Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , » 3 Ayat Yang Meruntuhkan Aqidah Syiah Dari Dasarnya ? HANYA DENGAN 3 AYAT ANDA DAPAT MENUMBANGKAN MADZHAB SYIAH ? (2)

3 Ayat Yang Meruntuhkan Aqidah Syiah Dari Dasarnya ? HANYA DENGAN 3 AYAT ANDA DAPAT MENUMBANGKAN MADZHAB SYIAH ? (2)

Written By Unknown on Monday 18 August 2014 | 02:26:00


LOGIKA 4 ; “Hadis Ahlul Bait Ditolak, Anda Ingkar Sunnah”
Tanyakan kepada orang wahabi : “Apakah Anda mencintai dan memuliakan Ahlul Bait Nabi?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan mencintai Ahlul Bait merupakan pokok-pokok akidah kami.” Kemudian tanyakan lagi: “Benarkah Anda sungguh-sungguh mencintai Ahlul Bait Nabi?” Dia tentu akan menjawab: “Ya, demi Allah!”
Lalu katakan kepada dia: “Orang Yang Tidak Mencintai Ahlul Bait ciri cirinya : sangat membenci dan menolak keberadaan hadis Al-Ghadir. Ahlussunnah Menolak Hadits Dari Ahlul Bait tanpa dikaji sedikit pun.Ingkar Sunnah Jika Anda Menolak Kebenaran Syi’ah dan Hadits Ahlul Bait”

Benarkah Sumber  Ajaran Syi’ah berpegang pada Ahlul Bait ?? Benarkah Syi’ah mengikuti Ahlul Bait ? Apa cirinya ??

1. Hadis Tsaqalayn wajibkan umat Islam berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Ahlul bait Nabi saw, dengan mengikuti 12 khalifah Ahlul Bait yang akan memimpin umat Islam sampai akhir zaman.





Segala puji bagi Allah yang menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya agar menjadi pengingat bagi alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah saw pembawa berita gembira dan peringatan, pelita yang menerangi, dan kepada Ahlul baitnya yang telah disucikan oleh Allah dengan sesuci-sucinya.


Sebagai mukaddimah tafsir ini (tafsir Al-Mizan), kami akan menguraikan secara ringkas tentang metode memahami dan menafsirkan makna ayat-ayat Al-Qur’an, mengungkakan maksud dan tujuannya. Penafsiran Al-Qur’an merupakan aktivitas ilmiah yang paling diutamakan oleh setiap priode umat Islam. Penafsiran Al-Qur’an telah dimulai sejak zaman turunnya Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan firman Allah swt:
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 151).

Mufassir priode pertama adalah sekelompok sahabat Nabi saw seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Ubay bin Ka’b, dan lainnya. Tidak termasuk Imam Ali bin Abi Thalib (sa), karena beliau tak dapat disejajarkan dengan mereka. Penafsiran di zaman ini tidak lebih dari menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari sisi sastra dan Asbabun nuzulnya. Sedikit sekali yang menafsirkan ayat dengan ayat, juga menafsirkan ayat dengan hadis Nabi saw, khususnya peristiwa sejarah, realita-realita yang terjadi, kiamat dan lainnya.
Dalam metode yang sama juga digunakan oleh sebagian mufassir dari kalangan tabi’in seperti Mujahid, Qatadah, Abu Layla, Asy-Sya’bi, As-Sudi, dan lainnya yang hidup pada awal abad kedua hijriyah. Penafsiran mereka tidak jauh beda dengan metode yang digunakan oleh sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain itu, mereka menggunakan riwayat-riwayat hadis, yang antara lain disisipkan oleh orang-orang yahudi. Mereka merujuk pada riwayat-riwayat itu dalam menjelaskan peristiwa sejarah, realita alam seperti kejadian langit, bumi, lautan, peristiwa-peristiwa para nabi yang dianggap salah dan dosa, penyimpangan terhadap kitab-kitab suci, dan hal-hal lain yang sejenisnya.

Sebagian mufassir di kalangan tabi’in diwarisi dan dipengaruhi oleh metode sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an. (Mukaddimah tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i)



Faktor-Faktor yang mempengaruhi metode penafsiran:
 

Pertama: Selama masa para khalifah, umat Islam telah terjalin hubungan dengan negara-negara yang dikuasainya, sehingga tercipta hubungan antara mereka dengan para tokoh dari bermacam-macam agama dan aliran.

Kedua: Pada akhir-akhir abad pertama kekuasaan Bani Umayyah, hingga masa kekuasaan Bani Abbasiyah banyak buku filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga ilmu logika dan filsafat Yunani banyak mewarnai umat Islam dalam mengkaji keislaman.

Ketiga: Dalam waktu yang sama juga tersebar ilmu tasawuf sebagai tandingan ilmu filsafat, dan manusia cenderung pada ilmu-ilmu agama melalui pelatihan-pelatihan jiwa tanpa kajian-kajian logika yang mendalam.

Keempat: Saat itu masih banyak ahli hadis yang beribadah berdasarkan makna-makna hadis secara lahiriyah, tanpa mengkaji secara mendalam nilai-nilai sastranya.

Karena itu, pada abad kedua ulama Islam terbagi menjadi empat kelompok: teolog, filosuf, sufi, dan ahli hadis. Mereka hanya bersatu dalam kalimat syahadat, mereka berbeda pendapat dan pandangan dalam hal misalnya: makna Asma Allah, sifat dan perbuatan-Nya; makna langit dan isinya, qadha’ dan qadar, kemerdekaan dan keterpasaan, kematian, alam barzakh dan kiamat, surga dan neraka. Sebab itulah, mereka mempunyai metode yang berbeda-beda dalam mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an. Setiap kelompok memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan metode mereka masing-masing, guna melestarikan dan menonjolkan mazhabnya.

Para ahli hadis, mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya berdasarkan riwayat-riwayat yang bersumber dari pendahulunya yaitu para sahabat dan tabi’in. Sehingga mereka fanatik dan hanya berpegang teguh pada riwayat-riwayat pendahulunya tanpa mau mengkaji berdasarkan ayat-ayat Allah swt:
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman pada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali-Imran: 7).

Mereka salah dalam hal itu, karena dalam Al-Qur’an Allah tidak melarang menggunakan akal sebagai hujjah. Bagaimana mungkin Allah melarangnya sedangkan Dia memerintahkannya dalam kitab-Nya. Di sisi lain, Allah tidak pernah memerintahkan untuk mengikuti pendapat para sahabat dan tabi’in, apalagi yang saling bertentangan satu sama lain, dan yang tak dapat dipertanggung-jawabkan. Bahkan Allah meniadakan semuanya.

Yang Allah perintahkan adalah merenungi ayat-ayat-Nya agar perbedaan pendapat yang disebabkan oleh mereka tidak mengakar dan tersebar. Allah menjadikan “perenungan” sebagai petunjuk, cahaya dan penjelas bagi setiap sesuatu. Maka bagaimana mungkin cahaya itu dapat bersinar tanpa perenungan dan pemikiran yang mendalam. Mana mungkin petunjuk Ilahi bisa memancar dari selain cara ini, dan bagaimana mungkin cahaya Al-Qur’an bisa nampak jelas tanpa cara ini.

Para teolog sebenarnya dipengaruhi oleh bermacam-macam pendapat kemazhaban sehingga mewarnai penafsiran mereka, dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Perbedaan pendapat setiap mazhab disebabkan oleh perbedaan pijakan metode dan teori ilmiah, atau hal-hal yang lain seperti taklid buta dan fanatik kesukuan. Sehingga penafsiran mereka dan metode kajiannya jauh dari harapan sebagai tafsir dan tak layak disebut penafsiran, yang tepat disebut sebagai “penyesuaian”.

Dari sinilah jelas bahwa penafsiran ayat-ayat Al-Quran ada dua macam:
Pertama: Apa yang dijelaskan oleh Al-Qur’an itu sendiri?
Kedua: Bagaimana cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan mazhab mufassirnya?
Dua metode ini perbedaannya jelas: Yang pertama, melepaskan kepentingan-kepentingan mazhabnya dan menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Yang kedua, membuat sendiri kaidah-kaidah penafsiran agar hasil penafsirannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penafsirnya, paling tidak sesuai dengan pendahulunya. Cara penafsiran yang kedua sudah jelas, tujuannya bukan suatu kajian tentang makna Al-Qur’an itu sendiri.

Para filosuf juga tidak jauh berbeda dengan para mufassir dari kalangan para teolog. Mereka berusaha menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar-dasar filsafat Yunani kuno (yang terbagi ke dalam empat cabang: mate¬matika, natural rains, ketuhanan dan hal-hal yang praktis termasuk hukum). Terutama filosuf yang beraliran Paripatetik (Al-Masyaiyun), mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal-hal yang metafisik, ayat-ayat penciptaan, peristiwa-peristiwa langit dan bumi, ayat-ayat tentang alam Barzah dan hari kiamat. Sehingga tidak sedikit filosuf muslim yang terperangkap dengan sistem filsafat tersebut, mereka meninggalkan kajian-kajian yang berkenaan dengan astronomi universal maupun parsial, keteraturan unsur-unsur alam, hukum-hukum astronomi dan unsur-unsur lainnya yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.

Kelompok sufi, mereka disibukkan oleh aspek-aspek esoterik penciptaan, memperhatilcan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan kejiwaan tanpa memperhatikan alam nyata dan ayat-ayat yang yang berkaitan dengan astronomi. Kajian mereka hanya menfokuskan pada takwil, meninggalkan Asbabun nuzul ayat-ayat Al-Qur’an. Pola mereka inilah yang membawa manusia pada pola takwil dan penafsiran dalam ekspresi puitis, menggunakan sesuatu sebagai dalil untuk membenarkan sesuatu yang lain. Begitu buruknya kondisi ini sehingga ayat-ayat Al-Qur’an hanya ditafsirkan berdasarkan jumlah angka dan huruf; surat-suratnya dibagi berdasarkan cahaya dan kegelapan, kemudian mereka menafsirkannya berdasarkan pembagian itu.

Sebagaimana dimaklumi bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk memberi petunjuk pada kaum sufi, tidak hanya diperuntukkan untuk mengetahui jumlah nilai angka surat-surat Al-Qur’an. Ilmu-ilmu Al-Qur’an bukan untuk disesuaikan dengan perhitungan astrologi yang dibuat oleh ahli nujum yang mengutip dari Yunani dan lainnya, sesudah buku-buku mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Sehubungan dengan persoalan tersebut banyak disebutkan di dalam hadis Rasulullah saw dan para imam Ahlul Bait (sa) misalnya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini mempunyai makna lahir dan batin, satu makna batin mempunyai tujuh atau tujuh puluh batin…”

Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa) memperhatikan makna lahir Al-Qur’an sebagaimana mereka memperhatikan makna batinnya, mereka memperhatikan Asbabun nuzulnya sebagaimana memperhatikan takwilnya. Insya Allah kami akan menjelaskannya pada awal Surat Ali Imran, yakni tentang yang dimaksud dengan takwil adalah makna yang bertentangan dengan bahasa yang berlaku di kalangan umat Islam setelah turunnya Al-Qur’an dan tersebarnya Islam; dan bahwa kata takwil yang dikehendaki Al-Qur’an, yang terdapat di dalam ayat-ayatnya, adalah bukan dari sisi makna dan pengertiannya.

Di abad modern ini bertebaran metode baru penafsiran Al-Qur’an disebabkan oleh beberapa tokoh Islam yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu natural, ilmu-ilmu inderawi dan eksperimental, dan ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada eksperimen statistik. Mereka cenderung pada filsafat materialisme Barat, atau pada pragmatisme.

Akibat terpengaruh oleh teori-teori yang anti Islam, me¬reka mempropagandakan bahwa ilmu-ilmu Islam tidak mungkin bertentangan dengan metode yang ditetapkan oleh sains; tidak ada satu pun wujud, kecuali material dan inderawi. Karena itu ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai atau bertentangan dengan sains, seperti Arasy, Kursi, Lawh dan Al-Qalam, semuanya harus ditakwil. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bertentangan dengan sains seperti adanya hari kiamat, walaupun begitu, ia harus disesuaikan dengan kaidah-kaidah material.

Adapun hal-hal yang ditetapkan oleh syariat seperti wahyu, malaikat, setan, nubuwah, risalah, imamah dan lainnya, mereka menganggapnya sebagai persoalan ruhiyah. Sedangkan ruh itu sendiri menurut mereka adalah material dan bagian dari hal-hal yang inderawi. Karena itu ketetapan syariat menurut mereka merupakan manifestasi dari masalah-masalah sosial yang khusus, yang hukum-hukumnya harus didasarkan pada pemikiran yang baik agar tercapai tujuan masyarakat yang baik.

Kemudian mereka mengatakan: Tidak dibenarkan berpegang teguh dengan hadis-hadis kecuali yang sesuai dengan Al-Qur’an. Sedangkan Al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan berdasarkan ra’yu dan mazhab-mazhab terdahulu yang menggunakan dalil-dalil akal. Karena dalil-dalil itu telah digugurkan oleh sains yang didasarkan pada inderawi dan eksperimen, bahkan Tifsir Al-Qur’an itu harus ditinggalkan kecuali yang telah dibenarkan oleh sains.

Inilah pemyataan-pemyataan yang dikemukakan oleh para pengikut metode inderawi dan eksperimental. Pola inilah yang mewamai mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dan di sini kami tidak akan membicarakan dasar-dasar ilmiah dan filosufis mereka. Kami hanya akan memaparkan sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh para mufassir pendahulu mereka. Yakni penafsiran yang sifatnya penyesuaian. Mereka merujuk pada metode pendahulunya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa penafsiran yang terbaik adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an di samping dengan sains.

Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan jika mereka belum berhasil menemukan makna-makna Al-Qur’an yang dapat disesuaikan dengan teori-teori ilmiah? Maka saat itulah mereka menyesuaikan metodenya dengan metode pendahulunya, menganggap maslahat hal-hal yang mafsadat.

Jika anda menggunakan akal yang sehat tentang cara pengutipan kitab-kitab tafsir pada umumnya, maka Anda akan jumpai: bahwa mereka telah bekerjasama dalam kelemahan dan kekurangan akibat argumen-argumen ilmiah dan filosufis, yang tidak sesuai dengan dalil-dalil Qur’ani, atau menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hal-hal yang eksternal. Karena itu metode mereka lebih tepat disebut “penyesuaian” bukan penafsiran atau kajian tafsir. Sehingga bagi mereka realitas-realitas Qurani merupakan simbol-simbol, dan Asbabun nuzul beberapa ayatnya menjadi takwil-takwil.

Sebagaimana telah kami isyaratkan bahwa Al-Qur’an ini telah mendefinisikan dirinya: Pemberi petunjuk pada alam semesta, cahaya yang terang dan penjelas bagi setiap sesuatu. Al-Qur’an menjadi petunjuk bersama pendampingnya, bersinar bersama pendampingnya dan memberi penjelasan bersama pendampingnya. Lalu siapakah pendampingnya? Bagaimana keadaannya? Dengan apa ia memberi petunjuk padanya? Siapa yang dijadikan rujukan jika terjadi perbedaan pendapat? Di sinilah letak perbedaan yang sangat jauh di kalangan mufassir.

Mengapa perbedaan ini melahirkan pandangan yang berbeda dalam memahami kata atau kalimat ayat-ayat Al-Qur’an menurut bahasa arab dan ‘urfi bahasanya. Padahal Al-Qur’an jelas berbahasa Arab, tidak sulit untuk dipahami oleh bangsa arab dan non-arab yang telah benar-benar mengenal secara baik bahasa arab berikut kontek kalimatnya.

Tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang musykil, dan tak jelas untuk dipahami maknanya. Mengapa? Sebab Al Qur’an menggunakan bahasa yang paling fasih. Dari segi syarat kefasihan bahasa, bahasa Al-Qur’an tidak mengandung kemusykilan dan ketidakjelasan, sekalipun ayat-ayat tertentu yang Mutasyabih seperti nasikh-mansukh dan lainnya. Dari segi mafhum sudah jelas tujuannya. Yang mutasyabih hanya dalam maksudnya, dan itupun jelas. Perbedaan itu hanya terjadi dalam soal Mishdaq (ekstensi)nya, dan sesuatu yang dituju oleh konsep dan ekstensi.

Di sini perlu ditegaskan bahwa dalam hidup ini kita telah terbiasa, misalnya: ketika mendengar suatu kata, pikiran kita mendahului maknanya dengan makna yang material atau sesuatu yang berkaitan dengan materi. Sedangkan materi merupakan sesuatu yang mengalami perubahan dalam tubuh kita, dan kekuatan kita yang berhubungan dengannya hanya dalam kehidupan di dunia. Karena itu ketika kita mendengar kata hidup, ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, ucapan, kehendak, ridha, ciptaan dan lainnya, maka yang mendahului dalam pikiran kita adalah makna yang berkaitan dengan wujud-wujud materi. (Mukaddimah tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i).


Dalam Shahih Ath-Tirmidzi 2: 297, kitab manaqib, bab 20:
Imran bin Hashin berkata: Pada suatu hari Rasulullah mengirim pasukan di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib (sa). Setelah peperangan itu terjadilah musibah pada seorang budak perempuan, lalu mengingkarinya. Empat orang dari sahabat Nabi saw saling berjanji dan berkata: Jika nanti kami berjumpa dengan Rasulullah saw, kami akan memberitakan kepadanya apa yang dilakukan oleh Ali (sa). Ketika kaum muslimin kembali dari perjalanannya, mereka menjumpai Rasulullah saw, lalu mengucapkan salam padanya lalu mereka pulang. Kemudian datanglah rombongan pasukan dan mereka mengucapkan salam kepada Nabi saw, lalu berdirilah salah seorang dari empat orang sahabat itu dan berkata: Ya Rasulallah, tidakkah melihat Ali bin Abi Thalib melakukan demikian dan demikian? Kemudian Nabi saw berpaling darinya. Kemudian yang satu lagi berdiri dan berkata seperti yang pertama, kemudian Nabi saw berpaling darinya. Kemudian yang ketiga berdiri dan berkata dengan perkataan yang sama, kemudian Nabi saw berpaling darinya. Kemudian yang keempat berdiri dan berkata dengan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah saw menghadap kepada mereka dengan nampak marah di wajahnya dan bersabda:

ما تريدون من عليّ ؟ ما تريدون من عليّ ؟ ما تريدون من عليّ ؟ إن علياً مني وأنا منه ، وهو ولي كل مؤمن بعدي

“Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali adalah dariku dan aku darinya, dia adalah pemimpin setiap mukmin sesudahku.”

Hadis ini juga terdapat dalam kitab:
1. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 4 halaman 437, hadis ke 19426.
2. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 halaman 110, kitab Ma’rifah Ash-Shahabah.
3. Musnad Abu Dawud, jilid 3 halaman 111, hadis 829.
4. Hilyah Al-Awliya’, Abu Na’im, jilid 6 halaman 294.
5. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 6 halaman 399: Fadhail Ali (sa).
6. Khashaish An-Nasa’i, halaman 23.
Dalam Shahih At-Tirmidzi 2: 299, bab 21, hadis ke 3716:
Barra’ bin ‘Azib berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali (sa):

أنت مني وأنا منك

“Engkau dariku dan aku darimu.” (juga dalam Khashaish An-Nasa’i, halaman19).

Dalam Shahih At-Tirmidzi 2: 299, kitab Manaqib, bab 21, hadis ke 3719:
Habasyi bin Junadah berkata bahwa Rasulullah saw:

عليّ مني وأنا من عليّ ولا يؤدّي عني إلاّ أنا أو علي

“Ali dariku dan aku dari Ali, dan tidak akan mengenalku yang sebenarnya kecuali aku dan Ali.”.

Hadis ini juga terdapat dalam:
1. Sunan Ibnu Majah, halaman 12, Mukaddimah, bab 11, hadis ke 119.
2. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 4 halaman 164 dan 165, hadis ke 17051, 17052, 17056, 17057, 17058.
3. Khashaish An-Nasa’i, halaman 19 dan 20.
4. Ar-Riyadh An-Nadhrah, Muhibuddin Ath-Thabari, jilid 2 halaman 174.


Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 124, manaqib Ali bin Abi Thalib (sa): Ummu Salamah (isteri Nabi saw) berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

عليّ مع القرآن والقرآن مع عليّ لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

“Ali bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an bersama Ali, keduanya tak akan terpisahkan sehingga keduanya kembali kepadaku di telaga surga.” Al-Hakim mengatakan: Hadis ini shahih.
Hadis ini dan semakna juga terdapat dalam kitab berikut:
1. Faydh Al-Qadir, Al-Manawi, jilid 4 halaman 356.
2. Kanzul ummal, jilid 6 halaman 153, hadis ke 32912.
3. Majma’ Az-Zawaid, jilid 9 halaman 134.
4. Nurul Abshar, Asy-Syablanji, halaman 72.

Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 75: Dalam suatu riwayat dinyatakan: menjelang wafatnya Rasulullah saw bersabda:

أيها الناس يوشك أن أقبض قبضاً سريعاً فينطلق بي وقد قدمت اليكم القول معذرة اليكم : ألا إني مخلف فيكم كتاب ربي عزوجل ، وعترتي أهل بيتي ، ثم أخذ بيد علي (عليه السلام) فرفعها فقال : هذا عليّ مع القرآن والقرآن مع عليّ لا يفترقان حتى يردا علي الحوض فاسألوهما ما خلفت فيهما

“Wahai manusia, sebentar lagi aku akan meninggalkan kalian, aku akan menyampaikan pada kalian perkataan yang berat bagi kalian: Ingatlah, aku tinggalkan pada kalian kitab Tuhanku Azza wa Jalla dan keturunanku Ahlul baitku.” Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali (sa) dan mengangkatnya lalu bersabda: “Ini Ali bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisahkan sehingga keduanya kembali kepadaku di telaga surga. Maka hendaknya kalian bertanya kepada keduannya tentang apa saja sepeninggalku.”


Dalam Shahih At-Tirmidzi 2/319, bab 61, hadis ke 3870:
Zaid bin Arqam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn (sa):

أنا حرب لمن حاربتم وسلم لمن سالمتم

“Aku memerangi orang yang kalian perangi, dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya.”.

Dzakhair Al-‘Uqba, halaman 25:
Rasulullah saw juga bersabda:

أنا حرب لمن حاربكم وسلم لمن سالمكم

“Aku memerangi orang yang memerangi kalian, dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.”.

Dalam Musnad Ahmad 2/442, hadis ke 9405:
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw memandang pada Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn (sa), lalu bersabda:

أنا حرب لمن حاربكم وسلم لمن سالمكم

“Aku memerangi orang yang memerangi kalian, dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.”.

Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Sunan Ibnu Majah, bab 11, hadis ke 145.
2. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 halaman 149, kitab ma’rifah shahabah.
3. Usdul Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5 halaman 523, hadis ke 2479.
4. Kanzul ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 6 halaman 216, bab Fadhail Ahlul bait (sa), hadis ke 34159, mengutip dari Ibnu Hibban. Jilid 7 halaman 107, bab Fadhail Ahlul bait (sa), hadis ke 37618, mengutip dari Ibnu Syaibah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thabrani, Al-Hakim dan Adh-Dhiya’ Al-Muqaddisi.
5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 169, bab Fadhail Ahlul bait (sa).
6. Ar-Riyadh An-Nadhrah, jilid 2 halaman 199, bab 3 Manaqib Ali bin Abi Thalib (sa).
7. Dzakhair Al-‘Uqba, halaman 23, bab Fadhail Ahlul bait (sa).
8. Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.


Hadis ini menegaskan bahwa Allah swt menghendaki manusia selamat dari kebinasaan, fisik dan ruhani, di dunia dan akhirat. Hadis ini merupakan penegasan jaminan keselamatan bagi umat Islam. Allah dan Rasul-Nya mengumpamakan Ahlul bait (sa) seperti bahtera Nabi Nuh (as) dalam hal menyelamatkan umatnya. Redaksi hadis ini bermacam-macam, antara lain:
Rasulullah saw bersabda:

مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق وهوى

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam dan celaka.”.

مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.” Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak menyatakan bahwa hadis ini shahih berdasarkan persyaratan Muslim.

انما مثل أهل بيتي فيكم كمثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق

“Sungguh tiada lain perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.”

الا ان مثل أهل بيتي فيكم مثل سفينة نوح في قومه من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق

“Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh bagi kaumnya, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.”

الا ان مثل أهل بيتي فيكم مثل سفينة نوح في قومه من ركبها سلم ومن تركها غرق، وان مثل أهل بيتي فيكم مثل باب حطة بني إسرائيل من دخله غفر له

“Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh bagi kaumnya, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang meninggalkannya ia akan tenggelam; dan sesungguhnya perumpamaan Ahlun baitku bagi kalian seperti pintu benteng Bani Israil, barangsiapa yang memasukinya ia akan diampuni dosa-dosanya.”

مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تأخر عنها هلك

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang terlambat ia akan binasa.”

مثل أهل بيتي فيكم كسفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها هلك

“Perumpamaan Ahlub baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menakinya ia akan selamat, dan barangsia yang tertinggal ia akan binasa.”.
Hadis Safinah sangat mutawatir, dan dengan bermacam-macam redaksinya hadis ini terdapat di dalam kitab:
1. Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, halaman 343, jilid 3, halaman 151.
2. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 184 dan 234.
3. Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
4. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 30 dan 370,cet Al-Haidariyah; halaman 27 dan 308, cet. Islambul.
5. Muhammadiyah, Mesir; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
6. Tarikh Al-Khulafa’, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i
7. Is’afur Raghibin, oleh Ash-Shabban Asy-Syafi’I, halaman 109, cet. As-Sa’idiyah; halaman 103, cet. Al-‘Utsamniyah.
8. Faraid As-Samthin, jilid 2, halaman 246, hadis ke 519.
9. Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh Ath-Thabrani, jilid 1, halaman 139.
10. Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
11. Majma’uz Zawaid, jilid 9, halaman 168.
12. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 148 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
13. Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, halaman 104, cet. As-Sa’idiyah.
14. Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Syafi’I, halaman 132, hadis ke: 174,175,176 dan 177, cet. Pertama, Teheran.
15. ‘Uyunul Akhbar, oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, halaman 211, cet. Darul Kutub Al-Mishriyah, Kairo.
16. Al-Fathul Kabir, oleh An-Nabhani, jilid 1, halaman 414; jilid 2, halaman 113.
17. Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf, halaman 113.
18. Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 95.
19. Syarh Nahjul Balghah, oleh Ibnu Abil Hadid, jilid 1, halaman 73, cet. Pertama, Mesir; jilid 1, halaman 218, cet. Mesir, dengan Tahqiq Muhammad Abul Fadhl.
20. Kunuzul Haqaiq, oleh Al-Mannawi, halaman 119, tanpa menyebutkan cetakan; halaman 141, cet. Bulaq.
21. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman: 27,28,181,183,193,261 dan 298, cet. Islambul; halaman 30,31,213,217,228,312 dan 375. cet. Al-Haidariyah.
22. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 9, halaman 270-293, cet. Teheran.
23. Muhammad wa li wa banuhu Al-Awshiya’, oleh Al-‘Askari, jilid 1, halaman 239-282, cet. Al-Adab.
24. Faraid As-Samthin, jilid 2, halaman 244, hadis 517.


Hadis Tsaqalayn adalah hadis yang menegaskan bahwa umat Islam wajib berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Ahlul bait Nabi saw. Redaksi hadis ini bermacam-macam, antara lain:
Rasulullah saw bersabda:

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga: Al-Qur’an dan ‘Itrahku, Ahlul baitku.”

يَا أَيُّهَاالنَّاسُ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي

“Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian, yang jika kalian bepegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat: Al-Qur’an dan ‘Itrahku, Ahlul baitku.”

إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي إِنْ اِعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat sesudahku: Al-Qur’an dan ‘Itrahku.”

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ خَلِيْفَتَيْنِ ـ اَوِ الْخَلِيْفَتَيْنِ ـ: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي، مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua khalifah: Al-Qur’an dan ‘Itrahku. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya, kalian tidak akan tersesat sesudahku.”

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي، فَلاَ تُقَدِّمُوهُمَا فَتَهْلِكُوا، وَلاَ تُقَصِّرُوا عَنْهُمَا فَتَهْلِكُوا، وَلاَ تُعَلِّمُوهُمْ فَإِنَّهُمْ أَعْلَمُ مِنْكُمْ

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga: Al-Qur’an dan ‘Itrahku, Ahlul baitku. Jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan tersesat sesudahku. Maka janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian binasa, jangan menganggap enteng keduanya sehingga kalian binasa, dan jangan mengajari mereka karena mereka lebih tahu dari kalian.”

إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي، أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنَ اْلاَخَرِ: كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلاَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ، فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخَلَّفُونِي فِيْهِمَا

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian sesuatu jika kalian berpegang teguh dengannya kalian tidak akan tersesat sesudahku, yang satu lebih agung dari yang lain: Al-Qur’an adalah tali penyambung dari langit ke bumi dan ‘Itrahku, Ahlul baitku. Keduanya tidak akan terpisahkan sehingga keduanya kembali padaku di telaga surga, maka perhatikan bagaimana sikap mereka kepada keduanya sesudahku”.

Hadis Tsaqalayn dengan bermacam-macam redaksinya terdapat dalam:
1. Shahih At-Tirmidzi, jilid 2, halaman 219; jilid 5, halaman 662 dan 663, no: 3786 dan 3788, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Bairut.
2. Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 492, no: 1878; jilid 6, halaman 232, no: 21068, 21145, dan 244.
3. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 109.
4. Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 1, halaman 194.
5. Al-Mathalib Al-‘Aliyah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, no hadis: 1873.
6. Mu’jam Al-Kabir, Ath-Thabrani, jilid 3, halaman 62, no hadis: 2678; jilid 5, halaman 186-187, cet. Dar Ihya’ at-Turats Al-‘Arabi.
7. Mashabih As-Sunnah, jilid 4, halaman 190, no hadis: 4816, cet. Dar Ma’rifah, Bairut tahun 1407 H.
8. Jami’ul Ushul, jilid 1, halaman 278, no hadis: 66, cet. Darul Fikr, Bairut tahun 1403 H.
9. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, Ibnu Hajar, halaman 90, 231, 233, cet Darul kutun ilmiyah, Bairut tahun 1414 H.
10. Usdul Ghabah, jilid 1, halaman 490, cet Darul Fikr, Bairut tahun 1409 H.
11. Tafsir Ar-Razi, jilid 8, halaman 173.
12. Tafsir Al-Khazin, jilid 1, halaman 277, cet Darul kutub ilmiyah, Bairut tahun 1415 H.
13. Kitab As-Sunnah oleh Ibnu Abi ‘Ashim, halaman 336, no: 754, cet. Al-Maktab Al-‘Arabi, Bairut tahun 1405 H.
14. Majma’uz Zawaid, jilid 9, halaman 165, cet. Darul kutun al-‘Arabi, Bairut tahun 1402 H.
15. Al-Jami’ush Shaghir bisyarhil Manawi, jilid 3, halaman 14.
16. Faydhul Qadir, jilid 3, halaman 14, syarah hadis ke 2631, cet Darul Fikr, Bairut tahun 1391 H.
17. Jami’ul Ushul 1/ 277.
18. Sunan Al-Darimi 2/ 310
19. Sunan Al-Baihaqi 2/ 148
20. Al-Bidayah wan-Nihayah 5/ 209
21. Kasyful Astar 3/ 221
22. Tarikh Baghdad 8/ 443
23. Tarikh Ash-Shaghir 1/ 302
24. Al-Ishabah, Ibnu hajar 7/ 78, no: 4767
25. As-Sirah Al-Halabiyah 3/ 274.

Para Perawi hadis Tsaqalayn dari kalangan sahabat
1. Imam Ali bin Abi Thalib (as)
2. Imam Hasan bin Ali (as)
3. Abu Dzar Al-Ghifari
4. Salman Al-Farisi
5. Jabir bin Abdullah Al-Anshari
6. Abul Haytsim Ibnu An-Tihan
7. Hudzaifah Al-Yamani
8. Hudzaifah bin Asid Abu Syarikhah
9. Zaid bin Tsabit
10. Abu Said Al-Khudri
11. Khuzaimah bin Tsabit
12. Abdurrahman bin Auf
13. Thalhah
14. Abu Hurairah
15. Said bin Abi Waqqash
16. Abu Ayyub Al-Anshari
17. Amru bin Ash
18. Fatimah Az-Zahra’
19. Ummu Salamah Ummul mukminin
20. Ummu Hani (saudara perempuan Imam Ali as)

Para Perawi pasca sahabat:
1. Said bin Masruq Ats-Tsauri
2. Sulaiman bin Mahran Al-A’masy
3. Muhammad bin Ishaq, shahibus Sirah
4. Muhammad bin Sa’d, shahibuth Thabaqat
5. Abi Bukar bin Abi Syaibah
6. Ibnu Rahawaih, shahibul Musnad
7. Ahmad bin Hanbal, shahibul Musnad
8. Abd bin Humaid, shahibul Musnad
9. Muslim bin Hujjaj, penulis Shahih Muslim
10. Ibnu Majah Al-Qazwini, shahibus Sunan
11. Abu Dawud, shahibus Sunan
12. At-Tirmidzi, penulis shahih Tirmidzi
13. Abu Bakar Al-Bazzar, penulis Musnad.
14. An-Nasa’i shahibush Shahih
15. Abu Ya’la Al-Mawshili, shahibul Musnad
16. Ibnu Abi Ashim, penulis kitab As-Sunnah
17. Muhammad bin jarir, mufassir dan penulis Tarikh.
18. Abul Qasim Ath-Thabrani, penulis Mu’jam
19. Abul hasan Ad-Daraquthni Al-Baghdadi
20. Al-Hakim An-Naisaburi, penulis Al-Mustadrak
21. Abu Na’im Al-Isfahani
22. Abu Bakar Al-Baihaqi, penulis Sunan al-Kubra
23. Ibnu Abd Al-Birr, penulis Al-Isti’ab
24. Al-Khathib Al-Baghdadi, penulis Tarikh Baghdad
25. Razin Al-Abdari, penulis Al-Jam’u bayna Ash-Shahhah As-Sunnah
26. Muhyissunnah Al-Baghawi, penulis Mashahihus Sunnah
27. Al-Qadhi ‘Iyad, penulis kitab Asy-Syifa’
28. Ibnu Asakir Ad-Damsiqi, penulis Tarikh Damsiq
29. Ibnu Atsir Al-Juzuri, penulis Usdul Ghabah
30. Fakhrur Razi, penulis Tafsir Al-Kabir
31. Abu Zakariya An-Nawawi, penulis syarah Shahih Muslim
32. Abul Hujjaj Al-Muzzi, penulis Tahdzibul Kamal
33. Syamsuddin Adz-Dzahabi, penulis kitab-kitab yang masyhur
34. Adh-Dhiya’ Al-Muqaddasi, pwnulis kitab Al-Mukhtarah
35. Ibnu Katsir Ad-Damsiqi, mufassir dan penulis Tarikh
36. Nuruddin Al-Haitsami, penulis kitab Majma’uz zawaid
37. Jalaluddin As-Suyuthi, penulis kitab-kitab yang terkenal
38. Syihabuddin Al-Qasthalani, pensyarah Al-Bukhari.
39. Syamsuddin Ash-Shalihi Ad-Damsiqi, murid As-Suyuthi, penulis Sirah An-
1. Nabawiyah.
40. Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Asqalani.
41. Syamsuddin Ibnu Thulul Ad-Damsiki.
42. Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Makki, penulis Shawaiqul Muhriqah
43. Al-Muttaqi Al-Hindi, penulis Kanzul Ummal.
44. Ali Al-Qari Al-Harawi.
45. Al-Mannawi, pensyarah Jamiush Shaghir.
46. Al-Halabi, penulis Sirah.
47. Dahlan, penulis Sirah.
48. Manshur bin Nashib, penulis At-Tajul Jami’ lil-Ushul.
49. An-Nabhani, penulis terkenal.
50. Al-Mubarak Yuri, pensyarah shahih Tirmidzi.




Alhamdulillah masih ada pendapat yang sesuai dengan pandangan Ahlul bait (sa) tentang sebab-sebab turunnya ayat ini (Al-Maidah: 67). Orang-orang Quraisy telah menyebarkan usaha-usaha mereka dan menjungkir-balikkan landasan-landasan yang kokoh agar kaum muslimin tidak mengenal masalah Imamah dan kekhalifahan pasca Nabi saw.

Karena itulah, kita jumpai kaum nashibi (orang-orang yang membenci Ahlul Bait s.a) sangat membenci dan menolak keberadaan hadis Al-Ghadir, hadis tentang sebab-sebab turunnya ayat ini dan ayat-ayat imamah lainnya. Mereka sangat berkeinginan hadis ini dan yang lainnya tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis yang shahih dan kitab-kitab rujukan Ahlussunnah. Kami melihat mereka berusaha keras melakukan kajian ilmiah berdasarkan Al-Qur’an dan hadis-hadis muttaqun alayh, kemudian menyerang dan mengecam ulama-ulama dan para pengikut Ahlul bait (sa). Kemudian mereka berusaha keras meniadakan dan mengeluarkan hadis-hadis tersebut dari kitab-kitab rujukan Ahlussunnah.

Syeikh Albani mengatakan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahih 5: 644:
Nabi saw dijaga dari bahaya manusia sehingga ayat ini turun: “Allah menjagamu dari bahaya manusia.” Kemudian mengeluarkan kepalanya dari kubah sambil berkata: “Wahai manusia, pulanglah aku telah dijaga oleh Allah.”

Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi Shahih Tirmidzi 2: 175, Ibnu Jarir 6: 199 dan Al-Hakim 2: 3, dari jalur Harits bin Abid dari Said Al-Jariri, dari Abd bin Syaqiq dari Aisyah. Aisyah mengatakan: Lalu Nabi saw menyebutkannya (hadis ini).

Tirmidzi mengatakan: Hadis ini hadis gharib. Sebagian ahli hadis meriwayatkan hadis ini dari Al-Jariri dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Nabi telah dijaga…dan mereka tidak menyebutkannya. Hadis ini bersumber dari Aisyah.

Tirmidzi mengatakan: ini benar, karena Harits bin Abid yaitu Abu Qudamah Al-Ayadi daya hafalannya lemah. Ini dinyatakan oleh Al-Hafizh dengan pernyataannya: Dia jujur tapi salah.

Pernjelasan Tirmidzi berbeda dengan yang lain, antara lain Ismail bin Aliyah. Ia mengatakan: Harits bin Abid adalah tsiqqah, kuat dan dapat dipercaya hafalannya. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan dua sanad antara lain dari Al-Jariri, sebagai hadis mursal.

Tirmidzi mengatakan: Hadis ini shahih mursal; adapun pendapat Al-Hakim tentang sanad hadis ini yang berujung pada Aisyah: sanadnya shahih tapi ditolak, kami tidak menyebutkannya walaupun ia diikuti oleh Adz-Dzahabi.

Memang, hadis ini shahih, karena hadis ini mempunyai bukti dari hadis Abu Hurairah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw berhenti di suatu tempat, mereka (para sahabat) melihat pohon yang paling besar lalu mereka berharap Nabi saw berhenti, lalu beliau berhenti di bawah pohon itu juga para sahabatnya. Ketika berada di bawah pohon itu, beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu, lalu datanglah orang arab badui dan mengambil pedang dari pohon itu kemudian mendekati Nabi saw yang sedang tidur, lalu ia membangunkan beliau dan berkata: Wahai Muhammad, siapakah yang akan menghalangimu dariku malam ini? Nabi saw menjawab: Allah. Kemudian Allah menurunkan ayat ini: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67).

Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Mardawaih sebagaimana yang disebutkan oleh tafsir Ibnu Katsir 6:198, dari dua jalur: dari Hammad bin Salamah dan Jabir, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Riwayat ini mempunyai dua bukti yaitu riwayat dari Said bin Jubair dan Muhammad bin Ka’b Al-Qarazhi sebagai hadis mursal.
Ketahuilah! Orang-orang syiah mengira ada perbedaan tentang hadis-hadis tersebut, bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, tentang Ali (ra). Mereka menyebutkan sejumlah hadis mursal dan sangat lemah. Antara lain hadis dari Abu Said Al-Khudri, yang telah dinyatakan tidak shahih oleh hasil penelitian tentang hadis-hadis dhaif (4922). Dan riwayat-riwayat yang disebutkan oleh Abdul Husein Asy-Syi’i dalam kitabnya Al-Murajaat: 38, tanpa satu penelitian terhadap satupu sanadnya. Dan ini kebiasaan dia dalam menyebutkan hadis-hadis dalam kitabnya. Karena ia hanya mengumpulkan semua hadis yang menguatkan mazhabnya, baik hadis itu shahih maupun tidak shahih. Kaidah orang-orang syi’ah: Tujuan menganggap baik wasilah! Karena itu, ia dan riwayat-riwayat hadisnya harus diwaspadai. Bukan hanya itu, bahkan ia menipu para pembaca walaupun harus berdusta. Dalam bab tertentu ia mengutip hadis dari Abu Said, itu batil dan dusta: Hadis ini diriwayatkan tidak hanya oleh seorang penyusun kitab-kitab hadis seperti Imam Al-Wahidi…!

Sisi kedustaannya: Mereka yang pemula pun tentang ilmu tahu bahwa Al-Wahidi tidak tergolong pada penulis kitab-kitab hadis yang empat. Dia hanya seorang mufassir yang meriwayatkan hadis-hadis, yang sanadnya shahih dan tidak shahih. Dan hadis Abu Said ini termasuk hadis yang tidak shahih. Ia meriwayatkan dari jalur yang sangat lemah sebagaimana kelemahan itu nampak dalam penjelasannya.

Inilah kebiasaan orang-orang syiah dari dulu hingga sekarang. Mereka berdusta atas nama Ahlussunnah dalam kitab-kitab dan ceramah-ceramah mereka. Karena itu, orang yang paling mengetahui tentang mereka yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Syiah adalah golongan yang paling pendusta, saya mengetahui kedustaan mereka dari sebagian kitab-kitabnya, terutama Abdul Husein ini …
Yang lebih berdusta darinya adalah Khumaini. Ia menjelaskan dalam kitabnya bahwa ayat ‘Ishmah (ayat ini) turun pada hari Ghadir Khum tentang Imamah Ali bin Abi Thalib, dengan pengakuan Ahlussunnah dan kesepatan syi’ah. Dalam hal ini saya akan menambah penjelasan tentang kelemahan mereka, insya Allah. (selesai)

Jawaban:
Kami ingin mengatakan kepada seorang pembahas seperti Syeikh Albani:
Pertama: Tinggalkan kecamanmu, penyebaran hukummu, dan pengklasifikasianmu tentang orang yang paling jujur dan yang paling berdusta dari golongan ummat Islam. Karena di kalangan sunni dan syi’i terdapat bermacam-macam manusia. Tapi nashibi (orang-orang yang membenci Ahlul bait Nabi saw) punya hukum tersendiri.

Jangan lupa wahai pembahas, Ibnu Taimiyah yang tidak bersikap adil terhadap Ali bin Abi Thalib (sa) ia juga tidak bersikap adil terhadap pengikutnya. Kami berterima kasih Anda mengakui kebenaran: Anda telah membela Ali bin Abi Thalib (sa) dan menolak kezaliman Ibnu Taimiyah dan keingkarannya terhadap hadis Al-Ghadir: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya.” Kemudian Anda menyatakan hadis ini adalah shahih, kemudian Anda mencatatnya dalam kitabmu tentang hadis-hadis yang shahih 5: 330, no: 1750. Kemudian Anda mengatakan dalam halaman 344: Setelah aku mengetahui hadis ini, maka aku terdorong untuk menyampaikan pendapat secara merdeka tentang hadis ini dan keterangan keshahihannya: Aku melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mendhaifkan baris yang pertama hadis ini, dan mendustakan baris yang terakhir! Dalam hal ini Ibnu Taimiyah telah berlebihan mengambil kesimpulan, terlalu cepat mendhaifkan hadis-hadis sebelum mengumpulkan sanad-sanadnya dan menelitinya secara mendalam. Allah adalah Tempat memohon perlindungan.

Adapun apa yang disebutkan oleh syiah tentang hadis ini dan lainnya, bahwa Nabi saw bersabda tentang Ali (ra): “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sesudahku,” tidak shahih dari beberapa sisi, bahkan kebatilan mereka banyak, ini ditunjukkan oleh realitas sejarah tentang kedustaannya. Sekiranya benar Nabi saw menyabdakan hadis itu, niscaya itu menjadi kenyataan, karena beliau bersabda sesuai dengan wahyu, sementara Allah tidak mengingkari janji-Nya!! (selesai).

Kami mengamati bahwa Syeikh Albani akhirnya juga gegabah, menjadikan berita syar’i sebagai berita ghaibiyah. Dua hal ini jelas berbeda. Jika ia telah mengakui keshahihan hadis Al-Ghadir, dan mengokohkan hukumnya: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya”, sebagai wahyu dari Allah saw, maka wajib baginya dan kaum muslimin menjadikan Ali sebagai pemimpin mereka.
Tetapi hal itu tidak menjadi kenyataan, bahkan mereka menyerang rumah Ali dan Fatimah (sa) pada hari kedua atau ketiga dari wafatnya Rasulullah saw, mereka mengancam membakar rumahnya jika keduanya tidak keluar dan tidak berbaiat. Kemudian mereka memaksa Ali untuk berbaiat, dan ini peristiwa ini masyur dalam kitab-kitab sejarah, misalnya di dalam:
1. Tarikh Ya’qubi, jilid 2 halaman 126.
2. Tarikh Ath-Thabari, jilid 1 halaman 18.
3. Tarikh Ibnu Khaldun, jilid 3 halaman 26-28.

Kedua hadis itu sama, dua-duaya adalah wahyu. Jika mengukur keshahihan hadis pertama dengan fakta yang terjadi, maka juga hadis yang kedua. Mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Memaksa Ali (sa) untuk berbaiat kepada orang lain.

Wahai pembahas yang mulia, pemberitaan dua hadis itu bersifat tasyri’i, wahyu tentang kewajiban bagi kaum muslimin, bukan berita ghaibiyah, keshahihannya tidak dapat diukur dengan fakta yang terjadi. Karena jika demikian cara mengukurnya, terlalu banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang tidak menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia karena kezaliman manusia dan para penguasanya.

Kedua: Ketika Anda mendhaifkan hadis tentang sebab turunnya ayat ini, apakah Anda telah mengumpulkan sanad-sanad hadis itu lalu menelitinya secara mendalam, sehingga Anda mengatakan: hadis itu mursal dan sangat lemah?

Apakah Anda telah meneliti semua sanad hadis itu, yang telah dikutip oleh Ats-Tsa’labi, Abu Na’im, Al-Wahidi, Abu Said As-Sijistani, Al-Haskani, dan sanad-sanad mereka? Kemudian mendapatkan semua itu mursal atau dhaif, dan Anda dapatkan diantara perawi-perawinya orang yang tidak menjadi pegangan Anda? Apakah telah terjadi pada Anda apa yang telah terjadi pada Ibnu Taimiyah yang Anda sendiri mengkritiknya?

Yang jelas, Anda tidak punya waktu yang cukup untuk meneliti semua itu. Kami berharap Anda mendapat karunia dalam meneliti apa yang telah kami tulis tentang tafsir ayat ini, meneliti secara mendalam sanad-sanadnya yang telah kami persembahkan, dan membahasnya dengan ukuran-ukuran yang Anda kehendaki. Dengan syarat, Anda tidak menulis hal-hal yang kontradiktif dalam kitab-kitab Anda, bersifat objektif, tidak mendhaifkan suatu riwayat karena memberitakan keutamaan Ali bin Abi Thalib (sa) dalam suatu topik, dan dalam topik yang lain Anda menerimanya dan menjadikannya pegangan.

Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan sanad-sanad hadis itu yang hanya dari satu sumber kitab yaitu Syawahid At-Tanzil oleh Al-Hakim Al-Haskani:
Ubaidillah bin Abdullah bin Ahmad Al-‘Amiri Al-Qurasyi, murid Al-Hakim An-Naisaburi penulis kitab Al-Mustadrak. Ia mengatakan dalam kitabnya yang telah diteliti oleh Al-Muhmudi: jilid 1: 250-257:
244: Memberitakan kepada kami Abu Abdillah Ad-Daynuri, ia berkata: Bercerita kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim As-Sunni. Ia berkata: memberitakan kepadaku Abdurrahman bin Hamdan, ia berkata: bercerita kepada kami Muhammad bin Ustman Al-‘Abasi, ia berkata: bercerita kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin Maymun, ia berkata: bercerita kepada kami Ali bin ‘Abis dari Al-A’mas dari Abu Al-Juhaf (Dawud bin Abi Awf) dari ‘Athiyah: dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…”

245: Memberitakan kepada kami Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh, ia berkata: memberitakan kepada kami Ali bin Abdurrahman bin Isa Ad-Dahqan bil-Kufah, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Husayn bin Al-Hikam Al-Habari, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Hasan bin Al-Husayn Al-‘Irani, ia berkata: bercerita kepada kami Hibban bin Ali Al-‘Unzi, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Kalabi dari Abu Shilah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Ia berkata: Ayat ini turun berkaitan dengan Ali, memerintahkan Rasulullah saw agar menyampaikannya kemudian Rasulullah saw memegang tangan Ali seraya bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangilah orang yang menyayangi Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

246: Diriwayatkan oleh jema’ah dari Al-Habari, dan diriwayatkan oleh As-Sabi’i darinya dalam tafsirnya: Seolah-olah aku mendengarnya dari As-Sabi’i, dan diriwayatkannya oleh jema’ah dari Al-Kalabi.
Sanad hadis ini banyak terdapat dalam kitab doa, mengharap petunjuk untuk menunaikan hak wilayah, dalam sepuluh jilid kitab.

247: Memberitakan kepada kami Abu Bakar As-Sakri, ia berkata: memberitakan kepada kami Abu ‘Amr Al-Muqri, ia berkata: memberitakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan, ia berkata: bercerita kepada kami Ahmad bin Azhar, ia berkata: bercerita kepada kami Abdurrahman bin ‘Amr bin Jabalah, ia berkata: bercerita kepada kami Umar bin Na’im bin Umar bin Qais Al-Mashir, ia berkata: aku mendengar kakekku berkata: bercerita kepada kami Abdullah bin Abu Awfa, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Ghadir Khum, dan membacakan ayat ini: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Kemudian beliau mengangkat tangannya sehingga kelihatan putih ketiaknya, kemudian bersabda: “Ingatlah, barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali, dan musuhi orang yang memusuhi Ali.” Kemudian bersabda: “Ya Allah, syaksikan.”

248: Memberitakan kepada kami ‘Amr bin Muhammad bin Ahmad yang bersikap adil terhadap bacaanku yang asli berdasarkan tek yang aku dengan, ia berkata: memberitakan kepada kami Zahir bin Ahmad, ia berkata: memberitakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Yahya Ash-Shuwali, ia berkata: bercerita kepada kami Mughirah bin Muhammad, ia berkata: bercerita kepada kami Ali bin Muhammad bin Sulaiman An-Nawfali, ia berkata: bercerita kepadaku ayaku, ia berkata: Aku mendengar Ziyad bin Mundzir berkata: aku berada di dekat Abu Ja’far Muhammad bin Ali ketika ia bercerita kepada manusia saat ada seseorang dari Bashrah datang kepadanya, ia berkata kepadanya: UtsmanAl-A’sya meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, ia berkata kepadanya: Wahai putera Rasulillah, jadikan aku tebusanmu sesungguhnya Al-Hasan memberitakan kepada kami bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seseorang yang tidak diceritakan kepada kami, yaitu ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Ia berkata: Sekiranya manusia ingin mengetahuinya tentu aku akan menceritakannya, tapi saat Nabi saw khawatir Jibril datang kepadanya saw lalu berkata: Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menunjukkan kepada ummatmu tentang shalat mereka, puasa, puasa, dan haji mereka, agar menjadi kokoh hujjah terhadap mereka tentang semua itu. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ya Rabbi, sesungguhnya kaumku sudah mendekat pada zaman jahiliyah, mereka saling membanggakan dirinya, dan meninggalkan pemimpinnya, aku khawatir.” Kemudian Allah swt menurunkan ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” Setelah Allah menjamin kekhatirannya dengan penjagan-Nya, beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian bersabda:

يا أيها الناس من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وانصر من نصره واخذل من خذله وأحب من أحبه وأبغض من أبغضه

“Wahai manusia, barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali dan musuhi orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakan orang yang menghinanya, cintai orang yang mencintainya dan murkai orang yang murka padanya.”

Ziyad berkata: kemudian Utsman berkata: Aku tidak pernah pulang ke negeriku dengan membawa sesuatu yang lebih aku cintai daripada hadis ini.
249: Bercerita kepadaku Ali bin Musa bin Ishaq dari Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad, ia berkata: bercerita kepada kami Sahl bin Bahr, ia berkata: bercerita kepada kami Fadhl bin Syadzan, dari Muhammad bin Abu Umayr, dari Umar bin Udzaynah dari Al-Kalabi dari Abu Shaleh: dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, mereka berkata: Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk menetapkan Ali di depan manusia dan memberitakan kepemimpinannya kepada mereka, kemudian Rasulullah saw merasa khawatir mereka berkata bahwa beliau hanya mencintai putera pamannya, dan mencerca Ali karenanya. Kemudian Allah menurunkan wahyu yaitu ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…”

Setelah turun ayat ini Rasulullah saw menyampaikan secara terbuka kepemimpinannya (Ali bin Abi Thalib) pada hari Ghadir Khum.

250: Bercerita kepadaku Muhammad bin Qasim bin Ahmad dalam tafsir, ia berkata: bercerita kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ali Al-Faqih, ia berkata: bercerita kepada kami ayahku, ia berkata: bercerita kepada kami Sa’d bin Abdullah, ia berkata: bercerita kepada kami Ahmad bin Abdullah Al-Baraqi dari ayahnya, dari Khalaf bin Ammar Al-Asadi, dari Abul Hasan Al-Abdi, dari Al-A’masy dari Ubabah bin Ruba’i: Dari Abdullah bin Abbas dari Nabi saw, dalam kontek hadis tentang Mi’raj, beliau menyampaikan hadis kudsi: “Sesungguhnya Aku belum pernah mengutus seorangpun nabi kecuali Aku jadikan baginya seorang wazir (pembantu khusus), dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah dan Ali adalah wazirmu.” Ibnu Abbs berkata: Kemudian Rasulullah merasa khawatir untuk menyampaikan kepada manusia, khawatir karena hadis ini mereka kembali ke jahiliyah sehingga kembali tujuh hari yang telah berlalu. Kemudian Allah swt menurunkan: “Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebagian dari apa yang telah diwahyukan kepadamu, dan dadamu merasa sempit karenanya sebab merasa khawatir mereka mengatakan …” (Hud: 12), Rasulullah saw merasa khawatir sehingga hari yang kedelapan belas Allah menurunkan ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” (Al-Maidah: 67).

Kemudian Rasulullah saw menyuruh Bilal azan di hadapan manusia sehingga besok pagi tidak ada seorangpun kecuali semuanya keluar ke Ghadir Khum. Kemudian esok harinya Rasulullah saw dan manusia keluar lalu bersabda: “Wahai manusia, Allah telah menurunkan kepadaku suatu risalah, dan dadaku merasa sempit karena khawatir kalian meragukan aku dan mendustakan aku, sehingga Tuhanku mengecamku karenanya dan menurunkan padaku azab setelah azab yang lain.” Kemudian beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib dan mengangkatnya sehingga kelihatan putih ketiaknya, lalu bersabda:

أيها الناس الله مولاي وأنا مولاكم، فمن كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وانصر من نصره واخذل من خذله

“Wahai manusia, Allah adalah Pemimpinku dan aku adalah pemimpin kalian. Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali dan musuhi orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakan orang yang menghinanya.”
Kemudian Allah menurunkan ayat: “Hari ini Kusempurnakan agamamu …” (Al-Maidah: 3).


 Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jala menerima Ibrahim (as) sebagai seorang hamba sebelum Dia menjadikannya sebagai seorang nabi. Sesungguhnya Allah mengangkatnya sebagai seorang nabi sebelum Dia memilihnya sebagai seorang rasul. Sesungguhnya Allah mengangkatnya sebagai seorang rasul sebelum Dia menjadikannya khalilullah (kekasih Allah). Sesungguhnya Allah menjadikannya sebagai khalilullah sebelum Dia mengangkatnya sebagai seorang imam. Ketika Allah menggabungkan semuanya Dia berfirman:

إِنى جَاعِلُك لِلنَّاسِ إِمَاماً

‘Sungguh Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ (Al-Baqarah: 124).

Karena begitu agungnya kedudukan imamah bagi nabi Ibrahim (as), maka ia memohon kepada Allah swt: ‘Aku memohon juga untuk keturunanku’. Kemudian Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim’. Selanjutnya Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Orang yang jahil tidak akan menjadi imam orang yang bertakwa.”.

Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) bahwa Allah menerima nabi Ibrahim (as) sebagai hamba-Nya sebelum Dia menjadikannya seorang nabi, dapat dipahami dari firman Allah swt:

وَ لَقَدْ ءَاتَيْنَا إِبْرَهِيمَ رُشدَهُ مِن قَبْلُ وَ كُنَّا بِهِ عَلِمِينَ‏. إِذْ قَالَ لأَبِيهِ وَ قَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتى أَنتُمْ لهََا عَكِفُونَ‏. قَالُوا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا لهََا عَبِدِينَ‏. قَالَ لَقَدْ كُنتُمْ أَنتُمْ وَ ءَابَاؤُكمْ فى ضلَلٍ مُّبِينٍ‏. قَالُوا أَ جِئْتَنَا بِالحَْقّ‏ِ أَمْ أَنت مِنَ اللَّعِبِينَ‏. قَالَ بَل رَّبُّكمْ رَب السمَوَتِ وَ الأَرْضِ الَّذِى فَطرَهُنَّ وَ أَنَا عَلى ذَلِكم مِّنَ الشهِدِينَ‏

“Sungguh Kami telah menganugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya dan Kami mengetahuinya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya. Ibrahim berkata: Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main. Ibrahim berkata: Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” (Al-Anbiya’: 51-56).

Kisah ini menunjukkan bagaimana Allah menjadikan sebagai hamba-Nya pada awal perjalanan hidupnya.
Kita harus mengetahui perbedaan seseorang yang diterima oleh Allah sebagai hamba-Nya dengan orang yang menjadi hamba secara wujudiyah. Karena semua wujud dan ciptaan Allah adalah hamba-Nya, termasuk manusia. Baik yang patuh kepada Allah dan yang menentang-Nya. Semuanya hamba Allah sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

إِن كلُّ مَن فى السمَوَتِ وَ الأَرْضِ إِلا ءَاتى الرَّحْمَنِ عَبْداً

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 93).

Ketika manusia berbuat tidak sesuai dengan statusnya sebagai seorang hamba, misalnya berbuat kerusakan dan kesombongan di muka bumi, maka ia tidak lagi dinamakan seorang hamba dilihat dari segi tujuan penciptaannya. Manusia dinamakan seorang hamba jika ia patuh dan tunduk kepada Allah serta mengenal dirinya. Manusia tak pantas dinamai seorang hamba kecuali ia menyadari diri dan perbuatannya sebagai seorang hamba. Manusia seperti inilah yang diterima kehambaannya oleh Allah dan layak menduduki hakikat hamba-Nya sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَ عِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشونَ عَلى الأَرْضِ هَوْناً

“Hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…” (Al-Fur’qan: 63).

Berdasarkan keterangan ini jelaslah bahwa ketika Allah menerima seseorang sebagai hamba-Nya di pintu rububiyah-Nya dalam tingkatan wilayah, maka Dia akan menjadikannya sebagai wali terhadap perkara-perkara-Nya sebagaimana Allah menjadi wali terhadap semua urusan hamba-Nya. Kehambaan inilah yang menjadi kunci wilayah sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّىَ اللَّهُ الَّذِى نَزَّلَ الْكِتَاب وَ هُوَ يَتَوَلى الصالِحِينَ

“Sesungguhnya waliku adalah Allah Yang telah menurunkan Al-Quran dan Dia menjadikan orang-orang yang saleh sebagai wali.” (Al-A’raf: 196).

Orang-orang yang sholeh dinyatakan oleh ayat ini sebagai orang-orang yang layak menduduki maqam wilayah, kepemimpinan Ilahiyah.
Kesimpulannya, jika Allah swt menerima dan memilih seseorang sebagai hamba-Nya, maka ia akan dijadikan oleh-Nya sebagai wali-Nya yang akan menduduki maqam wilayah, kepemimpinan Ilahiyah.

Perbedaan Nabi dan Rasul.
Berdasarkan perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) bahwa Allah mengangkat nabi Ibrahim sebagai nabi sebelum menjadikannya sebagai rasul, maka ini menunjukkan adanya perbedaan antara nabi dan rasul. Perbedaan nabi dan rasul menurut hadis-hadis dari Ahlul bait Nabi saw sebagai berikut:
Seorang nabi melihat melalui mimpinya apa yang diwahyukan oleh Allah kepadanya. Sedangkan seorang rasul melihat malaikat dan berbicara dengannya.

Proses perkembangan ini nampak dalam kisah nabi Ibrahim (as). Allah swt berfirman:
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan[905] lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (Maryam: 41-42).

Ayat ini menunjukkan bahwa Ibrahim (as) menjadi seorang nabi ketika ia menceritakan hal ini kepada ayahnya. Ini adalah penegasan terhadap apa yang telah ia ceritakan pada awal ia mendatangi kaumnya, yaitu:
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (Az-Zukhruf: 26-27).

Kemudian kita perhatikan ayat berikut ini:

وَ لَقَدْ جَاءَت رُسلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشرَى قَالُوا سلاما

“Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.”(Huud: 69).

Ayat ini menunjukkan bahwa nabi Ibrahim melihat malaikat dan berbicara dengannya. Peristiwa ini terjadi ketika nabi Ibrahim telah berusia lanjut setelah meninggalkan ayah dan kaumnya.

Pengangkatan menjadi Khalilullah.
Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Sesungguhnya Allah mengangkat Ibrahim sebagai rasul sebelum Dia menjadikannya khalilullah (kekasih Allah).” Maksudnya terkandung di dalam firman Allah swt:

وَ اتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَهِيمَ حَنِيفاً وَ اتخَذَ اللَّهُ إِبْرَهِيمَ خَلِيلاً

“Dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus, dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.” (An-Nisa’: 125).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt menjadikan nabi Ibrahim (as) sebagai kekasih-Nya karena ia memperjuangkan dengan tulus-ikhlas agama yang telah ditetapkan oleh Tuhannya. Tema ayat ini menjelaskan kemuliaan agama yang benar, yang karena memperjuangkan agama ini nabi Ibrahim dipilih oleh Allah swt sebagai kekasih-Nya, khalilullah.

Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Sesungguhnya Allah menjadikan nabi Ibrahim (as) sebagai kekasih-Nya sebelum ia menjadikan sebagai seorang imam.” Maksud hadis ini telah kami jelaskan.

Jahil dan Takwa.
Perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): “Orang yang jahil tidak akan menjadi imam orang yang bertakwa.” Pernyataan ini mengisyaratkan pada firman Allah swt:

وَمَن يَرْغَب عَن مِّلَّةِ إِبْرَهِيمَ إِلا مَن سفِهَ نَفْسهُ وَلَقَدِ اصطفَيْنَهُ فى الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فى الاَخِرَةِ لَمِنَ الصالِحِينَ‏. إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسلِمْ قَالَ أَسلَمْت لِرَب الْعَالَمِينَ‏

“Tidak ada yang benci pada agama Ibrahim kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab: Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah:130-131).

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa siapa saja yang membenci agama Ibrahim, ia adalah orang yang bodoh dan zalim. Lawan dari kezaliman dan kebodohan adalah pilihan Ilahi. Allah menjelaskan “pilihan” dengan kata “Islam”, sebagaimana yang dinyatakan dengan firman-Nya:

إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسلِمْ

Kemudian Allah swt menjadikan “Islam” dan “Takwa” sebagai kesatuan aplikasi makna, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya:

يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لا تمُوتُنَّ إِلا وَ أَنتُم مُّسلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.” (Ali-Imran: 102).

Hadis yang semakna dengan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) tersebut banyak sekali, bagi yang berminat silahkan merujuk ke kitab-kitab hadis mazhab Ahlul bait (sa). (Disarikan dari tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, jilid 1).


Kepemimpinan Ulil-Amri dan Ketaatan padanya.

يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الاَخِر

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri kalian. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59).

Setelah Allah swt menyerukan hamba-Nya untuk beribadah kepada Yang Maha Esa yang sekutu bagi-Nya, menyebarkan ihsan kepada seluruh kaum mukminin, dan menghinakan orang-orang yang menghina kebenaran dan menyimpang darinya, Dia memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berpegang teguh pada dasar keimanan yang memiliki cabang-cabang hukum, yang di atasnya masyarakat Islam harus meletakkan fondasi hukum. Yakni Allah merintahkan kaum mukminin agar menjalin dan mencintai persatuan di antara mereka, meninggalkan segala perselisihan dan perpecahan di antara mereka dengan cara kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah swt menegaskan bahwa kaum mukminin tidak boleh meragukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini harus menjadi dasar pijakan ketika terjadi perselisihan di antara mereka, yaitu harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena azas ini merupakan dasar dari seluruh syariat dan hukum Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah swt: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan Allah swt berikut ini:

أَ لَمْ تَرَ إِلى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْك وَ مَا أُنزِلَ مِن قَبْلِك يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلى الطغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشيْطنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضلَلا بَعِيداً

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu.” Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)

وَ مَا أَرْسلْنَا مِن رَّسولٍ إِلا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64)

فَلا وَ رَبِّك لا يُؤْمِنُونَ حَتى يُحَكِّمُوك فِيمَا شجَرَ بَيْنَهُمْ

“Demi Tuhanmu, mereka sebenarnya tidak beriman kecuali mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’: 65).

Berdasarkan pernyataan Allah swt tersebut tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud mentaati Allah adalah mematuhi semua ilmu dan syariat-Nya yang diwahyukan melalui Rasulullah saw. Adapun mentaati Rasulullah saw memiliki dua sisi:
Pertama: Syariat yang termaktub di dalam hadis dan sunnahnya, yaitu semua penjelasan Rasulullah saw tentang makna Al-Qur’an yang ijmali (global). Ini dinyatakan oleh Allah swt di dalam firman-Nya:

وَ أَنزَلْنَا إِلَيْك الذِّكرَ لِتُبَينَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيهِمْ

“Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Kedua: Ketetapan Rasulullah saw yang berkaitan dengan pemerintahan dan peradilan. Ini dinyatakan oleh Allah swt:

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْك الْكِتَب بِالْحَقّ‏ِ لِتَحْكُمَ بَينَ النَّاسِ بمَا أَرَاك اللَّهُ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”
(An-Nisa’: 105).

Inilah ketetapan yang menjadi dasar hukum undang-undang peradilan di antara manusia. Rasulullah saw menjadikan ketetapan ini sebagai dasar hukum semua perkara yang dikehendaki. Dalam hal ini Allah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil keputusan:

وَ شاوِرْهُمْ فى الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْت فَتَوَكَّلْ عَلى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يحِب الْمُتَوَكلِينَ

“Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-Imran: 159).

Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa ketataan kepada Rasulullah saw miliki makna tertentu, dan mentaati Allah swt juga memiliki makna tertentu. Yang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah itu sendiri. Inilah makna ketaatan kepada Rasulullah saw sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam firman sebelumnya, yaitu: “Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. ” (An-Nisa’: 64).

Allah swt yang paling mengetahui maksud pengulangan perintah “ketaatan” dalam ayat ini, yaitu:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ

Kebanyakan mufassir tidak menjelaskan bahwa pengulangan tersebut sebagai “taukid” (penguat) dalam istilah ilmu bahasa arab. Sekiranya tanpa pengulangan, misalnya:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ الرَّسولَ

maksud ayat ini dapat dicapai, karena memang pada hakikatnya ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah swt, yakni dua ketaatan ini pada hakikatnya satu; maka sia-sialah pengulangan yang menunjukkan taukid itu.

Tentu, sebenarnya dalam pengulangan itu ada maksud dan tujuannya. Perlu diketahui bahwa “Ulil-Amri” itu tidak menerima wahyu. Mereka hanya mempunyai ketetapan dan pendapat, mereka wajib ditaati jika mereka sesuai dengan ketetapan dan sunnah Rasulullah saw. Karena itu, ketika Allah menyebutkan keharusan mengembalikan keputusan, Dia hanya menyebutkan Allah dan Rasul-Nya:
“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59).

Kepada siapa ditujukan perintah “mengembalikan keputusan kepada Allah dan Rasul-Nya”? Hanya orang-orang mukmin? Atau keduanya yaitu orang-orang mukmin dan ulil-amri?
Jawabannya: hanya orang-orang mukmin. Ini ditegaskan khithab firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…”

Karena yang dimaksud dengan “Jika terjadi perselisahan pendapat” adalah perselisihan pendapat yang terjadi di antara orang-orang mukmin, bukan perselisihan orang-orang mukmin dengan ulil-amri. Karena sebenarnya orang-orang mukmin tidak boleh terjadi perselisihan dengan ulil-amri. Mengapa? Karena ulil-amri wajib ditaati.

Penjelasan ini dikuatkan oleh “Qarinah” (kaitan) ayat-ayat berikutnya, yang mencela orang-orang yang kembali pada hukum thaghut, tidak kembali pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Padahal hukum Allah dan Rasul-Nya tempat mengembalikan semua persoalan yang diperselisihkan. Yakni hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an dan sunnah adalah dua hujjah yang qath’i bagi orang-orang yang memahaminya secara mendalam. Sementara dalam hal ini, semestinya yang paling memahaminya secara mendalam adalah ulil-ami sebagai penerus Rasulullah saw. Selain itu, perintah Allah swt dalam ayat ini tentang ketaatan kepada ulil-amri tanpa syarat dan batas. Karena ketaatan kepada ulil-amri, sebagai penerus Rasulullah saw, adalah ketaatan kepada Rasulullah saw, dan ketaatan kepada Rasulullah saw adalah ketaatan kepada Allah swt.

Dari uraian ini jelaslah bahwa ulil-amri bukanlah mereka yang membuat hukum baru, dan menghapus hukum yang telah ditetaptkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi perselisihan dengan ulil-amri, karena ketetapan ulil-amri sebenarnya adalah ketetapan Rasulullah saw. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah swt:

وَ مَا كانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضى اللَّهُ وَ رَسولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لهَمُ الخْيرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَن يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسولَهُ فَقَدْ ضلَّ ضلَلاً مُّبِيناً

“Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin dan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).

Siapakah Ulil-amri?
Ulil-Amri harus ma’shum.

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya jelaslah bahwa ketetapan Rasulullah saw adalah ketetapan Allah swt dalam persoalan ini dan persoalan yang lebih umum. Karena itu untuk kelangsungan persoalan ini kita harus memfokuskan pandangan pada persoalan wilayah, kepemimpinan Islam; menggali rahasia hukum Allah dan Rasul-Nya tentang persoalan ini dan persoalan yang lain.

Bagi kita tidak ada pilihan yang lan tentang ulil-amri dan ketetapannya kecuali apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Allah tidak menyebutkan ulil-amri ketika menyuruh mengembalikan keputusan saat terjadi perselisihan:

فَإِن تَنَزَعْتُمْ فى شىْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلى اللَّهِ وَ الرَّسولِ

“Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa’: 59).
Ini menunjukkan adanya satu ketaatan kepada Allah, dan satu ketaatan kepada Rasulullah dan ulil-amri. Karena Allah swt berfirman:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ

“Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil-amri kalian.”.

Ini menunjukkan adanya ketaatan mutlak kepada Rasulullah saw, dan beliau tidak mungkin memerintahkan atau melarang sesuatu yang bertentangan dengan Allah swt. Dan ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Rasulullah saw tanpa adanya kema’shuman beliau, penjagaan dari Allah swt.

Demikian juga kema’shuman itu harus dimiliki oleh ulil-amri. Orang yang tidak mendalam pandangannya tentang makna Al-Qur’an, ia mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya konsep kema’shuman. Karena itu mereka mengatakan bahwa ulil-amri tidak harus ma’shum, terjaga dari salah dan dosa.

Mereka mengatakan, ayat ini hanya menjelaskan hukum tentang kemaslahatan umat Islam dan masyarakatnya agar terpelihara dari perselisihan dan peperangan sesama umat Islam. Karenanya ulil-amri harus ditetapkan dan dipilih oleh umat dan masyarakat. Mereka memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi ulil-amri guna dapat melangsungkan Islam dan ia wajib ditaati. Mereka sebenarnya sadar bahwa ulil-amri mereka punya peluang besar untuk melakukan kemaksiatan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Jika ulil-amri melakukan kesalahan atau kemaksiatan, maka ia tidak boleh diaati dan harus dinasehati. Jika tidak jelas kesalahan dalam menetapkan hukum, maka keputusan hukumnya boleh dilaksanakan. Jika jelas kesalahannya, maka tidak perlu diperhatikan kesalahannya demi kemaslahatan dan persatuan masyarakat Islam, dan agar pemerintahan Islam terpelihara dari perpecahan. Mereka menganggap hal seperti ini sebagai kemaslahatan walaupun harus menanggung banyak keraguan dan kesalahan. Inilah pendapat kebanyakan mufassir.

Pendapat seperti inilah yang menyatakan: inilah kondisi ulil-amri yang dimaksudkan oleh ayat ini, dan yang wajib ditaati. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin wajib mentaati ulil-amri; jika ia menyalahi Al-Qur’an dan sunnah, maka ia tidak boleh diaati dan tidak boleh dilaksanakan keputusannya, karena Rasulullah saw bersabda:

لاطاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah swt.”.

Hadis ini nampak membatasi kemutlakan makna ayat ini. Jika kesalahan dan pelanggaran ulil-amri diketahui harus dikembalikan pada kebenaran hukum Al-Qur’an dan sunnah. Jika kesalahan itu tidak diketahui secara jelas, maka hukumnya tetap dilangsungkan seperti tidak ada kesalahan, demi kemaslahatan, persatuan, dan kejayaan umat Islam. Pandangan seperti ini merujuk secara lahiriyah pada kaidah Ushul Fiqih. Yakni, demi kokohnya kondisi hukum dalam realita, jika terjadi perbedaan yang mengarah pada kerusakan yang lazim, maka dapat diperbaiki dengan kemaslahatan. (Disarikan dari tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i, tentang surat An-Nisa’: 59).

2.  Syi’ah Taklid Saja Pada Imam Ali AS karena Sabda Nabi saw: “Ali dariku, Ali bersama Al-Qur’an, Aku memerangi orang yang memerangi Ahlul bait”.


 Pewaris ilmu Nabi saw bukanlah sembarang manusia, tetapi ia adalah pilihan Allah dan Rasul-Nya. Tidaklah mudah mengemban samudera ilmu Ilahi yang sangat luas kecuali orang yang memiliki legalitas dari Allah dan Rasul-Nya.At-Tirmidzi Al-Hanafi meriwayatkan dalam Al-Kawkab Ad-Durri bahwa Umar bin Khaththab berkata: Ketika Rasulullah saw menjalin persaudaraan di antara sahabat-sahabatnya, beliau bersabda:

هَذَا عَلِيٌّ أَخِي فِي الدُّنْيَا وَالاَخِرَةِ، وَخَلِيْفَتِي فِي أَهْلِي، وَوَصِيِّي فِي أُمَّتِي، وَوَارِثُ عِلْمِي، وَقَاضِي دِيْنِي، مَالَهُ مِنِّي وَمَالِي مِنْهُ، نَفْعُهُ نَفْعِي وَضُرُّهُ ضُرِّي، مَنْ أَحَبَّهُ فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَبْغَضَهُ فَقَدْ أَبْغَضَنِي

“Inilah Ali saudaraku di dunia dan di akhirat, khalifahku dalam keluargaku, washiku bagi ummatku, pewaris ilmuku, pemutus hukum dalam agamaku, apa yang dimilikinya dariku dan darinya apa yang kumiliki, manfaatnya adalah manfaatku, dan mudharratnya adalah mudharratku; barangsiapa yang mencintainya ia mencintaiku, dan yang membencinya ia membenciku.”
Hadis ini terdapat di dalam kitab:
1. Al-Kawkab Ad-Durri, halaman 134.
2. Yanabi’ul Mawaddah, halaman 251.


Dalam Shahih Ath-Tirmidzi 2: 297, kitab manaqib, bab 20:
Imran bin Hashin berkata: Pada suatu hari Rasulullah mengirim pasukan di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib (sa). Setelah peperangan itu terjadilah musibah pada seorang budak perempuan, lalu mengingkarinya. Empat orang dari sahabat Nabi saw saling berjanji dan berkata: Jika nanti kami berjumpa dengan Rasulullah saw, kami akan memberitakan kepadanya apa yang dilakukan oleh Ali (sa). Ketika kaum muslimin kembali dari perjalanannya, mereka menjumpai Rasulullah saw, lalu mengucapkan salam padanya lalu mereka pulang. Kemudian datanglah rombongan pasukan dan mereka mengucapkan salam kepada Nabi saw, lalu berdirilah salah seorang dari empat orang sahabat itu dan berkata: Ya Rasulallah, tidakkah melihat Ali bin Abi Thalib melakukan demikian dan demikian? Kemudian Nabi saw berpaling darinya. Kemudian yang satu lagi berdiri dan berkata seperti yang pertama, kemudian Nabi saw berpaling darinya. Kemudian yang ketiga berdiri dan berkata dengan perkataan yang sama, kemudian Nabi saw berpaling darinya. Kemudian yang keempat berdiri dan berkata dengan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah saw menghadap kepada mereka dengan nampak marah di wajahnya dan bersabda:

ما تريدون من عليّ ؟ ما تريدون من عليّ ؟ ما تريدون من عليّ ؟ إن علياً مني وأنا منه ، وهو ولي كل مؤمن بعدي

“Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali adalah dariku dan aku darinya, dia adalah pemimpin setiap mukmin sesudahku.”
Hadis ini juga terdapat dalam kitab:
1. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 4 halaman 437, hadis ke 19426.
2. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 halaman 110, kitab Ma’rifah Ash-Shahabah.
3. Musnad Abu Dawud, jilid 3 halaman 111, hadis 829.
4. Hilyah Al-Awliya’, Abu Na’im, jilid 6 halaman 294.
5. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 6 halaman 399: Fadhail Ali (sa).
6. Khashaish An-Nasa’i, halaman 23.
Dalam Shahih At-Tirmidzi 2: 299, bab 21, hadis ke 3716:
Barra’ bin ‘Azib berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali (sa):

أنت مني وأنا منك

“Engkau dariku dan aku darimu.” (juga dalam Khashaish An-Nasa’i, halaman19)
Dalam Shahih At-Tirmidzi 2: 299, kitab Manaqib, bab 21, hadis ke 3719:
Habasyi bin Junadah berkata bahwa Rasulullah saw:

عليّ مني وأنا من عليّ ولا يؤدّي عني إلاّ أنا أو علي

“Ali dariku dan aku dari Ali, dan tidak akan mengenalku yang sebenarnya kecuali aku dan Ali.”
Hadis ini juga terdapat dalam:
1. Sunan Ibnu Majah, halaman 12, Mukaddimah, bab 11, hadis ke 119.
2. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 4 halaman 164 dan 165, hadis ke 17051, 17052, 17056, 17057, 17058.
3. Khashaish An-Nasa’i, halaman 19 dan 20.
4. Ar-Riyadh An-Nadhrah, Muhibuddin Ath-Thabari, jilid 2 halaman 174.


Hazrat Ali ( A.S ) and Twelve Stars
Add caption


Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 124, manaqib Ali bin Abi Thalib (sa): Ummu Salamah (isteri Nabi saw) berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

عليّ مع القرآن والقرآن مع عليّ لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

“Ali bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an bersama Ali, keduanya tak akan terpisahkan sehingga keduanya kembali kepadaku di telaga surga.” Al-Hakim mengatakan: Hadis ini shahih.
Hadis ini dan semakna juga terdapat dalam kitab berikut:
1. Faydh Al-Qadir, Al-Manawi, jilid 4 halaman 356.
2. Kanzul ummal, jilid 6 halaman 153, hadis ke 32912.
3. Majma’ Az-Zawaid, jilid 9 halaman 134.
4. Nurul Abshar, Asy-Syablanji, halaman 72.
Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 75: Dalam suatu riwayat dinyatakan: menjelang wafatnya Rasulullah saw bersabda:

أيها الناس يوشك أن أقبض قبضاً سريعاً فينطلق بي وقد قدمت اليكم القول معذرة اليكم : ألا إني مخلف فيكم كتاب ربي عزوجل ، وعترتي أهل بيتي ، ثم أخذ بيد علي (عليه السلام) فرفعها فقال : هذا عليّ مع القرآن والقرآن مع عليّ لا يفترقان حتى يردا علي الحوض فاسألوهما ما خلفت فيهما

“Wahai manusia, sebentar lagi aku akan meninggalkan kalian, aku akan menyampaikan pada kalian perkataan yang berat bagi kalian: Ingatlah, aku tinggalkan pada kalian kitab Tuhanku Azza wa Jalla dan keturunanku Ahlul baitku.” Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali (sa) dan mengangkatnya lalu bersabda: “Ini Ali bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisahkan sehingga keduanya kembali kepadaku di telaga surga. Maka hendaknya kalian bertanya kepada keduannya tentang apa saja sepeninggalku.”

Hazrat Ali ( A.S ), Hazrat Pir Haci Bektas Veli, Pir Sultan Abdal...
Dalam Shahih At-Tirmidzi 2/319, bab 61, hadis ke 3870:
Zaid bin Arqam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn (sa):

أنا حرب لمن حاربتم وسلم لمن سالمتم

“Aku memerangi orang yang kalian perangi, dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya.”
Dzakhair Al-‘Uqba, halaman 25:
Rasulullah saw juga bersabda:

أنا حرب لمن حاربكم وسلم لمن سالمكم

“Aku memerangi orang yang memerangi kalian, dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.”
Dalam Musnad Ahmad 2/442, hadis ke 9405:
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw memandang pada Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn (sa), lalu bersabda:

أنا حرب لمن حاربكم وسلم لمن سالمكم

“Aku memerangi orang yang memerangi kalian, dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.”
Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Sunan Ibnu Majah, bab 11, hadis ke 145.
2. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3 halaman 149, kitab ma’rifah shahabah.
3. Usdul Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5 halaman 523, hadis ke 2479.
4. Kanzul ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 6 halaman 216, bab Fadhail Ahlul bait (sa), hadis ke 34159, mengutip dari Ibnu Hibban. Jilid 7 halaman 107, bab Fadhail Ahlul bait (sa), hadis ke 37618, mengutip dari Ibnu Syaibah, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thabrani, Al-Hakim dan Adh-Dhiya’ Al-Muqaddisi.
5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 169, bab Fadhail Ahlul bait (sa).
6. Ar-Riyadh An-Nadhrah, jilid 2 halaman 199, bab 3 Manaqib Ali bin Abi Thalib (sa).
7. Dzakhair Al-‘Uqba, halaman 23, bab Fadhail Ahlul bait (sa).
8. Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.

Hazrat Ali ( A.S )

Hadis ini menegaskan bahwa Allah swt menghendaki manusia selamat dari kebinasaan, fisik dan ruhani, di dunia dan akhirat. Hadis ini merupakan penegasan jaminan keselamatan bagi umat Islam. Allah dan Rasul-Nya mengumpamakan Ahlul bait (sa) seperti bahtera Nabi Nuh (as) dalam hal menyelamatkan umatnya. Redaksi hadis ini bermacam-macam, antara lain:

Rasulullah saw bersabda:

مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق وهوى

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam dan celaka.”

مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.” Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak menyatakan bahwa hadis ini shahih berdasarkan persyaratan Muslim.

انما مثل أهل بيتي فيكم كمثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق

“Sungguh tiada lain perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.”

الا ان مثل أهل بيتي فيكم مثل سفينة نوح في قومه من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق

“Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh bagi kaumnya, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal ia akan tenggelam.”

الا ان مثل أهل بيتي فيكم مثل سفينة نوح في قومه من ركبها سلم ومن تركها غرق، وان مثل أهل بيتي فيكم مثل باب حطة بني إسرائيل من دخله غفر له

“Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlul baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh bagi kaumnya, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang meninggalkannya ia akan tenggelam; dan sesungguhnya perumpamaan Ahlun baitku bagi kalian seperti pintu benteng Bani Israil, barangsiapa yang memasukinya ia akan diampuni dosa-dosanya.”

مثل أهل بيتي مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تأخر عنها هلك

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barangsiapa yang terlambat ia akan binasa.”

مثل أهل بيتي فيكم كسفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها هلك

“Perumpamaan Ahlub baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menakinya ia akan selamat, dan barangsia yang tertinggal ia akan binasa.”.
Hadis Safinah sangat mutawatir, dan dengan bermacam-macam redaksinya hadis ini terdapat di dalam kitab:
1. Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, halaman 343, jilid 3, halaman 151.
2. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 184 dan 234.
3. Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
4. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 30 dan 370,cet Al-Haidariyah; halaman 27 dan 308, cet. Islambul.
5. Muhammadiyah, Mesir; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
6. Tarikh Al-Khulafa’, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i
7. Is’afur Raghibin, oleh Ash-Shabban Asy-Syafi’I, halaman 109, cet. As-Sa’idiyah; halaman 103, cet. Al-‘Utsamniyah.
8. Faraid As-Samthin, jilid 2, halaman 246, hadis ke 519.
9. Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh Ath-Thabrani, jilid 1, halaman 139.
10. Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi, halaman 235.
11. Majma’uz Zawaid, jilid 9, halaman 168.
12. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman 148 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah; halaman 111 dan 140, cet. Al-Maimaniyah, Mesir.
13. Nurul Abshar, oleh Asy-Syablanji, halaman 104, cet. As-Sa’idiyah.
14. Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Syafi’I, halaman 132, hadis ke: 174,175,176 dan 177, cet. Pertama, Teheran.
15. ‘Uyunul Akhbar, oleh Ibnu Qutaibah, jilid 1, halaman 211, cet. Darul Kutub Al-Mishriyah, Kairo.
16. Al-Fathul Kabir, oleh An-Nabhani, jilid 1, halaman 414; jilid 2, halaman 113.
17. Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf, halaman 113.
18. Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 95.
19. Syarh Nahjul Balghah, oleh Ibnu Abil Hadid, jilid 1, halaman 73, cet. Pertama, Mesir; jilid 1, halaman 218, cet. Mesir, dengan Tahqiq Muhammad Abul Fadhl.
20. Kunuzul Haqaiq, oleh Al-Mannawi, halaman 119, tanpa menyebutkan cetakan; halaman 141, cet. Bulaq.
21. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman: 27,28,181,183,193,261 dan 298, cet. Islambul; halaman 30,31,213,217,228,312 dan 375. cet. Al-Haidariyah.
22. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 9, halaman 270-293, cet. Teheran.
23. Muhammad wa li wa banuhu Al-Awshiya’, oleh Al-‘Askari, jilid 1, halaman 239-282, cet. Al-Adab.
24. Faraid As-Samthin, jilid 2, halaman 244, hadis 517.

3. Katakanlah : “Aku bangga menjadi Syi’ah 12, Apapun perbuatan imam maksum harus diikuti, tak usah TANYA KENAPA”

Miss Berger:
 Saya Memilih Syiah Setelah Mempelajari Kebangkitan Imam Husain.
Miss Berger seorang perempuan muda 22 tahun berkebangsaan Jerman kelahiran tahun 1991 yang telah menyelesaikan pendidikan Universitasnya di Inggris setelah mempelajari kitab-kitab mengenai kesyahidan Imam Husain as, menetapkan diri untuk memeluk keyakinan Islam mazhab Ahlul Bait as.

Miss Berger seorang perempuan muda 22 tahun berkebangsaan Jerman kelahiran tahun 1991 yang telah menyelesaikan pendidikan Universitasnya di Inggris setelah mempelajari kitab-kitab mengenai kesyahidan Imam Husain as, menetapkan diri untuk memeluk keyakinan Islam mazhab Ahlul Bait as.

Ahad (14/4) beliaupun menyatakan keIslamannya dengan bimbingan Ayatullah al Uzhma Sayyid Muhammad Shadiq Ruhani, salah seorang ulama marja taklid Syiah, dengan memilih Hosna sebagai nama barunya. Hosnapun menyatakan, ketertarikannya terhadap Islam bermula dari kegemarannya membaca banyak buku, terutama buku dengan tema-tema agama. Sampai kemudian dia mengaku tertarik mempelajari lebih jauh mengenai imam Husain as yang diketahuinya dari peringatan kesyahidan beliau yang marak dilakukan kaum muslimin diseluruh dunia pada hari Asyura dan Arbain.

Salah satu mengenai kesyahidan dan kebangkitan Imam Husain as yang paling dia gemari adalah buku karya Ayatullah Ruhani yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Hosna mengaku awalnya mengalami kesulitan untuk lebih banyak tahu mengenai Islam mazhab Ahlul Bait karena kurangnya kitab-kitab yang bisa ia pelajari. Diapun mengaku, ketertarikan warga Jerman mengenal Islam sangat besar, hanya saja, kitab-kitab rujukan mengenai Islam lebih banyak yang memperkenalkan mazhab Ahlus Sunnah sementara mazhab Ahlul Bait sangat sedikit. Karenanya kemudian ia sering melakukan korespondensi dengan kantor resmi Ayatullah Ruhani yang memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya yang membuatnya akhirnya memiliki kecintaan yang besar terhadap Islam dan Ahlul Bait. Bukti kecintaannya itu diperlihatkan dengan mendatangi langsung kantor resmi Ayatullah Ruhani di Qom Iran dan menyatakan keislaman dihadapan ulama marja taklid tersebut.

Ayatullah Ruhani menghadiakan sebuah al-Qur’an terjemahan Inggris dan mengucapkan selamat atas keislaman warga Jerman tersebut. Beliaupun memesankan agar Hosna melanjutkan untuk terus mempelajari Islam lebih dalam, mulai dari ushul agama sampai furu’din, melanjutkan untuk terus meneliti hakikat kebenaran. Ayatullah Ruhanipun juga menyebutkan untuk selalu siap memberikan jawaban atas pertanyaan ataupun syubhat yang diajukan dalam prosesnya mendalami Islam.

Sekilas mengenai Ayatullah Ruhani.
Ayatullah al Uzhma Sayyid Muhammad Shadiq Ruhani lahir sekitar 89 tahun lalu pada bulan Muharram 1345 HQ (1924 M) di kota suci Qom Republik Islam Iran. Lahir ditengah keluarga yang mencintai ilmu dan memulai pendidikan agamanya secara non formal dibawah bimbingan langsung ayahnya yang juga seorang ulama besar Ayatullah Mirza Mahmud Ruhani.

Pada tahun 1355 HQ (1934 M) diusia 10 tahun beliaupun memulai pendidikan formalnya mengenai ilmu agama di Hauzah Ilmiyah Najaf Irak yang merupakan pusat pendidikan Islam Syiah saat itu. Dengan bekal kecerdasan dan kegigihan yang beliau miliki beliau menamatkan pelajaran muqaddimah hanya dalam satu tahun, dan di usia 11 tahun telah diperkenankan untuk mengikuti kelas Kharij Fiqh dan Ushul yang dibimbing langsung oleh Ayatullah al Uzhma Khui dan menjadi murid termuda saat itu ditengah-tengah murid-murid lainnya yang rata-rata sudah menyandang gelar ulama, sehingga hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Ayatullah al Uzhma Khui mengatakan, “Saya berharap besar kelak penyebaran ilmu Ahlul Bait akan mengalami peningkatan pesat dibawah bimbingan anak muda ini. Sangat menakjubkan melihat seorang anak berusia 11 tahun telah sangat serius mempelajari kitab al Makasib karya Syaikh Anshari yang merupakan kitab pelajaran penting Hauzah Ilmiyah, dan diapun mampu memahaminya dengan lebih baik dibanding murid-murid lainnya.”

Selain mendapat bimbingan dari Ayatullah al Uzhma Khui, Ruhani muda juga meraup ilmu dari ulama-ulama besar lainnya saat itu. Diantaranya, Ayatullah al Uzhma Syaikh Kadzim Shirazi, Ayatullah Syaikh Muhammad Husain Esfahani, Ayatullah al al Uzhma Sayyid Muhammad Husain Tabatabai al Burujerdi. Hanya dalam rentang waktu 4 tahun kemudian, Ayatullah al Uzhma Khui mengeluarkan surat pernyataan yang bersejarah, bahwa Sayyid Muhammad Shadiq Ruhani telah mencapai derajat mujtahid. Sayyid Muhammad Shadiq Ruhani mencapai derajat mujtahid ketika usianya belum mencapai 15 tahun yang karena itu beliau telah diperkenankan memberikan pelajaran di Hauzah Ilmiyah Najaf.

Pada tahun 1950 beliau kembali kekota kelahirannya untuk mengajar di Hauzah Ilmiyah Qom, yang hanya dalam waktu singkat beliau telah memiliki ribuan murid dan pengikut. Selain mengajar beliau juga menghasilkan banyak karya ilmiah. Diantaranya yang paling terkenal adalah Fiqih al Shadiq 26 jilid yang ditulis dalam bahasa Arab, yang memuat masalah-masalah fiqh dalam mazhab Syiah. Kitab tersebut menjadi salah satu kitab rujukan penting bagi pelajar-pelajar di Hauzah Ilmiah. Selain menulis kitab ushul dan fiqh lainnya beliau juga menulis kitab syarah hadits, akhlak dan tarikh. Dan setiap hasil karyanya mendapat tempat di kalangan pengikut Syiah dan telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.
Pada tahun 1961 Ayatullah Ruhani telah mencapai derajat sebagai ulama marja taklid dan telah mengeluarkan risalah amaliah bagi para muqallidnya. Untuk mengenal beliau lebih detail pembaca bisa mengunjungi situs resmi beliau di http://www.rohani.ir/ yang tersedia dalam 3 pilihan bahasa, Arab, Inggris dan Persia.

2013/05/24 – 00:00
t

Cendikiawan Aljazair yang Beralih dari Maliki ke Ja’fari:
 Saya Yakin, mazhab Ahlul Bait adalah juga Islam Sejati itu Sendiri.
Dari penelitian yang saya lakukan, saya akhirnya paham bahwa segala sesuatunya harus berkesesuaian dengan penalaran rasio dan memuaskan akal. Dan ketika berhadapan dengan maktab Ahlul Bait as, akal saya merasa terpuaskan karena penjelasan yang ada memang sesuai dengan rasio dan dapat diterima oleh akal sehat. Hal yang saya tidak temui pada mazhab-mazhab lainnya, khususnya pada mazhab Maliki. 
DR. Fadhilah Qaseem, seorang fisikawan asal AlJazair yang mengantongi ijazah doktoral bidang sains yang diperolehnya dari universitas di Perancis dalam wawancaranya dengan wartawan ABNA yang menemuinya ketika sedang berziarah di makam Imam Husain as di Karbala Irak mengisahkan kembali pergulatannya mencari kebenaran dan akhirnya menemukannya dalam mazhab Ahlul Bait. Ilmuan yang juga mengurus yayasan Islam di Perancis tersebut menyatakan kesyiahannya secara terbuka 24 tahun silam beralih dari mazhab Sunni-Maliki yang sebelumnya dianutnya.

Berikut wawancara tersebut. Semoga bermanfaat.

Bagaimana anda bisa mengenal mazhab Ahlul Bait as?

-Saya mengenal mazhab suci ini melalui propaganda politik di dunia. Terjadinya revolusi Islam di Iran membuka mata dunia tentang Iran. Saat peristiwa itu terjadi, media-media massa baik cetak maupun elektronika menyiarkannya secara massif, disebutkan Iran adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim bermazhab Ahlul Bait atau Syiah. Tahun-tahun peristiwa revolusi itu terjadi saya masih seorang mahasiswa, dan baru saya ketahui ada mazhab lain dalam Islam selain Sunni. Akhirnya saya juga tahu, ternyata tidak sedikit teman kuliah saya yang bermazhab Syiah, mereka berasal dari Iran, Lebanon dan beberapa negara lainnya. Dari interaksi dengan mereka, pikiran saya terbuka mengenai perbedaan dan kemudian tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh.

Ketertarikan tersebut tidak hanya terhenti dengan diskusi dengan teman-teman kuliah yang bermazhab Syiah namun saya juga tiba-tiba menjadi peneliti dadakan. Kebetulan saat itu saya juga sedang dalam proses penulisan tugas akhir, akhirnya saya keranjingan melakukan penelitian terhadap kitab-kitab klasik Islam. Setiap saya tidak punya jam pelajaran, saya pasti ke perpustakaan dan membaca banyak kitab-kitab, khususnya kitab-kitab fiqh dan agama yang saat itu cetakannya masih sangat terbatas.

Tahun 1988, saya berziarah ke makam Hadhrat Zainab as. Disana saya menghadiri majelis-majelis keagamaan dengan penceramah dari ulama-ulama Syiah. Hal tersebut, membuat ketertarikan saya terhadap mazhab Ahlul Bait semakin menjadi-jadi. Materi-materi ceramah dan penjelasan ulama-ulama dalam majelis keagamaan tersebut sangat rasional dan akalku sulit untuk membantahnya. Sehingga sayapun kemudian memberikan pengakuan pada saat itu, bahwa Syiah berada di jalan yang hak dan bertekad untuk lebih serius lagi mendalami mazhab Ja’fari tersebut.

Beberapa tahun setelahnya, saya dikaruniai oleh Allah seorang jodoh seorang pengikut Syiah yang taat. Sayapun dengan pernikahan tersebut, melalui bimbingan dan didikannya, memantapkan diri tanpa keraguan sedikitpun untuk berpindah mazhab. Dan sejak itu menjadikan mazhab Syiah sebagai caraku berislam. Pada tahun-tahun awal 90-an, saya melanjutkan pendidikan dan bersama suami kuliah di Perancis. Alhamdulillah, kami sukses menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar doktor di bidang fisika.

Saat ini saya mengabdi sebagai seorang dosen fisika, matematika dan kimia. Sayangnya, karena saya berjilbab saya tidak diperkenankan mengabdi di almamater meskipun dikatakan saya memenuhi persyaratan akademis untuk mengajar di mantan kampus saya tersebut.

Ketika  anda melakukan penelitian dan pencarian mengenai mazhab yang hak, mengapa anda memilih berhenti dan fokus pada pemikiran Ahlul Bait as?

-Masalah sebenarnya bukan hanya berkenaan dengan pemikiran, pencarian dan penelitian melainkan sudah sampai tahap dialog dengan batin, saya tidak bisa lagi mengelak ketika hati nurani saya yang meronta dan berteriak untuk bisa menerima kebenaran mazhab yang suci ini. Setiap saya mendengar kisah mengenai Ahlul Bait ataupun pelajaran-pelajaran yang berkenaan dengan mazhab Ahlul Bait bukan hanya membuat akalku tertunduk namun juga mengaduk-aduk perasaan dan jiwaku. Apa yang telah dibenarkan oleh hati nuraniku, sulit bagiku untuk menolaknya dan sayapun meyakini yang ditunjukkan dan dimantapkan oleh hatiku, itulah yang benar.

Mengingat tidak mudah seseorang untuk berpindah dan mengubah keyakinan bahkan yang ada adalah beragam kesulitan yang berat, faktor apa yang membuat anda yakin tidak ada masalah dari perubahan keyakinan anda?

-Dari penelitian yang saya lakukan, saya akhirnya paham bahwa segala sesuatunya harus berkesesuaian dengan penalaran rasio dan memuaskan akal. Dan ketika berhadapan dengan maktab Ahlul Bait as, akal saya merasa terpuaskan karena penjelasan yang ada memang sesuai dengan rasio dan dapat diterima oleh akal sehat. Hal yang saya tidak temui pada mazhab-mazhab lainnya, khususnya pada mazhab Maliki. Dengan penelitian yang butuh waktu bertahun-tahun dalam mencari kebenaran meskipun pada awalnya saya melakukan dengan sembunyi-sembunyi namun ketika isu tersebut saya perbincangkan ditengah-tengah keluarga saya yang bermazhab Sunni tidak ada seorangpun yang mampu memalingkan keyakinan saya. Sebab tidak ada dari mereka yang mampu mematahkan argumen saya mengapa saya beralih kemazhab Ahlul Bait as.

Ketika anda berada di Perancis selain kuliah, apa saja yang anda lakukan?

-Hal yang pertama kali saya lakukan adalah menjadi aktivis masjid. Saya libatkan diri saya dalam setiap kegiatan-kegiatan di masjid. Sebab saya yakin, perempuan diciptakan bukan hanya terbatas pada urusan rumah tangga dan mendidik anak saja, namun juga  mampu memberi peran pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dengan aktivitas saya di masjid, saya semakin mengenal banyak orang dan interaksi yang luas dengan saudara-saudara muslim dari beberapa negara yang berbeda. Alhamdulillah, saya menemukan diri lebih banyak memberi manfaat dengan melakukan hal tersebut.

Bagaimana anda bisa mempertahankan identitas keislaman anda ditengah kehidupan masyarakat yang bebas dan liberal seperti di Perancis? Dan apa saja yang telah anda lakukan untuk mendakwahkan Islam ditengah-tengah mereka?

-Saya harus jujur, dinegeri yang mengklaim diri menjunjung tinggi kebebasan dan hak asasi manusia, namun bagi kaum muslimin hidup di negeri tersebut justru menemukan banyak kesulitan. Utamanya bagi muslimah yang hendak menjaga hijab dan taat pada ajaran agama degan tetap mengenakan jilbab ditempat-tempat umum. Namun tekanan dan kesulitan yang kami hadapi tidak membuat kami menyerah. Dakwah Islam tetap kami lakukan. Karena tidak punya tempat khusus, kami sampai harus menyewa gedung khusus untuk menyelenggarakan majelis-majelis keagamaan. Alhamdulillah, berkat taufik dari Allah, saya telah menerjemahkan beberapa kitab agama ke dalam bahasa Perancis sehingga juga bermanfaat bagi non muslim yang hendak mengenal Islam.

Kami tidak hanya melakukan pendekatan antar mazhab namun juga sering melakukan acara seminar ilmiah dan dialog agama dengan menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, dari cendekiawan muslim, Kristiani dan Yahudi. Dalam pendekatan dakwah yang kami lakukan, kami sama sekali tidak secara khusus memperkenalkan mazhab Ahlul Bait ataupun Syiah. Kami memperkenalkan Islam secara umum. Saya sendiri meyakini, mazhab Ahlul Bait adalah juga Islam sejati itu sendiri.

4. kalau doktrin Syi’ah sesat, mengapa Nabi SAW suruh ikuti 12 khalifah Ahlul Bait yang akan memimpin umat Islam sampai akhir zaman ?


Hadis ini menunjukkan bahwa kita umat Islam dalam hal keilmuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, harus merujuk kepada Rasulullah saw dan kepada Ali bin Abi Thalib (sa) pasca Nabi saw. Walaupun maknanya satu, redaksi hadis ini bermacam-macam, antara lain:
Rasulullah saw bersabda:

أَنَا مَدِيْنَةُ اْلعِلْمِ وَعَلِيٌّ بَابُهَا فَمَنْ أَرَادَ اْلمَدِيْنَةَ فَلْيَأْتِ اْلبَابَ

“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang ingin memasuki kota ilmu maka datanglah pada pintunya.”

أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد البيت فليأت الباب

“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang ingin memasuki rumah, maka masuklah melalui pintunya.”

أنامدينة العلم وعلي بابها فمن أراد العلم فليأت الباب

“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang menginginkan ilmu maka datanglah ke pintunya.”

أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد العلم فليأت باب المدينة

“Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang menginginkan ilmu, maka datanglah pada pintu kota itu.”

أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد العلم فليأت من بابه

“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang menginginkan ilmu maka datanglah melalui pintunya.”

من أراد العلم فليأت الباب ومن أتى من غير الباب عد سارقاً وصار من حزب ابليس

“Barangsiapa yang menghendaki ilmu maka datanglah pada pintunya. Barangsiapa yang datang tidak melalui pintunya maka ia tergolong pencuri dan menjadi bagian dari pasukan iblis.”.

Al-Hakim menyebutkan dalam kitabnya Al-Mustadrak, bersanad dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:

أنا مدينة العلم وعلي بابها فمن أراد المدينة فليأت الباب

“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, barangsiapa yang ingin ke kota itu maka datanglah pada pintunya.” .

Al-Hakim mengatakan: sanad hadis ini shahih, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan.

يا علي أنا مدينة الحكمة وأنت بابها ولن تؤتى المدينة الا من قبل الباب

“Wahai Ali, aku kota hikmah dan kamu adalah pintunya. Tidak akan sampai pada kota hikmah kecuali melalui pintunya.”.

Hadis Kota Ilmu dengan bermacam-macam redaksinya terdapat dalam:
1. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 126.
2. Tarikh Baghdad, Al-Khathib, jilid 2, halaman 377.
3. Ash-Shawa’iqul Muhriqag, Ibnu Hajar, halaman 183, cet Istambul.
4. Yanabi’ul Mawaddah, halaman 37.
5. Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir, jilid 7, halaman 357.
6. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, catatan kaki Musnad Ahmad jilid 5, halaman 30
7. Al-Isti’ab, Ibnu Abd Al-Birr, jilid 2, halaman 461.
8. Ar-Riyadh An-Nadhrah, jilid 2, halaman 193.
9. Dzakhairul Uqba, halaman 77.
10. Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jilid 2, halaman 236.
11. Kifayah Ath-Thalib, Al-Kanji Asy-Syafi’i, halaman 99.
12. Talkhish Al-Mustadrak, Adz-Dzahabi, jilid 3, halaman 126.
13. Lisanul Mizan, Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 1, halaman 432.
14. Tahdzib Adz-Tahdzib, jilid 6, halaman 320.
15. Fathul Kabir, An-Nabhani, jilid 1, halaman 276.
16. Tarikh Al-Khulafa’, As-Suyuthi, halaman 170.
17. Jami’ush Shaghir, jilid 1, halaman 364.

Murtad dalam hadis Syi’ah artinya berbuat bid’ah, jadi bukan bermakna keluar dari Islam. Syi’ah bukan menyatakan murtad tulen atau kafir tulen.
.
Wahabi  belum memberikan komentar tentang hadits-hadits ahlu sunnah yang menyatakan bahwa sebagian besar para sahabat itu murtad sepeninggal Nabi. Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya, Kitab al-Riqaq, bab al-Haudh halaman 379-386 menyatakan bahwa mayoritas para sahabat Rasulullah saw telah murtad sepeninggal wafatnya Rasulullah. Hanya segelintir dari mereka yang selamat. Rasulullah bersabda, “Aku mendahului kalian di Haudh dan sebagian dari kalian akan dibawah kehadapanku, kemudian mereka dipisahkan jauh dariku. Aku (akan) bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah sahabatku (ashabi). lalu dijawab: sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka setelah engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathuu ba’da-ka). Pada riwayat yang lain Rasulullah juga bersabda: “Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku, lalu dia berfirman: Sesungguhnya Engkau tidak mengetahuai apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka telah menjadi murtad ke belakang (inna-hum irtadduu ‘ala a’qabi-him al-Qahqariy)”. Riwayat-riwayat diatas, dikutip dari The Translation of the Meanings of sahih Al-Bukhari Arabic-English Vol. VIII oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, Islami University, Medina Al-Munawwara


Hadis tentang dua belas Imam redaksinya bermacam-macam, saya hanya menyebutkan sebagian saja:

1. Dalam Shahih Bukhari juz 4, kitab Ahkam:
Diriwayatkan oleh Jabir bin Sammarah, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda:

يكون بعدي إثنا عشر أميراً، فقال كلمة لم أسمعها، فقال أبي أنه قال كلهم من قريش

“Sesudahku ada dua belas amir (pemimpin)”. Kemudian beliau menyabdakan suatu kalimat yang aku tidak mendengarnya; lalu ayahku mengatakan bahwa Nabi saw bersabda: “Mereka semuanya dari golongan Quraisy.”

2. Dalam Shahih Muslim, bermacam-macam redaksi:

جابر بن سمرة قال دخلت مع أبي على النبي (صلى الله عليه وآله) فسمعته يقول (إن هذا الامر لا ينقضي حتى يمضي فيهم إثنا عشر خليفة) قال ثم تكلم بكلام خفي علي قال: فقلت لابي ما قال، قال «كلهم من قريش»

Jabir bin Sammarah berkata: aku bersama ayahku datang kepada Nabi saw, lalu aku mendengar beliau bersabda: “Sungguh persoalan ini tidak akan selesai sehingga berada di bawah pimpinan dua belas khalifah.” Kemudian beliau mengucapkan suatu kalimat yang tidak jelas bagiku. Kemudian aku bertanya kepada ayahku tentang apa yang diucapkan oleh beliau. Ayahku berkata bahwa Nabi saw bersabda: “semuanya dari quraisy.” (Shahih Muslim jilid 4, halaman 79).

Nabi saw bersabda:

لا يزال الدين قائماً حتى تقوم الساعة ويكون عليهم إثنا عشر خليفة كلهم من قريش

“Agama akan selalu tegak sampai hari kiamat di bawah pimpinan dua belas khalifah yang semuanya dari golongan quraisy.” (Shahih Muslim jilid 2, bab manusia mengikuti Qurasy).

Sebagian lagi redaksinya:

لا يزال الاسلام عزيزاً إلى اثنى عشر خليفة كلهم من قريش

“Islam selalu mulia di bawah pimpinan dua belas khalifah yang semuanya dari quraisy.” Redaksi yang lain:

لا يزال أمر الناس ماضياً ما وليهم إثنا عشر رجلاً كلهم من قريش

“Persoalan manusia senantiasa sempurna di bawah pimpinan dua belas orang, semuanya dari quraisy.”

Sebagian redaksinya:

لا يزال هذا الدين عزيزاً منيعاً إلى إثنا عشر خليفة كلهم من قريش

“Agama ini akan selalu mulia dan terjaga di bawah pimpinan dua belas khalifah, semuanya dari quraisy.”

3. Shahih At-Turmidzi, jilid 2:

لا يزال الاسلام عزيزاً إلى اثنى عشر امـيرا كلهم من قريش

“Islam akan selalu tegak di bawah pimpinan dua belas amir yang semuanya dari quraisy.”.

4. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 398:

عن الشعبي عن مسروق قال كنا جلوساً عند عبد الله بن مسعود وهو يقرئنا القرآن فقال له رجل يا أبا عبد الرحمن هل سألتم رسول الله (صلى الله عليه وآله) كم تملك الامة من خليفة فقال عبد الله بن مسعود ما سألني عنها أحد منذ قدمت العراق قبلك ثم قال نعم ولقد سألنا رسول الله (صلى الله عليه وآله)فقال اثنا عشر كعدة نقباء بني إسرائيل

Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dari Masyruq, ia berkata, aku pernah duduk-duduk dengan Abdullah bin Mas’ud, ia membacakan ayat Al-Qur’an kepada kami. Kemudia ada seseorang bertanya kepadanya: wahai Aba Abdurrahman, apakah kamu pernah bertanya kepada Rasulullah saw berapa jumlah khalifah yang akan memimpin ummat. Kemudian Ibnu Mas’ud menjawab: Ya, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda: “Dua belas khalifah seperti jumlah pemimpin Bani Israil.”
Dalam redaksi yang lain:

عن جابر بن سمرة قال سمعت رسول الله (صلى الله عليه وآله) يقول في حجة الوداع لا يزال هذا الدين ظاهراً على من ناواه ولا يضره مخالف ولا مطارق حتى يمضي من امتي إثنا عشر أميراً كلهم من قريش

Diriwayatkan dari Jabir bin Sammarah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda dalam haji wada’: “Agama ini selalu jelas pada orang yang bermaksud padanya, dan membahayakan padanya orang yang menentang dan menyerangnya, sehingga berlalu dari ummatku dua belas amir yang semuanya dari quraisy.” (Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, halaman 89).

5. Shawa’iqul Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 11, pasal 2:

عن جابر بن سمرة أن النبي صلى الله عليه وآله قال: «يكون بعدي إثنا عشر أميراً كلهم من قريش.

Diriwayatkan dari Jabir bin Sammarah bahwa Nabi saw bersabda: “Akan ada sesudahku dua belas amir semuanya dari quraisy.”

6. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi, jilid 6, halaman 160:

عن النبي صلى الله عليه وآله أنه قال: يكون بعدي إثنا عشر خليفة

Dari Nabi saw, beliau bersabda: “Akan ada sesudahku dua belas khalifah.”

7. Dalam Kitab Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qunduzi Al-Hanafi, bab 95:

جابر بن عبدالله قال: قال رسول الله (صلى الله عليه وآله) يا جابر أن اوصيائي وأئمة المسلمين من بعدي أولهم علي، ثم الحسن، ثم الحسين، ثم علي بن الحسين، ثم محمد بن علي المعروف بالباقر ستدركه يا جابر فإذا لقيته فاقراه مني السلام، ثم جعفر بن محمد، ثم موسى بن جعفر، ثم علي بن موسى، ثم محمد بن علي، ثم علي بن محمد، ثم الحسن بن علي، ثم القائم اسمه اسمى وكنيته كنيتي ابن الحسن ابن علي ذاك الذي يفتح الله تبارك وتعالى على يديه مشارق الارض ومغاربها، ذاك الذي يغيب عن أوليائه غيبة لا يثبت القول بامامته الا من امتحن الله قلبه للايمان قال جابر: فقلت يا رسول الله فهل للناس الانتفاع به في غيبته؟ فقال اي والذي بعثني بالنبوة انهم يستضيئون بنور ولايته في غيبته كانتفاع الناس بالشمس وان سترها سحاب هذا سر مكنون سر الله ومخزون علم الله فاكتمه الا عن أهله

Jabir bin Abdillah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Wahai Jabir, sesungguhnya para washiku (penerima wasiatku) dan para Imam kaum muslimin sesudahku adalah pertama Ali, kemudian Al-Hasan, kemudian Al-Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang terkenal dengan julukan Al-Baqir dan kamu akan menjumpainya wahai Jabir, dan jika kamu menjumpainya sampaikan padanya salamku; kemudian Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Al-Hasan bin Ali; kemudian Al-Qaim, namanya sama dengan namaku, nama panggilannya sama dengan nama panggilanku, yaitu putera Al-Hasan bin Ali, di tangan dialah Allah tabaraka wa ta’ala membuka kemenangan di bumi bagian timur dan barat, dialah yang ghaib dari para kekasihnya, ghaib yang menggoncangkan kepercayaan terhadap kepemimpinannya kecuali orang yang hatinya telah Allah uji dalam keimanan. Kemudian Jabir berkata, aku bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, apakah manusia memperoleh manfaat dalam keghaibannya? Nabi menjawab: Demi Zat Yang Mengutusku dengan kenabian, mereka memperoleh cahaya dari cahaya wilayahnya (kepemimpinannya) dalam keghaibannya seperti manusia memperoleh manfaat cahaya matahari walaupun matahari itu tertutup oleh awan; inilah rahasia Allah yang tersimpan dan ilmu Allah yang dirahasiakan, Allah menyimpannya kecuali dari ahlinya.


JUMLAH HADITS.
Tidak kurang dari 270 hadits tentang kedatangan 12 Imam atau 12 pemimpin atau 12 emir atau 12 khalifah sepeninggal Rasulullah. Jumlah yang persis 12 dan diulang-ulang itu tentu saja bukan sembarang angka yang tidak ada maknanya. Mengabaikan angka itu sama dengan mengabaikan risalah Islam yang disampaikan oleh Rasulullah. Rasulullah telah mewanti-wanti kita bahwa jumlah mereka yang 12 itu akan memimpin umat Islam sampai akhir zaman. Beberapa dari hadits-hadits tersebut ialah sebagai berikut:

1. Shahih al-Bukhari, vol. 4, halaman 168

Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Akan ada 12 pemimpin dan khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Ayahku berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Semuanya dari golongan Qurays’”
(Lihat Kitab al-Ahkam, Mesir 1351, no. 6682; lihat juga Shahih Muslim, Kitab al-‘Imarah, no. 3393, 3394, 3395, 3396, dan 3397; juga Sunan at-Turmudzi, Kitab al-Fitan, no. 2149; juga Sunan Abi Dawud, Kitab al-Mahdi, no 3731 dan 3732; juga Musnad Ahmad, Musnad al-Basyiryin, no. 19875, 19901, 19920, 19963, 20017, 20019, 20032, dan 20125)

2. Shahih Muslim, vol. 6, halaman 4 (Syarh Nawawi)

Rasulullah saw telah bersabda, “Agama ini akan tetap berdiri sampai 12 khalifah, yang semuanya dari golongan Qurays, memerintah atas kamu.”
(Lihat Kitab al-Imarah, no. 3398)

3. Shahih Muslim, vol. 6, halaman 3

Jabir meriwayatkan, “Aku dan ayahku pergi menemui Rasulullah saw. Kami mendengarnya bersabda, ‘Persoalan ini (khilafah) tidak akan berakhir sampai datang 12 khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak kudengar. Aku menanyakan pada ayahku apa yang Rasulullah saw sabdakan. Beliau saw bersabda, ‘Semuanya dari golongan Qurays’”
(Lihat Kitab al-Imarah, no. 3398, Mesir 1334)

4. Shahih Muslim, vol. 6, halaman 3

Jabir meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw yang agung bersabda, “Islam akan selalu besar hingga datang 12 Imam.” (Jabir berkata), “Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti. Aku bertanya pada ayahku, ‘Apa yang beliau katakana?’ Ia menjawab, ‘Semuanya dari golongan Qurays.’”
(Lihat Kitab al-Imarah, no. 3398)

5. Shahih at-Tirmidzi, vol. 2, halaman 45

Jabir berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Akan ada 12 Imam dan pemimpin setelahku.’ Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak dapat kumengerti. Aku menanyakan pada seseorang di sampingku tentang itu. Ia berkata, ‘Semuanya dari golongan Qurays.’”
(Lihat cetakan New Delhi (tahun 1342), no. 2149. Tirmidzi menulis tentang hadits ini, “Hadits ini baik dan shahih, diriwayatkan oleh Jabir dari jalur sanad yang berbeda. Hal yang sama dikutip dari Jabir dalam ‘Shahih Abi Daud’, vol. 2, cet. Matba’a Taziyah, Mesir. Kitab al-Manaqib halaman 207 no. 3731)

6. Musnad Ahmad, vol. 5, hal. 106

Rasulullah bersabda, “Terdapat dua belas khalifah untuk umat ini”
Catatan: Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad mengutip hadits tentang persoalan ini dalam tiga puluh empat rantai hadits yang berlainan dari Jabir.
(Lihat: Matba’a Miymaniyyah, Mesir 1313, Musnad al-Basriyyin, no. 19944)

7. Shahih Abu Daud, vol. 2, hal. 309

“Agama ini akan tetap agung sampai datang dua belas Imam.” Mendengar hal ini, orang-orang mengagunkan Allah dengan berkata, “Allahu Akbar” (Allah maha besar) dan menangis keras. Kemudian beliau mengatakan sesuatu dengan suara yang pelan. “Aku bertanya pada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan?’ ‘Mereka semua dari golongan Qurays,’ jawabnya.”
Catatan: Hakim Naysaburi meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang berbeda dari yang sebelumnya disebutkan.
(Lihat: Edisi pertama dari ‘Dar- Al-Fikr, 1334)
APA KATA AHLU SUNNAH MENGENAI HADITS-HADITS TENTANG 12 IMAM YANG ADA DI DALAM KITAB MEREKA?
Para ulama Ahlussunnah memiliki pendapat yang beraneka-ragam mengenai hal ini. Mereka sama sekali tidak bisa menolak keberadaan dan kesahihan dari hadits-hadits tersebut karena saking banyak jumlahnya dan saking sahih sanad yang dilalui oleh hadits-hadits itu. Mau tidak mau mereka juga mencoba untuk menyusun daftar para pemimpin atau khalifah atau amir atau imam yang menurut mereka cocok dengan risalah Nabi itu. Berikut nama ulama Ahlussunnah dan daftar-daftar yang telah mereka buat:
  1. Menurut Ibnu Katsir:

    “Mereka adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka. Menurut Ibnu Katsir Imam Mahdi bukan berasal dari Bani Hasyim melainkan Bani Umayyah.”
  2. Menurut Qadhi Damaskus:

    “Mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz. Di sini tidak ada Imam Mahdi yang dijanjikan.”
  3. Menurut Waliyyullah:

    seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud: “Mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.”
  4. Menurut Ibnu Qayim Jauzi:

    “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.
  5. Menurut Nurbasyti:

    ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.
  6. Dan menurut Maqrizi:

    Jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw. Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.”
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan:
”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”

Dengan itu maka, saudara-saudara kita dari golongan Ahlussunnah telah tersandera oleh ketidak-pastian tentang siapakah yang akan dirujuk dan dijadikan anutan untuk mendapatkan bimbingan dan pertolongan mengingat manusia itu memerlukan petunjuk Tuhan agar hidupnya senantiasa berjalan di atas kebenaran menuju kebahagiaan yang memang telah dijanjikan Tuhan.

Kaum Ahlussunnah akan senantiasa bertikai memperebutkan hak kepemimpinan karena mereka satu sama lain akan berlainan pendapat mengenai siapakah yang harus mereka ikut hingga akhir zaman. Kasus Ahmadiyyah adalah salah satu contoh klasik dimana ada kelompok yang tidak setuju dengan penafsiran siapakah yang disebut dengan IMAM MAHDI itu? Kaum Ahmadiyyah telah menentukan IMAM MAHDINYA sementara kelompok yang berseberangan memiliki IMAM MAHDI sendiri yang sampai saat ini masih mereka cari atau mungkin sebagian besar dari mereka tidak peduli.

Padahal hadits-hadits tentang 12 Imam yang ditutup oleh Imam Mahdi itu sangat shahih dan tak bisa dibantah keberadaannya. Mana mungkin mereka mendapatkan petunjuk kalau mereka tidak atau belum menentukan siapakah imam-imamnya secara pasti. Padahal mengenali Imam zamannya dan mengikuti bimbingan dan petunjuknya serta patuh dan taat padanya adalah bagian penting dari risalah suci ini. Rasulullah telah tiada meninggalkan kita, dan beliau mewariskan 12 pemimpin itu untuk kita ikuti bersama. Melupakan hadits-hadits suci itu sama saja dengan mengkhianati Nabi. Mengkhianati Nabi sama saja dengan keluar dari Islam dan hidup sebagai orang murtad. Pantas saja Nabi mewanti-wanti agar kita mengenali Imam kita. Lihatlah hadits-hadits berikut ini.
BAGAIMANA KATA HADITS TENTANG KEWAJIBAN MENGIKUTI PEMIMPIN?
Berikut akan saya paparkan beberapa hadits tentang kewajiban untuk memiliki, mengikuti dan mentaatipemimpin atauimam.
1. “Barangsiapa mati tanpa imam, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”
(lihat Majma’ az-Zawa’id, jilid 5, halaman 218; lihat juga Abu Dawud, Musnad, halaman 259 dari jalur ‘Abdullah bin Umar dan ditambahkan: “Dan barangsiapa menolak untuk taat, maka pada hari kiamat ia tidak punya hujjah, pembelaan”)
2. “Barangsiapa mati tanpa berbai’at maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah”
(lihat Shahih Muslim, jilid 6, halaman 22; lihat juga Baihaqi, Sunan, jilid 8, halaman 156; kemudian Ibnu Katsir dalamTafsir, jilid 1, halaman 517; Al-Haitsami dalam Al-Majma’, jilid 5, hal. 218)
3. “Barangsiapa meninggal dan tiada ketaatan (kepada imam), maka ia telah meninggal dalam keadaan jahiliyah”
(lihat Imam Ahmad dalam Musnad, jilid 3, hal. 446; Haitsami dalam al-Majma’, jilid 5, hal. 223)
4. “Barangsiapa meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah”
(lihat Al-Taftazani, Syarh al-Maqashid, jilid 2, hal. 275. Ia mengeluarkan  hadits ini dalam hubungan ayat (QS. An-Nisaa: 59) yang saya kutipkan di atas. Syaikh ‘Ali al-Qari, Al-Marqat fi Khatimah al-Jawahir al-Madhiyah, jilid 2, hal. 509, dan pada hal. 457 tatkala mengutip Shahih Muslim yang berbunyi: “Barangsiapa meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah”, ia menambahkan bahwa arti hadits tersebut adalah:“seseorang yang tidak mengetahui bahwa ia wajib mengikuti tuntunan imam pada zamannya.

SEMOGA KITA TIDAK DIGOLONGKAN MENJADI UMAT YANG KEHILANGAN PEGANGAN KARENA TIDAK MENGENALI IMAM ZAMANNYA. AMIN.


Surat AN-NISA’: 59;
Ulil amri adalah para Imam dari Ahlul bait (as)

يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ

“Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan Ulil amri kamu.”.

Yang dimaksud “Ulil-amri” dalam ayat ini adalah Ali bin Abi Thalib (as) dan Ahlul bait Nabi saw.
Dalam Tafsir Al-Burhan tentang ayat ini disebutkan suatu riwayat yang bersumber dari Jabir Al-Anshari (ra), ia berkata: Ketika Allah menurunkan ayat ini aku bertanya: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, tetapi siapakah yang dimaksud dengan Ulil-amri yang ketaatannya kepada mereka Allah kaitkan dengan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya? Rasulullah saw menjawab:

Wahai Jabir, mereka itu adalah para penggantiku: Pertama, Ali bin Abi Thalib, kemudian Al-Hasan, kemudian Al-Husein, kemudian Ali bin Al-Husein, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Muhammad bin Ali yang dalam Taurat gelarnya masyhur Al-Baqir. Wahai Jabir, kamu akan menjumpai dia, sampaikan salamku kepadanya. Kemudian Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Al-Hasan bin Muhammad, kemudian dua nama Muhammad dan yang punya dua gelar Hujjatullah di bumi-Nya dan Baqiyatullah bagi hamba-hamba-Nya yaitu Ibnul Hasan, dialah yang Allah perkenalkan sebutan namanya di seluruh belahan bumi bagian barat dan timur, dialah yang ghaib dari para pengikutnya dan kekasihnya, yang keghaibannya menggoyahkan keimamahannya kecuali bagi orang-orang yang Allah kokohkan keimanan dalam hatinya.”

Ringkasan Kritik Allamah Thabathaba’i terhadap Fakhrur Razi.
Fakhrur Razi mengatakan: Pembatasan kata Ulil-amri dengan kata minkum menunjukkan salah seorang dari mereka yakni manusia biasa seperti kita, yaitu orang yang beriman yang tidak mempunyai keistimewaan Ishmah Ilahiyah (jaminan kesucian dari Allah). Yang perlu diragukan adalah pendapat yang mengatakan: Mereka (Ulil-amri) adalah satu kesatuan pemimpin, yang ketaatan kepada masing-masing mereka hukumnya wajib.

Ar-Razi lupa bahwa makna ini sudah masyhur digunakan dalam bahasa Al-Qur’an, misalnya: “janganlah kamu mentaati orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)” (Al-Qalam: 8), “Janganlah kamu mentaati orang-orang kafir.” (Al-Furqan: 52), dan ayat-ayat yang lain dalam bentuknya yang bermacam-macam: kalimat positif, kalimat negatif, kalimat berita, kalimat perintah dan larangan.

Ringkasan Kritik Allamah Thabathaba’i terhadap Tafsir Al-Manar.
Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar yang Islami dan para pelopor kemerdekaan.

Inikah maksud dari Ulil-amri? Pendapat ini dan yang punya pandangan seperti ini telah menutupi makna Al-Qur’an yang sempurna dengan makna yang tidak jelas. Ayat ini mengandung makna yang jelas yaitu Ismah Ilahiyah (jaminan kesucian dari Allah) bagi Ulil-amri. Karena ketaatan kepada Ulil-amri bersifat mutlak, dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Apakah yang mempunyai sifat kesucian (‘ishmah) adalah para pemimpin lembaga-lembaga itu sehingga mereka dikatagorikan sebagai orang-orang yang ma’shum? Yang jelas tidak pernah terjadi para Ahlul hilli wal-‘Iqdi yang mengatur urusan ummat, mereka semuanya ma’shum. Mustahil Allah swt memerintahkan sesuatu yang penting tanpa mishdaq (ekstensi) yang jelas. Dan mustahil sifat ‘ishmah dimiliki oleh lembaga yang orang-orangnya tidak ma’shum, bahkan yang sangat memungkinkan mereka berbuat kezaliman dan kemaksiatan. Pendapat mereka ini jelas salah dan mengajak pada kesesatan dan kemaksiatan. Mungkinkah Allah mewajibkan kita taat kepada orang-orang seperti mereka?

Pendapat Ahlul Bait (as).
Ulil-amri adalah Ali bin Abi Thalib dan para Imam suci (as).
Dalam Tafsir Al-‘Ayyasyi tetang ayat ini menyebutkan bahwa:
Imam Muhammad Al-Baqir (as) berkata tentang ayat ini: “Mereka itu adalah para washi Nabi saw.”
Tentang ayat ini Imam Ja’far Ash-Shadiq (as) berkata: “Mereka adalah para Imam dari Ahlul bait Rasulullah saw.”

Tentang ayat ini Imam Muhammad Al-Baqir (as) berkata: “Mereka adalah para Imam dari keturunan Ali dan Fatimah hingga hari kiamat.”

Dalam kitab Yanabi’ul Mawaddah disebutkan suatu riwayat dari Salim bin Qais Al-Hilali, ia berkata bahwa Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata: “Yang paling dekat bagi seorang hamba terhadap kesesatan adalah ia yang tidak mengenal Hujjatullah Tabaraka wa Ta’ala. Karena Allah telah menjadikannya sebagai hujjah bagi hamba-hamba-Nya, dia adalah orang yang kepadanya Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentaatinya dan mewajibkan untuk berwilayah kepadanya.

Salim berkata: Wahai Amirul mukmin, jelaskan kepadaku tentang mereka (Ulil-amri) itu.
Amirul mukminin (as) berkata: “Mereka adalah orang-orang yang ketaataannya kepada mereka Allah kaitkan pada diri-Nya dan Nabi-Nya.” Kemudian ia berkata: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada Ulil-amri kalian.”

Salim bin Qais berkata: Wahai Amirul mukminin, jadikan aku tebusanmu, jelaskan lagi kepadaku tentang mereka itu.
Amirul mukminin (as) berkata: “Mereka adalah orang-orang yang oleh Rasulullah saw disampaikan di berbagai tempat dalam sabda dan khutbahnya, Rasulullah saw bersabda: ‘Sungguh aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan tersesat sesudahku: Kitab Allah dan ‘itrahku, Ahlul baitku’.”

Riwayat hadis ini dan yang semakna dengan hadis tersebut terdapat dalam:
1. Tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang ayat ini.
2. Tafsir Ath-Thabari tentang ayat ini.
3. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 3 halaman 357, tentang ayat ini.
4. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Syaikh Sulaiman Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 134, cet. Al-Haidariyah; halaman 114 dan 117, cet. Islambul.
5. Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, halaman 148, hadis ke 202, 203 dan 204.
6. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 3, halaman 424, cet. pertama, Teheran.
7. Faraid As-Samthin, jilid 1, halaman 314, hadis ke 250.


Dalam Usdul Ghabah 4/107, hadis ke 3934:
Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah melaknat tujuh golongan manusia, dan doa semua nabi pasti diijabah: orang yang menambah kitab Allah, orang yang mendustakan takdir Allah, orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, orang yang menghalalkan terhadap ‘itrah (keturunan)ku apa yang telah diharamkan oleh Allah, meninggalkan sunnahku, mengutamakan untuk dirinya harta rampasan perang, mendekati penguasa untuk memuliakan orang yang dihinakan oleh Allah dan menghinakan orang yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla.”

Hadis ini dan yang semakna terdapat dalam:
1. Kanzul Ummal, jilid 8 halaman 191 dan 192, hadis ke 44032 dan 44038.
2. Mizan Al-I’tidal, Adz-Dzahabi, jilid 2 halaman 119, hadis ke 4985.
3. Mustadrak Al-Hakim, jilid 1 halaman 36; 2/525; 4/90.
4. Dzakhair Al-Uqba, halaman 17.

5. Jika Hadis Syi’ah Palsu Semua Maka Hilanglah Satu Tsaqalain yakni Itrah Ahlul Bait.
Syi’ah tidak menganggap al-Kafi dll kitab hadis sebagai kitab suci yang tidak mungkin salah ! Jadi kutipan sunni dari kitab kitab syi’ah bukan bermakna itu semua i’tiqad syi’ah.

kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih.

Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.

cendekiawan Syiah menolak menyamakan kitab hadits al-Kafi dengan Shahih Bukhari. Mereka tidak setuju jika ada orang menilai kedudukan Al Kafi di sisi Syiah sama dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Bahkan mereka menuduh orang yang melakukan hal itu bertujuan untuk mengelabui orang  awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi.

Mereka mengakui bahwa Al Kafi, karya al-Kulaini memang menjadi rujukan Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Karena itu, dalam mengambil hadits sebagai rujukan, ulama Syiah akan menilai kedudukan haditsnya, baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama Sunni bahwa kitab tersebut paling shahih setelah Al Quran.

Mereka mengatakan bahwa Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudahnya telah menseleksi hadits dalam kitab tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.

Al-Sayyid Muhammad al-Mujahid al-Tabataba’i (1242H) juga mengemukakan hujah bahwa tidak semua riwayat al-Kafi sahih. Hal ini diungkapkan oleh Hasyim Ma’ruf Husyein dalam kitabnya,  Dirasat Hadits. (hal.135-136).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya Dirasah  fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum di sisi kami.”

Sudah jelas siapapun orangnya apakah Sunni atau Syiah, berhujjah dengan hadis dhaif adalah keliru. Kalau ia menganggap metode dirinya benar maka Syiahpun juga benar. Jika Syiah berdusta maka apa ia akan ikut berdusta pula. Bagaimana mungkin dikatakan dibolehkan berdusta asalkan digunakan untuk membantah kedustaan Syiah?
.
Kami tekankan bahwa kami tidak ada masalah dengan siapapun yang mau membela Ahlus Sunnah dan membantah Syiah ataupun sebaliknya tetapi harus diingat bahwa jangan sampai kebablasan dalam membantah sehingga memakai akhlak yang buruk dan lisan yang kotor. Apalagi jika lisan kotor tersebut diimbaskan juga pada orang lain yang bukan Syiah.  Dan yang paling menjijikkan adalah menjustifikasi lisan kotor-nya dengan mengatasnamakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Semoga Allah SWT melindungi kita dari keburukan yang seperti ini.

Ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?
Tentu jika membahas masalah Al Kafi membuat sebagian kalangan marah karena banyak riwayat-riwayat yang terdapat di dalamnya yang bertentangan dengan pemikiran Ahlusunnah. Namun saya sdikit memberikan gambaran tentang Al Kafi agar tidak terjadi perselisihan di tengah masyarakat Muslim yang di inginkan oleh musuh Islam. 
Mereka yang mengkritik Syiah telah membawakan riwayat-riwayat yang ada dalam kitab rujukan Syiah yaitu Al Kafi dalam karya-karya mereka seraya mereka berkata Kitab Al Kafi di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di sisi Sunni. Tujuan mereka berkata seperti itu adalah sederhana yaitu untuk mengelabui mereka yang awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi. Atau jika memang mereka tidak bertujuan seperti itu berarti Mereka lah yang terkelabui. 
Dengan kata-kata seperti itu maka orang-orang yang membaca karya mereka akan percaya bahwa riwayat apa saja dalam Al Kafi adalah shahih atau benar sama seperti hadis dalam Shahih Bukhari yang semuanya didakwa shahih.  Sungguh sangat disayangkan, karena kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. 
Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran. 
Kedudukan Al Kafi
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedududkan setiap hadisnya. 
Di antara ulama syiah tersebut adalah Allamah Al Hilli yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Pada awalnya usaha ini ditentang oleh sekelompok orang yang disebut kaum Akhbariyah. Kelompok ini yang dipimpin oleh Mulla Amin Astarabadi menentang habis-habisan Allamah Al Hilli karena Mulla Amin beranggapan bahwa setiap hadis dalam Kutub Arba’ah termasuk Al Kafi semuanya otentik. Sayangnya usaha ini tidak memiliki dasar sama sekali. Oleh karena itu banyak ulama-ulama syiah baik sezaman atau setelah Allamah Al Hilli seperti Syaikh At Thusi, Syaikh Mufid, Syaikh Murtadha Al Anshari dan lain-lain lebih sepakat dengan Allamah Al Hilli dan mereka menentang keras pernyataan kelompok Akhbariyah tersebut. (lihat Prinsip-prinsip Ijtihad Antara Sunnah dan Syiah oleh Murtadha Muthahhari hal 23-30). 
Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif. Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah (yaitu selain hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam Shahih Bukhari. 
Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah tentang kedudukan hadis tersebut. 
Catatan:
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al-Kafi maka sepatutnya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti dalam Al-Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama Syiah. 
Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni. Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang sekali. 
Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja. Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah (Rijal An Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku tersebut. 
Politik Adu Domba Zionis.
Sebenarnya perbedaan pemahaman dalam masalah hadis diatas merupakan hal yang sepele yang tidak menimbulkan perpecahan umat, namun selalu dalam hal ini oleh musuh-musuh islam di gunakan sebagai politik adu domba di tengah masyarakat Islam. Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, perbedaan antara Sunni-Syiah yang selama ini kerap muncul di permukaan, hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil. 
Perbedaan hanya terletak pada persoalan non-prinsipil furuiyyah yang dapat ditoleransi.  Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i meyakini, faktor lain yang amat kuat memengaruhi dan memanaskan konflik antara Sunni dan Syiah adalah kekuatan eksternal yang datang dari imperalis Barat.
Terutama politik dan konspirasi devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh protokol kaum Zionis yang hendak memecah belah umat. Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal Muslim, digunakan sebagai momen membenturkan dan mengadu domba berbagai kelompok itu.
Sunni menuduh hadis syi’ah penuh kebohongan, lalu Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?
Kenapa Bukhari tidak mengumpulkan hadis dari jalur Imam Ja’far Shadiq ??
Jika wahabi menuduh bahwa YANG SESAT BUKAN 12 iMAM, tetapi PENGiKUT nya, maka tanyakan kepada wahabi : “Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?”
Sebelum terlalu jauh, mari kita ingat beberapa fakta ini:
1. Syiah adalah mazhab Islam terbesar kedua setelah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh jumlah sangat signifikan penduduk negara-negara Timur Tengah (untuk tidak mengatakan mayoritas penduduk Teluk), tempat asal Islam.
3. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh mayoritas dua bangsa pemilik tradisi keilmuan paling kuat dan paling kaya di dunia Islam: Iran (90%) dan Irak (68%).
Kedua bangsa yang kemudian menjadi Muslim Syiah ini bisa dibilang adalah pemilik dua khazanah kultural pra Islam (Persia dan Akkadia, Asyuria & Babilonia di wilayah Mesopotamia) yang berkontribusi paling besar terhadap kemajuan umat manusia. Intinya, Persia + Babilonia memiliki “tradisi ilmiah” di atas kebanyakan penduduk Muslim lain–tanpa mengurangi rasa hormat kepada bangsa lain, karena saya sendiri bukan tergolong dari kedua bangsa tersebut.
Ada baiknya kita bertanya: Mungkinkah kedua bangsa pemilik tradisi ilmiah hebat dan kaya itu telah sampai pada tafsir agama yang lebih baik dari kita?
4. Mari kita lihat kembali data populasi Syiah berikut ini: Iran (90%), Iraq (65%–menurut sensus rezim Saddam yang berat sebelah dan tak menunjukkan fakta sebenarnya), Azerbaijan (85%), Lebanon (35-40%), Kuwait (35%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah), Turkey (25%), Saudi Arabia (10-15%–menurut sensus rezim Wahabi yang mengkafirkan Syiah), Yaman (40%), Uni Emirat Arab (15-20 % –menurut sensus rezim tribal Al-Nahiyan yang anti Iran) dan Bahrain (80%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah).

Nah, setelah melihat beberapa fakta di atas, marilah kita kembali ke topik hadis Syiah. Berikut saya berikan beberapa tanggapan umum—tanpa merujuk pada poin-poin yang ditulis sebelumnya karena saya takkan terlibat perdebatan:

1. Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kita-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada hadis Sunni. Saya tak pernah hitung berapa persis jumlah surplusnya, tapi yg jelas ada defisit  hadis dalam mazhab Sunni :-)

Dilema justru muncul di kalangan mazhab Ahlus Sunnah yang mengakhiri periode Sunnah pada masa Nabi Muhammad tapi penulisannya terjadi jauh setelah beliau wafat. Ada periode kevakuman yang panjang. Banyak peneliti yg mencurigai bahwa dalam periode ini telah terjadi produksi hadis palsu besar-besaran. Kecurigaan ini didukung berbagai fakta. Tapi saya lagi2 tak tertarik untuk lari2an ke topik lain.
Kekayaan Sunnah dalam mazhab Syiah ini beberapa ratus tahun lalu memunculkan dampak negatif berupa fenomena pola pikir Akhbari. Kaum Akhbari percaya bahwa sunnah 14 Ma’shum sudah mencakupi semua sisi kehidupan manusia, sehingga tak perlu ada ijtihad dan sebagainya. Tapi itu juga isu lain lagi.

2.  Setiap mujtahid dalam Syiah tidak menyandarkan keabsahan hadis pada si pengumpul hadis, namun mereka harus melakukan verifikasi, investigasi dan riset hadis sendiri untuk menilai kredibilitas perawi dan kebasahan matan hadis yang diriwayatkannya. Untuk itulah, mujtahid dalam mazhab Syiah harus menguasai metode verifikasi hadis dengan handal. Bahkan, banyak di antara mujtahid yang juga sekaligus adalah muhaddits. Misalnya, Ayatullah Khoei yang beberapa saat sebelum meninggal dunia sempat mengarang buku rijal sebanyak 24 jilid besar. Kalo ada yang mau lihat buku itu, bisa download di sini: http://www.shiatc.com/Lib_List/t5.xml

3. Karena poin 2 di atas, kalangan Syiah tak mengenal adanya kitab shahih. Pengumpul hadis tak pernah mengklaim hadisnya shahih. Dia hanya mengumpulkan dan menyerahkan penilaian pada masing-masing pakar, terutama yang ingin berijtihad. Allamah Majlisi sampai berhasil menuliskan hadis Syiah dalam 120 jilid.

============= 


LOGIKA 5 : “Pengikut  Ahlul Bait Melaknat Sahabat dan Isteri Nabi ?”
  • Dibidang laknat melaknat. Benarkah Syi’ah tukang laknat ?
  •  “Kalau Syiah benar-benar mau ukhuwwah, mau bersaudara, mau bersatu dengan Sunni; mengapa Syi’ah  mengkritisi tokoh-tokoh panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, isteri-isteri Nabi (khususnya Aisyah dan Hafshah), Abu Hurairah, Zubair, Thalhah, dan lain-lain selaku panutan kaum Sunni ?” 
1.  Fathimah Az-Zahra mati syahid diusia muda (beliau yang hamil lalu keguguran,sakit parah) beberapa bulan setelah Umar bin Khattab menyerbu ke rumah Fatimah ! Lawak, jika Syi’ah dituduh melaknat Umar.
 
Dr. Sayyid Husaini Qaswini:
 Jangan Abaikan Pembahasan Kesyahidan Sayyidah Fatimah as
Selain Syiah, seluruh mazhab-mazhab Islam khususnya firqah Wahabi mempunyai pendirian dalam masalah ini, yaitu kesyahidan Fathimah as adalah bukti kebenaran Syiah; oleh karena itu kelompok Wahabi berusaha keras memperselisihkan persoalan ini, dan mereka mengada-adakan syubhat dan keraguan mengenai kesyahidan putri kesayangan Rasulullah Saw tersebut.

Fathimah Az-Zahra mati syahid diusia muda (beliau yang hamil lalu keguguran,sakit parah) beberapa bulan setelah Umar bin Khattab menyerbu ke rumah Fatimah ! Lawak, jika Syi’ah dituduh melaknat Umar
.
Buat saya, KESYAHIDAN Sayidah Fatimah as, merupakan cahaya gemilang untuk menemukan kebenaran haqiqi, yang tidak dapat terusik oleh kerancuan2. SUBHANALLAH dan Alhamdulillah, Tuhan telah membuat scenario rapi yang tidak bisa diubah oleh tangan- tangan jahil menyesatkan.  

ulama pakar ilmu perbandingan mazhab dan firqah-firqah dalam Islam  Hujjatul Islam Wal Muslimin Dr. Sayyid Husaini Qazwini dalam wawancaranya  memberikan penjelasan mengenai Ahlul Bait Nabi Saw khususnya yang berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as. 

Mengenai jumlah keturunan Nabi Saw, Dr. Qazwini mengatakan, “Rasulullah Saw memiliki beberapa anak. Yang masyhur dari berbagai versi sejarah beliau Saw memiliki 4 orang putra dan 4 orang putri. Diantara puteri perempuan beliau Zainab, isteri Abul ‘Ash bin al-Rabi’, Ummu Kulthum dan Ruqayyah yang menjadi isteri Utbah dan Utaibah yang juga menantu Abu Lahab (bercerai setelah turun ayat “Al Lahab”), kemudian Fathimah Az-Zahra. Sementara putera-putera beliau Saw Qosim, Tayyib dan Thahir yang mana mereka meninggal dunia sejak masih kecil. Pusara mereka terletak di permakaman Abu Thalib. Dan Anak ke-empat Rasulullah Saw Ibrahim yang lahir dari hasil pernikahan beliau dengan Mariah Qibtiyah juga lahir di Madinah, beliau wafat di kota tersebut dan dimakamkan di pemakaman Baqi’.”

Kedudukan Fathimah al-Zahra as.
Di antara delapan anak-anak Nabi Saw tersebut, Fathimah Az-Zahra mempunyai kedudukan yang paling istimewa. Ini disebabkan banyak hadits dari Nabi yang menyebutkan bahwa Sayyidah Az Zahra berada di peringkat Shiddiqah Thahirah, sementara tidak seorang pun anak-anak nabi yang lain memiliki kedudukan ini. Perhatikan hadis di sini bukanlah mengenai hubungan antara seorang ayah dengan anak perempuannya, bahkan menerangkan kedudukan Zahra Mardhiyyah as di sisi Allah SWT.

Hadis kedudukan Fathimah az-Zahra as di dalam kitab-kitab Ahlusunnah.
Di antara hadis-hadis keutamaan Sayyidah Fathimah az-Zahra as yang banyak terdapat di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah bisa dijabarkan diantaranya sebagai berikut:
- Sahih al-Bukhari, jilid 4 hal. 209, hadis 3711. Nabi Saw bersabda:

فاطمة سيدة نساء اهل الجنة

Fathimah adalah penghulu wanita ahli syurga.

- Dalam kitab yang sama, jilid 4, halaman 210, hadis 3714, Nabi Saw bersabda:

فمن أغضبها فقد أغضبني

Barangsiapa yang menyebabkan Fathimah marah, maka ia menyebabkan aku marah.

Kesyahidan Fathimah membuktikan kebenaran Syiah
Selain Syiah, seluruh mazhab-mazhab Islam khususnya firqah Wahabi mempunyai pendirian dalam masalah ini, yaitu kesyahidan Fathimah as adalah bukti kebenaran Syiah; oleh karena itu kelompok Wahabi berusaha keras memperselisihkan persoalan ini, dan mereka mengada-adakan syubhat dan keraguan mengenai kesyahidan putri kesayangan Rasulullah Saw tersebut.

Syubhat pertama, mengenai hadis “Fathimah adalah bagian dariku”
Wahabi merekayasa syubhat tidak berdasar dengan menyandarkan hadis Nabi Saw, “Fathimah adalah bagian dariku” untuk merendahkan derajat Imam Ali bin Abi Talib as.

Terdapat di dalam kitab Sahih al-Bukhari hadis 3110 dimana Nabi Saw bersabda, “فاطمة بضعة مني, yaitu Fathimah adalah bagian dariku. Kemudian sebuah hadis palsu dinukilkan dari Miswar bin Makhramah yang lahir pada tahun kedua Hijrah. Berkenaan dengan perkara ini, tokoh seperti Abu Ilm salah seorang ulama besar Universitas al-Azhar dalam kitab Fathimah al-Zahra halaman 170 telah menulis bahwa hadis Ali melamar Juwirah telah terjadi di dalam tahun kedua Hijrah. Di zaman itu Miswar belum lahir ataupun masih dalam gendongan.

Bantahan Kedua, Juwirah masih kafir sampai tahun kedelapan Hijriah, jadi sangat tidak logis ia mendapat lamaran dari Imam Ali sementara Juwirah masih dalam keadaan kafir. Bantahan ketiga, ketika Nabi masih hidup, Juwirah tidak pernah ke Madinah sampai tahun kesepuluh Hijrah,
Syubhat kedua; menganggap kesyahidan Fathimah az-Zahra as sebagai cerita dongeng dan bualan orang-orang Syiah.

Namun sebagai jawaban atas syubhat tersebut:
Pertama, Ibnu Taimiyah selaku Syaikhul Wahabi di dalam kitab Minhaj al-Sunnah jilid 4 halaman 220 telah menulis bahwa: كبس البيت , iaitu: ketika orang-orang suruhan khalifah memasuki rumah Fathimah dengan kekerasan…”

Kedua,  guru Zahabi Juwaini, di dalam kitab Fara’id Simthain menukilkan sabda Nabi Saw, “Kalian akan melihat anak perempuanku akan terbunuh secara menyedihkan (مغمومة مغصوبة مقتولة).”
Ketiga, al-Marhum Kulaini meriwayatkan daripada Imam Ja’afar al-Sadiq: “Bunda kami Fathimah Az-Zahra telah syahid.”

Keempat, Shahrestani di dalam jilid pertama kitab al-Milal wan Nihal halaman 67 menukilkan daripada Nazzam bahwa khalifah kedua menendang perut Fathimah Az-Zahra yang menyebabkan beliau keguguran sebab saat itu beliau sedang mengandung.

Kelima, hal tersebut telah ditulis oleh Ibnu Hajar di dalam Mizan al-I’tidal dan Lisan al-Mizan.
Syubhat ketiga; mengapa Imam Ali as tidak membuka pintu rumah?
Syubhat yang lain menegaskan bahwa: Sekiranya Ali bin Abi Thalib di dalam rumah Fathimah Az-Zahra, mengapa pula Fathimah yang membuka pintu sehingga kejadian tersebut terjadi sedangkan membuka pintu sepatutnya dilakukan oleh laki-laki yang berada di dalam rumah, ini bertentangan dengan kemuliaan laki-laki utamanya laki-laki Arab sebagaimana tradisi yang ada.

Jawaban:
Pertama, Ibnu Asakir di dalam Kitab Tarikh Dimashq, jilid 42 menyatakan: “Nabi Saw duduk di dalam rumah sementara pintu rumah sedang diketuk. Baginda bersabda kepada Ummu Salamah:

 «یا ام السلمه قومي فافتحي له»

Wahai Ummu Salamah! bangkitlah dan bukalah pintu untuknya.”.

Kedua, di dalam kitab yang sama, jilid 44, halaman 35: Umar bin al-Khattab datang dan mengetuk pintu sedangkan Nabi berada di dalam rumah. Namun baginda bersabda kepada Khadijah as,  

«افتحي يا خديجة»

Wahai Khadijah, bukalah pintu.

Ketiga: di dalam jilid pertama kitab Ihtijaj Thabarsi, jilid 292: Pada suatu hari, Nabi Saw duduk di dalam rumah di mana Amirul Mukminin Ali as mengetuk pintu. Baginda bersabda kepada Aisyah:

 «افتحي له الباب»

Bukakan pintu untuknya. Sekarang pertanyaannya apakah laki-laki Wahabi lebih mulia dibanding Nabi?

Keempat, Ibnu Taimiyah menulis di dalam kitab Minhaj al-Sunnah, tidak ada seorangpun yang membuka pintu rumah; bahkan para penyerang menyerang masuk ke dalam rumah dengan leluasa.

Kelima, menurut ayat 27 dari surah Nur, di dalam al-Quran:

یا ایها الذین آمنوا لا تدخلوا بیوتا غیر بیوتکم حتی تستانسوا

yaitu tidak boleh masuk ke dalam rumah sampai ada izin. Di tempat lain juga terdapat ayat:

یا ایها الذین آمنوا لاتدخلوا بیوت النبي الا ان یؤذن لکم

Dari perspektif lain, Suyuthi telah menulis dalam jilid ke 5 Kitab al-Durr al-Manthur, halaman 50: Rumah Zahra adalah rumah kenabian. Oleh itu Fathimah az-Zahra dan Ali as berdiri di atas kepercayaan bahwa para penyerang rumah kenabian sekurang-kurangnya menghormati rumah orang yang beriman, bukan mengabaikan perintah Allah dan RasulNya sehingga membakar rumah Ahlul Bait dan masuk ke dalam rumah dengan cara kekerasan.

Syubhat ke-empat, rumah-rumah di Madinah tidak berpintu?
Syubhat yang lain dinyatakan sebagai, rumah-rumah Madinah di zaman tersebut tidak berpintu, hanya ditutupi tirai atau tikar kayu! Mereka menciptakan syubhat tersebut untuk mendustakan peristiwa Fathimah az-Zahra berada di belakang pintu.

Namun sebagai jawaban:
Pertama, al-Quran di dalam Surah Nur menerangkan:

ولا عَلَی أَنفُسِکُمْ أَن تَأْکُلُوا مِن بُیُوتِکُم أَو بُیُوتِ آبَائِکُم أَو بُیُوتِ أُمَّهَاتِکُم أَو بُیُوتِ إِخوَانِکُم أَوْ بُیُوتِ أَخَوَاتِکُم أَو بُیُوتِ أَعمامِکُم أَوْ بُیُوتِ عَمَّاتِکُم أَوْ بُیُوتِ أَخوالِکُم أَوْ بُیُوتِ خَالاتِکُمْ أَوْمَا مَلَکتُم مَّفَاتِحَهُ أَو صَدِیقِکُم لَیسَ عَلَیْکُم جُنَاحٌ أَن تَأْکُلُوا جَمِیعًا أَوْ أَشْتَاتًا

Yaitu, dan juga tidak ada salahnya bagi kamu makan di rumah kamu sendiri, atau di rumah bapak kamu, atau di rumah ibu kamu, atau di rumah saudara kamu yang lelaki, atau di rumah saudara kamu yang perempuan, atau di rumah bapak saudara kamu, atau di rumah ibu saudara kamu, atau di rumah bapak saudara kamu, atau di rumah ibu saudara kamu, atau di rumah yang kamu miliki kuncinya, atau di rumah sahabat kamu; tidak juga merupakan kesalahan bagi kamu, makan bersama-sama atau sendirian.

Sekarang, sekiranya rumah-rumah di Madinah saat itu tidak mempunyai pintu, apakah mereka akan memasang kunci pada tirai dan tikar kayu? Atau – Na’uzubillah – Al-Quran khilaf dalam perkara ini? maka kita perlu mengatakan bahwa yang menyatakan syubhat tersebut sedikit pengetahuannya mengenai Al-Qur’an.

Kedua, di dalam kitab Sahih Muslim – antara kitab paling muktabar setelah al-Quran di kalangan Ahlusunnah – dalam jilid ke 6 halaman 105, hadis 5136, dinyatakan bahwa Nabi Saw memerintahkan: Tutuplah pintu di waktu malam. Apakah mereka menutup tikar kayu atau tirai? Apakah mereka menyebut tirai sebagai pintu?

Ketiga, Bukhari telah menulis di dalam jilid pertama, Kitab Al-Adab al-Mufrad, halaman 272:

فسألته عن بيت عائشة فقال كان بابه من وجهة الشام فقلت مصراعا كان أو مصراعين قال كان بابا واحدا قلت من أي شيء كان قال من عرعر أو ساج

Perawi bertanya: Pintu rumah Aisyah mempunyai satu daun pintu atau dua? jawabnya: satu pintu, aku bertanya jenis apakah ia? jawabnya: dari pohon juniper atau saj.
Sekarang, bagaimana mungkin rumah Aisyah mempunyai pintu yang dibuat dari kayu juniper, namun rumah Fathimah anak Nabi tidak mempunyai pintu sebagaimana yang telah disebutkan?.

Wahabi Bungkam Mengenai Kesyahidan Fathimah az-Zahra.
Cerita Dr. Qaswini lagi, “Saya pernah berdebat dengan salah seorang syeikh Wahabi di Dubai. Saya tunjukkan kepadanya Sahih Bukhari dan bertanya, apakah anda terima hadis ini; yaitu Nabi Saw bersabda Fathimah as adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang menyakitinya maka ia telah menyakitiku? Jawabnya saya terima. Saya berkata, apakah kamu juga terima bahwa Fathimah as telah murka kepada Syaikhain (Abu Bakar dan Umar)? Jawabnya: ini adalah kedustaan yang dibuat-buat oleh Syiah. Lantas saya buka kitab Sahih al-Bukhari dan menunjukkan hadis ini kepadanya. Beliau melihat tulisan pada sampul kitab tersebut dan berkata: Kitab ini telah dicetak di Beirut, dan saya tidak menerimanya, bawakan kitab yang telah dicetak di Arab Saudi! Saya berkata, Percetakan kitab ini bukanlah milik Syiah. Lagi pula di Lebanon Syiah bukanlah penduduk mayoritas. Sekiranya satu hadis dalam kitab mereka diubah, sudah pasti percetakannya akan ditutup, apa lagi sekiranya hadis ini dicetak dengan kedustaan!

Setelah itu saya tunjukkan kepadanya sebuah riwayat dari kitab Shahrestani dan Ibnu Qutaibah Dainuri yang menegaskan kesyahidan Fathimah Zahra as. Ketika hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitabnya tersebut saya bacakan, beliau menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Esok malam saya akan membawakan jawaban kepada anda.”

Besok malam, saya telah menunggu lama, namun dia tetap tidak datang. Saya menelepon kepada tuan rumahnya dan bertanya, Kenapa Syeikh tidak datang untuk meneruskan dialog? Tuan rumahnya berkata, “Syeikh Wahhabi itu sedang menulis sepucuk surat kepada salah seorang ulama besar Arab Saudi dan berkata: Saya telah menemui jalan buntu dalam perdebatan mengenai Fathimah az-Zahra, dan secara zahirnya seluruh bukti-bukti adalah sahih. Tolong kirimkan saya jawaban yang merontokkan gigi.

Menarik perhatian di sini, setelah seminggu barulah jawaban tiba yaitu: Hadis-hadis ini memang sahih dan terdapat di dalam kitab-kitab kita, namun janganlah sekali-kali kamu membahas dan mendiskusikannya dengan ulama Syiah!

Betapa pentingnya persatuan Islam dengan memelihara syiar-syiar Fathimah
Topik persatuan Islam sangatlah penting, Fathimah az-Zahra as juga mempunyai kedudukan yang tinggi sebagaimana ucapan al-Marhum Ayatullah Fadhil Lankarani, kedudukan Fathimah tidaklah bertentangan dengan masalah persatuan.

Dari satu sisi yang lain, pengaburan tema-tema mengenai kesyahidan Sayyidah Fathimah as menyebabkan kebenaran Syiah juga diselimuti kekaburan. Oleh karena itu persatuan kita hendaklah berdiri di atas prinsipnya yaitu pengungkapan hakikat sejarah yang sesungguhnya, namun pada saat yang sama kita tidak diperkenankan menyerang simbol suci Ahlusunnah.

Imam Khomeini selaku tokoh yang menyeru persatuan tidak pernah sekalipun mengabaikan pembahasan mengenai kesyahidan Sayyidah Fatimah as. Namun saat yang sama beliau juga menegaskan pentingnya masalah persatuan umat Islam. Karena itu, setiap tahunnya, di hari peringatan kesyahidan Sayyidah Fatimah, pemimpin besar Revolusi Islam Iran tersebut tetap melakukan majelis duka di rumah beliau.

Sayyidah Fatimah as dalam Ucapan Ulama-ulama Ahlus Sunnah
“Fatimah lebih utama atas semua perempuan baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Adalah sabda Rasulullah Saw yang menunjukkan keutamaan Fatimah atas semua perempuan adalah sesuatu yang pasti (tidak ada keraguan didalamnya), karena beliau adalah ruh dan jiwa Rasulullah, bahkan lebih utama dari Aisyah sekalipun.”
  
Tidak ada yang dapat memungkiri mengenai keagungan, keutamaan dan kemuliaan Sayyidah Fatimah as. Ali Syariati mengatakan, “Saya tidak dapat mengungkapkan apapun mengenai Fatimah, kecuali satu hal, Fatimah adalah Fatimah.” 
Dalam kitab-kitab klasik Syiah maupun kontemporer kita menemukan bejibun pernyataan, syair, puisi yang mencoba memuji keutamaan Sayyidah Fatimah as, namun kesemuanya itu tidak mampu mewakili keutuhan pribadi Sayyidah Fatimah as. Nabi Muhammad Saw berkenaan dengan putri tercintanya pernah bersabda, “Jika semua kebaikan dikumpulkan dan diletakkan disebuah tempat, maka az Zahra masih jauh lebih baik dari semua kebaikan tersebut.” Yang bisa kita ketahui dari apa yang dimaksudkan Nabi Saw tersebut, penjelasan dan gambaran apapun yang dikemukakan tidak bisa mewakili kemuliaan dan keagungan hadhrat Fatimah az Zahra as.
Literarur Ahlus Sunnahpun tidak luput dari menceritakan sebagian dari keutamaan Sayyidah Fatimah az Zahra as tersebut. Jalaluddin Suyuti dalam kitab ال‍ث‍غ‍ور ال‍ب‍اس‍م‍ه‌ ف‍ی‌ ف‍ض‍ائ‍ل‌ ال‍س‍ی‍ده‌ ف‍اطم‍ه‌ (kitab yang ditulis khusus berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as mengenai fadilah-fadilah beliau baik sebelum hijrah maupun setelah hijrah, serta kumpulan hadits-hadits yang diriwayatkan Sayyidah Fatimah maupun nukilan ucapan-ucapan beliau) menulis: “Kami berkeyakinan, sebaik-baik perempuan seluruh alam adalah Bunda Maryam dan Sayyidah Fatimah.” Syaikh Mahmud Afandi Alusi yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Al Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al Ma’ani pada jilid 3 hal. 138 menulis, “Fatimah lebih utama atas semua perempuan baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Adalah sabda Rasulullah Saw yang menunjukkan keutamaan Fatimah atas semua perempuan adalah sesuatu yang pasti (tidak ada keraguan didalamnya), karena beliau adalah ruh dan jiwa Rasulullah, bahkan lebih utama dari Aisyah sekalipun.”

Syaikh Fakhr al Din al Razi dalam magnum opusnya ‘Tafsir al Kabir’ menjelaskan mengenai makna al Kautsar (anugerah yang melimpah) dalam surah al Kautsar. Beliau menulis, “Surah al Kautsar turun untuk membantah mereka yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak akan memiliki keturunan. Oleh karena itu surah tersebut berkenaan mengenai karunia yang Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad Saw berupa keturunan yang akan terjaga sepanjang zaman. Perhatikan, betapa banyak dari keluarganya yang terbunuh, namun orang-orang berilmu dari kalangan keturunan Rasulullah Saw sangat banyak dan melimpah. Dan tak seorangpun dari keluarga Bani Umayyah yang mampu menyaingi salah satupun dari keluarga Nabi. Dan perhatikan pula, dari keturunan Nabi lahir ulama-ulama besar seperti al Baqir, as Shadiq, al Kadzim dan ar Ridha serta Nafs Zakiah (nama aslinya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, salah seorang keturunan imam al Hasan as yang pada tahun 145 H syahid di masa pemerintahan al Manshur).” (Tafsir al Kabir, jilid 32, hal. 124). 

Jadi dalam kitab tafsirnya tersebut, ulama mufassir Sunni ini menyebutkan, bahwa anugerah melimpah dari Allah SWT untuk nabi Muhammad Saw yang dimaksud adalah keturunan yang dimulai dari Sayyidah Fatimah az Zahrah yang lahir dari beliau ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam yang menegakkan dan menjaga agama dari berbagai anasir yang hendak merusak dan menodainya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh An Naisabury dalam Kitab Gharaib Al Qur’an Wa Raghaib Al Furqan jilid 8, hal. 576.

Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh dengan dosa ini


Nama: Fatimah
Gelar: Az-Zahra’
Julukan: Ummu Aimmah, Sayyidatu nisâil `âlamîn, Ummu Abihâ.
Ayah: Muhammad Rasulullah saw
Ibu: Khadijah Al-Kubra
Tempat/Tgl Lahir: Mekkah, hari Jum’at, 20 Jumadits Tsani
Hari/Tgl Wafat: Selasa, 3 Jumadits Tsani 11 H.
Umur: 18 tahun.
Makam: Baqi’, Madinah Al-Munawwarah.
Jumlah putera dan puteri: 2 laki-laki, dan 2 perempuan.
Laki-laki: Al-Hasan dan Al-Husein
Perempuan: Zainab dan Ummu Kaltsum.

Fatimah as adalah salah seorang puteri Rasulullah saw. Ia merupakan wanita yang paling mulia kedudukannya. Kemuliaannya diperoleh sejak menjelang kelahirannya, ketika kelahirannya dibidani oleh 4 wanita suci.

Ketika menjelang kelahirannya ibunda tercintanya Khadijah Al-Khubra as meminta tolong kepada wanita-wanita Qurays tetangganya. Tapi mereka menolaknya sambil mengatakan kepadanya bahwa ia telah mengkhianati mereka mendukung Muhammad. Saat itu ia bingung kepada siapa harus minta tolong untuk melahirkan puteri tercintanya. Saat kebingungan Khadijah as mengatakan: “Aku terkejut luar biasa ketika aku menyaksikan empat wanita yang berwajah cantik dilingkari cahaya, yang sebelumnya aku tidak aku kenal mereka. Mereka mendekatiku, Saat aku dalam keadaan yang cemas, salah seorang dari mereka menyapaku: Aku adalah Sarah ibunda Ishaq; dan yang tiga yang menyertaiku adalah
Maryam ibunda Isa, Asiah puteri Muzahim, dan Ummu Kaltsum saudara perempuan Musa. Kami semuanya diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan ilmu kebidanan kami jika anda bersedia. Sambil mengatakan hal itu, mereka duduk di sekitarku dan memberikan pelayanan sampai puteriku Fatimah as lahir.”

Fatimah as berbicara saat dalam Kandungan.
Sejak masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah as sering menghibur dan mengajak bicara ibunya. Rasulullah saw bersabda: “Jibril datang kepadaku dengan membawa buah apel dari surga, kemudian aku memakannya lalu aku berhubungan dengan Khadijah lalu ia mengandung Fatimah. Khadijah berkata: “Aku hamil dengan kandungan yang ringan. Ketika engkau keluar rumah janin dalam kandunganku mengajak bicara denganku. Ketika aku akan melahirkan janinku aku mengirim utusan pada perempuan-perempuan Quraisy untuk dapat membantu melahirkan janinku, tapi mereka tidak mau datang bahkan mereka berkata: Kami tidak akan datang untuk menolong isteri Muhammad. Maka ketika itulah datanglah empat perempuan yang berwajah cantik dan bercahaya, dan salah dari mereka berkata: Aku adalah ibumu Hawa’; yang satu lagi berkata: Aku adalah Asiyah binti Muzahim; yang lain berkata: Aku adalah Kaltsum saudara perempuan Musa; dan yang lain lagi berkata: Aku adalah Maryam binti Imran ibunda Isa. Kami datang untuk menolong urusanmu ini. Kemudian Khadijah berkata: Maka lahirlah Fatimah dalam kedaan sujud dan jari-jarinya terangkat seperti orang sedang berdoa.” (Dzakhâir Al-`Uqbâ, halaman 44).

Menjelang usia 5 tahun, Fatimah as ditinggal wafat oleh ibunda tercintanya. Sehingga ia harus menggantikan posisi ibunya, berkhidmat kepada ayahnya, membantu dan menolong Rasululah saw. Sehingga ia mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Tidak jarang Fatimah as menyaksikan ayahnya disakiti orang-orang kafir Quraisy. Ia menangis saat-saat menyaksikan ayahnya menghadapi ujian yang berat akibat prilaku orang-orang kafir Quraisy. Bahkan tangan Fatimah yang berusia kanak-kanak yang membersihkan kotoran di kepala ayahnya saat melempari Rasulullah saw dengan kotoran.

Fatimah as buah surga dan tidak pernah haid. Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ketika aku diperjalankan ke langit, aku dimasukkan ke surga, lalu berhenti di sebuah pohon dari pohon-pohon surga, dan aku tidak melihat yang lebih indah dari pohon yang satu itu, daunnya paling putih, buahnya paling harum. Kemudian aku mendapatkan buahnya lalu aku makan. Buah itu menjadi nuthfah di sulbiku. Setelah aku sampai di bumi aku berhubungan dengan Khadijah kemudian ia mengandung Fatimah. Setelah itu setiap aku rindu bau surga aku mencium bau Fatimah.” (tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang surat Al-Isra’: 1; Mustadrak Ash-Shahihayn 3: 156).

Fatimah as digelari Az-Zahra’.
Abban bin Tughlab pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq as: Mengapa Fathimah digelari Az-Zahra’? Ia menjawab: “Karena Fathimah as memacanrkan cahaya pada Ali bin Abi Thalib tiga kali di siang hari. Ketika ia melakukan shalat sunnah di pagi hari, dari wajahnya memancar cahaya putih sehingga cahayanya memancar dan menembus ke kamar banyak orang di Madinah dan dinding rumah mereka diliputi cahaya putih. Mereka heran atas kejadian itu, lalu mereka datang kepada Rasulullah saw dan menanyakan apa yang mereka saksikan. Kemudian Nabi saw menyuruh mereka datang ke rumah Fathimah. Lalu mereka mendatanginya, ketika sampai di rumahnya mereka melihat Fathimah sedang shalat di mihrabnya. Mereka melihat cahaya di mihrabnya, cahaya itu memancar dari wajahnya, sehingga mereka tahu bahwa cahaya yang mereka saksikan di rumah mereka adalah cahaya yang terpancar dari wajah Fathimah as.

Ketika Fathimah as melakukan shalat sunnah di tengah hari cahaya kuning memancar dari wajahnya, cahaya itu menembus ke kamar rumah orang banyak, sehingga pakaian dan tubuh mereka diliputi oleh cahaya berwarna kuning. Lalu mereka datang kepada Rasulullah saw dan bertanya tentang apa yang mereka saksikan. Nabi saw menyuruh mereka datang ke rumah Fathimah as, saat itu mereka melihat dia sedang berdiri dalam shalat sunnah di mihrabnya, cahaya kuning itu memancar dari wajahnya pada dirinya, ayahnya, suaminya dan anak-anaknya, sehingga mereka tahu bahwa cahaya yang mereka saksikan itu adalah berasal dari cahaya wajah Fathimah as.

Ketika Fathimah as melakukan shalat sunnah di punghujung siang saat mega merah matahari telah tenggelam wajah Fathimah memancarkan cahaya merah sebagai tanda bahagia dan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Cahaya itu menembus ke kamar orang banyak sehingga dinding rumah mereka memerah. Mereka heran atas kejadian itu. Kemudian mereka datang lagi kepada Rasulullah saw menanyakan kejadian itu. Nabi saw menyuruh mereka datang ke rumah Fathimah as. Ketika sampai di rumah Fathimah mereka melihat ia sedang duduk bertasbih dan memuji Allah, mereka melihat cahaya merah memancar dari wajahnya. Sehingga mereka tahu bahwa bahwa cahaya yang mereka saksikan itu berasal dari cahaya wajah Fathimah as. Cahaya-cahaya itu selalu memancar di wajahnya, dan cahaya itu diteruskan oleh putera dan keturunannya yang suci hingga hari kiamat.” (Bihârul Anwar 43: 11, hadis ke 2).

Fatimah as digelari penghulu semua perempuan
Fatimah as mendapat gelar penghulu semua perempuan (sayyidatu nisâil `alamîn). Aisyah berkata: Fatimah as datang kepada Nabi saw dengan berjalan seperti jalannya Nabi saw. Kemudian Nabi saw mengucapkan: “Selamat datang duhai puteriku.” Kemudian beliau mempersilahkan duduk di sebelah kanan atau kirinya kemudian beliau berbisik kepadanya lalu Fatimah menangis. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya: “Mengapa kamu menangis?” Kemudian Nabi saw berbisik lagi kepadanya. Lalu ia tertawa dan berkata: Aku tidak pernah merasakan bahagia yang paling dekat dengan kesedihan seperti hari ini. Lalu aku (Aisyah) bertanya kepada Fatimah tentang apa yang dikatakan oleh Nabi saw. Fatimah menjawab: Aku tidak akan menceritakan rahasia Rasulullah saw sehingga beliau wafat. Aku bertanya lagi kepadanya, lalu ia berkata: (Nabi saw berbisik kepadaku): “Jibril berbisik kepadaku (Rasulullah saw), Al-Qur’an akan menampakkan padaku setiap setahun sekali, dan ia akan menampakkan padaku tahun ini dua kali, aku tidak melihatnya kecuali datangnya ajalku, dan engkau adalah orang pertama dari Ahlul baitku yang menyusulku.” Lalu Fatimah menangis. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Tidakkah kamu ridha menjadi penghulu semua perempuan ahli surga atau penghulu semua isteri orang-orang yang beriman?” Kemudian Fatimah tertawa. (Shahih Bukhari, kitab Awal penciptaan, bab tanda-tanda kenabian dalam Islam; Musnad Ahmad 6: 282, hadis ke 25874).

Fatimah as menyerupai Nabi saw.
Aisyah Ummul mukminin berkata: Aku tidak pernah melihat seorangpun yang paling menyerupai Rasulullah saw dalam sikapnya, berdiri dan duduknya kecuali Fatimah puteri Rasulullah saw. Selanjutnya Aisyah berkata: Jika Fatimah datang kepada Nabi saw, beliau berdiri menyambut kedatangannya, dan mempersilahkan duduk di tempat duduknya. Demikian juga jika Nabi saw datang kepadanya ia berdiri menyambut kedatangan beliau dan mempersilahkan duduk di tempat duduknya…” (Shahih At-Tirmidzi 2: 319, bab keutamaan Fathimah; Shahih Bukhari, bab Qiyam Ar-Rajul liakhihi, hadis ke 947; Shahih Muslim, kitab Fadhil Ash-Shahabah, bab Fadhail Fathimah).

Marah Fatimah as Marah Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda: “Fatimah adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang membuatnya marah ia telah membuatku marah.” (Shahih Bukhari, kitab awal penciptaan, bab manaqib keluarga dekat Rasulullah saw; Kanzul Ummal 6: 220, hadis ke 34222).

Sakit Fatimah as Sakit Rasulullah saw
Rasulullah saw bersabda: “Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.” (Shahih Bukhari, kitab Nikah; Shahih Muslim, kitab Fadhil Ash-Shahabah, bab Fadhail Fathimah; Musnad Ahmad bin Hanbal 4: 328, hadis ke 18447).

Sebagian Karamah Fatimah Az-Zahra’ as.
Jabir Al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi saw berkisah bahwa beberapa hari Rasulullah saw tidak makan sedikit pun makanan sehingga diriku lemas, kemudian beliau mendatangi isteri-isteriku untuk mendapatkan sesuap makanan, tapi tidak mendapatkannya di rumah mereka. Lalu beliau mendatangi Fatimah as dan berkata: “Wahai puteriku, apakah kamu punya makanan untuk aku? aku lapar. Fatimah as berkata: Demi Allah, demi ayahku dan ibuku, aku tidak punya makanan.

Ketika Rasulullah saw keluar dari rumah Fatimah as, ada seorang perempuan mengirimkan dua potong roti dan sepotong daging, lalu Fatimah as mengambilnya dan meletakkannya dalam mangkok yang besar dan menutupinya. Fatimah as berkata: Sungguh makanan ini aku akan utamakan untuk Rasulullah saw daripada diriku dan keluargaku. Padahal mereka juga membutuhkan sesuap makanan.

Fatimah as berkata: Lalu aku mengutus Al-Hasan dan Al-Husein kepada kakeknya Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw datang padaku. Aku berkata: Ya Rasulallah, demi ayahku dan ibuku, Allah telah mengkaruniakan kepada kami sesuatu, lalu aku menyimpannya untuk kupersembahkan kepadamu.
Fatimah as berkata: Ada seseorang mengantarkan makanan padaku, lalu aku meletakkannya dalam mangkok besar dan aku menutupinya. Saat itu juga dalam mangkok itu penuh dengan roti dan daging. Ketika aku melihatnya aku takjub. Aku tahu bahwa itu adalah keberkahan dari Allah swt, lalu aku memuji Allah swt dan bershalawat kepada Nabi-Nya.

Rasulullah saw bertanya: “Dari mana makanan ini wahai puteriku?” Fatimah menjawab: Makanan ini datang dari sisi Allah, sesungguhnya Allah mengkaruniakan rizki kepada orang yang dikehendaki-Nya dari arah yang tak terduga. Kemudian Rasulullah saw mengutus seseorang kepada Ali as lalu ia datang. Rasulullah saw, Ali, Fatimah, Al-Hasan, Al-Husein as dan semua isteri Nabi saw makan makanan itu sehingga mereka merasa kenyang, dan makanan itu tetap penuh dalam mangkok itu.

Fatimah as berkata: Lalu aku juga mengantarkan makanan itu pada semua tetanggaku, Allah menjadikan dalam makanan itu keberkahan dan kebaikan yang panjang waktunya. Padahal awalnya makanan dalam mangkok itu hanya dua potong roti dan sepotong daging, selebihnya adalah keberkahan dari Allah swt.
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada Fatimah dan Ali as: “Segala puji bagi Allah yang tidak mengeluarkan kalian berdua dari dunia sehingga Allah menjadikan bagimu (Ali) apa yang telah terjadi pada Zakariya, dan menjadikan bagimu wahai Fatimah apa yang telah terjadi pada Maryam. Inilah yang dimaksudkan juga dalam firman Allah swt: “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrabnya, ia dapati makanan di sisinya.” (Ali-Imran: 37).

Kisah dan riwayat ini terdapat di dalam:
1.Tafsir Al-Kasysyaf, Az-Zamakhsyari, tentang tafsir surat Ali-Imran: 37.
2.Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang ayat ini.
Ini adalah hanya sebagian dari pribadi Fatimah Az-Zahra as yang bisa kami ungkapkan. Masih banyak lagi tentang keutamaan dan karamahnya tak mungkin diungkapkan dalam tulisan yang sangat singkat ini, karena akan membutuhkan buku yang sangat tebal jika hendak diungkapkan secara lebih detail.

2. Lawak Ulama Sunni !! Syi’ah dituduh melaknat Aisyah, Muawiyah justru membunuh Muhammad bin Abi Bakr dan Hujur bin Adiy (sahabat Nabi).

Lawak Ulama Sunni !!
Syi’ah dituduh melaknat Aisyah, Muawiyah justru membunuh Muhammad bin Abi Bakr dan Hujur bin Adiy (sahabat Nabi)
.
Setelah selama dua tahun mereka tidak berhasil mengobarkan perang sektarian di Suriah, sekarang mereka menumpahkan kebencian mereka dengan merusak makam-makam. Akan tetapi, sama seperti bencana yang dialami oleh Muawiyah atas pembunuhan terhadap Hujr bin Adi, aksi perusakan makamnya oleh para teroris itu juga menguak kedok mereka di hadapan warga Palestina.
Hujr bin Adi, Korban Kesadisan dan Fanatisme Buta

Wilayah Maraj Al-Adra yang ditaklukkan oleh Hujr bin Adi pada masa khalifah kedua dan Islam pun menyebar di sana, menyimpan banyak kenangan sejarah tentang Hujr bin Adi.
Ketika Hujr bin Adi dengan tangan terikat dibawa ke wilayah itu dia mengatakan, “Aku adalah Muslim pertama yang mengucapkan takbir dan menyebut nama Allah di wilayah ini, sekarang aku ditahan dan dengan tangan terikat dibawa ke sini.”

Di mata Muawiyah, kejahatan terbesar Hujr bin Adi adalah karena membela Imam Ali as. Oleh karena itu, dia (Muawiyah) menginstruksikan sekelompok orang untuk pergi ke Maraj Al-Adra (Suriah saat ini) dan membunuh Hujr dan orang-orang yang menyertainya. 

Ketika para antek-antek Muawiyah menangkapnya, mereka mengatakan, “Jika kau berlepas tangan atas Ali (as) dan melaknatnya, kami akan melepaskanmu dan jika tidak kau akan terbunuh.” Hujr dan orang-orang yang menyertainya menyatakan, “Kesabaran menghadapi tajamnya pedang bagi kami lebih mudah dari pada melakukan apa yang kalian minta. Pertemuan dengan Allah Swt, Rasulullah Saw dan Ali as, lebih kami sukai daripada masuk ke dalam api neraka.” Kemudian Hujr mengatakan, “Rasulullah Saw berkata kepadaku; “Wahai Hujr! Kau akan terbunuh dengan penyiksaan di jalan kecintaan kepada Ali (as), ketika kepalamu menyentuh bumi, dari bawahnya akan keluar mata air yang akan membersihkan kepalamu.”

Sejak usia muda, Hujr telah menunjukkan keberanian dan kepahlawanan di antara para sahabat terkemuka Rasulullah Saw. Perjalanan hidupnya, sejak dia memeluk Islam, dihabiskan untuk memerangi kebatilan dan kekufuran. Pada masa kepemimpinan Imam Ali as, Hujr menaklukkan Syam (Suriah sekarang), wilayah Madain dan memenangi sejumlah perang penting serta berperan penting dalam memperluas ajaran Islam. Dia juga Muslim pertama yang syahid dibunuh di wilayah Maraj Al-Adra dengan tangan diikat seperti seorang kafir.

Pada detik-detik akhir hidupnya, dia ingin bermunajat di hadapan kebesaran Allah Swt. Oleh karena itu, sebelum gugur syahid, dia ingin menunaikan shalat dua rakaat. Menurut musuhnya, shalat Hujr terlalu lama dan mereka berkata, “Lama sekali kau shalat? apakah kau takut akan kematian? Namun Hujr menjawab, “Percayalah bahwa ini adalah shalat paling cepat yang pernah aku tunaikan! Akhirnya, Hujr bin Adi bertemu Allah Swt dan meletakkan beban berat jihad hingga ke batas kesyahidan. Akan tetapi, kesyahidannya meninggalkan kehinaan abadi bagi Muawiyah.

Pasca gugur syahidnya Hujr bin Adi, Muawiyah  mengakui semua dendam dan permusuhannya terhadap sahabat Rasulullah Saw itu dan mengatakan, “Jika di antara orang-orangku ada beberapa orang seperti Hujr, maka wilayah kekuasaan Bani Umayah akan meliputi seluruh dunia, akan tetapi sayang sekali! Bagaimana aku bisa mendapatkan orang-orang seperti Hujr yang mengorbankan dirinya dengan penuh ketegaran di jalan keyakinannya?”

Gugur syahidnya Hujr bin Adi sangat merugikan Muawiyah. Ketika Muawiyah pergi ke Madinah untuk haji, dia memutuskan untuk bertemu dengan Aisyah, istri Rasulullah Saw. Akan tetapi Aisyah tidak ingin menemuinya dengan dua alasan: pertama karena telah membunuh saudaranya Muhammad bin Abi Bakr dan kedua karena gugur syahidnya Hujr bin Adi.

Muawiyah sedemikian meminta maaf sampai akhirnya Aisyah menerimanya. Ketika itu Aisyah menukil hadis dari Rasulullah Saw, “Di Maraj Al-Adra sekelompok orang akan terbunuh yang Allah Swt dan para penghuni langit murka atas pembunuhan mereka.”

Disebutkan bahwa Muawiyah selalu mengingat-ingat peristiwa itu dan pembunuhan Hujr bin Adi menjadi mimpi buruk yang tidak dapat terbebaskan darinya hingga kematiannya. Pada akhirnya Muawiyah, mengalami azab batin, dibenci oleh masyarakat dan mati secara terhina. Akan tetapi di sisi lain, ruh para syuhada Maraj Al-Adra menyatu dalam keabadian dan nama mereka harum dan menjadi simbol kecintaan, kemuliaan dan kebebasan.

Sesungguhnya iman orang-orang seperti Hujr bin Adi, akan menundukkan jiwa dan batin manusia. Iman dan keberanian seperti ini pula yang muncul dari pribadi para pengikut kebenaran yang akan mengguncang seluruh pilar dalam istana para kaum durjana. Guncangan yang hingga kini setelah 1400 tahun berlalu, masih tetap terasa. Karena dendam dan permusuhan kaum batil terhadap kebenaran Rasulullah Saw, Ahlul Bait as dan para sahabat yang mulia tidak pernah berakhir.

Mereka terus melanjutkan permusuhan mereka dengan memampang karikatur nista, dengan mempublikasikan kisah-kisah menghina, bahkan dengan memproduksi film nista. Dalam kasus terbaru, mereka bahkan melakukan kejahatan yang termasuk paling sadisnya. Sekelompok orang pengikut aliran sesat Wahabi menyerang makam Hujr bin Adi, merusaknya dan menggali kuburannya. Mereka mengambil jenazah Hujr bin Adi yang masih mengalirkan darah segar meski telah berlalu 14 abad sejak kesyahidannya.

Aksi tidak manusiawi penggalian kubur seperti ini tidak pantas untuk dinisbatkan pada satu pun Muslim. Para pelakunya adalah orang-orang yang telah membantai ratusan nyawa warga tak berdosa, baik itu orang tua, pemuda, remaja maupun anak kecil. Mereka pula yang memenggal kepala para remaja tak berdosa. Kedunguan telah meliputi seluruh wujud mereka sehingga mereka dengan bangga mengunggah rekaman aksi kejam tersebut di berbagai jaringan televisi satelit dan jejaring sosial. Mereka menamakan diri sebagai Muslim dan mereka pula yang berusaha mengesankan bahwa Islam adalah agama kekerasan dan terbelakang.

Sebenarnya apa yang dipikirkan di benak para pelaku kejahatan tersebut, bagaimana keyakinan mereka, dan secara keseluruhan seperti apa akidah kaum Wahabi itu? Pada hakikatnya, pondasi pemikiran Wahabi mengakar pada penyimpangan pemikiran oleh Ibnu Taimiyah. Dalam mentafsirkan ayat lima surat Taha:

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.

Ibnu Taimiyah menilai bahwa Allah Swt duduk di langit dan bersandar pada sebuah sandaran. Pada hakikatnya dia meyakini bahwa Allah Swt berwujud materi. Penyimpangan pemikirannya tidak terbatas pada masalah makrifatullah (mengenal Allah Swt) saja, melainkan juga terkait Rasulullah Saw, Ahlul Bait as dan orang-orang saleh. Dia berpendapat bahwa mengharapkan pengabulan hajat oleh Allah Swt melalui perantara Rasulullah Saw, para imam serta orang-orang saleh, bertentangan dengan ketauhidan dan termasuk dalam kesyirikan. Dia bahkan menilai penghormatan terhadap makam suci Rasulullah Saw dan Ahlul Bait-nya sebagai perbuatan yang berlebih-lebihan, bid’ah dan sama dengan perilaku kaum musyrik. Meski demikian, kaum Ahlussunnah juga menentang pemikiran Ibnu Taimiyah. Karena keyakinannya bertentangan dengan berbagai ayat dan riwayat sahih.

Kemudian muncul sosok lain bernama Muhammad bin Abdul Wahhab yang juga pengikut Ibnu Taimiyah dan pendiri kelompok Wahabi sekarang ini. Berdasarkan keyakinan kelompok Wahabi, bersumpah atas namam selain Allah Swt adalah perbuatan syirik dan padahal dalam Al-Quran selain sumpah atas nama Allah Swt, juga disebutkan sumpah atas nama langit, bulan, matahari, bumi, malam, hari, buah tin, zaitun, nyawa Rasulullah dan masih banyak lagi. Rentetan penyimpangan pemikiran Wahabi ini sangat panjang untuk dijelaskan di sini. Namun dapat disimpulkan bahwa kelompok ini terbentuk berdasarkan khurafat dan keyakinan distorsif, dan sekarang berkat bantuan dana dan propaganda luas, kelompok ini sedang mengupayakan tercapainya tujuan-tujuan para kaum imperialis  Barat untuk menyulut perpecahan dan friksi antarmazhab dalam tubuh umat Islam.

Kembali pada penistaan terhadap makam sosok mulia Hujr bin Adi, aksi tersebut menambah panjang list kejahatan kelompok Salafi-Takfiri. Penggalian makam diharamkan dalam Islam dan termasuk dosa besar. Apalagi mereka yang mengklaim sebagai Muslim itu telah merusak dan menggali makam tokoh besar dalam Islam seperti Hujr bin Adi. Mereka bahkan mengancam akan merusak makam Sayidah Zainab sa putri Imam Ali as dan juga makam Sayidah Ruqayah sa putri Imam Husein as.

Sulit dibayangkan hubungan aksi tidak manusiawi ini dengan masalah kebebasan dan revolusi di Suriah yang mereka dengungkan. Namun yang sangat disayangkan adalah kebungkaman penuh makna lembaga-lembaga internasional dan kancah politik serta media massa Barat yang sebelumnya menggulirkan “tsunami kecaman” atas perusakan patung-patung Buddha di wilayah Bamiyan Afghanistan pada tahun 2001.

Yang lebih mengejutkan lagi, aksi serupa juga dilakukan oleh rezim-rezim Arab. Akan tetapi, tampaknya perusakan dan pembongkaran makam Salafi-Takfiri itu menjadi tren baru mereka untuk membalas dendam terhadap kaum Syiah. Setelah selama dua tahun mereka tidak berhasil mengobarkan perang sektarian di Suriah, sekarang mereka menumpahkan kebencian mereka dengan merusak makam-makam.

Akan tetapi, sama seperti bencana yang dialami oleh Muawiyah atas pembunuhan terhadap Hujr bin Adi, aksi perusakan makamnya oleh para teroris itu juga menguak kedok mereka di hadapan warga Palestina.

Mengenal Wahabi:
 Ulama Ahlu Sunnah dan Aliran Sesat Wahabi.
Ketika Muhammad bin Abdul Wahab masih hidup, bukan saja Sheikh Sulaiman yang menentangnya dan banyak menulis kitab atau surat mempertanyakan kesesatan pendiri aliran Wahabi ini. Bahkan Abdullah bin Abdul Latif Syafii, salah satu ulama Ahlu Sunnah dan guru Muhammad bin Abdul Wahab menulis buku berjudul “Tajrid Saif al-Jihad Li Muddaa al-Ijtihad” yang isinya mengkritik ajaran kaum Wahabi. Sheikh Abdullah bin Ibrahim, ulama Taif dalam bukunya “Tahridh al-Aghbiya Aala al-Istighatsa bil al-Ambiya wa al-Auliya” menyebut bertawasul kepada pemuka agama bukan bid’ah. Dalam bukunya tersebut, Sheikh Abdullah menjawah syubhah yang dilontarkan kaum Wahabi.
Para ulama dengan menunjukkan reaksinya terhadap ideologi menyimpang Muhammad bin Abdul Wahab telah berhasil mencerahkan pikiran rakyat terhadap ideologi sesat Wahabi. Para ulama dengan usahanya ini juga berhasil menyelamatkan banyak umat Muslim dari bahaya terjatuh dalam kebodohan  Wahabi.
Mayoritas pengikut Wahabi menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok Ahlu Sunnah (Sunni) dan memiliki akidah yang sama, namun kelompok Wahabi yang menyimpang ini dalam realitanya memiliki keyakinan yang berbeda dengan Sunni. Ulama Ahlu Sunnah di awal kemunculan kelompok  Wahabi gencar menulis kitab yang mempertanyakan keyakinan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab.

Orang pertama yang mengkritik dan menyerang bid’ah yang ditebar Muhammad bin Abdul Wahab adalah Sheikh Sulaiman, yang tak lain saudara dari pendiri aliran Wahabi. Sheikh Sulaiman dalam kitabnya yang berjudul, al-Sawaiq al-Ilahiah fi Mazhab al-Wahabiyah dan Faslul Khitab fi al-Rad Aala Muhammad bin Abdul Wahab mengkritik keras bida’ah dan kesesatan saudaranya. Ia pun menentang habis-habisan ideologi Muhammad bin Abdul Wahab.

Ada dialog yang terkenal antara dua saudara ini dan layak untuk didengar. Sulaiman bertanya kepada Muhammad bin Abdul Wahab, “Wahai Muhammad! Rukun Islam ada berapa?” Saudaranya menjawab, ada lima. Sulaiman berkata, “Namun kamu meyakini rukun Islam ada enam. Rukun keenam adalah kamu menyakini mereka yang tidak mengkuti dirimu adalah kafir! Keyakinan ini dalam ideologimu termasuk rukun Islam keenam.”

Mengingat dialog antara dua saudara ini, kita memahami sikap radikal paling mencolok Muhammad bin Abdul Wahab adalah keyakinannya “Yang tidak mengikuti dirinya adalah kafir”. Umat Muslim paling banyak dirugikan oleh ideologi sesar Muhammad bin Abdul Wahab ini dan Wahabi ekstrim serta menyimpang sampai saat ini gencar membantai warga Sunni dan Syiah. Padahal dalam ajaran Islam, hubungan antara Tuhan dan makhluk berdasarkan pada rahmat dan kecintaan. Adapun hubungan sesama anggota masyarakat dilandasi oleh rasa persaudaraan.

Ketika Muhammad bin Abdul Wahab masih hidup, bukan saja Sheikh Sulaiman yang menentangnya dan banyak menulis kitab atau surat mempertanyakan kesesatan pendiri aliran Wahabi ini. Bahkan Abdullah bin Abdul Latif Syafii, salah satu ulama Ahlu Sunnah dan guru Muhammad bin Abdul Wahab menulis buku berjudul “Tajrid Saif al-Jihad Li Muddaa al-Ijtihad” yang isinya mengkritik ajaran kaum Wahabi. Sheikh Abdullah bin Ibrahim, ulama Taif dalam bukunya “Tahridh al-Aghbiya Aala al-Istighatsa  bil al-Ambiya wa al-Auliya” menyebut bertawasul kepada pemuka agama bukan bid’ah. Dalam bukunya tersebut, Sheikh Abdullah menjawah syubhah yang dilontarkan kaum Wahabi.

Al-Aqwal al-Mardiyah fi al-Rad Aala al-Wahabiyah yang ditulis oleh Sheikh Atha Dimsyiqi. Sayid Alawi bin Ahmad Haddad mengatakan, “Banyak jawaban dan kritikan yang dilontarkan oleh ulama besar mazhab Ahlu Sunnah mulai dari Mekah, Madinah dan kota-kota lain seperti Ihsa, Basra, Aleppo dan kota lain kepada Muhammad bin Abdul Wahab .”

Selama Muhammad bin Abdul Wahab hidup hingga kematiannya banyak ulama yang menentang ideologi menyimpang pendiri Wahabi ini. Di antara ulama tersebut, Afifuddin Abdullah bin Dawud Hanbali, Ahmad bin Ali Basri Syafii, Sheikh Atha Makki, Sheikh Tahir  Hanafi, Sheikh Mustafa Hamami Misri salah satu ulama al-Azhar yang menulis buku “Ghauts al-Ibad bihi Bayan al-Rashad”.

Salah satu ulama dan mufti besar kota Mekah di akhir pemerintahan Utsmani, Sheikh Ahmad Zaini Dahlan terkait akidah sesat Muhammad bin Abdul Wahab menulis, “Ia menyangka ziarah ke kuburan Nabi Saw, dan bertawassul kepada beliau serta para nabi dan ulama serta ziarah kubur mereka untuk mendapat berkah adalah syirik. Ia pun menilai siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada selain Tuhan meski melalui jalur rasio yang diperbolehkan adalah syirik. Misalnya mengatakan, si fulan sembuh berkat obat saya… Muhammad bin Abdul Wahab dalam kata-katanya banyak melakukan falasi untuk menipu kaum awam serta menariknya menjadi pengikut aliran Wahabi.

Meski adanya penentangan luas ulama dan pencerahan yang gencar mereka lakukan, namun sangat disayangkan benih-benih ideologi rapuh ini tumbuh subur berkat dukungan dana dan militer pemerintah al-Saud serta Inggris dan akhirnya tumbuh menjadi sebuah pohon. Pohon ini hanya membuahkan kekerasan, friksi dan bentrokan antara kaum Muslim.

Wahabi sejak awal terbentuknya telah melakukan pembantaian besar-besaran untuk menguasai Mekah dan Madinah, dua kota yang menjadi pusat Islam. Pengikut aliran Wahabi mengaku dirinya sebagai muslim paling benar. Tak hanya itu, mereka menisbatkan perilaku menyimpang dan kekerasan kepada Nabi Muhammad Saw serta ajaran al-Quran.

Pada awalnya ulama Sunni dengan baik menentang Wahabi, namun selanjutnya secara bertahap mereka lebih memilih bungkam dan membiarkan aliran menyimpang ini berkembang. Salah satu dalih kebungkaman mereka adalah ketakutan mereka terhadap aliran Wahabi dan sayang terhadap jiwa mereka. Dengan bungkamnya ulama dan maraknya propaganda Wahabi serta ancaman yang ditebar pengikut Muhammad bin Abdul Wahab ini, sejumlah pengikut Sunni berbalik menjadi pengikut Wahabi.

Fenomena maraknya pengikut Sunni yang menjadi pengikut Wahabi disebabkan ulama mereka tidak serius seperti pendahulunya dalam memberi pencerahan kepada umatnya terhadap bahaya ideologi Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabi yang mendapat angin dan berkembang pesat di sejumlah negara Islam khususnya Arab Saudi mulai menerapkan kekerasan dan penentangannya terhadap rasio.  Dan para pengikutnya pun dipaksa untuk memusuhi akal sehingga terlelap dalam kejumudan.

Pembantaian muslim Suriah yang juga mencakup anak-anak tak berdosa merupakan contoh nyata dari ideologi sesat dan kejumudan akal Wahabi. Perusakan makam para pemuka agama, menistakan para wanita Suriah, memotong anggota badan penentangnya serta perilaku sadis lainnya menunjukkan fanatisme dan kekerasan yang ditebar pengikut Wahabi.

Kini semua telah menyadari bahwa klaim jihad, tuntutan kebebasan dan bantuan kepada rakyat Suriah semuanya sekedar alasan untuk merusak kehidupan rakyat negara ini. Wahabi ekstrim di Suriah bukannya tidak membantu rakyat negara ini, bahkan mereka malah merusak dan membuat kehidupan rakyat semakin buruk serta aktif membantai warga atau memaksanya mengungsi. Harta warga pun dijarah dan tidak memberi ampun kepada siapa pun termasuk anak-anak dan wanita. Sangat disayangkan ulama Ahlu Sunnah sampai saat ini belum menunjukkan sikap yang tegas terhadap kejahatan anti Islam yang menggunakan nama jihad.

Toleransi dan keras adalah dua sifat Nabi Saw dan ajaran al-Quran. Kedua sifat mulia ini pun menghiasidalam kehidupan politik dan sosial beliau sepanjang hidupnya baik dalam perilaku maupun amal. Keras dan teguh merupakan keharusan untuk menjalankan keadilan dan menjamin keamanan. Toleransi yang tak pada tempatnya malah akan menghilangkan hak manusia. Pengampunan dan kelembutan yang timbul dari kelemahan saat menghadapi kezaliman adalah kehinaan serta bentuk dari sikap menyerah terhadap kezaliman. Hal ini malah membuat pelaku kezaliman semakin leluasa menjalankan aksinya.

Oleh karena itu, menolak toleransi seperti ini. Rasulullah Saw meski disebut sebagai Nabi pembawa rahmat bagi seluruh umat manusia, namun beliau tidak pernah mendiamkan ketidakadilan, kezaliman dan bid’ah. Beliau pun gencar memeranginya. Dalam ajaran Islam berdamai dengan orang zalim dan penumpah darah tidak pernah dibenarkan.

Mengingat ayat 73 surat al-Isra di mana Allah Swt memperingatkan Nabi-Nya soal berlemah lembut dengan orang kafir, kita memahami bahwa dalam pandangan al-Quran muslim dan mukmin tidak diperkenankan menunjukkan kelemahan dalam soal agama. Mereka dianjurkan untuk memerangi ahli bid’ah dan orang kafir dengan sungguh-sungguh. Dewasa ini umat Islam juga seharusnya tidak menunjukkan rasa toleransi terhadap propaganda anti agama musuh dan Wahabi yang menebarkan bid’ah.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: