Pesan Rahbar

Home » » SYIAH MASUK DAERAH JAWA BAGIAN KETIGA

SYIAH MASUK DAERAH JAWA BAGIAN KETIGA

Written By Unknown on Tuesday, 8 July 2014 | 22:09:00

Setelah posisi kaum muslim Sunni sudah cukup kuat di pulau Jawa dengan masuk Islamnya raden Patah, putra prabu Brawijaya yang terakhir (Brawijaya V), maka mereka harus segera mengambil alih kekuasaan di pulau Jawa. Hal ini penting jika kaum muslim sunni hendak mencegah kalangan penguasa di pulau Jawa dikuasai oleh kaum muslim syiah. Selain itu dengan jatuhnya kekuasaan di tangan mereka (kaum muslim sunni), maka situasi politik yang seperti situasi politik di timur tengah akan dapat dikondisikan pula di Nusantara Jawa. Maka setelah mendirikan kerajaan Islam di Demak, kaum muslim sunni segera menyerang Majapahit. 
 
Pada uraian-uraian sebelumnya telah dipaparkan argumentasi yang menyatakan bahwa serangan Demak tersebut bukanlah perang yang bertujuan dakwah Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Hindu, akan tetapi lebih kepada persiapan ?dakwah? untuk menghadapi persaingan antar mazhab dalam Islam. Salah satu peristiwa sejarah yang dapat dijadikan indikasi bagi argumentasi diatas adalah adanya suatu fenomena bahwa pada waktu peperangan antara Demak dan Majapahit berlangsung, panglima angkatan perang Majapahit saat itu dipegang oleh seorang muslim bernama raden Kusen (raden Husain). Nama panglima perang Majapahit itu pada konteks masanya mengindikasikan bahwa ia seorang muslim yang bermazhab ahlul bayt. Hal ini menandakan bahwa kaum muslim Syiah sudah mempunyai pengikut yang jumlahnya besar di pulau Jawa ketika para walisanga datang ke pulau tersebut.

Lalu bagaimana masyarakat Islam syiah keturunan musafir Perlak Pesisir di Jawa mengambil sikap ketika dihadapkan pada situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Apakah mereka lebih condong kepada Demak atau kepada Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah tempat mereka mendapatkan penghidupan. Kerajaan Majapahit tidak mengusik perbedaan keyakinan, bahkan memberikan ruang bagi kaum syiah keturunan musafir Perlak untuk berkembang. Sementara kerajaan Demak adalah kerajaan Islam, oleh karenanya mereka adalah saudara dalam keimanan. Sejarah sedikit-banyak telah menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak lebih condong untuk membela saudara seimannya, yaitu kerajaan Demak.

Ketika diserang oleh Demak, kerajaan Majapahit langsung mengalami keruntuhan, apabila masyarakatnya melakukan pembelaan kepada kerajaan tersebut tentu situasinya akan lain. Hal ini sedikit banyak menunjukkan sikap masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di Jawa ketika dihadapkan dengan situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Tentunya tidak semua masyarakatnya mempunyai persamaan pendapat dan sikap yang mutlak identik. Satu atau dua orang pasti mempunyai pendapat politik yang berbeda, seperti sikap yang diambil oleh raden Kusen yang malah menjadi senopati perang bagi kerajaan Majapahit untuk melawan Demak.

Tokoh seperti raden Kusen kemungkinan sekali memiliki pendirian bahwa kerajaan Majapahit telah memberi ruang kepada kaum syiah keturunan Perlak Pesisir untuk berkembang dan memperoleh penghidupan, sehingga ia merasa berhutang budi kepada Majapahit. Atau kemungkinan sekali bahwa ia juga khawatir bahwa apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan, maka masa depan perkembangan kaum syiah di pulau Jawa akan suram. Kemungkinan bagi kekhawatiran raden Kusen ini sebenarnya sangat masuk akal atau beralasan, jika ia melihat sejarah masa lampau hubungan kedua mazhab Islam tersebut, baik di timur tengah maupun di Perlak. Selain raden Kusen tampaknya ada satu atau dua orang lagi yang berpendapat sama dengan beliau. Salah satu diantaranya adalah Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar tampaknya juga memiliki pendapat yang sama dengan raden Kusen.

Yang mengherankan adalah sikap yang diambil masyarakat muslim syiah keturunan musafir Perlak Pesisir untuk lebih memilih membela kerajaan Demak yang bermazhab sunni. Walaupun mereka memahami sejarah masa lampau di timur tengah maupun di Perlak, yaitu apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan maka timbul suatu kemungkinan kuat bahwa kehidupan kaum syiah akan mengalami tekanan keras dari kaum sunni. Apa yang mendasari masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir mengambil pilihan untuk membela saudaranya yang sunni walaupun terdapat kemungkinan bahwa apabila mengalami kemenangan kerajaan Demak akan menekan mereka.

Sejarah masa lalu sedikit-banyak menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah selalu lebih mengutamakan keselamatan peradaban Islam secara keseluruhan daripada kelompok atau mazhab. Mereka juga terlihat selalu piawai dalam menyusun berbagai strategi untuk mencapai tujuannya. Tampaknya strategi yang diambil oleh kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa pun berdasarkan pada pemikiran yang sangat mendalam. Apabila melihat sejarah pada masa setelahnya, maka terlihat bahwa kehidupan Islam yang damai di pulau Jawa hanya mengalami masa yang tidak begitu lama. Aksi penjajahan oleh penjajah Belanda segera tiba dalam waktu yang tidak begitu lama setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Gelagat dari karakter orang-orang Eropa terutama karakter penjajahannya di masa depan tentu terbaca juga oleh masyarakat diseluruh dunia. Walaupun arus informasi dunia di jaman Majapahit lebih lambat apabila dibandingkan dengan arus komunikasi di jaman sekarang. Tapi di jaman dahulu arus informasi global juga sudah terbentuk, apalagi bagi negara-negara yang terletak di pinggiran samudera Hindia yang arus perpindahan manusianya lebih cepat dari pada di bumi belahan lain. Berita tentang keadaan di Eropa, termasuk tabiat dan kecenderungan masyarakatnya juga akan sampai ke daerah Nusantara.

Dalam menghadapi keadaan dunia di masa depan, terutama ancaman dari kecenderungan bangsa Eropa yang akan bersikap agresif terhadap bangsa-bangsa lain tentu sudah dilakukan suatu usaha prediksi oleh bangsa-bangsa lain di dunia saat itu, termasuk diantaranya kaum muslimin syiah keturunan musafir Perlak Pesisir. Terlihat suatu usaha menggerakkan persatuan antar sesama muslim oleh mereka. Masyarakat muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir sudah tidak ambil pusing lagi dengan perbedaan mazhab. Mereka tampaknya rela kehilangan identitas mazhabnya dan menerima Islam sunni dipeluk oleh sebagian besar masyarakat di pulau Jawa. Tapi yang penting inti dari ajaran Islam mazhab syiah tetap dipegang oleh masyarakat Jawa keturunan para musafir Perlak Pesisir. Jejak tersebut terlihat setelah mereka mendirikan kerajaan Islam sufistik di pedalaman pulau Jawa paska keruntuhan kerajaan Demak. Jejak peninggalan kaum syiah akan dibahas pada uraian nanti. Sekarang akan dibahas jejak langkah-langkah dalam sejarah yang ditempuh kaum muslimin syiah keturunan Perlak Pesisir di pula Jawa dalam berinteraksi dengan kaum muslim sunni di pulau Jawa. 
Budaya Kejawen sebagai Metamorfosis Ajaran Islam Syiah di Pulau Jawa.
Kaum muslim Syiah telah mempersiapkan sebuah kemasan baru untuk menghindari konflik dengan kaum muslim Sunni. Mereka atampaknya akan menerapkan kembali suatu strategi yang sering mereka praktekkan di timur tengah. Strategi itu disebut dengan taqiyah. Setelah di timur tengah, mereka tidak mempraktekkannya lagi ketika di Perlak. Tetapi di pulau Jawa ini tampaknya mereka harus menerapkannya lagi. Hal tersebut perlu karena persatuan diantara syiah dan sunni harus segera dilaksanakan secepatnya sebelum orang-orang barat datang ke Nusantara untuk melakukan penjajahan. Tetapi taqiyah yang mereka terapkan di pulau Jawa akan jauh lebih ekstrim daripada yang pernah mereka terapkan di timur tengah. Karena berdasarkan pada pengalaman sebelumnya bahwa adanya segitiga kepentingan, yaitu; syiah, sunni, dan non-muslim, kaum muslim sunni sukar menerima suatu koalisi dengan kaum syiah untuk menghadapi non-muslim seperti Sriwijaya atau Majapahit, tanpa menimbulkan kerugian pada kaum muslim syiah. Padahal lawan non-muslim yang akan dihadapi kaum muslimin di masa depan adalah orang-orang Eropa yang lebih kuat.

Oleh karena itu kaum Islam Syiah keturunan para musafir Perlak harus mengakselerasi persatuan kaum muslimin secepatnya di pulau Jawa. Mereka akan mengeliminir simbol-simbol ajaran syiah, dan memakai symbol-simbol Islam mazhab sunni, akan tetapi inti ajaran tauhid dari ajaran syiah tetap dipertahankan. Kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak akan menampakkan diri mereka di depan kaum muslim sunni seolah-olah telah keluar dari Islam mazhab syiah dan menganut peradaban yang berbeda dengan peradaban syiah yang sebelumnya mereka anut. Mereka akan menampilkan kepada saudaranya kaum muslim sunni, bahwa peradaban yang mereka anut tersebut telah ada dan diyakini oleh pribumi pulau Jawa sebelum kedatangan mereka di pulau tersebut. Kaum muslim syiah keturunan musafir Perlak di pulau Jawa memahami bahwa saudaranya kaum muslim sunni tidak akan terlalu mengusik jika mereka terlihat seperti telah keluar dari mazhab syiah yang dianut sebelumnya.

Pertanyaannya adalah apakah peradaban baru yang dibuat oleh orang-orang keturunan para musafir Perlak pesisir ke Jawa tersebut? jawabannya adalah: Budaya Kejawen. Budaya Kejawen mengandung nilai KeTuhanan dan kemanusiaan yang amat tinggi dan adiluhung, jadi tidak mungkin budaya tersebut secara mandiri dibentuk oleh suatu kearifan yang baru berumur beberapa ratus tahun saja. Budaya tersebut pastilah mempunyai kesinambungan dengan suatu peradaban manusia yang telah maju dari masa yang telah lama. Budaya manusia yang masih muda akan membentuk peradaban yang sederhana, seperti budaya-budaya penduduk primitifyang tinggal di pedalaman Guinea dan Australia. Pada tesis di uraian sebelumnya ditarik sebuah hipotesa bahwa budaya monotheisme yang bernilai keTuhanan tinggi dan membentuk budaya Kejawen adalah budaya Islam Syiah.

Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan, yaitu; kapankah kaum syiah keturunan kaum musafir Perlak mengubah keyakinannya menjadi peradaban kejawen? Secara historiologi, waktu pembuatan budaya baru ini kurang jelas. Akan tetapi kita bisa mendapatkan data melalui antropologi budaya masyarakat Nusantara/Jawa. Yaitu intensitas budaya Kejawen yang dipeluk masyarakat Jawa dan berita masa lalunya santer sampai sekarang. Berita tertulisnya tampak secara tersirat pada serat-serat sastra jawa kuno yang mengandung nilai-nilai keTuhanan yang tinggi. Berdasarkan berita santer masa lalu ini mudah kita untuk membayangkan bahwa budaya kejawen pernah secara masif mendominasi keyakinan masyarakat pulau Jawa. Yang kita berusaha lacak adalah periodisasinya. Budaya Kejawen memiliki persamaan yang menakjubkan pada ajaran sisi esoteris Islam mazhab Syiah. Pada keduanya terdapat kandungan pengajaran hikmah, filsafat wujud, tauhid dan akhlak yang benar-benar identik. Tidak pernah ditemukan persamaan antara dua peradaban yang begitu identik di dunia ini sebagaimana identiknya budaya Kejawen dan ajaran esoteris Islam mazhab Syiah.

Dilihat dari kuatnya pengaruh budaya kejawen yang masih terasa sampai sekarang, maka kemungkinan sekali periodisasi budaya kejawen ini sudah cukup lama. Periodisasinya juga jauh lebih tua dari ?Islamnya masyarakat Jawa menurut ?versi Dr Snouck? yang dimulai pada abad 15.? Islam menurut Dr Snouck masuk ke Jawa melalui Gujarat di Aceh dan masuk dari Hadramauth ke Jawa oleh para walisanga.

Jika periodisasi peninggalan tertulis budaya kejawen berasal dari abad ke 15 sampai dengan abad ke 19, maka budaya lisannya kemungkinan sekali berasal dari waktu yang jauh lebih awal dari abad ke 15. Bisa berasal dari abad ke 10 sampai abad ke 14. Dalam ilmu antropologi masyarakat, sering suatu pola budaya dalam masyarakat bermula dari nilai-nilai sosial yang bersifat non-formal. Kemudian semakin maju masyarakat tersebut maka menjadi budaya formal. Pada awalnya monotheisme Jawa berjalan atas penyebaran yang berbasis budaya lisan. Demikian pula ajaran monotheisme Kejawen. Makin lama monotheisme lisan kejawen tersebut mengambil bentuk budaya kompleks dan tertulis, seperti tertulis pada serat-serat sastra kuno jawa yang mengandung nilai-nilai esoteris monotheisme. Pada awalnya monotheisme esoteris adalah budaya keyakinan rakyat yang bersifat lisan. Kemudian dimasa Syekh Siti Jenar ketika peradaban manusia sudah semakin kompleks maka monotheisme esoteris masuk ke periode tertulis seperti dalam serat-serat sastra kuno jawa.

Oleh karena itu masa keemasan budaya Kejawen di pulau Jawa berlangsung jauh lebih awal dari kedatangan para Walisanga dari Hadramauth ke pesisir utara pulau Jawa. Karena dari anggapan sejarah awam bahwa sejak masa Islam masuk ke Jawa oleh walisanga sampai dengan masa sekarang ini, budaya kejawen belum pernah mengalami masa keemasan. Padahal secara antropologi masyarakat sudah jelas bahwa pada suatu masa lampau, budaya Kejawen pernah mengalami masa keemasan di pulau Jawa. Oleh karena itu masa keemasan budaya kejawen pastilah terjadi sebelum masa para walisanga berdakwah di Jawa.

Para Walisanga justru pihak yang berusaha menghapus budaya Kejawen. Hal diatas tampak pada konflik antara Walisanga dengan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar dengan paham Wahdatul Wujudnya memiliki kesamaan paralel dengan paham Manunggaling Kawula Gustinya budaya Kejawen. Syekh Siti Jenar lebih cenderung mengangkat sisi esoteris islam daripada para walisanga yang lebih mementingkan sisi material atau mengangkat simbol-simbol luarnya saja. Dan ternyata sisi esoteris islam Syekh Siti Jenar ini memiliki kesamaan dengan keyakinan Kejawen.

Memang Syekh Siti Jenar dalam ungkapan-ungkapannya seolah-olah seperti tidak menekankan sisi syariat Islam. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut sebenarnya maksud beliau bukanlah demikian. Maksud Syekh Siti Jenar adalah bahwa pengamalan syariat apabila tidak disertai dengan kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh kepada Allah dan dengan tujuan kebaikan dari orang-orang yang melaksanakannya, maka makna dari amalan-amalannya akan sia-sia. Maksud dari Syekh Siti Jenar ini tentunya juga dipahami oleh seluruh kaum muslimin pada saat itu dan tentunya juga dipahami pula oleh para Walisanga. tapi kenyataannya para Walisanga tetap menjatuhkan vonis kepada Syekh Siti Jenar. Berdasarkan hal tersebut di depan maka hanya ada satu kemungkinan alas an bagi para Walisanga untuk bersikap keras kepada Syekh Siti Jenar, alasan tersebut adalah alasan perebutan pengaruh dan simpati dari masyarakat muslimin di pulau Jawa secara keseluruhan, atau dengan kata lain alasan para Walisanga tersebut lebih bermakna politis.
Kerajaan Mataram Islam Pewaris Inti Irfan dam Akhlak Mazhab Ahlulbayt

1.   Patut diingat bahwa masyarakat Jawa sebelum memeluk agama Islam besar kemungkinan telah berperadaban tinggi dan banyak yang memahami filsafat tingkat tinggi yang mereka peroleh dari peradaban sebelumnya, seperti peradaban Zoroaster ataupun monotheisme rakyat lapisan bawah Elam. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan Syekh Siti Jenar berkenaan dengan paham Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya merupakan ungkapan filosofis yang sangat mudah dicerna kaum muslimin di Nusantara pada saat itu, daripada kaum muslimin di Nusantara pada saat sekarang ini.


Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah darimana asalnya perbedaan kesepahaman ?ajaran? antara Syekh Siti Jenar dengan para walisanga? yang kedua belah pihak dinyatakan dalam riwayat adalah sama-sama mubaligh islam. Darimana Syekh Siti Jenar mendapatkan ajaran Wahdatul Wujud? Apakah dari luar Nusantara ataukah memang sudah ada paham monotheisme di Jawa sebelum beliau menjadi ulama yang mempunyai nilai-nilai yang sama dengan sisi esoteris islam? Ada dua kemungkinan besar tentang asal-usul Syekh Siti Jenar mendapatkan nilai-nilai esoteris Islam. Kemungkinan pertama adalah bahwa Syekh Siti Jenar mendapatkannya dari budaya asli masyarakat. Kemudian beliau menampilkannya dengan bentuk nilai-nilai budaya Kejawen. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya asli masyarakat tersebut, pada uraian selanjutnya nanti akan dibahas pendapat Nancy Florida, seorang asing yang mencermati budaya kejawen pada suluk dan wirid, dan dia berkata bahwa budaya Kejawen bukan berasal dari Hindu. Apabila kemungkinan pertama ini benar, maka Syekh Siti Jenar mendapatkan pemahaman hikmah manunggaling kawula Gusti itu dari orang syiah keturunan kaum musafir Perlak Pesisir yang hijrah ke pulau Jawa.


Kemungkinan kedua adalah bahwa Syekh Siti Jenar mendapatkan ilmunya secara utuh dari peradaban Islam di timur tengah. Apabila hal ini merupakan kebenaran maka pada masa itu mazhab dalam Islam yang sangat menonjolkan sisi esoterisnya hanya Islam dari mazhab syiah. Mazhab syiah mengalami perkembangan di daerah Persia dan saat ini menjadi mayoritas di wilayah-wilayah Iran dan Irak. Jumlah yang signifikan dijumpai di Pakistan dan Afghanistan. Beberapa pengamat budaya Kejawen berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar adalah orang yang berkebangsaan Persia. berdasarkan pendapat para ahli sejarah budaya Kejawen tersebut maka besar pula bahwa kemungkinan kedua adalah kebenaran sejarah budaya Kejawen.
Apapun kebenaran dari dua kemungkinan tersebut, hasilnya tetap sama saja, yaitu memperkuat argumentasi bahwa pengaruh Islam syiah dari Persia sangat kuat di Nusantara Jawa sebelum kaum muslim Sunni masuk wilayah tersebut. Karena keturunan kaum musafir Perlak yang merantau ke pulau Jawa sebenarnya juga merupakan keturunan Persia, dan kerajaan Perlak merupakan kerajaan Islam Syiah.

Situasi sosial-politik masyarakat dan penguasa Islam di pulau Jawa yang seperti tergambar pada deskripsi diatas, sedikit banyak menunjukkan situasi sebelumnya bahwa dakwah para Walisanga ke Nusantara lebih bermotifkan politis. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena wilayah Nusantara pernah menjadi basis kuat Islam mazhab Syiah di dunia. Keadaan di timur tengah sendiri pada masa itu penuh dengan nuansa persaingan antara dua mazhab Islam, Islam Sunni dan Islam Syiah, dimana penguasa Islam di timur tengah pada masa itu adalah kaum muslimin yang bermazhab Islam Sunni. Kekuasaan yang saat itu berada di tangan Bani Umayyah maupun Bani Abbasyah berusaha untuk menghapus Islam mazhab Syiah. Maka juga merupakan suatu kemungkinan bahwa dakwah para walisanga adalah skenario yang didatangkan oleh penguasa Bani Abbas untuk men-Sunni-kan masyarakat Syiah di Nusantara. Karena pada saat itu syiah yang di Persia sendiri dianut secara sembunyi-sembunyi justru sangat kuat posisinya di Nusantara. Dalam sejarah memang dakwah para wali lebih banyak berafiliasi dengan penguasa, baik penguasa Majapahit yang pada awalnya belum memeluk Islam maupun penguasa Demak (Majapahit Islam).


Apabila teori diatas adalah situasi sebenarnya di Nusantara. Maka semakin memperkuat argumentasi bahwa budaya kejawen sebenarnya adalah keyakinan masyarakat Islam Syiah yang terdesak oleh dakwah Islam Sunni pimpinan Walisanga. Mereka kemudian menyamarkan keyakinan mazhabnya itu. Apabila tekanan ini berlangsung terus-menerus maka simbol-simbol fisik maupun ritual mazhab ini pasti akan hilang. Yang masih bertahan adalah nilai spiritualnya saja. Inti nilai spiritual Islam Syiah yang di masa selanjutnya menjadi budaya kejawen. Sepertinya masyarakat spiritual Kejawen terdesak ke pedalaman pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam yang bernuansa Sufistik.


Kerajaan Islam pedalaman tersebut adalah kesultanan Mataram. Secara spiritual kebatinan sebenarnya kerajaan ini sangat menonjolkan sisi islam esoterik yang identik dengan irfani pada Islam mazhab Syiah. Bisa dikatakan kerajaan Mataram Islam pulau Jawa identik dengan kerajaan Islam dinasti Safawi di Persia yang tahun berdirinya nyaris bersamaan dengan berdirinya kerajaan Mataram yaitu pada abad ke 16. Kerajaan dinasti Safawi di Iran bernuansa esoteris Islam. Bahkan di timur tengah bersama kerajaan Fatimiyyin Mesir, pemerintahan dinasti Safawi Iran merupakan satu-satunya kerajaan bernuansa sufi/irfani yang pernah berdiri.


Apabila tidak ada kerajaan Mataram Islam di pulau Jawa, maka kesultanan dinasti Safawi, kesultanan Perlak dan kesultanan dinasti Fatimiyyin Mesir merupakan kesultanan Islam bernuansa sufi/irfani yang pernah berdiri dalam sejarah Islam. Kesultanan Mataram juga kesultanan islam sufisme. Maka pada abad ke 16 terdapat 4 kekhalifahan Islam yang berdiri nyaris bersamaan, yaitu kesultanan Usmani di Turki yang lebih awal berdirinya, Safawi Sufi di Persia, Mughal di India dan Mataram islam di pulau Jawa. Dua kerajaan bernuansa sufi/irfani yaitu Safawi dan Mataram. Sedangkan dua kerajaan lainnya yaitu kerajaan Usmani dan Mughal lebih menonjolkan sisi eksoteris dengan merasa cukup berpegang pada simbol-simbol syariat.


Jika Mataram benar merupakan kerajaan Islam Sunni dan bukannya sebuah kerajaan berasal dari masyarakat Syiah yang kemudian berubah kulit karena pada masa setelahnya kehilangan simbol-simbol kesyiahannya, maka hanya kerajaan tersebut saja yang merupakan kerajaan Islam bermazhab Sunni yang punya kecenderungan irfani/sufistik di dunia ini. Suatu pola yang sangat tidak lazim dan amat sukar dipercaya. Tradisi sufi jarang sekali dijumpai pada masyarakat Sunni bahkan di timur tengah. Di timur tengah, para sufi yang memiliki nama besar pun kesulitan mempunyai pengikut, apalagi sampai mampu mendirikan kerajaan. Usaha maksimal para sufi di tengah masyarakat Sunni hanya mendirikan tarekat-tarekat tradisional yang proporsinya masih jauh dibawah pesantren-pesantren Sunni dan kurang mendapat apresiasi dari masyarakat Sunni sendiri, baik di Nusantara maupun Timur tengah. Karena hal diatas maka suatu kewajaran apabila pemerhati sejarah Islam di pulau Jawa kemudian menyimpulkan bahwa terdapat kontribusi ajaran keyakinan Islam dari mazhab lain yang membentuk kerajaan Islam Mataram, sehingga kerajaan tersebut bernuansa sufistik. Suatu hal yang bahkan di pusat Islam Sunni di timur tengah sendiri suatu hal yang belum pernah terjadi.


Hanya ada satu atau dua orang sufi saja dari tengah-tengah masyarakat Sunni timur tengah yang mampu menonjol ajarannya hingga sampai mempunyai murid atau pengikut yang dapat dilacak sampai sekarang. Diantaranya adalah Rumi dan Ibn Arabi. Tapi Rumi juga seorang sufi yang berasal dari Persia, ia berada di Khurasan awal abad ke abad 13 yang kemudian setelah banyak belajar kemudian melancong ke barat. Pada saat itu Persia sudah bermazhab Syiah sehingga kajian esoteris Islam sudah diajarkan kepada masyarakat. Akan tetapi di wilayah barat Daulah, kajian esoteris merupakan sesuatu pencerahan luar-biasa yang belum pernah didapatkan oleh orang-orangnya. Kemungkinan kuat sekali bahwa Rumi mendapatkan kajian esoteris Islam dari para ulama Syiah di Khurasan. Tapi kehebatan Rumi dan Arabi di dunia Sunni juga tidak mendapatkan apresiasi yang besar. Ajaran mereka pada masyarakat Sunni ternyata terhenti di masa depan. Jejak Peninggalan-peninggalan Irfanisme Kerajaan Mataram Islam.

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: