Pesan Rahbar

Home » » 3 Ayat Yang Meruntuhkan Aqidah Syiah Dari Dasarnya ? HANYA DENGAN 3 AYAT ANDA DAPAT MENUMBANGKAN MADZHAB SYIAH ? (3)

3 Ayat Yang Meruntuhkan Aqidah Syiah Dari Dasarnya ? HANYA DENGAN 3 AYAT ANDA DAPAT MENUMBANGKAN MADZHAB SYIAH ? (3)

Written By Unknown on Monday 18 August 2014 | 03:15:00

3. Ketika Mu’awiyah mencaci maki Imam ‘Ali dan menyembelih pengikut Ahlul Bait.


Dengan adanya perpecahan politik, peperangan-peperangan diantara sesama kaum muslimin yang tersebut diatas hingga runtuhnya daulat ‘Abbasiyyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan ummat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran serta faham bermunculan. Hampir semuanya tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang menguasai penciptanya. Yang satu menciptakan ajaran-ajaran tambahan dalam agama untuk lebih memantapkan tekad para pengikutnya dalam menghadapi lawan.

Yang lain pun demikian pula, menafsirkan dan menta’wil kan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sampai sesuai dengan prinsip pandangan mereka untuk membakar semangat para pengikutnya dalam menghadapi pihak lain yang dipandang sebagai musuh.

Kekhalifahan Imam Ali  diteruskan oleh puteranya, Al-Hasan ra., tetapi sisa-sisa kekuatan pendukung mendiang Imam  Ali  sudah banyak mengalami kemerosotan mental dan patah semangat.. Bahkan terjadi penyeberangan ke pihak Mu’wiyah untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi, termasuk ‘Ubaidillah bin Al-‘Abbas (saudara misan Imam ‘Ali ra.) yang oleh Al-Hasan ra, diangkat sebagai panglima perangnya !

Hilanglah sudah imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan ra dan pasukan Mu’awiyah, dan pada akhirnya diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak. Dalam perundingan itu Al-Hasan ra. menyerahkan kekhalifan kepada Mu’awiyah atas dasar syarat-syarat tertentu, berakhirlah sudah kekhalifahan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam jatuh ketangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Dengan hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, mulailah masa pembasmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayyah. Untuk mempertahankan kekuasaan Daulat Bani Umayyah, Mu’awiyah mengerahkan segala dana dan tenaga untuk mengobarkan semangat kebencian, terhadap Imam ‘Ali ra khususnya dan anak cucu ke turunannya. Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah saw. direnggut hak-hak asasinya, direndahkan martabatnya, dilumpuhkan perniagaannya dan di ancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau memuji Imam ‘Ali ra. dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayyah.
Perintah dari para penguasa untuk mencaci maki, melaknat Imam ‘Ali ra itu sudah suatu perbuatan yang biasa-biasa saja, misalnya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Turmudzi dari Sa’ad Ibnu Waqqash yang mengatakan:
“Ketika Mu’awiyah menyuruh aku untuk mencaci maki Abu Thurab (julukan untuk Imam ‘Ali ra), maka aku katakan kepadanya (kepada Mu’awiyah); Ada pun jika aku sebutkan padamu tiga perkara yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. untuknya (untuk Imam ‘Ali ra), maka sekali-kali aku tidak akan mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki, maka hal itu lebih aku senangi dari pada unta yang bagus. Ketika Rasulallah saw. meninggalkannya (meninggalkan ‘Ali ra) didalam salah satu peperangannya, maka ia (‘Ali ra) berkata; ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak kecil ?

cikal-bakal keturunan beliau saw. banyak yang telah syahid dimedan perang Karbala.
adanya putera Al-Husain ra, bernama ‘Ali Zainal ‘Abidin, yang luput dari pembantaian pasukan Bani Umayyah di Karbala, berkat ketabahan dan kegigihan bibinya Zainab ra. dalam menentang kebengisan penguasa Kufah, ‘Ubaidillah bin Ziyad. Ketika itu ‘Ali Zainal ‘Abidin masih kanak-kanak berusia kurang dari 13 tahun. ‘Ali Zainal-‘Abidin bin Al-Husain cikal bakal keturunan Rasulallah saw.  itulah yang mereka sembunyikan riwayat hidupnya, dengan maksud hendak  memenggal tunas-tunas keturunan beliau saw.
Dalam kitab yang sama pada halaman 708 dikemukakan sebuah hadits di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahal Ibnu Sa’ad ra yang mengatakan:
“Ketika kota Madinah dipimpin oleh seorang dari keluarga Marwan (baca:  Marwan Ibnu Hakam), maka sang penguasa memanggil Sahal Ibnu Sa’ad dan menyuruhnya untuk mencaci maki ‘Ali.  Ketika Sahal tidak mau melakukannya, maka sang penguasa berkata kepadanya; ‘Jika engkau tidak mau mencaci-maki ‘Ali, maka katakan semoga Allah swt mengutuk Abu Thurab’. Kata Sahal; ‘Bagi ‘Ali tidak ada suatu nama yang disenangi lebih dari pada nama Abu Thurab (panggilan Rasulallah saw. kepada Imam ‘Ali ra—pen.), dan ia amat bergembira jika dipanggil dengan nama itu’…sampai akhir hadits’ “. Dan masih banyak lagi riwayat  tentang pelaknatan, pencacian terhadap Imam ‘Ali ra dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait yang tidak kami cantumkan disini.

Keadaan seperti itu berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umay yah, kurang lebih satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada ditangan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. Kehancuran daulat Bani Umayyah diujung pedang kekuatan orang-orang Bani ‘Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah yang terjadi hampir selama kejayaan Daulat ‘Abassiyyah, lebih dari empat abad !

Dengan adanya perpecahan politik, peperangan-peperangan diantara sesama kaum muslimin yang tersebut diatas hingga runtuhnya daulat ‘Abbasiyyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan ummat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran serta faham bermunculan. Hampir semuanya tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang menguasai penciptanya. Yang satu menciptakan ajaran-ajaran tambahan dalam agama untuk lebih memantapkan tekad para pengikutnya dalam menghadapi lawan. Yang lain pun demikian pula, menafsirkan dan menta’wil kan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sampai sesuai dengan prinsip pandangan mereka untuk membakar semangat para pengikutnya dalam menghadapi pihak lain yang dipandang sebagai musuh.

Selama kurun waktu kekuasaan daulat Bani Umayyah dan daulat Bani ‘Abasiyyah khususnya selama kekuasaan daulat bani Umayyah sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan dan keleluasaan menuturkan hadits-hadits Rasulullah saw. tentang ahlul-bait beliau saw, apalagi berbicara tentang kebijakan adil yang dilakukan oleh Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib ra. dimasa lalu. Itu merupa- kan hal yang tabu.

Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang pada masa itu sengaja menyembunyikan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait beliau saw., atau tidak meriwayatkan hadits-hadits dari ahlul-bait beliau saw. (yakni Imam ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain [ra] dan anak cucu keturunan mereka). Ada sebagian dari mereka yang sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama keturunan Rasulallah saw., tetapi banyak juga yang menyembunyikan hadits-hadits demikian itu hanya dengan maksud membatasi pembicaraannya secara diam-diam, demi keselamatan dirinya masing-masing.
Sadar atau tidak sadar masing-masing terpengaruh oleh suasana persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu dan per-musuhan antar golongan diantara sesama ummat Islam. Kenyataan yang memprihatinkan itu mudah dimengerti, karena menurut riwayat pencatatan atau pengkodikasian hadits-hadits baru dimulai orang kurang lebih pada tahun 160 Hijriah, yakni setelah keruntuhan kekuasaan daulat Bani Umayyah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat ‘Abbasiyyah.

Masalah hadits merupakan masalah yang sangat pelik dan rumit. Kepelikan dan kerumitannya bukan pada hadits itu sendiri, melainkan pada penelitian tentang kebenarannya. Identitas para perawi sangat menentukan, apakah hadits yang diberitakan itu dapat dipandang benar atau tidak. Untuk meyakini kebenaran hadits-hadits Rasulallah saw., ada sebagian orang-orang dari keturunan ahlul-bait Nabi saw., dan para pengikutnya menempuh jalan yang dipandang termudah yaitu menerima dan meyakini kebenaran hadits-hadits yang diberitakan oleh orang-orang dari kalangan ahlul-bait sendiri.

Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan Rasulallah saw.

4. Fathimah Az-Zahra mati syahid diusia muda (beliau yang hamil lalu keguguran,sakit parah) beberapa bulan setelah Umar bin Khattab menyerbu ke rumah Fatimah ! Lawak, jika Syi’ah dituduh melaknat Umar.
 
Dr. Sayyid Husaini Qaswini:
 Jangan Abaikan Pembahasan Kesyahidan Sayyidah Fatimah as.
Selain Syiah, seluruh mazhab-mazhab Islam khususnya firqah Wahabi mempunyai pendirian dalam masalah ini, yaitu kesyahidan Fathimah as adalah bukti kebenaran Syiah; oleh karena itu kelompok Wahabi berusaha keras memperselisihkan persoalan ini, dan mereka mengada-adakan syubhat dan keraguan mengenai kesyahidan putri kesayangan Rasulullah Saw tersebut.

Fathimah Az-Zahra mati syahid diusia muda (beliau yang hamil lalu keguguran,sakit parah) beberapa bulan setelah Umar bin Khattab menyerbu ke rumah Fatimah ! Lawak, jika Syi’ah dituduh melaknat Umar.

Buat saya, KESYAHIDAN Sayidah Fatimah as, merupakan cahaya gemilang untuk menemukan kebenaran haqiqi, yang tidak dapat terusik oleh kerancuan2. SUBHANALLAH dan Alhamdulillah, Tuhan telah membuat scenario rapi yang tidak bisa diubah oleh tangan- tangan jahil menyesatkan.  
ulama pakar ilmu perbandingan mazhab dan firqah-firqah dalam Islam  Hujjatul Islam Wal Muslimin Dr. Sayyid Husaini Qazwini dalam wawancaranya  memberikan penjelasan mengenai Ahlul Bait Nabi Saw khususnya yang berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as. 

Mengenai jumlah keturunan Nabi Saw, Dr. Qazwini mengatakan, “Rasulullah Saw memiliki beberapa anak. Yang masyhur dari berbagai versi sejarah beliau Saw memiliki 4 orang putra dan 4 orang putri. Diantara puteri perempuan beliau Zainab, isteri Abul ‘Ash bin al-Rabi’, Ummu Kulthum dan Ruqayyah yang menjadi isteri Utbah dan Utaibah yang juga menantu Abu Lahab (bercerai setelah turun ayat “Al Lahab”), kemudian Fathimah Az-Zahra. Sementara putera-putera beliau Saw Qosim, Tayyib dan Thahir yang mana mereka meninggal dunia sejak masih kecil. Pusara mereka terletak di permakaman Abu Thalib. Dan Anak ke-empat Rasulullah Saw Ibrahim yang lahir dari hasil pernikahan beliau dengan Mariah Qibtiyah juga lahir di Madinah, beliau wafat di kota tersebut dan dimakamkan di pemakaman Baqi’.”

Kedudukan Fathimah al-Zahra as.
Di antara delapan anak-anak Nabi Saw tersebut, Fathimah Az-Zahra mempunyai kedudukan yang paling istimewa. Ini disebabkan banyak hadits dari Nabi yang menyebutkan bahwa Sayyidah Az Zahra berada di peringkat Shiddiqah Thahirah, sementara tidak seorang pun anak-anak nabi yang lain memiliki kedudukan ini. Perhatikan hadis di sini bukanlah mengenai hubungan antara seorang ayah dengan anak perempuannya, bahkan menerangkan kedudukan Zahra Mardhiyyah as di sisi Allah SWT.

Hadis kedudukan Fathimah az-Zahra as di dalam kitab-kitab Ahlusunnah
Di antara hadis-hadis keutamaan Sayyidah Fathimah az-Zahra as yang banyak terdapat di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah bisa dijabarkan diantaranya sebagai berikut:
- Sahih al-Bukhari, jilid 4 hal. 209, hadis 3711. Nabi Saw bersabda:

فاطمة سيدة نساء اهل الجنة

Fathimah adalah penghulu wanita ahli syurga.

- Dalam kitab yang sama, jilid 4, halaman 210, hadis 3714, Nabi Saw bersabda:

فمن أغضبها فقد أغضبني

Barangsiapa yang menyebabkan Fathimah marah, maka ia menyebabkan aku marah.

Kesyahidan Fathimah membuktikan kebenaran Syiah.
Selain Syiah, seluruh mazhab-mazhab Islam khususnya firqah Wahabi mempunyai pendirian dalam masalah ini, yaitu kesyahidan Fathimah as adalah bukti kebenaran Syiah; oleh karena itu kelompok Wahabi berusaha keras memperselisihkan persoalan ini, dan mereka mengada-adakan syubhat dan keraguan mengenai kesyahidan putri kesayangan Rasulullah Saw tersebut.

Syubhat pertama, mengenai hadis “Fathimah adalah bagian dariku”.
Wahabi merekayasa syubhat tidak berdasar dengan menyandarkan hadis Nabi Saw, “Fathimah adalah bagian dariku” untuk merendahkan derajat Imam Ali bin Abi Talib as.

Terdapat di dalam kitab Sahih al-Bukhari hadis 3110 dimana Nabi Saw bersabda, “فاطمة بضعة مني, yaitu Fathimah adalah bagian dariku. Kemudian sebuah hadis palsu dinukilkan dari Miswar bin Makhramah yang lahir pada tahun kedua Hijrah. Berkenaan dengan perkara ini, tokoh seperti Abu Ilm salah seorang ulama besar Universitas al-Azhar dalam kitab Fathimah al-Zahra halaman 170 telah menulis bahwa hadis Ali melamar Juwirah telah terjadi di dalam tahun kedua Hijrah. Di zaman itu Miswar belum lahir ataupun masih dalam gendongan.

Bantahan Kedua, Juwirah masih kafir sampai tahun kedelapan Hijriah, jadi sangat tidak logis ia mendapat lamaran dari Imam Ali sementara Juwirah masih dalam keadaan kafir. Bantahan ketiga, ketika Nabi masih hidup, Juwirah tidak pernah ke Madinah sampai tahun kesepuluh Hijrah,
Syubhat kedua; menganggap kesyahidan Fathimah az-Zahra as sebagai cerita dongeng dan bualan orang-orang Syiah.

Namun sebagai jawaban atas syubhat tersebut:
Pertama, Ibnu Taimiyah selaku Syaikhul Wahabi di dalam kitab Minhaj al-Sunnah jilid 4 halaman 220 telah menulis bahwa: كبس البيت , iaitu: ketika orang-orang suruhan khalifah memasuki rumah Fathimah dengan kekerasan…”
Kedua,  guru Zahabi Juwaini, di dalam kitab Fara’id Simthain menukilkan sabda Nabi Saw, “Kalian akan melihat anak perempuanku akan terbunuh secara menyedihkan (مغمومة مغصوبة مقتولة).”
Ketiga, al-Marhum Kulaini meriwayatkan daripada Imam Ja’afar al-Sadiq: “Bunda kami Fathimah Az-Zahra telah syahid.”

Keempat, Shahrestani di dalam jilid pertama kitab al-Milal wan Nihal halaman 67 menukilkan daripada Nazzam bahwa khalifah kedua menendang perut Fathimah Az-Zahra yang menyebabkan beliau keguguran sebab saat itu beliau sedang mengandung.

Kelima, hal tersebut telah ditulis oleh Ibnu Hajar di dalam Mizan al-I’tidal dan Lisan al-Mizan.
Syubhat ketiga; mengapa Imam Ali as tidak membuka pintu rumah?
Syubhat yang lain menegaskan bahwa: Sekiranya Ali bin Abi Thalib di dalam rumah Fathimah Az-Zahra, mengapa pula Fathimah yang membuka pintu sehingga kejadian tersebut terjadi sedangkan membuka pintu sepatutnya dilakukan oleh laki-laki yang berada di dalam rumah, ini bertentangan dengan kemuliaan laki-laki utamanya laki-laki Arab sebagaimana tradisi yang ada.

Jawaban:
Pertama, Ibnu Asakir di dalam Kitab Tarikh Dimashq, jilid 42 menyatakan: “Nabi Saw duduk di dalam rumah sementara pintu rumah sedang diketuk. Baginda bersabda kepada Ummu Salamah:

 «یا ام السلمه قومي فافتحي له»

Wahai Ummu Salamah! bangkitlah dan bukalah pintu untuknya.”

Kedua, di dalam kitab yang sama, jilid 44, halaman 35: Umar bin al-Khattab datang dan mengetuk pintu sedangkan Nabi berada di dalam rumah. Namun baginda bersabda kepada Khadijah as,  

«افتحي يا خديجة»

Wahai Khadijah, bukalah pintu.

Ketiga: di dalam jilid pertama kitab Ihtijaj Thabarsi, jilid 292: Pada suatu hari, Nabi Saw duduk di dalam rumah di mana Amirul Mukminin Ali as mengetuk pintu. Baginda bersabda kepada Aisyah:

«افتحي له الباب»

Bukakan pintu untuknya. Sekarang pertanyaannya apakah laki-laki Wahabi lebih mulia dibanding Nabi?

Keempat, Ibnu Taimiyah menulis di dalam kitab Minhaj al-Sunnah, tidak ada seorangpun yang membuka pintu rumah; bahkan para penyerang menyerang masuk ke dalam rumah dengan leluasa.

Kelima, menurut ayat 27 dari surah Nur, di dalam al-Quran:

یا ایها الذین آمنوا لا تدخلوا بیوتا غیر بیوتکم حتی تستانسوا

yaitu tidak boleh masuk ke dalam rumah sampai ada izin. Di tempat lain juga terdapat ayat:

یا ایها الذین آمنوا لاتدخلوا بیوت النبي الا ان یؤذن لکم

Dari perspektif lain, Suyuthi telah menulis dalam jilid ke 5 Kitab al-Durr al-Manthur, halaman 50: Rumah Zahra adalah rumah kenabian. Oleh itu Fathimah az-Zahra dan Ali as berdiri di atas kepercayaan bahwa para penyerang rumah kenabian sekurang-kurangnya menghormati rumah orang yang beriman, bukan mengabaikan perintah Allah dan RasulNya sehingga membakar rumah Ahlul Bait dan masuk ke dalam rumah dengan cara kekerasan.

Syubhat ke-empat, rumah-rumah di Madinah tidak berpintu?
Syubhat yang lain dinyatakan sebagai, rumah-rumah Madinah di zaman tersebut tidak berpintu, hanya ditutupi tirai atau tikar kayu! Mereka menciptakan syubhat tersebut untuk mendustakan peristiwa Fathimah az-Zahra berada di belakang pintu.

Namun sebagai jawaban:
Pertama, al-Quran di dalam Surah Nur menerangkan:

ولا عَلَی أَنفُسِکُمْ أَن تَأْکُلُوا مِن بُیُوتِکُم أَو بُیُوتِ آبَائِکُم أَو بُیُوتِ أُمَّهَاتِکُم أَو بُیُوتِ إِخوَانِکُم أَوْ بُیُوتِ أَخَوَاتِکُم أَو بُیُوتِ أَعمامِکُم أَوْ بُیُوتِ عَمَّاتِکُم أَوْ بُیُوتِ أَخوالِکُم أَوْ بُیُوتِ خَالاتِکُمْ أَوْمَا مَلَکتُم مَّفَاتِحَهُ أَو صَدِیقِکُم لَیسَ عَلَیْکُم جُنَاحٌ أَن تَأْکُلُوا جَمِیعًا أَوْ أَشْتَاتًا

Yaitu, dan juga tidak ada salahnya bagi kamu makan di rumah kamu sendiri, atau di rumah bapak kamu, atau di rumah ibu kamu, atau di rumah saudara kamu yang lelaki, atau di rumah saudara kamu yang perempuan, atau di rumah bapak saudara kamu, atau di rumah ibu saudara kamu, atau di rumah bapak saudara kamu, atau di rumah ibu saudara kamu, atau di rumah yang kamu miliki kuncinya, atau di rumah sahabat kamu; tidak juga merupakan kesalahan bagi kamu, makan bersama-sama atau sendirian.

Sekarang, sekiranya rumah-rumah di Madinah saat itu tidak mempunyai pintu, apakah mereka akan memasang kunci pada tirai dan tikar kayu? Atau – Na’uzubillah – Al-Quran khilaf dalam perkara ini? maka kita perlu mengatakan bahwa yang menyatakan syubhat tersebut sedikit pengetahuannya mengenai Al-Qur’an.

Kedua, di dalam kitab Sahih Muslim – antara kitab paling muktabar setelah al-Quran di kalangan Ahlusunnah – dalam jilid ke 6 halaman 105, hadis 5136, dinyatakan bahwa Nabi Saw memerintahkan: Tutuplah pintu di waktu malam. Apakah mereka menutup tikar kayu atau tirai? Apakah mereka menyebut tirai sebagai pintu?

Ketiga, Bukhari telah menulis di dalam jilid pertama, Kitab Al-Adab al-Mufrad, halaman 272:

فسألته عن بيت عائشة فقال كان بابه من وجهة الشام فقلت مصراعا كان أو مصراعين قال كان بابا واحدا قلت من أي شيء كان قال من عرعر أو ساج

Perawi bertanya: Pintu rumah Aisyah mempunyai satu daun pintu atau dua? jawabnya: satu pintu, aku bertanya jenis apakah ia? jawabnya: dari pohon juniper atau saj.
Sekarang, bagaimana mungkin rumah Aisyah mempunyai pintu yang dibuat dari kayu juniper, namun rumah Fathimah anak Nabi tidak mempunyai pintu sebagaimana yang telah disebutkan?.
Wahabi Bungkam Mengenai Kesyahidan Fathimah az-Zahra.

Cerita Dr. Qaswini lagi, “Saya pernah berdebat dengan salah seorang syeikh Wahabi di Dubai. Saya tunjukkan kepadanya Sahih Bukhari dan bertanya, apakah anda terima hadis ini; yaitu Nabi Saw bersabda Fathimah as adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang menyakitinya maka ia telah menyakitiku? Jawabnya saya terima. Saya berkata, apakah kamu juga terima bahwa Fathimah as telah murka kepada Syaikhain (Abu Bakar dan Umar)? Jawabnya: ini adalah kedustaan yang dibuat-buat oleh Syiah. Lantas saya buka kitab Sahih al-Bukhari dan menunjukkan hadis ini kepadanya. Beliau melihat tulisan pada sampul kitab tersebut dan berkata: Kitab ini telah dicetak di Beirut, dan saya tidak menerimanya, bawakan kitab yang telah dicetak di Arab Saudi! Saya berkata, Percetakan kitab ini bukanlah milik Syiah. Lagi pula di Lebanon Syiah bukanlah penduduk mayoritas. Sekiranya satu hadis dalam kitab mereka diubah, sudah pasti percetakannya akan ditutup, apa lagi sekiranya hadis ini dicetak dengan kedustaan!

Setelah itu saya tunjukkan kepadanya sebuah riwayat dari kitab Shahrestani dan Ibnu Qutaibah Dainuri yang menegaskan kesyahidan Fathimah Zahra as. Ketika hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitabnya tersebut saya bacakan, beliau menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Esok malam saya akan membawakan jawaban kepada anda.”

Besok malam, saya telah menunggu lama, namun dia tetap tidak datang. Saya menelepon kepada tuan rumahnya dan bertanya, Kenapa Syeikh tidak datang untuk meneruskan dialog? Tuan rumahnya berkata, “Syeikh Wahhabi itu sedang menulis sepucuk surat kepada salah seorang ulama besar Arab Saudi dan berkata: Saya telah menemui jalan buntu dalam perdebatan mengenai Fathimah az-Zahra, dan secara zahirnya seluruh bukti-bukti adalah sahih. Tolong kirimkan saya jawaban yang merontokkan gigi.

Menarik perhatian di sini, setelah seminggu barulah jawaban tiba yaitu: Hadis-hadis ini memang sahih dan terdapat di dalam kitab-kitab kita, namun janganlah sekali-kali kamu membahas dan mendiskusikannya dengan ulama Syiah!

Betapa pentingnya persatuan Islam dengan memelihara syiar-syiar Fathimah
Topik persatuan Islam sangatlah penting, Fathimah az-Zahra as juga mempunyai kedudukan yang tinggi sebagaimana ucapan al-Marhum Ayatullah Fadhil Lankarani, kedudukan Fathimah tidaklah bertentangan dengan masalah persatuan.

Dari satu sisi yang lain, pengaburan tema-tema mengenai kesyahidan Sayyidah Fathimah as menyebabkan kebenaran Syiah juga diselimuti kekaburan. Oleh karena itu persatuan kita hendaklah berdiri di atas prinsipnya yaitu pengungkapan hakikat sejarah yang sesungguhnya, namun pada saat yang sama kita tidak diperkenankan menyerang simbol suci Ahlusunnah.

Imam Khomeini selaku tokoh yang menyeru persatuan tidak pernah sekalipun mengabaikan pembahasan mengenai kesyahidan Sayyidah Fatimah as. Namun saat yang sama beliau juga menegaskan pentingnya masalah persatuan umat Islam. Karena itu, setiap tahunnya, di hari peringatan kesyahidan Sayyidah Fatimah, pemimpin besar Revolusi Islam Iran tersebut tetap melakukan majelis duka di rumah beliau.

5. Akidah Sunni menghalalkan semua kejahatan Mu’awiyah dengan dalih mujtahid yang salah ijtihad dapat satu pahala.
 
Pertentangan dan Permusuhan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah
menguraikan kejahatan Umayyah dan anak-anaknya .
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS 3:103).


“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak mengecewakannya (membiarkannya menderita) dan tidak merusak kehormatan dan nama baiknya” (HR Muslim)
Sungguh, aku sangat keheranan menyaksikan keserakahan  Bani Umayyah untuk mempertahankan kekhalifahan; padahal mereka jauh dari keluarga Rasulullah saw dan keluarga Bani Hasyim. Mengapa mereka merasa berhak atas kekhalifahan?

Di mana Bani Umayyah dan Bani Marwan bin Al-Hakam –yang diusir Rasul Allah saw dan dilaknatnya- dalam urusan ini?  Telah jelas permusuhan antara Bani Umayyah dengan Bani Hasyim pada zaman jahiliah. Kemudian, permusuhan yang sangat dari Bani Umayyah kepada Rasulullah saw dan keterlaluan mereka dalam menyakiti Nabi dan membohongkan apa yang diajarkannya sejak Allah saw mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, sampai Allah memuliakan NabiNya dengan kemenangan. Maka masuklah ke dalam Islam siapa saja di antara mereka, seperti yang kita kenal
satu puak yang memusuhi dan dimusuhi Rasulullah saw  bisa merebut kekuasaan dan memerintah umat Islam atas nama agama. Ia ingin menjawab pertanyaan mengapa Bani Umayyah dengan segala kejahatannya dapat menyisihkan Bani Hasyim dengan segala kemuliaan akhlaknya.

silahkan melacak permusuhan di antara kedua puak itu pada saat kelahiran Hasyim dan ‘Abd al-Syams yang kembar dempet. Mereka dipisahkan dengan pedang. Itulah tanda pertumpahan darah di antara anak-anak keduanya.

Derita Imam Ali .
Ketika Muawiyah mengirimkan Sufyan bin ‘Auf al-Ghamidi untuk menjarah kota Anbar, ia mengirimkan 6000 penunggang kuda. Mereka menyerang Hit dan Anbar, membunuhi kaum muslimin, merampas perempuan mereka, dan memaksa orang untuk melaknat Imam ‘Ali. Mendengar berita itu Amirul Mukminin mengajak orang untuk memerangi mereka. Sebelumnya mereka berdiam diri saja. Ali memerintahkan orang untuk berkumpul.


Ia menyampaikan khotbah. Setelah memuji Allah dan membacakan shalawat kepada Rasulillah, ia berkata: ’Amma ba’d: wahai manusia! Demi Allah penduduk kota kalian sekarang ini lebih banyak dari jumlah orang Anshar di tengah-tengah bangsa Arab. Ketika mereka membuat perjanjian dengan Rasulullah untuk membela dia dan orang-orang muhajir yang besertanya, sehingga Rasulullah menyampaikan Risalah tuhannya, mereka hanyalah dua kabilah yang paling muda usianya di tengah-tengah bangsa Arab. Bilangan mereka juga bukan yang paling banyak. Ketika mereka melindungi Rasulullah dan para sahabatnya, membela Allah dan agamanya, bangsa Arab bersatu dan melakukan perjanjian bersama dengan kaum Yahudi. Kabilah demi kabilah memerangi mereka. Tetapi mereka persembahkan dirinya untuk agama. Mereka putuskan hubungan di antara mereka dan orang Arab lainnya dan di antara mereka dan orang Yahudi… sampai dekatlah Rasulullah dengan orang Arab. Ia melihat mereka dengan bahagia sebelum Allah memanggilnya kehadiratNya. Kalian sekarang ini lebih banyak dari mereka pada zaman itu.”Berdirilah seorang lelaki hitam dan tinggi. Ia berkata: ”Engkau tidak sama seperti Muhammad! Kami juga tidak sama dengan orang-orang yang kau sebut itu. Janganlah engkau bebani kami dengan apa yang kami tidak mampu melakukannya.” Amirul Mukminin berkata: “dengarkan baik-baik supaya engkau mendapat jawaban yang baik. Celakalah kalian! Kalian hanya merisaukan daku. Apakah aku bercerita kepada kalian bahwa aku seperti Muhammad saw, dan kalian seperti para pembelanya? Aku hanya membuat perumpamaan. Aku ingin kalian belajar dari perumpamaan ini.”
  Seorang lelaki lain berdiri dan berkata: “Betapa perlunya Amirul Mukminin dan orang besertanya kepada ahli Nahrawan.” Dari setiap penjuru orang berbicara sehingga terdengar suara hiruk pikuk. Maka berdirilah seorang lelaki lainnya lagi dengan suara yang sangat keras: “Jelas sekali bagaimana penduduk Irak kehilangan Asytar. Sekiranya ia masih hidup tidak akan terjadi hiruk-pikuk seperti ini. Setiap orang akan berbicara yang ia ketahui.”

Kemudian Amirul Mukminin berkata: “Biarkan ibu-ibu menangisi anaknya yang keguguran!(Imam Ali menegur mereka dengan keras seakan-akan mereka adalah anak-anak yang seharusnya gugur sebelum lahir dan ditangisi ibunya) Aku lebih berhak ditaati ketimbang Asytar. Bukankah hak Asytar atas kalian adalah semata-mata hak seorang muslim kepada muslim lainnya.” Ia turun dari mimbarnya dalam keadaan murka.(al-amâli 173,293; al-ghârât 2:479; syarh nahj al-balaghah 2:89).

Penggalan sejarah di atas kita kutip untuk menunjukkan betapa beratnya Imam Ali menghadapi para sahabatnya. Mereka tidak terbiasa mentaati pemimpinnya yang adil. Mereka hanya patuh kepada pemimpin yang menggunakan madu dan racun untuk menegakkan kekuasaannya.  Imam Ali hanya menawarkan kebenaran. Betapa sedikitnya orang yang mau menerima kebenaran dan setia mempertahankannya. Ia tahu bahwa manusia lebih tertarik untuk bergabung dengan orang-orang yang menawarkan dunia. Ia menyebutnya maidah,  hidangan. Ia berkata: “Lâ tastawhisyū fi tharīqil hudâ liqillati ahlih. Fainnan nâsa qad ijtama’ū ‘ala mâidah syiba’uha qashīr wa ju’uha thawīl” ( Nahj al-Balaghah, Khuthbah 192).  Janganlah kamu merasa kesepian di jalan petunjuk karena sedikit pengikutnya. Manusia sungguh hanya berkumpul di sekitar hidangan. Kenyangnya sebentar, laparnya berkepanjangan.

Seperti akan kita uraikan kemudian,  banyak sahabat Imam Ali berbelot karena ingin mendekati hidangan duniawi sekarang; sementara Imam Ali menawarkan hidangan surgawi pada hari akhirat kelak.. Saya tidak tahu apakah sudah “fitrah” manusia bahwa mereka sangat taat kepada pemimpin yang zalim tetapi  sangat membangkang kepada pemimpin yang adil. Lihatlah kembali kutipan di atas. Mungkinkah mereka berani bersuara hiruk pikuk di depan Muawiyyah atau Ibn Ziyad?  Mereka berani berbuat begitu di depan Imam Ali, karena mereka tahu Imam Ali tidak akan menindak mereka dengan pedangnya.

Karena ia menegakkan kekuasaannya di atas keadilan dan kebenaran, orang banyak berani menentangnya. Kalau jihad yang paling utama adalah berbicara yang benar di depan penguasa yang zalim, rakyat imam Ali bebricara yang batil di depan penguasa yang adil. Semua rakyat takut kepada penguasanya yang zalim. Imam Ali takut akan kezaliman rakyatnya.

Pada tahun 39 H, Muawiyyah mengirimkan berbagai pasukan ke seluruh penjuru daerah kekuasaan Imam Ali. Nu’man bin Basyir disuruhnya menyerang ‘Ainut Tamar, Sufyan bin ‘Auf ke Anbar dan Hit, Abdullah bin Mas’adah ke Tayma, Al-Dhahhak bin Qais ke pinggiran Kufah, Busur bin Arthah ke Madinah dan Makkah. Di berabagai penjuru negeri itu mereka melakukan penjarahan, perkosaan, pembunuhan dengan cara-cara yang keji. Pada suasana kritis itu, Imam Ali mengajak rakyatnya untuk berperang, melawan agresi dari kaum yang zalim. Tampaknya “sense of crisis” yang dimiliki Imam Ali tidak terdapat pada para pengikutnya. Mereka ogah-ogahan. Ketika panggilan datang, mereka pura-pura tidak mendengar. Mereka bersembunyi di rumah-rumahnya, “seperti biawak yang bersembunjyi di sarangnya” dalam kalimat Imam Ali. Imam Ali menyampaikan instruksi, tetapi mereka tidak menggubrisnya.. Dengan murkan, Imam Ali menyampaikan khutbah berikut ini:

“Walaupun Allah memberikan waktu kepada si penindas, ia tak akan luput dari tangkapan-Nya. Allah mengawasinya pada jalur perjalanannya dan pada kedudukan yang melemaskan kerongkongan.
Demi Allah yang hidupku dalam kekuasaan-Nya, orang-orang ini (Muawiyah dan orang-orangnya) akan menguasai Anda; bukan karena mereka lebih berhak dari Anda\, melainkan bergegasnya mereka menuju kepada yang salah bersama pemimpin mereka, dan kelambanan Anda tentang hak saya (untuk diikuti). Orang takut akan penindasan oleh para penguasa mereka, sementara saya takut akan penindasan oleh rakyat saya.

Saya memanggil Anda, tetapi Anda tak datang. Saya memperingatkan Anda, tetapi Anda tak mendengarkan. Saya memanggil Anda secara rahasia maupun terbuka, tetapi Anda tidak menjawab. Saya berikan kepada Anda nasihat yang tulus, tetapi Anda tidak menerimanya. Apakah Anda hadir sebagai tak hadir, dan budak sebagai tuan? Saya bacakan kepada Anda pokok-pokok kebijaksanaan, tetapi Anda berpaling darinya, dan saya nasihati Anda dengan nasihat yang menjangkau jauh, tetapi Anda menjauh darinya. Saya bangkitkan Anda untuk berjihad terhadap orang durhaka, tetapi sebelum saya mencapai akhir bicara saya, saya lihat Anda bubar seperti anak-anak Sabâ. Anda kembali ke tempat-tempat Anda dan saling menipu dengan nasihat Anda. Saya luruskan Anda di pagi hari, tetapi Anda kembali kepada saya di petang hari (dalam keadaan) bengkok seperti belakang busur. Si pelurus telah letih sementara yang diluruskan sudah tak dapat diperbaiki.

Wahai, orang-orang yang badannya hadir tetapi akalnya tak hadir dan keinginan-keinginannya bertebaran. Para penguasa mereka sedang dalam ujian. Pemimpin Anda menaati Allah, tetapi Anda membangkanginya; sedang pemimpin orang Suriah membangkangi Allah, tetapi mereka menaatinya. Demi Allah, saya ingin Muawiyah bertukaran dengan saya seperti dinar dengan dirham sehingga ia mengambil ddari saya sepuluh di antara Anda dan memberikan kepada saya satu dari mereka.

Wahai penduduk Kufah, saya telah mengalami dalam diri Anda tiga hal dan dua lainnya: Anda tuli walaupun Anda bertelinga, bisu walaupun bercakap, buta walaupun bermata. Anda bukan pendukung yang sebenarnya dalam pertempuran, dan bukan pula sahabat yang dapat diandalkan dalam kesedihan. Semoga tangan Anda dilumuri tanah. Wahai (manusia) yang seperti unta yang gembalanya telah menghilang, apabila mereka dikumpulkan dari satu sisi, mereka bertebaran dari sisi lain. Demi Allah, saya melihat Anda dalam khayalan saya bahwa apabila peperangan menjadi sengit dan tindakan sedang penuh gerak, Anda akan lari dari putra Abu Thalib seperti perempuan yang menjadi telanjang di depan. Sesungguhnya saya berada pada petunjuk yang jelas dari Tuhan saya dan pada jalan Nabi saya, dan saya berada pada jalan yang benar yang saya ikuti secara teratur. (Puncak kefasihan, khutbah 96).

Imam Ali bukan meramal. Ia menceritakan apa yang dialaminya. Tiga tahun sebelumnya, Mesir diserang Amr bin Ash.  Gubernur yang ditunjuk Imam Ali di situ adalah Muhammad putra Abu Bakar, adik ‘Aisyah. Ketika sampai di Mesir, pasukan Kinanah yang diutus Muhammad menghadangnya. Amr bin Ash meminta tambahan bala bantuan. Muawiyah bin Hudayj al-Sukuni tiba dengan segera. Kinanah dan anggota-anggota pasukannya dikepung dari segala penjuru. Kinanah turun dari kudanya sambil membaca Al-Quran; Tidaklah satu diri akan mati kecuali dengan izin Allah, ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya. 

Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia kami akan memberikannya. Barangsiapa menghendaki pahala Akhirat kami akan memberikannya juga. Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur’ (Ali Imran 145). Ia pun dan para pengikutnya ditebas dengan pedang. Mereka syahid. Berita hancurnya pasukan Kinanah meruntuhkan moral tentara Muhammad bin Abu Bakar. Mereka meninggalkannya sendirian.

Muhammad mengirimkan surat meminta bantuan pasukan kepada Imam Ali. Sementara pasukan belum datang, ia bersembunyi sendirian di sebuah puing-puing di pinggir jalan. Muawiyah menemukannya dan mengeluarkannya dari tempat persembunyiannya dalam keadaanhampir mati kehausan.
Muawiyah berkata: Tahukah kamu pa yang akan aku lakukan atasmu? Aku akan masukkan kamu dalam bangkai keledai kemudian membakarnya.

Muhammad berkata: Kalau kamu melakukan begitu kepadaku, seperti itulah seringkali para kekasih Allah diperlakukan. Aku berharap api yang membakarku itu akan dijadikan Allah sejuk dan sejahtera seperti Ia jadikan seperti itu pada Ibrahim as. Mudah-mudahan Allah memperlakukan kamu seperti Ia memperlakukan Namrud dan para pendukungnya.

Muawiyah marah Ia memasukkan Muhammad pada perut bangkai keledai dan membakarnya. Ketika Aisyah mendengar berita itu, ia menangis sepedih-pedihnya dan berrkunut setiap selesai salat mendoakan kebinasaan untuk Muawiyah dan Amr” (Tarikh Thabari 5:103; Al-Kamil fi al-tarikh 2:412; al-Gharat 1:282-5; Ansab al-Asyraf 3:171).

Masih dalam tarikh Thabari dikisahkan bagaimana Imam Ali berusaha keras untuk mengumpulkan bala bantruan. Ia  berpidato di hadapan orang banyak: “Wahai hamba-hamba Allah! Mesir lebih besar dari Syam. Lebih banyak kebaikannya dan lebih banyak penduduknya. Jangan sampai orang lain merebut mesir. Karena lestarinya Mesir pada tangan kalian akan memuliakan kalian dan merendahkan musuh kalian. Besok datanglah ke Jur’ah, antara Hirat dan Kufah. Aku akan menunggu kalian di sana insya Allah.

Kesokan harinya Imam Ali keluar berjalan ke Jur’ah. Pagi-pagi sekali. Ia menunggu di situ sampai pertengahan hari. Tidak ada satu pun yang datang. Pada malam hari ia memanggil para tokoh ke tempat kediamannya. Di situ ia menyampaikan khotbah:
“Saya berhadapan dengan manusia yang tidak menaati bila saya perintahkan, dan tidak menyahut bila saya memanggilnya. Celakalah Anda! Apa yang Anda nantikan untuk bangkit pada Jalan Allah? Tidakkah iman menggabungkan Anda bersama-sama atau rasa malu membangunkan Anda? Saya berdiri di antara Anda sambil berteriak, tetapi Anda tidak mendengarkan perkataan saya, dan tidak menaati perintah-perintah saya, sampai keadaan menunjukkan akibat-akibat buruknya. Tak ada darah yang dapat ditebus melalui Anda, dan tak ada maksud yang dapat dicapai dengan Anda. Saya memanggil Anda untuk menolong saudara-saudara Anda, tetapi Anda membuat kebisingan seperti unta yang sakit perut, dan menjadi terlepas seperti unta yang berpunggung tipis. Kemudian suatu kontingen lemah yang goyah datang kepada saya dari antara Anda sekalian “seolah-olah mereka dihalau menemui maut, sedang mereka melihatnya”. (QS: 8:6)” (Puncak Kefasihan, khutbah 39).

Malik bin Ka’ab al-Hamdani beridri dan menyatakan siap berbaiat untuk dikirm melawan Amr bin Ash.  Di pertengahan jalan, Malik mendengar berita terbunuhnya Muhammad. Abdurrahman bin Syuraih al-Syabami disuruh Ali untuk menjemputnya dan kembali lagi ke Kufah. Imam Ali sangat berduka mendengar syahidnya Muhammad putra Abu Bakar. Seperti biasa dengan bahasa yang indah Imam Ali memuji Muhammad: Laqad kana ilayya habiban, wa kana li rabiban, fa ‘indallahi nahtasibuhu waladan nashihah, wa amilan kadihan, wa sayfan qathi’an, wa ruknan dafi’an.  Ia telah menjadi kesayanganku. Ia telah menjadi anak asuhku. Kepada Allah kami mengharapkan ganjarannya. Anak yang setia, yang beramal saleh, pedang yang tajam dan tiang yang kokoh (Nahj al-balaghah, al-Kitab 35).

Ia  mengulangi pujiannya pada suratnya yang dikirim kepada Abdullah bin Abbas.
“Kemudian daripada itu, Mesir telah ditaklukkan dan Muhammad ibn Abu Bakar, semoga rahmat Allah atasnya, telah mati syahid. Kami memohon ganjarannya kepada Allah. Ia adalah putra dan teman setia, pekerja keras, pedang tajam dan benteng pertahanan. Saya telah membangkitkan rakyat untuk bergabung dengannya dan memerintahkan kepada mereka untuk pergi menolongnya sebelum kejadian ini. Saya memanggil mereka secara rahasia maupun terbuka berulang-ulang. Sebagian dari mereka datang dengan setengah hati, sebagian mengajukan dalih-dalih palsu dan sebagian pergi meninggalkan saya. Saya memohon kepada Allah Yang Mahamulia untuk memberikan kepada saya kebebasan yang segera dari mereka, karena demi Allah, sekiranya saya tidak merindukan untuk menemui musuh demi kematian syahid dan tidak mempersiapkan diri saya untuk kematian, tentulah tak akan suka berada dengan orang-orang ini untuk sehari suntuk pun, dan tidak pula akan pernah menghadapi musuh dengan mereka. (Puncak Kefasihan, surat 35).

Dalam suratnya ini, masih juga Imam Ali mengungkapkankekecewaannya kepada para sahabatnyatidak setia kepadanya. Melihat kawan-kawan yang seperti itu, kalau tidak memikirkan tugas yang diembannya, ia ingin segera meninggalkan mereka menemui Kekasih Abadinya.


memerinci apa yang dilakukan Mu’awiyah terhadap Imam Ali dan putranya al-Hasan.
Setelah Muawiyah merebut kekuasaan, ia bertindak sewenang-wenang kepada  kelompok Syura yang masih hidup, kepada jamaah muslimin dari kalangan Anshar dan Muhajirin pada satu tahun yang ia sebut tahun jama’ah. Sebetulnya tahun itu adalah tahun perpecahan, penaklukan, tirani, dan pemaksaan, tahun yang mengubah imamah menjadi kekuasaan Kisrawi, khilafah menjadi perampasan Kaisari, belum dihitung semua kesesatan dan kefasikan.

Telah disampaikan kepadaku pendapat generasi di zaman kita dan ahli bid’ah saat ini yang berkata: Jangan mengecam dia karena ia itu sahabat. Mengecam Muawiyah bid’ah. Siapa yang membencinya telah melanggar Sunnah.

===================
Golongan Syiah. Disebut juga pengikut Ali. Syiah artinya Partai, maksudnya Partai Ali. Saingannya ialah Partai Mu`awiyah.
hanya partai Ali yang disebut Syiah. Golongan Syiah tidak mengakui klaim Bani Umayyah sebagai pewaris kekhalifatan Islam. Bagi mereka hanya Ali dan keturunannya yang merupakan khalifah yang syah. Ali orang yang dekat dengan Nabi, dan memiliki tingkat pengetahuan agama dan kerohanian paling tinggi di antara sekalian sahabat Nabi. Menurut golongan Syiah hanya Ahli Bait (keturunan langsung Nabi) mempunyai hak ilahiyah sebagai pemimpin umat Islam.

Manakala Bani Umayyah berhasil mengokohkan kekuasaan mereka, dan pertentangan politik kian parah di antara golongan yang berlainan paham itu, dan penguasa Umayyah dianggap pembantai pengikut ahlulbait.


LOGIKA 6 ; “Seputar Imam Syiah”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda meyakini adanya imam dalam agama?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan imamah menjadi salah satu rukun keimanan kami.” Lalu tanyakan lagi: “Siapa saja imam-imam yang Anda yakini sebagai panutan dalam agama?” Maka mereka akan menyebutkan nama-nama 12 imam Syiah SEBAGAi PEDOMAN AGAMA.

Lalu tanyakan kepada orang wahabi: “Mengapa dari ke-12 imam Syiah itu bisa kalah dengan Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hanbali, Imam Asy’ari dan Imam Ghazali ? Mengapa Asy’ari, Syafii dan Ghazali  bisa kalah dengan deretan 12 imam Syiah? Apakah orang Syiah meragukan keilmuan 12 imam sebagai pedoman agama tersebut? Apakah ilmu dan ketakwaan empat imam madzhab lebih tinggi dari 12 imam Syiah?”

Tanyakan kepada orang wahabi : “Siapa yang lebih Anda taati, Mayoritas Sahabat atau imam Syiah?” Tentu dia akan akan menjawab: “Jelas kami lebih taat kepada semua sahabat.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa Anda lebih taat kepada mayoritas sahabat ? Bukankah khalifah Quraisy itu ada 12 menurut riwayat yang mutawatir yang mencapai 20 jalan  ? Bukankah anda disuruh berpegang pada tsaqalain ?”

=========================
Syi’ah pengikut khilafah Allah dan khilafah Rasulullah s.a.w dituduh SESAT. Lalu pengikut Asy’ari, Syafi’i dan Ghazali YANG BENAR ?


Syi’ah merupakan mazhab yang paling KERAS menghantam gerakan wahabi, namun kerja keras itu tak ada harga bagi ulama MALAYSiA, hendak pula para ulama MALAYSiA membumi hanguskan Syi’ah ..

AWAS !
*****


Ingkar Sunnah Jika Anda Menolak Kebenaran Syi’ah dan Hadits Ahlul Bait.


Salah satu metode meruntuhkan ajaran Islam yang paling kuno dan sudah jadi langganan orang sesat adalah menghembuskan keragu-raguan kepada keshahihan hadits-hadits Ahlul Bait. Tasykik (menyusupkan keragu-raguan) model ini sebenarnya metode klasik yang sering dilancarkan para orientalis zaman dulu. Triknya pun sebenarnya terbilang ketinggalan zaman alias sudah out of date. Meski demikian, bila ditembakkan kepada kalangan awam yang gagap dengan esensi ajaran Islam, ternyata jurus ini terkadang masih ampuh juga.
 
Yang jelas bukan karena keampuhan jurusnya, tetapi memang dasarnya pertahanan fikrah umat Islam ini terlalu lemah dan rentan terhadap berbagai serangan, bahkan yang paling lemah sekalipun. Sehingga hanya sekali gebrak saja sudah jatuh betekuk lutut.

Padahal bila kita sedikit saja punya latar belakang pemahaman ilmu hadits, pastilah kita dengan mudah akan merontokkan semua tuduhan miring tentang keabsahan hadits Ahlul Bait.

Jika hadis Syi’ah semua palsu maka tidaklah mungkin banyak kesamaan antara sunni dan Syi’ah. Maka amat mustahil perawi sunni dan perawi syi’ah yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits bersama yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya.misal : hadis 12 khalifah, hadis tragedi hari kamis, hadis khalifah umat islam adalah ahlulbait dll

Padahal hadis yang sama tsb baru dari jalur Sunni saja. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan yang dari syi’ah, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak.Tuduhan ini pun seringkali mengecoh orang awam untuk membenarkan tasykik.


Mari kita mengulangi kembali salah satu subbab pelajaran dasar logika: generalisasi. Karena mungkin saja kita pernah mengucapkan atau mendengar seseorang mengatakan untuk tidak melakukan generalisasi. Kita akan mengulang sedikit saja agar saya dan Anda tidak salah lagi dalam melakukan penilaian terhadap kelompok atau orang lain.

Sebagai salah satu proses penalaran induksi (khusus-umum), generalisasi merupakan penyimpulan yang berawal dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum. Fenomena yang dialami kita setarakan dengan seluruh fenomena sejenis. Jadi, kesimpulan dari satu peristiwa yang terjadi kita berlakukan juga kepada peristiwa lain yang belum terjadi. Karena itulah, proses seperti ini sebenarnya tidak sampai pada kebenaran absolut, tetapi hanya sebuah kemungkinan.

Ketika berbicara mengenai generalisasi, maka yang dimaksud adalah generalisasi tidak sempurna, yaitu generalisasi yang didasarkan beberapa fenomena untuk menyimpulkan fenomena sejenis yang belum diselidiki. Untuk menguji apakah sebuah generalisasi yang dihasilkan cukup kuat, kita harus mengevaluasi bukti-bukti yang ada, di antaranya:
  1. Meski tidak ada ukuran yang pasti, tapi apakah benar jumlah sampel yang dimiliki cukup untuk membuktikan kebenaran? Karena untuk menentukan faktor dominan, apalagi sebuah keyakinan, tidak cukup didasarkan kepada beberapa orang saja.
  2. Meski tidak menjamin kebenaran absolut, apakah sampel yang digunakan cukup bervariasi? Sampel yang semakin bervariasi akan semakin memperkuat kemungkinan kebenarannya; misalkan variasi pengaruh kehidupan dan lingkungan, latar belakang pendidikan, kultur, usia, negara, dan sebagainya.
Bualan “Syi’ah SESAT” oleh ulama kaki tangan Thaghut Dinasti Umayyah
Apakah anda kaum sunni melakukan kritik historis terhadap hadis hadis anda ??? Jangankan kritik sejarah, kritik matan saja tidak..

Kemewahan dan kerusakan para pemimpin Umayyah sangat parah. Dimana beberapa pemimpin khilfah Umayyah yang cendrung kepada kemewahan dan hura-hura. Sehingga urusan negara dan pemerintahan tidak tangani secara serius.

sebagai contoh kasus, apa yang terjadi pada Khalifah Yazid bin Malik ( 101-105- H. ) yang terkenal dengan sikap hura-huranya dan cinta terhadap perempuan, dalam suatu riwayat dikatakan bahwa dia memiliki dua orang perempan yang selalu mendampingi hidupnya setiap detik. Satu namanya Salamah dan satu lagi bernama Hababah, Hababh disebalah kananya dan Salamah disebelah kirinya sepanjang waktu yang menyebabkan kelengahan terhadap urusan pemeritahan. Dan diriwayatkan juga, ketika habah meninggal dunia ia menyimpan bersamanya selama berhari-hari sebelum dikuburkan, dan merasa sedih yang berlarut-larut yang menyebabkan dirinya tertimpa sakit dan meninggal setelah beberapa hari Hababah dikuburkan.

Hal yang serupa terjadi pada khalifah Alwalid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H ) yang masyhur dengan sikap hura-huranya, hanya memeprhatikan Syair-syair dan gemar terhadap minuman kahmar.
Kepemimpinanya tidak disenagi oleh masyarkat karena Akhlaknya yang sangat buruk, suka terhadap hal-hal yang haram. sehingga iapun terbunuh oleh anak saudara bapaknya sendiri.

Pada masa kekuasaan kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah para pecinta Ahlul-Bait sangat ditekan. Tekanan atas Syiah yang dilancarkan oleh kedua dinasti tadi menggunakan berbagai cara, termasuk propaganda julukan Rafidhah. Tujuan propaganda tersebut adalah untuk mengisolir para Syiah dari saudara-saudaranya sesama muslim. Namun tidak sepenuhnya propaganda itu terlaksana dengan baik.

Terbukti ada beberapa pribadi Syiah –yang diberi gelar Rafidhah– yang terdapat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Dr. al-Qoffari dalam kitab tersebut menyatakan: “Ibn Taimiyyah menukil (membenarkan) hadis-hadis Marfu’ah (tidak jelas sanadnya) yang menyinggung tentang kata-kata Rafidhah di dalamnya. Padahal, sebutan Rafidhah hingga abad kedua Hijriyah masih belum dikenal”.

Jika pecinta keluarga Muhammad saww disebut Rafidhah Maka, saksikanlah wahai Tsaqolan (jin dan manusia) bahwa diriku adalah Rafidhi. (Diwan imam Syafi’i ra Hal:55)
Lagi-lagi sebuah julukan yang masih juga diidentikan dengan Syiah. Istilah ini baru dikenal semenjak abad kedua Hijriyah. Itupun dipakai untuk para penentang kekuasaan tertentu yang berkuasa pada zaman itu. Para penguasa kala itu ingin menjadikan para penentangnya memiliki kesan buruk di hadapan publik, oleh karenanya melalui beragam propaganda mereka mencari julukan negatif bagi mereka yang tidak sejalan dengan pikirannya. Julukan rafidhah adalah salah satu predikat negatif yang diberikan oleh penguasa kala itu untuk para penentangnya. Mungkin pada masa itu, Rafidhah memiliki kemiripan dengan julukan ekstrimis atau teroris pada zaman sekarang ini. Julukan-julukan miring semacam itu sengaja dibikin oleh yang kuat terhadap yang lemah, yang mayoritas untuk yang minoritas, yang zalim untuk yang teraniaya (mazlum)…dsb.
Beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab ingin memberikan julukan miring tersebut untuk rival pemikirannya. Akhirnya, julukan Rafidhah diperluas pemakaiannya terhadap aliran pemikiran yang dianggap lemah, minoritas, teraniaya… untuk dijadikan sarana pengelabuhan kesadaran publik. Yang lebih fatal dari itu, sang pemakai istilah tersebut justru menyandarkan pemakaian julukan tersebut dengan landasan hadis-hadis dha’if yang dinisbatkan kepada Rasulullah saww. Lantas, siapakah gerangan yang dapat menjadi obyek empuk untuk gelar tersebut? Ya…! Siapa lagi kalau bukan Syiah Imamiah Itsna Asyariyah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan mazhab al-Ja’fariyah, adalah sasaran empuk untuk mendapat predikat negatif itu.

Kenapa mesti Syiah al-Ja’fariyah? Salah satu penyebabnya adalah karena hanya Syiah Ja’fariyah satu-satunya mazhab yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk tidak berpangku-tangan atas setiap perbuatan zalim yang dilakukan oleh individu manapun, termasuk para penguasa. Itu terbukti, baik jika dilihat dari teks ajaran mazhabnya, maupun pemaraktekkannya dalam kehidupan mereka.

Dalam sejarah didapatkan bagaimana usaha mereka untuk menegakkan keadilan yang dipelopori oleh para imam suci mereka. Para Syiah Ahlul Bait selalui berusaha mengkritisi sepak terjang para penguasa yang selalu cenderung bertentangan dengan ajaran Rasulullah saww, sementara di sisi lain mereka (imam-imam suci) juga menamakan dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasul. Hal inilah yang tidak disukai oleh para penguasa zalim –Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah– kala itu.

Oleh karenanya, tekanan demi tekanan mereka lakukan untuk membendung tersebarnya ajaran Syiah. Mereka tak segan-segan melakukan pembantaian masal demi tercapainya tujuan mereka, dan kelangsungan dinasti mereka. Dari situlah terjawab sudah pertanyaan, kenapa Syiah selalu teraniaya dan minoritas? Namun, karena kehendak Ilahi, walau tekanan demi tekanan dari pihak musuh-musuh Islam beserta kaki-tangannya dengan gencar terus menghadangnya, mazhab ini makin eksis di tengah-tengah umat.

Terminologi Rafidhah:
Dalam terminologi istilah Rafidhah, kata itu berasal dari kata ra-fa-dha yang berarti menolak dan meninggalkan sesuatu. Istilah ini sering diidentikkan dengan kaum Syiah Imamiah yang menolak akan kepemimpinan tiga khalifah pra-kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as, dan hanya mengakui kepemimpinan Ali as pasca wafat Rasulullah saww.[1]

Abul-Hasan al-Asy’ary dalam kitab “Maqolat al-Islamiyin” menyatakan, julukan ini pertama kali dilontarkan oleh Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib atas para Syiah di kota Kufah. Masih menurut al-Asy’ary, pada mulanya, para Syiah di Kufah memberikan baiatnya kepada Zaid, namun mereka tidak konsekwen terhadap baiatnya. Mereka tidak mau mengindahkan perintah Zaid untuk tetap menghormati dan memuliakan Abu Bakar dan Umar.

Oleh karena itu, Zaid menjuluki mereka dengan sebutan Rafidhah.[2] Akan tetapi, pendapat ini memiliki banyak celah untuk dibatalkan, mengingat bahwa banyak pakar sejarah yang menyebutkan secara detail sejarah hidup terkhusus kesyahidan Zaid bin Ali, namun tidak satupun dari mereka yang menyebutkan akan hal pengungkapan Zaid di atas tadi. Selain dari itu, para ahli sejarah hanya menyebutkan bahwa para penghuni kota Kufah tidak mengindahkan kebangkitan Zaid bin Ali, dan membiarkannya bergerak sendiri tanpa bantuan penduduk Kufah.[3]

Hal itu sama persis sebagaimana yang terjadi pada kakek Zaid, Husein bin Ali as, cucu Rasulullaha saww. Husein bin Ali pada tragedi Karbala, tak dapat dukungan dari penduduk kota Kufah. Dengan demikian, penisbatan istilah itu yang bermula dari Zaid bin Ali sama sekali tidak berasas pada bukti sejarah yang kuat.
Di sisi lain, telah terbukti bahwa istilah Rafidhah digunakan untuk pribadi-pribadi yang meragukan legalitas kekuasaan suatu rezim dan pemerintahan tertentu. Jadi, istilah ini lebih bermuatan politis ketimbang teologis. Nasr bin Muzahim (Wafat tahun 212 H) dalam salah satu karyanya yang berjudul Waqoatu Shiffin menyatakan bahwa Muawiyah dalam suratnya yang ditujukan kepada Amr bin ‘Ash –yang saat itu tinggal di Palestina– menyebutkan: “Perkara tentang Ali, Thalhah dan Zubair telah kamu ketahui, namun (ketahuilah bahwa) Marwan bin Hakam telah bergabung dengan para Rafidhah (penentang) dari penduduk kota Bashrah, dan Jabir bin Abdullah telah melawan kita…”[4]

Dari sini ada beberapa poin yang dapat diambil pelajaran; Pertama, awal kemunculan istilah rafidhah sangat bermuatan politis, bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan ihwal teologis. Muawiyah menyebut Marwan bin Hakam beserta para pendukungnya sebagai Rafidhah, karena ia telah bergabung dengan para penduduk kota Bashrah yang kala itu mayoritas tidak mengakui legalitas pemerintahan Ali as yang berpusat di kota Kufah. Kedua, istilah itu telah ada sebelum kelahiran Zaid bin Ali, bukan sebagaimana yang telah diceritakan oleh Abul Hasan al-Asy’ary di atas.

Pribadi-pribadi yang Dinyatakan Rafidhi pada Kitab-kitab Ahlussunnah.
Julukan Rafidhah mempunyai konotasi miring. Orang akan enggan untuk dijuluki dengan sebutan itu. Pihak ketiga pun akan menghindar di saat bertemu orang yang dianggap memiliki gelar tadi. Itulah salah satu dampak negatif propaganda yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Pada masa kekuasaan kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah para pecinta Ahlul-Bait sangat ditekan. Tekanan atas Syiah yang dilancarkan oleh kedua dinasti tadi menggunakan berbagai cara, termasuk propaganda julukan Rafidhah. Tujuan propaganda tersebut adalah untuk mengisolir para Syiah dari saudara-saudaranya sesama muslim. Namun tidak sepenuhnya propaganda itu terlaksana dengan baik. Terbukti ada beberapa pribadi Syiah –yang diberi gelar Rafidhah– yang terdapat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Walau mereka terbukti Syiah namun tetap saja hadis yang mereka bawakan tercantum dalam enam kitab induk Ahlussunnah. Sebagai contoh:
1- Kendati Ibn Hajar menyatakan bahwa Ismail bin Musa al-fazazi sebagai pribadi yang dianggap Syiah, namun Abi Dawud[5] juga Ibn Majah[6] dalam kitab Sunan mereka tetap menukil hadis-hadis yang ia bawakan.
2- Meskipun Ibn Hajar menyatakan bahwa Bakir bin Abdullah at-Tha’i sebagai pribadi yang dianggap Syiah, namun Muslim dalam kitab Shohih-nya[7] dan Ibn Majah dalam Sunan-nya[8] menukil hadis-hadis yang ia riwayatkan.
3- Begitu juga dengan Talid bin Sulaiman al-Muharibi yang dinyatakan Syiah (Rafidhah) oleh Abu Dawud, dimana ia berkata: “Ia adalah Rafidhi yang keji dan jelek, dan yang memusuhi Abu Bakar serta Umar”[9] Namun, at-Turmuzi dalam kitab Sunan-nya[10] tetap menukil hadis darinya.
4- Ibn Hajar menyatakan bahwa Jabir bin Yazid al-Ju’fi adalah pengikut Syiah (Rafidhah)[11], namun Abu Dawud[12], Ibn Majah[13] dan at-Turmuzi[14] dalam kitab Sunan mereka tetap menukil hadis-hadis darinya.
5- Dan masih banyak lagi pribadi-pribadi yang dinyatakan Syiah (Rafidhah), namun hadis-hadisnya tetap tercantum dalam kitab-kitab standart Ahlussunnah. Seperti; Jumai’ bin Umair, Haris bin Abdullah al-Hamdani, Hamran bin A’yun, Dinar bin Umar al-Asadi…dsb.[15]

Hadis-hadis yang tidak jelas sanadnya tentang Rafidhah:
Setelah kita mengetahui bahwa istilah Rafidhah dipakai untuk para rival politik sebuah kekuasaan tertentu. Istilah itu mempunyai konotasi negatif bagi khalayak umum, berkat adanya propaganda para penguasa zalim pada abad-abad permulaan awal kemunculan Islam. Namun, lama-kelamaan istilah itu dipakai oleh para musuh Syiah untuk mengganyang Syiah, bahkan tak jarang mereka pun (para musuh Syiah) menyandarkannya pada hadis-hadis yang bermasalah dari sisi sanad hadis, yang berakhir pada peraguan dari sisi kesahihannya. Sebagai contoh, ada empat hadis yang bersumber dari Ibn Abi ‘Ashim tentang pencelaan terhadap Syiah.[16] Doktor Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qoffary dalam kitab Ushul Mazhab Syi’ah menyatakan bahwa Nashiruddin al-Bani[17] sendiri mengemukakan bahwa hadis-hadis yang dibawakan oleh Ibn Abi ‘Ashim tadi jika dilihat dari sanad hadisnya amat lemah. Dr. al-Qoffari dalam kitab tersebut menyatakan: “Ibn Taimiyyah menukil (membenarkan) hadis-hadis Marfu’ah[18] yang menyinggung tentang kata-kata Rafidhah di dalamnya. Padahal, sebutan Rafidhah hingga abad kedua Hijriyah masih belum dikenal”.[19]

Salah satu riwayat yang dibawakan oleh Ibn Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah adalah hadis: “Aku beri kabar gembira engkau wahai Ali, engkau beserta para sahabatmu adalah (calon) penghuni Surga. Namun, ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pecinta-mu padahal mereka adalah penentang (penolak) Islam. Mereka disebut ar-Rafidhah. Jika engkau bertemu dengan kelompok tersebut maka perangilah mereka, karena mereka telah musyrik. Aku (Ali) berkata: Wahai Rasulullah, apakah gerangan ciri-ciri mereka? Beliau menjawab: “Mereka tidak menghadiri (shalat) Jum’at dan jama’ah, dan mencela para pendahulu (salaf)” [20] oleh as-Syaukani, hadis ini dikategorikan sebagai hadis Maudhu’ (buatan).[21]
Contoh lain dari hadis tentang Rafidhah adalah hadis yang dinukil oleh at-Tabrani bahwa Rasul bersabda: “Wahai Ali, akan datang pada umat-ku suatu kelompok yang mengaku sebagai pecinta Ahlul-Bait, bagi mereka …., mereka disebut Rafidhah. Bunuhlah mereka, karena mereka telah kafir”. Akan tetapi, dikarenakan sanad hadis ini diriwayatkan oleh orang-orang seperti Hajjaj bin Tamim yang sama sekali tidak dapat dipercaya, maka hadis ini masuk kategori hadis Dza’if (lemah).[22]

Dalam kitab ad-Dala’il disebutkan bahwa Al-Baihaqi setelah menukil hadis Marfu’ yang bersumber dari Ibn Abbas tentang celaan terhadap Rafidhah, menyatakan: “Banyak sekali hadis-hadis serupa tentang hal yang sama dari sumber-sumber yang berbeda, namun kesemua sanad-nya tergolong lemah”[23]
Dan masih banyak lagi beberapa ulama hadis dari Ahlussunnah yang menyatakan kelemahan hadis-hadis berkaitan dengan Rafidhah yang kebohongan itu disandarkan kepada Rasulullah. Bisa dilihat kembali karya-karya ulama Ahlussunnah seperti karya kepunyaan al-‘Aqili yang berjudul ad-Dhu’afa’, Ibn Jauzi dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah ataupun al-Maudhu’aat.

Dari sini jelaslah, bahwa istilah Rafidhah adalah istilah murni politis dan tidak ada kaitannya dengan pembahasan teologis, termasuk masalah kekhilafahan pasca Rasul. Namun istilah itu dinisbatkan untuk para pecinta Ahlul-Bait (Syiah) oleh para pembenci Syiah. Mereka dalam kasus pemaksaan gelar Rafidhah untuk kelompok Syiah, tidak segan-segan menggunakan kebohongan atas nama Rasulullah saww. Bukankah kebohongan atas diri Rasul merupakan bagian dari menyakiti Rasul? Dan menyakiti Rasul termasuk dosa besar, yang pantas dilaknat oleh Allah?[24] Bukankah kebohongan atas Rasul juga berakibat kebohongan atas segenap kaum muslimin? Mengingat kaum muslimin sampai akhir zaman akan selalu mengikuti hadis-hadis Rasulullah[25] Membenarkan, memegang erat dan mengajarkan hadis palsu –atas dasar pengetahuannya– adalah termasuk sesat dan menyesatkan. Oleh karenanya, hendaknya kita berusaha untuk menghindarinya seoptimal mungkin agar tidak termasuk orang yang sesat dan menyesatkan.

Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)…dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (al-Hujuraat :11).

Mengenai perkara-perkara yang berkenaan dengan akidah, kita perlu memperhatikan beberapa masalah di bawah ini:
Pertama, kita perlu meniru al-Quran yang mengajarkan kita cara berdiskusi dan membahas sesuatu. Metode diskusi dan perbincangan yang diajarkan al-Quran akan mengantarkan kita keluar dari lingkaran egoisme dan kesempitan berpikir menuju sikap inklusif dan keterbukaan. Metode inilah yang disebut metode terbaik dalam berkomunikasi, dimana kedua belah pihak benar-benar mendapatkan penghormatan oleh lawan bicaranya.
Kedua, kita harus menjadikan Islam sebagai parameter tertinggi dalam berinteraksi. Seharusnya dua syahadat (bersaksi bahwa Allah Swt sebagai Pencipta alam semesta dan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya) dijadikan sebagai syarat terjaganya setiap Muslim dari kekufuran dan kebebasannya dalam berpendapat sesuai dengan mazhab yang diyakininya, sekaligus menjadi syarat perlindungan terhadap harta dan kekayaan yang dimilikinya.
Ketiga, seharusnya kata “kafir” dihapus dari kamus percakapan dan komunikasi antar Muslim. Seseorang tidak akan pernah keluar dari bingkai keimanan dan masuk dalam jurang kekufuran selama ia tidak bertentangan dengan prinsip dua syahadat tersebut.
Keempat, perbedaan mazhab seharusnya dianggap sebagai variasi dalam kesatuan. Ijtihad setiap mazhab tidak boleh dengan mudah dinilai melenceng dari garis Islam. Mazhab lain tidak boleh dianggap bodoh, bahkan musuh, hanya karena perbedaan cara berpikir dan sumbernya saja. Oleh karenanya, sudah merupakan tugas para pemikir Islam untuk menjadikan budaya komunikasi dan diskusi yang sehat sebagai budaya resmi mereka dimana tak seorang pun yang meragukan dampak positif hal ini.
Kelima, jiwa persahabatan, perdamaian, cinta dan kebebasan harus ditanamkan dalam diri setiap Muslim. Ini adalah tugas utama yang harus diemban oleh setiap cendekiawan dan ulama.
Keenam, pada situasi tertentu, perlu adanya sikap tegas terhadap pihak-pihak garis keras dan yang fanatik agar mereka sadar dan mengikuti aturan yang seharusnya. Sering kali terjadi, misalnya saat diadakan sebuah seminar pendekatan antar-mazhab, kita tidak leluasa mengutarakan pelbagai pendapat kita karena masih tetap ada saja rasa fanatik dalam diri kita, atau mungkin kita tidak menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu mazhab atau pihak lain karena kita tidak sejalan dengan mereka sehingga lawan bicara kita tidak mengetahui yang sebenarnya.
Ketujuh, menjalankan ajaran al-Quran, yakni saling menghormati dalam berdiskusi dan bertukar pendapat. Meskipun lawan bicara kita non-Muslim sekalipun, tentu ada titik-titik kesamaan yang dapat ditelusuri dalam pemikirannya dan ditanggapi dengan positif.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan kondisi politik adalah:
Pertama, harus ada pemisah antara permasalahan primer dan permasalahan sekunder dalam masyarakat-Muslim. Sebagian dari permasalahan yang berkaitan dengan keseluruhan umat Islam tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau tokoh tertentu yang mewakili beberapa kalangan atau juga sebuah partai yang semuanya mengatasnamakan umat Islam, karena kesalahan bertindak dalam hal ini akan membawa bahaya dan kerugian yang dampaknya akan menimpa umat Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, permasalahan yang mengyangkut kepentingan seluruh umat Islam hanya diselesaikan secara bersama dengan melalui pertimbangan yang matang. Adapun sebagian permasalah yang lainnya, yang bersifat terbatas pada dataran geografis, seperti permasalahan satu negara, adalah masalah yang tidak pokok. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim setempat dan dengan memperhatikan mazhab-mazhab yang ada.
Kedua, negara-negara adidaya secara umum, dan Amerika secara khusus, adalah pihak-pihak yang menjadikan Islam dan penganutnya sebagai sasaran utama mereka. Umat Islam harus mengerti tindakan dan usaha kolektif apa yang harus dilakukan guna menghadapi mereka.
Ketiga, kita harus waspada dengan maraknya istilah-istilah seperti teroris, kekerasan, kejahatan dan lain sebagainya, yang mana semua kata-kata itu ditujukan kepada kita, umat Islam.
Keempat, kita harus memiliki sikap bersama dalam hal bagaimana seharusnya kita menghadapi upaya-upaya musuh yang berlawanan dengan persatuan umat Islam, juga dalam menyikapi istilah-istilah baru yang tersebar di tengah-tengah komunitas dunia, agar kesatuan umat Islam tetap terjaga.
Persatuan antar umat Islam bukan sekedar formalitas dan slogan belaka, bahkan berkaitan langsung dengan keberadaan Islam dan kaum Muslimin di panggung dunia yang keadaan mereka saat ini sedang terpuruk. Poin terakhir yang perlu kami ingatkan adalah, jika kita memang benar-benar tidak mampu mencapai persatuan, maka paling tidak kita harus bisa mengatur dan memahami perbedaan-perbedaan antara sesama kita, agar keutuhan kita sesama sebagai ummatan wahidah (umat yang satu) selalu terjaga.
Jalan terjal dan berliku yang kita sedang kita lewati begitu banyak. Kita sedang berada di situasi yang genting. sepanjang sejarah kita belum pernah menemukan keadaan umat Islam seperti saat ini. Karena itu, kita harus waspada dan bersikap bijaksana. Jika kita masih sibuk mengungkit perbedaan dan isu ikhtilaf mazhab, maka kita harus bersiap-siap untuk terus terpuruk dan kemudian mengalami kebinasaan.
———————————
Catatan Kaki:
[1] Al-Asy’ary, Abul-Hasan, Maqolat al-Islamiyin, Jil:1 Hal:88-89
[2] Ibid, Hal:138
[3] Amin, Muhsin, A’yan as-Syi’ah, Jil:1 Hal:21
[4] Al-Manqory, Nasr bin Muzahim, Waqoatu Shiffin, Hal:29
[5] Sunan Abi Dawud, Jil:4 Hal:165 Hadis ke-4486
[6] Sunan Ibn Majah, Jil:1 Hal:13 Hadis ke-31
[7] Shohih Muslim, Jil:1 Hal:529, Kitab Sholat Musafirin wa Qoshruha
[8] Sunan Ibn Majah, Jil: 1 Hal:170, Kitab at-Thoharoh
[9] Tahdzib al-Kamal, Jil:4 Hal:322
[10] Sunan at-Tirmizi, Jil:5 Hal:616, Kitab al-Manaqib hadis ke-3680
[11] Tahdzib al-Kamal, Jil:4 Hal:468 No:879
[12] Sunan Abu Dawud, Jil:1 Hal: 272, Kitab as-Sholat Hadis ke-1036
[13] Sunan Ibnu Majah, Jil:1 Hal:381 Hadis ke-1208
[14] Sunan at-Turmuzi, Jil:2 Hal:200, Bab: “Maa Jaa’a fi al-Imam yanhadhu fi ar-Rak’atain naasiyan”
[15] Untuk lebih detailnya, lihat kitab “al-Muraaja’aat” karya Syarafuddin al-Musawi.
[16] Lihat: Ibn Abi ‘Ashim, as-Sunnah, Jil:2 Hal:475
[17] Seorang ahli hadis terkemuka dari kalangan salafi (wahabi).
[18] Hadis marfu’ adalah hadis yang tidak jelas sanadnya.
[19] Ushul Mazhab as-Syiah, bagian Sejarah Syiah (Tarikh as-Syiah)
[20] Ibid: Jil: 2 Hal: 475
[21] Al-Ahadist al-Maudhu’ah, Hal:380
[22] Taqrib at-Tazhib, Jil:1 Hal:152
[23] ad-Dala’il, Jil:6 Hal:548
[24] Lihat Q S al-Ahzab :57
[25] Lihat Q S ali-Imran :61


Sayangnya kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Syiah. Seolah-olah Sunni itu sumber kebenaran satu-satunya.

Kebanyakan generalisasi yang muncul adalah generalisasi empiris, yakni generalisasi yang tidak disertai penjelasan. Diperparah lagi dengan orang yang menerimanya tidak berusaha mencari penjelasan mengapanya. Generalisasi mengenai Syiah sebagai kelompok sesat yang berakidahkan caci maki terhadap sahabat akan terus berjalan bertahun dan berabad lamanya. Tanpa ada penjelasan dan mencari penjelasan, sehingga menghasilkan stereotip.

Stereotip adalah konsepsi yang ada di benak mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Stereotip ini membuat seseorang malas berpikir, mempertanyakan, atau menganalisa. Anda melihat seseorang memakai kemeja putih-celana hitam-membawa map, maka kita simpulkan (melalui stereotip) bahwa dia sedang mencari kerja. Melihat orang memakai jubah dan peci maka disimpulkan bahwa dia bagian dari kelompok garis keras. Jika berkaitan dengan Syiah, tanpa perlu pikir panjang maka segera muncul konsepsi dalam benak orang-orang sebagai kelompok “sesat! kafir!”
Sampai di situ orang akan enggan untuk mencari tahu apakah konsepsinya benar atau tidak. Dia sudah merasa puas dengan apa yang pernah diterimanya dari seseorang yang—melalui stereotip—terlihat seperti pakar agama. Sebagai contoh, seorang syekh salafi mengatakan bahwa lebih baik merokok dan minum khamar daripada berdebat dengan orang Syiah.[4] Semua itu muncul karena stereotip bahwa Syiah kafir, sesat, dan pembicaraannya adalah kebohongan. Padahal untuk membuktikannya diperlukan dialog, bukan menutup mata.

Selepas pulang kerja beberapa malam yang lalu, bersama rekan kami melihat keramaian orang yang menyaksikan aksi kejahatan pencurian kaca spion mobil mewah. Tanpa malu berbuat kejahatan di muka publik, peristiwa ini terjadi di tengah rutinitas kemacetan. Masih di malam yang sama, bus kota yang saya tumpangi kehadiran penodong mabuk berkedok pengamen. Tanpa bernyanyi meski membawa gitar, penodong meminta uang kepada penumpang sambil mengeluarkan kata-kata kotor.
Saya sedih. Sambil berpikir benarkah kondisi bumi semakin hari semakin memburuk? Dulu, nabi saw. pernah berkata bahwa menjelang akhir zaman nanti, keburukan dan kejahatan akan benar-benar meliputi seluruh muka bumi, sebelum seseorang dari keturunannya akan menegakkan keadilan.

*****
Kata Ibnu Mas’ud,“Al-Jamaah ialah orang yang menyesuaikan diri dengan kebenaran walaupun engkau seorang diri”.
Siapakah yang mengangkat Asy’ari, Maturidy, Syafi’i dan Ghazali sebagai imam kaum muslimin ? Imam Az Zabidi lah yang mula mula menyatakan Asy’ari Maturidy adalah akidah ahlusunnah
Apakah beliau beliau itu semua maksum sehingga ajaran mereka dianggap persis sama dengan ajaran Nabi SAW ?

Bukankah Nabi SAW menyuruh anda mengikuti 12 khalifah Quraisy Ahlul Bait ?
sejak diberikan kemerdekaan oleh Inggris, maka Inggris meminta syarat bahwa kemerdekaan bisa kami berikan kepada Malaysia  jika TiGA ETNiS berkedudukan sama yakni : etnis melayu, etnis india dan etnis china ! Pendiri Malaysia pun setuju.

Nah, Kerajaan Malaysia bukan Republik Islam, di Penang saya melihat langsung gadis dan wanita China berpakaian mini.
Kalau betul ulama Malaysia merasa diri paling benar maka mengapa Kerajaan Malaysia gagal menjadi  Republik Islam ? Bukankah ulama yang benar tidak mungkin gagal syari’at ?
Kalau betul ulama Malaysia merasa diri paling benar maka mengapa banyak artis dan maksiat di Kerajaan Malaysia  ? Bukankah ulama yang benar tidak mungkin gagal syari’at ?


Syiah adalah mazhab yang wujud hasil dari warisan sejarah Islam lampau. Mereka mazhab yang lahir dari isu politik, maka mereka sangat mahir berpolitik.Ulama  Sunni  Indonesia dan  Malaysia  Tidak  Usah  Repot  Repot  Memfatwakan  Syi’ah  Imamiyah  SESAT  !!!!  Sebagai bahan renungan, Bila ada isme isme yang gagal dalam menerapkan ajarannya sendiri, itu cukup menjadi bukti bahwa isme isme itu keliru.

Maaf bila saya katakan Mazhab Anda keliru karena GAGAL TOTAL dalam menerapkan Syariat Islam dari dulu hingga kini.. Hukum Islam  yang konsisten dan kaffah  sudah tidak lagi ditegakkan di seluruh negara yang bermazhab sunni.

Iran yang bermazhab Syiah ditakuti Dajjal tetapi  yang bermazhab wahabi menjadi kawan Dajal (Amerika/Zionis).. Biarkan akal-akal busuk berkubang dengan kebusukan keyakinan..Kaum wahabi, sekarang bekerja demi melicinkan jalan keluarnya Dajjal yang disponsori Amerika dan Zionis Israel yang sedang dirangkul erat-erat oleh Emir-emir dan ulama istana kerajaan Saudi.

Sudah jelas kenyataan yang ada sekarang, Duniapu tahu, Wahabi dengan kerajaan Saudinya adalah Pelicin Bagi Kaum Yahudi di Timur Tengah buat menghimpun Pasukan Dajjal melawan Imama Mahdi.. Yang bermesraan dengan Kaum Yahudi sekarang adalah Kerajaan Arab Saudi Wahabi pengkhianat…
Pemahaman kalian bahwa dajjal adalah makhluk  bermata satu secara sadar maupun tidak sadar adalah warisan Muawiyah dengan pemahaman Aswajanya dan tidak dikenal sama sekali pada zaman Rasulullah saw.

Saya sangat berterima kasih dengan adanya Mazhab Syiah, yang telah menjaga Risalah Muhammad.saw dari penyelewengan  musuh musuh  Islam yang berkedok Islam seperti Salafiyyun.
Bila Syiah tidak ada maka agama Islam hari ini hanya menjadi kenangan sejarah saja, sebab Mazhab Ahlusunnah telah gagal memelihara agama ini dari olok olok  musuh Islam dan mereka hari ini menjadi antek antek Kafir dan Zionis (Masa sih, kalau mazhab yang paling benar tapi tunduk pada kekuatan kafir, sementara Allah mengatakan Islam lebih tinggi kedudukan dari orang orang  kafir).

Hukum Islam  yang konsisten dan kaffah  sudah tidak lagi ditegakkan di seluruh negara yang bermazhab sunni, bahkan mereka berijtihad dengan menentang nash nash  yang sudah jelas dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, lebih lebih Saudi Arabia, itu menjadi satu bukti bahwa mazhab sunni sudah tidak layak untuk diikuti.. Berbagai hukum syara’ dalam al-Quran yang bersifat publik tidak mau diterapkan di Negara  aswaja ….
Seluruh Negara bermazhab Ahlusunnah jaman ini kalah segala bidang dengan Negara Negara  orang kafir padahal agama islam adalah agama yang paling sesuai dengan segala jaman, tapi lihatlah negara Ahlusunnah, ketinggalan teknologi dan bergantung 100% pada Negara Negara  kafir… Dengan ribuan fakta buruk lain masihkah mazhab Ahlusunnah itu dapat dianggap sebagai wakil Islam??????? Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dan Islam dari segala kekurangan mazhab sunni.

Gagal menerapkan Hukum Syariat …Itu artinyaaaaaaaa ??? ……. silahkan baca lagi QS. al-Maaidah: 44… Bukankah Allah mengatakan dalam al-Quran QS 5: 44 bahwa barangsiapa yang tidak menegakkan hukum Allah (Syariat Islam) mereka adalah KAFIR???

Mazhab Anda telah ratusan tahun memfitnah dan menuduh Syiah kafir/sesat  karena waktu itu “sejarah itu dibuat oleh pemenang”… Pemenang politik, membuat sejarah versi kepentingan politiknya…Pemenang kekuasaan, membuat sejarah versi kepentingan kekuasaannya… Tapi sayang sekali, itu tidak terbukti.. Maka kami  yang tertuduh (Syi’ah) akan selamat.


Hadis-Hadis Yang Luar Bisa Tentang Kelebihan Imam Dan Sifat-SifatNya (nadir jami‘ fi fadhl al-Imam wa sifaati-hi).

(93)-1. Abu Muhammad al-Qasim bin al-‘Alaa’-rahimahu llah- secara marfu‘, daripada Abd al-‘Aziz bin Muslim berkata: Kami telah berada bersama al-Ridha a.s di Marw. Kami telah berkumpul di masjid pada hari Jumaat apabila kami baru sahaja tiba. Mereka telah berbincang mengenai imamah dan mereka menyebutkan perselisihan manusia mengenainya. Lantas aku berjumpa dengan sayyidi a.s, maka aku telah memberitahunya tentang pendapat orang ramai mengenainya.

Lalu beliau a.s tersenyum sambil berkata: Wahai Abd al-‘Aziz, orang ramai telah jahil dan mereka tertipu dengan pendapat-pendapat mereka. Sesungguhnya Allah tidak mengambil nyawa nabi-Nya s.a.w sehingga Dia menyempurnakan baginya agama-Nya, menurunkan ke atasnya al-Qur’an yang menerangkan setiap perkara, menerangkan padanya halal dan haram, batasan dan hukum serta semua yang dihajati oleh manusia secara umumnya. Allah a.w telah berfirman: “Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab”[1] Dia telah menurunkannya pada haji Perpisahan (al-Widaa’) iaitu pada akhir umurnya s.a.w firman-Nya “Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku redai Islam itu jadi agama bagimu”[2]

Urusan imamah adalah daripada kesempurnaan agama (amr al-Imamah min tamam al-Din). Rasulullah s.a.w tidak mati sehingga beliau s.a.w menerangkan kepada umatnya prisip-prinsip agama mereka, menjelaskan kepada mereka jalan mereka, meninggalkan mereka ke jalan yang benar. Beliau s.a.w telah menjadikan Ali untuk mereka sebagai mercu tanda dan Imam. Beliau s.a.w tidak meninggalkan sesuatu yang diperlukan oleh umat melainkan beliau s.a.w telah menerangkannya kepada mereka. Sesiapa yang menyangka bahawa Allah a.w tidak menyempurnakan agama-Nya, maka sesungguhnya beliau telah menolak Kitab Allah. Dan sesiapa yang menolak Kitab Allah, maka beliau adalah seorang kafir dengannya.

Apakah mereka mengetahui nilai imamah dan kedudukannya pada umat sehingga pemilihan diharuskan untuk mereka? Sesungguhnya imamah adalah lebih bernilai, lebih besar kedudukannya, dan lebih tinggi tempatnya (Inna al-Imamah ajallu qadaran wa a‘zam sya’nan wa a‘la makaanan), tidak boleh dimasuki di setiap penjuru (amna‘ jaaniban), lebih sukar bagi  orang ramai untuk mencapainya menerusi akal mereka atau mendapatinya melalui pandangan mereka atau mereka melantik seorang imam dengan pilihan mereka sendiri. Sesungguhnya imamah telah dikhususkan oleh Allah kepada Ibrahim al-Khalil a.s selepas kenabian (al-Nubuwwah) dan teman (al-Khullah)  adalah pada martabat yang ketiga. Satu kelebihan yang mana Dia memuliakannya dan memperkuatkan sebutan-Nya, lalu Dia telah berfirman “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Kemudian Ibrahim al-Khalil a.s telah berkata dengan gembira: Dari keturunanku?

Allah telah berfirman: “Janjiku tidak mengenai orang yang zalim” Lantaran itu, ayat ini telah membatalkanimamah setiap orang yang zalim sehingga hari Kiamat. Oleh itu, ia adalah untuk orang yang terpilih sahaja. Kemudian Allah telah memuliakannya (Ibrahim a.s) dengan menjadikan imamah pada zuriatnya yang terpilih dan disucikan olehNya, maka Dia telah berfirman: “Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya‘qub sebagai satu anugerah. Dan masing-masingnya Kami jadikan mereka yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan hanya kepada Kamilah mereka menyembah”[3]

Imamah sentiasa pada zuriatnya diwarisinya oleh sebahagian daripada sebahagian yang lain sepanjang abad sehingga Allah telah mewariskannya kepada nabi s.a.w, maka Allah telah berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah mereka yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) dan mereka yang beriman (kepada Muhammad) dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman”[4]Justeru, imamah adalah untuknya s.a.w secara khusus, kemudian beliau s.a.w telah melantik Ali a.s dengan perintah Allah menurut apa yang telah difardukan oleh Allah.

Lalu ia berada pada zuriatnya mereka yang terpilih yang mana Allah kurniakan mereka ilmu dan keimanan dengan firman-Nya: “Dan berkata mereka yang diberi ilmu dan keimanan: Sesungguhnya kamu telah berdiam menurut ketetapan Allah sampai hari berbangkit” Lantaran itu, imamah adalah pada zuriat Ali a.s secara khusus sehingga hari Kiamat kerana tiada nabi selepas Nabi Muhammad s.a.w. Justeru, dari manakah mereka yang jahil itu akan memilih?

Sesungguhnya Imamah adalah kedudukan para nabi (inna al-A’immah hiya manzilah al-Anbiyaa’) dan warisan para wasi (wa irth al-Ausiyaa’). Sesungguhnya imamahadalah khilafat Allah dan khilafah Rasulullah s.a.w,maqam Amir al-Mukminin a.s, warisan al-Hasan dan al-Husain a.s. Sesungguhnya imamah adalah pengawal agama (inna al-A’immah zimaam al-Din), sistem pemerintahan muslimin (nizam al-Muslimin), kebaikan dunia dan kekuatan mukminin (salah al-Dunya wa ‘izz al-Mu’minin).

Sesungguhnya imamah adalah asas Islam yang membangun (inna al-Imamah uss al-Islam al-Nami), cabangnya yang tinggi (far’u-hu al-Sami). Dengan imamlah  sempurnanya sembahyang, zakat, puasa, haji, jihad, al-Fa’i, sedekah, pelaksanaan hudud dan hukum, pos-pos kawalan sempadan dan perbatasan (bi al-Imam tamam al-Salat wa al-Zakat wa al-Siyam wa al-Hajj wa al-Jihad, wa taufir al-Fa’I wa al-Sadaqaat, wa imdha’, al-Hudud wa al-Ahkam wa ma ‘ al-Thughur wa al-Atraf). Imam menghalalkan halal Allah, mengharamkan haram Allah, melaksanakan hudud Allah, mempertahankan agama Allah. Beliau menyeru kepada jalan Tuhannya dengan hikmah dan nasihat yang baik serta hujah yang sampai [kepada mereka]. Imam adalah seperti matahari yang terang dengan cahayanya kepada alam, ia berada di ufuk yang mana tangan dan mata tidak dapat mencapainya.

Imam adalah seperti bulan yang bercahaya, lampu yang bersinar, cahaya yang terserlah, bintang petunjuk pada kegelapan malam di seluruh negara, padang pasir dan lautan. Imam adalah air yang manis bagi orang yang dahaga (al-Imam al-Maa’ al-‘Adhb ‘ala al-Zamaa’), penunjuk ke atas pertunjuk, penyelamat daripada kemusnahan. Imam adalah api di puncak, memanaskan orang yang mencari kepanasan, petanda kepada kemusnahan. Sesiapa yang menjauhinya akan binasa. Imam adalah awan yang menurunkan hujan dan hujan yang meliputi segenap penjuru, matahari yang bercahaya, langit yang ada bayang, bumi yang terbentang, kawasan dataran rumput yang luas, kolam dan taman. Imam adalah teman yang rapat (al-Anis al-Rafiq).

Bapa yang penuh kasih sayang, saudara kandung, ibu yang penyayang kepada anak kecil, tempat perlindungan kepada manusia daripada bencana yang merbahaya. Imam adalah penjaga ke atas makhluk-Nya dan Hujjah-Nya ke atas hamba-hamba-Nya, khalifah-Nya  di bumi-Nya, penyeru kepada Allah dan penjaga kehormatan Allah. Imam adalah suci daripada segala dosa, bebas daripada segala keaiban, dikhususkan dengan ilmu dan kesabaran. Kemuliaan agama, kekuatan muslimin, kemarahan munafiqin dan kehancuran mereka yang kafir.

Imam tiada taranya pada zamannya, tiada seorang yang dapat mencapai kedudukannya, tiada seorang yang alim dapat menandinginya, tiada seorang yang akan dapat mengambil tempatnya[5], tiada seorang yang seumpamanya atau serupa dengannya. Imam dikhususkan dengan segala kelebihan tanpa tuntutan daripadanya dan tanpa usaha, malah ia adalah daripada keistimewaan yang dikurniakan oleh Yang Maha Pemberi. Justeru siapakah di sana yang sampai ke tahap ilmu seorang imam atau yang mempunyai kelebihan untuk memilihnya?

Alangkah jauhnya daripada kebenaran! Akal dan khayalan tersesat, hati di dalam kebingungan, mata tidak dapat melihatnya, perkara yang besar menjadi kecil, bijak-pandai di dalam kebingungan, ahli fakir tidak dapat mencapainya, pemidato-pemidato tidak dapat menerangkannya, mereka yang cerdik menjadi jahil, pujangga-pujangga tidak dapat menjelaskannya, penyair-penyair dan sasterawan-sasterawan tidak terdaya dan orang yang fasih lidah menjadi kaku untuk menceritakan satu daripada aspek-aspeknya atau satu daripada kelebihan-kelebihannya.

Semua mereka telah mengakui kelemahan dan kekurangan mereka. Justeru bagaimana Imam diceritakan secara keseluruhannya, bagaimana dalamannya boleh ditentukan secara terperinci? Atau bagaimana urusannya difahami? Siapakah yang akan mengambil tempatnya dan memberi apa yang beliau (imam) memberikannya? Tidak! Bagaimana dan di mana? Imam kedudukannya sepertilah bintang kepada tangan yang mahu menyentuhinya, seperti cerita yang diceritakan oleh mereka yang menceritakannya. Lantaran itu, apakah peranan pemilihan (al-Ikhtiyar) di dalam perkara ini? Apakah peranan akal di dalam perkara ini? Di manakah orang seperti ini boleh didapati?

Apakah kamu menyangka bahawa ini boleh didapati selain daripada keluarga Muhammad s.a.w. Demi Allah, mereka telah membohongi diri mereka sendiri, mereka telah menjanjikan kepada mereka sendiri perkara yang mustahil. Mereka telah menaiki tempat yang susah dan bahaya, kaki mereka akan tergelincir ke bawah. Mereka mahu melantik seorang imam dengan akal yang tercengang dan kekurangan serta pendapat-pendapat yang menyesatkan. Malah mereka bertambah jauh, [bagaimana mereka sampai berpaling!][6] Mereka telah mencari kesusahan, mereka telah berbohong (ifkan), mereka telah tersasar jauh, mereka berada di dalam kebingungan kerana mereka telah meninggalkan imam a.s di dalam keadaan mengetahuinya “Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan Allah sedangkan mereka berpandangan tajam”[7]

Mereka telah mengetepikan pilihan Allah dan pilihan Rasulullah s.a.w dan keluarganya kepada pilihan mereka sendiri sedangkan al-Qur’an menyeru mereka “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”[8] Dan firman Allah “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”[9] dan firman-Nya “Mengapa kamu (berbuat sedemikian): Bagaimana kamu mengambil keputusan?
Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan) yang kamu membacanya? Bahawa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji-janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari Kiamat; sesugguhnya kamubenar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyalah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung-jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka  benar”[10] Dan Allah telah berfirman “Maka apakah mereka tidak memerhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[11].

Ataukah “hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui?”[12] Atau “Mereka telah berkata: Kami telah mendengar sedangkan mereka tidak mendengarkan (nya). Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah mereka yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti apa-apapun. Jikalau Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, nescaya Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan Jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, nescaya mereka pasti berpaling juga sedang mereka memalingkan diri”[13] ataukah “Mereka telah berkata: Kami telah mendengar dan kami menderhakainya”[14] Malah ia adalah “Kurnia Allah, Dia kurniakannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah mempunyai kurnia yang besar”[15]

Bagaimana mereka berhak memilih seorang imam? Sedangkan imam adalah seorang alim yang tidak jahil, seorang pengembala yang tidak cuai, galian yang suci dan bersih, warak dan zuhud, keilmuan dan ibadah, secara khusus disebut di dalam doa Rasulullah s.a.w, keturunan yang disucikan, tiada kecurigaan pada keturunannya, tiada seorangpun yang dapat menandinginya pada kemuliaannya, beliau adalah daripada Quraisy dan kemuncak Bani Hasyim, daripada keturunan Rasulullah s.a.w, diredai oleh Allah a.w. beliau adalah di kemuncak yang mulia, cabang daripada ‘Abd al-Manaf, ilmu yang bertambah, kesabaran yang sempurna, yang mengetahui dengan Imamah, alim dengan politik, mentaatinya adalah wajib, melaksanakan urusan Allah (Qaim bi-amri llahi), penasihat kepada hamba-hamba Allah, penjaga kepada agama Allah.

Sesungguhnya para nabi dan para imam a.s diberi taufik oleh Allah dari simpanan ilmu-Nya dan hikmah-Nya yang mana Dia tidak memberikannya selain daripada mereka. Justeru, ilmu mereka mengatasi keilmuan ahli zaman mereka sebagaimana firman Allah “Maka apakah mereka yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat sedemikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?”[16] Dan firman-Nya “Dan siapa yang diberikan hikmah, maka dia telah diberikan kebaikan yang banyak”[17]. Dan firman-Nya kepada Talut “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”[18]

Dan Dia telah berfirman kepada nabi-Nya “Dan Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah kurnia Allah sangat besar atasmu”[19] Dan Dia telah berfirman tentang para imam Ahlu l-Bait nabi-Nya dan zuriatnya a.s “Ataukah mereka dengki kepada manusia, lantaran kurnia yang Allah telah berikan kepada manusia itu? Sungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah memberikannya kerajaan yang besar. Maka di antara mereka ada yang beriman kepadanya dan di antara mereka ada yang menghalangi (manusia) dari beriaman kepadanya. Dan cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang menyala-nyala apinya”[20]

Sesungguhnya apabila Allah memilih seorang hamba untuk pengurusan hamba-hamba-Nya, Dia melampangkan dadanya untuknya; Dia menyimpan di hatinya pancaran hikmah dan memberi ilham kepadanya dengan ilmu. Selepas itu beliau tidak menggagap dengan jawapan dan beliau tidak akan menyeleweng daripada kebenaran. Lantaran itu, beliau adalah maksum, disokong, diberi taufik dan petunjuk (fa-huwa ma‘sum muayyad, muwaffaq musaddad). Beliau akan terselamat dari kesalahan, kegelinciran dan kesilapan (qad amina min al-Khataya wa al-Zulal wa al-‘Ithar). Allah mengkhususkan untuknya dengan sifat-sifat sedemikian supaya beliau menjadi Hujjah-Nya ke atas hamba-hamba-Nya, saksi-Nya ke atas makhluk-Nya “Itu adalah kurnia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah mempunyai kurnia  yang besar”[21]

Adakah mereka mempunyai kuasa untuk melakukan seperti ini, lantaran itu, mereka boleh memilihnya? Atau bolehkah seorang yang mereka pilih itu mempunyai sifat-sifat ini sehingga mereka mengutamakannya? Dengan nama Baitullah, mereka telah melampaui kebenaran dan meninggalkan Kitab Allah di belakang mereka seolah-olah mereka tidak mengetahuinya dan di dalam Kitab Allah terdapat petunjuk dan penawar, tetapi mereka telah menolaknya dan mengikuti hawa nafsu mereka.

Justeru, Allah telah mencela mereka, memarahi mereka dan menghina mereka, maka Dia telah berfirman “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk daripada Allah, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang zalim”[22] Dan Dia telah berfirman “Maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka”[23] Dan Dia telah berfirman “Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi mereka yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang”[24]

(94)-2. Muhammad bin Yahya, daripada Ahmad bin Muhammad bin Isa, daripada al-Hasan bin Mahbub, daripada Ishaq bin Ghalib, daripada Abu Abdillah a.s di dalam khutbahnya menyebut tentang keadaan para imam a.s dan sifat-sifat mereka: Sesungguhnya Allah a.w telah menerangkan agama-Nya melalui para imam yang mendapat petunjuk daripada keluarga nabi kami, Dia telah menjelaskan melalui mereka jalan-Nya, membuka batin pancaran ilmu-Nya melalui mereka. Lantaran itu, sesiapa yang mengetahui di kalangan umat Muhammad tentang hak para imam a.s yang wajib ke atasnya, nescaya beliau merasai kemanisan imannya dan mengetahui kebaikan Islamnya. Ini kerana Allah telah melantik seorang imam sebagai tanda ke atas makhluk-Nya dan menjadikannya sebagai Hujjah ke atas pencinta-pencinta-Nya.

Allah telah memakaikannya dengan mahkota ketenangan dan menutupinya dengan cahaya Yang Maha Perkasa, Dia telah menjadikannya sebagai tali yang memanjang ke syurga dengan kasih-sayang-Nya tidak pernah terputus daripadanya. Tidak ada satu perkara pun yang dapat dicapai di sisi Allah kecuali melalui tali-talinya[25] (la yunalu ma ‘inda llahi illa bi-jihati asbabi-hi) dan Allah tidak  menerima amalan baik hamba-hamba-Nya melainkan dengan mengetahuinya (bi-ma‘rifati-hi)[26]. Lantaran itu, beliau mengetahui kesamaran kegelapan yang mendatanginya, jalan-jalan yang kabur dan kesamaran-kesamaran fitnah.

Allah sentiasa memilih mereka untuk makhluk-Nya daripada anak-anak lelaki al-Husain a.s selepas setiap imam. Dia telah mengutamakan mereka untuk itu, memilih mereka dan meredai mereka untuk makhluk-Nya. Apabila seorang imam daripada mereka mati, maka Dia melantik seorang imam untuk makhluk-Nya selepasnya sebagai satu tanda yang terang, petunjuk yang bersinar, imam yang bertanggungjawab, Hujjah yang alim, para imam daripada Allah sebagaimana firman-Nya “Mereka memberi petunjuk dengan hak dan dengan hak itulah mereka menjalankan keadilan”[27]

Merekalah Hujjah-Hujjah Allah, pendakwah-pendakwah-Nya dan pengembala-pengembala kepada makhluk-Nya yang mana hamba-hamba-Nya mengambil petunjuk daripada mereka, semua tempat disinari cahaya mereka, keberkatan bertambah menerusi keberkatan mereka. Allah telah menjadikan mereka penghidupan kepada umat manusia, lampu kepada kegelapan, kunci kepada percakapan, tiang kepada Islam. Ketetapan Allah kepada mereka telah berlaku dengan kepastian. Justeru, imam a.s adalah dilantik dan diredai, petunjuk yang dipercayai (olehNya), pengganti yang diharap-harapkan (al-Qaim al-Murtaja). Allah telah mengutamakannya untuk itu, Dia telah membentuknya di dalam “penglihatan-Nya” di alam atom (dhar) ketika ia bertaburan dan di alam daratan ketika ia membebaskannya, di alam bayangan (al-Zillah) sebelum penciptaan makhluk[28], berada di kanan Arasy-Nya, dikurniakan hikmah yang tersembunyi bersamanya. Dia telah memilihnya menerusi ilmu-Nya dan memilihnya kerana kesuciannya.

Imam adalah peninggalan Adam a.s dan sebaik-baik zuriat Nuh a.s, terpilih daripada keluarga Ibrahim a.s, keturunan daripada Ismail a.s dan pilihan daripada keluarga Muhammad s.a.w yang sentiasa dijaga dengan “mata Allah”, menjaganya dengan penutupan-Nya, jauh daripada jaringan Iblis dan tentera-tenteranya, [jauh daripada] hembusan malam dan hembusan penjahat. Beliau adalah bebas daripada kecacatan badan, terlindung daripada mala-petaka, terpelihara daripada kesalahan (ma‘suman min al-Zillaat), terkawal daripada segala kejahatan, dikenali dengan kesabaran dan kebaikannya terserlah. Dikenali dengan keluhuran akhlak, ilmu dan kelebihan pada akhir kehidupan bapanya. Urusan bapanya diberikan kepadanya. Beliau berdiam diri dari bercakap [29]ketika ayahnya masih hidup. Apabila tempoh bapanya berakhir dan ketetapan Allah mengenainya berakhir kepada kehendak-Nya dan iradat datang daripada Allah untuk mencintainya dan apabila tempoh bapanya berakhir dan beliau mati, maka urusan Allah bertukar kepadanya selepasnya. Kemudian Dia memberi amanah-Nya kepadanya dan menjadikannya pemimpin di bumi-Nya.

Dan Dia menguatkannya dengan roh-Nya, mengurniakan kepadanya ilmu-Nya dan menjelaskannya dengan terperinci, menyimpan rahsia-Nya, melantiknya untuk urusan-Nya yang besar, memberitahunya tentang kelebihan ilmu-Nya dan melantik-nya sebagai tanda kepada makhluk-Nya dan menjadikannya Hujjah ke atas semua makhluk-Nya, sebagai cahaya untuk agama-Nya dan pengembala ke atas hamba-hamba-Nya. Allah meredainya sebagai imam untuk mereka.

Dia telah menyimpan di sisinya ilmu-Nya dan memintanya supaya menjaganya, memperkuatkan hikmat-Nya untuknya, membuatnya penjaga kepada agama-Nya, melantiknya untuk urusan-Nya yang besar, menghidupkan jalan-Nya, fardu-Nya dan batasan-Nya. Lantaran itu, beliau melaksanakan keadilan, ketika mereka yang jahil dan pendebat-pendebat agama di dalam kebingungan, dengan cahaya yang terang dan penawar yang mujarab; kebenaran yang jelas, keterangan yang nyata di setiap perkara menurut jalan yang dilalui oleh bapa-bapanya yang benar.

Tiada seorang yang tidak mengetahui hak alim ini[30] kecuali seorang yang celaka (fa-laisa yajhalu haqqa hadha al-‘Alim illa syaqiyyun), tiada seorang yang mengingkarinya kecuali orang yang sesat (wa-la yajhadu-hu illa ghawiyyun) dan tiada seorang yang  menentangnya kecuali orang yang berani menentang Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi (wa-la yasuddu ‘an-hu illa jariyyun ‘ala llahi jalla wa ‘alaa).
                   
Referensi:                          
[1] Surah al-An‘aam (6): 38
[2] Surah al-Ma’idah (5): 3
[3] Surah al-Anbiyaa’ (21): 72-73
[4] Surah Ali Imraan (3): 68
[5] Melainkan beliau seorang Imam
[6] Surah al-Taubah (9): 30
[7] Surah al-‘Ankabuut (29): 38
[8] Surah al-Qasas (28): 68
[9] Surah al-Ahzab (33): 36
[10] Surah al-Qalam (68): 36-41
[11] Surah Muhammad (47): 24
[12] Surah al-Taubah (9):87
[13] Surah al-Anfaal (8):21-23
[14] Surah al-Baqarah (2): 93
[15] Surah al-Hadiid (57: 21, Surah al-Jumu‘ah (62): 4
[16] Surah Yunus (10): 35
[17] Surah al-Baqarah (2): 269
[18] Surah al-Baqarah (2): 247
[19] Surah al-Nisaa’ (4):113
[20] Surah al-Nisaa’ (4): 54-55
[21] Surah al-Hadiid (57): 21 dan Surah al-Qasas (28): 50
[22] Surah al-Qasas (28): 50
[23] Surah Muhammad (47): 8
[24] Surah al-Mu’min (40): 35
[25] Para imam a.s
[26] Imam a.s
[27] Surah al-A‘raaf (7): 159
[28] Penciptaan para imam a.s adalah lebih awal daripada penciptaan makhluk-Nya yang lain.
[29] Tentang imamah.
[30] Imam a.s
===============================
Padahal meninggal kan itrah ahlul bait = meninggal kan QURAN,
itrah ahlul bait dan Quran adalah satu tak terpisahkan !
Aswaja Sunni meninggalkan hadis 12 imam lalu berpedoman pada sahabat yang cuma sebentar kenal Nabi seperti Abu hurairah dan ibnu Umar.
Kemudian tanyakan ke wahabi  itu: “Mengapa dalam kehidupan orang sunni, dalam kitab-kitab sunni, dalam pengajian-pengajian Sunni; mengapa Anda lebih sering mengutip pendapat mayoritas sahabat daripada pendapat 12 khalifah ahlulbait ? Mengapa orang Sunni jarang mengutip dalil-dalil dari Ahlul Bait? Mengapa orang Sunni lebih mengutamakan perkataan mayoritas sahabat ?”

Kenapa Mu’awiyah hadisnya diterima lalu dianggap tsiqah dan adil padahal  dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat  Imam Ali – Fatimah – Hasan dan  Husain ??
Kenapa Mu’awiyah  tidak  menjadi kafir  zindiq padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat  Imam Ali – Fatimah – Hasan dan  Husain ??
Kenapa Mu’awiyah hadisnya diterima lalu dianggap tsiqah dan adil padahal  dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat  Imam Ali – Fatimah – Hasan dan  Husain ??

Banyak kitab sejarah  mencatat bahwa  “Khalifah Bani Umayyah memerintahkan pemuka agama untuk melaknat   Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Pemerintah Bani Umayyah menyuruh khatib khatib untuk melaknat keluarga Ali”, contoh :
  1. Kitab Al Ahdats karya Ali Al Madini (gurunya Bukhari).
  2. Tarikh Ibnu Asakir jilid 4 halaman 69.
  3. Tarikh Ibnu Ishaq.
  4. Tarikh Ibnu Khaldun  3/55-58.
  5. Musnad Ahmad jilid 1 halaman 188.
  6. Mustadrak Al Hakim  jilid 1 halaman 358.

LOGIKA 7 ; Anak dan isteri Nabi Nuh ada yang ingkar, Paman Muhammad SAW ada yang ingkar. Logiskah semua sahabat adil sementara Isteri, Anak dan paman para Nabi saja ada yang ingkar pada Tuhan ?
o   Banyak pemimpin syiah yang dibunuh (seperti: Hasan, Husen ) .
o   Bani Umayyah melanggar perjanjian Madain (perjanjian antara Muawiyah dengan Husen bin Ali bin Abi Thalib). Yang isinya : “apabila Muawiyyah wafat, kekholifahan dikembalikan pada umat islam.
LOGIKA 8 ; Islam dan Politik
Tanyakan pada wahabi : “Apakah mungkin orang yang kuat akidah maka tidak akan menegakkan pemerintahan dan negara ISlam ?”. Maka wahabi menjawab : “Kerajaan Saudi Arabia adalah negara Islam, Orang Indonesia dan Malaysia sampai patah leher pun mereka shalat namun gagal mendirikan Negara Islam.”.

Lalu tanyakan pada wahabi : “Mengapa Arab Saudi yang bertauhid menjadi budak Amerika ? Sampai menjadikan Tanah Suci sebagai pangkalan Amerika menghadapi Irak dalam Perang teluk ?”
Pihak musuh berusaha keras untuk memisahkan antara agama dan politik dan antara agama dengan kehidupan realitas rakyat. Jika rakyat terpisah dari agama, maka pada saat itu juga, adalah hari kekalahan revolusi dan rakyat. Islam Syi’ah menyatukan negara dengan Agama. Agama tanpa negara adalah omong kosong kata Syiah.


LOGIKA 9 ; Kecintaan Pada Ahlul Bait.
Ahlusunnah (Sunni) tidak mencintai Ahlul Bait, buktinya membela ORANG YANG MELAKUKAN pembasmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya.

Inilah Tahun Lahir dan wafat Khulafaur rasyidin Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah ( kecuali Imam Mahdi ) :
1.KHALiFAH Ali bin Abi Thalib : 600–661 M atau 23–40 H Imam pertama dan pengganti yang berhak atas kekuasaan Nabi Muhammad saw. ..Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij di Kufah, Irak. Imam Ali ra. ditusuk  dengan pisau beracun.
Pembunuhan beliau akibat politik adu domba (devide it impera) yang dilakukan Mu’awiyah bin Abu Sofyan untuk memecah belah pendukung Imam Ali…

2.KHALiFAH Hasan bin Ali : 624–680 M atau 3–50 H
Diracuni oleh istrinya di Madinah atas perintah dari Muawiyah I
Hasan bin Ali adalah cucu tertua Nabi Muhammad lewat Fatimah az-Zahra. Hasan menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai khalifah di Kufah. Berdasarkan perjanjian dengan Muawiyah I, Hasan kemudian melepaskan kekuasaannya atas Irak

3.KHALiFAH Husain bin Ali : 626–680 M atau 4–61 H
Husain adalah cucu dari Nabi Muhammad saw. yang dibunuh ketika dalam perjalanan ke Kufah di Karbala. Husain dibunuh karena menentang Yazid bin Muawiyah..Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala.

4.KHALiFAH Ali bin Husain : 658-712 M atau 38-95 H
Pengarang buku Shahifah as-Sajadiyyah yang merupakan buku penting dalam ajaran Syi’ah…wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah,

5.KHALiFAH Muhammad al-Baqir : 677–732 M atau 57–114 H
Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid di Madinah, Arab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik

6. KHALiFAH Ja’far ash-Shadiq : 702–765 M atau 83–148 H
beliau diracuni atas perintah Khalifah al-Mansur di Madinah..Beliau mendirikan ajaran Ja’fariyyah dan mengembangkan ajaran Syi’ah. Ia mengajari banyak murid dalam berbagai bidang, diantaranya Imam Abu Hanifah dalam fiqih, dan Jabar Ibnu Hayyan dalam alkimia

7.KHALiFAH Musa al-Kadzim : 744–799 M –atau 128–183 H
Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashid di Baghdad

8.KHALiFAH Ali ar-Ridha : 765–817 atau 148–203 H
beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mun di Mashhad, Iran.

9.KHALiFAH Muhammad al-Jawad : 810–835 M atau 195–220 H
Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di Baghdad, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim.

10.KHALiFAH Ali al-Hadi : 827–868 M atau 212–254 H
beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al-Mu’tazz

11.KHALiFAH Hasan al-Asykari : 846–874 M atau 232–260 H
beliau diracuni di Samarra, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tamid.

Pada masanya, umat Syi’ah ditekan dan dibatasi luar biasa oleh Kekhalifahan Abbasiyah dibawah tangan al-Mu’tamid

12.KHALiFAH Mahdi : Lahir tahun 868 M atau 255 H.
beliau adalah imam saat ini dan dialah Imam Mahdi yang dijanjikan yang akan muncul menjelang akhir zaman.. Sebelum beliau muncul, Iran menyiapkan “Fakih yang adil” sebagai pengganti sementara, misal : Ayatullah Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei.

CARA SiSTEMATiS UMAYYAH ABBASiYAH MEMALSU AGAMA
Doktrin Aswaja ikut dibentuk oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan cara :
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as. seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.
(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menandingi keisitimewaan Imam Ali dan Ahlulbait as.
(8) Menyetir perawi perawi hadis agar membuang hadis yang merugikan mereka dan membuat hadis hadis palsu untuk kepentingan mereka
(9) Membungkam perawi perawi yang tidak memihak mereka dengan segala cara
(10) Mereka secara turun temurun membantai anak cucu Nabi SAW , menteror dan menyiksa pengikut/pendukung mereka (syi’ah)
(11)Mereka mempropagandakan dan menanamkan dalam benak umat bahwa syi’ah itu rafidhah sesat berbahaya dan agar umat menjauhi anak cucu ahlul bait
(12) sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang berkuasa tahun 1063 M/465 H. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash’ariyyah dan Syafi’i . Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni. Karena faktor DUKUNGAN PENGUASA mazhab sunni bisa cepat tersebar.


Logika 10 : Ijtihad Sahabat Mengalahkan Al Quran ?
Menurut ajaran sunni :
- Imam Ali berijtihad
– Mu’awiyah berijtihad
– Jadi keduanya benar ! Pihak yang salah dapat satu pahala !
Pihak yang benar ijtihad dapat dua pahala
Ajaran sunni tersebut PALSU !! Ijtihad yang salah lalu si mujtahid berpahala hanya pada
PERKARA/MASALAH yang belum ada nash yang terang, misal :Apa hukum melakukan bayi tabung pada pasangan suami isteri yang baru setahun nikah dan belum punya anak ??

Mu’awiyah membunuh orang tak berdosa, Aisyah membunuh orang yang tak berdosa !! Dalam hukum Allah SWT : “”hukum membunuh orang yang tak berdosa adalah haram”” ( nash/dalil nya sudah terang dan jelas tanpa khilafiyah apapun yaitu QS.An Nisa ayat 93 dan Qs. Al hujurat ayat 9 ).

Membunuh sudah jelas haram, jika saya membunuh ayah ibu anda yang tidak berdosa lalu saya katakan bahwa saya salah ijtihad, apakah murid TK tidak akan tertawa ???????

Nabi SAW saja pernah bersabda : “” Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangan nya”” … Tidak ada istilah kebal hukum didepan Nabi SAW.

Demikianlah 10 LOGIKA DASAR yang bisa kita gunakan untuk mematahkan pemikiran-pemikiran kaum wahabi. Insya Allah tulisan ini bisa dimanfaatkan untuk secara praktis melindungi diri, keluarga, dan Ummat Islam dari propaganda-propaganda wahabi. Amin Allahumma amin.

(Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: