Pesan Rahbar

Home » , , , , , » 3 Ayat Yang Meruntuhkan Aqidah Syiah Dari Dasarnya ? HANYA DENGAN 3 AYAT ANDA DAPAT MENUMBANGKAN MADZHAB SYIAH ? (1)

3 Ayat Yang Meruntuhkan Aqidah Syiah Dari Dasarnya ? HANYA DENGAN 3 AYAT ANDA DAPAT MENUMBANGKAN MADZHAB SYIAH ? (1)

Written By Unknown on Monday 18 August 2014 | 00:31:00

HANYA DENGAN 1 ARTIKEL INI ANDA DAPAT MENUMBANGKAN FITNAH WAHABI TERHADAP MADZHAB SYIAH ! Artikel ini Meruntuhkan Fitnah Wahabi atas Madzhab Syi’ah dari Dasarnya ! 10 Logika Dasar Penangkal Wahabi.



Artikel ini menjawab tuduhan hakekat.com


Memang seseorang tatkala hendak mencela Syi’ah terkadang harus mencampakkan “kewarasan” nya demi mencapai tujuannya yaitu mencela sekaligus membuat stigma buruk terhadap Syi’ah.Dimanapun tulisan banyak sekali ditemukan tulisan dengan kwalitas seperti itu . . . .

Betapa sikap orang tersebut setali tiga uang dengan sikap orientalis Barat dalam memahami ajaran Islam. Pemahaman sikap orientalis Barat yang tidak jujur akan ajaran Islam hanyalah dilandasi oleh persepsi semata bukan bukti konkrit. Mereka sepertinya enggan untuk menelaah dan mengkaji Islam secara detil dan hanya berkutat pada persepsi dan asumsi belaka.

Akan tetapi lihatlah apa yang orientalis Barat itu lakukan ketika mereka melakukan kajian teologis atas kitab2 mereka. Mereka melakukannya secara kritis dan dengan sungguh2 didasarkan atas timbangan bukti2. Bagi mereka yang pernah duduk dalam kajian teologi Kristen tentulah tidaklah asing lagi.

Tapi mengapa ketika mereka menulis dan mengkaji Islam, sikap dan prinsip akademis tersebut mereka campakan begitu saja seolah mereka cukup berpuas diri dengan hanya berbekal asumsi dan persepsi semata?

Demikian halnya timbangan yang sama dilakukan kepada Syiah. Ketika ada teman Sunni yang berbicara tentang Syiah, beberapa dari mereka hanya berpuas diri dengan hanya mengutip dan kemudian berasumsi.
BERIKUT ini adalah 10 LOGIKA DASAR yang membela  akidah Syiah, bisa diajukan sebagai bahan diskusi ke kalangan Syiah dari level awam, sampai level ulama. Setidaknya, logika ini bisa dipakai sebagai “anti virus” untuk menangkal propaganda dai-dai WAHABI  SALAFi yang ingin menyesatkan Ummat Islam dari jalan yang lurus.

Kalau Anda berbicara dengan orang wahabi, atau ingin mengajak orang wahabi bertaubat dari kesesatan, atau diajak berdebat oleh orang wahabi, atau Anda mulai dipengaruhi dai-dai wahabi; coba kemukakan 11 LOGIKA DASAR di bawah ini.

Sehingga kita bisa membuktikan, bahwa tuduhan hakekat.com adalah absurd !
Meludah kelangit terpercik muka hakekat.com :

LOGIKA 1  ; Seputar otentisitas Kitab Rujukan Syi’ah.


Wahabi sengaja membaca nukilan dari kitab kitab Syi’ah secara sepotong- sepotong.
Wahabi memotong nukilan yang sesuai dengan tujuan dan kepentingannya. Wahabi sengaja membaca kutipan yang memperkuat  pendapatnya, dan menyembunyikan nukilan yang tidak sesuai dengankepentingan mereka (sengaja tidak dibaca). Hendaknya membaca kitab Syiah  seluruhnya supaya faham maksud perkataan sesuatu hal dengan jelas.

APAKAH MUNGKiN BUKU DAN WEBSiTE SALAFY YANG MENGKRiTiK SYi’AH ( YANG MEREKA KLAiM MENCANTUMKAN CATATAN KAKi DENGAN MERUJUK KEKiTAB UTAMA SYi’AH) ADALAH REKAYASA ????

Jawaban :
Ya, mengandung unsur rekayasa.. Karena saya sudah pernah membuktikan nya:
 – Salafi tidak merujuk langsung ke kitab syi’ah tapi mereka ambil dari buku buku yang memuat teks syi’ah sepotong sepotong.
– Mereka juga mengutip isi dari ktab kitab syi’ah tidak secara lengkap dan mereka memotong motong teks nya atau menambah nambah teks yang tidak ada didalam kitab asli syi’ah dengan teks buatan salafi.
– Terkadang mereka menghilangkan tanda ( ) dari teks agar bercampur baur hadis dalam tanda tanda itu dengan tafsirnya.
– Itulah beberapa cara atau sebagian cara cara salafy dalam memutar balikkan kitab syiah.

Orang orang Wahabi yang menentang Syi’ah, saya yakin mayoritas mereka belum pernah melihat langsung nukilan itu di kitab Syiah.
Saya yakin hakekat.com mengutip dari pihak ketiga, lalu sok tau seolah olah mengutip dari kitab asli…
hakekat.com…. kalau buat artikel kok asal asalan saja … ente cuma katanya katanya… cuma membaca beberapa buku , tak pernah survey ke daerah nya ( iran) …sehingga ente memvonis syiah itu jelek/ kafir … coba kalau ente langsung ke tempatnya dan tempat syiah yang ahlulbait yang baik tentu ente akan terbelalak hati ente…. karena golongan syiah itu banyak, mungkin yg ente tahu hanya syiah yg jelek (extrem),…..begitu juga digolongan sunni… banyak ragamnya…coba menurut ente yang mana kelompok suni yang paling benar ?  NU, muhammadiyah, LDII, Islam salafi, salafi wahabi, jamaah tabligh, atau wahabi ? inilah gambaran kecil dari umat islam.

Jika pihak Syi’ah menukil sebuah hadis dari Bukhari (yang merupakan salah satu literatur induk tafsir ahlussunnah wal jamaah). Apakah anda akan menganggap bahwa nukilan itu adalah pendapat ahlussunah hanya karena   berasal dari salah satu kitab literatur utama ahlussunnah ? misal :
Hadis tentang  kedua orang tua Nabi SAW dikatakan sebagai isi neraka dibantah NU !
Hadis tajsim tasybih Abu Hurairah dibantah NU !

Syi’ah menghujat kitab sendiri ?? (hakekat.com menuduh demikian).
1. Adanya riwayat-riwayat aneh yang ternukil dalam kitab syi’ah karena kedudukannya dhaif di sisi Syiah ! Itu bukan pegangan kami.

Penghinaan Syiah Terhadap Allah : Aah Termasuk Nama Allah?
Adanya riwayat-riwayat aneh yang ternukil dalam kitab suatu mazhab adalah hal biasa. Yang tidak biasa adalah menisbatkan riwayat tersebut seolah-olah itu menjadi keyakinan yang diakui kebenarannya dalam mazhab yang dimaksud. Mereka yang tidak mengerti dan menisbatkan kedustaan dengan berbagai riwayat dhaif dan dusta terhadap suatu mazhab adalah orang-orang jahil. Begitulah yang dilakukan salah seorang pencela berikut terhadap Syiah. Ia menukil riwayat:

حدثنا أبو عبد الله الحسين بن أحمد العلوي، قال: حدثنا محمد بن همام، عن علي ابن الحسين، قال: حدثني جعفر بن يحيى الخزاعي، عن أبي إسحاق الخزاعي، عن أبيه، قال: دخلت مع أبي عبد الله عليه السلام على بعض مواليه يعوده فرأيت الرجل يكثر من قول ” آه ” فقلت له: يا أخي أذكر ربك واستغث به فقال أبو عبد الله: إن ” آه ” اسم من أسماء الله عز وجل فمن قال: ” آه ” فقد استغاث بالله تبارك وتعالى

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah Husain bin Ahmad Al ‘Alawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hamaam dari Aliy bin Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Yahya Al Khuza’iy dari Abu Ishaq Al Khuza’iy dari Ayahnya yang berkata “aku masuk bersama Abu Abdullah [‘alaihis salam] kepada sebagian mawali-nya dan aku melihat seorang laki-laki seringkali mengatakan aah. Maka aku berkata kepadanya “wahai saudaraku, sebutlah nama Tuhanmu dan mintalah pertolongan-Nya. Maka Abu Abdullah berkata sesungguhnya “aah” adalah nama dari nama-nama Allah maka barang siapa yang mengatakan “aah” maka sungguh ia telah meminta pertolongan Allah tabaraka wata’ala [Ma’aniy Al Akhbar Syaikh Shaduuq hal 354].



Pencela tersebut mengatakan bahwa riwayat ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran Syiah terhadap Allah SWT. Tentu saja ini ucapan yang jahil, riwayat yang dinukil nashibi tersebut kedudukannya dhaif di sisi Syiah karena Abu Ishaq Al Khuza’iy dan Ayahnya tidak ditemukan biografinya dalam kitab Rijal Syiah.

Riwayat yang serupa dengan riwayat Syiah di atas juga ditemukan dalam kitab hadis salah seorang ulama Ahlus Sunah yaitu Abdul Kariim bin Muhammad Ar Rafi’iy dalam kitabnya Tadwiin Fii Akhbar Qazwiin 4/72 biografi Mahmuud Abu Yamiin Al Qazwiiniy.


وَسَمِعَ الْقَاضِي أبا عَبْد اللَّه الحسين بْن إبراهيم بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ إبراهيم بْنِ الْحُسَيْنِ الْبُرُوجِرْدِيَّ سَنَةَ خَمْسٍ وخمسين وخمسمائة فِي جُزْءٍ سَمِعَ مِنْهُ بِإِجَازَةِ أبي الفتح عبدوس ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ لَهُ أَنْبَأَ أَبُو القاسم سعد بْن علي الزنجاني بِمَكَّةَ أَنْبَأَ هِبَةُ اللَّهِ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعَافِرِيُّ أَنْبَأَ أَبُو إِسْحَاقَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ حِبَّانَ ثنا مُحَمَّدُ بْنُ إبراهيم الْمِصْرِيُّ ثنا أَحْمَد بْنُ عَلِيٍّ الْقَاضِي بِحِمْصَ ثنا يحي بْنُ مَعِينٍ ثنا إِسْمَاعِيل بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ عَنْ بَهِيَّةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وآله وسلم وعندنا عليل يان فَقُلْنَا لَهُ اسْكُتْ فَقَدْ جَاءَ النبي فقال النبي: “دعوه يان فَإِنَّ الأَنِينَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى يَسْتَرِيحُ إِلَيْهِ الْعَلِيلُ.

Telah mendengar dari Al Qaadhiy Abu ‘Abdullah Husain bin Ibrahiim bin Husain bin Ibrahiim bin Husain Al Burujirdiy pada tahun 555 H dalam juz yang ia dengar darinya dengan ijazah Abu Fath ‘Abduus bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abduus yang telah memberitakan kepadanya Abu Qasim Sa’d bin Aliy Al Zanjaaniy di Makkah yang berkata telah memberitakan kepada kami Hibbatullah bin ‘Aliy Al Ma’aafiriy yang berkata telah memberitakan kepada kami Abu Ishaaq ‘Abdul Malik bin Hibbaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Al Mishriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Aliy Al Qaadhiy di Himsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ma’in yang berkata telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Ayyaasy dari Laits bin Abi Sulaim dari Bahiyyah dari Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemui kami dan di sisi kami terdapat orang yang sedang sakit dan merintih. Maka kami katakan padanya “diamlah sungguh Nabi telah datang”.Maka Nabi berkata “biarkanlah dia merintih karena suara rintihan termasuk nama dari nama-nama Allah yang dengannya dapat meredakan sakit” [Tadwiin Fii Akhbar Qazwiin, Ar Rafi'iy 4/72].

Abdul Kariim bin Muhammad Ar Rafi’iy Al Qazwiiniy Abul Qasim termasuk ulama mazhab Syafi’i, seorang imam dalam agama. Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad Ash Shafaar berkata “ia syaikh [guru] kami imam dalam agama, penolong sunnah, seorang yang shaduq” [As Siyaar Adz Dzahabiy 22/253-254]
Riwayat ini juga dhaif kedudukannya di sisi Ahlus Sunnah karena sebagian perawi tidak dikenal kredibilitasnya dan sebagian lainnya dhaif seperti Laits bin Abi Sulaim. Walaupun memang ternukil ada ulama yang menguatkan hadis ini yaitu Al Aliy bin Ahmad Al ‘Aziziy menukil dari Syaikhnya [Muhammad Al Hijaziy Asy Sya’raniy] dalam Siraj Al Munir Syarh Jami’ As Shaghiir 2/287, Al ‘Aziziy berkata “Syaikh berkata hadis hasan lighairihi”.
.
Menurut pikiran sang pencela adanya riwayat tersebut dalam kitab ulama mazhab Syiah menunjukkan kekurangajaran Syiah terhadap Allah, lantas bagaimana nasibnya dengan adanya riwayat serupa dalam kitab ulama mazhab Sunni, apakah itu berarti kekurangajaran Sunni terhadap Allah?. Sepertinya yang kurang diajar dengan benar adalah lisan dan cara berpikir pencela tersebut.

2. Sunni dan wahabi tidak paham bahwa dalam pandangan ilmu hadis Syiah terdapat perbedaan antara istilah shahih antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin.
Sunni dan wahabi tidak paham bahwa dalam pandangan ilmu hadis Syiah terdapat perbedaan antara istilah shahih antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin ! 
Sunni dan wahabi cuma mampu Berhujjah dengan riwayat dhaif untuk mencela mazhab Syi’ah, Lihat gambar Dibawah ini:



Riwayat Syiah : Nabi Adam Dengki Terhadap Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain?
Para pencela Syiah mengutip dari kitab Ayatullah Mulla Zainal Abidin Al Kalbayakaniy yaitu Anwar Al Wilayah bahwa disebutkan kalau Nabi Adam dengki terhadap kedudukan Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

و إن آدم عليه السّلام لما أكرمه اللّه تعالى ذكره بإسجاد ملائكته و بإدخاله الجنة، قال في نفسه: هل خلق اللّه بشرا أفضل مني؟ فعلم اللّه عز و جل ما وقع في نفسه، فناداه: ارفع رأسك يا آدم فانظر إلى ساق عرشي، فرفع آدم رأسه فنظر إلى ساق العرش، فوجد عليه مكتوبا: لا إله إلا اللّه، محمد رسول اللّه، علي بن أبي طالب أمير المؤمنين، و زوجته فاطمة سيدة نساء العالمين، و الحسن و الحسين سيدا شباب أهل الجنة. فقال آدم عليه السّلام: يا رب، من هؤلاء؟ فقال عز و جل: من ذريتك و هم خير منك، و من جميع خلقي، و لولاهم ما خلقتك و لا خلقت الجنة و النار و لا السماء و الأرض، فإياك أن تنظر إليهم بعين الحسد فأخرجك عن جواري ، فنظر إليهم بعين الحسد ، و تمنى منزلتهم فتسلط عليه الشيطان حتى أكل من الشجرة التي نهي عنها ، و تسلط على حواء لنظرها إلى فاطمة بعين الحسد حتى أكلت من الشجرة كما أكل آدم فأخرجهما الله عن جنته و أهبطهما عن جواره إلى الأرض

Dan sesungguhNya Adam ['alaihis Salam] pada saat Allah Ta’ala  memuliakanNya dengan sujud dari para Malaikat-Nya kepadanya dan dengan memasukkan dia ke Surga, Adam berkata tentang dirinya “Apakah Allah menciptakan manusia yang lebih utama dari aku? Allah ‘Azza Wajalla mengetahui apa yang tengah terjadi pada diri Adam, maka Allah pun berfirman kepadaNya : “Angkatlah kepalamu wahai Adam dan lihatlah bagian bawah ‘Arsy” Maka Adam pun mengangkat kepalanya dan melihat ke bagian bawah ‘Arsy, maka dia pun mendapatkan bahwasa tertulis di atasnya “Tiada Tuhan Selain Allah, Muhammad [Shallallaahu 'Alaihi Wasallam] adalah Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib Amirul Mukminin, dan IstriNya; Fathimah Sayyidah Nisa` Al-’Alamin, Al-Hasan dan Al-Husain Sayyid Syabab Ahl Al-Jannah. Maka Adam pun bertaNya kepada Allah “Yaa Rabb, siapakah mereka?” Allah ‘Azza Wajalla berfirman kepadanya “Mereka adalah dari keturunanmu dan mereka lebih baik darimu, dan mereka lebih baik dari seluruh ciptaan-Ku, seandainya bukan karena mereka tentu Aku tidak akan menciptakanmu, dan Aku juga tidak akan menciptakan Surga dan Neraka, tidak pula langit dan bumi. Maka berhati-hatilah engkau dari melihat mereka dengan mata kedengkian, maka Aku akan mengeluarkanmu dari kedekatan denganku. Namun Adam memandang mereka dengan mata hasad dan menginginkan kedudukan mereka, maka setan pun menguasainya hingga Adam memakan dari pohon yang dilarang. Dan setan pun turut menguasai Hawa hingga Hawa memandang Fathimah dengan mata hasad hingga dia memakan dari pohon tersebut sebagaimana Adam melakukannya. Maka Allah mengeluarkan keduanya dari Surga-Nya dan menjauhkan keduanya dari Kedekatakan dengan-Nya ke bumi [Anwar Al Wilayah hal 153 Ayatullah Al Kalbayakaniy].



Ayatullah Al Kalbayakaniy dalam riwayat di atas tidak sedang membawakan perkataannya sendiri tetapi ia membawakan riwayat yang panjang dari Abu Shult yang bertanya pada Imam Ali Ar Ridha. Dalam catatan kaki kitab Anwar Wilayah disebutkan bahwa asal riwayat tersebut adalah dari kitab U’yuun Akhbar Ar Ridha Syaikh Shaduuq. Sanad riwayat Syaikh Shaduq adalah sebagai berikut:


حدثنا عبد الواحد بن محمد بن عبدوس النيسابوري العطار رضي الله عنه قال: حدثنا علي بن محمد بن قتيبة عن حمدان بن سليمان عن عبد السلام بن صالح الهروي قال: قلت للرضا عليه السلام

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus An Naiasabuuriy Al Aththaar [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Muhammad bin Qutaibah dari Hamdaan bin Sulaiman dari ‘Abdus Salaam bin Shaalih Al Harawiy yang berkata aku bertanya kepada Ar Ridha [‘alaihis salaam]. [U’yuun Akhbar Ar Ridha Syaikh Shaduuq 1/274, no 67]
Selain disebutkan dalam U’yuun Akhbar Ar Ridha, riwayat ini juga disebutkan Ash Shaduq dalam Ma’aniy Al Akhbar hal 124. Sanad riwayat Ash Shaduq ini berdasarkan ilmu Rijal di sisi Syiah kedudukannya dhaif karena ‘Abdul Wahid bin Muhammad bin ‘Abduus dan ‘Aliy bin Muhammad bin Qutaibah majhul.
Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijalul Hadiits berkesimpulan bahwa ‘Abdul Waahid bin Muhammad seorang yang majhul hal [Mu’jam Rijal Al Hadiits 12/41-32 no 7369].

عبد الواحد بن محمد بن عبدوس: العطار النيسابوري، من مشايخ الصدوق، ذكره في المشيخة – روى في التوحيد والعيون – مجهول

‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus Al ‘Aththaar An Naisaburiy termasuk guru Syaikh Shaduuq, disebutkannya dalam Masyaikh-nya, meriwayatkan dalam kitab At Tauhiid dan Al U’yuun, seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijalul Hadiits hal 359, Muhammad Al Jawahiriy].

علي بن محمد القتيبي هو علي بن محمد بن قتيبة  المجهول

Aliy bin Muhammad Al Qutaibiy, ia adalah Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijalul Hadiits hal 413, Muhammad Al Jawahiriy].

Sebagian ulama Syiah ada yang menshahihkan hadis yang di dalam sanadnya terdapat ‘Abdul Wahiid bin Muhammad dari Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, dengan alasan sebagai berikut:
Syaikh Ash Shaduq pernah menyatakan shahih hadis dengan sanad yang didalamnya ada ‘Abdul Wahid bin Muhammad ‘Abduus dan Aliy bin Muhammad bin Qutaibah. Tetapi hal ini telah dijawab oleh Sayyid Al Khu’iy bahwa dari tashih tersebut tidak dapat dinyatakan tautsiq terhadap perawinya.

Hal ini bisa dipahami karena dalam pandangan ilmu hadis Syiah terdapat perbedaan antara istilah shahih antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin, Syaikh Ja’far Syubhani pernah menukil hal ini dalam Al Kulliyat Fi Ilm Rijal

و ذلک لان مصطلح الصحیح عند القدماء غیره عند المتأخرین، و لا یستتبع صحة حدیث الرجل عند القدماء وثاقته عندهم

Dan itu karena istilah shahih di kalangan mutaqaddimin berbeda dengan muta’akhirin tidak mesti istilah shahih hadis seorang perawi di sisi mutaqaddimin menunjukkan perawinya tsiqat di sisi mereka [Al Kulliyat Fii Ilm Rijal, Syaikh Ja’far As Subhaniy hal 486].

Berkenaan dengan Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, sebagian ulama Syiah menguatkannya karena telah ternukil pujian dari kalangan mutaqaddimin diantaranya An Najasyiy dan Ath Thuusiy.

علي بن محمد بن قتيبة النيشابوري (النيسابوري) – عليه اعتمد أبو عمر والكشي في كتاب الرجال

Aliy bin Muhammad bin Qutaibah An Naisaburiy, Abu ‘Amru Al Kissyiy telah berpegang dengannya dalam kitab Rijal [Rijal An Najasyiy hal 259 no 678].

علي بن محمد القتيبي، تلميذ الفضل بن شاذان، نيسابوري، فاضل

Aliy bin Muhammad Al Qutaibiy murid Fadhl bin Syadzaan, orang Nasaibur, memiliki keutamaan [Rijal Ath Thuusiy hal 429].

Adapun apa yang disebutkan An Najasyiy maka lafaz tersebut tidak kuat sebagai tautsiq karena Al Kisyiy sendiri dikatakan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dan banyak meriwayatkan dari perawi dhaif [Rijal An Najasyiy hal 372 no 1018]. Artinya An Najasyiy sendiri mengakui bahwa Al Kisyiy juga berpegang pada perawi dhaif maka lafaz “Al Kisyiy telah berpegang dengannya” yang disematkan pada Aliy bin Muhammad bin Qutaibah tidak bernilai tautsiq. Sedangkan lafaz perkataan Ath Thuusiy “fadhl” bukan lafaz tautsiq yang jelas untuk seorang perawi dalam periwayatan hadis sebagaimana yang dikatakan Sayyid Al Khu’iy dalam Mu’jam Rijalul Hadits.

Jika diamati sekilas nampak istilah ilmu hadis dalam Syiah agak mirip dengan ilmu hadis dalam Sunni. Dalam Sunni dikenal juga anggapan bahwa perkataan “hadis shahih” dari seorang ulama tidak mesti diambil sebagai tautsiq terhadap para perawinya karena bisa saja hadis tersebut shahih dengan syawahid [artinya sanadnya sendiri dhaif] atau tashih tersebut tidak mu’tamad karena berasal dari ahli hadis yang dikenal tasahul. Begitu pula lafaz “fadhl” tidak harus bermakna tsiqat atau shaduq karena bisa saja yang dimaksud adalah keutamaan seseorang sebagai faqih atau ahli ibadah dan cukup dikenal bahwa banyak para fuqaha dan ahli ibadah yang dikenal dhaif dalam hadis.

Kedudukan yang rajih mengenai Aliy bin Muhammad bin Qutaibah adalah seorang yang majhul tidak ada lafaz tautsiq yang jelas padanya, Inilah pendapat Sayyid Al Khu’iy, Muhammad bin Aliy Al ‘Ardabiliy dan Muhammad Al Jawahiriy. Sayyid Al Khu’iy menyebutkan dalam biografi Utsman bin Ziyad Al Hamdaaniy

فطريق الصدوق إليه: عبد الواحد بن محمد بن عبدوس العطار النيسابوري، عن علي بن محمد بن قتيبة، عن حمدان بن سليمان، عن محمد بن الحسين، عن عثمان بن عيسى، عن عبد الصمد بن بشير، عن عثمان بن زياد والطريق ضعيف بعبد الواحد، وعلي بن محمد

Maka jalan Ash Shaduq kepadanya : ‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus Al ‘Athaar An Naisaburiy dari Aliy bin Muhammad bi Qutaibah dari Hamdaan bin Sulaiman dari Muhammad bin Husain fari ‘Utsman bin ‘Iisa dari ‘Abdush Shamaad bin Basyiir dari Utsman bin Ziyaad, dan jalan ini dhaif karena ‘Abdul Waahid dan ‘Aliy bin Muhammad [Mu’jam Rijal Al Hadist Sayyid Al Khu’iy 12/120 no 7597].

والى الفضل بن شاذان فيه عبد الواحد بن عبدوس النيشابوري العطار رضي الله عنه وهو غير مذكور وعلي بن محمد بن قتيبة ولم يصرح بالتوثيق

Dan jalan kepada Fadhl bin Syadzaan di dalamnya ada ‘Abdul Waahid bin ‘Abduus An Naisaburiy Al ‘Aththaar [radiallahu ‘anhu] dan ia tidak disebutkan tentangnya, Aliy bin Muhammad bin Qutaibah, tidak ada tautsiq yang jelas padanya [Jami’ Ar Ruwaat 2/539, Muhammad bin Aliy Al Ardabiliy].

Berkenaan dengan riwayat Ash Shaduq tentang Nabi Adam di atas, salah seorang ulama Syi’ah yaitu Syaikh Abdullah Ad Dasytiy telah menegaskan kedhaifannya, ia berkomentar dalam salah satu kitabnya.



والخبر ضعيف ، فالسند الأول فيه عبد الواحد بن محمد بن عبدوس النيسابوري العطار لم يذكر له توثيق صريح

Dan Kabar ini dhaif, dalam sanad yang pertama di dalamnya terdapat ‘Abdul Waahid bin Muhammad bin ‘Abduus An Naisaabuuriy Al ‘Aththaar tidak disebutkan tautsiq yang jelas terhadapnya [An Nafiis Fi Bayaan Raziitil Khamiis 2/223].

Sebagian ulama syi’ah seperti Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar menakwilkan bahwa makna hasad disana adalah ghibthah yaitu keinginan untuk mendapatkan kedudukan seperti mereka. [Bihar Al Anwar 11/165]. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Allamah Thabathaba’iy dalam kitab tafsirnya Al Mizan Fii Tafsir Al Qur’an, ia berkata:

وقوله عليه السلام: فنظر إليهم بعين الحسد وتمنى منزلتهم فيه بيان أن المراد بالحسد تمنى منزلتهم دون الحسد الذي هو أحد الأخلاق الرذيلة

Dan perkataan [Imam] ‘alaihis salaam “maka ia [Adam] melihat mereka dengan mata hasad dan mengingnkan kedudukan mereka, di dalamnya terdapat penjelasan bahwa maksud hasad tersebut adalah menginginkan kedudukan mereka bukan hasad yang merupakan salah satu akhlak tercela [Al Miizan Fii Tafsir Al Qur’an, Allamah Thabathba’iy 1/144].

Sebagaimana diketahui bahwa ghibthah termasuk hasad yang diperbolehkan bagi seorang muslim, hal ini juga sudah dikenal di sisi Ahlus Sunnah.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang, orang yang dikaruniakan Allah harta kekayaan kemudian ia membelanjakannya di atas kebenaran dan orang yang dikaruniakan hikmah oleh Allah kemudian ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya [Shahih Bukhari no 73].

Hasad yang dimaksud dalam hadis Bukhariy di atas tidak lain adalah ghibthah yaitu meginginkan apa yang dimiliki seseorang tetapi tidak berniat untuk menghilangkan hal itu dari orang tersebut.

Kami hanya ingin menunjukkan bagaimana pandangan ulama syiah mengenai riwayat tentang Nabi Adam di atas, yaitu ada yang mendhaifkannya dan ada pula yang menerimanya kemudian menakwilkan makna hasad tersebut sebagai ghibthah dan kami melihat penakwilan tersebut sebagai usaha mereka untuk mensucikan Nabi Adam dari menisbatkan hal yang buruk terhadapnya. Walaupun begitu secara pribadi kami melihat bahwa pendapat yang mendhaifkan riwayat tersebut lebih rajih.

Sungguh mengherankan melihat usaha para pencela yang berusaha merendahkan mazhab Syi’ah dengan riwayat-riwayat yang menurut kacamata awam mereka termasuk merendahkan para Nabi. Sayangnya mereka tidak melihat bahwa di dalam kitab mazhab Ahlus sunnah juga terdapat riwayat yang dinilai menurut kacamata awam seolah-olah merendahkan para Nabi. Apakah dengan begitu mazhab ahlus sunnah akan direndahkan pula. Silakan perhatikan riwayat berikut:

حدثنا قتيبة بن سعيد عن مالك بن أنس فيما قرئ عليه عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال تحاج آدم وموسى فحج آدم موسى فقال له موسى أنت آدم الذي أغويت الناس وأخرجتهم من الجنة ؟ فقال آدم أنت الذي أعطاه الله علم كل شئ واصطفاه على الناس برسالته ؟ قال نعم قال فتلومني على أمر قدر علي قبل أن أخلق ؟

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid dari Malik bin ‘Anas dari apa yang telah dibacakan kepadanya dari Abi Az Zanaad dari Al A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata Adam dan Musa pernah berdebat, maka Musa berkata kepada Adam “engkaukah Adam yang telah menyesatkan manusia dan mengeluarkan mereka dari surga?”. Maka Adam berkata “engkaukah yang telah diberikan Allah ilmu tentang segala sesuatu dan telah dipilih atas manusia untuk mengemban risalah-Nya?. Musa berkata “benar”. Adam berkata “maka mengapa engkau mencelaku atas perkara yang telah ditetapkan Allah kepadaku sebelum aku diciptakan” [Shahih Muslim 4/2042 no 2652].

Tentu kalau dilihat dari kacamata awam dan kacamata para pencela maka riwayat di atas adalah amunisi yang baik untuk mencela mazhab Ahlus sunnah. Bukankah zhahir riwayat di atas Musa telah mencela Adam bahwa ia telah menyesatkan manusia dan mengeluarkan manusia dari surga dan Adam tidak membantah pernyataan tersebut hanya mengatakan kepada Musa, mengapa ia mencela apa yang telah ditetapkan Allah SWT. Dengan kacamata pencela tersebut maka dapat dikatakan bahwa riwayat ini adalah penghinaan mazhab ahlus sunnah terhadap para Nabi [‘alaihis salaam].

Apakah demikian hakikatnya? Tidak, para ulama ahlus sunnah telah menjelaskan hadis di atas dengan penjelasan yang berusaha mensucikan Nabi Adam dan Nabi Musa dari menisbatkan hal-hal yang buruk terhadap keduanya. Maka apa bedanya disini antara ulama ahlus sunnah dan ulama syiah, bukankah mereka sama-sama mensucikan para Nabi dan memuliakan mereka. Lain halnya dengan pencela dan pendengki mereka akan selalu mencari-cari cara untuk merendahkan mazhab yang mereka kafirkan dengan hawa nafsu mereka.



3. sunni dan wahabi cuma mampu Berhujjah dengan riwayat dhaif untuk mencela mazhab Syi’ah.

Sunni dan wahabi cuma mampu Berhujjah dengan riwayat dhaif untuk mencela mazhab Syi’ah.



Ghuluw : Ali Sudah Ada Semenjak Nabi Terdahulu, Penolong Dakwah dan Pemilik Kunci-Kunci Ghaib?
Berhujjah dengan riwayat dhaif untuk mencela mazhab lain adalah tindakan yang tidak bijaksana karena orang tersebut pasti tidak suka jika hujjah yang sama ditujukan pada mazhab-nya. Maka dari itu siapapun yang punya akal pikiran waras akan berhati-hati dalam menuduh mazhab lain. Lain hal-nya jika dari awal, seseorang memang berniat mencela atau memfitnah mazhab lain maka ia tidak akan peduli dengan bagaimana caranya berhujjah. Ia akan terus mencela berulang-ulang dengan hujjah yang lemah sampai akhirnya ia akan dikenal dengan sebutan sang pencela. Sang Pencela mengutip riwayat berikut dari kiitab Tafsir Furat Al Kufiy

فرات قال: حدثني جعفر بن محمد الفزاري قال: حدثنا أحمد بن ميثم الميثمي قال: حدثنا أحمد بن محرز الخراساني عن [ر: قال: حدثنا] عبد الواحد بن علي قال قال أمير المؤمنين [علي بن أبي طالب. ر] عليه السلام أنا أؤدي من النبيين إلى الوصيين ومن الوصيين إلى النبيين، وما بعث الله نبيا إلا وأنا أقضي دينه وأنجز عداته، ولقد اصطفاني ربي بالعلم والظفر، ولقد وفدت إلى ربي اثنى عشر وفادة فعرفني نفسه وأعطاني مفاتيح الغيب ثم قال: يا قنبر من على الباب [ب: بالباب]؟ قال: ميثم التمار! ما تقول ان أحدثك فان أخذته كنت مؤمنا وإن تركته كنت كافرا؟ [ثم. أ] قال: أنا الفاروق الذي أفرق بين الحق والباطل، أنا أدخل أوليائي الجنة وأعدائي النار، أنا! قال الله هل ينظرون إلا أن يأتيهم الله في ظلل من الغمام والملائكة وقضي الامر وإلى الله ترجع الأمور

Fuurat berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad Al Fazariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Maitsam Al Maitsamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhriz Al Khuraasaniy dari ‘Abdul Wahid bin ‘Aliy yang berkata Amirul Mukminin [Aliy bin Abi Thalib] berkata aku adalah penyampai dari para Nabi kepada para washi dan dari para washi kepada para Nabi, dan tidaklah Allah mengutus Nabi melainkan aku ikut menegakkan agamanya dan menghancurkan yang memusuhinya, sungguh Allah telah memilihku dengan ilmu dan kemenangan, dan sungguh aku telah menemui Rab-ku dua belas kali dan Ia mengenalkan dirinya, memberikan kepadaku kunci-kunci ghaib. Kemudian Beliau berkata “wahai Qanbar, siapa yang ada di depan pintu?. Ia berkata “Maitsam At Tamaar” apa yang kau katakan jika aku menceritakan kepadamu, maka siapa yang mengambilnya termasuk mukmin dan siapa yang meninggalkannya kafir. Kemudian Beliau berkata “aku adalah Al Faruq yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil, dan aku akan memasukkan para kekasihku ke dalam surga dan para musuhku kedalam neraka, aku yang dikatakan Allah “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan” [Tafsir Furat bin Ibrahim Al Kufiy hal 67].

Al Majlisiy menukil riwayat ini dalam kitab Bihar Al Anwar dengan sanad berikut:

تفسير فرات بن إبراهيم: أحمد بن محرز الخراساني، عن جعفر بن محمد الفزاري، عن أحمد بن ميثم الميثمي، عن عبد الواحد بن علي

Tafsiir Furat bin Ibrahiim : Ahmad bin Muhriz Al Khurasaniy dari Ja’far bin Muhammad Al Fazaariy dari Ahmad bin Maitsam Al Maitsamiy dari ‘Abdul Wahid bin Aliy …[Bihar Al Anwar Al Majlisiy 39/350].



Nampak disini seolah terjadi ketidakjelasan dalam sanadnya, kemungkinan terjadi tashif atau kesalahan penukilan dari Al Majlisiy. Pentahqiq kitab Tafsir Furat Al Kufiy menyebutkan bahwa terjadi perbedaan dalam sebagian naskah kitab dan yang tsabit adalah riwayat yang menyebutkan bahwa Syaikh [guru] Al Furat dalam sanad di atas adalah Ja’far bin Muhammad Al Fazaariy dan ia memang dikenal sebagai guru Furat bin Ibrahim Al Kuufiy.

Riwayat ini kedudukannya sangat dhaif di sisi Syiah dengan alasan sebagai berikut. Sebagian perawi-nya tidak dikenal kredibilitasnya di sisi Syi’ah, Ahmad bin Maitsam Al Maitsamiy disebutkan dalam Mustadrak Ilm Ar Rijal tanpa keterangan ta’dil dan tarjih [Mustadrakat Ilm Rijal Hadits 1/397-398, Syaikh Ali Asy Syahruudiy]. Ahmad bin Muhriz Al Khurasaniy disebutkan dalam Al Mamaqaniy tanpa keterangan ta’dil dan tarjih dan nampaknya ia dikenal hanya melalui hadis dalam Tafsir Furat dan Bihar Al Anwar di atas [Tanqiih Maqal Ar Rijal Al Mamaqaniy 7/136 no 880]. Abdul Wahid bin Aliy disebutkan dalam Mustadrak Ilm Ar Rijal tanpa keterangan ta’dil dan tarjih [Mustadrakat Ilm Rijal Hadits 5/152-153, Syaikh Ali Asy Syahruudiy].

Ja’far bin Muhammad Al Fazaariy yang dikenal sebagai salah satu syaikh [guru] Furat bin Ibrahim Al Kuufiy adalah perawi yang dhaif. Najasyiy menyatakan bahwa ia dhaif dalam hadis dan Ahmad bin Husain mengatakan bahwa ia pemalsu hadis [Rijal Najasyiy 1/122 no 313]. Al Hilliy setelah menukil pandangan Najasyiy dan Ahmad bin Husain, ia menukil perkataan Ibnu Ghada’iriy bahwa Ja’far bin Muhammad Al Fazaariy pendusta matruk dan Syaikh Ath Thuusiy menyatakan ia tsiqat, Al Hilliy merajihkan bahwasanya tidak bisa beramal dengan hadisnya [Khulasah Al Aqwal Al Hilliy 1/330-331]. Al Khu’iy menyatakan bahwa taustiq Syaikh Ath Thuusiy tidak bisa dijadikan pegangan karena bertentangan dengan pendhaifan para ulama mutaqaddimin sebelum Ath Thuusiy [Mu’jam Rijal Al Hadits, Sayyid Al Khu’iy 5/89].

Dari segi matan riwayat tersebut mengandung kemungkaran, bagaimana mungkin jika dikatakan Aliy adalah penyampai para Nabi kepada para washiy atau tidaklah Allah mengutus Nabi kecuali Aliy sebagai penolongnya padahal Imam Aliy sendiri baru lahir di masa hidup penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Riwayat di atas dhaif sanadnya dan mungkar matannya maka tidak bisa dijadikan hujjah dari sudut pandang keilmuan Mazhab Syiah.


Dhaif : Riwayat Syiah Para Nabi Diciptakan Untuk Berwilayah Kepada Aliy.
Sungguh mengherankan melihat para pencela begitu gemar mencaci Syiah dan pemeluknya karena riwayat dhaif yang ada dalam kitab mereka. Fenomena ini sangatlah tidak layak dalam perdebatan [sepanjang masa] antara Sunni dan Syiah. Sudah saatnya kedua belah pihak [terutama para da’i mereka] belajar berdiskusi dengan hujjah yang objektif tanpa saling merendahkan satu sama lain.

Seorang Syiah tidak layak mencaci Sunni dan pemeluknya karena riwayat dhaif dalam kitab Sunni begitu pula seorang Sunni tidak layak mencaci Syiah dan pemeluknya karena riwayat dhaif dalam kitab Syiah. Jika anda baik sunni atau syiah ingin membuat tuduhan satu sama lain maka silakan buktikan shahih tidaknya tuduhan anda tersebut. Jika anda terburu-buru maka dikhawatirkan anda hanya menunjukkan kejahilan dan kenashibian, terlalu membenci syiah dan pengikutnya adalah ciri khas neonashibi zaman ini sehingga tidak jarang tulisan-tulisan mereka secara langsung maupun tidak langsung merendahkan ahlul bait Nabi hanya dalam rangka membantah Syiah.

ابن سنان، عن المفضل بن عمر قال: قال لي أبو عبد الله عليه السلام: إن الله تبارك و تعالى توحد بملكه فعرف عباده نفسه، ثم فوض إليهم أمره وأباح لهم جنته فمن أراد الله أن يطهر قلبه من الجن والإنس عرفه ولايتنا ومن أراد أن يطمس على قلبه أمسك عنه معرفتنا ثم قال يا مفضل والله ما استوجب آدم أن يخلقه الله بيده وينفخ فيه من روحه إلا بولاية علي عليه السلام، وما كلم الله موسى تكليما ” إلا بولاية علي عليه السلام، ولا أقام الله عيسى ابن مريم آية للعالمين إلا بالخضوع لعلي عليه السلام

Ibnu Sinan dari Mufadhdhal bin ‘Umar yang berkata Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] berkata kepadaku Sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala itu adalah Tuhan Yang Maha Esa dan memberikan pada para hamba-Nya pengetahuan akan hal itu, kemudian Allah memasrahkan perkara-Nya pada para hambaNya dan memperbolehkan para hambaNya untuk menikmati Surganya. Maka barangsiapa yang menginginkan hatinya disucikan baik dari jin dan manusia maka Allah mengenalkan orang tersebut akan wilayah kami. Dan barangsiapa ingin dihilangkan hatinya dari kesucian maka Allah akan mengambil ma’rifat akan wilayah kepada kami dari orang tersebut. Kemudian Abu ‘Abdillah ‘alaihis salam bersabda: ”wahai mufadhal, Demi Allah, tidaklah mewajibkan Adam yang dimana Allah menciptakan Adam dengan Tangan-Nya dan meniupkan ruh pada Adam ['alaihis salam] kecuali dengan wilayah kepada ‘Ali ['alaihis salam]. Dan tidaklah Allah telah berbicara kepada Musa ['alaihis salam] secara langsung itu kecuali dengan dengan wilayah kepada ‘Ali ['alaihis salam]. Dan tidaklah Allah telah menciptakan ‘Isa putra Maryam sebagai bentuk tanda kebesaran Allah bagi alam semesta itu kecuali dengan tujuan agar ‘Isa ['alaihis salam] merendahkan diri kepada ‘Ali ['alaihis salam]… [Al Ikhtishaash Syaikh Mufiid hal 250].



Riwayat Syaikh Mufid ini juga dikutip oleh Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 26/294 sebagaimana nampak di atas. Riwayat yang dibawakan Syaikh Mufid dalam kitab Al Ikhtishaash ini sanadnya dhaif tidak bisa dijadikan hujjah karena Muhammad bin Sinan, ia perawi yang diperselisihkan keadaannya di sisi Syiah dan yang rajih kedudukannya dhaif. An Najasyiy menyebutkan bahwa Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sa’id menyatakan Muhammad bin Sinan dhaif jiddan. Ia juga mengutip Fadhl bin Syadzan yang mengatakan “aku tidak mengizinkan kalian meriwayatkan hadis Muhammad bin Sinan” [Rijal An Najasyiy hal 328 no 888]. An Najasyiy sendiri mendhaifkan Muhammad bin Sinan, dalam biografi Miyaah Al Mada’iniy [Rijal An Najasyiy hal 424 no 1140]. Syaikh Ath Thuusiy berkata “Muhammad bin Sinan tertuduh atasnya, dhaif jiddan” [Tahdzib Al Ahkam 7/361]. Ibnu Ghada’iriy berkata “dhaif ghuluw” [Rijal Ibnu Dawud hal 174 no 1405].

Adapun Mufadhdhal bin ‘Umar, ia seorang yang diperselisihkan. An Najasyiy berkata “jelek mazhabnya, mudhtharib riwayatnya, tidak dipedulikan dengannya” [Rijal An Najasyiy hal 416 no 1112]. Ibnu Ghada’iriy berkata “dhaif” [Majma’ Ar Rijal Syaikh Qahbaa’iy 6/131]. Sayyid Al Khu’iy dalam biografi Mufadhdhal bin ‘Umar menukil tautsiq syaikh Al Mufid dan berbagai riwayat Imam Ahlul Bait yang memuji dan mencela Mufadhdhal bin ‘Umar, ia merajihkan riwayat yang memuji Mufadhdhal, sehingga ia berkesimpulan bahwa Mufadhdhal seorang yang tsiqat jaliil [Mu’jam Rijalul Hadits 19/318-330, no 12615].

Selain itu riwayat di atas memiliki cacat lain yaitu Syaikh Ath Thuusiy menyebutkan dalam muqaddimah kitab Tahdzib Al Ahkam bahwa Syaikh Al Mufid lahir pada tahun 336 atau 338 H [Tahdzib Al Ahkam 1/6]. Sedangkan Muhammad bin Sinan disebutkan An Najasyiy wafat pada tahun 220 H [Rijal An Najasiy hal 328 no 888]. Artinya Syaikh Al Mufiid tidak meriwayatkan langsung dari Muhammad bin Sinan maka riwayatnya mursal.

Riwayat yang serupa yaitu dalam matannya terdapat keterangan bahwa para Rasul diutus atas wilayah Aliy, ternyata diriwayatkan juga dalam kitab hadis Ahlus Sunnah yaitu Ma’rifat Ulumul Hadits Al Hakim,



حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ الْحَافِظُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ غَزْوَانَ ، قَالَ : ثنا عَلِيُّ بْنُ جَابِرٍ ، قَالَ : ثنا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : ثنا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ، قَالَ : ثنا مُحَمَّدُ بْنُ سُوقَةَ , عَنْ إِبْرَاهِيمَ , عَنِ الأَسْوَدِ , عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَانِي مَلَكٌ ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ ، وَسَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا عَلامَ بُعِثُوا ؟ قَالَ : قُلْتُ : عَلامَ بُعِثُوا ؟ قَالَ : عَلَى وِلايَتِكَ وَوِلايَةِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ “

Telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Muhammad bin Mudhaffar Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Ghazwaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Aliy bin Jaabir yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Suuqah dari Ibrahim dari Aswad dari Abdullah yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Abdullah telah datang Malaikat kepadaku, maka ia berkata “wahai Muhammad tanyakanlah dari Rasul-rasul yang diutus sebelum kamu atas dasar apa mereka diutus”. Aku bertanya “atas dasar apa mereka diutus?”. Ia berkata “atas wilayah-Mu dan wilayah Aliy bin Abi Thalib” [Ma’rifat Ulumul Hadits Al Hakim hal 316 no 222].

Hadis riwayat Al Hakim di atas sanadnya dhaif jiddan karena Aliy bin Jabir tidak dikenal dan Muhammad bin Khalid bin Abdullah termasuk perawi Ibnu Majah, dikatakan Abu Zur’ah dhaif, Ibnu Ma’in menyatakan ia pendusta, Al Khaliliy berkata “dhaif jiddan” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 9 no 199].

Intinya riwayat dhaif tentang perkara ini ditemukan baik dalam mazhab Syi’ah maupun mazhab Ahlus sunnah maka atas dasar apa para pencela menjadikan riwayat ini sebagai dasar untuk merendahkan Syi’ah. Jawabannya tidak lain atas dasar kejahilan dan kedengkian. Semoga Allah SWT melindungi kita dari kejahilan dan kedengkian.

4. Sunni dan wahabi tidak memahami bahwa ada nukilan ulama Syi’ah senior yang tidak tsabit karena bersumber dari naskah yang mengandung banyak kesalahan.

Kitab Sampah Syiah : Irsyadul Qulub Atau Kitab Sampah Sunni : Tarikh Ibnu Asakir?
Judul ini sifatnya satir, disesuaikan dengan tulisan para pencela. Karena mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa racun maka ada baiknya mereka diobati dengan racun pula. Tulisan ini berusaha menindaklanjuti tulisan salah seorang pencela yang menuduh Syiah sebagai agama yang busuk, dungu dan sarat penipuan. Kami heran dengan orang satu ini, ia berhujjah dengan hujjah yang lemah tetapi bahasanya malah terlalu hina. Alangkah baiknya ia segera sadar diri dan menjaga lisannya.

Banyak para pengkritik Syiah, rata-rata mereka cuma tukang fitnah dan kaum jahil, biasanya bahasa mereka memang hina tetapi ada juga kami temukan pengkritik Syiah dengan hujjah yang layak dengan bahasa yang tidak menyakitkan, yang model begini masuk dalam referensi kami sebagai para pencari kebenaran [secara kami masih meneliti kebenaran dari ahlus sunnah dan juga syiah]. Kami tidak butuh bahasa busuk, kami butuh kebenaran dengan hujjah yang kuat.

Pencela [dengan lisan hina] yang kami maksud membuat tulisan yang menghina salah satu kitab ulama Syiah yaitu kitab Irsyadul Qulub oleh Hasan bin Abi Hasan Ad Dailamiy, dimana dalam kitabnya disebutkan lafaz

وذكره المجلسي رحمه الله في المجلّد التاسع من كتاب بحار الأنوار، والسيد البحراني في كتاب مدينة المعاجز

Dan disebutkan oleh Al Majlisi [rahimahullah] dalam jilid kesembilan kitab Bihar Al Anwar dan Sayyid Al Bahraniy dalam kitab Madiinatul Ma’ajiz…[Irsyadul Qulub 2/265 Ad Dailamiy, terbitan Mu’assasah Al A’lami Li Al Mathbu’ah Beirut Libanon].



Pencela itu mengatakan Ad Dailamiy wafat pada tahun 841 H sedangkan Al Majlisi lahir tahun 1037 H dan wafat 1111 H kemudian Sayyid Al Bahraniy wafat tahun 1107 H. Bagaimana bisa Ad Dailamiy menukil dari mereka berdua padahal ketika ia wafat mereka berdua saja belum lahir?. Selanjutnya pencela itu menyatakan itulah agama Syiah penuh kebathilan dan kepalsuan, tidaklah recehannya kecuali kotoran di dalam kotoran.

Kami meneliti perkara ini dan ternyata hasilnya menunjukkan kalau pencela itu memang jahil dan kejahilan ini muncul karena terburu-buru dalam mencela. Perkara ini ternyata telah diteliti oleh salah seorang ulama Syiah yaitu Sayyid Haasyim Al Miilaaniy, ia adalah pentahqiq kitab Irsyadul Qulub Ad Dailamiy
Sayyid Haasyim Al Miilaniy dalam muqaddimah tahqiq-nya menyebutkan bahwa nukilan yang menyebutkan Al Majlisi dan Sayyid Al Bahraniy hanya ada dalam naskah kitab yang dicetak oleh Mansyurat Syarif Radhiy

وأيضاً فقد ذُكر في الجزء الثاني في النسخة المطبوعة في منشورات الرضي بعد ذكر حديث يرفعه إلى الشيخ المفيد وذكره المجلسي رحمه الله في المجلّد التاسع من كتاب بحار الأنوار ، والسيد البحراني في كتاب مدينة المعاجز

Dan telah disebutkan dalam juz kedua dalam naskah yang dicetak oleh Mansyuurat Ar Radhiy, setelah menyebutkan hadis yang dirafa’kan oleh Syaikh Mufiid “dan disebutkannya oleh Al Majlisi [rahimahullah] dalam jilid kesembilan kitab Bihar Al Anwar dan Sayyid Al Bahraniy dalam kitab Madiinatul Ma’aajiz [Irsyadul Qulub Ad Dailamiy 1/16 tahqiq Sayyid Haasyim Al Milaaniy]
Kemudian Sayyid Haasyim Al Miilaaniy menyatakan bahwa nukilan ini tidak terdapat dalam naskah yang dijadikan pegangannya dalam tahqiq kitab sehingga ia menyatakan dengan jelas bahwa nukilan ini adalah tambahan dari ushul kitab Irsyadul Qulub [intinya bukanlah perkataan Ad Dailamiy].

وكذلك الحال بالنسبة إلى قوله : ( وذكره المجلسي رحمه الله في المجلّد التاسع من كتاب بحار الأنوار ، والسيد البحراني في كتاب مدينة المعاجز . . . ) فنحن نجزم بعدم كون هذه الجملة من أصل الكتاب ؛ لعدم ورودها في النسخ التي اعتمدنا عليها في تحقيق الكتاب

Dan begitu pula keadannya dengan perkataan (dan disebutkannya oleh Al Majlisi [rahimahullah] dalam jilid kesembilan kitab Bihar Al Anwar dan Sayyid Al Bahraniy dalam kitab Madiinatul Ma’aajiz…). Maka kami menegaskan bahwa ini adalah penambahan dari ushul kitab karena tidak ada dalam naskah yang kami jadikan pegangan dalam tahqiq kitab [Irsyadul Qulub Ad Dailamiy 1/16 tahqiq Sayyid Haasyim Al Milaaniy].

Ada beberapa naskah Irsyadul Qulub Ad Dailamiy berdasarkan tahqiq dari Sayyid Haasyim Al Milaaniy yaitu:
  1. Naskah yang disimpan dalam perpustakaan Imam Ridha di Masyhad no 14372
  2. Naskah yang disimpan di Madrasah Syahiid Muthahhariy di Teheran no 5286
  3. Naskah yang disimpan dalam perpustakaan Ayatulah Uzhma Sayyid Mar’asyiy An Najafiy no 577
  4. Naskah yang dicetak oleh Mansyuurat Syarif Radhiy
Hanya Naskah yang keempat inilah yang memuat nukilan Majlisi dan Sayyid Al Bahraniy dan naskah ini dikatakan oleh Sayyid Haasyim Al Milaaniy.

وهي نسخة كثيرة الأخطاء والأغلاط

Dan naskah ini memiliki banyak kesalahan dan kekeliruan [Irsyadul Qulub Ad Dailamiy 1/19 tahqiq Sayyid Haasyim Al Milaaniy].



Maka kesimpulannya nukilan Al Majlisi dan Sayyid Al Bahraniy tersebut tidak tsabit oleh karena itu dalam kitab Irsyadul Qulub Ad Dailamiy tahqiq Sayyid Haasyim Al Milaaniy [perhatikan di atas] tidak ada nukilan tersebut karena bersumber dari naskah yang mengandung banyak kesalahan dan tidak ada dalam naskah yang dijadikan pegangan serta bertentangan dengan fakta sejarah.

Fenomena seperti ini ternyata juga ditemukan dalam kitab ulama ahlus sunnah, diantaranya kitab Tarikh Ibnu Asakir. Ibnu Asakir memasukkan dalam kitabnya Tarikh Dimasyiq 58/13 no 7381 biografi Mas’ud bin Muhammad bin Mas’ud Abu Ma’aaliy An Naisabury seorang faqih mazhab syafi’iy yang dikenal sebagai Al Quthb, dimana tertulis

وسمع الحديث بنيسابور من شيخنا أبي محمد هبة الله بن سهل السيدي وغيره

Ia mendengar hadis di Naisabur dari Syaikh [guru] kami Abu Muhammad Hibbatullah bin Sahl As Sayyidiy dan selainnya.

Abu Muhammad Hibbatullah bin Sahl memang dikenal sebagai guru Ibnu Asakir sebagaimana disebutkan Adz Dzahabiy [As Siyaar 20/14]. Maka tidak diragukan bahwa lafaz tersebut adalah perkataan Ibnu Asakir dan pada akhir biografi Mas’ud bin Muhammad disebutkan:

مات رحمه الله آخر يوم من شهر رمضان سنة ثمان وسبعين وخمسمائة

Ia wafat [rahimahullah] pada akhir bulan Ramadhan tahun 578 H.




Apa masalahnya?. Ibnu Asakir disebutkan oleh Ibnu ‘Imaad Al Hanbaliy bahwa ia wafat pada tahun 571 H [Syadzrat Adz Dzahab 7/395]. Adz Dzahabiy juga menyebutkan demikian dalam biografi Ibnu Asakir

توفي في رجب سنة إحدى وسبعين وخمسمائة ليلة الاثنين حادي عشر الشهر ، وصلى عليه القطب النيسابوري

[Ibnu Asakir] wafat pada bulan Rajab tahun 571 H pada malam senin tanggal 11, dan ia dishalatkan oleh Al Quthb An Naisaburiy [As Siyaar Adz Dzahabiy 20/571]
Bagaimana mungkin orang yang wafat tahun 571 H bisa menulis biografi seseorang dimana ia menyebutkan bahwa orang tersebut wafat tahun 578 H?. Bisa saja dikatakan bahwa hal ini termasuk kesalahan naskah atau tambahan dari ushul kitab, kami tidak ada masalah dengan itu. Sebenarnya yang justru bermasalah adalah pencela jahil yang seenaknya menyatakan kitab ulama mazhab lain sampah padahal kitab ulama mazhab-nya ternyata sama saja dengan kitab yang ia katakan sampah. Manakah yang sampah dalam perkara ini, kitab Irsyadul Qulub Ad Dailamiy atau kitab Tarikh Ibnu Asakir?. Jawabannya yang sampah itu ya perkataan pencela tersebut.
.
Note : Kitab Irsyadul Qulub di atas ada dua macam, yang pertama diambil dari situs pencela tersebut dan yang kedua dari salah satu situs syiah yaitu alhassanain.org

5. Sunni dan wahabi tidak memahami bahwa ada perawi syi’ah yang menukil riwayat & khabar melalui Ijazah bukan dengan musyafahah dan munawalah, bukan dengan sima’ langsung.

Subhanallah. Sungguh kedengkian hati busuk itu rasanya sulit dicarikan obatnya. Labaika Ya Husain


Ibnu Thawus Meriwayatkan Langsung Dari Ibnu Khayyath? : Ulah Pencela Yang Menggelikan
Salah satu situs pencela Syi’ah yang gemar memfitnah Syiah membuat tulisan yang berjudul : Menggelikan, Ibnu Thawus meriwayatkan langsung dari Ibnu Khayath?. Tulisan tersebut cukup menarik hanya saja terlalu tendensius dan ujung-ujungnya ia cuma mau bilang “inilah agama syiah dengan segala kontradiksi, keanehan dan kebathilan menjadikannya nampak sebagai agama buatan manusia-manusia hina”.

Kami hanya bisa geleng-geleng melihat perkataan hina seperti ini. Nampaknya manusia satu ini terlalu besar kepala dan tidak akrab dengan kitab-kitab hadis dan rijal Ahlus Sunnah. Kami akan membuat sedikit catatan atas tulisannya dan menunjukkan bahwa dalam kitab hadis kami ahlus sunnah juga terdapat keanehan seperti itu. Jika manusia itu merasa dirinya ahlus sunnah mungkin ada baiknya ia menjaga lisannya yang kotor karena dapat meracuni dirinya sendiri.

Sayyid Ibnu Thawus salah seorang Ulama Syiah meriwayatkan dalam kitabnya Muhaj Ad Da’waat, doa untuk amirul mukminin Aliy bin Abi Thalib yang dikenal dengan doa Al Yamaniy.

و من ذلك دعاء لمولانا أمير المؤمنين علي ع المعروف بدعاء اليماني
أخبرنا أبو عبد الله الحسين بن إبراهيم بن علي القمي المعروف بابن الخياط

Dan dari Doa untuk maula kami Amirul Mukminin Aliy yang dikenal dengan doa Al Yamaniy
Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Husain bin Ibrahiim bin Aliy Al Qummiy yang dikenal dengan Ibnu Khayyaath…[Muhaj Ad Da’waat hal 137-138].

Sayyid Ibnu Thawus lahir tahun 589 H dan Ibnu Khayyath termasuk guru Syaikh Ath Thuusiy sedangkan Syaikh Ath Thuusiy sendiri wafat tahun 460 H. Jadi Ibnu Thawus jelas tidak mungkin bertemu langsung dengan Ibnu Khayyath karena ketika Ibnu Thawus lahir, Ibnu Khayyath sudah lama wafat.

Oleh karena itulah pencela yang dimaksud menjadikan hal ini sebagai celaan terhadap mazhab Syiah. Dan ia tidak menyadari kalau celaannya jauh lebih berat dari perkara yang dipermasalahkan. Perkara ini tidaklah luput dari pandangan Ulama Syiah. Sudah ada ulama Syiah yang berkomentar mengenai perkara ini, Sayyid Aliy Asy Syahruudiy berkomentar dalam biografi Husain bin Ibrahiim Al Qummiy

ما قاله السيد بن طاووس في المهج ص 105 في نقله دعاء الحرز اليماني: أخبرنا أبو عبد الله الحسين بن إبراهيم بن علي القمي المعروف بابن الخياط قال أخبرنا أبو محمد هارون بن موسى التلعكبري – الخ فان السيد بن طاووس هذا توفي سنة 673 والشيخ توفي سنة 460 وبينهما 213 سنة والتلعكبري توفي سنة 385. إلا أن يحمل كلام السيد على الاخبار بالإجازة لا بالمشافهة والمناولة

Apa yang dikatakan Sayyid Ibnu Thawus dalam Muhaj hal 105 dalam nukilannya tentang doa Al Yamaniy “Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Husain bin Ibrahiim bin Aliy Al Qummiy yang dikenal Ibnu Khayyath yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Haruun bin Muusa At Tal’akbariy, Sayyid Ibnu Thawus wafat tahun 673 H dan Syaikh [Ath Thuusiy] wafat tahun 460 H  antara keduanya ada 213 tahun, At Tal’akbariy wafat pada tahun 385 H. Maka kemungkinan perkataan Sayyid disini adalah khabar melalui Ijazah bukan dengan musyafahah dan munawalah [Mustadrak Ilm Rijal 3/73 no 4103 Syaikh Ali Asy Syahruudiy].

Ini adalah pembelaan yang dilakukan oleh Ulama Syiah, tidak masalah jika pencela tersebut tidak menerimanya karena tujuan tulisan ini memang bukan untuk membuat pencela itu percaya. Tulisan ini hanya menunjukkan bagaimana pandangan mazhab Syiah terhadap masalah ini.
Apa yang dinukil oleh Syaikh Ali Asy Syahruudiy itu memiliki qarinah yang menguatkan yaitu perkataan Sayyid Muhsin Amin dalam A’yan Asy Syiiah ketika menyebutkan Husain bin Ibrahim Al Qummiy

ويروي عن أبي محمد هارون بن موسى التلعكبري ويروي الشيخ الطوسي عنه. وكثيرا ما يعتمد على كتبه ورواياته السيد ابن طاووس وينقلها في كتاب مهج الدعوات وغيره

Ia meriwayatkan dari Abu Muhammad Haruun bin Muusa At Tal’akbariy dan telah meriwayatkan darinya Syaikh Ath Thuusiy. Sayyid Ibnu Thawus banyak berpegang dengan tulisannya dan riwayatnya dan ia menukilnya dalam kitab Muhaj Ad Da’waat dan yang lainnya. [A’yan Asy Syiah 5/414 Sayyid Muhsin Al ‘Amin].

Maka disini terdapat isyarat yang menyatakan bahwa Sayyid Ibnu Thawus menukil riwayat dari Ibnu Khayyath dalam Kitab Muhaj Ad Da’waat bukan dengan sima’ langsung.
Qarinah lain adalah jika kita melihat metode penulisan Sayyid Ibnu Thawus dalam kitabnya Muhaj Ad Da’waat maka nampak bahwa terkadang Sayyid Ibnu Thawus menukil sanad-sanad doa tersebut dari Kitab bukan dengan sima’ langsung. Contohnya adalah sebagai berikut:

و منها دعاء العهد
قال حدثنا محمد بن علي بن رقاق القمي أبو جعفر قال حدثنا أبو الحسن محمد بن علي بن الحسن بن شاذان القمي قال حدثنا أبو جعفر محمد بن علي بن بابويه القمي

Dan dari Doa Al ‘Ahd
Berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Riqaaq Al Qummiy Abu Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Muhammad bin ‘Aliy bin Hasan bin Syadzaan Al Qummiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Babawaih Al Qummiy…[Muhaj Ad Da’waat hal 398].

Lafaz di atas seolah-olah Sayyid Ibnu Thawus mendengar secara langsung dari Muhammad bin ‘Aliy bin Riqaaq Al Qummiy padahal kenyataannya tidak demikian. Sebenarnya Sayyid Ibnu Thawus menukil riwayat tersebut dari Kitab. Dalam doa sebelumnya disebutkan

وجدت في كتاب مجموع بخط قديم ذكر ناسخه و هو مصنفه أن اسمه محمد بن محمد بن عبد الله بن فاطر من رواه عن شيوخه فقال ما هذا لفظه حدثنا محمد بن علي بن رقاق القمي قال حدثنا أبو الحسن محمد بن أحمد بن علي بن الحسن بن شاذان القمي عن أبي جعفر محمد بن علي بن الحسين بن بابويه القمي

Terdapat dalam kitab Majmuu’ dengan tulisan tangan, disebutkan dalam naskah penulisnya bernama Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Faathir dari riwayatnya dari para Syaikh-nya, dan ini lafaznya, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Riqaaq Al Qummiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Muhammad bin Ahmad bin ‘Aliy bin Hasan bin Syadzaan Al Qummiy dari Abu Ja’far Muhammad bin ‘Aliy bin Husain bin Babawaih Al Qummiy…[Muhaj Ad Da’waat hal 397].

Maka disini dapat dipahami bahwa sebenarnya Sayyid Ibnu Thawus menukil riwayat dari Ibnu Khayyaath dari Kitab atau Ijazah walaupun nama kitab tersebut tidak disebutkan dalam kitab Mu’haj Ad Da’waat. Bisa jadi Ibnu Thawus memang tidak menyebutkannya atau terjadi kesalahan [tashif] sehingga bagian yang menyebutkan nama Kitabnya hilang. Wallahu A’lam.

Perkara seperti ini bukanlah barang baru dalam kitab Rijal dan kitab Hadis. Mereka yang akrab dengan hadis dan ilmu Rijal [ahlus sunnah] akan menemukan fenomena seperti ini. Yaitu dimana lafaz sima’ langsung antara dua perawi ternyata keliru karena berdasarkan tahun lahir dan wafat keduanya tidak memungkinkan untuk bertemu. Adanya fenomena seperti ini tidaklah membuat Ahlus sunnah dikatakan agama yang mengandung kontradiksi, kebathilan, keanehan yang merupakan buatan manusia-manusia hina. Orang yang berpandangan demikian hanyalah menunjukkan kejahilan atau kebencian yang menutupi akal pikirannya. Berikut contoh perkara yang sama dalam kitab Ahlus Sunnah.


Abdullah bin Adiy Abu Ahmad Al Jurjaniy salah seorang ulama ahlus sunnah menyebutkan dalam kitabnya Al Kamil Fii Adh Dhu’afa

أخبرنا علي بن المثنى ثنا الوليد بن القاسم عن مجالد عن أبي الوداك عن أبي سعيد ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال

Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Waliid bin Qaasim dari Mujalid dari Abul Wadaak dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda…[Al Kamil Ibnu Adiy 8/367 biografi Walid bin Qaasim].


Ibnu Adiy seorang imam hafizh, Adz Dzahabiy menyebutkan biografinya dalam As Siyaar dan berkata:

مولده في سنة سبع وسبعين ومائتين ، وأول سماعه كان في سنة تسعين ، وارتحاله في سنة سبع وتسعين

Ia lahir pada tahun 277 H, pertama mendengar hadis pada tahun 290 H dan memulai perjalanan pada tahun 297 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 16/154].

Mengenai Aliy bin Al Mutsanna, Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Tahdzib At Tahdzib dan menyebutkan

وقال الحضرمي مات سنة ست وخمسين ومائتين

Al Hadhramiy berkata “ia wafat tahun 256 H” [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 7 no 611].

Berdasarkan tahun lahir dan tahun wafat didapatkan bahwa Ibnu Adiy baru lahir 21 tahun setelah wafatnya Aliy bin Al Mutsanna Ath Thahawiy, lantas bagaimana bisa dikatakan bahwa ia berkata “telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy bin Mutsanna”.

Ada contoh lain yang menunjukkan bahwa tashrih penyimakan hadis ternyata tidak benar dan hadis tersebut munqathi’. Perhatikan riwayat Ahmad bin Hanbal berikut:

حدثنا عبد الله قال حدثني أبى ثنا بهز ثنا همام ثنا قتادة حدثني عزرة عن الشعبي ان الفضل حدثه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Bahz yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Azrah dari Asy Sya’biy bahwa Fadhl menceritakan kepadanya…[Musnad Ahmad 1/213 no 1829].

Ahmad bin Hanbal memasukkan hadis ini dalam Musnad Fadhl bin ‘Abbas. Para perawinya tsiqat sampai ke Asy Sya’biy dan Asy Sya’biy sendiri dikenal tsiqat tetapi ia mustahil mendengar hadis dari Fadhl bin ‘Abbas.

الفضل بن العباس بن عبد المطلب الهاشمي صحب النبي صلى الله عليه وسلم مات في عهد أبي بكر

Al Fadhl bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib Al Haasyimiy sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat di masa Abu Bakar [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 7 no 502].

Ibnu Sa’ad menyebutkan dalam biografi Fadhl bin ‘Abbas bahwa ia wafat pada tahun 18 H di masa Umar bin Khaththab. Yang mana pun yang rajih, Asy Sya’bi jelas tidak menemui masa hidup Fadhl bin ‘Abbas. Menurut pendapat yang rajih Asy Sya’bi lahir pada masa Utsman bin ‘Affan,

قَالَ الْحَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ , سَمِعْتُ شُعْبَةَ ، يَقُولُ : سَأَلْتُ أَبَا إِسْحَاقَ ، قُلْتُ : ” أَنْتَ أَكْبَرُ أَمِ الشَّعْبِيُّ ؟ قَالَ : الشَّعْبِيُّ أَكْبَرُ مِنِّي بِسَنَةٍ أَوْ سَنَتَيْنِ “

Hajjaj bin Muhammad berkata aku mendengar Syu’bah berkata “aku bertanya pada Abu Ishaq” aku berkata “engkau yang lebih tua atau Asy Sya’biy”. Ia berkata “Asy Sya’biy lebih tua dariku setahun atau dua tahun [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/266].

Abu Ishaq As Sabi’iy lahir dua tahun akhir masa Utsman bin ‘Affan [As Siyar Adz Dzahabiy 5/393] makaAsy Sya’bi lahir kemungkinan lahir tahun 31 atau 32 H. Jadi ketika Asy Sya’biy lahir Fadhl bin ‘Abbas sudah wafat 14 tahun sebelumnya. Bagaimana mungkin Asy Sya’biy mengatakan “telah menceritakan kepadanya Fadhl”.

Kedua contoh di atas cukup sebagai bukti bahwa perkara yang dipermasalahkan pencela tersebut juga ada pada mazhab Ahlus Sunnah. Jika ia bersikeras menjadikan perkara ini sebagai celaan terhadap mazhab Syiah maka pada hakikatnya ia juga mencela mazhab Ahlus Sunnah. Kami memang bukan Syiah tetapi kami sangat tidak suka dengan ulah orang-orang jahil yang gemar memfitnah. Akhir kata silakan para pembaca pikirkan apakah pantas suatu mazhab dikatakan agama hina karena perkara ini?.

6. Sunni dan Wahabi menuduh Syi’ah sesat berdasarkan Riwayat yang kedudukannya dhaif di sisi Syiah, yang mana semua para perawinya tidak dikenal kredibilitasnya di sisi Syiah.

Sunni dan Wahabi menuduh Syi’ah sesat berdasarkan Riwayat yang kedudukannya dhaif di sisi Syiah, yang mana semua para perawinya tidak dikenal kredibilitasnya di sisi Syiah.
Khurafat : Imam Baqir Membuat Gajah Terbang Dari Tanah Kemudian Terbang Ke Makkah
Berikut salah satu riwayat yang dijadikan bahan tertawaan para nashibi di jagat maya untuk mencela Syiah

أبو جعفر محمد بن جرير الطبري قال حدثنا أحمد ابن منصور الزيادي قال حدثنا شاذان بن عمر قال حدثنا مرة بن قبيصة بن عبد الحميد قال قال لي جابر بن يزيد الجعفي رأيت مولاي الباقر ع (و) قد صنع فيلا من طين فركبه وطار في الهواء حتى ذهب إلى مكة ورجع عليه فلم أصدق ذلك منه حتى رأيت الباقر ع فقلت له: أخبرني جابر عنك بكذا وكذا؟ (فصنع مثله) فركب وحملني معه إلى مكة وردني

Abu Ja’far Muhammad bin Jariir Ath Thabariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manshuur Az Zayaadiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Syadzaan bin ‘Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami Murrah bin Qabiishah bin ‘Abdul Hamiid yang berkata Jabir bin Yazid Al Ju’fiy berkata kepadaku aku melihat Maulaku Al Baqir membuat gajah dari tanah lalu menungganginya kemudian terbang di udara sampai menuju Makkah dan kembali, aku tidak mempercayainya sampai aku menemui Al Baqir, maka aku berkata kepadanya Jabir mengabarkan kepadaku darimu begini begitu. Maka ia membuat yang seperti itu menungganginya membawaku ikut bersamanya ke Makkah dan mengembalikanku [Madiinah Al Ma’aajiz Al Bahraaniy 5/10].

Asal riwayat ini disebutkan oleh Muhammad bin Jarir bin Rustam Ath Thabariy dalam kitabnya Dala’il Imamah hal 96.




Riwayat ini kedudukannya dhaif di sisi Syiah, selain Ibnu Jarir semua para perawinya tidak dikenal kredibilitasnya di sisi Syiah. Ahmad bin Manshuur Az Zayaadiy tidak ditemukan biografinya dalam kitab Rijal Syiah, pentahqiq kitab Madinatul Ma’ajiz menyebutkan dalam naskah yang lain tertulis Ar Ramaaniy, kemudian ia melanjutkan nampak bahwa terjadi tashif, yang benar adalah Ar Ramaadiy. Ahmad bin Manshuur Ar Ramaadiy adalah perawi sunni ahli hadis yang dikenal tsiqat, ia wafat pada tahun 265 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 12/391]. Biografi Ar Ramaadiy juga tidak ada dalam kitab Rijal syiah.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabariy yang dimaksud adalah Muhammad bin Jarir bin Rustam Ath Thabariy seorang ulama Syiah yang dikatakan An Najasiy “mulia termasuk sahabat kami, memiliki ilmu yang banyak, baik perkataannya dan tsiqat dalam hadis” [Rijal An Najasyiy hal 376 no 1024].
Syadzan bin Umar tidak ditemukan biografinya dalam kitab Rijal Syiah, sedangkan Murrah bin Qabiishah bin ‘Abdul Hamid disebutkan dalam Mustadrakat Ilm Rijal Syaikh Ali Asy Syaruudiy tanpa keterangan ta’dil atau pun tarjih, dan nampak ia hanya dikenal dalam riwayat ini [Mustadrakat Ilm Rijal 7/399].
Matan riwayat memang sangat aneh tetapi sayang sekali sanadnya tidak shahih maka tidak ada alasan menjadikan riwayat ini sebagai celaan bagi mazhab Syiah. Jika dikatakan khurafat lebay maka memang benar khurafat karena tidak tsabit di sisi Syiah. Silakan bandingkan dengan riwayat shahih di mazhab Ahlus Sunnah.

حدثنا إسحق بن نصر قال حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن همام بن منبه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال كانت بنو إسرائيل يغتسلون عراة ينظر بعضهم إلى بعض وكان موسى يغتسل وحده فقالوا والله ما يمنع موسى أن يغتسل معنا إلا أنه آدر فذهب مرة يغتسل فوضع ثوبه على حجر ففر الحجر بثوبه فخرج موسى في إثره يقول ثوبي يا حجر حتى نظرت بنو إسرائيل إلى موسى فقالوا والله ما بموسى من بأس وأخذ ثوبه فطفق بالحجر ضربا . فقال أبو هريرة والله إنه لندب بالحجر ستة أو سبعة ضربا بالحجر

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Hammam bin Munabih dari Abu Hurairah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata Orang-orang bani Israil jika mandi maka mereka mandi dengan telanjang, hingga sebagian melihat sebagian yang lainnya. Sedangkan Nabi Musa ‘Alaihis Salam lebih suka mandi sendirian. Maka mereka pun berkata, Demi Allah, tidak ada menghalangi Musa untuk mandi bersama kita kecuali karena ia memiliki kelainan pada kemaluannya. Lalu pada suatu saat Musa pergi mandi dan meletakkan pakaiannya pada sebuah batu, lalu batu tersebut lari dengan membawa pakaiannya. Maka Musa lari mengejar batu tersebut sambil berkata ‘Wahai batu, kembalikan pakaianku! sehingga orang-orang bani Israil melihat Musa. Mereka lalu berkata, ‘Demi Allah, pada diri Musa tidak ada yang ganjil. Musa kemudian mengambil pakaiannya dan memukul batu tersebut dengan pukulan. Abu Hurairah berkata, Demi Allah, sungguh pada batu tersebut terdapat bekas pukulan enam atau tujuh akibat pukulannya. [Shahih Bukhari no 274].

Apakah kisah batu berlari membawa pakaian sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih bisa dikatakan khurafat lebay?.

Ahlus sunnah akan menjawab tidak, mengapa? Karena kisah tersebut shahih dan atas izin Allah SWT hal itu bisa saja terjadi, tidak ada yang musykil. Benar sekali atas izin Allah, kalau begitu [dengan asumsi sanadnya shahih] apakah menjadikan Gajah dari tanah yang dibuat Imam Baqir terbang ke Makkah adalah perkara musykil bagi Allah SWT?.

6. menukil pendapat salah satu Ulama Syiah, maka hal ini tidaklah mutlak mewakili mazhab Syiah (tidak menjadi kesepakatan dalam mazhab Syiah), karena seorang ulama bisa saja keliru akan pendapatnya atau ia tidak memiliki dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya.
 
menukil pendapat salah satu Ulama Syiah, maka hal ini tidaklah mutlak mewakili mazhab Syiah (tidak menjadi kesepakatan dalam mazhab Syiah), karena seorang ulama bisa saja keliru akan pendapatnya atau ia tidak memiliki dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya.


Kata Nashibi : Syiah Menyucikan Kotoran Imam, Lantas Bagaimanakah Ahlus Sunnah?
Ada banyak situs nashibi yang gemar mencela mazhab syiah dengan mencatut hal-hal aneh dalam kitab ulama syiah. Tujuan mereka tidak lain hanya untuk merendahkan mazhab syiah dan menyebarkan syubhat di kalangan orang awam. Yang patut disayangkan perilaku ini tampak sekali dungunya karena apa yang mereka tertawakan pada mazhab Syiah tersebut juga ada pada mazhab Sunni yang katanya mereka wakili. Sungguh ironis sekali, perhatikanlah kutipan berikut yang katanya dari kitab Syiah

ليس في بول الأئمة وغائطهم استخباث ولا نتن ولا قذارة بل هما كالمسك الأذفر، بل من شرب بولهم وغائطهم ودمهم يحرم الله عليه النار واستوجب دخول الجنة

Kencing dan tinja para imam bukanlah sesuatu yg menjijikkan, tidak berbau busuk, tidak pula termasuk kotoran. Bahkan keduanya bagaikan misik yang sangat harum. Barangsiapa yang meminum kencing mereka, tinja mereka, dan darah mereka, Allah akan haramkan padanya api neraka dan wajib baginya masuk surga [Anwaarul Wilaayah Ayatullah Al Aakhunid Mullaa Zainal Aabidiin Al Kalbaayakaaniy, hal 440].

Perkataan ulama Syiah ini memang aneh dan sulit dipercaya tetapi kami pribadi tidak akan menjadikan perkataan ulama syiah ini sebagai bahan tertawaan untuk merendahkan mazhab Syiah dengan alasan sebagai berikut:
Pertama : Hal ini tidak menjadi kesepakatan dalam mazhab Syiah, terdapat Ulama Syiah yang justru mendustakan hal tersebut. Ayatullah Sayyid As Sistaniy pernah ditanya mengenai hal ini sebagaimana yang tertulis dalam Al Istifta’tu Ayatullah Sayyid As Sistaniy hal 554 persoalan no 2196;

 السؤال : 1 – قرأت من صفحة وهابية بأننا نجيز شرب بول الأئمة الأطهار وأن ذلك من موجبات الجنة ؟

Persoalan : 1. Aku pernah membaca dari tulisan Wahabi bahwa kita membolehkan meminum kencing para Imam yang suci dan hal itu akan memasukkan kita ke dalam surga?.

الجواب : 1 – هذا كذب وافتراء نعوذ باللهمنه

Ayatullah As Sistaniy menjawab : 1. Hal itu dusta dan mengada-ada, kita berlindung kepada Allah darinya.

Kedua : Salafy nashibi hanya menukil pendapat salah satu Ulama Syiah, dan hal ini tidaklah mutlak mewakili mazhab Syiah karena seorang ulama bisa saja keliru akan pendapatnya atau ia tidak memiliki dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Dalam hal ini salafy nashibi tidak membawakan satu pun hadis yang shahih di sisi Syiah bahwa meminum kencing dan kotoran Imam mewajibkan masuk surga. Apalagi ternukil pula Ulama Syiah yang mendustakan hal tersebut maka bisa jadi hal tersebut adalah bagian dari ikhtilaf para ulama sebagaimana hal ini juga terjadi dalam mazhab Ahlus Sunnah.

Ketiga : Hal ini tidak bisa dijadikan celaan atas mazhab Syiah karena sebenarnya sudah ada pula Ulama Sunni yang menyatakan hal serupa.

( سُئِلَ ) هَلْ الْمُعْتَمَدُ نَجَاسَةُ فَضَلَاتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَغَيْرِهِ كَمَا عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ وَصَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ أَمْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ  بِأَنَّ الْمُعْتَمَدَ طَهَارَتُهَا كَمَا جَزَمَ بِهِ الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ وَصَحَّحَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَغَيْرُهُ وَنَقَلَهُ الْعُمْرَانِيُّ عَنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ وَصَحَّحَهُ الْبَارِزِيُّ وَالسُّبْكِيُّ وَالشَّيْخُ نَجْمُ الدِّينِ الْإسْفَرايِينِيّ وَغَيْرُهُمْ ثُمَّ قَالَ الْبُلْقِينِيُّ : وَبِهِ الْفَتْوَى ، وَقَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ : إنَّهُ الَّذِي أَعْتَقِدُهُ وَأَلْقَى اللَّهَ بِهِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ : وَكَذَا أَقُولُ وَيَنْبَغِي طَرْدُهُ فِي سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ

Ditanya : Apakah kotoran Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dinyatakan najis seperti yang lainnya sebagaimana dinyatakan jumhur dan dishahihkan oleh syaikhan ataukah tidak?. Jawab : Bahwa yang mu’tamad adalah kesuciannya [kotoran Nabi] seperti yang dinyatakan oleh Al Baghawiy dan yang lainnya dan dishahihkan Al Qaaadiy Husain dan yang lainnya. Dan telah dinukil Al Umraaniy dari Al Khurasaniyyin dishahihkan oleh Al Baariziy, As Subkiy, Syaikh Najmuddin Al Isfaaraayiiniy dan selain mereka, kemudian telah berkata Al Bulqiiniy “dan berfatwa dengannya”dan Ibnu Raf’ah berkata bahwa ia meyakininya dan berjumpa dengan Allah dalam keadaan meyakininya. Az Zarkasyiy berkata “demikianlah dikatakan dan seyogianya itu juga berlaku untuk seluruh para Nabi” [Fatawa Ar Ramliy 1/169].

Di atas adalah fatwa dari salah seorang ulama ahlus sunnah bermazhab Syafi’i yaitu Ahmad bin Hamzah Ar Ramliy mengenai kesucian kotoran Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
.
Jika para pembaca ingat dulu pernah hangat-hangatnya pembicaraan di Mesir mengenai fatwa salah seorang ulama yaitu Syaikh Ali Jum’ah yang membolehkan minum air kencing Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pernyataan Beliau ini mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan padahal jika ditelaah secara objektif, apa yang dikemukakan Syaikh Ali Jum’ah memang memiliki dasar dalam kitab hadis.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ ، ثنا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ ، عَنْ حُكَيْمَةَ بِنْتِ أُمَيْمَةَ ، عَنْ أُمِّهَا أُمَيْمَةَ ، قَالَتْ : كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عِيدَانٍ يَبُولُ فِيهِ ، وَيَضَعُهُ تَحْتَ سَرِيرِهِ ، فَقَامَ فَطَلَبَ ، فَلَمْ يَجِدُهُ فَسَأَلَ ، فَقَالَ : ” أَيْنَ الْقَدَحُ ؟ ” ، قَالُوا : شَرِبَتْهُ بَرَّةُ خَادِمُ أُمِّ سَلَمَةَ الَّتِي قَدِمَتْ مَعَهَا مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لَقَدِ احْتَظَرَتْ مِنَ النَّارِ بِحِظَارٍ “

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ma’iin yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Hukaimah binti Umaimah dari ibunya Umaimah yang berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki bejana dari pelepah kurma yang beliau gunakan untuk buang air kecil pada waktu malam hari di bawah ranjangnya, suatu hari Nabi meminta bejana itu dan tidak menemuinya lalu bertanya, “di manakah bejana itu?” Dia menjawab, “Ia diminum oleh Barrah, pembantu Ummu Salamah yang datang bersama dengannya dari tanah Habsyah” Maka bekata Nabi shallallahu alaihi wasallam “Dia telah diharamkan dari jilatan api neraka” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/205 no 527].

Al Baihaqiy juga membawakan hadis di atas dalam Sunan Al Kubra 7/67 no 13184 dengan jalan sanad Yahya bin Ma’in di atas dimana Ibnu Juraij menyebutkan sima’-nya dari Hukaimah. Terdapat sedikit perbedaan pada matannya dengan riwayat Thabraniy dimana dalam riwayat Thabraniy orang yang dimaksud adalah Barrah pembantu Ummu Salamah sedangkan dalam riwayat Baihaqiy orang yang dimaksud adalah Barakah pembantu Ummu Habiibah. Al Haitsamiy berkata mengenai hadis Ath Thabraniy di atas

رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح غير عبد الله بن أحمد بن حنبل وحكيمة وكلاهما ثقة

Riwayat Thabraniy dan para perawinya perawi shahih selain Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Hukaimah keduanya tsiqat [Majma’ Az Zawaaid Al Haitsamiy 8/220 no 14014].

Sebagian ulama ahlus sunnah menyatakan shahih atau hasan hadis di atas, diantaranya adalah Jalaludin As Suyuthiy,

وأخرج الطبراني والبيهقي بسند صحيح عن حكيمة بنت أميمة عن أمها قالت كان للنبي {صلى الله عليه وسلم} قدح من عيدان يبول فيه ويضعه تحت سريره فقام فطلبه فلم يجده فسأل عنه فقال أين القدح قالوا شربته برة خادم أم سلمة التي قدمت معها من أرض الحبشة فقال النبي {صلى الله عليه وسلم} لقد احتظرت من النار بحظار

Dan telah dikeluarkan Ath Thabraniy dan Baihaqiy dengan sanad shahih dari Hukaimah binti Umaimah dari Ibunya yang berkata Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] memiliki bejana dari pelepah kurma yang beliau gunakan untuk buang air kecil pada waktu malam hari di bawah ranjangnya, suatu hari Nabi meminta bekas itu dan tidak menemuinya lalu bertanya, “di manakah bejana itu?” Dia menjawab, “Ia diminum oleh Barrah, pembantu Ummu Salamah yang datang bersama dengannya dari tanah Habsyah” Maka bekata Nabi [shallallahu alaihi wasallam] “Dia telah diharamkan dari api neraka” [Khasa’is Al Kubra As Suyuthiy 2/377].

As Suyuthiy telah berhujjjah dengan hadis di atas dan menshahihkannya, ia memasukkan hadis tersebut dalam bab yang ia tulis dengan judul;

باب اختصاصه {صلى الله عليه وسلم} بطهارة دمه وبوله وغائطه

Bab Kekhususan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan kesucian darah-nya, air kencing-nya dan tinja-nya.

Selain As Suyuthiy, hadis tersebut juga dishahihkan dan dijadikan hujjah oleh Qadhi ‘Iyadh dalam kitabnya Asy Syifaa bi Ta’rif Huquq Al Musthafa [Asy Syifaa 1/55].
An Nawawiy juga menshahihkan hadis tersebut dan mengutip penshahihan Daruquthniy terhadap hadis wanita yang meminum kencing Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Ia berkata:

واستدل من قال بطهارتها بالحديثين المعروفين أن أبا طيبة الحاجم حجمه صلى الله عليه وسلم وشرب دمه ولم ينكر عليه وان امرأة شربت بوله صلى الله عليه وسلم فلم ينكر عليها وحديث أبي طيبة ضعيف وحديث شرب المرأة البول صحيح رواه الدار قطني وقال هو حديث صحيح

Dan telah berdalil mereka yang menyatakan kesuciannya [air kencing dan darah Nabi] dengan dua hadis yang sudah dikenal yaitu hadis Abu Thaibah yang membekam Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] dan meminum darahnya, tidak ada pengingkaran Beliau atasnya dan hadis seorang wanita meminum kencing Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam], tidak ada pengingkaran Beliau atasnya. Hadis Abu Thaibah dhaif dan hadis wanita meminum kencing tersebut shahih, diriwayatkan Daruquthniy dan ia berkata “itu hadis shahih” [Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab 1/234]
Kami tidak menemukan asal penukilan tashih Daruquthniy tersebut [sepertinya bukan berasal dari kitab Sunan-nya] tetapi tashih Daruquthniy tersebut juga dinukil oleh Ibnu Mulaqqin dalam Badr Al Muniir 1/485.

Kami tidak menafikan bahwa sebagian ulama telah melemahkan hadis Ath Thabraniy di atas dengan alasan Hukaimah binti Umaimah tidak dikenal. Ibnu Hibban telah memasukkannya dalam Ats Tsiqat,

حكيمة بنت أُمَيْمَة تروى عَن أمهَا أُمَيْمَة بنت رقيقَة وَلها صُحْبَة روى عَنْهَا بن جريج

Hukaimah binti Umaimah meriwayatkan dari Ibu-nya Umaimah binti Ruqaiqah salah seorang sahabat Nabi. Telah meriwayatkan dari-nya Ibnu Juraij [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 4/195 no 2460].

Sebagian kalangan menilai tautsiq Ibnu Hibban tidak mu’tamad karena ia dikenal sering memasukkan perawi majhul dalam kitabnya Ats Tsiqat. Tetapi terdapat qarinah yang menguatkan bahwa Hukaimah binti Umaimah tidaklah majhul di sisi Ibnu Hibban karena Ibnu Hibban sendiri telah berhujjah dan menshahihkan hadis Hukaimah binti Umaimah dalam kitab-nya Shahih Ibnu Hibban [Shahih Ibnu Hibban 4/274 no 1426] dimana Ibnu Hibban dalam muqaddimah kitab Shahih-nya menyatakan bahwa salah satu syarat perawi yang ia gunakan dalam kitab-nya tersebut adalah shaduq dalam hadis.

Selain itu hadis Hukaimah binti Umaimah juga dikeluarkan oleh An Nasa’iy dalam kitab-nya Al Mujtaba dimana An Nasa’i menyatakan bahwa semua hadis dalam Al Mujtaba adalah shahih,

قال النسائي كتاب السنن كله صحيح وبعضه معلول إلا أنه لم يبين علته والمنتخب منه المسمى بالمجتبى صحيح كله

An-Nasaa’iy berkata Kitab As-Sunan semua haditsnya shahih, dan sebagiannya ma’luul. Hanya saja ‘illat-nya itu tidak nampak. Adapun hadits-hadits yang dipilih dari kitab tersebut, yang dinamakan Al-Mujtabaa, semuanya shahih [An Nukaat Ibnu Hajar 1/84].

Al Hakim juga meriwayatkan hadis Hukaimah binti Umaimah dalam kitabnya Al Mustadrak 1/167 dan ia mengatakan bahwa sanad hadis tersebut shahih. Sebagaimana maklum dikenal dalam Ulumul hadis bahwa penshahihan terhadap hadis berarti tautsiq terhadap para perawi-nya, maka disini terdapat faedah bahwa Hukaimah binti Umaimah mendapat predikat ta’dil di sisi An Nasa’iy dan Al Hakim.
Terlepas dari apa sebenarnya kedudukan hadis tersebut, kami hanya ingin menunjukkan bahwa terdapat sebagian ulama ahlu sunnah yang menguatkan dan berhujjah dengannya. Sehingga kalau kita melihat secara objektif maka apa yang dikatakan salah seorang ulama syiah tersebut tentang Imam mereka sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama ahlu sunnah tentang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Lampiran : Berikut adalah scan Kitab Khasa’is Al Kubra oleh Jalaludin As Suyuthiy dimana Beliau telah berhujjah dan menshahihkan hadis riwayat Thabraniy di atas.




Akhir kata kami mengingatkan kepada saudara kami baik yang Syiah maupun yang Ahlus Sunnah agar sama-sama bersikap dewasa dan tidak perlu saling merendahkan dan jangan terpengaruh dengan syubhat para Nashibi. Seperti biasa, salam damai.

7. hadis dan riwayat syi’ah yang dhaif dan tidak bernilai hujjah dijadikan ALASAN UNTUK MENUDUH SYi’AH SESAT.
 
Pada masa khalifah Mutawakkil sedang memuncak periwayatan hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli dan mana yang palsu…Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal.

Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya.


Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa.
secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Shi’ah dan Khawarij pada masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.
Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi polemik intelektual antara al-Syafi’I dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.

Diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.

Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato’ pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma’mun.

Pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah ahlul hadis. Paham ini didukung negara sehingga hadis hadis sunni menjadi mudah di intervensi dengan penambahan penambahan yang di lakukan ULAMA ULAMA BUDAK kerajaan.
Ahlul hadis hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadis hadis yang ada tidak ada jaminan 100% akurat  dari Nabi SAW.
Karena fanatisme mazhab, orang orang pada masa tersebut mengarang ngarang hadis agar mazhab nya tetap tegak.
Dulu kita tidak tahu, tetapi kini di era informasi semakin mudah didapat bukti bukti…
Kenapa syi’ah imamiyah hanya mau menerima sebagian hadis hadis sunni ???

Jawab :
1. Hadis sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan padahal masih dalam satu kitab hadis yang sama.
2. Hadis hadis sunni diriwayatkan dengan makna, bukan dengan lafaz.
3. Hadis hadis sunni diriwayatkan dengan daya ingat perawi, jadi kata perkata nya belum tentu 100% asli dari Nabi SAW.
4. Tidak ada jaminan hadis hadis sunni tidak mengalami perubahan dan pemalsuan, kitab kitab selain Al Quran pasti ada benar dan ada salahnya tanpa kecuali, gawatnya Shahih Bukhari Muslim diklaim benar semua !! wah wah.

Aliy bin Abi Thalib Pernah Shalat Tanpa Berwudlu’ : Dusta Nashibi.
Ada satu riwayat menarik dari kitab tetangga [baca : Syiah] yang dijadikan hujjah para Nashibi untuk merendahkan mazhab Syiah. Setelah kami teliti [tentu dengan merujuk pada kitab-kitab Syiah] maka kami dapati ternyata para Nashibi tersebut tergolong orang yang berkualitas rendah tapi bergaya sok alim dan sok ilmiah. Tidak usah banyak cerita, silakan lihat riwayat yang mereka jadikan hujjah

فأما ما رواه علي بن الحكم ، عن عبد الرحمن العرزمي ، عن أبي عبد الله (ع) قال : صلى علي (ع) بالناس على غير طهر ، وكانت الظهر فخرج مناديه أن أمير المؤمنين (ع) صلى على غير طهر ، فأعيدوا وليبلغ الشاهد الغائب

Dan diriwayatkan Aliy bin Al Hakam dari ‘Abdurrahman Al Arzamiy dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Aliy pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’], maka penyerunya keluar dan menyerukan “Amirul mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy 1/433].

Riwayat ini dilihat dari sudut pandang keilmuan Syiah para perawinya tsiqat, secara zhahir shahih tetapi mengandung illat [cacat]. Abdurrahman Al Arzamiy dalam periwayatan hadis ini ternyata meriwayatkan melalui perantara Ayahnya, hal ini disebutkan oleh Syaikh Ath Thuusiy sendiri dalam kitabnya yang lain yaitu Tahdzib Al Ahkaam

فأما ما رواه علي بن الحكم عن عبد الرحمن بن العرزمي عن أبيه عن أبي عبد الله عليه السلام قال صلى علي عليه السلام بالناس على غير طهر وكانت الظهر ثم دخل فخرج مناديه ان أمير المؤمنين عليه السلام صلى على غير طهر فأعيدوا وليبلغ الشاهد الغائب

Dan diriwayatkan Aliy bin Al Hakam dari ‘Abdurrahman Al Arzamiy dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Aliy pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian Beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan “Amirul mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Tahdzib Al Ahkaam Syaikh Ath Thuusiy 3/40]
Riwayat yang menyebutkan sanad “dari ayahnya” inilah yang mahfudz sebagaimana dikuatkan oleh ulama lain selain Syaikh Ath Thuusiy yaitu Al Hurr Al Amiliy dalam Wasa’il Syiah.

وبإسناده عن علي بن الحكم ، عن عبد الرحمن العرزمي عن أبيه عن أبي عبدالله  عليه السلام  قال : صلى علي  عليه السلام  بالناس على غير طهر وكانت الظهر ثم دخل ، فخرج مناديه ، أن أمير المؤمنين عليه السلام صلى على غير طهر فأعيدوا فليبلغ الشاهد الغائب

Dan dengan sanadnya dari Aliy bin Al Hakam dari ‘Abdurrahman Al Arzamiy dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Aliy [‘alaihis salama] pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian Beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan “Amirul mukminin [‘alaihis salam] shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Wasa’il Syiah Syaikh Hurr Al Aamily 8/373].

Para ulama Syiah ketika menukil riwayat dari Syaikh Ath Thuusiy mereka menyebutkan sanad “Abdurrahman Al Arzamiy dari Ayahnya” sebagaimana riwayat Syaikh dalam Tahdzib Al Ahkam.

وأما ما رواه الشيخ ، عن عبد الرحمن العزرمي ، عن أبيه عن أبي عبد الله قال : صلى علي بالناس على غير طهر وكانت الظهر ثم دخل فخرج مناديه أن أمير المؤمنين صلى على غير طهر فأعيدوا ، وليبلغ الشاهد الغايب

Dan diriwayatkan Syaikh dari ‘Abdurrahman Al Arzamiy dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Aliy pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian Beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan Amirul mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Dzakhiirah Al Ma’ad Fii Syarh Al Irsyaad 1/393, Muhaqqiq Sabzawariy].

وأما رواية عبد الرحمن العرزمي ، عن أبيه ، عن الصادق قال : صلى علي بالناس على غير طهر وكأن في الظهر ، ثم دخل فخرج مناديه أن أمير المؤمنين صلى على غير طهر ، فأعيدوا وليبلغ الشاهد الغائب

Dan diriwayatkan ‘Abdurrahman Al Arzamiy dari Ayahnya dari Ash Shaadiq yang berkata “Aliy pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian Beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan Amirul mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Manaahij Al Ahkaam hal 524, Mirza Al Qummiy].

ومنها : رواية العزرمي ، عن أبيه ، عن أبي عبد الله قال : صلى علي بالناس على غير طهر ، وكانت الظهر ثم دخل فخرج مناديه أن أمير المؤمنين صلى على غير طهر فأعيدوا ، وليبلغ الشاهد الغائب

Dan darinya Riwayat Al Arzamiy dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah yang berkata “Aliy pernah mengimami orang-orang shalat zhuhur dalam keadaan tidak suci [berwudlu’] kemudian Beliau masuk, maka penyerunya keluar dan menyerukan Amirul mukminin shalat dalam keadaan tidak suci, ulangi shalat kalian dan hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir [Kitab Ash Shalah 5/361, Sayyid Al Khu’iy].

Berdasarkan pembahasan di atas nampak bahwa sanad yang dibawakan Syaikh Ath Thuusiy dalam Al Istibshaar itu keliru atau kurang lengkap [hal ini kemungkinan karena tashif]. Riwayat yang rajih adalah yang dibawakan oleh Syaikh Ath Thuusiy dalam kitabnya Tahdzib Al Ahkaam sebagaimana dikuatkan oleh Al Hurr Al Amiliy dan dinukil oleh para ulama Syiah seperti Muhaqqiq Sabzawariy, Mirza Al Qummiy dan Sayyid Al Khu’iy.

Riwayat ini sanadnya dhaif karena kelemahan ayahnya ‘Abdurrahman Al ‘Arzamiy yaitu Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Sulaiman Al Arzamiy, ia tidak dikenal kredibilitasnya alias majhul sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Al Khu’iy [Kitab Ash Shalah 5/361, Sayyid Al Khu’iy]. Riwayat ini juga dilemahkan oleh Muhaqqiq Sabzawariy dan Mirza Al Qummiy.

محمد بن عبيد الله بن أبي سليمان: العرزمي الكوفي – من أصحاب الصادق مجهول

Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Sulaiman Al Arzamiy Al Kuufiy, termasuk sahabat Ash Shadiq, majhul [Al Mufid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 548, Muhammad Al Jawahiriy].

Ada Nashibi yang sok bergaya ilmiah mengatakan bahwa riwayat di atas shahih dan sanad yang benar adalah sanad dalam riwayat Al Istibshaar dimana Abdurrahman Al Arzamiy meriwayatkan langsung dari Abu ‘Abdullah [tanpa menyebutkan ayahnya]. Alasannya karena dalam kitab Rijal dan kitab hadis Syiah, Abdurrahman Al Arzamiy dikenal meriwayatkan langsung dari Abu ‘Abdullah.

Abdurrahman Al ‘Arzamiy memang dikenal meriwayatkan langsung dari Abu ‘Abdullah tetapi dalam kitab Syiah, ia juga pernah meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah melalui perantara Ayahnya. Hal ini disebutkan dalam hadis lain selain hadis di atas yaitu dalam kitab Al Kafi

  مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْعَرْزَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Aliy bin Al Hakam dari Abdurrahman Al ‘Arzamiy dari Ayahnya dari Abu ‘Abdullah [Ushul Al Kafi 3/98].

Tidak dipungkiri bahwa riwayat Abdurrahman Al ‘Arzamiy dari Abu Abdullah secara langsung lebih banyak dibanding riwayatnya melalui perantara Ayahnya. Tetapi perkara ini adalah hal yang lumrah dalam periwayatan, sama hal-nya dengan riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam mazhab Ahlus sunnah lebih banyak dibanding riwayat Ibnu Umar dari Ayahnya Umar dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Periwayatan Abdurrahman Al Arzamiy dari ayahnya juga dikenal dalam kitab Rijal Syiah. Sayyid Al Khu’iy dalam kitabnya Mu’jam Rijal Al Hadits 10/368 biografi no 6419 menuliskan nama Abdurrahman bin Al ‘Arzamiy atau Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidillah atau ‘Abdurrahman bin Muhammad Al ‘Arzamiy atau ‘Abdurrahman Al ‘Arzamiy, ia meriwayatkan dari ‘Abu ‘Abdullah dan telah meriwayatkan darinya Aliy bin Hakam, kemudian Al Khu’iy menyatakan:

وروى عن أبيه، عن أبي عبد الله (عليه السلام)، وروى عنه علي بن الحكم

Telah meriwayatkan dari ayahnya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] dan telah meriwayatkan darinya Aliy bin Al Hakam [Mu’jam Rijal Al Hadits 10/368 biografi no 6419].

Syaikh Aliy An Namaziy Asy Syahruudiy menyebutkan dalam kitabnya Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadits 4/419 no 7775.

عبد الرحمن بن محمد بن عبيد الله العردي
لم يذكروه. روى عن أبيه، وعنه أبو المفضل. أمالي الشيخ ج 2 / 171

‘Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Ubaidillah Al ‘Ardiy, mereka tidak menyebutkannya. Ia meriwayatkan dari ayahnya dan telah meriwayatkan darinya Abu Mufadhdhal, dalam Amaliy Syaikh Ath Thuusiy 2/171.

Dan jika kita merujuk pada kitab Amaliy Syaikh Ath Thusiy maka sanad yang dimaksud adalah sebagai berikut

قال أخبرنا جماعة، عن أبي المفضل، قال حدثنا عبد الرحمن بن محمد بن عبيد الله العرزمي، عن أبيه، عن عثمان أبي اليقظان، عن أبي عمر زاذان

Ttelah mengabarkan kepada kami Jama’ah dari Abu Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidillah Al Arzamiy dari Ayahnya dari ‘Utsman Abi Yaqzhaan dari Abi Umar Zaadzaan [Amaliy Syaikh Ath Thuusiy 2/139].

Maka ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Ubaidillah yang disebutkan oleh Syaikh Ali An Namaziy itu adalah Al ‘Arzamiy dan ia meriwayatkan dari Ayahnya sebagaimana yang nampak dalam Amaliy Syaikh Ath Thuusiy.

Selain itu dilihat dari segi matan-nya riwayat di atas mengandung kemungkaran dari sisi bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa orang yang berimam dengan imam yang ternyata tidak berwudhu’ maka tidak perlu mengulang shalat. Sedangkan zhahir riwayat di atas nampak bahwa mereka diharuskan mengulang shalat mereka.

علي بن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، ومحمد بن إسماعيل، عن الفضل بن شاذان جميعا، عن حماد بن عيسى، عن حريز، عن محمد بن مسلم قال: سألت أبا عبد الله (عليه السلام) عن الرجل أم قوما وهو على غير طهر فأعلمهم بعد ما صلوا، فقال: يعيد هو ولا يعيدون

Aliy bin Ibrahim bin Haasyim dari Ayahnya dan Muhammad bin Ismail dari Fadhl bin Syadzaan, keduanya dari Hammad bin Iisa dari Hariiz dari Muhammad bin Muslim yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seseorang yang menjadi imam dan ia ternyata tidak suci [berwudhu’], ia memberitahu mereka setelah shalat. [Abu ‘Abdullah] berkata “ia mengulang shalat sedangkan mereka tidak perlu mengulang” [Al Kafi  Al Kulaini 3/378].

Kesimpulan : Tidak diragukan lagi bahwa riwayat Imam Ali pernah shalat tanpa berwudlu’ adalah dusta yang diada-adakan atas nama Ima Aliy. Dari sudut pandang keilmuan Syiah riwayat tersebut dhaif dan tidak bernilai hujjah.

Tulisan ini bisa dibilang merupakan pembelaan terhadap Syiah atas ulah sekelompok orang jahil berhati nifaq yang tidak henti-hentinya mencari cara untuk merendahkan mazhab Syiah.
Kita berdoa kepada Allah SWT semoga kejahilan mereka tidak membawa mudharat bagi siapapun kecuali diri mereka sendiri.

8. kontradiksi hadis syi’ah ?? dua versi yang bertolak belakang membatalkan teori kema’shuman para Imam Syiah ?
 
saudaraku… Mustahil  Rasulullah  SAW  plin plan… Mustahil  Imam Ali  plin plan…. Kalau kitab baca kitab hadis sunni  kerap kita temukan kontradiksi  sehingga  muncul beraneka  versi… Kenapa hal ini  terjadi  ???


Karena fanatisme mazhab, orang orang pada masa tersebut mengarang ngarang hadis agar mazhab nya tetap tegak. Dulu kita tidak tahu, tetapi kini di era informasi semakin mudah didapat bukti bukti… Adanya pertentangan dan kontradiksi diinternal hadis sunni  MEMBUKTiKAN  bahwa sebagian hadis  sunni yang  ditolak  (syi’ah imamiyah)  adalah hadis  BUATAN  rezim penjahat…


Abu Zahrah menyatakan : “Pemerintah Bani Umayyah banyak menyembunyikan fatwa fatwa hukum dari Ali. Tidak mungkin mereka yang mengutuk dan mencaci Ali mau meriwayatkan fatwa fatwa hukumnya terutama yang berkaitan dengan dasar dasar hukum Islam” (Sumber : Abu Zahrah, Al Imam Al Shadiq, halaman 161)

Hadits-hadits palsu pada masa bani Umayyah untuk bisa melegitimasi kekuasaan bani Umayyah pada saat itu. Kebencian keluarga Umayyah  kepada Bani Hasyim sangat terkenal, misalnya Cucu Abu Sofyan membantai Imam Husain di Karballa.Bukhari Menjadikan Salah Satu Sumber Utama Hadisnya dari ZUHRi Sang Pemalsu Hadis Dan Sejarah demi membenarkan tindakan Zalim Tiran Bani Umayyah.

Mu’awiyah adalah orang pertama yang tertarik ingin menulis sejarah dan membuat buat hadis hadis atau sunnah palsu. Ia mendapatkan sebuah sejarah  masa lalu yang ditulis oleh seorang bernama Ubaid yang ia panggil dari Yaman.Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam, dan Abu Rayyah dalam bukunya Adhwa’ Ala Sunnah Al Muhammadiyah telah menggugat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, bahwa dia (Abu Hurairah) sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, padahal dia tidak pernah menulis. Ia hanya menceritakan hadits dari ingatannya.

Bukhari Menjadikan Salah Satu Sumber Utama Hadisnya dari ZUHRi Sang Pemalsu Hadis. Zuhri-ulama’ rezim tiran Bani Umayyah demi membenarkan tindakan penguasa. Asy-Sya’bi- seorang ulama yang bergelimang dalam kubangan kebjatan istama rezim Umayyah, atau al-Laits.

Zuhri adalah sejarawan pertama yang menulis sejarah Islam atas perintah dan pembiayaan langsung dari penguasa. Ia juga menulis kumpulan hadis. Karya Zuhri adalah salah satu sumber utama hadis hadis Bukhari. Zuhri sangat dekat dengan keluarga bangsawan, dan guru bagi putera putera nya.

Dua orang murid Zuhri yang bernama Musa bin Uqbah dan Muhammad bin Ishaq menjadi sejarahwan terkenal. Musa dulunya adalah seorang budak dirumah Zubair. Karyanya merupakan karya yang terkenal untuk waktu yang lama. Anda akan menemukan referensi referensi nya di banyak buku buku sejarah
Murid kedua, Muhammad bin ishaq  adalah sejarahwan terkemuka bagi kaum sunni. Biografi Nabi karyanya  berjudul “Sirah Rasulullah” masih menjadi sumber sejarah yang diakui dalam bentuk yang diberikan oleh Ibnu Hisyam, dan dikenal sebagaisirah Ibnu Hiysam.

Zuhri adalah orang pertama yang menyusun hadis seluruh sejarah  dan kitab sunni setelah nya oleh orang orang yang berpengaruh dalam karya karya ini (Sumber : As Sirah An Nabawiyah, Syilbi, Sejarahwan Sunni Terkemuka, bagian 1 halaman 13-17).

Penjelasan diatas memberikan bukti dan fakta fakta berikut :
  1. Kitab sejarah kaum sunni pertama kali disusun atas perintah langsung dari Dinasti Umayyah.
  2. Penulis pertama adalah Zuhri, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya, Musa bin Uqbah dan Muhammad bin Ishaq.
  3. Para penulis ini sangat dekat dengan keluarga Dinasti Umayyah.
Penjahat penjahat inilah yang pertama kali menuliskan kitab kitab sejarah dan hadis. Mereka memalsukan hadis untuk membenarkan tindakan mereka dan menyatakan bahwa Nabi SAW telah memerintahkan untuk menaati mereka walaupun zalim.  Sebuah hadis berlabel shahih yang menggelikan !!!!
Mayoritas Umat Merupakan Jama’ah pengikut  Syi’ah Mu’awiyah (sunni sekarang) yang MERAMPAS  kekuasaan , menindas dan melakukan diskriminasi terhadap Syi’ah Ali.. Mustahil Nabi SAW menyuruh anda mengikuti kaum mayoritas !!!
Banyak Hadis Hadis dan Kitab Sejarah Mazhab Sunni Telah Dipalsukan Oleh Penulis dari Dinasti Umayyah !!!  Sehingga Syi’ah Hanya Menerima Sebagian Hadis dan Sirah Sunni Dan Mengingkari Keotentikan Sebagian Lagi.

Bukhari Menjadikan Salah Satu Sumber Utama Hadisnya dari ZUHRi Sang Pemalsu Hadis Dan Sejarah demi membenarkan tindakan Zalim Tiran Bani Umayyah. Al-zuhri telah membuat hadits palsu. Hal ini dilakukannya karena ada “order special” dari khalifah bani umayyah di damaskus. Kendati hadits tersebut termaktub dalam kitab sahih al-bukhari, sebagian diantaranya  bikinan Al-zuhri, dan bukanlah sabda Nabi saw. Saya meragukan  kredibilitas imam Al-Zuhri. Para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits agar terhimpun dalam suatu buku.

Sebagian  omongan Zuhri dianggap sebagai hadits Nabi SAW. Itu kecerobohan Bukhari.
Terdapat dalam kitab Ibn Sa’ad dan Ibn ‘Asakir  : Al Zuhri mengatakan, “Inna haulai al umara akrahuna ‘ala kitabah alhadits” (sesungguhnya para pejabat itu telah memaksa kami untuk menulis Hadits). Artinya para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadits-hadits nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. JAdi Zuhri  ada  hubungan dengan Bani Umayyah dan pemanfaatan dirinya dalam pemalsuan hadits demi mengikuti hawa nafsu mereka.

Motif pemalsuan hadis oleh penguasa :

1. Syi’ah menolak kekhalifahan Umayyah Abbasiyah  ataupun tidak ikut membai’atnya.
2. Upaya penyingkiran kekhalifahan yang sah yakni “ Imam Ali dan ahli bait Rasul SAW”.
3. Bani Umayyah juga Abbasiyah menggunakan segenap daya untuk mensucikan Abubakar, Umar dan Usman serta menciptakan keutamaan keutamaan dan bukti sahnya kekhalifahan mereka yang dapat menarik simpati umat, karena mereka faham bahwa sahnya pemerintahan mereka tidak lepas dari sahnya pemerintahan ABUBAKAR, UMAR dan  USMAN.

Ulama ulama yang dekat dengan penguasa Bani Umayyah selalu berupaya merubah SUNNAH NABi yang sebenarnya dengan mendukung  bid’ah bid’ah sebelumnya yang dirintis oleh Abubakar, Umar dan Usman.

Akibatnya ??  hadis sunni terdapat diantaranya PERTENTANGAN. Padahal tidak masuk akal bahwa Nabi SAW akan mengucapkan  sabda sabda yang saling berlawanan.

mereka memilih nama AHLU SUNNAH WAL JAMAAH untuk golongan nya sendiri sementara untuk golongan lain mereka namakan sebagai RAFiDHAH ZiNDiQ hanya karena menolak kekhalifahannya, pengikut pengikut Ali (Syi’ah Ali) dicap sebagai ahli bid’ah sementara pengikut Mu’awiyah sebagai AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH.

 Jadilah pengikut Imam Ali sebagai orang orang zindik yang halal darah dan kehormatannya, sementara musuh musuh Allah dan ahlulbait sebagai AHLUSUNNAH. Harus diakui Mu’awiyah berhasil mencapai keberhasilan yang luar biasa dalam menyesatkan umat hingga mereka meyakini bahwa golongannya adalah “AHLUSUNNAH” sementara pengikut pengikut Ali adalah golongan sesat yang telah keluar dari Islam.
Syaikh Abul A’la Maududi menyatakan bahwa : “Tidak seorangpun bisa mendakwakan bahwa seluruh hadis Bukhari adalah shahih”.

Pihak sunni tidak banyak memperhatikan faktor faktor politik yang mendorong terjadinya pemalsuan hadis. Akibatnya mereka tidak merasa ragu sedikitpun terhadap beberapa hadis, meskipun isinya jelas memberikan dukungan politik terhadap Daulat Amawiyah dan Daulat Abasiyah. Pihak Sunni tidak mampu membedakan mana hadis yang orisinil dengan hadis yang batil.

Pihak sunni tidak banyak melakukan kajian mendalam terhadap kondisi sosial yang melingkupi para periwayat atau keadaan pribadinya ataupun hal hal yang mendorongnya melakukan pemalsuan hadis.

Seandainya pihak sunni banyak melakukan studi kritik matan dan tidak semata terpaku pada kritik sanad maka pasti Sunni akan menemukan banyak hadis yang sebenarnya palsu.
Sunni tidak melakukan studi komprehensif terhadap situasi sosial politik masa itu. Hadis hadis sunni yang saling bertolak belakang membuktikan adanya pemalsuan terorganisir dengan menisbatkan kepada Nabi SAW apa apa yang sebenarnya tidak layak dan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu atau realitas sejarah yang terkadang bertolak belakang.

Isi satu persatu hadis sunni terdapat diantaranya PERTENTANGAN. Padahal tidak masuk akal bahwa Nabi SAW akan mengucapkan sabda sabda yang saling berlawanan. Kenapa ada hadis hadis sunni yang keorisinilan nya tidak disepakati syi’ah ???

Para peneliti hadis pasti akan menemukan banyak hadis hadis yang disandarkan pada Nabi tetapi pada hakekatnya tidak lain adalah bid’ah yang dibuat oleh sebagian sahabat setelah meninggalnya Rasul disertai upaya pemaksaan pada umat untuk melaksanakannya sehingga ulama sunni kemudian meyakini bahwa itu semua dilakukan oleh Nabi SAW.

Tidak heran kalau kemudian hadis hadis bid’ah tersebut bertentangan dengan AL QURAN, apakah Sunnah PALSU dapat menghapus Al Quran ??..

Terlebih lagi Abubakar dan Umar secara terang terangan membakar semua catatan hadis yang ada, akibatnya malapetaka lah yang terjadi kini.

Ketika perbedaan perbedaan itu terjadi dalam empat mazhab fikih sunni maka mereka malah diam saja dan menganggapnya sebagai rahmat karena BEDA PADA FURU’ dan  bukan pada USHUL. Sebaliknya pihak Sunni mencaci maki syi’ah jika mereka berbeda pendapat dalam suatu permasalahan sehingga perbedaan menjadi laknat untuk syi’ah.

Lucunya mereka pun hanya mengakui pendapat pendapat Imam mereka saja, walaupun Imam Imam tersebut tidak akan pernah menyamai Imam imam yang suci dalam ilmu, amal dan keutamaan. Tidak heran kalau pihak Sunni kemudian juga menolak hadis hadis yang diriwayatkan para imam Ahlulbait walaupun hadis hadis tersebut shahih… Sekarang renungkanlah pembaca, sikap fanatik buta dari pihak Sunni yang menuduh para perawi hadis dari Imam Imam Ahlulbait sebagai orang orang zindiq.

Mazhab Sunni meyakini bahwa PERKATAAN DAN PERBUATAN SAHABAT merupakan sunnah yang dapat diamalkan dan tidak mungkin bertentangan dengan Sunnah Nabi SAW walaupun adakalanya perbuatan mereka tersebut tidak lain hanyalah  hasil ijtihad yang disandarkan pada Rasul SAW.

Tampaknya pihak sunni tidak mencocokkan hadis hadis para Sahabat dengan AL QURAN, mereka khawatir terbongkar nya pemalsuan pemalsuan hadis yang selama ini mereka lakukan. Mereka sadar bahwa kalau hadis hadis tersebut jika dicocokkan dengan Al Quran  maka banyak yang akan bertentangan, sementara yang sesuai dengan AL QURAN tafsirkan berdasarkan pemahaman mereka sendiri, misal: 12 khalifah Quraisy yang Nabi SAW maksudkan adalah para imam ahlulbait yang suci setelah Nabi SAW wafat, bukan orang orang zalim seperti Mu’awiyah.

Imam Ali AS  merupakan satu satunya sahabat yang ketika menjadi khalifah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk mengembalikan manusia pada sunnah Nabi SAW. Sayangnya usaha tersebut menemui kegagalan karena MUSUH selalu mengobar kan peperangan untuk mencegah usaha tersebut mulai dari PERANG JAMAL, ShiFFiN, NAHRAWAN hingga pembunuhan terhadap Imam Ali AS.

Tidak heran kalau para pengikut Ali yang berada dalam kebenaran menjadi pihak yang salah dan sesat, sementara pihak yang sesat malah menjadi pihak yang dihormati dan dimuliakan. Jadilah pengikut pengikut Ali (Syi’ah Ali) sebagai ahli bid’ah sementara pengikut Mu’awiyah sebagai AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH.

Pemerintahan Bani Umayyah banyak menyembunyikan fatwa fatwa hukum dari Ali AS. Tidak mungkin mereka yang mengutuk dan mencaci Ali mau meriwayatkan fatwa fatwa hukumnya terutama yang berkaitan dengan dasar dasar hukum Islam.

Setelah terbunuhnya Imam Ali  maka Mu’awiyah kemudian memegang tampuk pemerintahan. Dan satu satunya tekad yang ia canangkan sejak dulu adalah memadamkan cahaya agama Islam orisinil dengan segala cara dan upaya serta menghapus SUNNAH NABi yang telah dihidupkan kembali oleh Imam Ali AS dan mengembalikan manusia kepada bid’ah-bid’ah sebelumnya yang dirintis oleh Abubakar, Umar dan Usman.

Dan jika kita meneliti buku-buku sejarah secara seksama, kita akan menemukan bahwa PENGUASA Bani Umayyah juga Abbasiyah menggunakan segenap daya untuk mensucikan Abubakar, Umar dan Usman serta menciptakan keutamaan keutamaan dan bukti sahnya kekhalifahan mereka yang dapat menarik simpati umat karena mereka faham bahwa sahnya pemerintahan mereka tidak lepas dari sahnya pemerintahan ABUBAKAR, UMAR dan  USMAN.

Dari sinilah kemudian muncul upaya upaya untuk mensucikan khalifah sebelumnya dengan mempropagandakan bahwa semuanya adalah orang orang suci dan adil yang tidak boleh dikritik sedikitpun. Itulah mengapa mereka memilih nama AHLU SUNNAH WAL JAMAAH untuk golongan nya sendiri sementara untuk golongan lain mereka namakan sebagai RAFiDHAH ZiNDiQ hanya karena menolak kekhalifahannya ataupun tidak ikut membai’atnya serta malah mendukung Ali dan ahli bait sebagai sebagai khalifah yang sah.

Ulama ulama yang dekat dengan penguasa Bani Umayyah selalu berupaya merubah SUNNAH NABi yang sebenarnya dengan mendukung upaya penyingkiran terhadap Imam Ali dan ahli bait Rasul SAW.
.
sejarah dan hadis tentang Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam Sunni sekarang ada yang  sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa.
.
Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Muhammad saw.

Hadis sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan padahal masih dalam satu kitab hadis yang sama. Dalam metode sanad sunni, perawi hanya mengungkapkan apa yang ia dengar/ lihat  sehingga like-dislike.
Bagaimanapun, penilaian seseorang sudah tentu mengandung unsur-unsur subyektif. Dan ingatan manusia, seberapapun sempurnanya, tentu mengandung kemungkinan meleset.

Letakkan sebuah kursi di tengah ruangan. Panggil 10 orang duduk mengitari kursi itu. Suruh mereka menulis tentang kursi satu itu. Maka akan muncul 10 cerita yang berbeda. Tidak seorangpun boleh mengatakan ceritanya yang paling benar dan yang lain salah. Orang lain yang akan memilih, cerita mana yang paling masuk akal. Kita tidak perlu saling memaki karena semua orang punya hak untuk berpendapat dan untuk memilih.

hadits dibukukan jauh setelah sumber aslinya wafat. jelas saja menyisakan ruang untuk berbagai kemungkinan dan kepentingan. disinilah kemudian terletak sumber kontroversi yang juga dipicu penggolongan derajat hadits dan munculnya kelompok-kelompok dengan pendekatan berbeda terhadap kekuatan hukum sebuah hadits.

  • Imam Syafii dinyatakan dhaif oleh Ibnu Main dan tsiqah oleh banyak ulama lain (bisa bayangkan kalau Imam Syafii dhaif, waduh bisa hancur itu mahzab Syafii).
  • Imam Tirmidzi dinyatakan majhul oleh Ibnu Hazm tetapi sangat terpercaya oleh ulama lain(apalagi ini nih masa’ Sunan Tirmidzi kitab majhul/tidak dikenal).
  • Ibnu Ishaq dinyatakan dajjal oleh Imam Malik tetapi beliau juga dipercaya oleh Imam Syafii dan Ali bin Madini serta yang lainnya. Dan sampai sekarang kitab Sirah Ibnu ishaq tetap menjadi referensi umat islam..
  • Katsir Al Muzanni adalah perawi yang sangat dhaif dan ini dinyatakan oleh banyak ulama sampai2 Imam Syafii menyebutnya “Tiang Kebohongan” (ini celaan paling jelek dalam Jarh wat Ta’dil). Anehnya Imam Tirmidzi berhujjah dengan hadis Katsir.
  • Imam Ahmad ibn Hanbal menggugurkan keadilan Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya karena ia mendengarnya menyebut-nyebut kejelakan Mu’awiyah ibn Abu Sufyân. Tidak cukup itu, ia (Ahmad) memaksa Yahya ibn Ma’in agar menggugurkan keadilannya dan menghentikan meriwayatkan hadis darinya.
Pihak Sunni menerima hadis hadis yang diriwayatkan oleh Khawarij dan golongan Nawasib . Mereka tidak segan segan untuk menshahihkan hadis hadis palsu yang disusun secara sengaja  untuk memuliakan dan menguatamakan Abubakar Umar Usman dan loyalisnya. Padahal PERAWi  TERSEBUT dikenal  sebagai nawasib

contoh : Ibnu Hajar menyatakan Abdullah bin Azdy sebagai “pembela sunnah Rasul”.

Ibnu Hajar juga menyatakan Abdullah bin Aun Al Bisry sebagai “Ahli ibadah pembela sunnah dan penentang bid’ah”

Padahal faktanya mereka berdua membenci Imam Ali dan para pendukungnya.

Sebab, kalau kita telaah proses verifikasi sanad, akan kelihatan sekali bahwa fondasinya cenderung subyektif, hal yg sangat wajar jika kita rajin menelaah hadist2 suni bahkan yg muktabar sekalipun, dimana akan banyak kontradiksi di dalam masalah penghukumannnya (ta’dil wa jarh ). Sebab, dasar pokok dari metode sanad adalah penilaian seseorang atas “kualitas” orang lain yang menjadi rawi.
contoh saja: salah seorang perawi sahih Buhori, Haritz bin Uthman jelas dia adalah pendukung bani Umayah, ia melaknat Imam Ali 70x di pagi hari dan 70x di sorenya secara rutin…namun apa juga yg dikatakan Ahmad bin Hambal:”haritz bin uthman adalah Tsiqot!”.

kemudian dalam soheh Muslim pun diceritakan bahwa Muawiyah La. memerintahkan Sa’ad bin Abi waqos untuk menghina dan mencerca Imam Ali a.

Hadis  Aswaja sunni  kacau balau  karena menempatkan para perawi atas dasar memihak atau tidaknya kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah.. Untuk itu, ulama aswaja sunni menyebut seseorang itu Syi’ah manakala ia berpihak kepada ‘Ali…Yang  pro  Ali  mayoritas  hadis nya ditolak  sedangkan  yang  MENCELA  ALi  hadisnya  dianggap tsiqat/shahih… standar  ganda.

Anda berhak bertanya akan keseriusan para ulama Sunni dalam menyikapi para pembenci dan pencaci maki sahabat, yang dalam rancangan konsep mereka siapa pun yang membenci dan apalagi juga dilengkapi dengan mencaci-maki sahabat Nabi saw. mereka kecam sebagai zindiq, fasik, pembohong yang tidak halal didengar hadisnya!! Lalu bagaimana dengan perawi yang membenci dan mencai-maki Imam Ali as.? Apakah mereka akan berkonsekuen dalam mengetrapkannya? Atau mereka akan melakukan praktik “Tebang Pilih”!

Jika seoraang perawi mencaci maki Mu’awiyah, ‘Amr ibn al ‘Âsh, Abu Hurairah, Utsman ibn ‘Affân, Umar ibn al Khathtab, atau Abu Bakar misalnya, hukuman itu ditegakkan!

Jika yang dicaci dan dibenci saudara Rasulullah saw. dan menantu tercintanya; Ali ibn Abi Thalib as. maka seakan tidak terjadi apa-apa! Seakan yang sedang dicaci-maki hanya seorang Muslim biasa atau bisa jadi lebih rendah dari itu…. Pujian dan sanjungan tetap dilayangkan… kepercayaan terhadapnya tetap terpelihara… keimanannya tetap utuh… bahkan jangan-jangan bertambah karena mendapat pahala besar di sisi Allah kerenanya, sebab semua itu dilakukan di bawah bendera ijtihad dan keteguhan dalam berpegang dengan as Sunnah!!

Mengapa kegarangan sikap dan ketegasan vonis itu hanyaa mereka tampakkan dan jatuhkan ketika yang dicaci-maki dan dibenci adalah sahabat selain Imam Ali as., betapapun ia seorang fasik berdasarkan nash Al Qur’an, seperti al Walîd ibn ‘Uqbah! Sementara jika Ali as. atau sahabat dekatnya seperti Ammar ibn Yasir, Salman al FarisiAbu Darr ra. dkk. yang dicaci-maki dan dibenci serta dilecehkan semua seakan tuli dan bisu….

Cuma asumsi sayakah ini? Ooh tidak ini bisa dibuktikan. Pernahkah anda membaca riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW menikahi Maimunah RA disaat ihram. Padahal ada riwayat lain bahwa Nabi SAW melarang menikah di waktu ihram. Nabi SAW melanggar perkataan Beliau sendiri, nggak mungkin banget kan dan puncaknya ada riwayat lain bahwa Pernikahan Nabi SAW dengan Maimunah RA tidak terjadi waktu ihram. Semua riwayat tersebut Shahih.(sesuai dengan Metode penyaringan). Tidak mungkin 2 hal yang kontradiktif bisa benar


 Pemerintahan para penjahat melancarkan propaganda hingga ajaran itrah ahlul bait menjadi asing ditengah tengah umat dan muncul Keanekaragaman Inkonsistensi.

Penilaian ulama yang berbeda soal hadis akan membuat perbedaan pula terhadap apa itu yang namanya Sunnah. Ulama A berkata hadis ini shahih sehingga dengan dasar ini maka hadis itu adalah Sunnah tetapi Ulama B berkata hadis tersebut dhaif atau bisa saja maudhu’ sehingga dengan dasar ini hadis itu tidak layak disebut Sunnah. Pernah dengar hadis2 yang kontradiktif misalnya nih hadis yang melarang menangisi mayat dan hadis yang membolehkan menangisi mayat. Atau hadis-hadis musykil yang begitu anehnya
  • Nabi Musa telanjang mengejar pakaiannya yang dibawa lari sebongkah batu
  • Nabi Musa menampar malaikat maut sehingga bola mata malaikat itu keluar dan akhirnya Allah SWT mengembalikan bola matanya
  • Hadis yang menjelaskan Nabi SAW berhubungan dengan 9 istrinya dalam satu malam
  • Hadis yang menjelaskan Nabi SAW menikahi anak berumur 9 tahun
Yang anehnya Rekayasa Sunnah ini bahkan sudah terjadi di kalangan sahabat sendiri dimana ada sebagian sahabat yang melarang apa yang sudah ditetapkan dan dibolehkan oleh Nabi SAW salah satunya yaitu Haji tamattu’ (dan bagi Syiah termasuk Nikah Mut’ah).

Hadis hadis TENTANG  SEMUA  SAHABAT  ADiL, hadis hadis jaminan surga kepada 3 khalifah, hadis hadis pujian kepada  Mu’awiyah  dan sejenisnya hanyalah  hadis hadis  politik REKAYASA  PENGUASA  dan ulama penjilatnya.
Yang menarik, hadis-hadis politik itu muncul dan beredar di masyarakat jauh setelah khalifah empat (al-khulafa’ al-rashidun) berlalu. Hadis-hadis ini muncul setelah sarjana Islam mulai menulis literatur yang sering disebut sebagai “fiqh al-Siyasah” atau fikih politik.

masalah hadis-hadis politik, tinggal bagaimana kearifan kita dalam memahaminya. iya to!  alias tak seluruhnya dr turats klasik kita itu BAIK. jangan hanya “taken for granted”.

Selamanya kaum munafik tidak akan pernah mencintai Imam Ali as…. semua upaya mereka hanya akan tercurah pada bagaimana mereka dapat melampiaskan kedengkian dan kebencian mereka kepada Imam Ali as. dengan berbagai cara:
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as. seperti apa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.
(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menndingi keisitimewaan Imam Ali dan Ahlulbait as.
(8) Dll.

Situasi politik dan keamanan pada saat pengumpulan hadis hadis sunni tidak kondusif  bagi suasana ilmiah yang netral, buktinya antara lain :
- Imam Al Nasa’i, pengarang sunan Al Nasa’i dipukul dan dianiaya hingga sekarat didalam Masjid karena menyatakan : “saya tidak mengetahui keutamaan apapun dari Mu’awiyah kecuali Allah tidak pernah mengenyangkan perutnya”
- Pemakaman Ibnu Jarir Al Thabary dipekuburan Islam dihalangi dan dicegah karena beliau menshahihkan hadis hadis Ghadir Kum dan menghimpun riwayat riwayat nya hingga mencapai tingkat mutawatir.. Beliau akhirnya dikubur dipekuburan Kristen dan hartanya dirampas
- Al ‘Amary yang meriwayatkan hadis burung panggang (yang menunjukkan keutamaan Imam Ali) di usir dari tempat duduk nya dicuci karena dianggap najis
- Imam Syafi’i dianiya karena mengucapkan syair syair yang memuji ahlulbait, bahkan beliau nyaris dihukum mati.

Sebagian hadis hadis sunni  berlabel shahih ternyata PALSU  dan PENUH  REKAYASA POLiTiK, fakta sejarah :

1. Pihak kerajaan Umayyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz) selalu menghina dan mengutuk Ali dan keturunannya.. Bahkan Yazid  membantai  Imam Husain  beserta pendukungnya… Tetapi  mereka memuliakan Abubakar, Umar, Usman dan sahabat sahabat lainnya melalui pembuatan hadis hadis politik jaminan surga dll.
2. Pihak kerajaan Umayyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz) sangat membenci Imam Ali dan menuduh nya sebagai pendukung pembunuh USMAN.
3. Imam Ahmad bin Hambal pada masa kerajaan Abbasiyah yang pertama kali mengusulkan Ali sebagai bagian dari Khulafaurrasyidin.
4.Imam Ahmad bin Hambal mendha’ifkan hadis hadis shahih karena perawinya yang pro ahlulbait mengkritik Abubakar Umar USman dan loyalisnya, mereka diberi label “rafidhah”… Ulama ulama hadis  sunni yang lain jauh lebih radikal dari Ahmad bin Hambal.
5. Sepeninggal Nabi SAW pihak penguasa bersikap keras dan kejam kepada Imam Ahlulbait dan para pengikutnya, misalnya : Al Mutawakkil yang digelari “Khalifah Pembela Sunnah Nabi” melakukan :
- Membongkar kuburan imam Husain.
- Melarang ziarah kubur ke makam Imam Ali dan Husain.
- Memberikan hadiah kepada setiap orang yang mencaci maki Imam Ali.
- Membunuh setiap bayi yang diberi nama Ali.
- Berupaya membela kelompok Nawasib.

Para peneliti juga mengetahui bahwa Mu’awiyah, politikus penipu yang ulung itu, telah memerintahkan untuk mengumpul ‘para Sahabat’, agar menyampaikan hadis hadis yang mengutamakan para Sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman untuk mengimbangi keutamaan Abu Turab (Ali bin Abi Thalib). Untuk itu, Mu’awiyah memberikan imbalan berupa uang dan kedudukan kepada mereka.

Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abi Saif alMada’ini, dalam bukunya, alAhdats, Mengutip sepucuk surat Mu’awiyah kepada bawahannya: ‘Segera setelah menerima surat ini, kamu harus memanggil orang orang, agar menyediakan hadis hadis tentang para Sahabat dan khalifah; perhatikanlah, apabila seseorang Muslim menyampaikan hadis tentang Abu Turab (Ali), maka kamu pun harus menyediakan hadis yang sama tentang Sahabat lain untuk mengimbanginya. Hal ini sangat menyenangkan saya, dan mendinginkan hati saya dan akan melemahkan kedudukan Abu Turab dan Syi’ahnya’.

Ia juga memerintahkan untuk mengkhotbahkannya di semua desa dan mimbar (fi kulli kuratin wa’ala kulli minbarin). Keutamaan para Sahabat ini menjadi topik terpenting di kalangan para Sahabat, beberapa jam setelah Rasul wafat, sebelum lagi beliau dimakamkan. Keutamaan ini juga menjadi alat untuk menuntut kekuasaan dan setelah peristiwa Saqifah topik ini masih terus berkelanjutan. Para penguasa dan para pendukungnya membawa hadis hadis  tentang keutamaan sahabat untuk ‘membungkam’ kaum oposisi, dan demikian pula sebaliknya.

Dalam menulis buku sejarah, seperti tentang peristiwa Saqifah, yang hanya berlangsung beberapa jam setelah wafatnya Rasul Allah saw, harus pula diadakan penelitian terhadap para pelapor, prasangka prasangkanya, keterlibatannya dalam kemelut politik, derajat intelektualitas, latar belakang kebudayaannya, sifat sifat pribadinya, dengan melihat bahan bahan sejarah tradisional yang telah dicatat para penulis Muslim sebelum dan setelah peristiwa itu terjadi. Tulisan sejarah menjadi tidak bermutu apabila penulisnya terseret pada satu pihak, dan memilih laporan laporan tertentu untuk membenarkan keyakinannya.

Imam Bukhari takut pada tekanan, sehingga sedikit bergaul dengan alawiyyin pada masa Abbasiyah… Bergaul dengan alawiyyin akan membahayakan keselamatannya, masa itu mengaku sebagai orang kafir jauh lebih selamat nyawa daripada mengaku sebagai syi’ah.

Penguasa Bani Umayyah ( kecuali Umar bin Abdul Aziz ) dan Separuh Penguasa Bani Abbasiyah KEKEJAMAN NYA melebihi Firaun, mereka dengan mudah membunuh orang orang yang tidak bersalah hanya karena ia syi’ah… Inilah yang membuat Bukhari menjauhi syi’ah…

Jumlah hadis-hadis yang bersumber dari Imam Kelima dan Keenam lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam yang lain.Akan tetapi, pada akhir hayatnya, Imam Ja’far Shadiq ( Imam Keenam) dikenai pencekalan secara ketat oleh Khalifah Abbasiyah, Mansur, yang memerintahkan seperti penyiksaan dan pembunuhan berdarah dingin terhadap keturunan Nabi Saw yang merupakan penganut Syiah sehingga perbuatannya melebihi kekejaman dan kebiadaban Bani Umayyah.

Atas perintah Mansur, mereka ditangkap secara berkelompok, beberapa dilemparkan ke penjara gelap dan pengap kemudian disiksa hingga mati, sementara yang lainnya dipancung atau dikubur hidup-hidup di bawah tanah atau di antara dinding-dinding bangunan, dan dinding dibangun di atas mereka.Hisyam, Khalifah Umayyah, memerintahkan agar Ja’far Shadiq Imam Keenam ditangkap dan dibawa ke Damaskus. Kemudian, Imam Ja’far Shadiq ditangkap oleh Saffah, Khalifah Abbasiyah, dan dibawa ke Irak. Akhirnya, Mansur menangkap Imam Ja’far Shadiq dan membawanya ke Samarra di mana Imam disekap, diperlakukan secara kasar dan beberapa kali berusaha untuk membunuh Imam.

Kemudian, Imam Ja’far Shadiq diperbolehkan untuk kembali ke Madinah di mana Imam Ja’far Shadiq menghabiskan sisa-sisa umurnya dalam persembunyian, hingga ia diracun dan syahid melalui intrik licik Mansur.

Bisakah anda menulis sesuatu dengan sempurna jika nyawa anda taruhannya ?? Kodifikasi hadis seperti kitab Bukhari Muslim dll terjadi pada masa Abbasiyah bukan ???Wajarlah ilmu itrah ahlul bait dalam kitab hadis Aswaja Sangat sedikit …Menangislah … menangislah…
Para pembaca…

Pada masa khalifah Mutawakkil sedang memuncak periwayatan hadis, tetapi sangat sulit dikenali mana yang asli dan mana yang palsu…

Pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah ahlul hadis. Paham ini didukung negara sehingga hadis hadis sunni menjadi mudah di intervensi dengan penambahan penambahan yang di lakukan ULAMA ULAMA BUDAK kerajaan

Menghujat sahabat adalah kafir  rafidhah ???  bagai mana dengan muawiyah yang memerintahkan  untuk  menghujat  Imam Ali Di mimbar masjid yang diikuti mayoritas  khalifah  bani umayyah ? Apa muawiah kafir???

==============
Jika pihak Syi’ah mengambil riwayat dari sumber ahlussunnah, apakah itu   dapat dianggap pendapat resmi ahlussunnah ? Seolah olah adanya sebuah riwayat dari kitab ahlusunnah bisa memastikan ahlussunnah berpendapat    seperti itu. Misal :
hadis tentang Abubakar tidak dijamin surga dalam Kitab Al  Muwatha’ Imam Malik !
Hadis Haudh riwayat Abu Hurairah bahwa mayoritas sahabat berbuat bid’ah (haudh) !
Meski ada dalam kitab Sunnah, namun pihak Aswaja tidak mempercayai hadis ini.

Riwayat hadis Ahlusunnah meskipun shahih, namun jika bertentangan dengan  pendapat resmi Ahlusunnah, maka riwayat tersebut tidak dapat dianggap menyelisihi ajaran ahlussunnah sendiri. Misal :
Hadis Imam Ali mengakui kepemimpinan nya !
Hadis Umat berkhianat pada Ali !
Hadis 12 khalifah ! Hadis khalifah umat Islam adalah Ahlul Bait !
Hadis tersebut shahih, namun Ahlu Sunnah tidak memakainya.. Jadi Syi’ah mengutip dari sebagian sumber Sunni juga.

Jika memang Syi’ah sudah memiliki pendapat resmi tentang sesuatu hal, lalu  mengapa ada riwayat yang bertentangan dengan hal tersebut sehingga bisa dinukil oleh musuh Syi’ah seperti Wahabi ? Riwayat itu untuk sekedar  pengetahuan pembaca bahwa ada riwayat yang mengatakan demikian, tapi   riwayat yang mengandung kejanggalan dan pertentangan di berbagai tempat  tidak digubris oleh Syi’ah karena lemah, sehingga hal ini tidak  mempengaruhi kesepakatan ulama Ushuliy mutaakhirin.

Betapa banyak riwayat aneh, palsu, mungkar dalam kitab Sunni dan Syi’ah
Hakekat.com pernah membuat tulisan sensasional lainnya dengan judul “Ketika Keledai Telah Menjadi Perawi Hadis”. Penulis membawakan hadis dalam kitab hadis mazhab Syiah yaitu Al Kafi dimana matannya menceritakan ada seekor keledai menyebutkan hadis keutamaan Nabi Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Orang-orang bodoh akan tertipu dan tanpa sadar mentertawakan kebodohannya sendiri. Riwayat Al Kafi ini kedudukannya dhaif jika dipandang dari sisi keilmuan hadis Syiah karena ia diriwayatkan atau dinukil tanpa sanad dalam kitab Al Kafi. Maka orang yang objektif akan berpikir bagaimana mungkin mencela mazhab Syiah dengan riwayat yang dhaif di sisi mereka. Betapa banyak riwayat aneh, palsu, mungkar dalam kitab Ahlus Sunnah lantas bisakah riwayat ini dijadikan dasar mencela mazhab Ahlus Sunnah?

Ulama Syi’ah yang pertama kali mencetuskan ide pembagian hadis Syi’ah adalah Sayid Jamaluddin Ahmad ibn Thawus (589 H- 664 H), murid beliau meneruskan jejak langkah sang guru yaknu Syaikh Allamah Al Hilli ibn Al Muthahhar (w.726 H). Dapat dikatakan bahwa tokoh tokoh ini merupakan ulama mutaakhirin (ushuliy) yang banyak memakai akal sehat dalam beragama, jelas mereka memperbaiki kesalahan ulama mutaqaddimiin syi’ah. Dalam syi’ah pintu ijtihad selalu terbuka ! Maka muncullah beberapa jenis hadis seperti sahih, hasan, muwatstsaq, dhaif dan qawiy.

Api kemenangan muncul ketika pada abad ke 10 H Syahid Tsani melakukan penelitian atas sanad hadis Al Kafi Kulaini lalu menyimpulkan bahwa : dalam Al Kafi terdapat 5073 hadis sahih, 114 hadis hasan, 1118 hadis muwatstsaq, 302 hadis qawiy dan 9845 hadis dhaif..Pada awal abad ke 11 Putera Syahid Tsani mengeluarkan hadis hadis shahih dari empat kitab utama ( Kutub Al Atba’ah) dan menuangkannya dalam sebuah kitab berjudul : MUntaqa Al Jaman Fi Ahadits Al Shihah Wa Al Hisan.
Dalam kitab Man La Yahdhuruh Al Faqih didapatkan bahwa jumlah riwayat yang muktabar dan shahih hanya berjumlah 1.642 hadis saja.

Hadis hadis dha’if  Syi’ah memang masih tercantum dalam literatur syi’ah sampai hari ini, namun telah   ada upaya untuk mengingkari dan mengadakan upaya reformasi terhadap ajaran yang memantik pertikaian ini. Pembagian hadis Syi’ah merupakan upaya  mereformasi ajaran syi’ah demi  memulai persatuan mazhab. Keyakinan dan doktrin yang bertentangan dengan Al Quran tidaklah mustahil untuk dikoreksi, sehingga dapat memperbaiki kesalahan kesalahan nyata ulama mutaqaddimin Syi’ah yang tertulis dalam buku Syi’ah
Perubahan dalam mazhab Syi’ah ? Jika kita perhatikan lebih dalam, ada perubahan-perubahan dalam mazhab syiah. Ada beda antara ajaran syiah yang dulu dan yang sekarang. Dalam Syi’ah, ijtihad yang diambil adalah ijtihad yang terbaru dari fukaha atau marja’i taqlid yang masih hidup, bukan dari fukaha atau marja’i taklid yang sudah wafat.

Syi’ah mengkritisi banyak kesalahan Al-Kafi karya al-Kulayni, karena itu bukan kitab suci yang tidak bisa salah.

Dalam Syi’ah pintu ijtihad selalu terbuka untuk memperbaiki kesalahan ulama masa lampau. Hadis hadis dha’if  zaman kuno (yang sudah tidak berlaku) yang digunakan HAKEKAT.COM , atau sekedar pendapat pendapat pribadi segelintir ulama Syi’ah  (yang hilang setelah mereka meninggal ) tidaklah  dapat digunakan untuk menghantam Syi’ah modern !

Jangan lupa dalam Syi’ah ada Ushuliy yang menghantam Syi’ah Akhbariy, ini bentuk tajdid dan reformasi Syi’ah.

Janganlah kesalahan ulama zaman kuno (mutaqaddimin) ditimpakan kepada ulama  mutaakhirin !
Saat ini Marja’ Taqlid Syi’ah adalah Ayatullah Ali Khamenei, jadi buat apa kesalahan Imam Khomeini (jika ada) di anggap sebagai kesalahan Syi’ah dimasa kini.

Logikanya begini : Apakah kesalahan Bukhari, kesalahan kitab kuning NU, kesalahan Imam Ghazali, kesalahan Abu Hasan Al Asy’ari adalah KESALAHAN SEMUA PEMELUK mazhab Sunni ???
.
Pertanyaan : Mengapa Hadith Syiah Banyak Yang Dhaif ? Apakah perawi hadis syi’ah pendusta ?
Jawaban :
1. Hadis yang dikumpulkan berasal dari semua sekte syi’ah yang mengaku ngaku syi’ah, termasuk syi’ah ghulat dll dan Syaikh Kulaini belum mengklasifikasikan shahih tidak nya hadis tersebut.
2. Sanad hadis banyak lemah karena kondisi keamanan dalam pengumpulan hadis tidak kondusif.
3. Bercampur antara riwayat taqiyah dan yang bukan taqiyah.
4. Penguasa dan musuh musuh syiah banyak menyembelih pengikut syiah, memalsukan teks teks kitab lalu dinisbahkan kepada syiah dan membakar perpustakaan syiah.
5. Masuknya musuh musuh islam ke jalur periwayatan hadis untuk merusak Syi’ah, sehingga muncul hadis hadis ghuluw dll.
LOGIKA 2 ; Islam dan Sahabat.

Aswaja (Sunni) Menuduh Abubakar dan Umar Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw ! Rasulullah saw difitnah mengabaikan wasiat  kepemimpinan politik, sementara Abubakar dan Umar memikirkan siapa penggantinya kelak.

Tanyakan kepada orang wahabi: “Apakah Anda mencintai dan memuliakan sahabat Nabi?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan mencintai sahabat merupakan pokok-pokok akidah kami.” Kemudian tanyakan lagi: “Benarkah Anda sungguh-sungguh mencintai sahabat Nabi?” Dia tentu akan menjawab: “Ya, demi Allah!”

Lalu katakan kepada dia: “Sahabat Nabi adalah teman Nabi. Kalau orang wahabi  mengaku sangat mencintai sahabat Nabi, seharusnya mereka lebih mencintai sosok Nabi sendiri? Bukankah sosok Nabi Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam lebih utama daripada sahabat-nya? Mengapa kaum wahabi  sering membawa-bawa nama sahabat, tetapi kemudian melupakan Nabi?”

Faktanya, Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi (versi wahabi) Beliau SAW tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah.   Tetapi Abubakar dan Umar menjelang sekarat malah memikirkan siapa sosok penggantinya kelak.Bagaimana bisa terpikirkan bahwa Rasulullah saw mengabaikan wasiat  kepemimpinan politik untuk negara Islam ???

Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda beragama Islam?” Maka dia akan menjawab dengan penuh keyakinan: “Tentu saja, kami adalah Islam. Kami ini Muslim.” Lalu tanyakan lagi ke dia: “Bagaimana cara Islam sampai Anda, sehingga Anda menjadi seorang Muslim?” Maka orang itu akan menerangkan tentang silsilah dakwah Islam. Dimulai dari Rasulullah, lalu para Shahabatnya, lalu dilanjutkan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, lalu dilanjutkan para ulama Salafus Shalih, lalu disebarkan oleh para dai ke seluruh dunia, hingga sampai kepada kita di Indonesia.”

Islam, sedangkan Islam diturunkan kepada kita melewati tangan para Shahabat itu. Tidak mungkin kita menjadi Muslim, tanpa peranan Shahabat. Sebuah adagium yang harus selalu diingat: “Tidak ada Islam, tanpa peranan para Shahabat!”

 Ushul NU dan Syi’ah dibidang  sahabat ternyata ada kesamaan :
a. Syi’ah mempedomani sahabat yang setia pada Ali hingga akhir hayatnya. Artinya Syi’ah juga berpedoman pada sahabat
b. Sahabat yang berkhianat pada Ali ketika meriwayatkan hadis maka hadisnya diseleksi dulu, misal : Syi’ah menerima hadis tentang keutamaan Persia + hadis haudh riwayat Abu Hurairah, Syi’ah menerima hadis ahlulkisa + hadis Fatimah marah pada Abubakar dari Ummul Mukminin Aisyah. Jadi tidak benar Syi’ah mengkafirkan sahabat.
c. Jika sahabat yang berkhianat pada Ali juga diterima sebagian hadisnya oleh Syi’ah, maka ADiL atau TiDAK ADiL nya sahabat kelompok tersebut tidaklah menjadi masalah, karena NU dan Syi’ah sama sama mencari hadis otentik melalui jalur sahabat !
Inilah ushul yang indah, jalannya beda tetapi tujuan sama yakni mencari hadis otentik dari Nabi SAW

Darimana Kita Ambil Agama Kalau Bukan Dari Sahabat dan Ahlul Bait ?
Syi’ah Mencintai Sahabat Yang Setia Pada Ali.
Terkait masalah ini, kami perlu menegaskan bahwa tidak ada satu pun Syiah, baik ulamanya maupun orang awamnya yang membenci semua sahabat. Bahkan syiah   sangat mencintai mayoritas sahabat yang wafat semasa Nabi SAW hidup + minoritas SAHABAT yang hidup pasca Nabi SAW wafat. Justru kami meragukan klaim wahabi  yang mencintai ahlul bait.
  • Kenyataan ini kalau digambarkan seperti: Lebih memilih kulit rambutan daripada daging buahnya. Syi’ah dituduh tukang laknat. Tetapi pembunuh sahabat, pembunuh cucu Nabi SAW (Imam Hasan) dan pembunuh Fatimah justru diagung agungkan. Syi’ah dituduh melaknat sahabat padahal PADA HARi WAFAT NABi  banyak panutan sunni  “meninggalkan jenazah Nabi SAW lalu mengadakan kudeta di Saqifah”.
  • Jenazah Nabi SAW saja ditinggalkan !!! itukah panutan dijamin surga ?? Bagai mana dengan muawiyah dan amr bin ash nya menggulingkan pemerintahan sah khalifah ali bin abi thalib ? DI TII dituduh bughat, tetapi Aisyah dan Muawiyah tidak bughat. Muawiyah menghapus sistem pemerintahan kekhalifahan menjadi feodal, dimana logika anda yang cerdas itu?:)   lebih baik anda simpan logika2 yang mungkin akan menyesatkan anda, gunakan energi anda untuk membangun islam yg rahmatalilalamin. bukan untuk memperuncing perbedaan.

LOGIKA 3 ; “Ali dan Jabatan Khalifah”.
Tanyakan kepada orang Syiah: “Menurut Anda, siapa yang lebih berhak mewarisi jabatan Khalifah setelah Rasulullah wafat?” Dia pasti akan menjawab: “Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi Khalifah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa bukan Abu Bakar, Umar, dan Ustman?” Maka kemungkinan dia akan menjawab lagi: “Menurut riwayat saat peristiwa Ghadir Khum, Rasulullah mengatakan bahwa Ali adalah pewaris sah Kekhalifahan.”.

Salahkan Syi’ah marah pada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah (aktor peristiwa Saqifah) yang karena ulah mereka telah menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah lain.

yang merampas hak orang lain dicela ATAU Imam Ali dan Imam Hasan yang menuntut haknya ?
Imam Ali tidak memerangi Abubakar, Umar dan Usman BUKAN TANDA KELEMAHAN beliau.

Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Kenapa Abubakar Bisa Berkuasa Mengalahkan Imam Ali ? Ini rahasianya.

Pertentangan Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam..Diterimanya Rasul di Madinah dan terpilihnya Abubakar di Saqifah Bani Sa’idah  secara kokoh  di kedua klan tersebut karena kedua klan tersebut membutuhkan “orang ketiga” dalam konflik diantara mereka. Hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik.

Imam Ali AS dan Fathimah AS bukan orang lemah, Mereka Penjaga Keberlangsungan Risalah Islam Dari Kepunahan.
Apakah Imam Ali Lemah Tidak Menuntut Tiga Khalifah ???

Jawab :
1. Kenapa Nabi Harun diam terhadap Samiri ????
2. Kenapa Allah hanya diam saja kepada Iblis yang tidak mau tunduk terhadap perintah Allah??? Bukankah Allah mempunyai kemampuan utk menghabisi iblis saat itu juga….
3.Kenapa Allah berikan kesempatan kepada Iblis yang jelas jelas tidak taat untuk menggoda umat mencari temannya sampai akhir kiamat?

Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: