinya ia mensifatinya dengan beragam pujian akademik seperti al Hâfidz/sangat hafidz yang dalam lagi luas pengetahuannya. Lalu setelanya ia menuduhnya sebagai penganut faham Syi’ah dan membuat-buat riwayat tentang kejelakekan Abu Bakar dan Umar… 
setelah itu semua ia mengalamatkan kecamanannya atas Ibnu Khirâsy dengan kata-kata, “Engkau adalah seorang Zindiq, penentang kebenaran/al Haq. Semoga Allah tidak pernah meridhaimu. Ibnu Khirâsy mati menuju selain raahmat Allah tahun 283 H.” [8]

Demikian pula dengan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb ketika menyebut biografi Janâb al Asadi, ia menyebutkan bahwa  ad Dûri menukil Yahya ibn Ma’in berkata tentangnya, “Ia (Janâb) adalah seorang yang jelek. Ia mencaci Utsman…
Ahmad ibn Hanbal berkata, “Ia adalah seorang yang jelek pendapatnya.
Ibnu Hibbân berkata, “Tidak halal meriwayatkan hadis darinya.”
Ad Dâruquthni berkata, “Ia adalah seorang yang jelek, berfaham Syi’ah yang kental. Ia mencaci-maki Utsman.”
Al Hakim berkata, “Yahya dan Abdurrahman meninggalkan meriwayatkan hadis darinya, dan keduanya telah berbuat baik, sebab ia mencaci-maki Utsman. Dan barang siapa mencaci seorang sahabat maka ia pantas untuk tidak diambil riwayatnya.

Lebih dari itu, ada sebuah kenyataan yang lebih menyakitkan hati para pecinta Ahlulbait Nabi as… 
di mana mereka bermesraan dengan para pembenci Imam Ali as. dan mereka yang mencaci-makinya serta melaknatinya…
Namun terhadap seorang parawi yang sekedar bersikap kurang menghormat kepada seorang ulama kebanggaan mereka 
- bukan seorang sahabat besar!
- hanya seorang ulama! 
Mereka segera beramai-ramai mengecamnya! 
Bahkan melaknatinya!

Banyak contoh kasus dalam hal ini, akan tetapi saya hanya akan menyebutkan sekelumit saja.
Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb ketika menyebut biografi Husain al Karâbisi, ia berkata, “Berkata al Khathib, ‘Hadisnya jarang sekali, sebab Ahmad ketika berbicara tentang masalah Lafadz (ucapan/bacaan) Al Qur’an (apakah ia qadim atau makhluq), al Karâbisi menyalahkan Ahmad, maka para ulama menjauhi dari mengambil riwayat darinya. Dan ketika sampai kepada Yahya ibn Ma’in berita bahwa ia berbicara menyalahkan Ahmad, ia melaknatinya. Dan ia berkata, ‘Alangkah laiknya ia untuk dicambuk.’”

Sementara itu mereka juga mengatakan bahwa keyakinan Husain al al Karâbisi dalam masalah ini adalah bahwa bacaan kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah hâdits/bukan Qadîm. Keyakinan itu sama persis dengan yang diyakini oleh banyak tokoh ulama hadis Sunni, seperti Imam Bukhari, Hârits al Muhâsibi, Muhammad ibn Nashr al Marwazi dll.

Subhanallah. Imam Ali dikecam, mereka terdiam! Sementara Ahmad ibn Hanbal disalahkan mereka bangkit melaknati yang menyalahkannya!!

Contoh kedua adalah pembelaan ulama Sunni terhadap Ibnu Mubârak. Ibnu Hajar dalam Tahdzîb at Tahdzîb berkata ketika menyebut biografi Ibnu Mubârak, “Aswad ibn Salim berkata, “Jika engkau melihat seorang menceloteh Ibnu Mubârak maka curigai kemurnian Islamya!.”

Membongkar contoh-contoh kasus dalam masalah ini akan menjadi panjang pembicaraan kita… 
Maka kami cukupkan sampai di sini.

Referensi:
[1]Shahih Bukari,7/106.
[2] Mîzân al I’tidâl,1/374, biografi no.1406. Pernyataan Yahya di ataas juga disebutkan oleh Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Damasqusnya,11/183/1058.
[3] Ibid.
[4] Hadyu as Sâri (Muqaddimah Fathu al Bâri),2/148. cet. Maktabah al Kulliyât al Azhâriyah-Kairo.
[5] Qabûl al Khbâr,2/158, Thabaqât; Ibnu Sa’ad,7/467.
[6] Hadyu as Sâri,2/143.
[7] Baca juga Hadyu as Sâri,2/143
[8] Baca Biografi al Hafidz Ibnu Khirâsy dalam kitab Tadzkiratul Huffâdz; adz Dzahabi.
—————————————————————————————————————————-

Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (2)

Seperti Anda telah saksikan data-data dua perawi munafik yang membenci Imam Ali as. namun demikian keduanya tetap menjadi tempat kepercayaan Bukhari dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad saw…. Kini pembaca kami ajak mengenali perawi kebanggaan Bukhari lainnya, yang tidak kalah munafiknya di banding dengan dua parawi sebelumnya. Di adalah:

Harîz ibn Utsman al Himshi (w. 163 H).
Perawi yang sangat membenaci Imam Ali as. lainnya yang diandalkan dan dibanggakan Bukhari serta ia percaya sebagai penyambung lidah suci Rasulullah saw. adalah Harîz ibn Utsman al Himshi. Seorang gembong kaum munafikin yang sangat membenci Imam Ali as. Bukhrai meriwayatkan hadis pada bab al Manâqib dari Harîz ibn Utsman melalui jalur sebagai berikut:
1) Dari Ali ibn Ayyâsy, dan
2) Dari ‘Ishâm ibn Khâlid yang meriwayatkan dari Abdullah ibn Busr dan Abdul Wâhid ibn Abdullah an Nashri.

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Gembong Nawâshib!
Kenashibian Harîz tidak samar bagi semua pengkaji yang akrab dengan kajian sejarah para perawi hadis. Ia sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya melaknati beliau as. di berbagai kesempatan, khususnya dalam wirid harian seusai shalat!! Tidak cukup itu, ia juga tidak segan-segan memalsu hadis yang menyelek-jelekkan Imam Ali as.

Data-data di bawah ini cukup sebagai bukti:

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Pelaknat Imam Ali as.!
Ditanyakan kepada Yahya ibn Shaleh, “Mengapa Anda tidak menulis hadis dari Harîz? Ia menjawab, ‘Bagaimana aku sudi menulis hadis dari seorang yang selama tujuh tahun aku salat bersamanya, ia tidak keluar dari masjid sebelum melaknat Ali tujuh puluh kali.’“[1]

Ibnu Hibban juga melaporkan, “Ia selalu melaknat Ali ibn Abi Thalib ra. tujuh puluh kali di pagi hari dan tujuh puluh kali di sore hari”. Ketika ia ditegur, ia mengatakan, “Dialah yang memenggal kepala-kepala leluhurku.”[2]

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Pemalsu Hadis!
Dan tentang keberaniannya memalsu hadis, ikuti laporan Ismail ibn Iyasy berikut ini, ia berkata, “Aku mendengar Harîz ibn Utsman berkata, ’Hadis yang banyak diriwayatkan orang dari Nabi bahwasannya beliau bersabda kepada Ali, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa”, itu benar tetapi pendengarnya salah dengar. Aku bertanya, “Lalu  redaksi yang benar bagaimana? Ia berkata, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Qarun di sisi Musa”. Aku bertanya lagi, “Dari siapa kamu meriwayatkannya?” ia berkata, “Aku mendengar Walîd ibn Abd. Malik mengatakannya dari atas mimbar”.[3]

Ibnu Hajar berkata, “Al Azdi dalam kitab adh Dhu’afâ’ melaporkan bahwa “Harîz ibn Utsman meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. hendak menaiki baghelnya[4] datanglah Ali lalu  melepaskan pelananya agar beliau jatuh.” Setelahnya al Azdi berkomentar, “Seorang yang seperti ini keadaannya tidak pantas diambil riwayatnya.” Akan tetapi Ibnu Hajar –seperti kebiasaannya- berusaha membela Harîz –si pemalsu hadis itu dengan mengatakan, “Mungkin Harîz mendengar kisah itu dari al Walîd.”[5]

Al Jauhari juga melaporkan kepada kita dengan sanadnya bersambung kepada Mahfûdz, Ia berkata, “Aku bertanya kepada Yahya ibn Shaleh Al Wahadhi, ‘Kamu telah meriwayatkan dari para guru sekelas Harîz, lalu  mengapakah kamu tidak meriwayatkan  dari Harîz?’ Ia berkata, ‘Aku pernah datang kepadanya lalu ia menyajikan buku catatannya, lalu  aku temukan di dalamnya, Si fulan telah menyampaikan hadis kepadaku dari fulan… bahwa Nabi saw. menjelang wafat beliau berwasiat agar tangan Ali ibn Abi Thalib di potong.”. Maka aku kembalikan buku itu dan aku tidak menghalalkan diriku meriwayatkan darinya!!.[6]

Hadis palsu riwayat Harîz inilah yang disinggung dalam laporan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb, kendati ia tidak membongkarnya karena dianggap tidak layak disebutkan. Ibnu Adi berkata, “Yahya ibn Shaleh al Wahhâdhi berkata, ‘Harîz ibn Utsman mendektekan kepadaku dari Abdurrahman ibn Maisarah dari Nabi saw. sebuah hadis yang menjek-jelekan Ali ib Abi Thalib yang tidak layak disebutkan. Sebuah hadis yang sangat munkar, tiada meriwayatkan semisalnya melainkan orang yanmg tidak bertaqwa kepada Allah. Al Wahhadhi, “Maka ketika ia menyampaikan hadis itu kepadaku, aku tinggalkan dia.”[7]
 
Ibnu Jakfari berkata:
Jika demikian keadaan dan kebusukan jiwa Harîz ibn Utsman … dan jika demikian kualitas kejujurannya… dan jiika para gembong kaum munafikin seperti al Walîd sebagai masyâikh kebanggaan Harîz yang juga dibangggakan Adu Daud dkk. maka apa yang dapaat dikatakan kepada para ulaama itu, khusunya Bukhari yang dengan bangga meriwayatkan dan menghiasi kitab tershahihnya setelah al Qur’an al Karîm dengan riwayatnya? Masihkan kita meragukan bahwa dunia hadis Sunni sedang menghadapi masalah besar dengan mengandalkan kaum munafikin sebagai sumber kepercayaaan dalam agama?!

Dan denga demikian pula apa nilai ucapan dan pembelaan Ibnu Hajar terhadap kaum Nawâshib ketika ia mengatakan, “Dan yang terbanyak dari mereka (para perawi) yang disifati dengan kenashibian -kebencian kepada Imam Ali dan Ahlulbait as.- dikenal akan kejujuran tutur katanya dan konsisten berpagang teguh dengan aagama. Berbeda dengan mereka yang disifati dengan kerafidhian, rata-rata mereka itu adalah pembohong yang tidak berhati-hati dalam menyampaikan berita… “[8] 

Tidakkah keberanian Harîz daalam memalsu hadis atas nama Nabi mulia saw. sudah cukup sebagai bukti ketidak benaran pernyataan mumbang Ibnu Hajar di atas?! Dimanakah kejujuran yang ia banggakan dari kaum Nawâshib itu? Di manakah keteguhan keregamaan mereka yang ia banggakan? Apakah melazimkan melaknat Ali as. setiap selesai shalat yang ia jadikan dzikir harian itu yang dimaksud dengan keteguhan dalam beragama?

Ulama Hadis Ahlusunnah Membela Dan Mentsiqahkan Harîz ibn Utsman al Himshi!
Semua itu tidak rahasia lagi… Akan tetapi yang benar-benar mengeharkan adalah ternyata tidak sedikit tokoh-tokoh besar hadis Ahlusunnah menegaskan ketsiqahannya. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Ia tsiqah, Ia tsiqah, ia tsiqah!”[9]

Di sini, seperti Anda saksikan, Imam Ahmad (seorang tokoh terkemuka empat Mazhab Sunni) tidak cukup sekali dalam mengapresiasi kejujuran dan keadilan Harîz. Ia mengulanginya tiga kali. Menyematkan gelar tsiqah kepaada seorang perawi adalah puncak pengandalan. Dan lebih dari kata tsiqah, apabila kata itu diulang dua apalai tiga kali.

Itu artinya Harîz benar-benar menempati tempat istimewa dalam jiwa Imam besar Ahhlusunnah. Selain Ahmad, Yahya ibn Ma’in dan para imam hadis Sunni juga mentsiqahkannya. Demikian ditegaskan Ibnu Hajar dalam Hadyu as Sâri-nya.

Abu Hatim menegaskan bahwa tidak ditemukan di kota Syam seorang parawi yang lebih kokoh darinya.
Ibnu Adi berkata, ‘Ia tergolong parawi kota Syam yang tsiqat/jujur terpercaya.”
Ahmad ibn Abi Yahya menukil Imam Ahmad sebagai mengakatan, “Ia (Harîz) seorang yang shahih hadisnya, hanya saja ia mencaci maki Ali.”.

Al Ijli berkata, “Ia (Harîz) seorang penduduk kota Syam yang tsiqah. Dan ia mencerca dan mencaci maki Ali. Ia menghafal hadisnya.”
Dalam kesempatan lain ia berkata, “Ia kokoh riwayatnya dan ia sangat membenci Ali.”
Ibnu Ammâr berkata, “Para ulama menuduhnya mencaci maki Ali, namun mereka tetap saja meriwayatkan hadis darinya, berhujjah dengannya dan tidak membuangnya.”.

Tidak cukup itu, para ulama Ahlusunnah mentsiqahkan seluruh guru/masyâikh Harîz. Al âjuri meriwayatkan Abu Daud berkata, “Masyâikh Harîz seluruhnya adalah orang-orang jujur terpercaya/tsiqât.”.
Duhaim berkata menyebutkan Harîz, “Ia seorang dari kota Himsh , bagus sanadnya, dan shahih hadisnya.” Dalam kesempatan lain ia berkata, “Harîz adalah tsiqah.”.
Dan masih banyak komentar lain sengaja saya tinggalkan….

Seorang Dajjal Kini Berubah Menjadi Dikultus!
Seperti telah diketahui bersama bahwa para ulama Ahlusunnah begitu keras sikap mereka terhadap siapa saja yang berani menyebtuh garis merah kehormatan sahabat Nabi saw. … 
Mereka mengeluarkan “surat keputusan bersama/SKB” yang menvonis dajjal, zindiq dan kafir bagi siapapun yang berani mencaci para sahabat (dan perlu Anda ketahui bahwa dengan sekedar menyebut kesalahan dan/atau penyimpangan mereka saja –tanpa disertai cacian- sudah dianggap mencaci maki sahabat).

Fatwa Sadis Abu Zur’ah!
Abu Zur’ah –seorang tokoh terkemuka Ahlusunnah, guru agung Imam Muslim- telah mengeluarkan fatwa sadis namun saying tidak serius dalamm menjalankannya!. Ia barkata, “Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq.”[10]
 
Akan si dajjâl yang zindiq itu segera akan berubah menjadi seorang parawi tersanjung apabila ia mengalamatkan laknatannya (bukan lagi sekedar kritikan atau cacian semata) kepada manusia pertama yang memeluk Islam, sahabat paling berjasa dalam Islam dan pribadi agung yang paling dicintai Nabi saw…. semuanya akan berubah statusnya jika yang dicaci maki dan yang dilaknati itu adalah Imam Ali as.! Si dajjal kini pasti berubah menjadi manusia suci! Si Zindiq segera berubah menjadi “Pembela dan Pendekar Sunnah”!

Apa yang kami katakana buikan sekedar teori belaka, tetapi data-data yang ada sepenuhnya mendukung kebenaran dan kevalidannya.

Coba Anda perhatikan data di bawah ini- tapi tolong Anda rahasiakan dokumen ini demi menjaga kemantapan keberagamaan kaum awam terhadap mazhab mereka dan agar keimanan mereka kedapa kesucian para ulama tidak guncang!! Dan kami masih memiliki segudang datav rahasia lainnya, nantikan!!

Ketika para ulama Ahlusunnah, di antaranya al Khathîb al Baghdâdi, ketika menyebutkan biografi Talîd ibn Sulaimân al Muhâribi al Kûfi (w.190 H), di antaranya menyebutkan pernyataan bersejarah Yahya ibn Ma’în yang kemudian dijadikan pedoman seakan ia wahyu segar yang baru dibawa turun malaikat Jibril as. dari langit ke tujuh. Yahya berkata, “Talîd adalah seorang kadzdzâb/pembohong kelas kakap, ia mencaci maki Utsman. Dan setiap yang mencaci Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah Dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, laknat para malaikat dan laknat seluruh manusia!.”[11]

Ibnu Jakfari Berkata:
Tidaklah salah jika ada yang bertanya kepada Tuan Ibnu Ma’in, mengapakah Anda tidak tergugah bangkit marah “demi membela agama” ketika Imam Ali as. dilaknati oleh seorang perawi? Justeru Anda menyumbangkan kata-kata pujian sebagai bentuk kepercayaan dan penghargaan!
Apakah Imam Ali as. halal untuk dilaknati dan dicaci maki?

Dan benar-benar membuat tidak habis-habis keterheran-heranan kita adalah mereka mentsiqahkan sementara pada waktu yang sama mereka yang mengatakan bahwa harîz sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya maknati beliau as.! Sungguh membingungkan! Andai ketika mentsiqahkan kaum Nawâshib/para pembenci Imam Ali dan keluarga suci Nabi saw., seperti Harîz para ulama Sunni itu merahasiakan keterangan tentang kebencian dan pelaknatan mereka (Nawâshib) itu! Tapi yang mengehankan dan mungkin juga menyakitkan sebagian kaum Mukminin adalah mereka sengaja menyebutkan kedengkian si perawi tertentu kepada Imam Ali as., tetapi mereka tetap dengan sengaja mentsiqahkannya! Mungkin itu sebagai sikap pamer sikap ideologis yang mereka tampilkan! Allah A’lam.

Kesucian Mu’awiyah Garis Merah Di Mata Ulama Ahlusunnah!
Lebih dari itu, meyakini kesucian Mu’awiyah dari segala bentuk dosa dan penyimpangan adalah sebuah kewajiban agama yang mana akan menjadi gugur keimanan atau paling tidak keadilan seorang jika ia meragukannya atau mencacinya!

Perhatikan sekalim lagi apa yang diabadikan para ulama Sunni dalam laporan mereka seperti di bawah ini:
Imam Ahmad ibn Hanbal menggugurkan keadilan Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya karena ia mendengarnya menyebut-nyebut kejelakan Mu’awiyah ibn Abu Sufyân. Tidak cukup itu, ia (Ahmad) memaksa Yahya ibn Ma’in agar menggugurkan keadilannya dan menghentikan meriwayatkan hadis darinya. Ahmad mengutus seorang utusan khusus untuk menemui Yahya dan menyampaikan pesannya:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu Ahmad ibn Hanbal menyampaikan salam atasmu dan berkata, ‘Inilah dia kamu berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sedangkan aku dan kamu mendengarnya menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Kini aku sedah meningggalkan meriwayatkan hadis darinya.’”[12]

Ibnu Jakfari:
Subhanallah, menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah menggugurkan keadilan seorang perawi, sementara seorang perawi yang siang malam melaknati Imam Imam Ali as. digelarinya dengan Tsiqah! Tsiqah! Tsiqah! (3X)! mengapa? Apakah Mu’awiyah maksum, sehingga ia tidak mungkin berbiah kejahatan, dosa dan kesalahan?

Tidakkah perintah melakinati Imam Ali as. di dalam setiap kesempatan kegamaan atau kenegaraan oleh Mu’awiyah itu bukan sebuah kejahatan dan kemunafikan yang haram untuk dibongkar dan disebut-sebut?
Bukankah pembantaian yang dilakukan Mu’awiyah terhadap para sahabat Nabi saw. dan parav pecinta dan pengikut setia Imam Ali as. seperti Hujr ibn Adi dkk. bukan sebuah kejahatan? Tidakkah ketetapan Allah SWT atas yang membunuh seorang Mukmin itu neraka jahannam?!

Bukankah Nabi saw. –seperti diriwayatkan Bukhari sendiri- bersabda bahwa Mu’awiyah dan kelompoknya adalah du’âtun ilan nâr/pengtanjur kea pi neraka?! Lalu mengapakan menyebut-nyebut kejelekan panagnjur kea pi neraka dihukimi gugur keadilannya? Sementara melaknati Imam Ali as. mendapat “ajungan jempol”?!

Semoga nukilan atas nama Imam Ahmad itu hanya sebuah kepalsuan belaka yang dibuat-buat oleh kaum Nawâshib yang mebawa-bawa nama besar Imam Ahmad untuk melegalkan kesesatan mereka!

Referensi:
[1] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tarikh Damaskus,12/349.
[2] Al MajRûhuun,1/268.
[3]Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tahdzîb al Kamâl,5/577, Tarikh Baghdad.8,268 dan Tarikh Damaskus,12/349.
[4] Baghel adalah peranakan antara kuda dan keledai.
[5] Tahdzîb al Tahdzîb,2/207.
[6] Syarh Nahj al Balâghah; Ibnu Abi Al Hadid al Mu’tazili,4/70.
[7] Tahdzîb at Tahdzîb,2/207.
[8] Ibid.8/410.
[9] Tahdzîb al Kamâl,5/175.
[10] Ash Shawâiq al Muhriqah;Ibnu Hajar al Haitami, Penutup:211.
[11] Târikh Baghdâd,7/145, biografi no.3582.
[12]Ibid. 14/427.

Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!! (3)

Gembong munafik lain yang dibanggakan riwayatnya oleh Bukhari dan para ulama hadis Sunni lainnya adalah‘Imrân ibn Haththân.

4) Imrân ibn Haththân -Gembong Kaum Khawârij-.
‘Imrân ibn Haththân. Nama lengkapnya adalah ‘Imrân ibn Haththân ibn Dhabyân al Bashri (w.84H). karenanya sebagian ulama Sunni, seperti Ibnu Hajar harus membelanya dengan segala cara dan dengan segala resiko yang mungkin menimpa dunia hadis Sunni, walaupun dengan menjungkir balikkan norma-norma keagamaan dan menelantarkan kaidah-kaidah yang mereka bvangun sendiri!

Apapun yang akan terjadi dan seburuk apapun resiko yang akan terjadi ‘Imrân tetap harus dibela. Seribu satu uzur akan dicarikan…. Sebab Bukhari –imam besar Ahli Hadis- telah meriwayatkan hadis darinya dan mengandalkan pengambiilan ajaran agama darinya!!

Bukhari telah meriwayat hadis dari ‘Imrân ibn Haththân dalam bab tentang mengenakan pakaian sutra dengan sanad  Muhammad ibn Basysyâr….. dari Yahya ibn Abi Katsîr dari‘Imrân ibn Haththân, ia berkata, ‘Aisyah ditanya tentang sutra…. “[1] sementara para ulama menegaskan bahwa ia tidak pernah mendengar barang satu hadis pun dari A’isyah!

Al ‘Uqaili berkata, “‘Imrân ibn Haththân hadisnya tidak terdukung oleh perawi jujur lainnya. Ia meyakini pandangan kaum Khawârij. Ia menyampaikan hadis dari A’isyah sementara tidak terbukti ia pernah mendengar hadis darinya.” Demikian juga, Ibnu Abdil Barr memastikan bahwa ‘Imrân ibn Haththân tidak pernah mendengar hadis dari ‘Aisyah.[2]

Siapa Sejatinya ‘Imrân ibn Haththân Ini?
Tidak diragukan lagi, semua tau bahwa ‘Imrân ibn Haththân adalah gembong sekte sesat Khawârij dari kelompok al Qa’diyah. Lebih dari itu ia adalah seorang penganjur kepada aliran sesatnya. Dialah yang menggubah bait-bait syair memuji dan meratapi si pembunuh Imam Ali ibn Abi Thalib as. di antaranya adalah bait di bawah ini:


يا ضربة من تقي ما أراد بها * إلا ليبلغ من ذي العرش رضوان

إني لأذكره حينا فأحسبه * أوفى البرية عند الله ميزانا

“Duhai pukulan dari seorang yang bertaqwa yang tidak ia lakukan ** melainkan agar mencapai keridhaan Allah pemilik Arsy.
Setiap kali aku mengingatnya aku yakin bahwa ** ia adalah orang yang paling berat timbangan kebajikannya di sisi Allah.

Ibnu Jakfari berkata: Tidak diragukan lagi bahwa bait-bait syair itu sangat menyakitkan hati Rasulullah saw. dan hati Ali ibn Abi Thalib as. lebih dari pukulan Abdurrahman ibn Muljam  (pembunuh Ali as.) itu sendiri! Bagaimana tidak?

Dan termasuk kurang hormat kepada Nabi dan Ali apabila kita menyebut-nyebut nama-nama musuh Ahlulbait as. seperti Ibnu Muljam, Imrân ibn Haththân, Umar ibn Sa’ad, Ziyâd, Mu’awiyah tanpa dibarengi dengan kutukan dan laknatan.

Pembelaan Ulama Hadis Sunni Terhadap ‘Imrân ibn Haththân.
Semua bukti kemunafikan ‘Imrân ibn Haththân telah diketahui ulama hadis Sunni, namun demikian mereka tetap berusah dengan sekuat tenaga membela dan mencarikan uzur untuknya. Dan sikap ulama Sunni yang membanggakan kejujuran tutur katanya dan mengandalkannya dalam urusan agama itu yang kami sayangkan! Imam Bukhari telah mempercayainya dalam meriwayatkan hadis dalam kitab Shahihnya! Demikia juga dengan Abu Daud dan an Nasa’i.

Al Ijli mentsiqahkannya. Untuk lebih lengkapnya saya akan terjemahkan keterangan dan pembelaan Ibnu Hajar terhadap ‘Imrân ibn Haththân dalam mukaddimah Fathu al Bârinya.

Ibnu Hajar berkata, “(Kh –Bukhari-, D –Abu Daud-, S –An Nasa’i-)‘Imrân ibn Haththân as Sudûsi, seorang penyair kondang. Ia berfaham Khawâirij. Abu Abbas al Mubarrad berkata, ‘‘Imrân ibn Haththân adalaah gembong/pinpinan, penyair dan khathib/juru dakwah sekte al Qa’diyah.’ Al Qa’diyah adalah kelompok sempalan dari sekte Khawârij yang berpandangan tidak perlu memberontak atas penguasa akan tetapi mereka hanya merangsang untuk memberontak. Imrân adalah juru dakwah/penganjur kepada mazhabnya. Dialah yang meratapi Abdurraman ibn Muljam; pembunuh Ali –Alaihi as Salâm/semoga salam Allah atasnya-[3] dengan bait-bait syairnya yang terkenal.

Al Ijli mentsiqahkannya.
Qatadah berkata, ‘Ia (‘Imrân) tidak tertuduh kejujurannya dalam hadis.’
Abu Daud berkata, ‘Tiada di antara penyandang kesesatan yang lebih jujur/shahih hadisnya dari kaum Khawârij.’ Kemudian ia menyebutkan ‘Imrân dan beberapa orang Khawârij lainnya.
Ya’qub ibn Syaibah berkata, ‘Ia sezaman dengan beberapa orang sahabat Nabi. Dan ia di akhir urusannya berfaham Khawârij.’
‘Uqaili berkata, ‘Ia menyampaikan hadis dari A’isyah sementara tidak terbukti ia pernah mendengar hadis darinya.’

Aku (Ibnu Hajar) berkata: “Bukhari hanya meriwayatkan satu hadis darinya dari jalur Yahya ibn Abi Katsir darinya… 
hadis ini diriwayatkan Bukhari dalam mutâba’ah. Di sisi Bukhari, hadis ini punya jalur-jalur lain dari riwayat Umar dan lainnya….

Aku melihat sebagian imam (ulama besar) mengklaim bahwa Bukhari meriwayatkan hadis darinya itu sebelum Imrâm berfamah Khawârij. Dan uzur itu tidak kuat sebab Yahta ibn Abu Katsir itu meriwayatkan hadis darinya di kota Yamâmah di saat Imrân melarikian diri dari kejaran Hajjâj yang mencarinya untuk membunuhnya karena keyakinannya… 
kisah lengkapnya dapat And abaca dalam kitab al Kâmil karya al Mudarrad dan juga dalaam kitab-kitab lainnya. Abu Bakaar al Mûshili menceritakan bahwa Imrân telah insaf/meninggalkan famah Khawarij di akhir usianya. Jika ini benar maka iaa adaalaah uzur yang bagus.”[4]

Ibnu Jakfari berkata: Kisah kembalinya Imrân dari faham Khawârij adalah sesuatu yang tidak berdasar
Adapun pembelaan Ibnu Hajar terhadap Bukhari bahwa ia meriwayatkan hadis itu dari ‘Imrân hanya dalam mutâba’ah yaitu hadis yang diriwayatkan sekedar untuk menjadi pendukung untuk menguatkan hadis dari jalur lain adalah pembelaan yang mengada-ngada!! Sebab apa perlunya mendukung sebuah hadis dengan membawakan hadis dari riwayat ‘anjing nereka’ seperti ‘Imrân?

Adu Daud Membongkar Rahasia Ulama Hadis Sunni!
Dan dengan memerhatikan pernyataan sumbang Adu Daud din atas: Tiada di antara penyandang kesesatan yang lebih jujur/shahih hadisnya dari kaum Khawârij, Anda berhak curiga bahwa tenyata sepertinya tidak hanya Imrâm ibn Haththân saja yang mereka banggakan dan percayai sebagai penyambung lidah suci nabi Muhammad!! Akan ntetapi seluruh kaum Khawârij adalah kelompok andalan dalam menyampaikan hadis Nabi saw. karena mereka adalah kelompok paling jujur dalam bertutur kata dan meriwayatklan hadis Nabi saw.!

Sungguh luar biasa “kehati-hatian” ulama hadis itu sehingga mereka bangga meriwayatkan hadis dari anjing-anjing neraka![5]

Jika seorang gembong Khawârij yang sesat yang menyesatkan seperti Imrân diyakini kejujurannya, maka sepertinya kita perlu mendefenisikan ulang kata jujur dan kejujuran! 
Jika ada yang membanggakan membangun agamanya dari riwayat-riwayat kaum munafikin maka apa yang bisa dibayangkan tentang kualitas bangunan agama itu?

Inikah yang dibanggakan sebagian pihak bahwa dunia hadis Sunni telah rapi dan selektif?
Mengapakah Bukhari -imam teragung mereka- dan juga yang lainnya membanggakan riwayat-riwayat seorang Imrân –si gembong kaum munafikin-?

Kenyataan Pahit Nasib Pasar Hadis Sunni!
Ada sebuah kenyataan yang sangat menyedihkan yang dialami oleh dunia hadis Sunni yaitu bahwa pasar hadis Sunni telah dibanjir oleh hadis-hadis dari riwayat kaum sesat daan penyandang hawa nafsu alias kaum ahli bid’ah!

Kendati –dalam teori mereka bersilang pendapat, apakah dibenarkan mengambil riwayat dari kaum pembid’ah (maksudnya selain anggota Ahlusunnah sendiri), ada yang membolehkan asal si pembid;ah itu bukan penganjur kepada ksesataan bid’ah mazhabnya. Namun demikina dalam praktiknya mereka telah benar-benar tenggelam dalam kubangan riwayat kaum pembid’ah bahkan dengan riwayat-riwayat para penganjur kepadaa kesesatan bid’ah mazhabnya! “imrân ibn Haththân adalaah satu dari ratusan nama ahli bid’ah yang hadis riwayatnya telah membanjiri ‘Pasar Hadis Sunni’!

Menyaksikan kenyataan ini apa kira-kira yang tersisa dari keseriusan kata-kata Imam Nawawi dalam mukaddimah syarah Shahih Muslim yang mengatakan bahwa prakti para Salaf dan Khalaf telah tetap bahwa mereka hanya mau menerima riwayat, mendengar memperdengarkan dan berhujjah dengan hadis-hadis riwayat kaum pembid’ah yang bukan penganjur/du’ât? Sementara kitab-kitab dan jalur-jalur periwayatan para imam Ahlusunnah dipenuhi dengan nama-nama gembong panganjur kepada kesesatan bid’ah mazhabnya?

Dan menyaksikan kenyataan seperti itu Anda berhak ragu akan kemurnian materi mazhab mereka yang ditegakkan di attas hadis-hadis kaum pembid’ah yang tidak sedikit dari mereka disampin kesesatan bid’ah mereka juga dikenal sebagai pembohong dan pemalsu hadis.

Dan jika mereka (ulama hadis Sunni) telah mengimani bahwa kaum Khawârij adalah orang-orang yang jujur dalam tutur katanya sementara mereka itu adalah kaum munafik… 
kama salahkah jika ada yang menyimpulkan bahwa sebagian dari meteri ajaran Sunni itu adalah produk kaum Khawarij… 
Terlepas dari benar atau palsunya kesimpulan Adu Daud bahwa kaum Khawârij adalah kelompok yang paling jujur… 
terlepas dari itu, sebenarnya aapa yang di katakana adalah membongkar sebuah kenyataan bahwa sebenarnya para ulama Sunni sangat mengandalkan hadis-hadis riwayat kaum Khawârij… 
Adapun tentang apresiasi Adu Daud terhadap kejujuran mereka jelas-jelas sebuah kepalsuan sebab danyataannya adalah sebaliknya… 
kaum Khawârij adalah kaum yang paling benari memalsu hadis demi mendukung kesesatan mazhabnya… 
Dan analis kejiwaaan pun pasti mendukung kesimpulan ini! Sebab siapapun yang membangun akidah/mazhabnya di atas kerapuhan hujjah ia pasti akan sangat membutuhkan kepada hujjah/nash keagamaan yang dapat mendukung mazhabnya. Dan tidak ada peluang yang terbuka lebar bagi para pemalsu yang sedang kelabakan mencari pembelaan untuk mazhabnya melebihi peluang pemalsuan hadis atas nama Nabi saw…. 
dan kita senua yakin bahwa mazhab Khawârij dengan bergabai penyimpangan ajarannya sangat lemah dan karenanya ia sangat membutuhkan kepada hadis… 
karena tidak banyak (kalau kita mengatakan tidak ada) hadis Nabi saw. yang mendukungnya maka jalan satu-satunya adalah memalsu hadis atas nama Nabi saw.!

Ibnu Hajar membongkar sebuah dokumen penting pengakuan seuorang berfaham Khawârij yang telah taubat (yang sepertinya diusahakan oleh sebagian pihak untuk dirahasiaakan) bahwa “Kaum Khawarij jika menyukai sesuatu pendapat ia buatkan hadis yang mendukungnya.” Baca keterangan Ibnu Hajar tentangnya dalam Tahdzîb at Tahdzîb ketika ia menyebutkan biogafi Qadhi Abdullah ibn ‘Uqbah al Mishri yang dikenal dengan nama Ibnu Luhai’ah.


Referensi:
[1]Shahih Bukhari, Kitab al Libâs, hadis dengan nomer.5387.
[2]
[3] Sebagian pembenci Syi’ah Ahlulbait as. –yang selalu bekerja siang malam untuk memecah belah kesatuan kaum muslimin dan menghasut agar tejadi permusuhan antara Syi’ah dan Ahlusunnah selalu bergegas menjulurkan lidah beracunnya menuduh siapapun yang mengucapkan ‘Alaihi as Salâm/semoga salam Allah atasnya’ setelah menyebut nama Imam Ali sebagai Syi’ah!! Jadi apakah sekarang mereka akan mengarahkan panah pecarun mereka ke jantung Ibnu Hajar dan menuduhnya sebagai Syi’ah kerena beliau menyebutkannya?!
[4] Hadyu as Sâri; Muqaddimah Fahil Bâri,2/186-187.
[5] Dalam banyak hadis yang dishahihkan ulama Sunni sendiri diriwayatkan bahwa Nabi saw. menyebut kaum Khawarij sebagai Kilâb Ahli an Nâr/ anijng penghuni neraka!

Siapa lebih unggul hadis Sunni ataukah hadis syi’ah imamiyah ??? 

Pada masa khalifah Mutawakkil sedang memuncak periwayatan hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli dan mana yang palsu…
Pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah ahlul hadis. Paham ini didukung negara sehingga hadis hadis sunni menjadi mudah di intervensi dengan penambahan penambahan yang di lakukan ULAMA ULAMA BUDAK kerajaan.
Ahlul hadis hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadis hadis yang ada tidak ada jaminan 100% akurat  dari Nabi SAW.
Karena fanatisme mazhab, orang orang pada masa tersebut mengarang ngarang hadis agar mazhab nya tetap tegak.
Dulu kita tidak tahu, tetapi kini di era informasi semakin mudah didapat bukti bukti…
Kenapa syi’ah imamiyah hanya mau menerima sebagian hadis hadis sunni ???

Jawab :
1. Hadis sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan padahal masih dalam satu kitab hadis yang sama.
2. Hadis hadis sunni diriwayatkan dengan makna, bukan dengan lafaz.
3. Hadis hadis sunni diriwayatkan dengan daya ingat perawi, jadi kata perkata nya belum tentu 100% asli dari Nabi SAW.
4. Tidak ada jaminan hadis hadis sunni tidak mengalami perubahan dan pemalsuan, kitab kitab selain Al Quran pasti ada benar dan ada salahnya tanpa kecuali, gawatnya Shahih Bukhari Muslim diklaim benar semua !! wah wah


PERTANYAAN DARi TANDUK SETAN DARi NAJAD:
website salafi wahabi menulis sbb : “
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 644 (1.5%) saja riwayat yg sanadnya sampai ke Nabi?
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 690 saja riwayat yg sampai ke Imam Ali?
-44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah tidak ada satupun riwayat yg sampai ke Sayyidah Fatimah?
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 21 saja riwayat yg sampai ke Imam Hassan?
– 44.000 riwayat dari kutubul arba’ah syi’ah cuma 7 saja riwayat yg sampai ke Imam Hussein?

Sedangkan di 9 kitab hadits Sunni:
- Imam Ali ra = 1.583 riwayat
- Abu Bakar ra = 210 riwayat
- Umar bin Khattab ra = 977 riwayat
- Utsman bin Affan ra = 313 riwayat
- Fatimah ra = 11 riwayat
- Hasan bin Ali ra = 35
- Hussein bin Ali ra = 43

Terlihat, kitab2 Sunni lebih banyak meriwayatkan hadits dengan sanad sampai kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wassalam dan Ahlul Bait Utama beliau daripada kitab2 hadits Syiah… why???

“Mayoritas hadits dalam Al Kafi adalah Ahad yang tidak dapat dijadikan pegangan dalam masalah akidah –menurut syi’ah sendiri.. Jumlah riwayat yang ada dalam empat kitab syi’ah di atas adalah 44 ribu riwayat lebih sedikit, tetapi riwayat yang berasal dari Nabi SAW hanya ada 644, atau hanya sekitar 1.5 % saja. Itu saja banyak yang sanadnya terputus dan tidak shahih.. Yang lebih mengherankan, dalam kitab Al Kafi yang haditsnya berjumlah 16199, hanya ada 92 riwayat dari Nabi SAW, sementara riwayat dari Ja’far As Shadiq berjumlah 9219.
Sementara riwayat dari Ali bin Abi Thalib dalam empat kitab syi’ah di atas hanya berjumlah 690 riwayat, kebanyakan terputus sanadnya dan tidak shahih, sepertinya fungsi pintu ilmu sudah diambil alih oleh orang lain…Sementara riwayat dari Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang ada dalam empat literatur utama hadits syi’ah hanya berjumlah 21 riwayat…Empat kitab literatur utama hadits syi’ah tidak memuat riwayat dari Fatimah Az Zahra..Riwayat Imam Husein yang tercantum dalam empat literatur utama hadits syi’ah hanya berjumlah 7 riwayat saja.”

Jawaban:
Itu akibatnya kalau belajar syiah dari ulama salafy. Sebagusnya meneliti syiah kalau memang mau ya dari orang syiah sendiri. MEREKA BERDUSTA !!!!!!!! 
MEREKA BERDUSTA !!!!!!!!!!!
Tidak benar apa yang mereka sampaikan !!!!!!!! 
Sebagai ulama syi’ah yang sudah bertahun tahun belajar syi’ah saya mengatakan bahwa: “YANG MEREKA HiTUNG CUMA YANG DiSEBUT NAMA, SEMENTARA YANG MENYEBUT GELAR TiDAK MEREKA HiTUNG, KALAU CARA BEGiNi MENGHiTUNG HADiS JUSTRU DALAM SELURUH KiTAB ASWAJA TiDAK ADA SATUPUN HADiS MUHAMMAD SAW KARENA TiDAK ADA HADiS YANG DiSEBUT DENGAN NAMA NABi TAPi DiSEBUT DENGAN GELAR ‘
ANGKA YANG MEREKA SEBUTKAN DiATAS CUMA YANG DiSEBUT DENGAN NAMA, PADAHAL MASiH BANYAK YANG DiSEBUT DENGAN GELAR !!!!!!!!!!!!!!!!!!

KENAPA BANYAK HADiS DARi Imam Ja’far Shadiq ????? 
Itu wajar karena yang menyampaikan hadis dengan mata rantai sampai ke Nabi SAW kan Imam Ja’far !!!!!!!!!! 
tapi dengan hal ini justru hadis syi’ah lebih terjaga karena disampaikan dari jalur { Nabi SAW- Ali- Hasan- Husain- Zainal- Baqir- Ja’far } mereka adalah keluarga jadi tidak mungkin menipu !!!!!!!!
hadis hadis syi’ah biasanya dengan redaksi misalnya : Dalam Al KAfi ada hadis : Zurarah mendengar Abu Abdillah ( Ja’far Ash Shadiq ) bersabda : Amirul Mu’minin ( Imam Ali ) bersabda “hiburlah hatimu agar ia tidak menjadi keras”.

Hadis seperti tadi banyak dalam kitab syi’ah… 
Yang diteliti adalah sanad dan matannya dari Zurarah sampai dengan Kulayni, sementara dari Imam Ja’far sampai dengan Imam Ali tidak diperiksa lagi karena dari Ja’far sampai dengan Imam Ali sanad nya pasti bersambung oleh tali kekeluargaan dan tidak mungkin Imam Ja’far mendustai ayahnya, kakek, buyut hingga Imam Ali.
Sanad hadis kulaini benar benar otentik karena benar benar bersambung pada Imam Imam hingga Nabi SAW.
Yang meriwayatkan hadis bisa keturunan Nabi SAW yaitu ahlul bait, bisa pengikut atau pendukung ahlul bait dan bisa murid murid ahlul bait….

Bisakah rawi rawi sunni diterima riwayatnya ??? ya bisa asal riwayatnya benar dan orangnya jujur (hanya saja riwayatnya paling tinggi statusnya HASAN).
Adapun hadis hadis dha’if dalam kitab syi’ah bukanlah hadis Nabi SAW tapi ucapan ucapan yang dinisbatkan pada Imam imam… 

Dalam kitab syi’ah tidak ada hadis Nabi SAW yang dha’if apalagi pemalsuan atas nama Nabi SAW
TAPi hadis sunni disampaikan dengan jalur antara mata rantai satu dengan berikutnya dan seterusnya jarang yang ada ikatan keluarga (itrah) tapi diduga hanya saling bertemu…

KALAU MODEL HADiS ASWAJA iNi DALAM METODE Syi’AH DiANGGAP DHAiF ATAU MUWATSTSAQ SAJA KARENA MATA RANTAi SANADNYA HANYA DUGA DUGA !!!!!!!!!!

Hadis Nabi SAW, Imam Ali disampaikan oleh Imam Ja’far secara bersambung seperti :[..dari Abu Abdillah (ja’far) dari Ayahnya ( Al Baqir ) dari kakeknya ( zainal ) dari Husain atau dari Hasan dari Amirul Mu’minin
( Imam Ali ) yang mendengar Nabi SAW bersabda …] ada lebih dari 5.000 hadis

Setahu saya, ulama syiah tidak menjadikan kitab pegangan mereka seperti Al Kafi sebagai kitab yang semuanya shahih oleh karena itu mereka tidak menyebut kitab mereka kitab shahih seperti Sunni menyebut kitab shahih Bukhari dan Muslim. Coba saja hitung hadis yg diriwayatkan oleh Ali misalnya dg hadis yg diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Bukhori, pasti lebih banyak Abu Hurairah. Tidak kurang dari 446 hadis yg berasal dari Abu Hurairah yg terdapat dlm Sahih Bukhori. Sementara hadis Ali cuma 50 yg dianggap sahih atau 1.12 % dari jumlah hadis Abu Hurairah. Padahal Aisyah menuduh Abu Hurairah sbg pembohong dan Umar mengancamnya dg mencambuk kalau masih meriwayatkan hadis2..Apanya yg dirujuk ? Wong Sunni lebih banyak ngambil hadis dari Abu Hurairah dan org2 Khawarij atau dari Muqatil bin Sulaiman al-Bakhi? Kalo ngomong jangan asbun.

Al Kulayni tidak pernah menyatakan semua hadits dalam al kahfi shahih, bisa berarti:
bisa maksudnya adalah: ada yang shahih dan tidak shahih.
Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik.
beliau hanya melakukan koleksi, maka beliau tentunya tidak melakukan penelitian baik sanad ataupun matan dr hadits tsb, krn jika melakukannya maka beliau tentunya akan mengkategorikannya sesuai penelitian beliau (minimal melakukan catatan-catatan).

Jadi 50 % hadis lemah itu bukanlah masalah bagi Syiah, karena mereka memiliki para ulama yang menyaring hadis-hadis tersebut. Kayaknya cuma Mas deh yang menganggap itu masalah.
Saya lebih suka menganalogikan Al Kafi itu dengan kitab Musnad Ahmad atau bisa juga dengan Ashabus Sunan yaitu Sunan Tirmidzi, Nasai Abu dawud dan Ibnu Majah. Tidak ada mereka secara eksplisit menyatakan semua isinya shahih, tetapi kitab mereka menjadi rujukan… 
metode yang dilakukan.

Saya rasa itulah tugas para ulama setelahnya, mereka memberi penjelasan atas kitab Al Kafi, baik menjelaskan sanad hadis Al Kafi … 
…. Artinya bagi saya adalah bahwa secara implisit mereka sudah mengklaim bhw hadits-hadits mereka tulis bukan sekedar koleksi tapi melewati filtrasi dg menggunakan metode yang mereka yakini.

setiap pilihan ada resikonya, cara Bukhari bisa dipandang bermasalah ketika diketahui banyak hadis yang menurut orang tertentu tidak layak disandarkan kepada Nabi tetapi dishahihkan Bukhari, kesannya memaksa orang awam untuk percaya “la kan shahih”. Belum lagi beberapa orang yang mengakui perawi-perawi Bukhari yang bermasalah, jadi masalah selalu ada.

tidak ada yg mengatakan alkulayni superman atau ma’shumin, ia hanya orang yang mencatat hadist-hadist tanpa mengklaim sepihak keshahihan hadist-hadistnya….
ingat, alkafi bukan satu-satunya kitab yang dimiliki Syiah mas, itulah bedanya kita…
perkembangan zaman selalu menuntut adanya perkembangan pemikiran shg Syiah selalu memiliki marja’ disetiap zaman utk memutuskan suatu hal yg boleh jadi berbeda di setiap zaman, dan kitab rujukan utama Syiah adalah Alquran, belajar lgsg dari orgnya dong mas…
Kulaini tidak mensyaratkan membuat kitab yang 100% shahih ia hanya mengumpulkan hadis. Di sisi Syiah tidak ada kitab hadis 100% shahih. Jadi masalah akurat dan tidak akurat harus melihat dulu apa maksudnya Al Kulaini menulis kitab hadis. Ulama-ulama syiah telah banyak membuat kitab penjelasan Al Kafi dan sanad-sanadnya seperti Al Majlisi dalam Miratul Uqul Syarh Al Kafi, dalam kitab ini Majlisi menyebutkan mana yang shahih dan mana yang tidak.

Secara metodologis ini tdk menjadi masalah, para imam mazhab dan Bukhari serta perawi lain juga hadir jauh setelah kehadiran Rasulullah saw sebagai pembawa risalah. Toh masih dianggap sebagai perwakilan penyambung syareat Nabi saw.

Memang bukan kitab shahih tetapi bukan berarti seluruhnya dhaif. Jumlah hadis yang menurut Syaikh Ali Al Milani shahih dalam Al Kafi jumlahnya hampir sama dengan jumlah seluruh hadis dalam shahih Bukhari. Dengan cara berpikir anda hal yang sama bisa juga dikatakan pada kitab hadis sunni semisal Musnad Ahmad, Sunan Daruquthni, Musnad Al Bazzar, Mu’jam Thabrani Shaghir dan Kabir, Al Awsath Thabrani dan lain-lain yang banyak berisi hadis dhaif. Anehnya kutub as sittah sendiri terdapat hadis-hadis dhaif dan palsu seperti yang ada pada Ashabus Sunan, kalau gak salah Syaikh Albani membuat kitab sendiri tentang itu (Dhaif Sunan Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i, Abu Dawud) dan celakanya menurut syaikh Al Albani dan Daruquthni dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga terdapat hadis dhaif.

Atau contoh lain adalah kitab Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Shahihain, itu nama kitab yang pakai kata “shahih” dan anehnya banyak hadis-hadis dhaif bahkan palsu. Dengan semua data itu apakah anda juga akan berkata sedangkan kitab-kitab pegangan sunni banyak dinyatakan ulama sunni sendiri gak sahih (banyak diragukan bersumber dari Rasulullah SAW). Silakan direnungkan????

Jawabannya sederhana kok, berpegang teguh kepada ahlul bait dalam arti merujuk kepada mereka dalam agama diantaranya akidah dan ibadah.
Memang banyak hadits dha’if yang terdapat dalam berbagai kitab, entah dlm kitab sunni maupun syi’ah. Yang penting esensi ajarannya, seperti para Imam Ahlul Bayt yg konsisten mengawasi dan meluruskan terhadap penyimpangan para penguasa yang zalim.

Makanya jangan sok tau. Dalam Syi’ah, fungsi Imam yg 12 adalah BUKAN sebagai pembuat hal-hal baru dalam agama (bida’ah).
Mereka hanyalah pelaksana sekaligus penjaga/pengawal syariat Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. Kalau ente menemukan Imam Ja’far bersabda….

begini dan begitu.. artinya dia hanya mengutip apa yg disabdakan oleh nabi saw melalui jalur moyangnya spt Ali bin Abi Talib, Hasan, Husein, Ali bin Husein dan Muhammad bin Ali. Dus ucapan para Imam = ucapan Nabi saw.

He he he…dasar sok tau. Kalau para ulama Syi’ah selalu mengatakan bahwa hadis2 yg terdapat dlm Al-Kafi umpamanya masih banyak yg dhaif, itu bukan berarti kebanggaan. Pernyataan mereka itu lebih kpd sikap jujur dan terbuka dan apa adanya. ………
Sudah ane jelaskan bahwa Syi’ah tidak membeda-bedakan sumber hadis apakah itu dari Ali, Fatimah, Hasan, Husein atau para Imam yg lainnya. Apa yg diucapkan oleh Imam Ja’far umpamanya, itu juga yang diucapkan oleh Imam Ali bin Muhammad kmdn juga oleh Ali bin Husein, Husein bin Ali, Ali bin Abi Talib, Fatimah dan Nabi saw. Substansinya bukan pada jumlah yang diriwayatkan Fatimah atau Imam Hasan lebih sedikit dibanding Imam Ja’far atau imam yang lainnya tetapi pada kesinambungan periwayatan dari Rasulullah saw smp kepada Imam yang terakhir.

hadis-hadis Rasulullah saw selalu terjaga dibawah pengawasan langsung para Imam zaman dan para pengikut Ali masih bisa berkomunikasi dg para Imam Zaman.

*****

SYi’AH iMAMiYAH MENDHA’iFKAN RiBUAN HADiS, KARENA SYi’AH SANGAT KETAT DALAM iLMU HADiS.
Dalam Rasa’il fi Dirayat Al Hadits jilid 1 hal 395 disebutkan mengenai syarat hadis dinyatakan shahih di sisi Syiah yaitu apa saja yang diriwayatkan secara bersambung oleh para perawi yang adil dan dhabit dari kalangan Imamiyah dari awal sanad sampai para Imam maksum dan riwayat tersebut tidak memiliki syadz dan illat atau cacat…

Dalam kitab Masadir Al Hadits Inda As Syi’ah Al Imamiyah yang ditulis oleh Allamah Muhaqqiq Sayid Muhammad Husain Jalali.. Beliau mengklasifikasikan hadis dalam kitab Al Kafi Kulaini dengan perincian sebagai berikut :
Jumlah hadis secara keseluruhan : 1621 (termasuk riwayat dan cerita).
1. Hadis lemah / dha’if : 9485.
2. Hadis yang benar / hasan : 114.
3. Hadis yang dapat dipercaya / mawtsuq : 118.
4. Hadis yang kuat / Qawi : 302.
5. Hadis shahih : 5702

Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy(kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif. Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah(yaitu selain hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam Shahih Bukhari.

Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang cukup panjang, selama 20 tahun yang tidak ada bandingannya. Al-Kulaini meriwayatkan hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai ulama ahl al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy 302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[sumber :Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36].

Menurut pengakuan Fakhruddin At Tharihi ada 9845 hadits yang dhaif dalam kitab Al Kafi, dari jumlah 16119 hadits Al Kafi.
Kenapa banyak sekali hadis dha’if ??? Apa kulaini lemah dalam keilmuan ????

Jawab:
Syi’ah imamiyah itsna asyariah sangat ketat dalam ilmu hadis, sehingga ribuan hadis berani kami dha’if kan .. Tindakan pendha’ifan ribuan hadis ini menunjukkan bahwa kami SANGAT SANGAT SERiUS DALAM menilai keshahihan sesuatu yang dinisbatkan pada agama….
Tidak ada kompromi dalam hal seleksi hadis… Pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan mana yang bukan…..
Apa yang dimaksud dengan hadis lemah/dha’if ????
Jawab:
Jika salah satu seorang dari rantai penulis hadis itu tidak ada, maka hadis itu lemah dalam isnad tanpa melihat isinya… 
Ada hadis dalam Al Kafi yang salah satu atau beberapa unsur dari rangkaian periwayatnya tidak ada, oleh sebab itu hadis hadis demikian isnad nya dianggap lemah.
Jika seseorang membawa sebuah hadis yang lemah dari USHUL AL KAFi dan kemudian mengarti kan hadis tersebut secara salah sebagai alat propaganda kesesatan syi’ah, maka hal itu tidak menggambarkan keyakinan syi’ah !!!!!
Apakah dengan modal empat kitab hadis syi’ah maka kita sudah dianggap berpedoman pada TSAQALAiN ???

Jawab:
Yang dimaksud dengan berpedoman pada tsaqalain adalah mengikuti petunjuk Al Quran dan orang orang terpilih dari ahlul bait…
SEMENTARA EMPAT KiTAB HADiS TERSEBUT ADALAH CATATAN CATATAN REKAMAN UCAPAN, PERBUATAN, DAN AKHLAK AHLUL BAiT.. YANG NAMANYA CATATAN MEREKA TENTU ADA YANG AKURAT DAN ADA YANG TiDAK AKURAT… YANG AKURAT DiNiLAi SHAHiH DAN YANG TiDAK AKURAT DiNiLAi DHA’iF.

Adakah hadis aneh aneh dalam kitab syi’ah ????

Jawab:
Jika ada hadis yang bertentangan dengan Al Quran maka kami menilainya tidak shahih maka masalahnya selesai !!!! 
Kalau ada hadis hadis aneh dalam kitab kitab mu’tabar syi’ah maka setelah meneliti sanad dan matannya maka ulama syi’ah langsung memvonisnya dha’if dan hadis tersebut tidak dipakai !!!!
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as.

Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedududkan setiap hadisnya.

Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah tentang kedudukan hadis tersebut.

Peringatan:
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al Kafi maka seyogyanya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti dalam Al Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama Syiah.

Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni. Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang sekali.

Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja. Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah(Rijal An Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku tersebut.

Dr. Muhammad At-Tîjâni as-Samâwie –seorang Sunni yang kemudian membelot ke Syi’ah, ketika melakukan kajian komparatif antara Sunnah dan Syi’ah, memberikan judul bukunya tersebut: Asy-Syî’ah Hum Ahlu Sunnah.

dalam beberapa hal, metodologi hadis Syi’ah amat berlainan dengan metodologi Ahlu Sunnah. Kajian tentang metodologi hadis dalam Syi’ah Imamiah telah menjadi objek sebuah risalah doktoral di fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar. Pada penghujung tahun 1996, risalah tersebut telah diuji dan dinyatkan lulus.

Dalam kalangan Syi’ah, kitab-kitab hadis yang dijadikan pedoman utama -dan berfungsi seperti kutub sittah dalam kalangan sunni- ada sebanyak 4 buah kitab.

Kitab al Kâfi. Disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al Kulayni (w.328 H.). Kitab tersebut disusun dalam 20 tahun, menampung sebanyak 16.090 hadis. Di dalamnya sang penyusun menyebutkan sanadnya hingga al ma’shum. Dalam kitab hadis tersebut terdapat hadis shahih, hasan, muwats-tsaq dan dla’if.

Kitab Ma La Yahdluruhu al Faqih. Disusun oleh ash-Shadduq Abi Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Babawaih al Qummi (w.381 H.). Kitab ini merangkum 9.044 hadis dalam masalah hukum.

Kitab at-Tahzib. Kitab ini disusun oleh Syaikh Muhammad bin al Hasan ath-Thusi (w.460 H.). Penyusun, dalam penulisan kitab ini mengikuti metode al Kulayni. Penyusun juga menyebutkan dalam setiap sanad sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab ini merangkum sebanyak 13.095 hadis.

Kitab al Istibshar. Kitab ini juga disusun oleh Muhammad bin Hasan al Thusi. Penysusun kitab at-Tahzib. Kitab ini merangkum sebanyak 5.511 hadis.
Di bawah derajat ke empat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami’ yang besar. Antara lain:
Kitab Bihârul Anwâr. Disusun oleh Baqir al Majlisi. Terdiri dalam 26 jilid.
Kitab al Wafie fi ‘Ilmi al Hadis. Disusun oleh Muhsin al Kasyani. Terdiri dalam 14 juz. Ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadis.

Kitab Tafshil Wasail Syi’ah Ila Tahsil Ahadis Syari’ah. Disusun oleh al Hus asy-Syâmi’ al ‘Amili. Disusun berdasarkan urutan tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami’ Kabir yang dinamakan Asy-Syifa’ fi Ahadis al Mushthafa. Susunan Muhammad Ridla at-Tabrizi.

Kitab Jami’ al Ahkam. Disusun oleh Muhammad ar-Ridla ats-Tsairi al Kâdzimi (w.1242 H). Terdiri dalam 25 jilid. Dan terdapat pula kitab-kitab lainnya yang mempunyai derajat di bawah kitab-kitab yang disebutkan di atas. Kitab-kitab tersebut antara lain: Kitab at-Tauhid, kitab ‘Uyun Akhbâr Ridla dan kitab al ‘Amali.
Kaum Syi’ah, juga mengarang kitab-kitab tentang rijal periwayat hadis. Di antara kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak antara lain: Kitab ar-Rijal, karya Ahmad bin ‘Ali an-Najasyi (w.450 H.), Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kita Ma’alim ‘Ulama karya Muhammad bin ‘Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), kitab Minhâj al Maqâl karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), kitab Itqan al Maqal karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al Kabir karya Syaikh Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan kitab lainnya.

Satu yang perlu dicatat: Mayoritas hadis Syi’ah merupakan kumpulan periwayatan dari Abi Abdillah Ja’far ash-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa ataupun kalangan khawas, telah meriwayatkan hadis dari beliau. Oleh karena itu, Imamiah dinamakan pula sebagai Ja’ fariyyah. Mereka berkata bahwa apa yang diriwayatkan dari masa ‘Ali k.w. hingga masa Abi Muhammad al Hasan al ‘Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah dalam hadis.

*****

Di dalam Syi’ah, ada 4 kitab hadits, yang terdiri dari:

Al-Kafi.
Hadits-hadits dalam kitab dikumpulkan oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini ar-Razi. Ia adalah cendekiawan Islam yang sangat menguasai ilmu hadits. Wafat tahun 329 Hijriah Terdapat sekitar 16000 hadits yang berada dalam kitab al-Kafi, dan merupakan jumlah terbanyak yang berhasil dikumpulkan. Kitab Syi’ah yang terbaik

Man la yahdarul fiqh.
Ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein Lahir tahun 305 Hijriah dan wafat tahun 381 Hijriah..Terdapat sekitar 6000 hadits tentang Syariah…

Tazhibul Ahkam.
Ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi Lahir di Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah Terdapat sekitar 13590 Hadits dalam kitab ini.
Al-Istibshar fima Ikhtilaf minal Akhbar Ditulis oleh Syakih Abu Ja’far Muhammad bin Hasan al-Tusi..Lahir di Khurasan tahun 385 Hijriah, dan wafat pada tahun 460 Hijriah..Terkumpul sekitar 5511 hadits dalam kitab ini.

*****

AL-FURU’ AL-KAFI AL-KULAINI.
(Telaah Kritis Atas Kualitas Hadis-hadis Syi’ah).

A. Pendahuluan.
Dalam Syi’ah, kitab hadis pertama adalah kitab Ali Ibn Abi Thalib yang didalamnya memuat-hadis-hadis yang di-imla’-kan langsung dari Rasulullah SAW tentang halal, haram dan sebagainya. Kemudian dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qubthi al-Syi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam dan al-Qadaya. Ulama sesudahnya akhirnya membukukannya ke berbagai macam kitab,[1] salah satunya adalah al-Kafi fi ‘Ilmi al-Din yang dikalangan Syi’ah merupakan pegangan utama diantara kitab-kitab yang lain.[2]

Pembahasan tentang kitab al-Kafi karya al-Kulaini secara keseluruhan telah banyak dilakukan. Baik melalui komparasi dengan kitab pokok aliran Sunni, tentang kriteria kesahihan hadis,[3] maupun secara khusus kajian tentang al-Ushul al-Kafi. Namun sejauh telaah yang penulis lakukan kajian tentang al-Furu’ al-Kafi, hampir belum ada. Karena itu kajian secara kritis atas kitab tersebut menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Selanjutnya, penulis akan berupaya memaparkan sekaligus menganalisa terhadap informasi yang ada. Khususnya pada setting pribadi al-Kulaini dan umumnya pada al-Furu’ al-Kafi (sistematika, metode dan isi).

B. Setting Biografi al-Kulaini.
Pengarang dari kitab al-Kafi adalah Siqat al-Islam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub Ibn Ishaq al-Kulaini al-Raziy.[4] Beliau dilahirkan sekitar tahun 254 H dan atau 260 H di kampung yang bernama al-Kulain atau al-Kulin di Ray Iran. Tidak banyak diketahui mengenai kapan tepatnya al-Kulaini lahir. Informasi lain hanya mengenai tempat tinggal al-Kulaini selain di Iran yaitu pernah mendiami Baghdad dan Kufah. Ia pindah ke Baghdad karena menjadi ketua ulama atau pengikut Syi’ah Imam dua belas disana, selama pemerintahan al-Muqtadir. Beliau hidup di zaman sufara’ al-arba’ah (empat wakil Imam al Mahdi). Selain itu tahun wafatnya adalah 328 H / 329 H (939/940). Beliau dikebumikan di pintu masuk Kufah.[5]

Ayah al-Kulaini bernama Ya’qub Ibn Ishaq atau al-Salsali, seorang tokoh Syi’ah terkemuka di Iran. Di kota inilah ia mulai mengenyam pendidikan. Al-Kulaini punya pribadi yang unggul dan banyak dipuji ulama, bahkan ulama mazhab Sunni dan Syi’ah sepakat akan kebesaran dan kemuliaan al-Kulaini.[6]

Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sosok al-Kulaini merupakan sosok fenomenal dimana dia adalah seorang faqih sekaligus muhaddis yang cemerlang di zamannya. Seorang yang paling serius, aktif, dan ikhlas dalam menda’wahkan Islam dan menyebarkan berbagai dimensi kebudayaan dan dijuluki siqat al-Islam.[7]

Al-Kulaini menyusun kitab al-Kafi selama dua puluh tahun dengan melakukan perjalanan ilmiah untuk mendapatkan hadis-hadis dari berbagai daerah, seperti Irak, Damaskus, Ba’albak, dan Talfis. Namun bukan hanya hadis yang ia cari tetapi juga berbagai sumber dan kodifikasi hadis dari para ulama sebelumnya. Dari sini nampak adanya usaha yang serius dan besar-besaran.[8]

Imam al-Kulaini –merupakan seseorang yang ahli hadis mempunyai banyak guru dari kalangan ahl al-bait dalam proses transmisi hadis, diantara nama gurunya adalah Abdullah Ibnu Umayyah, Ishaq Ibnu Ya’qub dan lain-lain. Ada beberapa kitab yang telah ditulis oleh al-Kulaini disamping al-Kufi diantaranya adalah: Kitab tafsir al-Ru’ya, kitab al-Rijal, kitab al-Rad ala al-Qaramitah, kitab Rasa’il dan lain-lain.

Banyak ulama yang mengungkap kebesaran dari al-Kulaini ini diantaranya adalah, Ayatullah Ja’far Subhani melukiskan dengan matahari dan lainnya sebagai bintang-bintang yang menghiasi langit. Kaum Syi’ah bersepakat bahwasanya kitab ini merupakan kitab utama dan diperbolehkan berhujjah dengan dalil-dalil yang ada didalamnya.[9]

C. Sistematika, Metode dan Isi Kitab al-Furu’ al-Kafi al-Kulaini.
Al-Kafi merupakan kitab hadis yang menyuguhkan berbagai persoalan pokok agama (ushul), cabang-cabang (furu’) dan taman (rawdhah). Al-Kurki dalam ijazah-nya al-Qadhi Shafi al-Din ‘Isa, mengatakan, al-Kulaini telah menghimpun hadis-hadis syar’iyyah dan berbagai rahasia rabbani yang tidak akan didapati di luar kitab al-Kafi. Kitab ini menjadi pegangan utama dalam mazhab Syi’ah dalam mencari hujjah keagamaan. Bahkan di antara mereka ada yang mencukupkan atas kitab tersebut dengan tanpa melakukan ijtihad sebagaimana terjadi dikalangan ahbariyyun.[10]

Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang cukup panjang, selama 20 tahun yang tidak ada bandingannya.[11] Al-Kulaini meriwayatkan hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai ulama ahl al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy[12] 302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[13]

Al-Kafi terdiri atas 8 jilid yang terbagi menjadi tiga puluh lima (35) kitab dan 2355 bab, 2 jilid pertama berisi tentang al-Ushul (pokok) jilid pertama memuat 1.437 hadis dan jilid kedua memuat 2.346 hadis, yang berkaitan dengan masalah akidah. 5 jilid selanjutnya berbicara tentang al-Furu’ (fikih) dan 1 jilid terakhir memuat 597 hadis yang disebut al-Rawdhah (taman) adalah kumpulan hadis yang menguraikan berbagai segi dan minat keagamaan serta termasuk beberapa surat dan khutbah para imam.[14] Juz ini berisi tentang pernyataan tentang ahl al-bait, ajaran para imam, adab orang-orang saleh, mutiara hukum dan ilmu, yang tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Dinamakan al-rawdhah (taman) karena berisi hal-hal yang bernilai dan berharga, yang identik dengan taman yang menjadi tempat tumbuh bermacam-macam buah dan bungah.[15]

Adapun tema-tema dalam al-Furu’ al-Kafi yang dimulai dalam jilid III terdiri dari 5 kitab yaitu;[16]
Kitab al-Taharah, yang terdiri dari 46 bab dan 340 hadis.
Kitab al-Haid, yang terdiri dari 24 bab dan 93 hadis.
Kitab al-Jana’iz, berisi tentang pemakaman dan hal-hal lain yang terkait dengan upacara penguburan. Terdiri dari 95 bab dan 545 hadis.
Kitab al-Salah, terdiri dari 103 bab dan 924 buah hadis.
Kitab al-Zakah, terdiri dari 47 bab dan 277 hadis.
Jilid IV terdiri dari 2 kitab yaitu;
Kitab al-Siyam, memuat bab-bab shadaqah yang terdiri dari 43 bab dan 252 buah hadis. Sedangkan tentang puasa terdiri dari 83 bab dan 452 hadis.
Kitab al-Hajj dan bab-bab ziarah, terdiri dari 236 bab dan 1486 buah hadis.

Jilid V terdiri dari 3 kitab yaitu;
Kitab al-Jihad, terdiri dari 32 bab dan 149 buah hadis.
Kitab al-Ma’isyah (cara-cara memperoleh kehidupan), terdiri dari 159 bab dan 1061 hadis.
Kitab al-Nikah, terdiri dari 192 bab dan 990 buah hadis.

Jilid VI terdiri dari 9 kitab yaitu;
Kitab al-’aqiqah, terdiri dari 38 bab dan 223 hadis.
Kitab al-Talaq, terdiri dari 82 bab dan 499 buah hadis.
kitab al-’Itq wa al-Tadbir wa al-Kitabah (jenis-jenis budak dan cara memerdekakannya), terdiri dari 19 bab dan 114 hadis.
Kitab al-Sayd (perburuan), terdiri dari 17 bab dan 119 hadis.
Kitab al-Zaba’ih (penyembelihan), terdiri dari 15 bab dan 74 hadis.
Kitab al-At’imah (makanan), terdiri dari 134 bab dan 709 buah hadis.
Kitab al-Asyribah (minuman), terdiri dari 37 bab dan 268 hadis.
Kitab al-Zayy wa al-Tajammul wa al-Muru’ah (pakaian, perhiasan dan kesopanan), terdiri dari 69 bab dan 553 hadis.
Kitab al-Dawajin (hewan piaraan), terdiri dari 13 bab dan 106 hadis.
Jilid VII terdiri dari 7 kitab, yaitu;
Kitab al-Wasaya (wasiat), terdiri dari 39 bab dan 240 hadis.
Kitab al-Mawaris berisi 69 bab dan 309 hadis.
Kitab al-Hudud berisi 63 bab dan 448 hadis.
Kitab al-Diyat (hukum qisas dan rincian cara penebusan jika seseorang melukai secara fisik), terdiri dari 56 bab dan 366 hadis.
Kitab al-Syahadah (kesaksian dalam kasus hukum), terdiri dari 23 bab dan 123 hadis.
Kitab al-Qada wa al-Ahkam (peraturan tentang tingkah laku para hakim dan syarat-syaratnya), terdiri dari 19 bab dan 78 hadis.
Kitab al-Aiman wa al-Nuzur wa al-Kafarat (tentang sumpah, janji dan cara penebusan kesalahan ketika pihak kedua batal), terdiri dari 18 bab dan 144 hadis.
Jadi isi keseluruhan al-Furu’ al-Kafi berjumlah 10.474 hadis, dengan perincian jilid III berisi 2049 hadis, jilid IV berisi 2424 hadis, jilid V berisi 2200 hadis, jilid VI berisi 2727 hadis, dan jilid VII berisi 1074 hadis. Sistematika pembagian kitab dan bab yang dipakai al-Kulaini sangat sistematis sehingga memudahkan bagi kaum muslimin khususnya kaum Syi’ah untuk menggunakannya sebagai referensi yang utama dalam kehidupan mereka.

D. Al-Kafi Cukup ! Walaupun banyak yang tidak shahih.
Kitab al-Kafi menjawab kebutuhan para ahli hadis, fiqih, teologi, juru dakwah, tukang debat (mujadil) dan para pelajar.[18] Oleh karena itu, maka kitab ini mencakup pokok-pokok agama ushul, furu’, akhlak, nasehat, etika dan ajaran Islam yang lain.

Al-Kafi adalah suatu kitab koleksi hadis yang berasal dari Nabi dan para Imam yang diteruskan kepada masyarakat muslim oleh murid-murid dari para Imam. Nama Al-Kafi mempunyai arti “cukup”, ini adalah sebuah kitab yang mencakup hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para Imam Syi’i. Al-Kulaini dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan:
“… Kamu ingin mempunyai suatu buku yang akan memenuhi kebutuhan religius-mu (kafin), yang meliputi bermacam-macam pengetahuan tentang agama, yang berguna untuk memberikan arahan bagi siswa maupun guru. Yang dapat digunakan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pengetahuan agama dan amaliyyah dan hukum-hukum menurut nampak hadis (asar) dari orang yang dapat dipercaya (Imam)…”[19]

Dengan melihat sejarah penyusunan kitab ini yang mencapai 20 tahun dan didukung oleh kondisi sosial politik saat itu yang merupakan masa yang kondusif bagi Syi’ah. Menurut penulis adalah sangat wajar jika penyusunan al-Kafi mencapai 16.199 hadis, di tambah lagi dengan fenomena bahwa para imam berhak meriwayatkan hadis setelah Nabi wafat.

E. Analisa atas Metode Penulisan al-Furu’ al-Kafi.
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dalam kitab ini, di antaranya: adalah sebagai berikut;
Adanya peringkasan sanad. Istilah sanad menurut para ahli hadis Syi’ah adalah para rawi yang menukil hadis secara berangkai dari awal sumber, baik dari Nabi Saw., para imam, para sahabat maupun dari yang lainnya yang diperlihatkan kepada Imam, sampai kepada rawi yang terakhir.[20] Sanad-sanad yang ada dalam kitab ini kadang ditulis secara lengkap, tetapi terkadang al-Kulaini membuang sebagian sanad dengan menggunakan kata ashhabuna, fulan, ‘iddah, jama’ah dan seterusnya. Hal ini dimaksudkan bagi periwayat-periwayat yang sudah terkenal.[21]

Jika al-Kulaini menyebutkan sahabat kami dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Barqi, maka yang dimaksud adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Abdullah Ahmad Ibn Abdullah dari ayahnya dan Ali Ibn al-Husain al-Sa’dabadi. Sedangkan sebutan dari Sahl Ibn Ziyad adalah Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn ‘Aqil, dan lain-lain. Mereka adalah para periwayat yang dianggap baik oleh al-Kulaini dan telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya.

Misalnya dalam kitab al-Furu’ jilid keenam bab kesembilan mengenai memerdekakan budak, al-Kulaini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “iddatun min ashabina” ialah ‘Ali Ibn Ibrahim, Muhammad Ibn Ja’far, Muhammad Ibn Yahya, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Abdullah al-Qummi, Ahmad Ibn Abdillah, ‘Ali Ibn Husain, yang semuanya dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn Khalid dari Usman Ibn Isa.

Peringkasan sanad ini dilandasi atas keinginan al-Kulaini untuk tidak memperpanjang tulisan, dan dilakukan hanya pada para periwayat yang dianggap baik dan dipercaya oleh beliau. Oleh karena itu, jika sanad telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya, maka selanjutnya al-Kulaini tidak menulisnya secara lengkap.
Adanya para rawi yang bermacam-macam sampai Imam mereka dan periwayat lain. Jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain diluar Syi’ah berbeda derajat penilaiannya. Dengan demikian, mereka masih mengakui periwayat hadis dari kalangan lain dan menganggapnya masih dalam tataran kuat.

F. Kriteria Kesahihan Hadis al-Kulaini.
Al-Kulaini dalam menentukan kriteria kesahihan hadis yang terdapat dalam al-Kafi, menggunakan kriteria kesahihan hadis yang lazim dipakai oleh para ulama mutaqaddimin, hal ini dikarenakan masa hidup al-Kulaini termasuk dalam generasi ulama mutaqaddimin. Sedangkan yang masyhur, ada dua pembagian hadis, pada masa ulama mutaqaddimin, pada masa kedua tokoh periwayat, Sayyid Ahmad Ibn Thawus dan Ibn Dawud al-Hulliy. Pembagian hadis ini berkisar pada hadis mu’tabar dan ghairu mu’tabar. Pembagian ini dipandang dari segi kualitas eksternal (keakuratan periwayat), seperti kemuktabaran hadis yang dihubungkan dengan Zurarah, Muhammad Ibn Muslim serta Fudhail Ibn Yasar. Maka hadis yang berkualitas demikian itu dapat dijadikan hujjah[23].

Sedangkan menurut jumhur Ja’fariyah hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan maksudnya.[24]

Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang menafikan ketetapan amir al-mukminin Ali sebagai imam. Mereka juga berpendapat tentang mutawatir-nya hadis al-saqalain dan hadis al-ghadir. [25]

Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam empat tingkatan atau empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad (eksternal) dan matan (internal), dan keempat tingkatan tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi rujukan setiap bagian yang lain. Empat tingkatan itu adalah; sahih, hasan, muwassaq, dan dha’if. Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini.[26] Namun ada sebagian ulama Syi’ah yang mengakui adanya kualitas qawiy dalam pembagian hadis tersebut, jadi tingkatan kualitas hadis menjadi lima (5), yaitu:
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[27]

Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.[28]

Kalangan Syi’ah Imamiyah menjelaskan sebab adanya persyaratan ini adalah tidak diterima riwayat orang fasiq, meskipun dari sisi agamanya dia dikatakan sebagai orang yang selalu menghindari kebohongan. Dengan tetap wajib meneliti riwayat dari orang fasik dan orang yang berbeda dari kaum Muslimin (maksudnya; selain Imamiyah). Jika dia dikafirkan maka dia tertolak riwayatnya meskipun diketahui dia orang adil dan mengharamkan kebohongan.

Menurut al-Mamqani, keadilan pasti sejalan dengan akidah dan iman, dan menjadi syarat bagi setiap periwayat. Sejalan dengan firman Allah, “jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.(Q.S al-Hujurat; 6).

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa iman adalah syarat bagi periwayat dan riwayat orang fasik wajib diteliti, sedangkan selain pengikut Ja’fariyah adalah kafir atau fasik, maka riwayatnya tidak mungkin sahih sama sekali. Dari sini tidak hanya tampak pengaruh imamah, tapi juga tampak sikap ekstrim dan zindiq.

2. Hadis Hasan.
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.[29]
Dari definisi tersebut tampak bahwa mereka mensyaratkan hadis hasan sebagai berikut;
Bertemu sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
Semua periwayatnya dari kelompok Imamiyah.
Semua periwayatnya terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa mengarah pada kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam, maka dia tidak diterima dan tidak diakui riwayatnya.
Tidak ada keterangan tentang adilnya semua periwayat. Sebab jika semua periwayat adil maka hadisnya menjadi sahih sebagaimana syarat yang ditetapkan di atas.
Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagian rawi dalam sanadnya.

3. Hadis Muwassaq[30]
Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.

Definisi ini memberikan pengertian tentang persyaratan sebagai berikut:
Bersambungnya sanad kepada imam yang ma’shum.
Para periwayatnya bukan dari kelompok Imamiyah, tapi mereka dinyatakan siqah oleh ja’fariyah secara khusus.

Sebagian periwayatnya sahih, dan tidak harus dari imamiyah.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
Posisi hadis muwassaq diletakkan setelah hadis sahih dan hadis hasan karena adanya periwayat dari selain Ja’fariyah.

Pernyataan siqah harus dari kelompok Ja’fariyah sendiri. Karena bagi mereka pernyataan siqah dari selain Ja’fariyah tidak cukup, bahkan orang yang dinyatakan siqah oleh mereka (selain Ja’fariyah) adalah dha’if menurut mereka.

Al-Mamqani menjelaskan bahwa pengukuhan siqah harus dari para pengikutnya dengan mengatakan, menerima penilaian siqah selain imamiyah, jika dia dipilih imam untuk menerima atau menyampaikan persaksian dalam wasiat, wakaf talak, atau imam mendoakan rahmat dan ridha kepadanya, atau diberi kekuasaan untuk mengurusi wakaf atas suatu negeri, atau dijadikan wakil, pembantu tetap atau penulis, atau diizinkan berfatwa dan memutuskan hukum, atau termasuk syaikh ijazah[31], atau mendapat kemuliaan dengan melihat imam kedua belas.

4. Hadis Dha’if.
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis.[32]
Dalam hadis sahih terlihat bahwa mereka menilai selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, dan juga tidak diterima dari selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.

Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain, tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha, pasalnya mereka tidak percaya dengan akidah imamiyah isna ‘asyariyah. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh kaum Ja’fariyah.

5. Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if.
Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka. Dengan demikian nampak bahwa terdapat pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja, melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad dan para imam mereka.
Hadis Qawiy[33]

Menurut muhaqqiq dan muhaddis al-Nuri, yang dimaksud dengan tingkat kuat adalah karena sebagian atau semua tokoh sanadnya adalah orang-orang yang dipuji oleh kalangan Muslim non-Imami, dan tidak ada seorang pun yang melemahkan hadisnya. Hadis muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.[34]

Tingkatan hadis qawiy ini tidak banyak dikenal baik oleh kalangan Syi’ah selain Imamiyah maupun kalangan Sunni. Hal ini dikarenakan jumhur ulama telah sepakat akan pembagian tingkatan hadis Syi’ah menjadi empat macam. Di samping itu sebagian rawi dari tingkatan qawiy ini berasal dari non-Imami, sedangkan mereka membatasi untuk menerima hadis dari selain Imamiyah. Karena syarat utama diterimanya hadis adalah harus dari kalangan Imamiyah.

G. Kualitas Hadis dalam al-Furu’ al-Kafi.
Sebagaimana diketahui bahwa kitab al-Furu’ al-Kafi mencakup riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hukum fikih. Maka kitab ini sama dengan kitab Faqih Man La Yahdhuruh al-Faqih karya al-Shadiq dan dua kitab karya al-Thusi yaitu al-Tahzib dan al-Istibsar. Pengaruh imamah dalam al-Furu’ ini juga sangat kental, misalnya pada bab haji, al-Kulaini meriwayatkan dari Wahab, ia berkata, ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa orang yang tidak bermazhab Ja’fariyah kemudian setelah haji dia mengikuti mazhab Ja’fariyah maka orang tersebut disunahkan mengulang hajinya. Bagi orang Ja’fariyah, tidak boleh menggantikan haji selain dari Ja’fariyah kecuali terhadap bapaknya. Sedang dalam berziarah maka disunahkan dengan sunnah muakkad untuk berziarah ke makam para imam.

Contoh-contoh lain dalam al-Furu’ terdapat pada bab wudhu dan mawaris[35]:

ان العبد اذا توضأ فغسل وجهه تناثرت ذنوب وجهه واذا غسل يديه الى المرفقين تناثرت عنه ذنوب يديه واذا مسح رجليه او غسلهما للتقية تناثرت عنه ذنوب رجليه وان قال في اول وضوئه بسم الله الحمن الرحيم طهرت اعضاؤه كلها من الذنوب وان قال في اخر وضوئه او غسله من الجناية سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ا لا اله الاانت استغفرك واتوب اليك واشهد ان محمدا عبدك ورسولك واشهد ان عليا وليك وخليفتك بعد نبيك وان اوليائه خلفائه واوصيائه…..
· عدة من اصحابنا, عن أحمد بن محمد عن ابن محبوب قال: أخبرني ابن بكير عن زرارة قال: سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول: ولكل جعلنا موالي ممّا ترك الوالدين والاقربون, قال : إنّما عنّي بذلك أولى الأرحام في الموارث ولم يعن أولياء النعمة, فأولاهم بالميّت أقربهم إليه من الرحم التي تجرّه إليها
· علي بن ابراهيم عن ابيه ومحمد بن اسماعيل عن الفضل بن شاذان جميعا عن ابن ابي عمير عن عمر بن اذنيه عن محمد بن مسلم والفضيل بن يسار وبريد العجلي وزرارة ابن اعين عن ابي جعفر عليه السلام قال: السلام لا تعول ولاتكون اكثر من ستة.
· وعنه عن محمد بن عيسى بن عبيد عن يونس بن عبد الرحمن عن عمر بن اذنيه مثل ذلك

Dalam riwayat tentang wudhu di atas, tampak sekali adanya pemalsuan, yaitu dalam redaksi “atau membasuh kedua kaki karena taqiyah“, dan dalam redaksi “bahwa orang-orang yang dicintainya (Ali) adalah para khalifahnya dan orang-orang yang diwasiatkannya”. Maka hubungan pendapat mereka dalam masalah fiqih dengan mazhab adalah yang menjadikan mereka memalsukan hadis untuk menolong dua orang (al-Thusi dan al-’Amili).

Al-Thusi dan al-’Amili adalah dua orang yang mengatakan bahwa membasuh dua kaki diterapkan pada taqiyyah. Jadi fanatik Syi’ah kepada pendapat sesuai mazhabnya dan kerancauan dalam pemikiran dan ta’wil telah memunculkan dampak yang sangat buruk, yaitu pemalsuan hadis.

Sedangkan pada riwayat tentang mawaris tampak adanya peringkasan sanad. Adapun mengenai kualitas hadis tentang mawaris ini, secara eksplisit, tidak diketahui karena informasi yang di dapat dalam al-Furu’ sangat terbatas, tanpa keterangan kualitas hadisnya. Dan telah diketahui bahwa dalam kitab al-Kafi ini tidaklah semuanya sahih.

Namun setelah penulis menemukan adanya pembahasan tentang al-Jarh wa al-Ta’dil dan Ushul al-Hadis fi ‘Ilmi al-Dirayah dalam tradisi Syi’ah, adanya peringkasan sanad tidaklah mempengaruhi kualitas hadis. Jadi hadis-hadis tentang mawaris tersebut masih bisa dipakai dan dapat dijadikan hujah.
Fenomena ini bisa dijadikan bukti, bahwa hadis-hadis dalam al-Kafi al-Kulaini, khususnya al-Furu’ memang memuat beragam kualitas, dari sahih, hasan, muwassaq, qawiy, bahkan dha’if.

H. Kesimpulan.
Setelah melakukan penelusuran terhadap kitab-kitab Syi’ah, penulis menemukan kitab ilmu hadis baik sanad maupun matan dari kalangan Syi’ah yang disusun oleh Ja’far Subhani, keduanya adalah Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah, dan Kulliyat fi ‘ilmi al-Rijal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kajian sanad dan matan telah dikaji secara mendalam. Jika dibandingkan dengan tradisi Sunni, kajian ulum al-hadis Syi’ah juga bisa dianggap telah matang. Meskipun pengaruh Imamiyah masih sangat kental. Hal ini terbukti dengan syarat diterimanya hadis adalah harus dari kalangan Imamiyah. Itulah yang menjadi syarat utama dalam ilmu al-jarh wa al-Ta’dil.

Demikian juga terhadap kajian matan, adanya anggapan teologis tentang tidak terhentinya wahyu sepeninggal Rasulullah, maka imam-imam pada mazhab Syi’ah dapat mengeluarkan hadis. Jadi, tidak heran jika surat-surat, khutbah para imam dan hal-hal lain yang disangkutpautkan dengan ajaran agama diposisikan setara dengan hadis. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Sunni. Menurut hemat penulis, dua syarat itulah yang menjadikan penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis Sunni.

DAFTAR PUSTAKA.
Al-Gifari, ‘Abd al-Hasan. al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th.
Al- Hasani, Hasan Ma’ruf. “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992.
Al-Kulaini Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388.
Al-Kulaini, Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.).
Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dr. I. K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001.
Esposito, John. L. Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001.
Kurniawan,Yudha. “Kriteria Kesahihan Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan al-Kafi al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2003.
Subhani, Ayatullah Ja’far. “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001.
_______ Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah. Qumm, Maktabah al-Tauhid, t.th.
Suryadilaga, M. Alfatih. Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003.

Referensi:
[1] M. Alfatih Suryadilaga Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003), hlm. 307, lihat juga al-Kulaini Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388), hlm. 4-5.
[2] Ketiga kitab lainnya adalah Man La Yahduruh al-Faqih, Tahzib al-Hakam, dan al-Ikhtisar fi Ma Ukhtulifa min Akhbar.
[3] Yudha Kurniawan, “Kriteria Kesahihan Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan al-Kafi al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2003.
[4] ‘Abd al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th), hlm. 124
[5] Dr. I. K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001, hlm. 11.
[6] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992, hlm. 25
[7] Ibid
[8] M. Alfatih Suryadilaga Ibid, hlm. 310.
[9] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah: Studi atas Kitab al-Kafi”, Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, vol. II, no. 5, 2001. hlm. 35.
[10] Di dalam Syi’ah sekarang terdapat dua aliran besar dalam menanggapi masalah-masalah yang berkembang di Dunia modern dikaitkan dengan ijtihad. Kelompok pertama mengatakan tidak ada ijtihad. Permasalahan sudah cukup dibahas para imam-imam mereka. Aliran ini dikenal dengan ahbariyyun atau muhaddisun. Kedua, kelompok ushuliyyun. Mereka beranggapan bahwa tradisi ijtihad masih terbuka lebar di kalangan Syi’ah tidak terbatas pada kematangan imam-imam mereka. Lihat Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah Al-Kafi” dalam Jurnal al-Hikmah, no, 6, Juli-Oktober 1992, hlm. 29.
[11] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hlm. 37
[14] Al-Fatih Suryadilaga, “al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2003), hlm. 313.
[15] Lihat dalam Mukaddimah al-Rawdhah, hlm 9. Dikutip dalam Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 140.
[16] Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.)
[17] John L. Esposito, Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 302
[18] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal al-Hikmah, no. 6, Juli-Oktober, 1992, hlm. 25
[19] Dr. I. K. A. Howard “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001, hlm. 14.
[20] ‘Abd al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th), hlm. 469-470.
[21] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal al-Hikmah, no. 6, Juli-Oktober, 1992, hlm. 39.
[22] Ibid
[23] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 38-39.
[24] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 125
[25] Yang disebut dengan hadis ghadir adalah wasiat Nabi Muhammad bahwa Ali ditunjuk sebagai pengganti beliau. Ibid, hlm.126.
[26] Ja’far Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah (Qumm, Maktabah al-Tauhid, t.th), hlm. 48.
[27] Ibid
[28]Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 127.
[29] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 129.
[30] Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.
[31] Telah berlaku dalam ungkapan ulama hadis penyebutan sebagian ulama dengan “syaikh ijazah“, dan yang lain dengan “syaikh riwayah”. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah orang yang tidak mempunyai kitab yang diriwayatkan dan tidak mempunyai riwayat yang dinukil, tetapi dia memperbolehkan periwayatan kitab dari selainnya dan dia disebutkan dalam sanad karena dia bertemu gurunya. Dan jika dia dha’if maka tidak madharat kedha’ifannya. Sedangkan yang kedua adalah orang yang diambil riwayatnya dan dikenal sebagai penulis kitab, dia termasuk orang yang menjadi sandaran riwayat. Orang ini madharat bila tidak mengetahui riwayat. Untuk diterima riwayatnya, disyaratkan harus adil.
[32] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 130.
[33] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 37
[34] Ibid.
[35] Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.), hlm. 76, 80 dan 81.

***** 
Kenapa Syi’ah Imamiyah Menerima Sebahagian Hadis Sunni ??? Salah satu alasan kami karena dalam KUMPULAN HADiS SUNNi terdapat setidaknya 100 kaum SYi’AH PEWARIS SABDA NABI saw.
 
Menuduh syi’ah sesat = ingkar sunnah !!!
Karena ada seratus nama dari kalangan syi’ah yang termasuk dalam rangkaian sanad sanad hadis ahlusunnah, jika ini dibuang maka terjadi bencana amat besar karena banyak hadis sunni akan hilang tidak berbekas.
Asnadusy Syi’ah fi Isnad Ahlis Sunnah ( Nama nama perawi syiah diantara sanad sanad hadis ahlusunnah) menunjukkan bahwa sunni berpegang pada riwayat hadis yang berasal dari syi’ah.
Sanad adalah nama nama perawi yang membentuk mata rantai hadis.
Dijumpai nama nama terkenal dari kalangan tokoh tokoh syi’ah dalam enam kitab hadis sunni yaitu Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa i.

Tinjauan Dialog Sunnah-Syi’ah-nya al-Musawi.
 
Pertanyaan:
Ada 100 orang tokoh syi’ah yang menjadi rantai sanad berbagai hadis ulama aswaja.. 100 tokoh ini semuanya tersebar menjadi rantai sanad dalam enam kitab hadis aswaja… 
Kenapa sedikit sekali ??

Jawaban:
“Ada 100 perawi yang terpercaya, hafidz dan pemuka agama dari kalangan Syi’ah, pendukung keluarga Muhammad, yang luput dari pantauan rezim yang  berkuasa.
Dengan izin Allah yang ingin menyelamatkan agama Islam yang murni maka ulama hadis  Sunni menerima riwayat 100 orang  tokoh Syi’ah tersebut…. 

al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah bahwa 100 tokoh yang dikemukakannya itu adalah tokoh dan perawi Syi’ah, itu merupakan pernyataan yang penuh kejujuran…

Sebab menurut dia, Syi’ah adalah sekelompok orang yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah.
Karena itu, ketika mengklaim 100 perawi itu sebagai perawi Syi’ah, maka menurutnya mereka secara otomatis bukanlah orang Ahlus Sunnah wal Jama’ah…benar jika mereka dipandang sebagai kelompok tersendiri yang berbeda dari Ahlus Sunnah…

Hanya sekitar 100 tokoh syiah yang luput dari pantauan rezim yang  berkuasa  dan “sunni   mengetahui bahwa yang terpenting bagi 100  orang tersebut  adalah jujur dan amanah, tanpa membedakan antara Sunni atau Syi’ah,”….
“Ketahuilah bahwa mereka adalah perawi Syi’ah dari kalangan sahabat,” bahwa ulama jarh wa ta’dil dan ulama hadits lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak memiliki metoda ilmiah yang baku dalam melakukan jarh dan ta’dil… 
100  orang tersebut  cuma    secuil  yang  lolos  sensor.

Hadis  Aswaja sunni  kacau balau  karena menempatkan para perawi atas dasar memihak atau tidaknya kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah.. Untuk itu, ulama aswaja sunni menyebut seseorang itu Syi’ah manakala ia berpihak kepada ‘Ali…
Yang  pro  Ali  mayoritas  hadis nya ditolak  sedangkan  yang  MENCELA  ALi  hadisnya  dianggap tsiqat/shahih… 
standar  ganda yang dilakukan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, adalah kritik dia terhadap dua Kitab Shahih, Bukhari dan Muslim. Ia mengecam beberapa perawi yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab mereka.

Kalau rezim penguasa tidak bertindak kejam dalam membantai kaum syi’ah, maka bukan cuma 100 san perawi syi’ah tapi 1000 (seribu) an.. Yang 100 orang itu adalah yang luput dari penguasa.. Maka terjawab lah mengapa dalam hadis aswaja, terkadang ada yang membela ahlul bait dan ada juga yang terkesan membela musuh ahlul bait:
  • Mas saya luruskan. 100 org Syi’ah yg ada dlm jalur periwayatan hadis2 Sunni bersumber dari informasi ulama hadis Sunni sendiri spt. Adz Dzahabi, Ibnu Mu’in, Abu Hatim, Ibnu Qutaibah, Abu Zahrah dll yang menyatakan bahwa 100 org tsb adalah Syi’ah Rafidah (Pembenci sahabat). Sementara ente mengacu kpd sumber Salafi Wahabi. Ya jelas aja engga klop.
Bagi kami yang disebut dg Ahlul Bait/Syi’ah Ali adalah Syi’ah Itsna Asy’ariah atau Syi’ah Imamiyah. Sedangkan kelompok2 di luar itu spt Zaidiyah, Ismailiyah dll bukanlah Syi’ah Ali.
  • He he he…masih ngotot terus dg Ibnu Sabanya. Ente engga tau bahwa dalam jalur sanadnya hadis   sunni  ada 100 org Syi’ah ? Berarti cucu  cucu  nya embah Saba ada dlm jalur periwayatan kitab Sunni…….Nih ane sebutin sebagian nama-namanya:
1. Abban bin Taghlib bin Raba al-Kufi.
2. Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i al-Kufi (Al-Faqih).
3. Ahmad ibn Al-Mufadhal ibn al-Kufi al-Hafri.
4. Ismail bin Abban al-Azdi al-Kufi al-Warraq.
5. Ismail bin Khalifah al-Mulai al-Kufi.
6. Ismail bin Zakaria al-As’adi al-Khalqani al-Kufi.
7. Ismail bin Abbad bin Abbas ath-Thaliqani.
8. Ismail bin Abdurahman bin Abi Karimah al-Kufi.
9. Ismail bin Musa al-Fazari al-Kufi.
10. Talid bin Sulaiman al-Kufi.
11. Tsabit bin Dinar.
12. Tsuwair bin Abi Fahithah al-Kufi.
13. Jabir bin Yazid bin Harits al-Ja’fi.
14. Jarir bin Abdul Hamid adh-Dhabi.
15. Ja’far bin Ziyad al-Ahmar.
16. Ja’far bin Sulaiman adh-Dhab’i al-Basri.
17. Jumai’ bin ‘Umairah bin Tsa’labah at-Taimi.
18. Al-Harits bin Husairah al-Azdi.
19. Al-Harits bin Abdullah al-Hamadani.
20. Habib bin Abu Tsabit al-Asadi al-Kahili.
21. Hasan bin Hayy bin Saleh al_hamdani.
22. Hakam bin Utaibah al-Kufi.
23. Hammad bin Isa Al-Juhani.
24. Hamran bin A’yan.
25. Khalid bin Mukhallad al-Qawani.

Mau terus dengan isyu Ibnu Saba ?
Sudah ane jelaskan bahwa Syi’ah tdk membeda-bedakan sumber hadis apakah itu dari Ali, Fatimah, Hasan, Husein atau para Imam yg lainnya. Apa yg diucapkan oleh Imam Ja’far umpamanya, itu juga yg diucapkan oleh Imam Ali bin Muhammad kmdn juga oleh Ali bin Husein, Husein bin Ali, Ali bin Abi Talib, Fatimah dan Nabi saw. Substansinya bukan pada jumlah yg diriwayatkan Fatimah atau Imam Hasan lebih sedikit dibanding Imam Ja’far atau imam yg lainnya tetapi pada kesinambungan periwayatan dari Rasulullah saw sampai kepada Imam yang terakhir.

hadis-hadis Rasulullah saw selalu terjaga dibawah pengawasan langsung para Imam zaman dan para pengikut Ali masih bisa berkomunikasi dengan para Imam Zaman. Setelah Imam ke 12 gaib, maka terputuslah komunikasi antara pengikut Ahlul Bait dan Imam ke 12.


Sunni Mengambil Ilmu Dari Rafidhah.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi saya membuat tulisan ini, yang kesemuanya adalah untuk menepis syubhat dan tuduhan yang dilakukan oleh pengikut Salafy kepada pengikut Syiah. Saya melihat kerancuan dan ketidakadilan pengikut Salafy dalam bersikap kepada mereka pengikut Syiah. Kerancuan yang dilatarbelakangi oleh penyakit kronis yang sudah sangat parah yaitu Syiahphobia. (Tulisan ini lumayan panjang dan membosankan).
 
Rafidhah Adalah Pendusta
Kebanyakan pengikut Salafy seringkali menyebut pengikut Syiah dengan sebutan Rafidhah (Baca website: mumtazanas wordpress) . Sebutan Rafidhah itu biasanya diringi dengan pernyataan merendahkan dan Tuduhan yang mereka kutip dari perkataan-perkataan Ulama (Baca website: haulasyiah wordpress). Pernyataan tersebut yaitu Rafidhah Adalah Seburuk-buruk Pendusta. Dengan ini mereka pengikut Salafy seenaknya menyatakan Setiap orang Syiah sebagai Rafidhah dan Rafidhah adalah seburuk-buruk Pendusta. Artinya yang ingin dinisbatkan oleh pengikut Salafy itu adalah bahwa Pengikut Syiah itu semuanya Pendusta, jadi harus diingkari dan dikecam. Sungguh Argumentum Ad Hominem yang menjijikkan.

Bayangkan saja jika ada seorang Syiah yang dengan Itikad baik berdiskusi kepada seorang Sunni atau Salafy maka dengan mudahnya Sunni atau Salafy itu berkata Untuk apa berdiskusi dengan seorang Rafidhah yang terkenal pendusta. Atau mereka Sunni atau Salafy itu ada yang berkata Jangan percaya dengan Rafidhah yang mengutip kitab-kitab hadis Sunni, mereka itu adalah pendusta.

Tidak hanya itu, dalam bentuk yang lebih halus dapat dilihat sikap sok bijak yang keblinger. Ada diantara Sunni atau Salafy itu yang ternyata bersedia berdiskusi dengan orang Syiah. Dan seperti biasa mereka yang Syiah akan membawakan dalil-dalil yang mendukung mahzab mereka dari kitab-kitab Sunni sendiri. Setelah terjadi pembahasan yang cukup panjang maka Sang Sunni atau Salafy itu menemukan kekeliruan(menurut mereka) dari mereka pengikut Syiah dalam membawakan hadis Sunni. Kekeliruan itu bisa berupa hadis yang dibawakan adalah dhaif, kekeliruan dalam mengutip pendapat ulama Sunni atau Salafy, kekeliruan dalam menyebutkan rujukan dan lain-lain. Hal ini ternyata membuat orang Sunni atau Salafy itu dengan mudah mengeluarkan kata-kata “Bukankah ini merupakan bukti kalau Syiah Rafidhah itu memang seorang Pendusta”.

Memang di antara orang Sunni atau Salafy itu ada yang begitu kentalnya Nuansa Syiahphobia sehingga suatu kekeliruan dalam diskusi ilmiah, ia nyatakan sebagai suatu kedustaan. Padahal kekeliruan dalam diskusi ilmiah sudah sangat sering terjadi bahkan kekeliruan itu sendiri bisa dilakukan oleh pengikut Sunni atau Salafy itu sendiri. Dan Tidak jarang dalam hal ini justru yang keliru itu adalah Pengikut Salafy yang sok menyalahkan dan sebenarnya Pengikut Syiah itu yang benar. Jadi untuk apa membuat tuduhan-tuduhan seenaknya bahwa Kekeliruan adalah suatu Kedustaan.

Perawi Syiah Dalam Hadis Sunni.
Bagi Mereka yang tahu maka perkara ini cukup jelas, memang ada cukup banyak perawi hadis dalam Kitab hadis Sunni baik Kutub As Sittah(Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasai, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah) maupun yang lainnya (Al Mustadrak Al Hakim, Musnad Ahmad, Mu’jam AtThabrani, Shahih Ibnu Khuzaimah) yang ternyata seorang Syiah. Hal ini tidak dapat ditolak bahkan oleh seorang Salafy sekalipun, hanya saja mereka melakukan akrobat untuk berkelit dari dilema mereka.

Sudah seringkali saya melihat bahwa Salafy tidak membedakan apa itu Syiah dan apa itu Rafidhah, bagi mereka Syiah ya sama saja dengan Rafidhah dan mereka Rafidhah adalah pendusta. Kemudian ketika ditunjukkan bahwa perawi hadis Sunni sendiri banyak yang Syiah, mereka berkelit dengan berkata:
“Itulah kejujuran Ulama hadis Sunni, mereka mengambil hadis dari orang-orang yang mereka anggap tsiqah walaupun adalah ahlul bid’ah dengan syarat tidak berlebihan dalam kebid’ahannya atau tidak meriwayatkan kebid’ahannya”.
Dalam hal perawi Syiah, mereka Salafy berakrobat dengan berkata Syiah yang dimaksud disini adalah tasyayyu atau berlebihan dalam mengutamakan Ali RA dari sahabat yang lain bukan Rafidhah. Sekarang baru berkata bahwa Syiah itu berbeda dengan Rafidhah (Baca website: jakfari wordpress), karena mereka tidak berani menisbatkan Syiah disini sebagai Rafidhah yang mereka bilang sebagai Pendusta. Sungguh Sikap Antagonis Yang Menyedihkan.

Untuk membungkam sikap Antagonis Salafy yang menyedihkan itu maka akan ditunjukkan bahwa ada di antara perawi hadis Sunni tersebut yang jelas-jelas seorang Rafidhah (Baca website: islam syiah wordpress). Penunjukkan Rafidhah sepenuhnya dengan bersandar pada perkataan dalam kitab Rijal oleh Ulama yang jelas-jelas menyebutkan bahwa Si Fulan adalah Rafidhah, berikut nama-nama mereka.

Abbad bin Ya’qub Al Asadi Ar Rawajini Al Kufi.
Keterangan tentang Beliau dapat ditemukan dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 177, Tahdzib At Tahdzib jilid 5 hal 109 dan Mizan Al Itidal jilid 2 hal 376. Disebutkan:
  • Ibnu Hajar berkata bahwa Abbad adalah seorang Rafidhah yang terkenal hanya saja Ia jujur.
  • Ibnu Hibban berkata bahwa Abbad seorang Rafidhah yang selalu mengajak orang lain mengikuti jejaknya.
  • Saleh bin Muhammad berkata “Abbad memaki Usman bin Affan”.

Jadi Abbad adalah Seorang Rafidhah yang oleh Abu Hatim dikatakan “Ia tsiqat”, beliau seorang Rafidhah dimana Hakim berkata Ibnu Khuzaimah ketika membicarakan Abbad, Ia berkata “Riwayat Abbad dapat dipercaya tetapi pendapatnya sangat diragukan” .Adz Dzahabi berkata “Abbad seorang yang berlebihan Syiahnya, Ahli bid’ah tetapi jujur dalam menyampaikan hadis”. Maka sudah jelas Abbad adalah seorang Rafidhah bahkan dikabarkan beliau memaki sahabat Usman bin Affan tetapi tetap saja beliau dinyatakan tsiqat dan jujur. Abbad adalah perawi hadis dalam Shahih Bukhari, Sunan Ibnu Majah, Sunan Tirmdizi, Musnad Ahmad dan Shahih Ibnu Khuzaimah. Apakah para Salafy itu mau berkelit kalau Syiah yang dimaksud disini adalah tasyayyu, padahal zahir lafal jelas adalah Rafidhah? Ah ya mungkin akan ada akrobat yang lain.

Sulaiman bin Qarm Abu Dawud Adh Dhabi Al Kufi.
Dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib jilid 4 hal 213 dan Mizan Al I’tidal jilid 2 hal 219, disebutkan pernyataan Ulama mengenai Sulaiman bin Qarm. Ada yang menyatakan beliau dhaif(Yahya bin Main dan Abu Hatim) dan ada yang menyatakan beliau tsiqah. Tetapi coba lihat apa yang dikatakan Ibnu Hibban, beliau berkata Sulaiman seorang Rafidhah yang ekstrim. Anehnya walaupun Ibnu Hibban menyatakan Ia Rafidhah, Ahmad bin Hanbal menyatakan Sulaiman tsiqat, tidak ada sesuatu yang membahayakan atas diri Sulaiman hanya saja Ia berlebihan dalam bertasyayyu. Begitu pula pernyataan Ahmad bin Adi “Sulaiman banyak memiliki hadis hasan dan afrad”. Sulaiman bin Qarm adalah perawi hadis dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Sunan Tirmidzi. Jika Rafidhah memang pendusta mengapa Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat pada seorang pendusta, mengapa Imam Muslim meriwayatkan hadisnya dalam kitab Shahih beliau Atau justru sebenarnya Ibnu Hibban keliru. Jika memang Ibnu Hibban keliru maka saya katakan kalau seorang Ulama saja bisa keliru dalam menentukan siapa yang Rafidhah mengapa pengikut Salafy itu begitu soknya dengan mudah berkata siapa yang Rafidhah.

Harun bin Sald Al Ajli Al Kufi.
Beliau sebagaimana dijelaskan dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 11 hal 6 dan Mizan Al I’tidal jilid 4 hal 784 adalah perawi yang dapat diterima hadisnya. Tetapi beliau juga dinyatakan sebagai Rafidhah
  • As Saji berkata Dia itu Rafidhah ekstrim.
  • Ibnu Hibban berkata Dia Rafidhah ekstrim.

Anehnya Harun juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban, Ahmad bin Hanbal berkata Harun orang yang saleh dan banyak yang meriwayatkan hadis darinya, Ibnu Abi Hatim berkata “Aku bertanya pada ayahku tentang Harun. Maka dia menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan Harun”. Utsman Ad Darimi mengatakan dari Ibnu Main bahwa tidak ada persoalan dengan Harun walaupun Ad Dauri berkata bahwa Ibnu Main mengatakan Harun itu berlebihan dalam Syiahnya. Hal ini berarti Ibnu Main tidak menganggap kesyiahan Harun sebagai persoalan dalam periwayatan hadis. Jika benar setiap Rafidhah adalah pendusta mengapa Harun yang dikatakan As Saji dan Ibnu Hibban sebagai Rafidhah tetap diterima hadisnya oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim.

Jami’ bin Umairah bin Tsa’labah Al Kufi.
Dalam Tahdzib At Tahdzib 2/111 dan Mizan Al ‘Itidal 1/421, didapatkan keterangan tentang Jami’ bin Umair. Beliau dinyatakan Rafidhah oleh Ibnu Hibban. Ibnu Hibban berkata “Dia itu Rafidhah yang memalsukan hadis”. Tetapi walaupun begitu beliau adalah tabiin yang diterima hadisnya:
  • Abu Hatim berkata “Dia orang Kufah, seorang Tabiin dan Syiah yang terhormat. Dia jujur dan baik hadisnya”.
  • Al Ijli berkata “Dia seorang Tabiin yang tsiqat”.
  • As Saji berkata “Dia memiliki hadis-hadis munkar, dia bisa diperhitungkan dan dia itu jujur”
  • Bukhari berkata “Dia patut dipertimbangkan”.
  • Ibnu Adi berkata “Dia seperti yang dikatakan Bukhari,hadis-hadisnya bisa dipertimbangkan. Hadis yang diriwayatkannya umumnya tidak diikuti orang”.
Jami’ bin Umairah adalah perawi hadis dalam Sunan Tirmidzi dan Al Mustadrak Al Hakim, Tirmidzi menghasankan sebagian hadisnya dan Al Hakim menshahihkan hadis riwayat Jami’ bin Umairah. Kalau memang yang dinyatakan Ibnu Hibban itu benar maka itu berarti seorang Rafidhah bisa diterima hadisnya. 

Abdul Malik bin A’yun Al Kufi.
Keterangan tentang Abdul Malik dapat dilihat dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 6 hal 385 dan Mizan Al I’tidal jilid 2 hal 651. Beliau Abdul Malik dinyatakan oleh Al Hamidi dan Sufyan bin Uyainah sebagai seorang Rafidhah:
  • Al Hamidi menceritakan bahwa Sufyan menerima hadis dari Abdul Malik seorang Syiah. Al Hamidi berkata bagiku Abdul Malik adalah seorang Rafidhah yang suka menciptakan ajaran bid’ah.
  • Al Hamidi berkata dari Sufyan bahwa Abdul Malik dan kedua saudaranya Zararah dan Hamran adalah penganut Syiah Rafidhah.
  • Al Uqaili dalam Ad Dhuafa menyatakan bahwa Abdul Malik seorang Rafidhah.
Tetapi jika kita melihat pernyataan Ulama lain maka ditemukan bahwa Abdul Malik tsiqah dan jujur.
  • Ibnu Hibban menyatakan Abdul Malik tsiqat dan memasukkan namanya dalam Ats Tsiqat
  • Al Ajli menyatakan Abdul Malik sebagai tabiin yang tsiqat.
  • Abu Hatim berkata “Ia orang Syiah tetapi jujur”.
  • Al Mizzi dalam Tahdzib Al Kamal berkata bahwa Abdul Malik itu Rafidhah tetapi Shaduq(jujur).
Abdul Malik adalah perawi Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan Tirmidzi
Jadi bagaimana mungkin Rafidhah yang dikatakan dusta itu diambil hadisnya oleh para Ulama Sunni.

Musa bin Qais Al Hadhramy.
Beliau adalah seorang perawi hadis yang tsiqah sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 10 hal 366 dan Mizan Al I’tidal jilid 4 hal 217. Anehnya Al Uqaily berkata Dia itu Rafidhah yang ekstrim. Apakah itu berarti Musa adalah Rafidhah yang tsiqah
  • Yahya bin Main berkata “dia tsiqat”.
  • Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari ayahnya yang berkata Aku tidak mengetahui tentang Musa kecuali kebaikan.
  • Ibnu Syahin berkata Musa diantara perawi yang tsiqah.
  • Ibnu Numair berkata tentang Musa dia tsiqat, banyak yang meriwayatkan darinya.
  • Abu Hatim berkata “tidak ada persoalan dengan dia”.
Selain itu Musa bin Qais lebih mendahulukan Ali ketimbang Abu Bakar. Hal ini dinyatakan Adz Dzahabi dalam sebuah riwayat tentang Musa, bahwa Musa berbicara tentang dirinya sendiri bahwa Sufyan bertanya kepadanya tentang Abu Bakar dan Ali, maka katanya Ali lebih kusukai. Musa bin Qais adalah perawi hadis dalam Sunan Abu Dawud.

Hasyim bin Barid Abu Ali Al Kufi.
Hasyim bin Barid dinyatakan oleh Al Ajli dan Ibnu Hajar sebagai Rafidhah tetapi mereka berdua tetap mentsiqahkan beliau. Hal ini dapat dilihat dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 11 hal 16 dan Mizan Al I’tidal jilid 4 hal 288.

Al Ajli berkata tentang Hasym “Dia orang Kufah yang tsiqat Cuma dia itu Rafidhah”. Hasym bin Barid telah dinyatakan tsiqah oleh Yahya bin Main, Ibnu Hibban, Ahmad bin Hanbal dan Ad Daruquthni. Hasym adalah perawi hadis dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan An Nasai.

Sangat jelas bahwa nama-nama di atas dinyatakan sebagai Rafidhah tetapi tetap saja diterima hadisnya. Hal ini menimbulkan kemusykilan bagi para pengikut Salafy. Sebagian mereka tetap berasumsi bahwa Rafidhah yang dimaksud adalah tasyayyu atau melebihkan Ali RA dibanding sahabat lain. Mereka berkata bahwa kata Rafidhah yang dimaksud di atas bukanlah seperti Syiah Rafidhah yang pencaci sahabat Nabi (Baca website: ibnuramadan wordpress). Semua itu hanyalah kata-kata berkelit untuk membenarkan sikap mereka yang selalu merendahkan Syiah dengan sebutan Rafidhah. Bukankah Abbad dikabarkan mencaci Utsman bin Affan dan beliau tetap dianggap tsiqah.

Sebagian mereka akan menyatakan bahwa ulama yang menyatakan nama-nama di atas sebagai Rafidhah adalah keliru karena terbukti ada yang mentsiqahkan mereka. Anehnya kenapa tidak sekalian dinyatakan bahwa justru Ulama yang mentsiqahkan itulah yang keliru karena bukankah menurut mereka Salafy, sudah jelas Rafidhah adalah pendusta.

Perawi Hadis Sunni Yang Dikatakan Mencaci Sahabat Nabi.
Ada juga perawi hadis yang dikatakan oleh sebagian Ulama telah mencaci sahabat Nabi. Di atas telah disebutkan salah satunya adalah Abbad bin Yaqub. Selain Abbad terdapat juga Abdurrahman bin Shalih Al Azdi yang dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 6 hal 197 dinyatakan bahwa:
  • Shalih bin Sulaiman berkata tentang Abdurrahman bin Shalih “Ia orang Kufah yang mencerca Usman tetapi ia jujur”.
  • Musa bin Harun berkata “Ia tsiqat yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para Istri Rasulullah SAW dan para sahabat”.
  • Abu Dawud berkata “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadis Ibnu Shalih. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul”.

Walaupun begitu tetap banyak yang memandangnya tsiqah:
  • Yahya bin Main berkata “Ia tsiqat, jujur dan syiah, baginya jatuh dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata”.
  • Abu Hatim berkata Ibnu Shalih seorang yang jujur
  • Ahmad bin Hanbal berkata “Maha suci Allah, ia seorang yang mencintai keluaga Nabi dan ia adil”.

Beliau Abdurrahman bin Shalih Al Azdi adalah perawi hadis dalam Sunan An Nasai.
Seorang yang dikatakan mencaci sahabat-sahabat Nabi ternyata tetap dinyatakan oleh yang lain sebagai tsiqah dan diambil hadisnya. 

Kesimpulan:
Yang dapat disimpulkan adalah Dalam Kitab hadis Sunni memang terdapat perawi hadis yang dinyatakan oleh sebagian Ulama sebagai Rafidhah. Oleh karena itu tidak berlebihan kalau Sunni ternyata mengambil hadis juga dari Rafidhah. Apakah Salafy itu akan tetap mengatakan Rafidhah adalah Pendusta?. Kalau tetap begitu, berarti Sunni juga mengambil hadis dari para pendusta. Naudzubillah, saya berlindung kepada Allah SWT dari hal-hal yang demikian.

Salam Damai.
Catatan : Tulisan ini hanyalah suatu analisis sederhana terhadap pertentangan yang terjadi antara pengikut Islam Salafy dan Islam Syiah. Penulis tidak memiliki kepentingan dan keuntungan pribadi dalam masalah ini (walaupun sepertinya penulis mungkin akan dirugikan dengan tuduhan-tuduhan yang aneh).

*****

Mazhab Ahlusunnah Kebanjiran Hadis Palsu, Krisis Hadis Shahih.
Apapun alasan dan penyebabnya, pemalsuan hadis sudah sedemikian marak tak terkendali dan mencapai batas membahayakan kemurnian agama….
Apapun penyebabnya, hadis-hadis palsu ternyata telah membanjiri pasar-pasar hadis di berbagai kota ilmu Islam, tak terkecuali kota suci Madinah….
Apapun penyebabnya, berprofesi sebagai pembuat hadis palsu kian digemari banyak kalangan, tak terkecuali kaum Shalihin dan para pemuja sufisme ….
Apapun penyebabnya, akhirnya hadis palsu lebih diminati para pemulung hadis dan pemburu sunnah….
Betapapun usaha telah dicurahkan, tetap saja mencari hadis shahih di antara tumpukan hadis-hadis palsu hampir terasa mustahil dan membuat banyak pihak berputus asa…
ia lebih langka dari sehelai bulu putih di atas punggung kuda hitam…. 
Ia lebih langka dari al kibrît al Ahmar ….
Kini dunia hadis Ahlusunnah telah kebanjiran hadis-hadis palsu dan mengalami krisis hadis shahih….
Itulah kira-kira dirasakan Imam Ahlusunnah, imam Dâr al Hijrah; Imam malik ibn Anas…
Banyak riwayat terpercaya melaporkan bahwa Imam Malik telah menghafal tidak kurang dari 100.000 hadis…. 
Dari jumlah itulah ia menyusun kitab Muwaththa’nya yang sangat ia bangakan dan juga dibanggakan para ulama; para fakih dan muhaddis Ahlusunnah, seperti Imam Syaf’iI dll.

Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi informasi tentang banjir hadis di dunia hadis Ahlusunnah…
Jalaluddin as Suyuthi –seorang ulama, pakar haddis, ahhli fikih, dan bahasa- meraangkum laporan untuk kita dalam mukaddimah syarah Muwaththa’nya yang ia beri judul Tanwîr al Hawâlik….
* Qadhi Abu Bakar ibn al Arabi meriwayatkan dalam syarahh at Turmudzi dari Ibnu Hubâb bahwa Malik telah meriwayatkan seratus ribu hadis. Ia menghimpunnya dalam Muwaththa’ sebanyaak sepuluh ribu, kemudian ia terus-menerus menyocokkannya dengan Al Qur’an dan Sunnah dan menguji kualitasnya dengan atsâr dan akhbâr, sehingga ia kembali (hanya menerima) lima ratus hadis saja.”.

* Al Kiya al Harâsi berkata, Sesungguhnya Muwaththa’ Malik terdiri dari sembilan ribu hadis, kemudian ia (Malik) terus-menerus memilih dan memilah sehingga tersisa hanya tujuh ratus hadis.”.

* Abu al Hasan ibn Fihr, meriwayatkan dari ‘Atîq ibn Ya’qub, ia berkata, “Malik memuat sekirat 10.000 hadis dalam Muwaththa’, lalu ia senantiasa menelitinya setia tahun, dan ia mengugurkan bagian-bagian tertentu darinya, sehingga tersisa yang sekarang ini.”.

* Sulaimn ibn Bilâl berkata, “Malik menulis Muwaththa’ dan di dalamnya terdapaat empat ribu hadis atau lebih, dan ketika ia mati yang tersisa hanya seribu hadis lebih sedikit. Setiaap tahun ia menyortirnya dan menyisakan yang dalam hematnya mengandung maslahat buat kaum Muslimin dan sesuai untuk agama.” (Baca Tanwîr al Hawâlik,1/6 mukaddimah III).

Dari paparan di atas dapat kita saksikan betapa hadis palsu telah membanjiri dunia hadis Ahlusunnah…. Dari seratus ribu hadis yang diriwayatkan Malik dari para masyâikhnya, yang hampir keseluruhannya adalah berasal dari kota Madinah, ternyata Malik hanya mampu menyisakan sekitaar 1000 hadis saja…

itu pun masih ternyata masih banyak yang tidak layak dikelompokkan sebagai hadis shahih!! Sehingga ada yang mengatakaan andai kematian Imam Malik ditangguhkan hingga setahun kemudian kuat kemungkinan ia akan menggugurkan seluruh isi kitab Muwaththa’ yang ia tulis selama empat puluh tahun itu. (Tentang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kitab Muwaththa’nya, baca Tanwîr al Hawâlik,1/6).

Ini semua bukti nyata bahwa hadis-hadis palsu telah membanjiri dunia hadis Ahlusunnah dan mereka sedang menghapi krisis hadis yang sangat serius!
Lalu, apa tidak mungkin hadis-hadis yang sekarang beredar atas nama agama itu adalah sebagian dari hadis-hadis palsu yang dibuang Imam Malik itu?
Siapa tau?
Kalau Imam Malik saja sudah kehilangan kepercayaan terhadap 99 persen hadis yang ia riwayatkan sendiri dari paara masyâikhnya, lalu kini apa yang masih bisa dipercaya?
Dari 100.000 hadis ternyata hanya 1000 yang dapat selamat!
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.

Bismillhirrahmanirahim,
Allhumma sholi ala muhammad wa  ali muhammad.
Sebelumnya kami telah memaparkan tentang para sy’iah awal dalam artikel yang berjudul “Meneladani Sahabat Memilih Syi’ah sebagai Mahdzab” , akan kami paparkan para pengikut Ahlul Ba’it yang kemudian menjadi rujukan periwayatan hadis dalam kitab-kita hadis ahlu sunnah. Relevansi tulisan ini dengan artikel-artikel sebelumnya adalah, pertama bahwa nama-nama yang disebutkan dalam artikel ini dapat dikatagorikan sebagai syi’ah generasi kedua, ketiga atupun generasi berikutnya. Jika di artikel sebelumnya [1]  disebutkan nama-nama para sahabat yang sudah populer  dan kredibilitasnya diakui secara aklamasi oleh syi’ah maupun sunni, maka dalam tulisan kedua ini akan dipaparkan dari serangkaian nama-nama yang boleh jadi amat jarang di dengar dikalangan awam. Sehingga kompilasi nama-nama para syi’ah awal ini menjadi saling melengkapi. Kedua  nama-nama para syi’ah yang kami sebutkan dalam tulisan ketiga ini menarik, karena ulama-ulama ahli hadis (dari ahlu sunnah) memasukkan dan memepercayai  mereka sebagai jalur perawi hadis, yang ini secara tidak langsung menolak tuduhan dari kaum awam dan kaum polemis yang menuduh pengikut Ahlul Ba’it sebagi “pendusta”. Menganggap para syi’ah awal tersebut sebagai “pendusta” maka  konsekuensinya hadis-hadis yang diriwayatkan melalui jalur mereka harus dikeluarkan dari kompilasi hadis kitab enam milik ahlu sunnah.

Sumber rujukan artikel buku ini adalah Kitab al Muraja’at karya Ayatullah Syafruddin al Musawi. Buku ini telah pula diteliti oleh Prof Dr. H Abu Bakar Atjeh (yang bermadzhab ahlu sunnah) dan kemudian diterbitkan dengan judul “Syi’ah Rasionalisme dalam Islam”  pada halaman kata pembuka yang ditulis oleh Kolonel Drs H Bahrum Rangkuti (kepala Pusat Rohani Angkatan Laut Republik Indonesia)  beliau menyebutkan hasil pengkajian Abu Bakar Atjeh ini dengan kalimat yang indah ” Dengan bukumu yang baru ini, “Syi’ah, rasionalisme dalam Islam”, anda telah menyumbangkan suatu karya yang amat bernilai bagi khazanah perpustakaan Islam. Tidaklah berlebih-lebihan jika kulukiskan, bahwa karyamu ini membukakan mata Indonesia, teristimewa bagi para sarjana, alim dan ulama Islam kepada salah satu aspek daripada Islam, yang selama ini agak suram cahayanya di bumi dan dilangit cita-cita Indonesia”.

Kami juga menggunakan buku pembanding  yang menyerang pandangan kitab al Muraja’at, ditulis oleh polemis bernama Mahmud Az Zabby yang berjudul “al Bayyinat, fi ar Radd ‘ala abatil al Muraja’at” meskipun ditulis dengan kadar emosi tingg dipenuhi ledakan kemarahan (yang ini sekaligus membedakannya dengan gaya asy Syaikh Salim al Bisyrib al Maliki -rektor al azhar yang menjadi lawan dialog dari Syafruddin al Musawi- yang tetap menjaga kesantunan dan kesopanan dalam diskusi)  az Zabby  dalam tanggapan tentang nama-nama syi’ah (awal) – yang menjadi perawi hadis dalam kumpulan hadis ahlu sunnah – alih-alih mampu dia patahkan, tetapi az Zabby justru mengiyakan bahwa para perawi hadis tersebut adalah generasi-generasi syi’ah (awal).

Kalau kemudian ada kata-kata bid’ah, syi’ah ekstrim dan lain-lain, saya pribadi memandang sebagai sebuah penegasan perbedaan aras idiologi sesama mereka. Hal itu saya anggap wajar-wajar saja, sebagaimana kita lihat fenomena hari ini, jika seseorang dari pengikut gerakan Islam tertentu kemudian menuduh  gerakan diluar kelompoknya  sebagai  tidak sejalan dengan Islam. Tentu pernyataan tersebut harus dikaji lebih dalam lagi, sebagaimana sebutan-sebutan yang akan ditemukan dalam artikel  dibawah ini.

Sebagaimana yang ditulis dalam al Muraja’at kami akan menuliskan sebagaimana dituliskan dalam kitab tersebut diurutkan dari urutan abjad, dan komentarnya akan kami  sajikan dari  Ayatullah Syafruddin al Musawi,  berikutnya Mahmud az zabby:

1. Abban bin Taghlib bin Rabbah al Kufi: Adz Dzahabbi menyebutkan dalam kitabnya al Mizan sebagai berikut : ”Ia seorang syi’i yang keras pendirianya, tetapi ia juga sorang yang selalu menjaga kebenaran ucapanya. Oleh karenanya, kita ambil ucapanya yang bisa dipercayai itu dan kita tinggalkan bid’ahnya untuk dirinya sendiri.” adz Dzahabi kemudian berkata lagi :”Ahmad bin Hambal menilainya sebagai dapat dipercaya. Begitu pula, Ibnu Mu’in dan Abu Hatim. Ibnu ’Adi menyebutnya sebagai orang ekstrim dalam faham syi’ah. Adz Dzahabi menyebutkan pula bahwa : Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majjah diantara tokoh-tokoh ahli hadis yang meriwayatkan melalui Abban bin Taghlib bin Rabbah al Kufi. Mahmud az Zabby dalam bukunya menyatakan : Imam Ahmad, Yahya dan Nasa’i (tidak disebutkan di buku Musawwi) menganggap ia sebagai perawi tsiqat. Menurut Ibn ’Adi, Aban memiliki banyak tulisan, yang umumnya benar. Ia tsiqat dan jujur dalam meriwayatkan, Ia memang orang syi’ah, tetapi riwayatnya baik, jadi tidak ada persoalan. Yang menarika adalah, Mahmud Az Zabby, yang menolak pandangan al Juzjani yang menganggap Aban menyimpang, ia mengatakan : ”pernyataan al Juzjani kurang bernilai, karena itu tidak perlu ditanggapi”.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb : Dia orang Kufah, qari al-Quran. Al-Dzahabi telah merakamkan biografi dia di dalam bukunya al Mizan berkata, ‘Aban ibn Taghlib, dari Maw, di Kufa, adalah seorang Syi’ah. Dia bagaimanapun adalah orang yang benar; maka kami mempercayai pada kebenarannya dan biarlah dia dihukum diatas bid’ahnya.’ Dia juga berkata bahawa : Ahmad ibn Hanbal, Ibn Ma`in dan Abu Hatim telah meletakkan kepercayaan mereka kepadanya. Ibn `Adi berkata bahawa :” beliau adalah ‘pengikut Syi’ah.’ Al-Sa`di menerangkan mengenai beliau, sebagai orang yang ‘Dengan jelas telah Menyimpang.” Adz Dzahabi menjelaskan terhadap kredibiliti orang ini; bahwa riwayatnya dipakai oleh penulis Shahih Muslim dan juga pengarang empat buku Sunan, yaitu Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nisa’i dan Ibn Majah, nama beliau telah dipercaya oleh para ahli hadis. Riwayat beliau dapat dirujuk dalam hadith Sahih Muslim, di dalam empat buku Sunan melalui al-Hakam dan al-A`mash, sebagai tambahan Fudayl ibn `Umar. Sufyan ibn `Ayinah, Shu`bah, dan Idris al-Awdi telah menyebutkan hadith dari beliau sebagaimana yang disebutkan di dalam buku Imam Muslim. Beliau wafat tahun 141 H.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi :”al Bayyinat, fi ar Radd ‘ala abatil al Muraja’at ia mengatakan : Aban ibn Taghlib ibn Rabah al-Rub’i Abu Sa’d al-Kufi,Imam Ahmad, Yahya, Abu Hatim dan Nasa’i, menganggap Aban perawi tsiqat. Sedangkan al-Juzjani memandang Aban menyimpang, yang pendapatnya dikecam. Menurut ibn ‘Adi, Aban memiliki banyak tulisan, yang umumnya benar. Ia tsiqat dan jujur dalam meriwayat. la memang Syi’ah, tetapi riwayatnya baik, jadi tak ada persoalan. Menurut saya, pernyataan ‘Adi tersebut benar. Sedangkan pernyataan al- Juzjani kurang bernilai, karena itu tidak perlu ditanggapi. Pernyataannya berkonotasi hendak mendiskriminasi warga Kufah. Menurut tradisi ulama terdahulu (mutaqaddimin), tasyayyu’ ialah kepercayaan yang mengutamakan ‘Ali dibanding ‘Utsman. ‘Ali sesungguhnya berpihak kepada kebenaran di setiap berperang. Penentang ‘Ali, sebaliknya, tentu saja yang bersalah. Tasyayyu’ tidak menempatkan ‘Ali lebih tinggi dari Abu Bakar dan ‘Umar. Tetapi, menurut ulama muta’akhkhirin (yang belakangan), tasyayyu’ identik dengan rafadh yang murni. Dengan begitu riwayatnya tidak dapat diterima, karena tidak bernilai. Dari biografi di atas, nyata bahwa Aban ibn Taghlib bukanlah Rafidhah, tetapi penganut tasyayyu’. la tidak mengajak orang lain mengikuti pahamnya, apalagi ia jujur dan istiqamah. Karena itu Ashhabus Sunan menerima riwayat Aban.

c. Catatan: Bahwa Mahmud Az Zabby tidak menolak sama sekali pandangan kesyi’ahan dari perwai ini, alaih-alih membantahnya malah az Zabby justru menentang pendapat yang menolak periwayatanya. Az Zabby justru mengungkapkan polemik difinisi syi’ah, tasyayu’ dan rafidhi dalam kelompoknya yang ternyata tidak sama pandanganya. Tetapi persoalan utama disini adalah bahwa beliau yang disebut dalam kitab al Muraja’at ini adalah seorang Syi’ah. Dan para ahli hadis dari kalangan ahlu sunnah telah menempatkan dia sebagai sumber terpercaya.

2. Ibrahim bin Yazid an Nakha’i al Kufi (al Fakih): Ibnu Qutaibah dalam kitabnya al Ma’arif (hal 206) memasukanya dalam kelompok tokoh-tokoh syi’ah. Dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim Muslim dijumpai hadist yang diriwayatkan lewat jalur paman ibunya, ”Al Qamah bin Qais. Beliau tergolong tokoh Islam yang dipercaya namanya tersebut diantara mata rantai sanad yang shahih dalam kitab hadis yang enam. Mahmmud Az Zabby (sang polemis) bukan menyerangnya tetapi melengkapinya : menurut al A’jli, ”Ibrahim itu shaleh, ahli fiqih, bertakwa dan sederhana”. A’masy menilai hadis Ibrahim baik. Ibn Mu’in :” tak ada yang kuketahui sepandai Ibrahim” Ibn Mu’in menyatakan ”pola hidup Ibrahim lebih aku sukai daripada pola hidup Sya’bi”.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb : dia adalah Ibrahim ibn Yazid ibn `Umer ibn al-Aswad al-Nakh`i al-Kufi, seorang faqih. Ibunya adalah Malika anak perempuan Yazid ibn Qays al-Nakh`i dan juga adik perempuan al-Aswad, Ibrahim, dan `Abdel-Rahman, anak lelaki Yazid ibn Qays. Seperti bapa-bapa saudara mereka `Alqamah dan Ubay, anak lelaki Qays, mereka semuanya diantara penyampai yang amat dipercayai Imam Muslim. Pengarang enam buku Sahih, begitu juga yang lainnya, semua telah bergantung kepada penyampaian mereka, sedangkan telah diketahui bahawa mereka adalah Syi’ah. Berkenaan orang ini (Ibrahim ibn Yazid) dia telah digolokan sebagai pemuka-pemuka Syi`ah oleh Ibn Qutaybah (seperti yang disebut dalam halaman ke 206 dari kitabnya Al-Ma`arif) dimana dia menyebutkan beberapa orang terkemuka Syiah, dan telah mempercayainya dengan tidak ada keraguan. Hadith beliau ditemukan dalam buku Sahih Bukhari dan Muslim seperti yang disebutkan oleh ibu kepada bapa saudaranya `Alqamah ibn Qays, dan oleh Humam ibn al-Harith, Abu `Ubaydah ibn `Abdullah ibn Mas`ud, `Ubaydah, al-Aswad ibn Yazid, bapa saudaranya. Riwayat beliau juga ditemukan di dalam buku Sahih Muslim, melalui bapa saudaranya dipihak ibu, ‘Abdul-Rahman ibn Yazid, dan melalui Sahm ibn Munjab, Abu Mu`ammar, `Ubayd ibn Nadlah, dan `Abis. Dia telah disebutkan oleh Fudayl ibn `Umar, al-Mughirah, Ziyad ibn Kulayb, Wasil, al-Hasan ibn `Ubaydullah, Hammad ibn Abu Sulayman, dan oleh Sammak. Ibrahim telah dilahirkan pada tahun 50 H., dan dia meninggal pada umur 95 atau 96, empat bulan selepas al-Hajjaj mati.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Ibrahim ibn Yazid ibn Qays ibn al-Aswad ibn ‘Amr ibn Rabi’ah ibn Dahl an-Nakha’i Abu Imran al-Kufi al-Faqih’ menurut al-Ajli, Ibrahim itu saleh, ahli fiqih, bertakwa dan sederhana. A’masy menilai hadits Ibrahim baik. Asy-Sya’bi juga mengakui, “tak ada yang kuketahui sepandai Ibrahim.” Kata ibn Mu’in, “pola hidup Ibrahim lebih kusukai daripada pola hidup Sya’bi.” Demikian beberapa pendapat tentang Ibrahim. Sementara al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, berkata begini, “Para ahli hadits, penyusun keenam buku induk hadits, berhujjah dengan Ibrahim dan para saudaranya. Padahal mereka yakin, Ibrahim dan saudaranya itu penganut Syi’ah.” Namun kami belum pernah membaca ada ulama ahli hadits yang menilai Ibrahim dan saudaranya itu Syi’ah. Saya telah menelusuri biografi Ibrahim, tetapi belum menemukan keterangan seperti yang dikemukakan al-Musawi.

c. Catatan: pernyataan Mahmud Az Zaby agak tendensius, bilamana mengatakan”… Namun kami belum pernah membaca ada ulama ahli hadits yang menilai Ibrahim dan saudaranya itu Syi’ah. Saya telah menelusuri biografi Ibrahim, tetapi belum menemukan keterangan seperti yang dikemukakan al-Musawi “ Padahal secara jelas al Musawi menunjukan kitab al Ma’arif karya Ibnu Qutaybah menyebutkan beliau adalah seorang syi’ah. Jika Mahmud az zaby dapat dengan mudah melacak pendapat ahli hadis lain mengapa kemudian dia menjadi tumpul ketika menghadapi pernyataan Ibn Qutaibah. Ataukah dia berusaha menutupi fakta sebenarnya, Bantahan tendensius akan ditemukan dalam kajian berikutnya, Az Zabby seolah mengabaikan pernyataan Ibnu Qutaibah dan Syahrastani

3. Ahmad ibn al Mufadhdhal ibn al Kufi al Hafri, Abu Zar’ah dan Abu Hatim mempercayai riwayatnya, meskipun keduanya mengetahui kedudukanya sebagai seorang syi’ah. Dalam al mizan disebutkan : ”Ahmad ibn al Mufadhdhal adalah seorang syi’i dan ia adalah seorang shaduq (yang selalu benar ucapan-ucapanya). Adz Dzahabi menyebutkann Abu Daud dan Nas’i mengambil riwayat hadis darinya dalam kedua kitab mereka. Mahmmud az Zabby dalam buku polemisnya tidak membantahnya tetapi malah melengkapinya, ia menuliskan : Ats Tsauri, Asbath Ibn Nashr, Isra’il dan ulama lainya, meriwayatkan dari hadis Ahmad. Ibn Syaybah, Abu Zara’ah dan Abu Hatim juga meriwayatkan hadis dari Ahmad ibn al Mufadhdhal Abu hatim menilai Ahmad seorang jujur dari kalangan pemuka syoi’ah.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Dia adalah Ahmad ibn al-Mufdil ibn al-Kufi al-Hafri. Abu Zar`ah dan Abu Hatim menyebut dari beliau dan mempercayainya, sedang mereka benar-benar sadar akan kedudukan dia cebagai Syi’ah. Di dalam biografi Ahmad, seperti yang disebutkan di dalam Al-Mizan karya adz Dzahabi, Abu Hatim menunjukkan fakta ini dengan mengatakan: “Ahmad ibn al-Mufdil adalah seorang dari pemimpin Syi`ah, dan dia adalah orang yang benar.” Adz Dzahabi menyebut di dalam bukunya Al-Mizan, bahwa Abu Dawud dan al-Nisa’i, mengambil riwayat darinya. Silahkan rujuk hadithnya di dalam Sahih riwayat beliau melalui al-Thawri. Dia menyampaikan melalui Asbat ibn Nasir dan Isra’i.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi : Ahmad ibn al-Mufadhdhal al-Farsyi al-Amawi Abu ‘Ali al-Kufi al-Hafri, Ats-Tsauri, Asbath ibn Nashr, Isra’il, dan ulama lain, meriwayatkan hadits dari Ahmad. Ibn Syaybah, Abu Zara’ah, dan Abu Hatim, juga meriwayatkan hadits dari Ahmad ibn al-Mufadhdhal. Abu Hatim menilai Ahmad seorang jujur dari kalangan pemuka Syi’ah. Perhatikan kata Abu Hatim barusan, biar jelas bagi anda betapa jujurnya ulama hadits dari kalangan Sunni, dan betapa konsistennya mereka menggunakan metoda yang diciptakan. Mereka menerima riwayat Ahmad ibn al-Mufadhdhal, karena ia jujur dan tidak mengajak orang lain mengikuti bid’ahnya. Seandainya ia seorang Rafidhah, ulama hadits pasti menolak riwayat yang berasal darinya.

c. Catatan: tidak ada yang perlu dikomentari, karena pada dasarnya az Zabby tidak dapat meneolak tulisan al Musawi

4. Isma’il bin Abban al Azdi al kufi al Warraq. Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya al Mizan bahwa al Bukhari dan Turmudzi berpegang pada riwayat Isma’il dalam kedua kitab shahih mereka. Demikian pula Yahya dan Ahmad mengambil riwayat haditsnya. Al Bukhari menilainya sebagai orang yang amat boleh dipercaya. Yang lainya menyebutkan sebagai seorang yang berfaham Syi’ah. Ia wafat tahun 286 H. Mahmud az Zabby tidak menolaknya bahkan melengkapinya : disebutkan Isma’il ini sebagai salah seorang guru al Bukhari. An Nasa’i, Mathin, Ibn Mu’in, Hakim, Abu Ahmad, Ja’far ash Shaigh dan ad dar Quthni menilainya sebagai seorang tsiqat. Al Jauzjani berkata ”kendati Isma’il seorang yang syi’ah (menyimpang) tetapi ia tidak berdusta dalam meriwayatkan hadist. Ibn ’Adi berkata : ” sebagian orang Kufah adalah penganut Tasyayyu’” menurut sang polemis . Al Jauzjani adalah seorang benci kepada Ali bin Abi Thalib (nawashib).

Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Isma’l ibn Abban al-Warraq al-Azdari al-Kufisalah seorang guru Imam Bukhari, walau ia tidak banyak meriwayatkan hadits darinya. An-Nasa’i, Mathin, Ibn’Mu’in, Hakim, Abu Ahmad, Ja’far ash-Shadigh dan ad-Dar Quthni, semuanya menilai Isma’il seorang tsiqat. Aj-Jauzjani berkata bahwa walaupun Isma’il menyimpang (dari kebenaran), tetapi ia tidak berdusta dalam meriwayatkan hadits. Ibn ‘Adi berkata, “Sebagian besar orang Kufah adalah penganut tasyayyu’.” Menurut pengamatan kami, aj-Jauzjani memusuhi ‘Ali. Ia kebalikan orang Syi’ah yang memusuhi ‘Utsman. Padahal yang-benar, ia justru menghargai dan menyukai mereka berdua. Kita tidak perlu mendengarkan komentar pembid’ah terhadap sesama pembid’ah. Ibn ‘Adi telah menjelaskan, tasyayyu’ Isma’il berbentuk sikap mengutamakan ‘Ali daripada ‘Utsman, bukan Abu Bakar atau ‘Umar. Aj-Jauzjani sendiri menyatakan Isma’il tidak berdusta dalam berhadits –suatu sikap pembeda dari pendusta– dengan kesaksian dari lawannya sendiri. Karena itu Imam Bukhari dan Muslim serta ulama hadits yang lain menerima riwayat Isma’il

5. Isma’il bin Khalifah al Mulai al kufi, ia dikenal dengan julukanya sebagai Abu Isra’il, Adz Dzahabi menyebutkan dalam al Mizan : Ia adalah seorang syi’i yang dibenci karena sangat ekstrim dalam fahamnya itu. Ia termasuk orang yang mengkafirkan ’Utsman bin Afan. Meskipun begitu Turmudzi meriwayatkan hadisnya dalam shahihnya. Abu Hatim menilai baik haditsnya. Abu Zar’ah berkata ”Ia seorang shaduq (sangat dapat dipercaya ucapan-ucapanya) tetapi ia berfaham syi’ah” Ahmad berkata : ”boleh dicatat hadisnya” Ibnu Quthaibah menulis dalam kitanya al Ma’arif menggolongkan dalam kelompok syi’ah. Mahmud az Zabby tidak membantahnya, ia mengatakan :” Ismail memang seorang syi’ah, ia memaki Utsman. Namun sangat jujur, bukan pembohong. Karena itu, ulama hadits menerima riwayatnya” ia menambahkan bahwa Atsram menceritakan bahwa b Ahmad menerima hadits Isma’il. Menurut az Zabby pula, Ibn Mu’in, Ishak Ibn Mansur menilai hadits Isma’il sangat aik. ’Umar Ibn Ali menilai Isma’il tidak termasuk pendusta. Abu Zara’ah menyebutikan : Ismail seorang jujur, tetapi pendapatnya berlebihan. Abu Hatim menemukan hadist ismali baik dan orangnya ramah.

Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Isma’il ibn Khalifah al-Mala’i al-Kufi Abu Isra’il memang seorang Syi’ah. Ia memaki ‘Utsman. Namun, ia sangat jujur, bukan pembohong. Karena itu, ulama hadits menerima riwayatnya. Sebab, menurut sistem yang disepakati, riwayat pembid’ah dapat diterima dengan catatan ia bukan orang Rafidhah, tidak mempromosikan, bid’ahnya, dan tidak menghalalkan cara berdusta uncuk menguatkan pendapat dan madzhabnya. Isma’il ibn Khalifah tidak termasuk yang tadi itu. Karenanya, penerimaan riwayatnya oleh ulama hadits harus dipahami sebagai kejujuran dan konsistensi mereka, yang tinggi, jauh dari pengaruh hawa nafsu. Atsram menceritakan2 bahwa Ahmad menerima hadits Isma’il. Menurut ibn Mu’in, Ishak ibn Mansur pernah menilai hadits Isma’il sangat baik. ‘Umar ibn ‘Ali menganggap Isma’il tidak termasuk pendusta. Abu Zara’ah juga menyatakan Isma’il seorang jujur, tetapi pendapatnya berlebihan. Abu Hatim menemukan hadits Isma’il itu baik, dan orangnya peramah, memiliki beberapa kesalahan yang menyebabkan haditsnya tidak dapat dijadikan argumen. Namun, haditsnya bisa ditampung.

Catatan : Menurut hemat kami, ada permasalahan inkonsistensi dalam penilaian periwayat hadis, seperti yang dikemukakan Mahmud az Zabbi bahwa “…memang seorang Syi’ah. Ia memaki ‘Utsman…. “ di analisa mahmud az Zabby berikutnya akan banyak ditemukan seorang “pemaki” lainya diitolak dan yang lain diterima. Yang menjadi ganjalan kedua adalah, Mahmud Az Zabby tidak melakukan penilaian secara adil, bagaimana para periwayat hadis yang dikenal sebagai pemaki Imam Ali bin Abi Thalib (seperti Muawiyyah dan Bani Ummayah) bagaimana yang memerangi Imam Ali dan tidak menghentikan aksi pembakaran rumah-rumah sahabat (seperti Abu Hurairah dan Basir bin Artha’ah) bagimana pula periwayat yang dia sebagai pelaksana lapangan pembunuhan Imam Husain (seperti putra sa’ad Ibn abi Waqqash-Umar bin Sa’ad). Tentunya kadar memaki dengan memerangi dan membunuh jelas berbeda. Ambiguitas ini tidak dijadikan sebagai analisa penilaian oleh Mahmud az Zabby.

6. Ismail bin Abbad bin Zakaria al Asadi al Khalqani al Kufi. Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya al mizan, sebagai seorang yang shaduq berfaham syi’ah. Ia termasuk diantara yang dikutip hadist-hadistnya dalam kitab hadis yang enam. Az Zabby sang polemis menuliskan : Ahmad bin Hanbal dan Yahya Ibn Mu’in berselisih tentang oran ini . An Nasa’i memandang tidak masalah menyangkut diri Isma’il. Abu Dawud memandang ia Tsiqat, Abu Hatim memandang ia seorang yang baik. Ibn ’Adi menyatakan haditsnya bagus dan bisa diterima. Ibnu Hajar menemukan sekelompok orang meriwayatkian hadits Isma’il, Bukhori menerima 4 hadist darinya.

Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi : isma’il ibn Zakaria ibn Murrah al-Khalqani al-As’adi Abu Ziyad al-Kufi Ahmad ibn Hambal dan Yahya ibn Mu’in berselisih penilaian tentang orang ini. An-Nasa’i memandang tidak ada masalah menyangkut diri Isma’il. Abu Dawud justru memandang ia tsiqat. Menurut Abu Hatim, dia seorang baik. Bahkan kata ibn ‘Adi, haditsnya bagus dan bisa diterima. Ibn Hajar menemukan sekelompok orang meriwayatkan hadits Isma’il. Tetapi Imam Bukhari hanya menerima 4 hadits darinya. Tiga diantaranya diikuti riwayat dari perawi lain. Dan yang satu lagi, hadits ke-4, diriwayatkan dari Muhammad ibn Shabah dari Isma’il dari Abu Burdah dari Abu Musa, mengenai kisah seorang lelaki yang dipuji Abu Musa. Kemudian Nabi bersabda, “Kau potong punggung lelaki itu.” Adapun perkataan-perkataan tentang ‘Ali yang disandarkan kepada Isma’il sama sekali tak ada benarnya. Al-Musawi; penulis Dialog Sunnah-Syi’ah sendiri menganggap pernyataan itu tidak dari al-Khalqani. Dengan begitu al-Khalqani bukan orang Rafidhah dan bukan pula orang Syi’ah. Jadi, mengapa al-Musawi menyatakan dia Syi’ah? Tak ada ahli hadits yang menyatakan demikian. Karena itu, jelas bagi kita bahwa al-Nusawi berdusta.

7. Isma’il bin Abbad bin Abbas ath Thaliqani (terkenal dengan nama ash Shahib bin Abbad). Adz Dzahabi dalam kitabnya menyebutkan : bahwa Abu Daud dan turmudzi meriwayatkan haditsnya, adz Dzahabi mengatakan ia serang sastrawan yang amat pandai dan ia seorang syi’i. az Zabby menuliskan ia sangat jujur, katanya ia penganut mu’tazilah, dalam bidang fiqh penganut syafi’i dan ia penganut sy’iah ia murid dari al Bukhari.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Nama lengkapnya adalah Isma’il ibn `Abbad ibn al-Abbas al-Taleqani (Abul-Qasim), lebih dikenali sebagai al-Sahib ibn `Abbad. Al-Thahbi seperti yang disebutkan di dalam bukunya Al-Mizan, meletakkan tanda “DT” pada namanya untuk menunjukkan bahawa keduanya; Dawud dan al-Tirmithi bergantung kepadanya di dalam buku sahih mereka [2] Kemudian dia menerangkan, beliau sebagai “seorang Syi’ah yangcerdas dan pandai, seorang terpelajar.’ Dia sebagai seorang Syi’ah dalam suatu perkara tidak boleh diragukan. Atas sebab ini, dia dan bapanya mendapat jabatan dan penghormatan yang tinggi di dalam negeri Buwayhid. Dia adalah orang pertama diantara menteri-menteri kerajaan yang mendapat gelaran “sahib” (sahabat, kawan), semenjak beliau remaja, beliau telah bersahabat dengan Mu’ayyed al-Dawlah ibn Buwayh. Gelar ini telah didapatkan semenjak remaja dan dipakai saat remaja dn ketka beranjak dewasa beliau dikenali dengan gelaran tersebut. Beliau dipercaya sebagai menteri, beliau adalah menteri Mu’ayyed al-Dawlah Abu Mansur ibn Rukn al-Dawlah ibn Buwayh. yang wafat pada bulan Sha`ban tahun 373 di Jurjan, Abul-Hasan `Ali, yang lebih dikenali sebagai Fakhr al-Dawlah, adik Mu’ayyed, melanjutkan pemerintahanya dan mempercayakan kedudukan beliau sebagai Sahib. Fakhr al-Dawlah menyanjung tinggi Sahib dan menyempurnakan hajat beliau dengan cara yang sama seperti bapanya sendiri, Abu `Abbad ibn al-Abbas lakukan ketika dia sedang berkhidmat kepada bapa Fakhr al-Dawlah, Rukn al-Dawlah. Beliau wafat pada usia 59 tahun, meninggal pada khamis malam, 24th Safar, 385, di Rayy. Bandar Rayy telah menutup semua kedainya sebagai tanda berkabung, dan manusia berkumpul dihadapan rumahnya sambil menunggu jenazahnya. Fakhr al-Dawlah, bersama menteri-menteri kerajaan dan ketua turus tentera pergi kesana dengan memakai pakaian berkabung. Apabila jenazahnya dibawa keluar dari rumahnya, manusia melaungkan serentak “Allahu Akbar!”, mencium bumi tanda menghormati, dan Fakhr al-Dawlah mengikuti jenazah beliau berjalan kaki bersama lautan manusia dan duduk bersama mereka selama 3 hari sebagai tanda berkabung. Penyair membacakan sajak, dan ulama mengadakan majlis memperingati sebagai tanda penghormatan, dan beliau telah disanjung oleh semua yang tidak dapat hadir pada pengkebumian itu. Abu Bakr al-Khawarizmi berkata: “Al-Sahib ibn `Abbad dibesarkan dipangkuan kementerian, belajar merangkak dan berjalan dikawasan persekitarannya, telah dibelai dari dada yang penuh kecemerlangan, dan mewarisinya dari bapanya yang terdahulu.” Abu Sa`id al-Rustami menggubah sajak tersebut dengan memujinya: “dia mewarisi kementerian: sambungan di dalam rantai, Orang ternama, adalah dia, keturunan orang ternama, Mengenai kementerian al-Abbas, Abbad sampaikan, Sedangkan dari Abbad, Isma’il sampaikan. Di dalam biografi al sahib, al-Tha`alibi berkata: “Saya tidak dapat mencari perkataan yang sesuai untuk dapat menerangkan kedudukan mulia Sahib di dalam ilmu pengetahuan dan sastera, atau penghormatan yang dia nikmati kerana ramah mesra dan bermurah hati atau kebaikannya yang unik, serta memilikki beberapa kemuliaan yang lain lagi. Kenyataan yang terbaik yang saya dapat katakan bagi pihak dirinya, tidak sampai pada melakukan keadilan terhadap yang terkecil diantara kemuliaan dan ketinggiannya, dan penerangan saya yang terbaik tidak sampai untuk berlaku adil kepada kemuliaan keperibadiannya.” Sahib telah menulis banyak buku yang amat berharga termasuklah Al-Muhit buku bahasa di dalam 7 jilid; Bab nya tersusun secara abjad. Dia memiliki perpustakaan pribadi yang tiada tandingannya. Nuh ibn al-Mansur, seorang dari Raja Sam`an, menulis kepada beliau, menawarkan jabatan sebagai menteri kabinet dan mengurus urusan negara. Beliau meminta maaf kepadanya, dengan berkata dia memerlukan 400 unta untuk memindahkan buku perpustakaan pribadinya. Sebanyak ini mengenai beliau adalah mencukupi.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi : Isma’il salah seorang guru Imam Bukhari, walau ia tidak banyak meriwayatkan hadits darinya. An-Nasa’i, Mathin, Ibn’Mu’in, Hakim, Abu Ahmad, Ja’far ash-Shadigh dan ad-Dar Quthni, semuanya menilai Isma’il seorang tsiqat. Aj-Jauzjani berkata bahwa walaupun Isma’il menyimpang (dari kebenaran), tetapi ia tidak berdusta dalam meriwayatkan hadits. Ibn ‘Adi berkata, “Sebagian besar orang Kufah adalah penganut tasyayyu’.” Menurut pengamatan kami, aj-Jauzjani memusuhi ‘Ali. Ia kebalikan orang Syi’ah yang memusuhi ‘Utsman. Padahal yang-benar, ia justru menghargai dan menyukai mereka berdua. Kita tidak perlu mendengarkan komentar pembid’ah terhadap sesama pembid’ah. Ibn ‘Adi telah menjelaskan, tasyayyu’ Isma’il berbentuk sikap mengutamakan ‘Ali daripada ‘Utsman, bukan Abu Bakar atau ‘Umar. Aj-Jauzjani sendiri menyatakan Isma’il tidak berdusta dalam berhadits –suatu sikap pembeda dari pendusta– dengan kesaksian dari lawannya sendiri. Karena itu Imam Bukhari dan Muslim serta ulama hadits yang lain menerima riwayat Isma’il

8. Isma’il bin Abdurrahman bin Abni Karimah al Kufi (ahli tafsir al Qur’an yang terkenal dengan nama as Suddi), adz Dzahabi berkata dalam kitabnya al mizan : ” Ia dituduh penganut faham syi’ah. Seperti yang dinyatakan oleh Husain bin Waqid al Mirwazi bahwa ia pernah mendengar Isma’il memaki Abu Bakart dab Umar. Meskipun begitu Ats Tsauri dan Abu Bakar bin ’Iyasy mempercayai hadist yang diriwayatkanya. Hadist nya dijumpai dalam shahih muslim. Ahmad bin Hanbal menguatkanya. Mahmud az Zabby menuliskan : ia penganut tasyayu’ namun ulama hadits tidak menolak riwayatnya. Dan menariknya Mahmud az zabby mengecam al Juzjani yang menyatakan ” al Suddi adalah pembohong suka memaki shahabat, kata az Zabby pernyataan al Juzjani tidak perlu didengarkan dan ditanggapi. Az Zabby mengatakan, bahwa al Hakim menegaskan bahwa Isma’il bin Abdurrahman bin Abni Karimah al Kufi bersifat adil, lebih kuat dibanding ulama yang memandangnya lemah, karena ulamma yang memandangnya lemah tidak memberikan penjelasan yang konkrit. Ibn Hibban menegaskan bahwa as Suddi sebagai perawi yang tsiqat. Abu Hatim memandang hadist al Suddi dapat diterima. Al Nasa’i menilai al suddi sebagai seorang yang baik. Ibn ’Adi menganggap al Suddi sebagai orang yang lurus alias benar.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Lebih dikenali sebagai al-Sadi, Dia seorang penafsir al-Quran yang terkenal. Menyebutkan biografinya, adz Dzahabi menerangkan beliau sebagai ‘penganut paham syi’ah.” Husayn ibn Waqid al-Maruzi mengatakan, bahawa dia pernah mendengar beliau suatu ketika mengutuk Abu Bakr and `Umar. Walaupun terdapat tuduhan seperti itu, beliau telah disebutkan oleh al-Thawri dan Abu Bakr ibn `Ayyash dan banyak lagi penulis yang setaraf dengannya. Penulis Sahih Muslim dan penulis empat buku sahih menganggap beliau sebagai periwayat hadith, sedangkan Ahmad memberikan kepercayaan kepada beliau. Ibn `Adi berkata bahawa dia adalah benar. Yahya al-Qattan berkata tidak terdapat kesalahan pada hadith yang disampaikan oleh beliau. Yahya ibn Sa`id berkata: “Saya tidak pernah mendengar sesiapa yang berkata tidak baik mengenai beliau, al-Sadi; tiada siapapun yang meninggalkan riwayat beliau.” Ibrahim al-Nakh`i suatu ketika menemui al-Sadi sedang beliau menafsirkan al-Quran. Ibrahim berkata bahawa al-Sadi menafsirkan al-Quran menurut cara yang digunakan umum. Jika kamu membaca mengenai al-Sadi di dalam Mizan al-I`tidal, kamu akan dapati yang lebih khusus mengenai apa yang kami sebutkan diatas. Rujuk kepada hadith al-Sadi di dalam Sahih Muslim dari Anas ibn Malik, Sa`d ibn `Ubaydah, dan Yahya ibn `Abbad. Abu `Awanah, al-Thawri, al-Hasan ibn Salih, Za’idah, dan Isra’il semuanya telah menyebutkan dari beliau, sebagai penasihat mereka, seperti mana yang disebutkan di dalam buku sahih yang empat. Dia meninggal pada tahun 127 H.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Isma’il ibn Abdurrahman ibn Abi Karimah al-Kufi Ia ahli tafsir dan dikenal dengan nama al-Sadi. Ia dituduh penganut tasyayyu’. Namun ulama hadits, tidak menolak riwayatnya, kecuali kalau ia mempromosikan bid’ahnya, dan menghalalkan cara berdusta untuk menguatkan pendapatnya. Namun al-Sadi tidak seperti itu. Al-Jauzjani menyatakan, al-Sadi itu pembohong, suka memaki para sahabat. Namun pernyataan ini tidak perlu ditanggapi, sebab al-Jauzjani juga pembid’ah. Statement seorang pembid’ah mengenai sesama pembid’ah tidak dapat diterima. Beberapa pendapat sudah saya kemukakan, baik yang melemahkan as-Sadi maupun yang memandang dirinya tsiqat. Karena itu, orang yang menerima riwayatnya, berarti memihak pada pendapat ulama yang lebih moderat. Dan yang ini jumlahnya lebih banyak. Di samping itu, penilaian bahwa as-Sadi lemah tidak dikemukakan secara terinci. Di dalam pembahasan tentang perawi-perawi yang tidak dapat diterima riwayatnya, al-Hakim menegaskan bahwa ulama yang memandang ‘Abdurrahman ibn Muhdi bersifat adil, lebih kuat dibanding ulama yang memandahg dia lemah, karena ulama yang ke dua ini tidak memberikan penjelasan yang kongkrit. Ibn Hibban memasukkan al-Sadi ke dalam daftar perawi tsiqat. Menurut Abu Hatim, hadits al-Sadi dapat diterima, meskipun tidak dapat dijadikan sebagai argumen. Al-Nasa’i pernah menilai al-Sadi seorang yang baik. Sedangkan ibn ‘Adi menganggap al-Sadi seorang yang lurus alias benar.

9. Isma’il bin Musa al Fazari al Kufi. Ibnu ’Adi berkata seperti yang dikutip adz dzahabi ” banyak orang yang mnegecamnya karena faham syi’ahnya, tetapi banyak pula ahli hadits yang mengambil riwayatnya seperti Ibnu khuzaimah, Abu ”Arubah, Abu daud dan Turmudzi. Mahmud az Zabby sang polemis menuliskan : Ibn Hatim, al nasa’i dan Ibn Hibban menyatakan ia tsiqat. Al Ajari menilainya jujur dalam berhadits walaupun penganut tasyayu’.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb adz Dzahabi: Al-Mizan menyebutkan Ibn `Uday sebagai berikut, “Manusia benci terhadap pandangan Syiah nya yang ekstrim’ Al-Mizan juga menyebut `Abdan sebagai berkata: “Hammad dan Ibn Abu Shaybah menentang kami menziarahi beliau.” Dia bertanya beliau suatu ketika bagaimana perasaannya dengan ‘yang tidak bermoral yang mengutuk keturunan kita.’ Walaupun terdapat semua ini, keduanya Ibn Khuzaymah dan Abu `Arubah menyebutkan dari beliau, yang juga jurutunjuk di dalam kelas mereka. Dia adalah di dalam kategori yang sama dengan Abu Dawud dan al-Tirmidzi yang menyebutkan dari beliau dan bergantung pada penyampaian hadithnya di dalam Sahih mereka. Abu Hatim menyebut beliau dan mengatakan bahawa beliau boleh dipercayai. ” Al-Nisa’i berkata “dia adalah benar.” Semua ini tertulis di dalam biografi beliau di dalam adzahabi: Al-Mizan. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih al-Tirmidzi dan Sunan Abu Dawud seperti yang disampaikan oleh Malik, Sharik, dan `Umar ibn Shakir, seorang sahabat Anas. Dia meninggal pada tahun 245.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Isma’il ibn Musa al-Fazari al-Kufi, Ibn Hatim, al-Nasa’i, dan ibn Hibban menyatakan, isma’il itu tsiqat. Tetapi kata ‘Adi, banyak ulama menolaknya karena dia bersikap ekstrim dalam bertasyayyu’. Al-Ajari menilainya jujur dalam berhadits, walaupun ia penganut tasyayyu’.Dari keterangan hadits di atas, jelaslah bahwa semua ulama sepakat tentang kejuruan Isma’il. Sebagian menyatakan ia tasyayyu’, tetapi bukan rafadh, dan tidak ada orang yang menyatakan ia pendusta, atau mengajak orang lain mengikuti pahamnya. Dengan demikian, maka tak ada cela untuk menerima riwayatnya.

10. Talid bin Sulaiman al Kufi, Ibnu Mu’in mengatakan sbb : ia sering memaki Utsman. Pada suatu hari salah seorang dari anak anak maula (bekas budak) Utsman mendengar makianya itu. Lalu ia dilemparinya dengan sesuatu yang menyebabkan kakinya patah. Abu daud menyebutnya sebagai seorah rafidhi yang memaki abu bakar dan Umar meskipun begitu Ahmad dan Ibnu Numair mempercayai riwayatnya dalam hadist, padahal ia mengetahui dia seoarang syi’i. Turmudzi menyebut hadits yang diriwayatkan dalam kitab shahihnya lewat ’Atha ’ bin Sa-ib dan Abdul Malik bin Umair. Mahmud az zabby menolak riwayatnya kendati ada ulama hadits yang menerimanya. Alasan penolakanya adalah : ia mencaci Syaikhan meskipun diatas juga disebutkan panya periwayat yang mencaci syaikhan tapi tetap dia terima hadisnya. Alasan ia menolakn lainya adalah Talid dituduh membuat hadis tentang keutamaan Ahlul Ba’it.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Ibn Ma`in menyebut beliau dan berkata: “Dia pernah mengutuk `Utsman. Sebahagian dari pengikut Utsman mendengarnya. Mereka melempari batu kepada beliau, lalu mematahkan kaki beliau, itulah sebabnya maka beliau dapat panggilan “al-A`raj,” si pincang. Abu Dawud ada menyebutnya dan berkata beliau adalah Rafidi yang mengutuk Abu Bakr dan `Uthsman. Walaupun terdapat semua ini, Ahmad dan Ibn Namir bergantung pada penyampaian hadithnya, walaupun mereka mengetahui beliau adalah syi’ah. Ahmad telah berkata, “Talid adalah seorang Syi`ah, bahkan kami tidak menjumpai apa-apa kesalahan dengan apa yang beliau sampaikan.” Adz Dzahabi ada menyebut beliau di dalam bukunya Al-Mizan, menyebut kenyataan mengenai beliau yang diperkatakan oleh mereka yang terpelajar seperti yang tertulis diatas. Dia meletakkan tanda al-Tirmidzi pada nama beliau untuk menunjukkan bahawa al-Tirmidzi menganggap beliau sebagai periwayat hadits. Rujuk kepada hadith beliau di dalam Sahih al-Tirmidzi melalui `Ata ibn al-Sa’ib dan `Abdel-Malik ibn `Umayr.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Talid ibn Sulaiman al-Kufi al-A’raj Imam Turmudzi meriwayatkan satu hadits dari Talid tentang manaqib (biografi). Para ahli hadits sepakat untuk menolak riwayatnya, sebab ia Rafidhah yang memaki Abu Bakar, ‘Umar, dan sahabat Nabi yang lain. Ia termasuk pembuat hadits palsu, dan meriwayatkan beberapa hadits tentang keutamaan Ahlul Bayt yang aneh-aneh. Adapun pernyataan Ahmad bahwa Talid orang Syi’ah, dan tak ada sesuatu yang membahayakan pada dirinya, menunjukkan ketidaktahuan Ahmad bahwa para ulama menganggap Talid itu orang Rafidhah dan pendusta. Di sini, kecaman terhadap Talid harus didahulukan lantaran jumlah mereka banyak, dan lebih mengetahui keadaan Talid.

c. Catatan : bandingkan inkonsistnesinya dalam penilaian hadits, berbeda dengan syi’ah yang menguji hadits dengan selain yang tiga sebagaimana dipakai dalam tradisi ahlu Sunnah syiah masih menggunakan Al Qur’an sebagai alat uji.

11. Tsabit bin Dinar (dikenal dengan julukan Abu Hamzah ats Tsumali ) kitab al mizan menyebutkan, bahwa ia memandang sinis tergadap Utsman, As Sulaimani memasukanya dalam kelompok rafidhah , tetapi menurut adz dzahabi Turmudzi berpegang pada riwayatnya.az Zabby menuliskan : Ahmad, Abu Zara’ah, al Juzjani, al Nasa’i dan Ibnu Mu’in memandang hadistnya lemah tetapi Abu Hatim mengatakan, ” walaupun hadistnya lemah, tetapi itu bisa diterima tanpa dijadikan argumen atau hujjah”.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Tsabit lebih dikenali sebagai Abu Hamzah ats Tsumali. Beliau seorang Syi`ah adalah jelas seperti terangnya matahari. Pengarang Al-Mizan menyebut beliau, mengatakan bahawa nama ‘Utsman telah disebutkan dihadapan beliau. Beliau secara menyindir bertanya: “Siapa dia `Utsman?!” Iainya juga mengkatakan bahawa al-Sulaymani memasukan Abu Hamzah sebagai Rafidis. Adz DZahabi menyebutkan bahwa al-Tirmidzi pada nama Abu Hamzah sebagai penyampai hadithnya. Waki` dan Abu Na`im menyebut dari beliau dan menggunakan beliau sebagai penyampai hadith. Rujuk kepada hadith beliau di dalam Sahih al-Tirmithi melalui Anas dan al-Sha`bi dan yang lain dari kalibar yang sama. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, pada tahun 150 H.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Tsabit ibn Abi Shafiyah Dinar Ada yang menyebutnya Sa’id Abu Hamzah ats-Tsumali. Ahmad menilainya lemah (dha’if). Ibn Mu’in juga mengatakan begitu. Abu hadits Tsabit itu lemah. Menurut Abu Hatim, walaupun haditsnya lemah, tetapi itu bisa diterima tanpa dijadikan sebagai argumen atau hujjah. Al-Jauzjani juga menyatakan bahwa hadits Tsabit lemah. Dan al-Nasa’i menegaskan, ia tidak tsiqat. Menurut keterangan Yazid ibn Harun, ia mempercayai paham raj’ah. Dan al-Sulaimani memastikan dia sebagai orang Rafidhah. Seperti itulah pendapat ahli hadist mengenai Tsabit. Tapi, al-Musawi memandang: Tsabit sebagai tsiqat. Meskipun Turmudzi meriwayatkan satu hadits darinya, itu tidak berarti Tsabit tsiqat. Penerimaan riwayat itu sekedar mengumpulkan data saja. Sebab terkadang hadits dari perawi yang tidak tsiqat ditulis juga, meskipun tidak dijadikan hujjah.

12. Tsuwair bin abi FaKhitah (abu jahm) al Kufi ia adalah maula Ummu Hani binti Abi Thalib, adz Dzahabi mengutip pernyataan Yunus bin Abi Ishaq bahwa Tsuwair adalah seorang rafidhi, meskipun begittu Sufyan dan Syu’bah mempercayai riwayat haditsnya. Juga Turmudzi dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar dan Zaid bin Arqam. Menurut az Zabby, Ibnu Mu’in menganggap haditsnya tidak ada nilainya. Abu Hatim menyatakan haditsnya dha’if. Ad Daruqutni menganggap haditsnya matruk. Al Tsawri memandangnya sebagai kelompok pendusta. Bukhori mengatakan Yahya dan Ibnu Muhdi meninggalkan ruiayatnya. Ibnu ’Adi menuliskan Ia memang seorang rafidhah. Kendati demikian Turmudzi tetap meriwayatkanya.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Dia lebih dikenali sebagai Abu Jahm al-Kufi, hamba Ummu Hani’ yang dibebaskan, anak perempuan Abu Talib. Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam Al-Mizan dan menyebut tuduhan Yunus ibn Abu Ishaq bahawa beliau adalah Rafidi. Walaupun begitu keduanya, Sufyan dan Shu`bah telah menyebut dari beliau, dan al-Tirmidzi telah menghasilkan sebahagian dari hadith beliau di dalam sahihnya melalui penyampaian dari Ibn `Umer dan Zayd ibn Arqam. Di masa Imam al-Baqir (as), beliau telah mengekalkan ketaatannya kepada Imam, dan beliau telah terkenal dengan sedemikian. Dalam hal ini, beliau telah membuat beberapa dialog yang menarik dengan `Amr ibn Tharr, seorang hakim; dan orang sezamannya, Ibn Qays, dan al-Salt ibn Bahram mengesahkan fakta ini

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Tsuwair ibn Abi Fakhitah Yunus ibn Ishaq menilai Tsuwair seorang Rafidhah. Ibn Mu’in menganggap hadits Tsuwair tidak ada nilainya. Abu Hatim dan ulama lain menyatakan haditsnya dha’if. Menurut ad-Daruquthni, hadits Tsuwair matruk. Sedang al-Tsawri memandang Tsuwair termasuk kelompok pendusta. Imam Bukhari mengabarkan, Yahya dan ibn Muhdi tidak menerima alias meninggalkan riwayat dari Tsuwair. Menurut ibn ‘Adi2, ia memang seorang; Rafidhah, sehingga banyak orang yang memandang haditsnya lemah. Kelemahannya tampak jelas di dalam sejumlah riwayatnya. Hadits Tsuwair memang lebih mendekad dha’if daripada shahih. Ringkasnya, menurut penilaian para, ahli hadits, hadits Tsuwair tidak dapat dijadikan hujjah, walaupun Turmudzi meriwayatkannya. Ia bukan seorang tsiqat. Kelemahannya terletak pada aqidahnya, yaitu Rafidhah.

c. Catatan: terdapat inskonsistensi penilaian oleh mahmud az zabby.

13. Jabir bin Yazid bin Harits al Ja’fi ia disebut adz Dzahabi dalam al mizan sebagai ulama kaum syi’ah. Dalam shahih Muslim (dari Jarrah) disebutkan sebuah pernyataan Jabir , bahwa ia meriwaytkan 70.000 hadits, dari Abu Ja’far (Imam Baqir as) dari Rasulullah saw. Adz Dzahabi mengatakan ” Jabir al Ja’fi adalah seorang rafidhi meskipun begitu Nasa’i, Abu Daud dan lainya berpegang pada riwayatnya. Az zabby tokoh ini ditolak oleh kalangan ulama ahlu sunnah diantaranya : Ibnu mu’in, Abu Hanifah, Imam syafi’i, Abu Akhqas, Al Humaydi, Yahya Ibn Ya’la, Ibn Hibban. Alasan penilakanya karena ia berfamam rafidhi.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb adz Dzahabi telah menyatakan dalam biografi beliau di dalam bukunya Al-Mizan, yang mengatakan beliau adalah seorang ulama Syi`ah. Dia telah menyebut dari Sufyan yang berkata bahawa dia mendengar Jabir berkata bahawa pegetahuan Rasul [sawas] telah dipindahkan kepada `Ali (as), kemudian kepada al-Hasan (as), dan seterusnya sehingga sampai kepada Imam Ja`fer al-Sadiq (as), yang sezaman dengannya. Muslim telah menyebut beliau di dalam satu dari bab pertamanya dari sahihnya, menyebutkan al-Jarrah yang telah mendengar Jabir berkata bahawa dia mengetahui 70,000 ahadith dari Rasul semuanya disampaikan melalui Imam Ja`far al-Sadiq (as) (i.e. Imam Muhammad al-Baqir [as]). Dia juga telah menyebutkan dari Zuhayr sebagai berkata “Saya tahu 50,000 hadith, belum satupun yang saya telah sampaikan.” Satu hari, beliau menyebutkan satu hadith dan berkata, “Ini adalah satu dari 50,000 hadith.” Menurut dari biografinya di dalam adz Dzahabi, Al-Mizan, setiap kali Jabir menyampaikan hadith melalui al-Baqir (as), beliau berkata: “Pengganti dari pengganti Rasul telah sampaikan kepada saya bahawa…” Di dalam biografinya di Al-Mizan, Ibn `Uday berkata: “Orang awam mengatakan bahawa [Jabir] pernah percaya di dalam perkara kembali semula.” Bergantung kepada penyampaian Za’idah, adz Dzahabi telah memasukkan biografinya di dalam Al-Mizan dan berkata: “Jabir al-Ju`fi adalah Rafidi yang mengutuk…” Walaupun begitu, keduanya al-Nisa’i dan Abu Dawud bergantung pada penyampaiannya. Rujuk kepada hadith yang disampaikan mengenai sujud dengan tidak disengajakan di dalam kedua Sahih. Shihab, Abu `Awanah, dan banyak lagi yang sama kalibar telah menyebut dari beliau. Al-Thahbi, yang memperkatakannya di dalam Al-Mizan, telah meletakkan tanda keduanya Abu Dawud dan al-Tirmidzi pada nama beliau untuk menunjukkan pergantungan mereka terhadap penyampaiannya. Dia juga menyebut Sufyan sebagai berkata bahawa Jabir al-Ju`fi adalah orang yang takut kepada Allah ketika menyampaikan hadith, dan bahawa dia telah berkata: “Saya tidak pernah kenal sesiapa yang lebih wara’ dari beliau [Jabir].” Dia juga menyebutkan Shu`bah sebagai berkata bahawa Jabir adalah benar, dan ‘Setiap kali Jabir menyampaikan hadith, kami mendengarnya, kerana beliau amat dipercayai dari semua orang.” Waki` pernah berkata, “Jika keraguan bermain difikiran kamu, kamu boleh meragui sesiapa sahaja selain dari Jabir al-Ju`fi,” dan bahawa Ibn `Abd al-Hakam mendengar al-Shafi`i berkata bahawa Sufyan al-Thawri berkata kepada Shu`bah: “Jika kamu pernah meragui mengenai Jabir, itu adalah tandanya berakhir persahabatan kita.” Jabir meninggal pada tahun 127 atau 128 H, semoga Allah merahmati ruhnya.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Jabir ibn Yazid ibn Harits al-Ju’fi al-Kufi . Ibn Mu’in menilai, Jabir itu pendusta. Di tempat lain, dia menegaskan, hadits Jabir tidak dapat diterima. “Demi Tuhan” katanya, “Jabir itu, pendusta dan mempercayai ajaran tentang, raj’ah.” Malahan, Abu Hanifah bersaksi, “Tak seorang pun yang kukenal sedusta Jabir al-Ju’fi. Setiap pendapat yang kusampaikan kepadanya, selalu dia ubah.” Diduga, ia memiliki 3.000 hadits palsu. Menurut” Imam Nasa’i, hadits Jabir matruk (harus ditinggalkan, peny.). Karena ia bukan seorang tsiqat, maka haditsnya tidak dapat diterima. Ibn ‘Adi mengakui, pada umumnya, tuduhan yang dilemparkan kepada Jabir, karena ia mempercayai ajaran raj’ah. Jabir ibn ‘Abdil Hamid, misalnya, berkata begini, “Pantang: bagiku meriwayatkan hadits dari Jabir, ia mempercayai rajah” Abu Dawud berkata, tidak ada yang kuat pada hadits Jabir. Walaupun ia meriwayatkan satu hadits tentang sujud sahwi darinya, tetapi ini tidak berlawanan dengan pernyataannya mengenal Jabir. Imam Syafi’i menceritakan bahwa Sufyan ibn ‘Uyainah berkata, “Aku mendengar ucapan Jabir, lalu aku cepat-cepat (bersembunyi), takut kalau-kalau adzab menimpa diriku.” Abu al-Akhqas berkata pula, “Bila aku berjalan bertemu Jabir, aku buru-buru mohon ampun kepada Allah.” Al-Humaydi mengutip Sufyan mendengar seseorang bertanya kepada Jabir tentang firman Allah Aku tidak akan ke luar dari bumi ini (Mesir), sehingga ayahku memberikan izin (QS, Yusuf 12:80). Jabir menjawab, “Itu tidak ada. ta’wilnya.” Menurut Sufyan, tadi Jabir telah berdusta, “Apa maksud kata-kata “Jabir yang tadi itu?,” tanya Humayd. Sufyan lalu menjelaskan, bahwa orang: Rafidhah menganggap ‘Ali berada di langit, yang tak akan ke luar beserta para puteranya yang akan lahir kembali, kecuali setelah, ada panggilan: “Keluarlah kalian beserta si Anu, dari langit!” . Inilah, kata Jabir, ta’wil dari firman Allah di atas. Tentu, riwayat Jabir tidak dapat diterima, karena ia mempercayai raj’ah, dan pendusta. Bahkan dia satu kelompok dengan saudara-saudara Yusuf. Yahya ibn Ya’ia mendengar Zaidah berkata, Jabir al-Ju’fi: itu seorang Rafidhah. Ia memaki sahabat-sahabat Nabi, Al-Humaydi mendengar seorang bertanya kepada Sufyan: “Apakah engkau melihat orang-orang yang menentang perkataan Jabir “Telah bercerita kepadaku washynya para washy?” Sufyan menjawab: “Perkataan itulah yang justru melemahkan Jabir.” Ibn Hibban menilai Jabir pengikut ‘Abdullah ibn saba’. Menurut Jabir, ‘Ali akan kembali ke dunia. Begitu beberapa pendapat tentang Jabir al-Ju’fi. Jika pembaca ingin mengetahui lebih banyak lagi, silahkan membaca buku-buku tentang biografi perawi hadits. Dari pendapat-pendapat yang ada, dapat disimpulkan bahwa Jabir adalah orang Rafidhah, dan pendusta. Tapi anehnya, al-Musawi justru memandang Jabir sebagai seorang salafi, dan pemuka agama yang adil dan tsiqat. ‘Abdurrahman ibn ‘Abdullah al-Zar’i melihat di Rijal al-Syi’ah fi Al-Mizan, al-Musawi mengutip perkataan Jabir yang dikutip dari kitab al-Kafi, jilid 1, h. 2,18: “Kudengar Abu Ja’far as berkata bahwa barangsiapa menganggap dirinya telah mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan, seperti diturunkan Allah, maka dia pasti berdusta. Sesungguhnya tidak ada orang yang mengumpulkan dan menghafal al-Qur’an secara keseluruhan seperti diturunkan Allah, kecuali ‘Ali ibn Abi Thalib dan para imam sesudahnya.” Dari sini jelas, Jabir seorang pemuka Rafidhah yang meyakini ketidaklengkapan al-Qur’an. Kalau begitu, bagaimana riwayatnya bisa dipandang shahih dan adil? Jawabnya, tentu saja tidak, kecuali oleh orang yang sepaham dan sealiran dengan dia.

