Berkaitan
dengan hubungan Demak dan Majapahit maka simpul antropologi yang
terpenting adalah fakta interaksi antar dua keyakinan, yaitu hubungan
antara peradaban Islam dan peradaban Hindu pada masyarakat di pulau Jawa
pada masa itu.
Untuk itu maka yang akan dijadikan simpul utama antropologi adalah fakta arkeologi shahih, seperti misalnya artefak arkeologi tentang makam Tralaya; yaitu pemakaman Islam di jantung Majapahit yang berangka tahun 1307 Masehi. Angka tahun pada nisan makam menunjukkan bahwa Islam bisa eksis di Jawa pada saat penguasanya yang Hindu yaitu Majapahit sedang berada di masa kejayaannya. Jumlah nisan makam orang Islam disitu cukup banyak. Selain itu penduduk Majapahit juga menggunakan mata uang yang bertuliskan simbol-simbol Islam diantara mata uang-mata uang lainnya. Berdasar fakta itu terbentuk hipotesa bahwa penduduk Islam Jawa telah masuk wilayah pedalaman, telah tinggal di kawasan pusat pemerintahan, mampu beradaptasi dengan penguasa Hindu dan terlibat dengan kehidupan bernegara.
Menjelang runtuhnya Majapahit tidak terdeteksi adanya proses pengislaman terhadap masyarakat Jawa oleh para mubaligh Islam. Oleh karena kemungkinan sekali mayoritas penduduk Majapahit telah memeluk Islam menjelang keruntuhan Negara itu. Serangan Demak kepada Majapahit menjelang keruntuhannya itu sebenarnya tidak produktif bila benar rakyat Majapahit masih menganut agama Hindu. apabila dilihat dari segi politik dakwah Islamiyyah (jika benar Demak menyerang Majapahit untuk tujuan dakwah), serangan Demak di Jawa kepada Majapahit justru dapat membangkitkan semangat perlawanan orang-orang Hindu (jika benar rakyat Jawa pada saat itu masih beragama Hindu) kepada penyebaran Islam. Tapi situasi ini tidak terjadi di Nusantara Jawa pada jaman Majapahit. Masyarakat Hindu Nusantara tidak teriwayatkan kemudian membalas serangan muslim pada masa-masa sesudah hancurnya Majapahit dengan suatu gerakan bawah tanah apapun, baik militer maupun sosial politik. Bahkan agama Hindu setelah itu tidak tedeteksi lagi di pulau Jawa, seolah lenyap di telan bumi! Hal ini menandakan terdapat suatu kemungkinan besar bahwa masyarakat Jawa sudah hampir menjadi muslim semuanya pada saat itu.
Kita bisa membandingkannya dengan situasi di belahan bumi lain di wilayah yang terdapat interaksi antara Islam dan Hindu, seperti di India misalnya. Yaitu di masa Mughal India ketika dipegang oleh Aurangzeb. Pada masa itu Aurangzeb memaksakan kehendaknya dan bertindak keras terhadap pemeluk Hindu. Akibat dari tindakannya itu potensi dakwah Islam kepada masyarakat Hindu India menjadi benar-benar semakin sempit. Rakyat Hindu India kemudian memboikot ajaran Islam dari segala sisi kehidupan. Tapi Demak yang merupakan representasi Islam di Jawa tidak mengalami seperti yang dialami Mughal dengan Aurangzeb sebagai pemimpinnya pada masa-masa setelahnya. Padahal Demak juga melakukan tindakan keras pada Majapahit yang merupakan representasi Hindu.
Sejarah perkembangan Islam dilihat secara keseluruhan sejak dari masa Rasulullah sampai sekarang tampak bahwa perkembangan atau perluasan kekuasaan Islam dengan pendekatan militer akan menyisakan sedikit peninggalan riak-riak konflik dimasa depan. Kemelut yang terjadi antara lain konflik antara penduduk yang dulunya bukan penganut Islam dengan penguasa Islam. Atau konflik antara Negara tetangga wilayah perluasan Islam dengan daerah Islam yang baru. Tercatat ketika Konstantinopel berhasil ditaklukan pasukan muslim, maka pada masa-masa setelahnya terdapat rongrongan terhadap kekuasaan Islam Turki yang dikomandoi oleh Vlad, dibutuhkan tenaga dan kesabaran untuk menumpasnya. Demikian pula Andalusia selalu dirongrong oleh tetangganya yang Nasrani. Bahkan jika dilihat secara keseluruhan maka perebutan sebagian besar wilayah Romawi oleh Islam yang meliputi Afrika Utara, Syam dan Eurasia sampai sekarang masih menyisakan jejak konflik. Yaitu perseteruan urat syaraf yang tak kentara antara dunia barat dan dunia Islam.
Dunia barat modern sekarang ini dapat dibilang merupakan reinkarnasi kekaisaran Romawi yang pada jaman dahulu diruntuhkan kebesarannya oleh Islam. Pola ini terjadi dimana saja peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban non-Islam, yaitu jika menggunakan pendekatan militer, maka pada waktu di masa depan akan menyisakan jejak konflik. Hal itu menimpa dinasti Mughal, dinasti Turki Usmani, Andalusia dan yang lainnya. Hal ini juga terjadi di Persia pada masa awal penaklukannya. Bahkan khalifah Umar dibunuh oleh seorang Persia. Persia akhirnya berhasil memantapkan diri sebagai kekuatan Islam tapi hal ini terjadi setelah sebagian besar penduduknya pada abad ke 9 beralih menjadi pemeluk Syiah. Suatu mazhab Islam yang notabene lebih dimusuhi lagi oleh penguasa Islam di timur tengah pada saat itu daripada musuh-musuhnya yang lain, bahkan musuh-musuhnya yang non-muslim sekalipun.
Dalam perang-perangnya, Rasulullah tidak pernah memulai suatu serangan kepada pihak musuh. Apabila beliau menyerang musuh Islam maka dapat dipastikan bahwa pada masa sebelumnya musuh tersebut pernah secara nyata merugikan kaum muslimin atau merugikan dakwah Islam. Hal ini menyebabkan menjelang beliau wafat, Islam telah sukses dipeluk masyarakat di seluruh jazirah Arab.
Apabila pola alasan umum peradaban Islam di dunia dalam melancarkan serangan kepada pihak asing adalah seperti yang telah diuraikan diatas. Lalu untuk apakah tujuan yang sebenarnya dari kerajaan Islam Demak menyerang Majapahit? Sejarah tidak menunjukkan adanya persinggungan antara umat Hindu dan Islam sebelum kelahiran kerajaan Demak. Sepertinya sangat sukar dipercaya jika tujuan Demak menyerang Majapahit adalah dakwah Islam kepada masyarakat Majapahit yang masih memeluk Hindu. Jika benar melalui jalan kekerasan maka lebih besar kemungkinannya bahwa rakyat Nusantara yang berkeyakinan Hindu akan memboikot, sehingg dakwah Islam akan mengalami kemacetan seperti yang dialami Aurangzeb. Situasi dakwah dengan kekerasan selalu tindak membuahkan hasil di pulau Jawa, masa penjajahan Belanda menunjukkan hal itu. Walaupun Belanda sudah ratusan tahun menduduki pulau Jawa, akan tetapi penduduknya tetap saja memeluk Islam sampai sekarang. Oleh karena itu keberanian penguasa Demak ketika memutuskan untuk menyerang Majapahit sedikit banyak menunjukkan bahwa rakyat Jawa sudah Islam di masa itu.
Serangan Demak ke Majapahit kemungkinan sekali bukan karena dakwah Islam kepada masyarakat Hindu Jawa. Akan tetapi ?dakwah lain? dengan sasaran ditujukan kepada ?keyakinan lain? Diskusi tentang masuknya Islam di Nusantara maka situasi perkembangan Islam yang terjadi di Jawa tentunya memiliki keterkaitan dengan sejarah sebelumnya yang terjadi di Aceh (Perlak). Sedikit banyak sejarah Perlak telah mencantumkan adanya konflik internal sesama muslim beda mazhab pada wilayah kepemimpinan kerajaan tersebut. Konflik sesama Islam beda mazhab ini pula kemungkinan besar fenomena yang ?mengikuti? orang-orang Perlak yang hijrah ke Jawa, berupa ?interaksi? antara Demak dengan penduduk Jawa. Apabila hal diatas merupakan peristiwa yang sebenarnya maka pola di Nusantara akan sesuai dengan berbagi pola penyebaran Islam lainnya di belahan lain dunia.
Dinamika Sosial-Politik yg Terjadi di Jawa Stelah Kaum Islam Syiah masuk ke pulau itu.
Dari
sudut pandang psikologi para musafir Perlak, kita dapat menyelami atau
membayangkan kesadaran mereka ketika hendak berhijrah ke Jawa. Apabila
kehidupan awal mereka diselami akan didapat sedikit gambaran suatu
keadaan yang sesuai dengan situasi sosial politik masyarakat di Jawa
pada abad ke 11. Setelah hijrah ke pulau Jawa, pastilah para musafir
Perlak ini hendak memantapkan posisinya di tempat yang baru supaya tidak
terulang lagi konflik horizontal antara mereka sendiri (kaum Islam
Syiah) dengan kaum Islam Sunni (yang pastinya di masa depan nanti akan
menyusul mereka lagi), seperti sebelumnya, yang menyebabkan mereka harus
meninggalkan tempat asal. Mereka tidak mau terperosok ke lubang yang
sama dua kali.
Jelas bahwa perpindahan para musafir dari Perlak Pesisir yang hijrah ke Jawa disebabkan karena tidak berkembangnya lagi sumber-sumber penopang hidup mereka di tempat asalkarena sebab luar, atau karena perang. Praktis setelah wilayah pedalaman dikuasai muslim Sunni, potensi perkembangan wilayah mereka melalui jalur darat terhenti, sementara mereka juga memahami bahwa wilayah di Nusantara yang potensi menjadi sasaran dakwah masih terbentang luas. Selain itu dengan dikuasainya pedalaman oleh Perlak Sunni yang mempunyai akses ke daerah-daerah penghasil beras di selatan Sumatera, maka orang-orang Perlak Pesisir jadi tergantung sumber penghidupannya kepada orang-orang Perlak Pedalaman. Terutama ketergantungan mereka pada bahan makanan pokok pada masyarakat Perlak Pedalaman. Walaupun hasil perdagangan dari menguasai wilayah pesisir lebih tinggi, tapi untuk hidup orang tetap butuh makanan pokok. Upaya mereka menuju Jawa dan bukannya ke daerah Nusantara yang lain juga menunjukkan bahwa wilayah sasaran perpindahan mereka adalah daerah sumber penghasil bahan makanan pokok. Minimal mereka pasti berpikir bahwa kesinambungan dakwah penyebaran Islam ini dapat dicapai jika support sumber penopang kehidupannya terjamin.
Oleh karena itu seperti pepatah: ?Tidak akan terperosok ke lubang yang sama dua kali,? berlaku bagi para keturunan musafir Perlak Pesisir yang hijrah ke pulau Jawa. Setelah menetap di pulau tersebut, mereka ini tidak puas dengan mengelola wilayah pantai dan hanya mempunyai sebatas hubungan administrative (upeti) dengan penguasa yang lebih dahulu eksis di daerah tersebut (pada situasi lama di Perlak adalah hubungan mereka dengan Sriwijaya). Tapi ketika dulu masih di Perlak, barangkali tujuan mereka hanya lebih menguasai wilayah pesisir karena mereka juga mempertimbangkan masih adanya kemungkinan mereka akan menempuh jalur darat menuju Jawa. Jadi hijrah mereka ke Jawa merupakan suatu strategi jangka panjang. Hal ini juga suatu hal yang sangat mungkin. Tapi kedatangan audara mereka Sunni membuyarkan hal itu. Tapi saat ini mereka sudah sampai juga ke pulau Jawa dengan kondisi yang lain, yaitu sebagai musafir yang hijrah karena suatu masalah di tempat asal. Kemudian setelah sampai di Jawa para musafir Perlak melihat bahwa pulau tersebut merupakan ujung dunia, mereka tidak bisa pindah kemana-mana lagi. Maka pastilah kemudian mereka mengalihkan strategi dengan merubah diri dengan menjadi masyarakat agraris untuk memantapkan posisinya lebih permanen di pulau Jawa. Skenario ini suatu hal yang sangat mungkin terjadi.
Dalam berinteraksi dengan penguasa Jawa (Majapahit) sebagai daerah tujuan baru, para musafir Perlak berupaya terlibat lebih dalam penyelenggaraan negara. Mereka juga menyesuaikan diri dengan pola kerajaan Majapahit yang agraris dengan berupaya mendapatkan daerah-daerah subur di pedalaman. Mereka paham bahwa menguasai sumber penopang penghidupan berarti kelangsungan tujuan serta ketahanan menghadapi pihak yang mengancam misi-misi mereka. Pola hidup lebih teratur dan disiplin sebagai syarat kesuksesan masyarakat agraris juga harus segera mereka kondisikan. bermasyarakat yang lebih komunal, kerjasama dan gotong royong harus lebih mereka upayakan.
Selain membaharui pola hidup dan sumber mata pencaharian, juga memperbaharui strategi hubungan mereka ketika berinteraksi dengan pihak lain. Pada awalnya di Perlak hubungan imbal balik strategi dan politik perdagangan merupakan dasar dari pola hubungan mereka dengan pihak lain. Setelah berada di Jawa yang agraris, mereka paham bahwa frekuensi hubungan sosial antar segmen dan elemen masyarakat akan lebih intens, kemampuan sosial, diplomasi dan politik lebih ditingkatkan. Secara otomatis hal ini akan meningkatkan kepekaan antar manusia diantara mereka. Sifat tenggang rasa, empati dan toleransi dengan cepat segera mereka miliki. Sepertinya para musafir Perlak di Jawa berhasil menguasainya, jejak-jejak peninggalan arkeologi Islam yang banyak terdapat di pusat Majapahit ketika berhasil mencapai masa keemasan membuktikan hal itu.
Kelompok musafir Perlak pesisir yang hijrah ke Jawa juga mengubah kebijakan politiknya. Waktu masih di Perlak mereka mendirikan kerajaan secara otonom atau mandiri tapi masih berada di bawah kemaharajaan Sriwijaya. Ketika hubungan antara mereka dengan Sriwijaya harmonis maka keamanan Perlak akan terjamin. Tapi ternyata mereka tidak bisa memastikan bahwa hubungan mereka dengan penguasa Sriwijaya akan baik terus. Setelah Sunni masuk ke Perlak dan memecah Perlak menjadi dua; pedalaman dan pesisir, mereka tidak bisa mengontrol kebijakan daerah pedalaman lagi. Ketika Sriwijaya mungkin menganggap Perlak pedalaman sebagai ancaman dan menyerangnya. Mereka tidak bisa mencegah kerusakan hubungan ini. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa juga harus melibatkan diri dalam peperangan untuk membantu kerajaan Perlak Pedalaman. Karena mereka sesama muslim dan bagaimanapun harus saling membantu. Pastinya Sriwijaya tidak akan ambil pusing bahwa Perlak sebenarnya telah pecah dan mereka adalah orang-orang Perlak Pesisir yang dulu mampu menjalin hubungan baik dengan Sriwijaya. Sriwijaya akan tetap menyerang Perlak secara keseluruhan, baik pedalaman maupun pesisir. Peristiwa serangan Sriwijaya ini menyebabkan kehancuran Perlak Pesisir. Orang-orang Perlak Pesisir sebagai pihak yang membela saudaranya dengan mengorbankan segalanya termasuk jiwa Sultannya, yaitu Sultan Maulana Syah yang gugur dalam pertempuran melawan Sriwijaya.
Pengalaman masa lalu itu membuat mereka merasa bahwa mendirikan kerajaan di tempat baru yang sudah ada penguasanya bukanlah suatu tindakan efektif. Apabila mereka mendirikan kerajaan di tempat baru (Jawa), sementara di wilayah tersebut juga masih berdiri kerajaan non-muslim yang kuat (kerajaan yang kuat bermakna bahwa kerajaan tersebut mendapatkan dukungan rakyatnya), maka nanti apabila terjadi suatu konflik diantara mereka dengan kerajaan lama dan terjadi perang, maka mereka akan musnah oleh serangan Non-Muslim, seperti kasus yang telah terjadi di Perlak. Para musafir Perlak memahami bahwa mereka sebagai penganut syiah memang mempunyai kemampuan adaptasi dengan penguasa yang berlainan keyakinannya dengan mereka. Ketika di timur tengah, moyang mereka terbiasa hidup dibawah penguasa yang sangat memusuhi mereka. Hal ini membentuk kemampuan adaptasi yang luar biasa hidup berdampingan dengan penguasa memusuhi mereka. Kemampuan ini diturunkan pada anak keturunannya. Akan tetapi keadaan para musafir Perlak syiah di Nusantara ini lain dengan situasi moyang mereka dahulu di timur tengah. Di timur tengah moyang mereka menghadapi penguasa yang sesame muslim, walaupun permusuhannya kepada mereka terkadang lebih sengit daripada pemusuhan yang ditunjukkan oleh non-muslim sekalipun, akan tetapi mereka sesama pengikrar syahadat, dan harus tetap menjaga kehormatan dan keselamatan sesama muslim. Oleh karena itu mereka lebih sering melancarkan gerakan taqiyyah, suatu gerakan menjauhi benturan dan konflik kalau perlu dengan cara menyembunyikan keyakinannya.
Berbeda dengan keadaan di Timur Tengah dimana kaum syiah kedudukannya jauh lebih lemah, di Nusantara kaum musafir Perlak Pesisir yang bermazhab syiah mempunyai cukup kekuatan sehingga dapat mengimbangi dan hidup berdampingan dengan saudaranya sunni, dan mereka tidak perlu melakukan taqiyyah. Hal inilah yang terjadi di Perlak. Akan tetapi tidak seperti keadaan di Timur Tengah, di Nusantara terdapat pihak ketiga, yaitu penguasa non-muslim seperti kerajaan Sriwijaya yang kedudukannya kuat, sedangkan di Timur Tengah pihak ketiga yaitu kaum non-muslim yang menjadi pesaing Daulah Islamiyah kedudukannya lebih lemah.
Hal inilah yang menyebabkan para musafir kaum Islam Syiah Perlak Pesisir enggan mendirikan kerajaan lagi di pulau Jawa. Mereka lebih memilih berdakwah secara non-formal dan damai dibawah kekuasaan penguasa Majapahit. Mereka yakin akan potensinya untuk menyebarkan agama Islam secara damai di pulau Jawa, karena sebelumnya mereka terbukti berhasil berdakwah secara terbuka dan damai di masa lalu kepada kaum Non-muslim di Perlak. Para musafir Perlak Pesisir tidak berusaha menyaingi atau menumbangkan kerajaan Majapahit, bahkan berusaha turut berpartisipasi di dalam kerajaan tersebut. mereka mengambil langkah dakwah secara damai dengan suatu maksud tidak lepas satu tujuan akan mengalami keberhasilan dari dua kemungkinan tujuan. Kemungkinan tujuan yang pertama adalah bahwa dengan cara membaur menjadi rakyat Majapahit, mereka akan dapat mengislamkan seluruh pulau Jawa secara damai dengan cara menyusup di tengah masyarakat bahkan kalau perlu menyusup ke dalam lingkungan penguasa Majapahit walaupun secara perlahan-lahan.
Seandainya pengislaman tidak dapat berlangsung secara cepat, maka setidaknya mereka berusaha supaya diterima dengan baik oleh penguasa Majapahit untuk tinggal di wilayahnya, menjadi rakyat, dan mengembangkan keturunan di kerajaan tersebut. Kemungkinan tujuan yang kedua adalah bahwa apabila saudara muslim mazhab Islam Sunni pada akhirnya dapat menyusul masuk ke pulau Jawa, maka mereka akan mendapatkan satu dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah bahwa kerajaan Hindu Majapahit yang masih kuat akan berhadapan dengan kaum Muslimin mazhab Sunni. Atau kemungkinan kedua; kaum muslimin mashab Sunni akan berhadapan dengan kerajaan Majapahit yang telah lemah karena tidak mendapatkan dukungan rakyat yang sudah banyak beralih ke Islam Syiah oleh kaum musafir Perlak Pesisir sebelumnya. Kedua kemungkinan ini lebih baik bagi mereka (kaum musafir Perlak Pesisir). Apabila kaum muslimin Sunni berhadapan dengan kerajaan Hindu Majapahit yang masih mempunyai kekuatan, maka besar kemungkinan peperangan kedua belah pihak akan berlarut-larut, karena kaum muslimin Sunni mempunyai dukungan yang kuat dari daerah Aceh atau Perlak Pedalaman, dan Timur Tengah. Hal ini akan menguntungkan mereka. Apabila situasi konflik antara kaum muslimin Sunni dan kerajaan Majapahit ini benar-benar terjadi, maka posisi kaum musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa akan tetap aman.
Situasi politik kaum Syiah pelarian musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa yang berada dibawah kekuasaan penguasa Hindu Majapahit berbeda dengan situasi mereka ketika masih di Perlak dahulu yang berada dibawah persemakmuran Sriwijaya. Pada situasi di Perlak dahulu, kerajaan Sriwijaya tidak ambil pusing pihak Perlak Pesisir atau Perlak Pedalaman yang akan mereka perangi, kedua Perlak tetap diperangi. Kaum Perlak Pesisir memang menghormati kerajaan Sriwijaya ketika mereka masih berdiri sendirian (sebelum kedatangan kaum muslim Sunni yang memecah kerajaan menjadi dua), akan tetapi mereka memiliki kekuasaan sendiri sehingga tidak membaur dan menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. Penguasa kerajaan Sriwijaya tidak terlalu mengenal mereka dan ambil pusing terhadap apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh kaum Perlak Syiah. Termasuk apabila terdapat kemungkinan bahwa suatu konflik sebenarnya berasal dari pihak lain yang secara formal tampak sebagai satu wilayah dan keyakinan dengan kaum Perlak Pesisir, akan tetapi sebenarnya memiliki kebijakan politik yang berlainan.
Penguasa Sriwijaya tidak melihat kaum Perlak Pesisir sebagai pihak yang berbeda dengan kaum Perlak Pedalaman. Kehancuran kerajaan Perlak Pesisir tampak jelas disebabkan karena terjadinya konflik antar negara, dengan mereka sebagai salah satu pihak yang bersengketa mempunyai rekan koalisi. Dalam hal ini pihak yang berkoalisi adalah kerajaan Perlak Pedalaman dengan Perlak Pesisir. Akan tetapi kekuatan gabungan koalisi tersebut tidak cukup untuk mengimbangi musuh yang lebih besar dan kuat, sehingga untuk menghentikan kekuatan musuh yang besar dan kuat tersebut salah satu pihak yang berkoalisi harus berinisiatif mengorbankan diri untuk menyelamatkan rekan koalisinya. Kerajaan Perlak Pesisir memang punah di pulau Sumatra, tapi akibat dari pengorbanan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi lemah dan tidak mampu mengusik kaum muslimin di sekitar wilayah Aceh untuk selamanya.
Sedangkan keadaan politik kaum syiah musafir Perlak Pesisir yang merantau ke Jawa merupakan bagian dari masyarakat kerajaan Majapahit, dan hidup di tengah-tengah kerajaan tersebut. Sehingga apabila terjadi benturan antara kaum muslimin Sunni yang datang ke Jawa dengan penguasa Majapahit, dan kaum Perlak Pesisir merasa bahwa kedudukan mereka belum cukup kuat untuk membantu saudaranya kaum muslim Sunni, sehingga mereka terpaksa mengambil posisi netral, maka penguasa Majapahit akan dapat melihat bahwa kaum Syiah bekas pelarian Perlak berada pada pihak yang netral. Dan apabila mereka berhasil dalam misinya mengislamkan sebagian besar masyarakat pulau Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit, maka kerajaan tersebut akan lemah dengan sendirinya. Sehingga ketika kaum muslim sunni memasuki pulau Jawa, maka rakyat pulau Jawa yang telah Islam tinggal mencabut dukungan kepada penguasanya sendiri. Hal ini yang terjadi di pulau Jawa.
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pihak yang melemahkan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit yang berakibat kepada keruntuhan dua kerajaan besar Nusantara tersebut adalah kaum muslimin Perlak Pesisir dan keturunannya yang bermazhab Syiah. Pada waktu menghadapi Sriwijaya mereka menggunakan strategi perang frontal sampai rajanyapun terbunuh dalam peperangan. Sedangkan ketika menghadapi kerajaan Majapahit mereka menggunakan strategi yang bertolak-belakang dengan strategi yang ditempuhnya ketika menghadapi Sriwijaya. Ketika menghadapi Majapahit, keturunan kaum Perlak Pesisir menggunakan strategi kehalusan dan kelembutan. Mereka menggembosi dan mengalihkan dukungan rakyat Jawa kepada kerajaan tersebut dengan cara mengislamkan penduduknya.
Yang perlu diobservasi lebih lanjut adalah alasan kerajaan Demak untuk menyerang Majapahit. Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan sebuah argumentasi yang menyatakan bahwa kecil sekali kemungkinannya bahwa Demak menyerang Majapahit dengan tujuan dakwah Islam kepada masyarakat Hindu, karena sebagian besar masyarakat kerajaan Majapahit telah memeluk Islam. Maka salah satu kemungkinan alasan kuat bagi kerajaan Demak untuk menyerang penguasa Majapahit adalah ?dakwah? Islam mazhab sunni kepada masyarakat Majapahit yang beraliran Syiah, seperti yang telah sering terjadi di daerah timur tengah. Bila dilihat dari sudut pandang manajemen konflik tindakan penguasa Demak tersebut sangat masuk akal. Apabila mereka membiarkan saja masyarakat Jawa yang telah menjadi muslim syiah dibawah penguasa Majapahit yang berkeyakinan Hindu, maka lambat laun penguasa Majapahit juga akan menjadi pemeluk Islam mazhab syiah. Hal ini akan menyulitkan perkembangan dakwah mereka, apalagi jika dilakukan dengan cara berdakwah Islam mazhab sunni secara langsung kepada masyarakat di pulau Jawa yang telah menganut Islam syiah, argumentasi ajaran Islam mazhab Sunni tidak akan mampu untuk menundukkan argumentasi ajaran Islam mazhab Syiah. Secara historis, sejak dari kelahirannya di timur tengah, ajaran Islam mazhab Sunni dalam penyebaran ajarannya selalu membutuhkan kehadiran penguasa yang memiliki kekuatan materi dan fisik untuk mendukung dakwahnya.
Oleh karena itu untuk berdakwah di pulau Jawa, kaum muslim Sunni tidak akan mampu meniru saudaranya Syiah yang memulai dakwah dari bawah, menyusup, berbaur di tengah-tengah masyarakat Majapahit. Masyarakat kalangan bawah sudah menjadi muslim Syiah dan sulit untuk mensunnikan mereka melalui argumentasi logis. Kaum muslim Sunni harus mendirikan sebuah kerajaan kemudian menyingkirkan pesaing-pesaingnya, setelah semua hal itu dilaksanakan maka dakwah Islam mazhab sunni di pulau Jawa baru dapat mereka mulai. Penguasa kerajaan Majapahit harus disingkirkan terlebih dahulu. Maka tidak seperti kaum muslim syiah keturunan musafir Perlak Pesisir yang lebih mengutamakan rakyat kebanyakan sebagai sasaran dakwah, kaum muslim Sunni berdakwah dengan sasaran para bangsawan, keluarga raja dan anak keturunannya. Oleh karena itu media-media yang digunakan oleh kaum muslim Sunni di pulau Jawa adalah media-media elit/khusus yang hanya digunakan oleh masyarakat kalangan atas seperti misalnya pertunjukan wayang. Pada masa itu hanya kalangan bangsawan dan keluarga raja Majapahit yang mampu menyelenggarakan serta menonton pertunjukkan wayang.
Post a Comment
mohon gunakan email