Setelah
posisi kaum muslim Sunni sudah cukup kuat di pulau Jawa dengan masuk
Islamnya raden Patah, putra prabu Brawijaya yang terakhir (Brawijaya V),
maka mereka harus segera mengambil alih kekuasaan di pulau Jawa. Hal
ini penting jika kaum muslim sunni hendak mencegah kalangan penguasa di
pulau Jawa dikuasai oleh kaum muslim syiah. Selain itu dengan jatuhnya
kekuasaan di tangan mereka (kaum muslim sunni), maka situasi politik
yang seperti situasi politik di timur tengah akan dapat dikondisikan
pula di Nusantara Jawa. Maka setelah mendirikan kerajaan Islam di Demak,
kaum muslim sunni segera menyerang Majapahit.
Lalu bagaimana masyarakat Islam syiah keturunan musafir Perlak Pesisir di Jawa mengambil sikap ketika dihadapkan pada situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Apakah mereka lebih condong kepada Demak atau kepada Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah tempat mereka mendapatkan penghidupan. Kerajaan Majapahit tidak mengusik perbedaan keyakinan, bahkan memberikan ruang bagi kaum syiah keturunan musafir Perlak untuk berkembang. Sementara kerajaan Demak adalah kerajaan Islam, oleh karenanya mereka adalah saudara dalam keimanan. Sejarah sedikit-banyak telah menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak lebih condong untuk membela saudara seimannya, yaitu kerajaan Demak.
Ketika diserang oleh Demak, kerajaan Majapahit langsung mengalami keruntuhan, apabila masyarakatnya melakukan pembelaan kepada kerajaan tersebut tentu situasinya akan lain. Hal ini sedikit banyak menunjukkan sikap masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di Jawa ketika dihadapkan dengan situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Tentunya tidak semua masyarakatnya mempunyai persamaan pendapat dan sikap yang mutlak identik. Satu atau dua orang pasti mempunyai pendapat politik yang berbeda, seperti sikap yang diambil oleh raden Kusen yang malah menjadi senopati perang bagi kerajaan Majapahit untuk melawan Demak.
Tokoh seperti raden Kusen kemungkinan sekali memiliki pendirian bahwa kerajaan Majapahit telah memberi ruang kepada kaum syiah keturunan Perlak Pesisir untuk berkembang dan memperoleh penghidupan, sehingga ia merasa berhutang budi kepada Majapahit. Atau kemungkinan sekali bahwa ia juga khawatir bahwa apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan, maka masa depan perkembangan kaum syiah di pulau Jawa akan suram. Kemungkinan bagi kekhawatiran raden Kusen ini sebenarnya sangat masuk akal atau beralasan, jika ia melihat sejarah masa lampau hubungan kedua mazhab Islam tersebut, baik di timur tengah maupun di Perlak. Selain raden Kusen tampaknya ada satu atau dua orang lagi yang berpendapat sama dengan beliau. Salah satu diantaranya adalah Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar tampaknya juga memiliki pendapat yang sama dengan raden Kusen.
Yang mengherankan adalah sikap yang diambil masyarakat muslim syiah keturunan musafir Perlak Pesisir untuk lebih memilih membela kerajaan Demak yang bermazhab sunni. Walaupun mereka memahami sejarah masa lampau di timur tengah maupun di Perlak, yaitu apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan maka timbul suatu kemungkinan kuat bahwa kehidupan kaum syiah akan mengalami tekanan keras dari kaum sunni. Apa yang mendasari masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir mengambil pilihan untuk membela saudaranya yang sunni walaupun terdapat kemungkinan bahwa apabila mengalami kemenangan kerajaan Demak akan menekan mereka.
Sejarah masa lalu sedikit-banyak menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah selalu lebih mengutamakan keselamatan peradaban Islam secara keseluruhan daripada kelompok atau mazhab. Mereka juga terlihat selalu piawai dalam menyusun berbagai strategi untuk mencapai tujuannya. Tampaknya strategi yang diambil oleh kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa pun berdasarkan pada pemikiran yang sangat mendalam. Apabila melihat sejarah pada masa setelahnya, maka terlihat bahwa kehidupan Islam yang damai di pulau Jawa hanya mengalami masa yang tidak begitu lama. Aksi penjajahan oleh penjajah Belanda segera tiba dalam waktu yang tidak begitu lama setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Gelagat dari karakter orang-orang Eropa terutama karakter penjajahannya di masa depan tentu terbaca juga oleh masyarakat diseluruh dunia. Walaupun arus informasi dunia di jaman Majapahit lebih lambat apabila dibandingkan dengan arus komunikasi di jaman sekarang. Tapi di jaman dahulu arus informasi global juga sudah terbentuk, apalagi bagi negara-negara yang terletak di pinggiran samudera Hindia yang arus perpindahan manusianya lebih cepat dari pada di bumi belahan lain. Berita tentang keadaan di Eropa, termasuk tabiat dan kecenderungan masyarakatnya juga akan sampai ke daerah Nusantara.
Dalam menghadapi keadaan dunia di masa depan, terutama ancaman dari kecenderungan bangsa Eropa yang akan bersikap agresif terhadap bangsa-bangsa lain tentu sudah dilakukan suatu usaha prediksi oleh bangsa-bangsa lain di dunia saat itu, termasuk diantaranya kaum muslimin syiah keturunan musafir Perlak Pesisir. Terlihat suatu usaha menggerakkan persatuan antar sesama muslim oleh mereka. Masyarakat muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir sudah tidak ambil pusing lagi dengan perbedaan mazhab. Mereka tampaknya rela kehilangan identitas mazhabnya dan menerima Islam sunni dipeluk oleh sebagian besar masyarakat di pulau Jawa. Tapi yang penting inti dari ajaran Islam mazhab syiah tetap dipegang oleh masyarakat Jawa keturunan para musafir Perlak Pesisir. Jejak tersebut terlihat setelah mereka mendirikan kerajaan Islam sufistik di pedalaman pulau Jawa paska keruntuhan kerajaan Demak. Jejak peninggalan kaum syiah akan dibahas pada uraian nanti. Sekarang akan dibahas jejak langkah-langkah dalam sejarah yang ditempuh kaum muslimin syiah keturunan Perlak Pesisir di pula Jawa dalam berinteraksi dengan kaum muslim sunni di pulau Jawa.
Oleh karena itu kaum Islam Syiah keturunan para musafir Perlak harus mengakselerasi persatuan kaum muslimin secepatnya di pulau Jawa. Mereka akan mengeliminir simbol-simbol ajaran syiah, dan memakai symbol-simbol Islam mazhab sunni, akan tetapi inti ajaran tauhid dari ajaran syiah tetap dipertahankan. Kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak akan menampakkan diri mereka di depan kaum muslim sunni seolah-olah telah keluar dari Islam mazhab syiah dan menganut peradaban yang berbeda dengan peradaban syiah yang sebelumnya mereka anut. Mereka akan menampilkan kepada saudaranya kaum muslim sunni, bahwa peradaban yang mereka anut tersebut telah ada dan diyakini oleh pribumi pulau Jawa sebelum kedatangan mereka di pulau tersebut. Kaum muslim syiah keturunan musafir Perlak di pulau Jawa memahami bahwa saudaranya kaum muslim sunni tidak akan terlalu mengusik jika mereka terlihat seperti telah keluar dari mazhab syiah yang dianut sebelumnya.
Pertanyaannya adalah apakah peradaban baru yang dibuat oleh orang-orang keturunan para musafir Perlak pesisir ke Jawa tersebut? jawabannya adalah: Budaya Kejawen. Budaya Kejawen mengandung nilai KeTuhanan dan kemanusiaan yang amat tinggi dan adiluhung, jadi tidak mungkin budaya tersebut secara mandiri dibentuk oleh suatu kearifan yang baru berumur beberapa ratus tahun saja. Budaya tersebut pastilah mempunyai kesinambungan dengan suatu peradaban manusia yang telah maju dari masa yang telah lama. Budaya manusia yang masih muda akan membentuk peradaban yang sederhana, seperti budaya-budaya penduduk primitifyang tinggal di pedalaman Guinea dan Australia. Pada tesis di uraian sebelumnya ditarik sebuah hipotesa bahwa budaya monotheisme yang bernilai keTuhanan tinggi dan membentuk budaya Kejawen adalah budaya Islam Syiah.
Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan, yaitu; kapankah kaum syiah keturunan kaum musafir Perlak mengubah keyakinannya menjadi peradaban kejawen? Secara historiologi, waktu pembuatan budaya baru ini kurang jelas. Akan tetapi kita bisa mendapatkan data melalui antropologi budaya masyarakat Nusantara/Jawa. Yaitu intensitas budaya Kejawen yang dipeluk masyarakat Jawa dan berita masa lalunya santer sampai sekarang. Berita tertulisnya tampak secara tersirat pada serat-serat sastra jawa kuno yang mengandung nilai-nilai keTuhanan yang tinggi. Berdasarkan berita santer masa lalu ini mudah kita untuk membayangkan bahwa budaya kejawen pernah secara masif mendominasi keyakinan masyarakat pulau Jawa. Yang kita berusaha lacak adalah periodisasinya. Budaya Kejawen memiliki persamaan yang menakjubkan pada ajaran sisi esoteris Islam mazhab Syiah. Pada keduanya terdapat kandungan pengajaran hikmah, filsafat wujud, tauhid dan akhlak yang benar-benar identik. Tidak pernah ditemukan persamaan antara dua peradaban yang begitu identik di dunia ini sebagaimana identiknya budaya Kejawen dan ajaran esoteris Islam mazhab Syiah.
Dilihat dari kuatnya pengaruh budaya kejawen yang masih terasa sampai sekarang, maka kemungkinan sekali periodisasi budaya kejawen ini sudah cukup lama. Periodisasinya juga jauh lebih tua dari ?Islamnya masyarakat Jawa menurut ?versi Dr Snouck? yang dimulai pada abad 15.? Islam menurut Dr Snouck masuk ke Jawa melalui Gujarat di Aceh dan masuk dari Hadramauth ke Jawa oleh para walisanga.
Jika periodisasi peninggalan tertulis budaya kejawen berasal dari abad ke 15 sampai dengan abad ke 19, maka budaya lisannya kemungkinan sekali berasal dari waktu yang jauh lebih awal dari abad ke 15. Bisa berasal dari abad ke 10 sampai abad ke 14. Dalam ilmu antropologi masyarakat, sering suatu pola budaya dalam masyarakat bermula dari nilai-nilai sosial yang bersifat non-formal. Kemudian semakin maju masyarakat tersebut maka menjadi budaya formal. Pada awalnya monotheisme Jawa berjalan atas penyebaran yang berbasis budaya lisan. Demikian pula ajaran monotheisme Kejawen. Makin lama monotheisme lisan kejawen tersebut mengambil bentuk budaya kompleks dan tertulis, seperti tertulis pada serat-serat sastra kuno jawa yang mengandung nilai-nilai esoteris monotheisme. Pada awalnya monotheisme esoteris adalah budaya keyakinan rakyat yang bersifat lisan. Kemudian dimasa Syekh Siti Jenar ketika peradaban manusia sudah semakin kompleks maka monotheisme esoteris masuk ke periode tertulis seperti dalam serat-serat sastra kuno jawa.
Oleh karena itu masa keemasan budaya Kejawen di pulau Jawa berlangsung jauh lebih awal dari kedatangan para Walisanga dari Hadramauth ke pesisir utara pulau Jawa. Karena dari anggapan sejarah awam bahwa sejak masa Islam masuk ke Jawa oleh walisanga sampai dengan masa sekarang ini, budaya kejawen belum pernah mengalami masa keemasan. Padahal secara antropologi masyarakat sudah jelas bahwa pada suatu masa lampau, budaya Kejawen pernah mengalami masa keemasan di pulau Jawa. Oleh karena itu masa keemasan budaya kejawen pastilah terjadi sebelum masa para walisanga berdakwah di Jawa.
Para Walisanga justru pihak yang berusaha menghapus budaya Kejawen. Hal diatas tampak pada konflik antara Walisanga dengan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar dengan paham Wahdatul Wujudnya memiliki kesamaan paralel dengan paham Manunggaling Kawula Gustinya budaya Kejawen. Syekh Siti Jenar lebih cenderung mengangkat sisi esoteris islam daripada para walisanga yang lebih mementingkan sisi material atau mengangkat simbol-simbol luarnya saja. Dan ternyata sisi esoteris islam Syekh Siti Jenar ini memiliki kesamaan dengan keyakinan Kejawen.
Memang Syekh Siti Jenar dalam ungkapan-ungkapannya seolah-olah seperti tidak menekankan sisi syariat Islam. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut sebenarnya maksud beliau bukanlah demikian. Maksud Syekh Siti Jenar adalah bahwa pengamalan syariat apabila tidak disertai dengan kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh kepada Allah dan dengan tujuan kebaikan dari orang-orang yang melaksanakannya, maka makna dari amalan-amalannya akan sia-sia. Maksud dari Syekh Siti Jenar ini tentunya juga dipahami oleh seluruh kaum muslimin pada saat itu dan tentunya juga dipahami pula oleh para Walisanga. tapi kenyataannya para Walisanga tetap menjatuhkan vonis kepada Syekh Siti Jenar. Berdasarkan hal tersebut di depan maka hanya ada satu kemungkinan alas an bagi para Walisanga untuk bersikap keras kepada Syekh Siti Jenar, alasan tersebut adalah alasan perebutan pengaruh dan simpati dari masyarakat muslimin di pulau Jawa secara keseluruhan, atau dengan kata lain alasan para Walisanga tersebut lebih bermakna politis.
Pada
uraian-uraian sebelumnya telah dipaparkan argumentasi yang menyatakan
bahwa serangan Demak tersebut bukanlah perang yang bertujuan dakwah
Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Hindu, akan tetapi lebih
kepada persiapan ?dakwah? untuk menghadapi persaingan antar mazhab dalam
Islam. Salah satu peristiwa sejarah yang dapat dijadikan indikasi bagi
argumentasi diatas adalah adanya suatu fenomena bahwa pada waktu
peperangan antara Demak dan Majapahit berlangsung, panglima angkatan
perang Majapahit saat itu dipegang oleh seorang muslim bernama raden
Kusen (raden Husain). Nama panglima perang Majapahit itu pada konteks
masanya mengindikasikan bahwa ia seorang muslim yang bermazhab ahlul
bayt. Hal ini menandakan bahwa kaum muslim Syiah sudah mempunyai
pengikut yang jumlahnya besar di pulau Jawa ketika para walisanga datang
ke pulau tersebut.
Lalu bagaimana masyarakat Islam syiah keturunan musafir Perlak Pesisir di Jawa mengambil sikap ketika dihadapkan pada situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Apakah mereka lebih condong kepada Demak atau kepada Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah tempat mereka mendapatkan penghidupan. Kerajaan Majapahit tidak mengusik perbedaan keyakinan, bahkan memberikan ruang bagi kaum syiah keturunan musafir Perlak untuk berkembang. Sementara kerajaan Demak adalah kerajaan Islam, oleh karenanya mereka adalah saudara dalam keimanan. Sejarah sedikit-banyak telah menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak lebih condong untuk membela saudara seimannya, yaitu kerajaan Demak.
Ketika diserang oleh Demak, kerajaan Majapahit langsung mengalami keruntuhan, apabila masyarakatnya melakukan pembelaan kepada kerajaan tersebut tentu situasinya akan lain. Hal ini sedikit banyak menunjukkan sikap masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di Jawa ketika dihadapkan dengan situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Tentunya tidak semua masyarakatnya mempunyai persamaan pendapat dan sikap yang mutlak identik. Satu atau dua orang pasti mempunyai pendapat politik yang berbeda, seperti sikap yang diambil oleh raden Kusen yang malah menjadi senopati perang bagi kerajaan Majapahit untuk melawan Demak.
Tokoh seperti raden Kusen kemungkinan sekali memiliki pendirian bahwa kerajaan Majapahit telah memberi ruang kepada kaum syiah keturunan Perlak Pesisir untuk berkembang dan memperoleh penghidupan, sehingga ia merasa berhutang budi kepada Majapahit. Atau kemungkinan sekali bahwa ia juga khawatir bahwa apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan, maka masa depan perkembangan kaum syiah di pulau Jawa akan suram. Kemungkinan bagi kekhawatiran raden Kusen ini sebenarnya sangat masuk akal atau beralasan, jika ia melihat sejarah masa lampau hubungan kedua mazhab Islam tersebut, baik di timur tengah maupun di Perlak. Selain raden Kusen tampaknya ada satu atau dua orang lagi yang berpendapat sama dengan beliau. Salah satu diantaranya adalah Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar tampaknya juga memiliki pendapat yang sama dengan raden Kusen.
Yang mengherankan adalah sikap yang diambil masyarakat muslim syiah keturunan musafir Perlak Pesisir untuk lebih memilih membela kerajaan Demak yang bermazhab sunni. Walaupun mereka memahami sejarah masa lampau di timur tengah maupun di Perlak, yaitu apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan maka timbul suatu kemungkinan kuat bahwa kehidupan kaum syiah akan mengalami tekanan keras dari kaum sunni. Apa yang mendasari masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir mengambil pilihan untuk membela saudaranya yang sunni walaupun terdapat kemungkinan bahwa apabila mengalami kemenangan kerajaan Demak akan menekan mereka.
Sejarah masa lalu sedikit-banyak menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah selalu lebih mengutamakan keselamatan peradaban Islam secara keseluruhan daripada kelompok atau mazhab. Mereka juga terlihat selalu piawai dalam menyusun berbagai strategi untuk mencapai tujuannya. Tampaknya strategi yang diambil oleh kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa pun berdasarkan pada pemikiran yang sangat mendalam. Apabila melihat sejarah pada masa setelahnya, maka terlihat bahwa kehidupan Islam yang damai di pulau Jawa hanya mengalami masa yang tidak begitu lama. Aksi penjajahan oleh penjajah Belanda segera tiba dalam waktu yang tidak begitu lama setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Gelagat dari karakter orang-orang Eropa terutama karakter penjajahannya di masa depan tentu terbaca juga oleh masyarakat diseluruh dunia. Walaupun arus informasi dunia di jaman Majapahit lebih lambat apabila dibandingkan dengan arus komunikasi di jaman sekarang. Tapi di jaman dahulu arus informasi global juga sudah terbentuk, apalagi bagi negara-negara yang terletak di pinggiran samudera Hindia yang arus perpindahan manusianya lebih cepat dari pada di bumi belahan lain. Berita tentang keadaan di Eropa, termasuk tabiat dan kecenderungan masyarakatnya juga akan sampai ke daerah Nusantara.
Dalam menghadapi keadaan dunia di masa depan, terutama ancaman dari kecenderungan bangsa Eropa yang akan bersikap agresif terhadap bangsa-bangsa lain tentu sudah dilakukan suatu usaha prediksi oleh bangsa-bangsa lain di dunia saat itu, termasuk diantaranya kaum muslimin syiah keturunan musafir Perlak Pesisir. Terlihat suatu usaha menggerakkan persatuan antar sesama muslim oleh mereka. Masyarakat muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir sudah tidak ambil pusing lagi dengan perbedaan mazhab. Mereka tampaknya rela kehilangan identitas mazhabnya dan menerima Islam sunni dipeluk oleh sebagian besar masyarakat di pulau Jawa. Tapi yang penting inti dari ajaran Islam mazhab syiah tetap dipegang oleh masyarakat Jawa keturunan para musafir Perlak Pesisir. Jejak tersebut terlihat setelah mereka mendirikan kerajaan Islam sufistik di pedalaman pulau Jawa paska keruntuhan kerajaan Demak. Jejak peninggalan kaum syiah akan dibahas pada uraian nanti. Sekarang akan dibahas jejak langkah-langkah dalam sejarah yang ditempuh kaum muslimin syiah keturunan Perlak Pesisir di pula Jawa dalam berinteraksi dengan kaum muslim sunni di pulau Jawa.
Budaya Kejawen sebagai Metamorfosis Ajaran Islam Syiah di Pulau Jawa.
Kaum
muslim Syiah telah mempersiapkan sebuah kemasan baru untuk menghindari
konflik dengan kaum muslim Sunni. Mereka atampaknya akan menerapkan
kembali suatu strategi yang sering mereka praktekkan di timur tengah.
Strategi itu disebut dengan taqiyah. Setelah di timur tengah, mereka
tidak mempraktekkannya lagi ketika di Perlak. Tetapi di pulau Jawa ini
tampaknya mereka harus menerapkannya lagi. Hal tersebut perlu karena
persatuan diantara syiah dan sunni harus segera dilaksanakan secepatnya
sebelum orang-orang barat datang ke Nusantara untuk melakukan
penjajahan. Tetapi taqiyah yang mereka terapkan di pulau Jawa akan jauh
lebih ekstrim daripada yang pernah mereka terapkan di timur tengah.
Karena berdasarkan pada pengalaman sebelumnya bahwa adanya segitiga
kepentingan, yaitu; syiah, sunni, dan non-muslim, kaum muslim sunni
sukar menerima suatu koalisi dengan kaum syiah untuk menghadapi
non-muslim seperti Sriwijaya atau Majapahit, tanpa menimbulkan kerugian
pada kaum muslim syiah. Padahal lawan non-muslim yang akan dihadapi kaum
muslimin di masa depan adalah orang-orang Eropa yang lebih kuat.
Oleh karena itu kaum Islam Syiah keturunan para musafir Perlak harus mengakselerasi persatuan kaum muslimin secepatnya di pulau Jawa. Mereka akan mengeliminir simbol-simbol ajaran syiah, dan memakai symbol-simbol Islam mazhab sunni, akan tetapi inti ajaran tauhid dari ajaran syiah tetap dipertahankan. Kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak akan menampakkan diri mereka di depan kaum muslim sunni seolah-olah telah keluar dari Islam mazhab syiah dan menganut peradaban yang berbeda dengan peradaban syiah yang sebelumnya mereka anut. Mereka akan menampilkan kepada saudaranya kaum muslim sunni, bahwa peradaban yang mereka anut tersebut telah ada dan diyakini oleh pribumi pulau Jawa sebelum kedatangan mereka di pulau tersebut. Kaum muslim syiah keturunan musafir Perlak di pulau Jawa memahami bahwa saudaranya kaum muslim sunni tidak akan terlalu mengusik jika mereka terlihat seperti telah keluar dari mazhab syiah yang dianut sebelumnya.
Pertanyaannya adalah apakah peradaban baru yang dibuat oleh orang-orang keturunan para musafir Perlak pesisir ke Jawa tersebut? jawabannya adalah: Budaya Kejawen. Budaya Kejawen mengandung nilai KeTuhanan dan kemanusiaan yang amat tinggi dan adiluhung, jadi tidak mungkin budaya tersebut secara mandiri dibentuk oleh suatu kearifan yang baru berumur beberapa ratus tahun saja. Budaya tersebut pastilah mempunyai kesinambungan dengan suatu peradaban manusia yang telah maju dari masa yang telah lama. Budaya manusia yang masih muda akan membentuk peradaban yang sederhana, seperti budaya-budaya penduduk primitifyang tinggal di pedalaman Guinea dan Australia. Pada tesis di uraian sebelumnya ditarik sebuah hipotesa bahwa budaya monotheisme yang bernilai keTuhanan tinggi dan membentuk budaya Kejawen adalah budaya Islam Syiah.
Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan, yaitu; kapankah kaum syiah keturunan kaum musafir Perlak mengubah keyakinannya menjadi peradaban kejawen? Secara historiologi, waktu pembuatan budaya baru ini kurang jelas. Akan tetapi kita bisa mendapatkan data melalui antropologi budaya masyarakat Nusantara/Jawa. Yaitu intensitas budaya Kejawen yang dipeluk masyarakat Jawa dan berita masa lalunya santer sampai sekarang. Berita tertulisnya tampak secara tersirat pada serat-serat sastra jawa kuno yang mengandung nilai-nilai keTuhanan yang tinggi. Berdasarkan berita santer masa lalu ini mudah kita untuk membayangkan bahwa budaya kejawen pernah secara masif mendominasi keyakinan masyarakat pulau Jawa. Yang kita berusaha lacak adalah periodisasinya. Budaya Kejawen memiliki persamaan yang menakjubkan pada ajaran sisi esoteris Islam mazhab Syiah. Pada keduanya terdapat kandungan pengajaran hikmah, filsafat wujud, tauhid dan akhlak yang benar-benar identik. Tidak pernah ditemukan persamaan antara dua peradaban yang begitu identik di dunia ini sebagaimana identiknya budaya Kejawen dan ajaran esoteris Islam mazhab Syiah.
Dilihat dari kuatnya pengaruh budaya kejawen yang masih terasa sampai sekarang, maka kemungkinan sekali periodisasi budaya kejawen ini sudah cukup lama. Periodisasinya juga jauh lebih tua dari ?Islamnya masyarakat Jawa menurut ?versi Dr Snouck? yang dimulai pada abad 15.? Islam menurut Dr Snouck masuk ke Jawa melalui Gujarat di Aceh dan masuk dari Hadramauth ke Jawa oleh para walisanga.
Jika periodisasi peninggalan tertulis budaya kejawen berasal dari abad ke 15 sampai dengan abad ke 19, maka budaya lisannya kemungkinan sekali berasal dari waktu yang jauh lebih awal dari abad ke 15. Bisa berasal dari abad ke 10 sampai abad ke 14. Dalam ilmu antropologi masyarakat, sering suatu pola budaya dalam masyarakat bermula dari nilai-nilai sosial yang bersifat non-formal. Kemudian semakin maju masyarakat tersebut maka menjadi budaya formal. Pada awalnya monotheisme Jawa berjalan atas penyebaran yang berbasis budaya lisan. Demikian pula ajaran monotheisme Kejawen. Makin lama monotheisme lisan kejawen tersebut mengambil bentuk budaya kompleks dan tertulis, seperti tertulis pada serat-serat sastra kuno jawa yang mengandung nilai-nilai esoteris monotheisme. Pada awalnya monotheisme esoteris adalah budaya keyakinan rakyat yang bersifat lisan. Kemudian dimasa Syekh Siti Jenar ketika peradaban manusia sudah semakin kompleks maka monotheisme esoteris masuk ke periode tertulis seperti dalam serat-serat sastra kuno jawa.
Oleh karena itu masa keemasan budaya Kejawen di pulau Jawa berlangsung jauh lebih awal dari kedatangan para Walisanga dari Hadramauth ke pesisir utara pulau Jawa. Karena dari anggapan sejarah awam bahwa sejak masa Islam masuk ke Jawa oleh walisanga sampai dengan masa sekarang ini, budaya kejawen belum pernah mengalami masa keemasan. Padahal secara antropologi masyarakat sudah jelas bahwa pada suatu masa lampau, budaya Kejawen pernah mengalami masa keemasan di pulau Jawa. Oleh karena itu masa keemasan budaya kejawen pastilah terjadi sebelum masa para walisanga berdakwah di Jawa.
Para Walisanga justru pihak yang berusaha menghapus budaya Kejawen. Hal diatas tampak pada konflik antara Walisanga dengan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar dengan paham Wahdatul Wujudnya memiliki kesamaan paralel dengan paham Manunggaling Kawula Gustinya budaya Kejawen. Syekh Siti Jenar lebih cenderung mengangkat sisi esoteris islam daripada para walisanga yang lebih mementingkan sisi material atau mengangkat simbol-simbol luarnya saja. Dan ternyata sisi esoteris islam Syekh Siti Jenar ini memiliki kesamaan dengan keyakinan Kejawen.
Memang Syekh Siti Jenar dalam ungkapan-ungkapannya seolah-olah seperti tidak menekankan sisi syariat Islam. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut sebenarnya maksud beliau bukanlah demikian. Maksud Syekh Siti Jenar adalah bahwa pengamalan syariat apabila tidak disertai dengan kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh kepada Allah dan dengan tujuan kebaikan dari orang-orang yang melaksanakannya, maka makna dari amalan-amalannya akan sia-sia. Maksud dari Syekh Siti Jenar ini tentunya juga dipahami oleh seluruh kaum muslimin pada saat itu dan tentunya juga dipahami pula oleh para Walisanga. tapi kenyataannya para Walisanga tetap menjatuhkan vonis kepada Syekh Siti Jenar. Berdasarkan hal tersebut di depan maka hanya ada satu kemungkinan alas an bagi para Walisanga untuk bersikap keras kepada Syekh Siti Jenar, alasan tersebut adalah alasan perebutan pengaruh dan simpati dari masyarakat muslimin di pulau Jawa secara keseluruhan, atau dengan kata lain alasan para Walisanga tersebut lebih bermakna politis.
Kerajaan Mataram Islam Pewaris Inti Irfan dam Akhlak Mazhab Ahlulbayt
Post a Comment
mohon gunakan email