c. Catatan, kritik tajam Mahmud az Zabby ini bertentangan dengan apa yang diajukan oleh Ayatullah Musawi yang mengutip pandangan penulis Sahih Muslim, dan az Zabby sama sekali tidak membahasnya. Berbagai tuduhan az Zabby lebih bersifat dia mencari rujukan yang sealiran dengan kepentingan dirinya. Tuduhan bahwa perawi hadis ini meyakini Al Qur’an tidak lengkap adalah tuduhan yang dipaksakan. Ima Ali dan Imam Ahlul Ba’it secara syar’i merupakan washi Rasulullah, bagaimana seorang muslim dapat menerima pandangan az Zabby jika dia sendiri menolak washi yang diperintahkan oleh Rasulllah sendiri untuk diikuti sebagimana diriwayatkan dalam Hadist Tsaqalain dan al safinah ?

14. Jarir bin Abdul Hamid adh Dhabi Ibnu Quthaibah dalam al Ma’arif memasukanya dalam kelompok syi’ah. Adz Dzahabi dalam al mizan menyebutkan bukhari dan muslim berpegang pada hadistnya. Az Zabby menyebutkan : bahwa Ibnu Hajar mengemukakan banyak ulama yang meriwayatkan hadist darinya. ’Ammar ibn al Maushuli berkata haditsnya dapat dijadikan hujjah ’Ali Ibn al Madaini menilai jarir seorang yang rajin melakukan sholat lail. Al Nasa’i memandang ia tsiqat. Abul qasim al Uka memandang keadilanya disepakati ulama. Az Zabby mengatakan ia bukan seorang syi’ah.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Di dalam kitabnya Al-Ma`arif, Ibn Qutaybah memasukankan beliau diantara pemuka Syi’ah, sedangkan adz Dzahabi menyebut beliau di dalam Al-Mizan, menyatakan dia sebagai periwayat yang terdapat dalam Sahih . Dia telah me memuji beliau dengan berkata: “Beliau adalah ulama dari Rayy yang mana banyak penulis hadis bergantung pada penyampaiannya,” disahkan secara ijma’ bahwa dia boleh dipercayai. Rujuk kepada hadith beliau di dalam Sahih Bukhari dan Muslim yang disampaikan melalui A`mash, Mughirah, Mansur, Isma`il ibn Abu Khalid dan Abu Ishaq al-Shaybani. Qutaybah ibn Sa`id, Yahya ibn Yahya dan `Uthman ibn Abu Shaybah semuanya telah menyebutkan hadith dari beliau sebagaimana yang dituliskan di dalam kedua Sahih. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, di Rayy pada tahun 187 H. Ketika berumur 77.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Jarir ibn ‘Abdul Hamid al-Dhabi al-Kufi Tidak benar menganggap Jarir tokoh Syi’ah. Sebab di buku-buku biografi perawi hadits tidak dijumpai pernyataan yang menyatakan demikian atau yang menyatakan Jarir pembid’ah. Bahkan ia termasuk seorang perawi yang disepakati keadilan dan tsiqatnya. Pendapat al-Musawi dalam Dialog Sunnah-Syi’ah, bahwa Jarir adalah tokoh Syi’ah, yang ia kutip dari buku al-Ma’arif karya ibn Quthaibah, tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi dijadikan pegangan menurut ukuran ulama hadits. Berikut ini saya kemukakan beberapa pendapat ulama hadits mengenai Jarir, agar tampak jelas bahwa anggapan al-Musawi itu tidak benar. Kitab-kitab Shahih dan Sunan meriwayatkan hadits dari Jarir, karena ada kesepakatan penilaian bahwa Jarir itu adil dan tsiqat, sehingga haditsnya dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian, jelaslah pula kepalsuan dan provokasi yang dilakukan al-Musawi dalam Dialog Sunnah-Syi’ah terhadap Jarir, seorang perawi hadits yang agung, ia dianggap Syi’ah, padahal itu tidak benar. Ibn Hajar,2 ketika melihat banyak ulama meriwayatkan hadits dari Jarir, menilainya tsiqat, perlu didatangi. ‘Ammar ibn al-Maushuli berkata bahwa hadits dari Jarir dapat dijadikan hujjah, dalam beberapa kitab shahih.Perhatikanlah betapa adilnya Jarir ketika ia berkata “Aku melihat dan mengenal ibn Abi Najih, Jabir al-Ju’fi dan ibn Juraij. Tetapi aku tidak menulis sesuatu dari mereka.” Ketika ditanya mengapa ia tidak memanfaatkan mereka. Jarir menjawab, karena Jabir mempercayai raj’ah, Abu Najih penganut paham Qadariyah, sedangkan ibn Juraij menghalalkan kawin mut’ah.’Ali ibn al-Madini menilai Jarir seorang yang rajin melakukan shalat malam. ‘Ajili menyebut Jarir sebagai orang Kufah yang tsiqat. Al-Nasa’i juga memandang dia tsiqat. Menurut Abul Qasim al-Ulka’i, keadilannya disepakati oleh para ulama.

c. Catatan Mamud ahmad az Zabby tidak menanggapi hasil pengkajian Ibn Qutaibah.

15. Ja’far bin Ziyad al Ahmar, Abu Daud menyebutkanya sebagai syiah shaduq begitu pula Ibnu Adi. Turmudzi dan al Nasai berpegang pada riwayatnya, sebagimana disebutkan dalam al Mizan karya adz dzahabi. Az Zabby menuliskan : Ahmad menilai haditsnya baik. Ibnu Mu’in, ja’far seorang yang tsiqat. Tetapi menurut Muhammad ibn Utsman ibn abi syaibah dari Yahya, Ja’far seorang syi’ah. Ya’qub ibn Abi Sufyan memandang Ja’far seorang yang Tsiqat. Abu Zara’ah memandang ia sangat jujur Ibnu Muhdi meriwayatkan hadis darinya. Al Nasa’i menyebutnya tak ada cela pada diri ja’far.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Abu Dawud telah menyebut beliau dengan berkata: “Beliau adalah seorang Syi’ah yang jujur.” Al-Jawzjani telah berkata: “Beliau telah menyimpang dari jalan,” yang berarti menyimpang dari jalan al-Jawzjani kepada jalan keturunan Rasul [as]. Ibn `Adi telah menerangkan beliau sebagai syi’ha yang wara’. Cucu nya al-Husayn ibn `Ali ibn Ja`fer ibn Ziyad telah berkata: “Datuk saya Ja`fer adalah seorang ketua Shi`a di Khurasan.” Abu Ja`fer al-Dawaniqi meminta ikat leher untuk dipasangkan ke leher beliau dan leher sekumpulan Syi’ah yang lain dan ditarik seperti tawanan; kemudian dia memenjarakan mereka untuk waktu yang lama. Ibn `Ayinah, Waki`, Abu Ghassan al-Mahdi, Yahya ibn Bishr al-Hariri dan Ibn Mahdi semuanya telah menyebutkan hadith dari beliau, dan sebagai penasihat mereka. Ibn Ma`in dan yang lainnya telah menganggap beliau sebagai penyampai hadith Rasul. Ahmad menyatakan hadith beliau sebagai Sahih, dan benar. Adz Dzahabi menyebutnya di dalam Al-Mizan dan menyampaikan apa yang dikatakan diatas, meletakkan tanda keduanya al-Tirmidzi dan al-Nisa’i pada nama beliau sebagai tanda kedua mereka itu bergantung pada beliau. Rujuk kepada hadith beliau seperti yang disebutkan di dalam Sahih mereka melalui orang lain yang sama kalibar. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, pada tahun 167 H.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Ja’far ibn Ziyad al-Ahmar al-Kufi Menurut Ahmad, hadits Ja’far baik. Sekelompok orang menyatakan, seperti dinukilkan dari ibn Mu’in, bahwa Ja’far tsiqat. Tapi menurut Muhammad ibn ‘Utsman ibn Abi Syaibah dari Yahya, Ja’far seorang Syi’ah. Al-Jauzjani berkata, Ja’far menyimpang jauh dari jalan yang benar. Tapi Ya’qub ibn Abi Sufyan memandang Ja’far orang tsiqat. Menurut Abu Zara’ah, ia sangat jujur. Abu Dawud pun menilainya jujur, walaupun ia seorang Syi’ah. Ibn Muhdi meriwayatkan hadits darinya. Dan kata al-Nasa’i, “Tak ada cela pada, diri Ja’far.” Dengan melihat pendapat-pendapat ulama diatas, tampak nyata kesepakatan ulama mengenai kejujuran Ja’far. Ia seorang Syi’ah, tetapi bukan Rafidhah. Ia pembid’ah yang tidak kafir lantaran bid’ahnya. Ia juga tidak mempromosikan bid’ahnya, juga tidak menghalalkan cara berdusta demi bid’ahnya. Karena itu, tak ada alasan untuk tidak menerima riwayatnya.

16. Ja’far bin Sulaiman adh Dhab’i al Bisri ( Abu Sulaiman) Ibnu Quthaibah menganggapnya sebagi seorang syi’ah (baca al Ma’arif 206) Ibnu Sa’ad menganggapnya sebagai seorang yang berfaham syi’ah dan dapat dipercaya. Adz Dzahabi menyebutkan dalam almizan. Bahwa muslim berpegang pada haditsnya seperti yang dijumoai dalam kitab shahih. Az zabby sang polemis menuliskan : Yahya Ibnu Mu’in menganggapnya tsiqah Hammad Ibn Zayd memandang tidak terlarang menerima riwayatnya. Meskipun dia syiah dan banyak menceritakan dir Ali bin Abi Thalib. Ibn Adi mengatakan Ja’far seorang syi’ah tetapi bukan masalah.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Ja`fer ibn Sulayman al-Dab`i al-Basri (Abu Sulayman) Pada halaman 206 dari bukunya Ma`arif, Ibn Qutaybah memasukan beliau diantara pemuka Shi`a. Ibn Sa`d telah menyebut beliau dan menekankan bahawa beliau adalah seorang Shi`a dan dipercayai pada menyampaikan hadith. Ahmad ibn al-Miqdam telah menuduh beliau sebagai “Rafidi.” Ibn `Adi telah menyebut beliau dengan berkata: “Beliau adalah Syi`ah. Tidak terdapat kecacatan pada penyampaiannya, hadith beliau tidak dapat disanggah, dan saya menganggap beliau sebagai seorang yang hadithnya boleh diterima.” Abu Talib telah berkata: “Saya telah mendengar Ahmed berkata bahawa tidak ada sebarang kesalahan dengan ahadith yang disampaikan oleh Ja`fer ibn Sulayman al-Dab`i.” Ianya telah dikatakan kepada Ahmed, “Tetapi Sulayman ibn Harb berkata bahawa dia tidak menuliskan hadith dari al-Dab`i.” Ahmed menjawab dengan berkata bahawa Ibn Harb tidak melarang sesiapa yang hendak menulis hadith dari al-Dab`i, dan bahawa [ibn Harb perjudis adalah kerana] al-Dab`i seorang Shi`a yang menyampaikan ahadith mengenai `Ali ibn Abu Talib.” Ibn Ma`in telah berkata: “Saya telah mendengar cakap-cakap yang tertentu dari `Abdul-Razzaq yang mengesahkan kepercayaannya terhadap madhab’ Shia. Saya berkata kepada dia: “Penasihat kamu, seperti Mu`ammar, Ibn Jurayh, al-Awza`i, Malik, dan Sufyan, semuanya adalah Sunni. Dimana kamu belajar ini [madhab shia]?’ Dia menjawab: ‘Satu hari, Ja`fer ibn Sulayman al-Dab`i melawat kami, dan saya melihat dia sangat mulia, wara’ dan darinya saya belajar madhab ini.’ Pada pendapat saya, Muhammad ibn Abu Bakr al-Muqaddami telah melihat yang sebaliknya! Dia dengan secara terbuka pernah berkata bahawa Ja`fer belajar “Rafidism” dari `Abdul-Razzaq; dari itu, dia pernah mengutuk yang terkemudian dan berkata: “Tiada siapa yang merosakkan kepercayaan Ja`fer selain dari dia [`Abdul-Razzaq].” Menyebut dari Sahl ibn Abu Khadouthah, al-Aqili telah berkata: “Saya berkata kepada Ja`fer ibn Sulayman: `Saya telah mendengar bahawa kamu mengutuk Abu Bakr dan Umar,’ Dia menjawab: ‘Mengutuk saya tidak pernah lakukan, tetapi membenci, kamu boleh katakan apa yang kamu suka.’ Bergantung pada Jarir ibn Yazid ibn Harun, Ibn Haban telah berkata di dalam Thiqat, “Bapa saya telah menghantar saya kepada Abu Ja`fer al-Dab`i. Saya berkata kepadanya: Saya telah mendengar kamu mengutuk Abu Bakr and `Umer.’ Dia menjawab: `Saya tidak mengutuk mereka. Tetapi jika kamu hendak mengatakan saya bencikan mereka, ikut sukalah,’ dari itu, saya merumuskan bahawa dia adalah Rafidi.” Di dalam biografi Ja`fer di Al-Mizan, al-Thahbi telah memuatkan semua yang diatas dan juga menekankan kepada fakta bahawa beliau adalah seorang yang wara’ ‘alim’ walaupun Shia. Muslim bergantung kepada beliau di dalam Sahihnya, dan menyebutkan sebahagian dari hadithnya yang unik yang tidak diterbitkan ditempat lain, sebagaimana al-Thahbi sendiri telah mengesahkan apabila dia menyampaikan biografi Ja`fer. Rujuk kepada hadithnya di dalam Sahih yang disampaikan melalui Thabit al-Banani, al-Ja`d ibn `Uthman, Abu `Umran al-Jawni, Yazid ibn al-Rashk dan Sa`id al-Jariri. Qatan ibn Nasir, Yahya ibn Yahya, Qutaybah, Muhammad ibn `Ubayd ibn Hasab, Ibn Mahdi dan Musaddid kesemua mereka telah menyampaikan hadith darinya. Sebagai contoh, beliau telah berkata: “Rasul Allah [sawas], telah menghantar satu pasukan tentera Muslim di bawah pemerintahan Ali; dsb.” Hadith lain yang beliau sampaikan: “Apa yang kamu mahu dari `Ali? `Ali adalah dari saya, dan saya adalah dari dia. Dia adalah wali (ketua) selepas saya bagi setiap yang beriman” sebagaimana yang tertulis di dalam Sahih al-Nisa’i’s dan disampaikan melalui Ibn `Adi dari al-Nisa’i. Al-Thahbi telah menyatakan yang diatas ketika membincangkan Ja`fer di dalam bukunya Al-Mizan. Dia meninggal di dalam bulan Rajab pada tahun 178 H; semoga Allah merahmatinya.

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Ja’far ibn Sulaiman al-Dhab’I Yahya ibn Mu’in menganggap Ja’far tsiqat. Ahmad pun menilai Ja’far tak bercela. Ibn Sa’ad memandang dia tsiqat, tetapi katanya, terdapat kelemahan, yaitu dia bertasyayyu’. Hammad ibn Zayd berkata, “Tidak terlarang menerima riwayatnya, meskipun dia Syi’ah dan banyak menceritakan tentang diri ‘Ali, dan orang Bashrah berlebih-lebihan dalam memuji ‘Ali. Ibn ‘Adi menegaskan: “Ja’far itu orang Syi’ah, tetapi itu bukan masalah. Dia juga meriwayatkan hadits-hadits yang menerangkan keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar, dan hadits-haditsnya tidak ditolak. Menurut pendapatku, dia termasuk orang yang pantas diterima riwayatnya.” Dengan demikian, tidak seorang pun yang menuduh Ja’far pendusta, Rafidhah, atau mengajak kepada bid’ah. Ia hanya dikenal sebagai pengagung ‘Ali, alias bertasyayyu’. Namun ia jujur dan istiqamah. Dan tasyayyu’ bukanlah bid’ah yang menjadikan kafir. Karena itu tidak ada halangan untuk menerima riwayatnya. Atas dasar ini Imam Muslim dan penyusun kitab-kitab Sunan menerima hadits Ja’far.Jadi, Ja’far bukan orang Rafidhah bukan pendusta, dan tidak mempromosikan bid’ahnya. Keterangan tentang ini ada dalam buku Tahdzib al-Tahdzib dan Mizan al-I’tidal. Bagi ibn Hibban, Ja’far seorang tsiqat dalam meriwayatkan hadits. Tetapi diakui, ia gandrung kepada Ahlul Bait. Namun ia tidak mempromosikan bid’ahnya itu. Para ahli hadits dari imam-imam kita, demikian ibn Hibban; tidak berselisih pendapat bahwa orang jujur –jika ia pembid’ah, tetapi tidak mempromosikan bid’ahnya– haditsnya dapat diterima dan dijadikan hujjah.Al-Azdari melihat ada bid’ah dan kejujuran sekaligus pada diri Ja’far. Ada ungkapan “Ja’far memusuhi sebagian ulama salaf, tetapi ia tidak dusta dalam berhadits.”Adapun anggapan al-Musawi dalam Dialog Sunnah-Syi’ah bahwa Ja’far memaki Abu Bakar dan ‘Umar, itu ia kutip dari Mizan secara sepotong-potong supaya sejalan dengan pendapatnya sendiri. Pengutipan seperti itu sama dengan orang yang membaca ayat, fa waylul lil mushallin, tanpa melanjutkan ke ayat al-ladzina hum fi shalatihin sahun. Khadir ibn Muhammad ibn Syuja’ al-Jaziri mengutip ucapan Ja’far. Khadir bertanya kepadanya: “Kami mendengar isu bahwa anda memaki ‘Abu Bakar dan ‘Umar.” Ja’far menjawab, “Aku tidak memaki, tapi hanya membenci”. Wahab ibn Baqiah’ juga berkisah serupa. Ibn ‘Adi mengutip Zakaria al-Saji yang berkata, “Adapun cerita mengenai makian Ja’far kepada Abu Bakar dan ‘Umar, itu tidak dimaksudkan tertuju kepada Abu Bakar dan ‘Umar yang sahabat Nabi. Tetapi ditujukan kepada dua orang tetangga Ja’far. Mereka berdua menyakiti Ja’far. Hanya saja, nama mereka kebetulan sama: Abu Bakar dan ‘Umar.” Lalu ada yang bertanya tentang kedua, insan tadi. Ja’far menjawab, “Saya tidak memaki, tapi hanya membenci.” Jadi yang dibenci Ja’far bukanlah, Abu Bakar dan ‘Umar yang sahabat Nabi. Dalam al Mizan, al-Dzahabi berkata, “Cerita di atas ada, benarnya, sebab terbukti Ja’far banyak meriwayatkan hadits yang, menerangkan keutamaan dan kelebihan Abu Bakar dan ‘Umar. Jadi, Ja’far itu jujur dan polos.”

17. Jumai’ bin ’Umairah bin Tsahlabah at Tamimi ia disebutkan oleh abu Atim dalam al mizan sebagai seorang yang berasal dari kufah yang baik riwayat hadistnya, yang sudah lama sekali menganut faham syi’ah. Ibnu hibban juga menyebutnya sebagai rafidhi. Turmudzi menilai hadistnya sebagai hasan (baik) Az Zabby menyebutkan : ia dikenal pula sebagai Taymullah, Imam Bukhari mengatakan dia patut dipertimbangkan. As Saji menyebutkan dia bisa diperhitungkan dan dia itu jujur. Al Ajli menyebutkan , dia tabi’in yang tsiqat.

a. Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi menyebutkan dalam kitabnya al Muraja’at sbb Jami` ibn `Umayrah ibn Tha`labah al-Kufi al-Taymi (Taymullah) Abu Hatim telah menyebut biografi beliau di dalam bukunya Al-Mizan, pada penghujungnya dia mengatakan: “Al-Kufi adalah seorang ternama Shia, yang mana hadith beliau adalah sahih penyampaiannya.” Ibn Haban telah menyebutkan beliau dan berkata sebagaimana yang tertulis di dalam Al-Mizan, bahawa beliau adalah “Rafidi.” Saya katakan bahawa al-`Ala’ ibn Salih, Sadaqah ibn al-Muthanna, dan Hakim ibn Jubayr kesemua mereka telah mendapatkan ilmu pengetahuan dari beliau, sebagai penasihat mereka. Buku Sunan menyebutkan dari beliau tiga kali. Al-Tirmidzi telah menggunakan hadith beliau sebagaimana buku adz Dzahabi Al-Mizan mengesahkan. Beliau adalah seorang dari tabi`in. Beliau belajar dari Ibn `Umar dan `Aiysah. Satu hadith yang dipelajarinya dari Ibn `Umar mengatakan bahawa dia [Ibn Umer] telah mendengar Rasul Allah berkata kepada Ali: “Kamu adalah saudaraku didunia ini dan juga diakhirat.”

b. Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi Jami’ ibn ‘Umairah ibn Tsa’labah al-Kufi at-Taimy Disebut juga dia Taymullah. Imam Bukhari mengatakan: “Dia patut, dipertimbangkan”. Abu Hatim berkata: “Dia orang Kufah, seorang Tabi’in, dan Syi’ah yang, terhormat. Dia jujur dan baik haditsnya”. Kata ibn ‘Adi: “Dia seperti yang dikatakan Bukhari. Hadits-haditsnya bisa dipertimbangkan. Hadits yang diriwayatkannya umumnya tidak diikuti orang”. Ibn Numair berkata: “Dia seorang yang paling banyak berdusta: Dia pernah berkata: “Sesungguhnya burung jenjang itu beranak di langit, dan anaknya tidak jatuh”. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitab adh-Dhu’afa (Kitab Hadits-hadits Dha’if), dengan sanad darinya. Katanya: “Dia itu Rafidhah yang memalsukan hadits”. Adz-Dzahabi berkata: “Dalam kitab-kitab Sunan, ada tiga hadits yang diriwayatkan olehnya, sebagiannya dianggap hasan oleh Tirmidzi”. As-Saji berkata: “Dia memiliki hadits-hadits munkar. Dia bisa diperhitungkan dan dia itu jujur”. Berkata al-Ajli: “Dia tabi’in yang tsiqat”. Dari komentar-komentar para ahli hadits tentang dirinya, nyatalah bahwa Jami’ tidak dikaitkan dengan paham rafadh.

(Bersambung)
(Syiahali/Jakfari/Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: