Pesan Rahbar

Home » » Koalisi Zionis Dan Salafy Di Suriah: Jubir Pemberontak Ucapkan Selamat Kepada Israel

Koalisi Zionis Dan Salafy Di Suriah: Jubir Pemberontak Ucapkan Selamat Kepada Israel

Written By Unknown on Sunday 17 August 2014 | 20:59:00

Jubir Anasir Bersenjata Ucapkan Selamat Atas Serangan Israel ke Damaskus.


Juru bicara anasir bersenjata di wilayah Homs, Suriah, dalam wawancaranya dengan televisi Israel, mengucapkan selamat kepada rezim Zionis atas serangan jet tempur Israel ke sekitar Damaskus dan menilainya membuat para anasir bersenjata di Suriah merasa senang luar biasa.

Alalam (6/5) melaporkan, Hasan al-Rastnawi sebagai juru bicara kelompok bersenjata di Homs, kepada televisi kanal dua Israel menyampaikan selamat kepada semua pihak atas serangan jet tempur Israel di malam hari ke sejumlah target di Damaskus dan membuat senang para anasir bersenjata.

Menjawa pertanyaan pembawa acara televisi tersebut tentang dampak dari serangan jet tempur Israel ke Suriah, jubir anasir teroris itu mengatakan, “Dalam beberapa hari terakhir militer Suriah mencapai berbagai keberhasilan menumpas anasir bersenjata di berbagai wilayah, dan kelompok bersenjata mengalami kerugian sangat besar serta terus melemah, oleh karena itu serangan Israel sangat membantu.”.


Interview “Democracy Now!” With US General Wesley Clark.
Interview menarik dan perlu ditonton tentang rencana amerika di Timur Tengah.



Woow Partai Islam PKS Dukung Serangan Militer AS Atas Suriah.

___________________________________


Mahfudz PKS Mempertontonkan Kenaifan dan Kebodohan!
SUMBER:

http://www.rmol.co/read/2013/09/06/124601/Mahfudz-PKS-Mempertontonkan-Kenaifan-dan-Kebodohan!-
Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi.


RMOL. Dengan menyatakan dukungan pada militer Amerika Serikat (AS) untuk menyerang Suriah, sebagai Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Shiddiq benar-benar tidak memahami konsep bernegara. Di antara konsep bernegara itu adalah tidak boleh satu negara manapun menyerang negara lain.

Serangan kepada negara lain, kata Ketua Dewan Syuro Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) 98, Syahganda Nainggolan, dibolehkan bila mendapat persetujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan ini dinamakan sebagai UN Force. Sementara AS, untuk menyerang Suriah, sama sekali tidak melalui persetujuan PBB, dan ini artinya serangan unilateral yang illegal.

“Sikap AS yang mendukung kudeta Jenderal Asisi atas Morsy di Mesir saja menggetarkan dunia, karena itu bentuk intervensi tidak langsung AS. Ini Mahfud mendukung intervensi atau serangan militer AS pada Suriah. Sebagai Ketua Komisi I, ia benar-benar mempertontonkan kenaifan dan kebodohan,” kata Syahganda Nainggolan kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Jumat, 6/9).

Apalagi, hingga saat ini, lanjut Syahganda, alasan AS menyerang Suriah karena menuding Pemerintahan Assad menggunakan senjata kimia juga belum terbukti. Dan memang membuktikan penggunaan senjata kimia ini cukup sulit, sebab faktanya AS juga memasok senjata kepada pemberontak.

Betapa tak rasionalnya serangan AS ke Suriah ini, masih kata Syahganda, capres saingan Obama yang kini jadi senator, John McCain, juga tak serius saat rapat dengar pendapat antara pemerintaha Obama dengan Senat. McCain malah asyik bermain game poker di telepon selulernya daripada mendengarkan presentasi Menteri Pertahanan AS dan Menteri Luar Negeri AS.

“Kalau Mahfudz mendukung serangan militer AS ke Suriah, lalu dampaknya, nanti Indonesia juga diserang AS atau negara lain boleh dong. Makannya dukungan Mahfud ini benar-benar tak masuk akal,” demikian Syahganda, yang juga Dewan Pengarah Alumni ITB. [ysa]
__________________________________


Krisis Syria, Cara Para Konspirator Asing Menumbangkan Assad.
SUMBER: The Global Review

Oleh Novendra Deje *)
*Penulis adalah Ketua Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF – Aceh), tinggal di Banda Aceh.


Gerakan transformasi di Timur Tengah (Timteng) yang dimulai dipenghujung tahun 2010, sejauh ini sudah menumbangkan rezim-rezim despotik yang telah berkuasa berpuluh tahun dibeberapa negara Kawasan. Dimulai dari rezim Zein El Ebidine Ben Ali di Tunisia yang tumbang oleh gerakan protes rakyat, dipicu oleh aksi membakar diri seorang warga negara itu, Mohamed Bouazizi. Pengaruh dari itu, tidak berapa lama gelombang demonstrasi rakyat di Mesir pun berhasil menumbangkan rezim Husni Mubarak. Kemudian rezim diktator di Libya pun berakhir sangat tragis, dengan terbunuhnya Muamar Khadafi oleh pemberontak. Aksi demonstasi besar-besaran rakyat menuntut para rezim despotik dukungan Barat juga menimpa Yaman, dengan lengsernya Presiden Ali Abdullah Saleh, yang kemudian digantikan oleh wakilnya.

Kecuali Libya, rezim-rezim itu telah ditumbangkan dengan gelombang demonstrasi rakyatnya masing-masing secara besar-besaran. Sedangkan rakyat Bahrain hingga hari ini terus berjuang menyuarakan protes menuntut reformasi politik dinegara yang dikuasai oleh rezim Al Khalifa itu. Fenomena trasformasi yang melanda Timteng yang disebut oleh Barat dengan Istilah “Arab Spring” itu ternyata ikut membuat Syiria menuai dampaknya. Meskipun yang terjadi di Negara bertetangga dengan Israel itu adalah transformasi politik yang dipaksakan dari luar negerinya, tetapi itu jelas memiliki hubungan dengan memanfaatkan momentum Arab Spring. Untuk rancangan penyesuaian peta baru Timteng, agar tetap dalam kendali kekuatan-kekuatan hegemonik yang selama ini bercokol di Kawasan.

Berbeda dengan cara-cara yang terjadi di negara-negara lain Kawasan, Pemerintahan Presiden Bashar Assad di Syria hingga saat ini berhadapan dengan para pemberontak bersenjata yang menghendaki keruntuhan kekuasaannya. Situasi di Syria dapat dikatakan sama dengan model yang dihadapi Libya saat menumbangkan kekuasaan Muamar Khadafi. Tidak ada gerakan demonstrasi massif rakyat di Syria, kecuali protes-protes massa berskala kecil menuntut transformasi politik dan penegakan demokrasi. Seperti protes-protes yang terjadi di daerah-daerah perbatasan; Dar’a, Jisr Al Syughur, dan Himsh, yang kemudian beralih pada isu-isu sara (kesukuan dan agama). Selanjutnya yang terjadi adalah masuknya berbagai kelompok milisi bersenjata dari berbagai negara kawasan untuk melancarkan perang terhadap rezim Assad.

Para milisi yang tergabung dalam Syrian National Council (SNC) dan Free Syrian Army (FSA) itu dikampanyekan – oleh para pihak penyokongnya – sebagai ‘mujahidin’ yang berjihad membebaskan rakyat Syria dari kekuasaan diktator Presiden Assad. Mayoritas Rakyat Syria yang Sunni, dan Assad yang berkuasa dari keturunan Alawi yang Syiah, telah dijadikan dalih menyulut isu adanya diskriminasi atas nama perbedaan mazhab dalam Islam. Ini merupakan bagian dari justifikasi (pembenaran) bagi intervensi dan melancarkan perang terhadap pemerintah Syria oleh para pemberontak. Tentunya hal ini untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat dan negara-negara Muslim di dunia yang mayoritas bermazhab Sunni.

Perang dengan persenjataan lengkap yang dilancarkan para pemberontak untuk menjatuhkan pemerintahaan Assad, telah menciptakan krisis di Syria. Tidak hanya krisis politik dan terganggunya kinerja pemerintahan, namun lebih parah adalah tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat. Ulah para pemberontak menjadikan rakyat sebagai perisai untuk melindungi mereka dari serangan balasan dari militer Syria, telah menjadikan rakyat ikut terbunuh dalam beberapa serangan. Situasi sangat memprihatinkan adalah pembunuhan-pembunuhan oleh para pemberontak sendiri terhadap rakyat yang diindikasi mendukung pemerintah dan tidak menerima kehadiran mereka. Target utamanya adalah rakyat dari keluarga Alawi yang dituduh penyokong utama kekuasaan Assad.

Data PBB menyebutkan korban jiwa rakyat Syria telah mencapai sekitar 70 ribu orang selama perang yang telah memakan waktu dua tahun. Sedangkan John Kerry, Menteri Luar Negeri AS yang baru dilantik itu menyebutkan bahwa korban atas krisis Syria telah mencapai angka 90 ribu jiwa. Ia mengaku data tersebut diperoleh dari Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal. Anehnya, disaat yang sama Kerry langsung meminta Bashar Assad untuk menghentikan pembunuhan yang terus berlangsung terhadap rakyat Syria. Tujuannya adalah menciptakan opini pada masyarakat dunia bahwa pemerintah dan militer Syria lah yang telah melakukan semua itu, tanpa menyebutkan peran dan kehadiran pemberontak yang telah menciptakan krisis tersebut di Syria.

Seperti diketahui, Syria dibawah pemerintahan Bashar Assad dan bersama Iran terus mengganjal banyak kepentingan dan penyempurnaan dominasi Barat dibawah komando AS dikawasan. Terutama kepentingan AS dalam menjaga eksistensi rezim Zionis Israil dan menjadikannya sebagai kekuatan dominan yang akan mengendalikan kawasan. Assad senantiasa konsisten menjadi pendukung utama gerakan barisan-barisan muqawama (pejuang) yang terus melawan Zionis Israil atas pendudukannya terhadap tanah Palestina. Tidak hanya berupa dukungan politik, tetapi sokongan rill berbagai logistik, persenjataan, dan jalur distribusinya telah dimainkan Damaskus kepada Hizbullah dan Hamas, barisan pejuang yang selama ini konsisten menunjukkan perlawanan atas Tel Aviv.

Kenyataan itu meniscayakan rakyat Syria hingga hari ini terus mendukung Bashar Assad, dan menilai ia dan pemerintahannya sebagai benteng kokoh guna menghadapi hegemoni Barat dan AS, serta ancaman arogansi Zionis Israil. Rakyat Syria memang melihat perlindungan dan rasa aman dari hegemoni dan ancaman pihak-pihak tersebut. Karena itu, tatkala ada potensi yang mengancam stabilitas politik dan pemerintahan Assad dengan terjadinya demo-demo kecil di daerah-daerah perbatasan negara ini, maka akan dibalas dengan mengadakan demonstarasi damai dalam skala besar untuk mendukung pemerintahan Assad. Hal ini untuk menunjukkan dukungan rakyat atas pemerintahan yang mereka nilai dapat dijadikan sandaran bagi terjaganya kedaulatan negara dan mengusir intervensi asing.

Konsistensi untuk berdaulat, posisi strategisnya di Kawasan, penentangannya atas eksistensi rezim Zionis Israil, dukungan yang konsisten mereka kepada barisan muqawama, dan dukungan luas rakyat atas pemerintahan yang menjadikan para pihak anti Damaskus melancarkan konspirasi dengan cara-cara yang sangat kejam. Tujuannya adalah menciptakan krisis yang dapat menumbangkan Bashar Assad. Eksistensi pemerintahan Syria dibawah kepemimpinan Assad dan dukungan luas rakyatnya menjadi faktor kunci yang banyak menyandung kepentingan Barat, terutama AS dan para sekutunya di Timteng. Menggantikan pengendali pemerintahan kepada pihak-pihak yang dapat dikontrol oleh para konspirator itu tentunya dianggap langkah tepat. Pilihannya dengan menciptakan krisis yang terus meneror Damaskus melalui tangan-tangan kelompok bersenjata yang biasa melancarkan aksi-aksis terorisme, dengan dalih pemberontakan rakyat.

Kehadiran para pemberontak bersenjata eksporan ke Syria telah benar-benar menciptakan krisis kemanusiaan yang memprihatinkan. Mereka yang mengatasnamakan rakyat Syria telah menempuh cara-cara yang justru membahayakan dan menjerumuskan rakyat negara ini kedalam medan perang yang kejam. Berbagai pembantaian terhadap rakyat telah dilakukan oleh para pemberontak yang mengaku ‘mujahidin’ itu. Selain menjadikan rakyat sebagai tameng menghadapi serangan yang dilancarkan militer Syria untuk melumpuhkan dan mengusir mereka dari Syria.

AS bersama para sekutunya di Barat, juga beberapa negara di Kawasan tentu sangat berkepentingan dengan jatuhnya Assad yang selama ini melawan arus dan menentang skenario Timur Tengah mereka di Timteng. Karenanya, tidak asing untuk melihat peran aktif negara-negara itu dalam merencanakan dan mengontrol Syria melalui aksi-aksi para Pemberontak yang diekspor. Pemeran utama bagi terjadinya krisis Syria adalah AS, Inggris, Prancis, Israil, Qatar, Arab Saudi, dan Turki, mereka mensponsori organisasi-organisasi Islam yang sebagian besar selama ini berperan sebagai gerakan-gerakan teroris internasional, seperti Al Qaeda.

Para milisi sebenarnya berasal dari organ-organ yang berbeda, untuk kemudian bergabung pada dua sayap dominan eksis di Syria, SNC dan FSA. Namun akhir-akhir ini mereka mulai terpecah lagi dalam orientasi ideologinya masing-masing, seperti yang diulas Dina Sulaiman dengan sangat memadai dalam tulisannya “Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria” di situs Irib dan The Global Review. Turki adalah tuan rumah pembentukan SNC dan FSA, yang Al Qaeda tergabung didalamnya. Sedangkan afiliasi pimpinan Ikhwanul Muslimin ada dalam National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces, yang dibentuk di Doha, Qatar pada November 2012. Kedatangan para milisi, dukungan financial, dan persenjataan, difasilitasi secara maksimal oleh negara-negara pemeran utama terjadinya krisis di Syria. Sebagaimana laporan yang ditulis New York Times yang kemudian dikutip Press TV (28/2), tentang sebuah informasi yang diperoleh dari seorang pejabat pemerintah AS. Bahwa AS dan para sekutunya turut serta memfasilitasi pelatihan militer bagi pemberontak yang akan dikirim ke Suriah, ditempat-tempat yang tidak tegas disebut namanya.

Media-media mainstream yang memang berada dalam kendali Barat, telah memainkan peran strategis membentuk opini masyarakat dunia. Melalui jaringan informasi itu Pemerintahan Damaskus dan dibawah Assad adalah diktator yang tidak bersedia menegakkan demokrasi. Rezim ini digambarkan sangat kejam dengan membantai rakyatnya sendiri melalui aksi-aksi militer dan penculikan. Media-media alternative yang berafiliasi atau mendukung para pemberontak di Syria pun menjadi alat bagi pemirsa masyarakat Islam dalam mempropagandakan gambaran negatif Pemerintahan Assad. Sembari mengagung-agungkan peran dan capaian-capaian pemberontak, mereka juga menyulut fitnah-fitnah sektarian dalam Islam.

Namun Syria dalam menghadapi konspirasi besar untuk meruntuhkan kekuasaan Assad itu tidak berada dalam kesendirian. Rusia sebagai sekutu dekatnya yang dibantu oleh China, Iran, juga Venezuela telah memainkan peran-peran signifikan dalam menentang intervensi pihak-pihak asing itu dalam urusan internal Syria. Peran-peran politik dan diplomasi ditingkat regional dan internasional mereka tempuh untuk menjaga indevendensi Syria. Juga menghindarkan opsi-opsi militer dari Nato bersama sekutu dikawasan dapat dijalankan dengan mulus.

Begitu pun dengan media-media alternatif lain tidak absen menghadirkan perifikasi fakta yang sebenarnya terjadi di Syria. Banyak analisis yang juga disuguhkan untuk dapat membaca peta masalah secara objektif, dan aktor-aktor yang bermain mengacaukan situasi Syria. Hal ini tentunya untuk mengimbangi kerja-kerja media anti Damaskus yang telah banyak berupaya menyimpangkan fakta-fakta, dan berusaha menebafkan fitnah-fitnah yang menyudutkan Pemerintahan Presiden Bashar Assad.

*Penulis adalah Ketua Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF – Aceh), tinggal di Banda Aceh.
______________________________________


Media Prancis Akui bahwa “Oposisi” Suriah adalah Al Qaeda. Kemudian Membenarkan Dukungan Pemerintah Prancis kepada Teroris
SUMBER: http://lintas-islam.blogspot.com.au/

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tanggal 11 April oleh harian Perancis Le Monde mengakui bahwa pemberontak melawan pemerintah Suriah didominasi oleh Jabhat Al Nosra, sebuah kelompok teroris yang terkait dengan Al Qaeda. Pengakuan datang setelah dua tahun penyimpangan informasi non-stop yang ditiupkan dari semua media utama Perancis dari sayap kanan ke sayap kiri, disinformasi yang telah berusaha untuk meyakinkan masyarakat Prancis bahwa kelompok revolusioner demokratis sedang berperang untuk hak asasi manusia dan kebebasan melawan diktator yang brutal dan tiran, yang ”membunuh rakyatnya sendiri”.

Ini narasi kekanak-kanakan dan sangat tidak jujur yang sekarang telah benar-benar didiskreditkan, karena fakta-fakta tentang sifat teroris pemberontak Suriah telah menjadi terlalu jelas untuk diabaikan. Dalam sebuah artikel berjudul ‘The New Visage of French Jihadism’ dilaporkan bahwa ratusan jihadis Perancis meninggalkan Perancis untuk bergabung dengan ‘perang suci’ melawan Suriah, dengan lebih banyak lagi yang bergabung dengan kelompok jihad di Mali.

Pada halaman yang sama dalam sebuah artikel berjudul ‘Al Qaida memperluas wilayahnya dan menyatukan pasukannya di Irak dan Suriah’, Christophe Ayad dari Le Monde melaporkan:
“Kepala negara Islam Irak, cabang Al Qaeda Irak, mengumumkan dalam pesan terekam pada tanggal 9 April, bahwa kelompoknya akan menyatu dengan Japhat AL Nosra (Dukungan Front), organisasi jihad bersenjata utama di Suriah. Kelompok baru akan disebut Al-Qaeda di Irak dan Mediterania. Pengumuman ini datang dua hari setelah panggilan Ayman Al-Zawarhiri, penerus Osama Bin Laden dalam kepemimpinan ‘markas’ Al-Qaeda untuk pembentukan sebuah negara Islam setelah jatuhnya rezim Bachar-Al-Assad, yang menderita sejak dua tahun oleh sebuah pemberontakan oleh mayoritas Sunni.”[1] Jadi, di sini kita sekarang memiliki pendirian pers Perancis, yang telah bekerja lembur sejak dua tahun untuk meyakinkan kita bahwa mereka yang berperang melawan Assad adalah demokrat, sekarang mengakui bahwa mereka sebenarnya adalah Al Qaeda.

Menurut laporan berita Fox Oktober 2010, pemimpin Al Qaeda yang disebutkan di atas, Al-Zawarhiri, makan malam di Pentagon hanya beberapa bulan setelah 911. Reporter Fox News, Catherine Herridge mengklaim bahwa dia memiliki dokumen untuk membuktikan ini. Tentu saja, Fox News sebagai lembaga propaganda perusahaan tidak memburu cerita ini lebih jauh, juga tidak menjadi topik utama pada media internasional lainnya. Dalam perang melawan teror, kebodohan adalah kekuatan dan mempertanyakan adalah bodoh. [2] Reporter The Fox News menerima 900.000 dolar per tahun. [3]

Dalam rangka untuk melunakkan pukulan dan meyakinkan pembaca Perancis bahwa dukungan Quai d’ Orsay’s untuk ‘pemberontak’ tidak bertentangan dengan komitmen Perancis untuk ‘hak asasi manusia’, Le Monde Christophe Ayad mengatakan kepada kita bahwa:
“Kebalikan dengan Negara Islam di Irak Al Nosra Front telah membuat upaya untuk tidak menargetkan warga sipil secara sistematis. Ia tidak memaksa, untuk saat ini, pada penetapan syariat Islam yang terlalu ketat pada zona di bawah kendalinya, dan bahkan telah menyimpulkan perjanjian terhormat dengan pemberontakan Kurdi, seperti di di Ras Al-Ain dan lebih baru-baru ini di Aleppo”[ 4]

Pemberontak ini yang Le Monde berupaya untuk menutupi, secara sistematis telah menargetkan warga sipil sejak awal konflik ini. Mereka telah meletakkan bom di mobil di lapangan pasar yang ramai, mereka telah membom universitas, membunuh dan melukai ratusan warga sipil tak berdosa. Mereka telah menyiksa dan memenggal kepala warga sipil dan juga tentara [5], bahkan memaksa anak-anak untuk berpartisipasi dalam pemenggalan beberapa korban mereka. Anak-anak juga telah digunakan sebagai tentara. [6]

Mereka telah memaksa perempuan untuk mengenakan cadar di bagian ‘yang telah dibebaskan’ dari Aleppo. [7] Mereka telah menodai dan merusak warisan agama dan budaya negara itu. Mereka telah meledakkan pipa dan merusakkan infrastruktur. Mereka telah menghancurkan ribuan sekolah, perpustakaan dan bangunan pelayanan publik. Mereka telah menggunakan senjata kimia. Mereka telah menggorok leher anak-anak kecil untuk menyalahkan pemerintah Suriah. Mereka teroris kini bahkan mengambil foto diri dengan kepala korban mereka yang dipenggal. [8] Semua ini bukanlah rahasia. Mereka terus menerus memposting video membual tentang kejahatan mereka.

Namun Le Monde ingin kita percaya bahwa Japhat Al Nosra [gambar di atas] adalah baik, versi yang lebih beradab dari Al Qaeda, salah satu mungkin yang berharga dari dukungan militer Barat! Tentu saja, Le Monde akan menjawab bahwa mereka tidak mendukung Japhat Al Nosra, bahwa mereka mendukung pemberontak sekuler. Tapi di mana para pemberontak sekuler? Pasal 20 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan dengan sangat jelas bahwa ‘setiap propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum’. [9] Upaya oleh wartawan Barat untuk menggambarkan kelompok teroris sebagai pejuang kemerdekaan dan penggunaan sumber-sumber informasi yang berasal dari kelompok-kelompok ini secara eksklusif untuk membenarkan agresi asing terhadap sebuah negara berdaulat yang diakui oleh PBB merupakan kejahatan perang.

‘Utusan khusus’ Perancis tampaknya meratapi kenyataan bahwa pengumuman penggabungan baru kelompok teroris ini akan mendiskreditkan upaya pemerintah Perancis untuk meyakinkan mitra Uni Eropa untuk secara resmi mempersenjatai ‘pemberontakan’. Sementara pers Perancis mengakui bahwa oposisi bersenjata Suriah didominasi Al-Qaeda, ia melanjutkan untuk menyindir dan menunjukkan bahwa sebagian besar oposisi bersenjata sebenarnya sekuler dan liberal. Namun, tidak ada bukti untuk mendukung sindiran yang datang seperti itu, sementara bukti sebaliknya sangat banyak dan tidak mungkin untuk diabaikan.

Dalam artikel lain yang diterbitkan pada 5 Maret berjudul ‘Pemberontak Suriah menguasai Desa Raqqa di Utara Negara’, reporter Khalid Sid Mohand memberitahu kita siapa sesungguhnya ‘pemberontak’ ini. Mereka adalah, ia mengakui beberapa baris ke laporannya:

‘Sebuah koalisi kelompok-kelompok bersenjata, yang sebagian berafiliasi dengan jihadis dari Japhat-al-Nosra, yang berada di belakang jatuhnya Rakka.’ [10]

Sungguh indah! Al Qaida telah merebut sebuah kota Suriah dan media liberal Perancis tampaknya sangat bersemangat tentang prospek orang-orang barbar bersenjata mengambil alih negara kawasan Mediterania. Dari judul artikel, yang dapat dipercaya bahwa para pemberontak Suriah telah mengambil kota, para pemberontak Suriah yang ditunjuk media Perancis sebagai orang baik ‘Arab Spring’. Jadi, meskipun berita buruk, judul menunjukkan bahwa itu baik. Realitas diputarbalikkan.

Teknik penyuntingan teroris sebagai pemberontak ini, sementara pada saat yang sama mengakui bahwa mereka adalah teroris, memiliki efek membingungkan masyarakat dan mencegah pembaca kritis dari memahami kekuatan nyata yang bermain di dalam konflik Suriah. Teknik ini digunakan berulang kali selama perang Rusia-Chechnian ketika teroris Islam berulang kali digambarkan sebagai ‘pemberontak’. Standar ganda, berbicara-ganda dan berpikir-ganda adalah teknik yang sekarang adalah bagian dan hadiah dari ‘jurnalisme profesional’.

Sementara perilaku jahat dan skizofrenia tersebut mungkin tampak sebagai konspirasi jahat, kenyataannya jauh lebih kompleks. Cara berpikir dan berbicara skizofrenia ini hanyalah refleksi psikologis dari sistem ekonomi global yang runtuh pada kontradiksi internalnya sendiri. Ekstraksi nilai surplus dari tenaga kerja dan globalisasi dari mode kapitalis produksi ini telah membuat bagian kecil dari populasi global yang sangat kaya dan berkuasa.

Orang kaya dan kuat tidak hanya memiliki alat-alat produksi, mereka juga memiliki sarana komunikasi dan sesuai aturan oleh oligarki keuangan secara obyektif adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, sebuah bahasa-ganda dan pikiran-ganda yang diperlukan untuk membuat orang percaya bahwa 2 ditambah 2 sama dengan 5. Akibatnya, kelompok-kelompok bersenjata yang melayani kepentingan oligarki keuangan akan dimediakan sebagai ‘pejuang kemerdekaan’ dan ‘aktivis hak asasi manusia’. Namun, karena wartawan tidak dapat selalu mengontrol atau mengabaikan realitas kompleks yang mereka laporkan, kebenaran muncul juga ke permukaan, dalam margin dan celah wacana mereka sendiri. Namun, tugas analisis dan interpretasi rasional atas informasi ini hanya dilakukan saat ini oleh media alternatif yang tujuannya adalah untuk melayani kepentingan publik dan mengatakan yang sebenarnya.

Dengan demikian, artikel melaporkan ‘kabar baik’ bahwa para pemberontak Suriah telah mengambil kota lain juga harus mengakui bahwa pemberontak-pemberontak yang sama ini sebenarnya adalah Al Qaeda. Tetapi karena pemikiran-ganda begitu tertanam di dalam budaya Barat, kontradiksi laporan ini jarang diperhatikan atau dianalisis. Tugas mencetak pikiran publik untuk mendukung strategi geopolitik elit ‘kejam tapi perlu’ dari elit keuangan global jatuh ke media massa, yang mengarahkan dan mendistorsi informasi sesuai desain imperial dan kepentingan perusahaan pemilik media.

Dalam sebuah artikel The Guardian tahun 2002, kebijakan pemantapan Barat dari total kemunafikan secara fasih diungkapkan oleh kepala strategi mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Robert Cooper, yang menulis:
“Tantangan untuk dunia postmodern adalah terbiasa dengan ide standar ganda. Di antara diri kita sendiri, kita beroperasi atas dasar hukum dan keamanan koperasi terbuka. Tapi ketika berhadapan dengan jenis negara yang lebih kuno di luar benua postmodern Eropa, kita perlu kembali ke metode yang lebih kasar dari era sebelumnya – paksaan, serangan efek pendahuluan, penipuan, apa pun yang diperlukan untuk berurusan dengan mereka yang masih hidup dalam dunia abad kesembilan belas dari setiap negara yang hidup untuk dirinya sendiri. Di antara diri kita sendiri, kita mematuhi hukum tersebut tetapi ketika kita beroperasi di hutan, kita juga harus menggunakan hukum-hukum rimba“[11]

Karena sniper-sniper yang tak dikenal menembaki demonstran dan polisi di kota Daraa pada tanggal 15 Maret 2011, bangsa Suriah telah diserang oleh pasukan pembunuh bersenjata dan dilatih oleh emirat Teluk dan intelijen NATO. Hasilnya adalah kematian ribuan dan kehancuran suatu bangsa. Ini adalah pengulangan dari Arc of Crisis yang diciptakan di Afghanistan pada tahun 1979 ketika Penasehat Keamanan Nasional AS Zbigniew Bzrezinski mempersenjatai dan melatih teroris Mujahidin dalam rangka untuk menggulingkan Republik Demokratik Afganistan. Hasilnya adalah penciptaan Al Qaeda, sebuah data-base dari aset intelijen militer, yang sejak awal, selalu melayani kepentingan geopolitik NATO. Teknik yang sama sekarang sedang digunakan terhadap Suriah.

Sangat mungkin pengakuan pemerintah Perancis bahwa Al Qaeda telah mengambil alih sebagian besar Suriah bisa dijadikan sebagai alasan dalam minggu-minggu, bulan-bulan atau tahun-tahun ke depan untuk intervensi militer langsung untuk ‘membebaskan’ Suriah dari Al-Qaeda, seperti anjuran intelijen Perancis tentang jihad di Libya dan transfer tentara mereka ke Mali untuk melayani alasan intervensi militer di sana. Sementara itu, demonisasi (penyetanan – pen) media atas Bachar-Al Assad akan terus berlanjut. Namun, keberadaan Al Qaeda di Suriah akhirnya bisa menjadi pembenaran akhir untuk intervensi jika teroris berhasil dalam melemahkan negara Suriah dan Rusia dapat dibujuk untuk menyetujui dalam hilangnya negara klien Mediterania Timur – nya.

Para korban penipuan dari kerajaan media NATO dapat terus menghibur diri bahwa pemerintah mereka memerangi teroris di beberapa negara, sekaligus membantu ‘pemberontak demokratis’ untuk melawan ‘rezim brutal’ terhadap orang lain, tetapi ketika penjagal buas dan militerisasi ruang kota menimpa kota-kota Eropa, kenyataan bahwa itu adalah kebobrokan elit Euro-Atlantik yang mengobarkan terorisme jihad, realitas mimpi buruk bahwa ini pada kenyataannya adalah ‘rezim brutal’, dan buram, ‘jaringan teroris’ longgar yang ingin mengambil kebebasan kita dan menghancurkan peradaban, kenyataan ini akan menjadi mustahil untuk diabaikan. Padahal sebenarnya perang melawan terorisme pada akhirnya merupakan perang terhadap kemanusiaan.


Notes:
[1] http://www.lemonde.fr/international/article/2013/04/10/al-qaida-etend-son-territoire-et-unit-ses-forces-en-irak-et-en-syrie_3157029_3210.html
[2] http://www.foxnews.com/us/2010/10/20/al-qaeda-terror-leader-dined-pentagon-months/
[3] http://www.mediabistro.com/fishbowldc/fox-news-discrimination-suit-tossed-out_b48807
[4] http://www.lemonde.fr/international/article/2013/04/10/al-qaida-etend-son-territoire-et-unit-ses-forces-en-irak-et-en-syrie_3157029_3210.html
‘Contrairement à l’Etat islamique en Irak, Le Front Al-Nosra prend garde à ne pascibler systématiquement les civils. Il a évité, pour l’instant, d’imposer un ordre islamique trop strict dans les zones passées sous son contrôle et conclut même des accords ponctuels avec la rébellion kurde, comme à Ras Al-Aïn, et plus récemment à Alep.’
[5] https://www.youtube.com/watch?v=4QhicJPzG9%5b4
[6] https://www.youtube.com/watch?v=YToIyvA1N6Y
[7]http://www.globalresearch.ca/syria-womens-rights-and-islamist-education-in-a-liberated-area-of-aleppo/5328510
[8]http://allainjules.com/2013/04/14/photo-syrie-les-amis-de-francois-hollande-font-des-photos-avec-leurs-victimes-decapitees/
[9] http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CCPR.aspx
[10] http://www.lemonde.fr/proche-orient/article/2013/03/05/les-rebelles-syriens-prennent-le-controle-de-la-ville-de-raqqa-dans-le-nord-du-pays_1842837_3218.html
[11] http://www.guardian.co.uk/world/2002/apr/07/1

Writer: Gearóid Ó Colmáin
Global Research

__________________________________


Tokoh Muslim dan Kristiani Jadi Target Teroris di Suriah.
SUMBER: NU Online


Jakarta, NU Online
Kaum muslim dunia baru saja berduka. Ulama Sunni terkemuka Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buti ditemukan tewas pada 21 Maret lalu dalam serangan teroris di Masjid Al-Iman di Damaskus bersama dengan cucunya dan 47 orang lainnya.

Serangan mengerikan itu terjadi ketika Syaikh al-Bouti sedang memberi pengajian di depan sekelompok mahasiswa Islam, termasuk cucunya.

Di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan rasa duka yang mendalam atas wafatnya ulama besar Suriah tersebut. ”Kami sangat menyesalkan kekerasan di Suriah yang mengakibatkan tewasnya ulama besar yang luar biasa pengaruhnya di dunia Islam,” kata Rais Suriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin pada NU Online, belum lama ini.

Pada 23 Maret, rakyat Suriah mengantar kepergian sarjana terkemuka dunia ini dengan hikmat. Grand Mufti Ahmad Badr Hassanuddin, yang putranya juga tewas di tangan para teroris beberapa bulan yang lalu, dan Menteri Informasi Suriah Umran al-Zubi ikut ambil bagian dalam upacara pemakaman.

Al-Buti sendiri yang tahun ini berusia 84 tahun adalah seorang pensiunan dekan dan profesor Fakultas Hukum Islam di Universitas Damaskus. Ia dikenal keras menentang terorisme dan pengkritik pihak asing yang didukung kelompok-kelompok militan, yang ia gambarkan sebagai “para tentara bayaran”.

Seminggu sebelum pembunuhan itu, ia mengatakan dalam ceramahnya, “Kami diserang di setiap jengkal tanah kami, makanan kami, kesucian dan kehormatan perempuan dan anak-anak kami Hari ini kami menjalankan tugas yang sah… yakni kebutuhan mobilisasi untuk melindungi nilai-nilai, tanah air, dan tempat-tempat suci kami, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara tentara nasional dan seluruh bangsa ini”.

Seminggu setelah pembunuhan Al-Buti, ulama Sunni lainnya Syaikh Hassan Saifuddin (80 tahun) secara brutal dipenggal kepalanya di bagian utara Kota Aleppo oleh sekelompok militan yang dibekingi pihak asing dan menyeret tubuhnya di jalanan. Kepalanya ditanam di menara sebuah masjid yang biasa digunakan untuk berkhotbah. Syaikh Saifuddin juga dikenal sebagai seorang anti-milisi, dan penentang perang yang sedang berkecamuk melawan pemerintah Suriah.

Menyusul insiden berdarah tersebut, Presiden Suriah Bashar al-Assad mengecam tindakan kekerasan itu. Ia berjanji, kejahatan itu tidak akan dibiarkan tanpa hukuman. “Ini janji rakyat Suriah – dan saya salah satu dari mereka – bahwa darah Anda, cucu Anda, dan para syuhada di tanah air ini tidak akan sia-sia, karena kita akan tetap mengikuti pemikiran Anda untuk menghilangkan kejahatan mereka,“ katanya.

Dalam halaman Facebook milik kaum militan, Syaikh Saifuddin disebut sebagai “kolaborator dari teman baik penguasa di Suriah”. Mereka juga mengancam, “Kami akan datang kepada Anda, dan Anda tidak akan bisa melarikan diri.”

Syaikh Hassan Saifuddin sebenarnya adalah ulama terakhir dari daftar ulama-ulama yang dibunuh yang mencakup kelompok Sunni dan ulama Syiah serta pendeta Kristen. Semua pembunuhan ini dilakukan oleh para teroris yang secara manipulatif dinarasikan dalam media-media Barat mainstream sebagai “kaum demokrat” itu.

Korban pertama adalah Romo Basilius Nassar, seorang Imam dari Kapel Mar Elias di kota Kfar-Baham, dekat kota Hama. Dia ditembak pada tanggal 25 Januari 2012 oleh seorang penembak jitu milisi di daerah Citadel saat ia sedang mengevakuasi korban perang.

Yang kedua adalah seorang ulama Sunni, Syaikh Mohammad Ahmad Aufus Shadiq, yang kerap berkhotbah di Masjid Malik Bin Anas di Damaskus. Ia adalah salah seorang ulama pertama yang memperingatkan ancaman kekerasan di Suriah. Dia juga penentang keras kelompok Takfiri dengan mengatakan Takfiri tak punya tempat di kalangan umat Islam. Syaikh Aufus Shadiq ditembak mati pada 25 Februari 2012.

Korban ketiga dalam daftar ulama ini adalah Syaikh Sayyid Nasser, seorang ulama Alawi dan imam Alawite hawze (sekolah agama) Zaynabiyya di Damaskus. Dia meninggal ditembak di dekat situs suci makam Sayyidah Zaynab, cucu Nabi Muhammad SAW.

Yang keempat adalah seorang ulama Syiah Suriah, Syaikh Abbas Lahham. Ia tewas bulan Mei di luar Masjid Ruqayyah (putri Imam Hussein) di mana ia biasa berkhotbah. Dia diikuti oleh tewasnya Syaikh Abdul-Kuddus Jabbarah, seorang ulama Syiah pada bulan berikutnya. Yang terakhir ini ditembak mati di sebuah pasar dekat situs suci Sayyidah Zainab.

Pada Juli 2012, pada awal bulan Ramadhan, Syekh Abdul Latif Ash-Shami juga dibunuh dengan cara yang mengerikan: saat sedang shalat dalam masjid bersama jamaah lain, ia ditembak matanya. Sebulan kemudian, imam Masjid al-Nawawi di Damaskus, Syaikh Hassan Bartaui, juga dibunuh.

Pada bulan Oktober 2012, beberapa orang menemukan mayat yang dimutilasi. Mayat itu adalah seorang imam dari Gereja Ortodoks Yunani, Romo Fadi Hadadat di Katana, Provinsi Damaskus. Dia diculik oleh milisi yang menuntut pertukaran untuk pembebasannya dengan uang tebusan sebesar 15 juta Pound Suriah. Romo Abdullah Saleh, pimpinan Gereja Ortodoks Yunani Antiokhia dan Orient menegaskan bahwa ia telah dibunuh oleh teroris. Lalu pada hari terakhir tahun 2012, Imam Sunni yang lain Syaikh Abdullah Saleh juga dibunuh di Raqa.

Pada bulan Februari 2012, Syaikh Abdul Latif al-Jamili, seorang ulama dari Masjid Ahrafiyyah terbunuh oleh pecahan peluru yang diluncurkan oleh milisi di halaman masjid itu. Pada bulan Maret, giliran Sheikh Abid Sa’ab, yang kerap memimpin doa di Masjid al-Mohammadi yang terletak di distrik Mazze di Damaskus, terbunuh oleh ledakan bom yang ditempatkan di bawah mobilnya.

Duka mendalam dirasakan kaum muslim dan Kristiani di Suriah, bahkan muslim dunia. Namun siapakah sebenarnya para pembunuh berdarah dingin yang menghabisi para ulama dan tokoh panutan umat ini?

Ketika seorang ulama Sunni terkemuka Syeikh al-Buti itu tewas, beberapa ulama ekstremis Wahhabi dari Arab Saudi sama sekali tak menunjukkan penyesalan terhadap kematiannya. Salah satunya adalah Syaikh Abu Basir al-Tartousi. Ia mengatakan, bahwa dirinya tidak menyesali kematian al-Bouti, karena “Dia adalah pembohong, yang sepanjang hidupnya mendukung penguasa,” katanya sebagaimana dikutip UmmaNews. Dia menambahkan bahwa Syeikh al-Bouti adalah seorang munafik yang pura-pura menyesali terbunuhnya kaum Muslim maupun yang terluka.

Begitu juga Imam Masjidil Haram di Mekkah Abdul Rahman al-Sudais. Ia secara terbuka merayakan pembunuhan itu dengan mengatakan bahwa “Dia (al-Buti) adalah salah seorang imam besar penipu. Dia adalah Mujahid di jalan Setan. Dan ini (pembunuhan al-Buti) adalah sukacita yang besar bagi umat Islam,” katanya.

Wajar kemudian bila Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi mengungkapkan, pihak Barat dan dari pihak Salafi-Wahabi memunculkan propaganda negatif untuk Syekh Buthi melalui sejumlah media cetak maupun elektronik internasional. Sejumlah ulama termasuk Syekh Yusuf Qaradhawi juga ikut memojokkan Syekh Buthi dan membangun gerakan politik untuk meredam dukungan dan simpati kepada Syekh Buthi, demikian pernyataan Rais Syuriah PBNU itu kepada NU Online (Ahad, 31/3).

Pada kenyataannya, semua ulama yang dibunuh di Suriah adalah mereka yang secara terbuka menentang pemberontakan atau setidaknya tidak mendukungnya. Pembunuhan mereka dimaksudkan untuk meneror penduduk Suriah yang menolak untuk mendukung kelompok-kelompok bersenjata. Hal ini jelas ketika kita membaca pernyataan para teroris itu sendiri.

Sesaat sebelum serangan terhadap Fakultas Arsitektur Universitas Damaskus, yang menewaskan 15 siswa, pemimpin kelompok Wahhabi, Liwa al-Islam, Al Haytham Malih, menerbitkan sebuah pernyataan di halaman Facebook-nya, dimana ia memperingatkan bahwa “ wajib untuk mahasiswa dari Universitas Damaskus untuk meluncurkan kampanye pembangkangan sipil. Jika mereka tidak melakukannya, Universitas mereka akan memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi dari Aleppo”. Perlu diingat bahwa pada bulan Januari 2013, 82 mahasiswa dari Universitas Aleppo tewas dan 160 lainnya luka-luka akibat terjangan roket yang diluncurkan oleh para milisi.

Seluruh kelompok agama (Kristen, Syiah, Alawi) telah dinyatakan sebagai “musuh” oleh teroris Takfiri Wahhabi di Suriah. Beberapa kelompok Syiah, misalnya, harus meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan nyawa. Diantara orang Syiah ini dalam surat kabar LA Times mengatakan, bahwa kelompok Takfiri ini “semula dikirim untuk menjadi tetangga kami, namun kemudian ingin menculik dan membunuh kami”.

Ketegangan antaragama, yang semula tidak pernah dijumpai sebelum konflik, kini meningkat di desa-desa di sepanjang perbatasan antara Lebanon dan Suriah bagian timur laut. Masyarakat yang tinggal di daerah-daerah membincangkan satu sama lain tentang kampanye pembersihan etnis yang dilakukan oleh pemberontak yang mencoba mendirikan negara ala Taliban. Beberapa orang Syiah, yang punya ikatan keluarga di Lebanon pun lalu ikut menjadi pejuang untuk membela desa mereka dari serangan para teroris.

Seperti dilaporkan Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York, pemberontak dan teroris Wahhabis di Suriah juga membakar dan menjarah situs-situs agama minoritas. HRW mengungkapkan bahwa pejuang oposisi telah menghancurkan Husseiniyah – sebuah situs agama yang ditujukan untuk menghormati Imam Hussein, seorang martir besar dalam sejarah Islam. Sebuah video dipublikasikan secara online menunjukkan pemberontak mengangkat senapan serbu di udara dan bersorak-sorai di depan kobaran api karena telah menguasai situs itu di desa Zarzour pada bulan Desember.

Dalam video tersebut, seorang pria mengumumkan “penghancuran sarang kaum Syiah dan Rafida”, sebuah istilah penghinaan yang digunakan oleh fanatik Wahhabi terhadap kaum Syiah.

Di bagian barat Provinsi Latakia, Human Rights Watch mengutip pernyataan warga setempat bahwa orang-orang bersenjata yang bertindak atas nama oposisi telah merusak dan mencuri barang-barang dari gereja-gereja Kristen yang berada di dua desa, Ghasaniyah dan Jdeidah (di wilayah Lattakia). Seorang warga Jdeideh melaporkan bahwa pria bersenjata itu telah menghancurkan gereja lokal, mencuri dan melepaskan tembakan di dalam.

Seperti dilaporkan Yusuf Fernandez, seorang jurnalis dan sekretaris Federasi Muslim Spanyol, ia mengatakan Suriah belakangan ini menjadi arena teror. Pembunuhan dan teror dilakukan di semua tempat yang diduduki kelompok bersenjata yang dikontrol pihak asing di Suriah. Karena tak mampu memicu revolusi rakyat untuk melawan pemerintah, kelompok-kelompok ini lalu melakukan pembantaian dan pembunuhan.

Itulah sebabnya mengapa penduduk setempat meninggalkan rumah-rumah mereka ketika desa-desa atau jalan-jalan sekitarnya berhasil direbut oleh pemberontak. Sebagian besar warga kampong ini lalu bergabung dengan Pasukan Pertahanan Nasional untuk memerangi para teroris di seluruh negeri. (Mh. Nurul Huda).

___________________________________


Light at the end of Syria’s dark tunnel?

SOURCE: Crescent Online
by Yusuf Dhia-Allah

March, 2013.


In recent weeks, hopes have been aroused by the announcement of some Syrian opposition leaders to hold a dialogue with the Syrian regime. Will this bring the much-needed peace to the Syrian people?

Is it realistic to hope for an end to the violence in Syria and move toward a negotiated settlement? With so much blood spilled over the past two years and with attitudes having hardened on both sides, a recent announcement by Ahmed Moaz al-Khatib, head of the Syrian National Coalition (SNC), to talk to the regime, and Syrian Minister for National Reconciliation, Ali Haider’s positive response, give reason for cautious optimism even if a solution may still be far away. Such hopes were further boosted by Russia’s invitation to al-Khatib to visit Moscow for a meeting with Russian Foreign Minister Sergey Lavrov at the end of February (after Crescent press time).

Hopeful signs emerged at the end of January when al-Khatib announced he was willing to sit for talks with the Syrian government provided it released 160,000 prisoners. While al-Khatib could not have offered unconditional talks for fear of losing his standing in the SNC where different factions jockey for influence, the figure of 160,000 prisoners surprised many observers. Regardless, al-Khatib’s offer reflected some movement toward talks even if he has tried to backslide since then. On February 16, the Syrian National Council issued an 8-point demand that would scuttle any prospects of a dialogue if the group persists with it. This reflects the deep divisions within the alliance that is made of disparate groups getting instructions from their foreign masters.

The hope was predicated on the fact that on February 2 al-Khatib had met Russian Foreign Minister Lavrov and Iranian Foreign Minister Ali Akbar Salehi in Munich on the sidelines of the 49th Munich Security Conference. Both Russia and Iran are allies of Syria and have rejected the demand, peddled by the US and Syrian opposition groups, that President Bashar al-Asad must first resign before any dialogue can take place.

Iran’s Foreign Ministry spokesman Ramin Mehmanparast on February 6 provided details of what was discussed between al-Khatib and Dr. Salehi in Munich. “In his meeting with Dr. Salehi, Khatib called for the use of the Islamic Republic’s capacities for the establishment of a stable situation in Syria,” Mehmanparast said. He went on to elaborate that the Syrian opposition figure wanted these talks to help realize the demands of the Syrian people through peaceful and democratic channels, and by holding elections.

Al-Khatib’s call was hailed as a positive step forward, saying Tehran would welcome representatives of any Syrian opposition groups seeking proximity of views. Iran has consistently called for talks between the Syrian government and opposition groups to resolve the ongoing problem that is being stoked by the US, Saudi Arabia, Qatar and Turkey. America’s European allies France and Britain are also involved as is the Zionist occupying regime in Palestine that is instigating trouble because Syria is part of the resistance front fighting the Zionist occupiers.

In December 2012, the Islamic Republic had released details of a plan that urged talks between the Syrian government and representatives of all Syrian groups regardless of their political and social tendencies in order to form a national reconciliation committee. Iran’s plan also called for an immediate end to all violence and military action under the supervision of the United Nations, an end to all economic sanctions imposed against the country, and the return of displaced civilians to their homes. Clearly without end to violence on all sides, little would be achieved in the talks even if they were held. The talks would quickly degenerate into finger pointing and end in a blame game.

The positive response of the Syrian government through Ali Haider, Minister for National Reconciliation, added further impetus to the possibility of talks; the timing, however, is still uncertain. In an interview with the British daily, The Guardian (February 11), Haider said he was willing to travel abroad, wherever it was possible for him to do so (this was a reference to the European Union’s ban on travel of Syrian officials), to meet opposition representatives. He also said the Syrian government would renew the travel documents of opposition figures, such as passports. He was also open about their contesting presidential elections. The Syrian foreign ministry endorsed the offer of talks two days later but said these must be held on Syrian soil while Russia announced it had invited Syrian Foreign Minister Walid al-Muallem to Moscow.

These fast-paced developments to-ward reconciliation stand in sharp contrast to the mayhem in Syria that is instigated from abroad in which the Saudi regime is playing a large role by unleashing al-Qaeda-type mercenaries. They have gone on a rampage killing innocent civilians and indulging in gruesome acts such as beheading of people they perceive to be not following their narrow obscurantism. Killings in areas under rebel control and the fact that people are short of food and other essential items for survival have turned ordinary people against the rebels. The terrible conditions in refugee camps especially in Jordan and Turkey have added to people’s woes. The internally displaced Syrians are no better off since roads are unsafe and food supplies have been disrupted as a result of fighting. People are getting desperate and want an end to fighting. They loathe the foreign mercenaries and their brutal tactics and hold them responsible for much of the mayhem.

In an article that appeared on February 10 in the British daily The Guardian, Jonathan Steele confirmed that Syria’s third largest city, “Homs, has become a — relatively — safe haven. Hundreds of families who fled to other Syrian cities in fear last February [2012] have loaded their belongings and returned. Civilians from Aleppo and Deir el-Zour — where fighting is still intense — are moving to Homs because they have heard it is more livable.” The city is largely under Syrian government forces and despite the checkpoints, “the soldiers seem relaxed and perfunctory as they check ID cards and car-boots,” wrote Steele. In addition to civilians, many rebels have also taken up the offer of the new provincial governor, Ahmed Munir Mohammad, to return. His softer approach is paying off. He has managed to separate many Syrians in the opposition from the foreign mercenaries. A significant number of Syrian rebels have laid down their arms, realizing the futility of a struggle that has been hijacked by foreigners for their own agenda, and returned to civilian life.

The Syrian government has also played it skillfully by withdrawing its forces from the countryside and strategically concentrating them in the large urban centres. This has had two effects: first, the army is no longer stretched thin and is able to defend major cities effectively by inflicting heavy casualties on rebel forces. Not all cities may be completely secure or peaceful but people can see the government is in control and they can go about their business as best they can. Second, while the rebels have been allowed a freehand in the countryside, they are now stuck with the responsibility to feed large populations under their control. In this, the rebels have failed miserably, turning people against them. In fact, in many rural towns and villages, the rebels have indulged in looting, which has increased people’s resentment toward them. There is also infighting among rebels for control of resources. Fighters keep shifting their loyalties depending on who can provide them weapons and money. These shifting loyalties have caused enormous problems for rebel commanders leading to frequent fights and killings between different groups.

While fighting between various rebel groups as well as with al-Qaeda mercenaries (that are answerable to no one) have weakened their position considerably, it is the realization among political opposition figures that the much-hoped for US military intervention will not materialize that has dampened their spirits. If there were any lingering doubts, these were removed by US President Barack Obama in an interview on January 28 with the American magazine, New Republic. In response to criticism from armchair warriors in Washington for not attacking Syria, Obama said: “I am more mindful probably than most of not only our incredible strengths and capabilities, but also our limitations.” Obama’s reference to “limitations” is a clear admission of US inability to change the dynamics in Syria. He went on to explain the reasons for not intervening militarily. “In a situation like Syria, I have to ask, can we make a difference in that situation? Would a military intervention have an impact? How would it affect our ability to support troops who are still in Afghanistan?”

A day earlier while speaking with CBS television program, 60 Minutes, Obama explained why US intervention in Libya that resulted in the toppling and subsequent murder of Colonel Muammar Qaddafi was “successful,” but a similar intervention in Syria may “backfire.” What constitutes success for Obama is open to question but for the Syrian opposition the unmistakable message is that no American tanks will be available for the opposition to ride into Damascus. The opposition can hardly expect Saudi Arabia or Qatar, their armies comprising rank amateurs (despite Qatar’s repeated calls for Arabian armies to “intervene” in Syria), to help them. Unable to topple the regime on their own, they are left with little choice but to offer to hold talks with the government even if not all factions in the SNC agree on this. Exacerbated by their indecision, Russian Foreign Minister Lavrov chastised them for not coming up with serious proposals for a solution, thus prolonging the conflict in Syria. He told them to grow out of their worn out demand for Bashar al-Asad to resign. He advised them to come to the table without preconditions.

If the Syrian opposition or whatever elements within it are serious about dialogue, Islamic Iran should encourage it. Further, it is in a good position to play a positive role. Al-Khatib’s meeting with Dr. Salehi points to Iran’s successful diplomacy. This approach should be pursued vigorously by getting as many opposition figures involved in the dialogue process as possible while at the same time nudging the Syrian government to be flexible so that the two-year crisis that has resulted in so much suffering can be brought to an end. Peace and reconciliation in Syria will benefit all parties concerned: the people of Syria, the opposition groups as well as the Syrian government.

It will, however, depend on how serious the opposition is for a dialogue. Further, it will depend on how serious their foreign sponsors are about ending the bloodshed in Syria.
_________________________________


AMERIKA TOLAK INTERVENSI, SAUDI TOLAK DAMAI.
SUMBER: Cahyono Adi’s Blog


Angin benar-benar mulai menjauh dari para pemberontak. Amerika, kekuatan utama penopang gerakan oposisi Syria mulai berfikir realistis. Jika selama ini para pejabat Amerika selalu menuntut pengunduran diri presiden Bashar al Assad dan bahkan Presiden Amerika Barrack Obama pun telah menjamin kejatuhan Assad yang “tidak lama lagi”, mereka mulai “menurunkan nada” tuntutan.

Bahkan menhan Amerika Leon Panetta baru-baru ini menampik kemungkinan Amerika melakukan intervensi langsung, justru setelah sekutu dekatnya Arab Saudi dan Qatar menyerukan dilakukannya intervensi atas Syria setelah selama berbulan-bulan upaya menyingkirkan Bashar al Assad dari kekuasaan, mengalami kegagalan total.

“Seruan Emir Qatar untuk dilakukannya intervensi militer terhadap Syria tidak akan mengubah keyakinan saya bahwa hal itu akan menjadi kesalahan yang serius,” kata Panetta kepada wartawan di Pentagon, Jumat (28/9), menanggapi seruan Emir Qatar. Seruan Emir Qatar disampaikannya dalam sidang umum PBB, 2 hari sebelumnya.

Menurut Panetta, jika “masyarakat internasional” memutuskan untuk melakukan intervensi, Amerika akan mendukungnya. Namun jika Amerika yang melakukannya secara sepihak, maka hal itu hanya akan menjadi kesalahan fatal.


SAUDI TOLAK DAMAI.

Saudi Arabia tidak menginginkan solusi damai atas Syria dan lebih memilih dilakukannya intervensi asing untuk mendukung kelompok-kelompok teroris di Syria. Hal ini disampaikan oleh mantan dubes Iran untuk Yordania, Mohammad Irani dalam wawancaranya dengan kantor berita Iran “IRNA”, Minggu (30/9).

“Saudi Arabia sangat tidak menginginkan ditemukannya solusi politik atas krisis Syria dan menginginkan masalah ini diselesaikan melalui intervensi militer dan keberadaan kekuatan asing untuk mendukung pemberontak bersenjata,” kata Irani.

Irani merujuk pada diboikotnya “Pertemuan 4 Negara” di Kairo, 17 September 2012 oleh Saudi Arabia. “Pertemuan 4 Negara” adalah proposal yang diajukan oleh Presiden Mesir Mohammad Morsi dalam pertemuan OKI di Mekkah pertengahan Agustus lalu tentang pembentukan kelompok 4 negara Islam yang ditugaskan menyelesaikan krisis Syria. Keempat negara itu adalah Mesir, Iran, Turki dan Saudi.

Sejumlah diplomat Iran menyebutkan kemungkinan lain penolakan Saudi atas proposal tersebut, yaitu keengganan Saudi menyertakan Iran dalam penyelesaian masalah di Syria. Kecuali Saudi, ketiga negara dengan antusias menyetujui proposal itu. Bahkan tiga menlu dari ketiga negara telah mengadakan pertemuan di Kairo belum lama ini.

Ref:
1. “Panetta: Unilateral U.S. Military Intervention in Syria Big Mistake”; almanar.com.lb; 28 September 2012.
2. “Saudi Arabia not supporting political solution in Syria: Ex-Iran envoy”; Press TV; 30 September 2012.
_______________________________________


Friends of Syiria.
SUMBER: Islam Indonesia

Oleh: Abdillah Toha (Pemerhati Luar Negeri).


Sementara korban terus berjatuhan dan penderitaan rakyat Suriah kian hari kian berat, dunia terbelah dua dalam menyikapi situsi gawat disana. Sebagian negara mendukung pembangkang dengan alasan mewujudkan demokrasi, sedang yang lain membela rezim penguasa dengan alasan menolak campur tangan asing.

“Group of Friends Of the Syrian People”, atau lebih dikenal sebagai “Friends of Syria” (FOS), adalah sebuah kelompok negara dan badan serta organisasi internasional yang bergabung untuk mendukung gerakan oposisi Syria melawan pemerintah Bashar Assad. Grup ini diprakarsai oleh mantan presiden Perancis Sarkozy, didukung oleh Amerika dan kawan-kawan serta Liga Arab, khususnya Qatar dan Saudi Arabia yang berada di garis paling depan.

FOS terakhir bersidang untuk yang ketiga kali hampir dua minggu lalu di Paris, setelah sebelumnya (28 Februari) di Tunisia dan (1 April) di Istanbul. Pertemuan berikutnya direncanakan di Maroko. Kelompok pendukung pemberontak ini dibentuk setelah upaya untuk menekan Assad melalui Dewan Keamanan PBB beberapa kali gagal karena veto Rusia dan China.

Pertemuan di Paris dihadiri oleh lebih dari 70 negara dan organisasi internasional, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Dubes kita sebagai Peninjau. Sedangkan Rusia, China, Iran, Venezuela. Bolivia, Sudan, Belarus dan beberapa negara lainnya menolak untuk hadir.

Dalam pertemuan terakhir di Paris, Menlu Amerika, Clinton, mengecam keras sikap Rusia dan China, mengajak anggota FOS untuk menuntut (demand) kedua negara itu berbalik arah mendukung pembangkang, dan mengatakan bahwa Rusia dan China akan menanggung sendiri akibatnya (will pay a price) bila sikapnya mendukung Assad tidak berubah.

Sebaliknya Rusia menyatakan bahwa pertemuan FOS sangat tidak adil, secara politik keliru dan bahkan tidak bermoral. Pertemuan-pertemuan itu hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Suriah dengan menciptakan perang saudara yang berkepanjangan. Pemerintah Suriah menganggap FOS sebagai sebuah kelompok dan lingkaran konspirasi melawan pemerintah Suriah yang sah, serta menganggap peserta pertemuan FOS sebagai musuh Suriah.


Sahabat Suriah?

Benarkah Friends of Syria (FOS) sahabat rakyat Suriah? Atau sebaliknya Rusia,China, Iran, dan kawan-kawan yang boleh disebut sebagai sahabat Suriah yang sejati? Dari namanya, FOS memang dipandang sebagai kelompok yang bersimpati kepada rakyat Suriah. Resminya dan di permukaan kelompok ini sangat mulia karena bersimpati kepada rakyat “mayoritas” yang ingin menegakkan demokrasi melawan kekuasaan otoriter dinasti Assad yang sudah terlalu lama berkuasa. Memberikan bantuan kemanusiaan atas korban-korban yang jatuh selama ini. Menuntut segera dibentuk pemerintahan transisi dan meminta Assad menyerahkan kekuasaannya dengan jalan damai. Dan seterusnya.

Kenyataannya tidak semua yang dilakukan oleh pendukung oposisi Suriah ini bisa dikategorikan sebagai tindakan terpuji. FOS, utamanya melalui pemerintah Qatar dan Saudi Arabia, juga menyalurkan beragam senjata mematikan kepada pemberontak, membuka peluang masuknya teroris al-Qaeda dari Irak dan tempat lain untuk membantu pemberontak dan mendestabilisasi keadaan, membentuk opini publik dunia dengan, bila perlu, merekayasa informasi dan video seperti yang terungkap pada TV Aljazeera dan CNN beberapa waktu lalu.

Sangatlah naif bila kita menerima begitu saja tujuan-tujuan “mulia” FOS. Invasi Amerika di Irak dan Afghanistan, penyerangan dan pemboman atas rezim Gaddafi di Lybia serta manuver politik pasca the Arab Spring, dan terakhir gejolak di Suriah adalah serangkaian kebijakan Barat yang didukung oleh kliennya di Timur Tengah dalam rangka mengamankan kepentingan geopolitik dan geostrategik mereka.

Sebaliknya, bagi China dan Rusia, berseberangan dengan Amerika dan kawan-kawan dalam kelompok FOS juga punya tujuan politis dan strategis. China tidak ingin melihat preseden campur tangan luar terhadap pergolakan dalam negeri dimanapun, dan Rusia tidak mau kehilangan pengaruh dan kepentingannya di Timur Tengah dengan membiarkan Barat bertindak leluasa disana. Sedangkan Iran tahu persis bahwa sasaran akhir dari penghancuran rezim Assad, yang merupakan sekutu setia Iran di Timur Tengah, adalah untuk mengucilkan Iran.

Ada dua kepentingan utama Barat di Timur Tengah. Pertama, mengamankan kawasan yang yang menjadi sumber utama minyak bumi dunia, dan kedua melindungi Israel. Dalam kedua hal itu, terutama perjuangan melawan kebrutalan Israel, setelah jatuhnya Saddam, saat ini hanya Suriah dan Iran yang paling tangguh dalam bantuan nyata kepada Palestina untuk merebut kembali kedaulatannya.


Posisi Indonesia.

Barangkali sulit membayangkan Indonesia berani menolak ajakan negara-negara adi daya untuk berpartisipasi di FOS. Sebagai peninjau, menlu RI Marty Natalegawa menyatakan bahwa Indonesia berprinsip mengakui kedaulatan negara tanpa memandang sosok yang memerintah. “Indonesia dalam posisi politiknya hanya memberi pengakuan pada negara, sehingga perubahan sistem pemerintahan tidak mengharuskan kita memberi atau tidak memberi pengakuan pada pihak manapun juga,” (9/4).

Menyikapi kekerasan yang terus terjadi di Suriah, Marty mengatakan pemerintah memilih menjadi peninjau dalam program Friends of Syria. Melalui misi itu, kata dia, Indonesia menjalin komunikasi dengan semua pihak, termasuk pemerintah Suriah dan kaum pembangkang.

Bila benar Indonesia berkomunikasi dengan kedua belah pihak, seharusnya posisi Indonesia sangat unik dan bisa dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar menghentikan pertumpahan darah disana. Dengan sendirinya, sebagai negara demokrasi, kita menginginkan terselesaikannya masalah Suriah dengan sasaran tercapainya aspirasi rakyat Suriah untuk sebuah sistem pemerintahan yang demokratis dan bertujuan menyejahterakan rakyatnya. Namun demikian, kesepakatan apapun antara kelompok yang bermusuhan itu harus dicapai dengan jalan damai, mengikutsertakan semua pihak yang bertikai, termasuk kelompok penguasa sekarang, dan yang terpenting bebas dari campur tangan pihak asing yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.[Islam-Indonesia]

_________________________________

Suriah dan Kebohongan Media Mainstream.


Salah satu masalah paling mendasar dalam media adalah validitas informasi. Belakangan ini sejumlah media mainstream melancarkan kampanye hitam melalui pemberitaan bohong yang disiarkan ke seluruh dunia. Media Amerika Serikat, Foreign Policy mengungkapkan bahwa dua jaringan televisi Arab, Aljazeera dan Al Arabiya menuding televisi nasional Suriah menutupi kenyataan sebenarnya yang terjadi sejak meletusnya konflik di negara itu. Namun kini faktanya, tudingan tersebut justru dilakukan oleh Aljazeera dan Al Arabiya yang memberitakan kebohongan di Suriah.

Kebohongan Aljazeera terungkap dari dalam dengan keluarnya sejumlah staf dan jurnalis yang tidak tahan dengan kebohongan media Qatar itu. Bulan Mei lalu, Aljazeera diguncang eksodus staf dan jurnalisnya akibat begitu banyak kebohongan media massa itu dalam melansir berita terutama di Libya, Suriah, Bahrain, Saudi. Mereka tidak tahan lagi dengan kebijakan Aljazeera yang menjadi corong propaganda perang, bukannya mewartakan kejadian sesungguhnya.

Aljazeera menjadi corong ambisi perang Emir Qatar di Timur Tengah. Dan dunia jurnalistik kehilangan kepercayaan terhadap Aljazeera yang kini tidak jauh berbeda dengan CNN, Fox News dan BBC.

Rusia Today pada 12 Maret 2012 lalu, melalui Paula Slier mengabarkan bahwa biro Aljazeera di Beirut mengundurkan diri pekan lalu. Mereka adalah Managing Director Hassan Shaaban. Ini lanjutan dari pengunduran diri Staff Ali Hashem, Ghassan ben Jaddo, dan Afshin Rattansi. Alasannya adalah penolakan Aljazeera menayangkan video gempuran pemberontak Suriah. Selain itu menolak menayangkan berita pembantaian yang dilakukan pemerintah Bahrain terhadap rakyatnya sendiri, dan penolakan Emir Qatar atas hasil Referendum Suriah. Dari sinilah Aljazeera terlihat sangat bias.

Seorang wartawan dan produser program televisi Aljazeera menyatakan mengundurkan diri setelah pidato Sekjen Gerakan Muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) soal standar ganda Arab terhadap Suriah. Mousa Ahmad menyatakan bahwa aksinya adalah dalam rangka mendukung Suriah.

Televisi Aljazeera Qatar yang menerapkan kebijakan konfrontatif terhadap Suriah, kembali diprotes oleh karyawannya sendiri yang menentang metode pemberitaan tendensiusnya. Mousa Ahmad bergabung dengan Aljazeera sejak tahun 2009 dan Ahad (4/3) menyatakan berhenti dari stasiun tersebut.

Setelah mendengar pidato Sayid Nasrullah, Mousa Ahmad menyerahkan surat pengunduran dirinya. Ahmad mengatakan, “Arab telah memberi banyak kesempatan kepada rezim Zionis Israel hingga sekarang, akan tetapi mereka tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada Suriah dan bahkan menekankan intervensi militer.”

Dalam wawancaranya dengan koran al-Akhbar, Mousa Ahmad mengecam politik Aljazeera terhadap Suriah. Ahmad menuturkan, “Di stasiun televisi itu tidak ada tempat untuk orang moderat. Dengan cara halal atau haram Aljazeera ingin menggulingkan pemerintahan Suriah. Aljazeera adalah lengan politik dan media provokatif. Saya menyaksikan boikot pemberitaan tentang referendum di Suriah, akan tetapi sebaliknya mereka memfokuskan pada perkembangan di Baba Amr, seakan wilayah tersebut adalah tempat suci.”

Perubahan watak Aljazeera dibenarkan oleh aktivis Don Debar dan blogger Ted Rall. Kondisi ini mulai terasa sejak April 2011, ketika Emir Qatar mengambil penuh kendali profesional Aljazeera. Perubahan kian mencolok setelah Direktur Aljazeera Wardah Khandar undur diri September 2011 setelah mengabdi 7 tahun.

Sumber lain mengatakan bahwa perubahan arah Aljazeera berkat lobi menteri luar negeri Amerika Hillary Clinton. Amerika menghendaki agar Aljazeera sama seperti corong propaganda perang Barat semacam CNN, BBC dan Fox News. Usulan Washington itu diamini oleh Emir Qatar Syekh Hamad bin Khalifa al Thani. Dan sejak itu Emir menyerukan propaganda perang media sesuai dikte Amerika.

Pada 14 Maret 2012, Veterans Today dari Amerika melalui Stephen Lendman mencatat beberapa kejadian penting terkait sejarah Aljazeera yang agresif menghasut kerusuhan di Libya, Suriah dan Iran. Hal ini sejalan dengan agenda Amerika-Inggris-Israel. Segala upaya dan ajakan damai ditolak melalui Aljazeera yang menyuarakan dikte Emir Qatar.

Ironisnya Sekjen dan Utusan PBB ikut terjebak dalam perangkap mesin propaganda perang media. Mereka menyarankan intervensi asing di Suriah sebagaimana di Libya, tanpa menyinggung sama sekali aksi kerusuhan yang dilakukan pemberontak. Mereka juga tidak melihat kenyataan melalui berita SANA bahwa ribuan rakyat Suriah di Damaskus menolak intervensi asing.Tidak hanya itu mereka juga menyangkal bukti bukti keterlibatan perusuh asing yang menyusup ke Suriah atas restu komandan NATO.

TV Global Research dari Kanada membahas masalah yang sama yang diangkat oleh Rusia Today. Seperti biasanya Hanya mainstream media Barat yang tutup mulut. Sangat disayangkan jaringan TV Aljazeera yang menjangkau 50 juta pemirsa di seluruh dunia hancur reputasi gara-gara melayani ambisi pribadi Emir Qatar.

Sebelumnya kebohongan juga dilakukan media mainstream semacam BBC yang tertangkap basah melakukan penipuan berita foto. Di situsnya tertanggal 27 Mei, BBC memuat foto mayat-mayat dan diklaimnya sebagai korban pembantaian massal di di Houla. Tentu saja, yang dituduh sebagai pembantai adalah tentara Suriah. Padahal berbagai fakta menunjukkan bahwa yang menjadi korban pembantaian itu adalah orang-orang pro pemerintah. Kedua, secara logika saja, tidak ada keuntungan yang didapat Assad dengan membantai massal warganya sendiri. Keuntungan dari peristiwa ini justru didapat oleh pihak oposisi.

Kebohongan BBC terungkap setelah fotografer asli foto tersebut protes dan memberitahu bahwa itu adalah foto korban pembunuhan massal di Irak tahun 2003. BBC mencabut begitu saja foto itu, tanpa minta maaf. Sementara foto itu sudah terlanjur disebarluaskan ke seluruh dunia, dan sudah diposting ulang pula oleh banyak orang. Tujuan utama dari aksi pembantaian massal yang sangat kejam ini adalah agar PBB menyetujui ‘humanitarian intervention’ dalam bentuk pengiriman pasukan perang internasional ke Suriah untuk menggulingkan Assad, sebagaimana yang sudah terjadi di Libya.

_______________________________

ARTIKEL TERKAIT
Breaking the Arab News
The end of the Al Jazeera decade?
Wadah Khanfar resigns from Al Jazeera
No independent journalism anymore’ – ex-Al Jazeera reporter
Ghassan Bin Jiddu: resigns from Aljazeera
Insiders ‘Out’ Al Jazeera Propaganda Machine on Syria
Morality of Al Djazeera
Al-Jazeera Correspondent in Beirut Resigns over Biased Coverage of Syrian File
______________________________________

PROPAGANDA ATAS SYRIA YANG TENGAH HANCUR
SUMBER: http://cahyono-adi.blogspot.com.au/

Mungkin tidak banyak yang ingat tentang Jason Russell, pimpinan “Koni 2012″, sebuah program media yang mengeksploitasi emosi para remaja untuk kepentingan politik, yaitu mendorong dilakukannya intervensi militer Amerika atas Uganda. Setelah kebohongannya terbongkar di media internet, ia mengalami trauma hebat hingga berubah menjadi gila. Suatu saat ia berjalan di jalanan telanjang bulat dan memukuli apa saja yang ada di dekatnya.

Padahal sebelumnya Russell menjadi “idola” karena kepeduliannya pada anak-anak Uganda. Propaganda perangnya tentang kematian kontraktor CIA yang tewas bernama Joseph Kony sangat populer di situs-situs jejaring sosial ternama seperti Facebook dan Twitter. Media-media massa pun ramai pemberitakan profilnya. Namun setelah kebohongannya terbongkar dan ia menjadi gila, media-media massa ramai-ramai meninggalkannya seperti ia tidak pernah ada, menuju obyek-obyek berita menarik lainnya.

Dan cerita baru yang menarik perhatian media-media massa barat yang korup adalah Syria. Konflik di negeri ini memanas dan “masyarakat internasional” dituntut untuk melakukan aksi nyata terhadap Syria. “Assad membantai rakyatnya sendiri,” tulis mereka ramai-ramai tanpa data akurat dan konfirmasi. “Ini adalah bagian dari efek domino “Revolusi ARab”, pemberontak harus didukung dan Assad harus turun,” tulis mereka lagi.

Kebohongan propaganda itu telah berlansung berbulan-bulan tanpa henti. Suatu saat diselingi rumor miring tentang istri presiden Syria. Di hari lainnya “ibu-ibu Dharma Wanita pejabat barat” ramai-ramai membuat iklan terbuka meminta istri presiden Assad untuk membujuk suaminya turun dari jabatannya. BBC memuat foto pembantian massal Saddam Hussein yang diklaim sebagai foto Pembantaian Houla. Tidak lama kemudian koran terbesar Austria memuat foto rekayasa yang menggabungkan 2 foto terpisah menjadi 1 foto yang seolah-olah menggambarkan kondisi di Syria. Sementara berita tentang demo ratusan ribu pendukung Assad di Damaskus dan ribuan warga Bulgaria mendukung Assad luput dari perhatian. Seiring propaganda itu di lapangan para pemberontak yang sebagiannya adalah teroris Al Qaida, mengubah Syria dari negeri yang aman, damai dan sejahtera, menjadi medan perang.

Namun kemudian sesuatu terjadi. Beberapa jurnalis barat mulai menulis tentang kebenaran di Syria, asal muasal konflik dan motif di belakang konflik itu, serta kebenaran tentang siapa “oposisi” dan pemberontak sebenarnya.

Pada bulan Juni koran Jerman “Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ)” melaporkan bahwa peristiwa Pembantaian Houla tidak dilakukan oleh pasukan pemerintah, melainkan oleh para pemberontak dukungan NATO. Laporan itu dengan serta merta menghancurkan propaganda tentang “kekejaman pemerintah Syria”. Semangat menumbangkan pemerintahan Assad langsung tumbang karena didasarkan pada kebohongan. Kebrutalan pemberontak dukungan NATO menjadi jelas di mata masyarakat yang mau berfikir kritis.


MELAMBUNGNYA PERAN MEDIA ALTERNATIF.

Media-media mapan kini tidak lagi memonopoli “kebenaran”. Kebohongan “resmi” kini mendapat tantangan, kebenaran yang terpendam muncul ke permukaan dan terjaga. Tipuan pesulap terbongkar oleh teriakan di keramaian. Media alternatif global kini telah muncul menjadi mesin bagi perdamaian, kebebasan, pemahaman, dan kemurnian.

Bahkan figur-figur media mapan terpaksa mengakui bahwa mereka telah berbohong sepanjang waktu, dan pandangan-pandangan mereka bukan pandangan sebenarnya bagi masyarakat. Mereka kehilangan kontrol atas pikiran masyarakat, dan seperti Russel “Kony 2012″, mereka mulai kehilangan pikiran sendiri.

Sebenarnya para jurnalis media “mapan” telah menjadi gila dan kehilangan kendali atas kenyataan. Dunia mereka hancur berkeping-keping di sekeliling mereka dan kekuatan sementara mereka telah menghilang. Kebenaran terlalu kuat untuk dipaksakan. Media-media “mapan” telah melawan kekuatan kebenaran dan kalah.

Namun masih ada beberapa figur wartawan yang “selamat”. Seorang jurnalis Amerika menulis:
“Ada semacam pergeseran dalam pemberitaan media-media massa barat di Syria. Di Jerman misalnya, media telah menulis tentang “pemberontak” sebagaimana mereka adanya: mujahidin bayaran dan tentara bayaran asing. Komentator-komentator dalam media-media online kini jauh lebih kritis tentang propaganda yang dilakukan barat serta dukungan pemerintah terhadap oposisi.”

Generasi muda kini mencari media-media independen untuk mendapatkan kebenaran tentang hal-hal dan isu-isu menarik. Dalam prosesnya, pandangan mereka tentang dunia juga berubah dan propaganda serta kepalsuan pemerintah menjadi barang usang.

Kebenaran tentang Syria, sebagaimana kebenaran tentang Serangan WTC 9/11, boleh saja terpendam sementara tapi tidak untuk selamanya.

Penulis independen Tony Cartalucci mengatakan bahwa propaganda barat atas Syria telah mencapai tahap tidak terkontrol lagi sehingga hancur dengan sendirinya. Kebohongan-kebohongan telah terbongkar sebelum tujuan tercapai. Dan ini sebagian dari tulisan Cartalucci “US Treasury: Al Qaeda Runs Syrian “Rebellion””:

“Kini tampak bahwa legion asing Arab bentukan barat, Al Qaida, tengah mengalami kekalahan yang tidak mereka duga, bukan oleh pasukan anti-teroris barat, melainkan oleh tentara Syria di kota Aleppo. Dan dalam keputus asaan mereka mencoba menyelamatkan mereka dengan intervensi.”


Ref:
“Flipping The Script: The Western Media’s Syria Propaganda Is Falling Apart”; Saman Mohammadi; The Ugly Truth; 1 Agustus 2012.

____________________________________

Kenapa Harus Suriah?
SUMBER: http://www.mer-c.org/
Oleh: Dr Joserizal Jurnalis SpOT*

(Tiga tulisan (1 2 3) dari Relawan Medis MER-C yang saya gabung jadi satu
Suriah adalah negara dengan jumlah penduduk 22.517.750 orang (estimasi 2010). Komposisi penduduk berdasarkan agama: Muslim Sunni 74%, Muslim Alawi-Syiah-Druze 16%, Kristen dan lainnya 10%.

Presiden Suriah sekarang adalah Bashar Al-Assad menggantikan bapaknya, Hafesz Al-Assad, seorang Marsekal. Hafesz Assad adalah pemimpin Suriah yang keras dan diktator. Bersama saudaranya, Rifyad Assad, mereka membawa Suriah melalui masa-masa sulit terutama dalam perang enam hari tahun 1967.

Hafesz berhasil menangkap Ellie Cohen, seorang mata-mata Israel, yang menyusup ke pemerintah Suriah sampai menjadi teman dekat Hafesz. Hafesz menggantung Ellie Cohen walaupun dia diprotes banyak negara. Hafesz memberangus Ikhwanul Muslimin, banyak korban berjatuhan.

Tapi di sisi lain, dia juga mau menerima Hamas berkantor di Damaskus ketika negara-negara Arab tidak mau menerima mereka membuka perwakilan. Hafesz banyak menampung pengungsi Palestina, salah satu kamp yang pernah penulis bersama relawan MER-C kunjungi adalah kamp Yarmuk.

Bashar jauh lebih lembut dari bapaknya karena dia orang sipil (dokter mata?). Kesalahan Bashar adalah track record keluarganya yang keras dan diktator, tidak transparan soal keuangan negara dan belum mengembangkan proses demokrasi di negaranya.

Tapi kelebihannya, dia komitmen terhadap perjuangan rakyat Palestina dengan menyediakan tempat buat Hamas di Suriah dan mendukung penuh Hizbullah. Hamas (Sunni) dan Hizbullah (Syiah) didukung penuh oleh Bashar karena mereka adalah kelompok perlawanan (muqowwamah) terhadap Israel.

Penulis bersama relawan MER-C pada saat berkunjung ke Lebanon saat-saat akhir perang 34 hari tahun 2006, menyaksikan bahwa kantor Hamas berada di kompleks Hizbullah yang hancur dihajar Israel saat perang 34 hari. Ini sengaja penulis kemukakan untuk membantah bahwa Hizbullah pura-pura kerjasama dengan Hamas. Hizbullah berhasil mengalahkan Israel dalam perang darat tersebut.

Israel sangat serius memandang ancaman kedua kelompok perlawanan ini, karena secara kekuatan mereka bukan negara tapi dapat mengimbangi, bahkan mengalahkan Israel ketika Israel mulai melakukan serangan darat.

Tentu, Israel harus memikirkan bagaimana caranya melumpuhkan kedua kelompok perlawan bersenjata ini. Untuk Hamas, Israel melakukan kebijakan blokade Gaza karena Hamas memerintah di sini dan terus melakukannya sampai saat ini.

Untuk melumpuhkan Hizbullah, secara logika yang mudah saja, putus jalur pendukungnya. Jalur pendukung tersebut adalah Suriah. Oleh sebab itu, Suriah harus dikuasai secara politik. Ganti penguasanya!

Saat ini, di dunia Arab sedang ada tren mengganti penguasa yang sudah lama berkuasa dalam suatu gerakan Arab Spring dengan dalih untuk menegakkan demokrasi. Ini adalah road map-nya kebijakan luar negeri Amerika. Kita tahu kebijakan luar negeri AS ditentukan oleh badan-badan lobi Israel (AIPAC, ADL, CFR, Rand Coorporation, Bilderberg, dan lain-lain).

Dari penguasa yang sudah tumbang dan yang sedang diusahakan tumbang, Qaddafi dan Bashar mempunyai kontribusi besar untuk Palestina. Penulis menyaksikan sendiri bantuan Qaddafi bertruk-truk antre di Rafah Mesir saat Gaza diserang Israel tahun 2009.

Rencana penurunan Bashar ini semata-mata bukan persoalan Bashar demokratis atau tidak dan tiran atau tidak, karena ada penguasa Arab seperti ini tidak disuruh turun oleh AS, malah diajak kerjasama oleh AS untuk menurunkan Qaddafi dan Bashar. Israel menginginkan Bashar turun! Seperti biasa, Israel memperalat AS melalui kebijakan luar negerinya.

Bersamaan dengan semangat Arab Spring, Israel dan AS menunggangi isu ini untuk menurunkan Bashar. Supaya lebih efektif, isu ini ditambah tonasenya dengan isu sektarian, konflik Sunni-Syiah sama seperti Qaddafi yang disebut inkar sunnah.

Israel, AS, Arab Saudi, Qatar, Turki dan Eropa berada dalam satu blok melawan Rusia, Cina dan Iran dalam konflik Suriah ini. Rusia sangat berkepentingan melawan dominasi AS di Timur Tengah karena tinggal Suriah tempat berpijak Rusia setelah Libya jatuh ke tangan Barat. Selain itu, AS juga mengacak-ngacak Rusia dengan cara meletakkan perimeter anti-rudalnya di bekas negara Uni Soviet seperti Georgia.

Cina tidak mau ketinggalan dalam melawan AS. Setelah berhasil menahan hegemoni AS di bidang ekonomi, Cina diancam oleh AS melalui pergerakan angkatan laut AS di Pasifik. Cina saat ini berhasil menciptakan kapal perang anti-radar yang membuat AS khawatir.

Iran adalah negara yang tidak disenangi oleh Saudi Arabia, Qatar dan negara Arab lainnya karena berhasil melakukan Revolusi 79 menumbangkan Raja Reza Pahlevi yang juga sahabat penguasa Saudi Arabia.

Para raja-raja khawatir revolusi tersebut diekspor ke negara-negara mereka. Salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka, isu yang paling ampuh ditiupkan adalah Iran adalah negara Syiah bukan negara Islam karena Syiah sesat.

Iran mempunyai kepentingan yang besar di Suriah karena Bashar bisa menjamin jalur logistik Hizbullah. Israel dan Barat menggunakan segala cara untuk menurunkan Bashar, termasuk mempersenjatai oposisi dengan senjata berat. Di sinilah peranan Saudi Arabia, Qatar dan sedikit Turki.

Israel dan Barat juga menggunakan media dan PBB untuk membantu mereka. Hal ini mulai terlihat ketika terjadinya pembantai 25 Mei di Houla, Suriah. Korban adalah penduduk sipil termasuk anak-anak dan wanita.

BBC langsung menampilkan foto tumpukan korban pembantaian yang sudah dibungkus kain kafan. Ternyata kemudian terkuak foto tersebut adalah foto korban pembantaian di Irak tahun 2003. Untung pengambil fotonya, Marco Di Lauro, mengenali foto tersebut dan memprotes BBC. Pertanyaannya apakah ini keteledoran atau bagian dari kampanye anti-Bashar?

UN Commisioner for Human Right membuat tuduhan bahwa yang melakukan pembantaian tersebut adalah milisi yang loyal dengan Bashar, yaitu Shabiyya. Padahal, mereka hanya dapat info dari orang lokal via telepon.

Menurut UN Security Council, korban di Houla adalah akibat tembakan artileri dan tank pada hari Ahad, 27 Mei 2012. Tapi pada hari Selasa 29 Mei, diralat oleh UN High Commission for Human Right bahwa korban ditembak dari jarak dekat dan digorok lehernya. Tapi tuduhan tetap ke milisi pro Bashar.

Kemudian terkuak bahwa yang terbunuh itu adalah pendukung Bashar. Bagaimana mungkin sesama pendukung Bashar saling bunuh. Tampak dengan jelas bagaimana media dan PBB berusaha memperkeruh situasi supaya AS dan NATO dapat melakukan intervensi dengan payung PBB atas nama kemanusiaan.

Konflik belum selesai, kita lihat bagaimana permainan Israel ini berjalan.

* Dr Joserizal Jurnalis SpOT Relawan Medis MER-C

____________________________________

Orange County’s Islamophobic judgment on the Irvine 11
SOURCE: Crescent International
By Zainab Cheema

The drama of the Irvine 11 came to a close in an exercise of farce on 9-23-2011. Eleven Muslim students were tried in a Santa Ana, California court for heckling Israeli Ambassador Michael Oren during a February 2010 event at the University of California, Irvine. Guilty with a caveat — Orange Country District Attorney Tony Rackauckas slapped the students with the verdict of criminal misdemeanor but let them off with sentences of community service.

A political trial is a burlesque that is used to titillate and shape public discourse in expedient ways. The state of California has publicly criminalized the students — as the LA Times pointed out, at every job interview, they will have to answer “yes” when employers ask them whether they have been legally charged with a crime. Certainly, the punishment is a token (56 hours of community service and three years’ probation, which will be reduced to one year on early completion of community service). But it illustrates a particular objective at hand: political scapegoating, rather than addressing a bona fide legal concern meriting the intervention of the county and state bodies of law. “What a waste of tax dollars,” noted Muslim Public Affairs Committee’s (MPAC) Salaam al-Marayati, “in the 300 potential jurors that had to be selected for a misdemeanor jury trial.”


Nine of the Irvine 11 students who are accused of “illegally” disrupting a speech by Israeli Ambassador Michael Oren, at UCI last year, are seen before the start of the closing arguments trial session9-19-2011. From left: Aslam Traina, Asaad Akhtar, Osama Shabaik, Khalid Akari, Ali Sayeed, Taher Herzallah, Shaheen Nassar, Mohamad Abdelgany, Mohammad Qureashi.

Let us turn to the libretto in order to parse out the plot. Following the global condemnation raised by Israel’s 2008–2009 massacre of Gaza, Israel embarked on a whirlwind public relations campaign in order to mend its tarnished image. The Goldstone Report provided an official, legalistic mouthpiece for worldwide anger against Israel, and all of King Netanyahu’s horses and all of his men scoured public forums in the US and Europe, sounding the panicked refrain of Israel’s security.

The University of California at Irvine (UCI) Muslim Student Union, one of the most activist Muslim student groups in the country, strongly identifies with the Palestinian cause, even organizing an Anti-Apartheid week every year to inform the UC student community about the issue. The Jewish Student Union (JSU) competes with the MSU on the issue, to the point that altercations have broken out between the two groups. In inviting Israeli ambassador Michael Oren to campus in the wake of the Gaza massacre, the JSU was self-consciously declaring a challenge to its rival. Records indicate that even Oren was aware, before arriving at the venue, that his presence would spark considerable opposition.

During Oren’s talk, 11 Muslim students interrupted him with disciplined, organized statements of protest. “Propagating murder is not an expression of free speech,” stated one. “You, sir, are a war criminal,” declared another. After this, they peacefully allowed campus security to lead them outside the hall.

Oren’s talk was attended by not only the Jewish Student Union, but also by some members from Irvine’s wealthy, influential Jewish community. While the actions of the Irvine 11 have been scrutinized ad infinitum, what hasn’t been discussed in the media is the behavior of the Zionist residents of Orange County and LA attending the event. The Muslim students in the audience were mocked and screamed at by these sedate, upstanding citizens. Students later spoke of their shock at elderly people shredding their own dignity and telling them, “Do the world a favor, become a suicide bomber,” and “You are animals and primates.” Muslim students in the hall were pointed out, heckled and harassed by the audience members resorting to the kind of foul language and racist vitriol that should have instantly merited a response from the University.

Quite the reverse — Oren’s talk was co-sponsored by the Department of Political Science and the School of Law, and their respective deans in attendance expressed anger against the Muslim students but contentedly turned a blind eye against the elderly Jewish community members harassing the Muslim students. In its public references to the incident, administrators of the powerful 23-campus UC system indicated early on that it was gearing up for a smear campaign.

In a letter released shortly after the February 2010 incident, UC President Mark Yudoff made overt comparisons between the MSU’s acts of civil disobedience and chilling incidents of racism such as students hanging a KKK-style noose in the library or wearing blackface at a social event. “These are the worst incidents of racism I have seen on campuses in 20 years,” wrote Yudoff sanctimoniously, “I understand that students don’t feel safe, they don’t feel comfortable on their campuses.” A May 27 letter sent by Lisa Cornish, senior executive director of Student Housing, charged the MSU with “disorderly or lewd conduct,” “participation in a disturbance of the peace or unlawful assembly” and “violation of local, state or federal laws.”

The heavy legal language in official University correspondence was akin to a workout before a boxing match, and indeed, despite petitions and protests from the University community at large (fellow students groups, graduate students, and professors expressing support for the MSU), the University went ahead and delivered the punch. UC suspended the MSU for an academic quarter and sentenced the students to heavy rounds of community service. Lawyer Reem Salahi pointed out that the University was collectively punishing the entire Muslim student organization for the Irvine 11, reflective of “the current post-9/11 climate where Muslims are granted less rights and disproportionately punished.” And indeed, psychological punishment was delivered via threats of suspending the Irvine 11 students.

In short, the University emphatically declared its partisanship with Zionist power groups reacting to the presumption of Muslim American students in believing that they have an equal voice with which to protest Zionist war crimes. Shalom Elcott, CEO of the Jewish Federation of Orange County.

didn’t even bother to conceal the links between American Zionist influence and the University’s decision. He smugly announced that his organization “worked with the University to resolve the issue.” Nor was Zionist blowback to the Irvine 11 localized to the Orange County community — national organizations like the Zionist Organization of America began to pressure the University, launching a public relations campaign for Jewish donors to stop contributing funds to UCI.

But the matter wasn’t allowed to rest with the University breaking protocol to take punitive action against a student group. The Orange County local government entered into the joust for Oren’s honor, charging the students with criminal misdemeanor for conspiring to hinder someone else’s right to free speech. It was perhaps lost on them that this concern for Oren’s free speech fantastically draws an equivalence between an Israeli ambassador enjoying all the pomp and circumstance of diplomatic immunity, political influence, and media adulation, and marginalized University students struggling to both gain an education and speak truth to power.

Such was the outrage of the Zionist lobby that the State of California, facing a snowballing economic crisis, was impelled to pump out the requisite budget for an elaborate show trial. A search warrant was handed to Google, delivering the MSU students’ personal emails in the hands of the prosecutors. Even as the prosecutor began constructing a pillory from the paper trail numbering hundreds of document, he slapped the Irvine 11 and any other trial participants with a gag order that would prevent them from presenting their point of view in the media.

When the Santa Ana court delivered its September 2011 verdict, it became clear to numerous groups across California and the US at large, that the Irvine 11 prosecution had degenerated into a witch-hunt. “The students were in the wrong, but there’s such a thing as proportion,” commented the LA Times op-ed, “…if college students faced criminal charges every time they misbehaved, we could fill the jails with undergraduates.” The LA Times went on to characterize the county’s prosecution as “over the top.” “The whole sad affair has been taken too far when it could have been — and was — handled more appropriately by university officials,” it concluded

The perception that the Orange County prosecutors had gone too far was widespread. “Except in the case of serious felonies, I object to the town/gown version of double jeopardy, in which punishments occur both on and off campus,” wrote Cary Nelson, president of the American Association of University Professors.

Others pointed to Jewish exceptionalism as motivating the trial as an act of revenge for Muslim students daring to publicly criticize an Israeli official. “This is a shameful day for the legal system and the Jewish communal leaders who actively supported this unfair railroading of young Muslim students and unprecedented attack on everyone’s right to free speech,” noted Jewish Voice for Peace in a statement, “How can it be that the Israeli ambassador enjoys more rights in the United States than do young Muslim citizens?” Even The Orange County Register criticized what it felt was the “arbitrary” use by the court of the First Amendment to quash the students, wondering if the district attorney would have filed criminal charges against individuals who “had interrupted a campus lecture on chemistry or biophysics.”

On the other hand, Zionist groups and Christian evangelists voiced their satisfaction with the verdict, while remaining wary of the blowback to the extremity of these proceedings. “The verdict was just announced a few hours ago, but, predictably, the Irvine 11 have already been turned into hero-martyrs all over the web,” complained the Evangelical Outpost. Even the right-wing Jerusalem Post saw fit to weigh in on the issue, calling the September 23 verdict “eminently reasonable” but expressed outrage on “reactions to the decision reflect[ing] either a shaky grasp of the meaning of the First Amendment to the US Constitution or a deliberate attempt to… disparage and delegitimize Israeli policies.”

The Irvine 11 has since announced its attention to appeal the decision, but the ramifications of the case to US politics, culture and academia are still open to interpretation. The local context of ethnic discord cannot be ignored, of course. California’s lush Orange County (one of the most expensive places to live in the country) has been the site of religious conflict between powerful and monied Jewish and Muslim communities, which has certainly spilled out onto UCI campus life.

UCI’s Muslim Student Union has long claimed a spot in the news for its brand of uncompromising activism on the Israeli-Palestinian issue, and Zionist organizations operating in Orange County and nation-wide have long sought for a way to muffle them. Oren’s embarrassment, coupled with the UC system facing economic hard times with the imploding Californian economy, provided such groups the perfect opening to neuter the MSU and make them into a cautionary tale for student activism across the country. While Muslim advocacy organizations like CAIR, MPAC and the like have championed the Irvine 11, they remain limited in their resources, abilities, and reach. Against Oren and his place in a political culture where the US Congress reveres the Prime Minister of Israel more than their own elected president, they face an unequal contest.

The Irvine 11 saga also illustrates the growing obviousness of the moral bankruptcy of university administrations across the country, increasingly beholden to the US military industrial complex. Since the storied 1960 US university protests against the Vietnam War, the Pentagon, CIA and other militarized wings of the government have actively sought to dismantle the universities as a place of social critique.

The strategies have ranged from providing university science and tech departments with stratospheric budgets for military research, plugging up the money designated for liberal arts, and creating campus watch organizations to closely monitor Marxist and Islamic influences. It is not at all ironic that Michael Oren’s biography proudly states that he has taught at Yale, Columbia, and Georgetown. Post-9/11 politics accelerated the surveillance/militarization of the university, with the likes of Steve Emerson and Daniel Pipes commissioned to purge academic life of influence from Arab and Muslim professors and students.

Wall Street has also claimed its stake in the American academy, with top Wall Street financiers winning top spots on universities’ boards of regents and financial advisory panels. Wall Street’s influence on the academy has led to the privatization of US education, signaled by soaring tuition costs and replacing student grant with interest-heavy loans. The University of California, which originated as the US’ most innovative public education project, has now tipped the scale toward becoming a private institution whose prohibitive costs are blocking out low-income (and often, minority) students, who a few years ago would have been able to afford a higher-quality education at a fraction of the cost.

Massive student protests broke out against the UC Regents in 2009 when it announced an 8% percent tuition hike for undergraduates. While the university responded in typical draconian fashion, arresting students and calling out the police in full force, no one was slapped with charges of criminal misdemeanor (side note: is protesting against Oren a greater offense than yelling slogans at the regents, and smashing the windows of the administrative buildings?). The University only responded with an additional 9% tuition hike in June 2011, while slashing budgets of key programs and student services.

UCLA student Alex Jreisat noted that these increases will force him to borrow more money and go deeper in debt. “It’s tragic that the regents keep balancing the budget on the backs of students,” he said. Certainly, the California state government, increasingly influenced by the Orange County Republican power base (fountainhead of the Republican electoral rebirth since the good old days of Ronald Reagan), has played the role of cheerleader for this marauder-style privatization. It is an open secret that University officials are mere overseers for the Wall Street boardsmen. When the New York Times interviewed Yudoff in 2009, questioning why he as the President of the University of California system needed $800,000+ yearly paycheck when the President of the United States makes roughly $400,000, his quip was a model of self-indulgent bad taste. “Throw in Air Force One and the White House,” he said, and I’ll consider reducing my paycheck.

So, in final sum, there are no surprises. The UCs, which have so blithely signed away the trust of public education to its Wall Street boardsmen, would certainly not hesitate to turn its back on the rights of Muslim students who trusted in the values that the academy poses for —freedom of speech, community activism, and commitment to ideals. No surprise then, that UC would be concerned about the “free speech rights” of Michael Oren to the extent it would railroad over the rights of its own students. No surprise, too, that the Orange County legal apparatus would allow itself to be transformed into a tool of discipline and punishment for Muslim students and their tax-paying families on behalf of a foreign official.

What is unfortunate is that the debate over the Irvine 11, including arguments made by the students’ defense, has focused so narrowly on the issue of free speech. It is not about the freedom to speak, it is about the insider-status of the speaker that gives his or her words the gloss of legitimacy. As public universities sell away the future of their students, and as state governments trade out the livelihoods of the residents, the tale of the Irvine 11 becomes part and parcel of the saga of how the US demonstrated its willingness to sacrifice the rights of the many for the privileges of the few.
________________________________________

Ini Dia Cara-cara Spionase CIA di Lebanon.
SUMBER: Republika


REPUBLIKA.CO.ID,Pada perang 33 hari antara gerakan muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) dan Israel, Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA) berupaya menjalin kontak langsung dengan para pejabat keamanan Lebanon dan para panglima Hizbullah. Pada saat itu, CIA ingin mendapatkan akses dengan para panglima tinggi Hizbullah dan meneror mereka.

Farsnews mengutip koran al-Akhbar terbitan Lebanon menyebutkan, Jurubicara Kedutaan Besar Amerika Serikat di Lebanon, Ryan Gilha, mereaksi pidato terbaru Sekjen Hizbullah, Sayid Hasan Nasrullah, dan menilainya infaktual. Gilha menolak pernyataan Sayid Nasrullah soal aksi spionase CIA di Lebanon.

Koran beroplah besar di Lebanon itu menambahkan, di sektor keamanan Lebanon, diyakini bahwa CIA telah menggulirkan berbagai aktivitas spionase di dalam negeri Lebanon. Bahkan para pejabat keamanan Lebanon berpendapat bahwa CIA memiliki banyak mata-mata di Lebanon.

Seorang pejabat keamanan Lebanon menyinggung masalah tersebut dengan nada gurau dan mengatakan, “Jika semua mata-mata yang ada di Lebanon harus ditangkap, maka penjara negara ini tidak akan mampu menampung para mata-mata Barat khususnya yang bekerja untuk Amerika Serikat.”

Fakta menunjukkan bahwa seluruh jaringan telpon dan komunikasi di Lebanon telah disusupi oleh Amerika Serikat dan Israel. Tidak hanya itu, CIA juga beraktivitas di sektor politik, ekonomi, dan bahkan budaya di Lebanon. Lembaga-lembaga keamanan Lebanon menyatakan terdapat puluhan lembaga afiliasi CIA di Lebanon yang melanjutkan aktivitas mereka dengan leluasa dan tanpa rasa khawatir. Banyak dari kriminal yang tertangkap di Lebanon mengaku mereka memiliki kerjasama dengan Amerika Serikat.

Sebagai contoh, pada tahun 2007 lalu, Direktur CIA di Beirut, melobi para pejabat Lebanon agar bersedia membebaskan seorang tahanan anggota kelompok teroris Fathul Islam. Padahal oknum tersebut, merupakan pemimpin kelompok teroris Fathul Islam yang bagi militer Lebanon, penangkapannya merupakan sebuah keberhasilan.

Al-Akhbar menjelaskan, dalam mencari informasi, para antek-antek CIA bersikap sombong dan arogan. Mereka dapat mengorek informasi dari berbagai tokoh politik Lebanon tanpa berusaha menutupi. Misalnya pada perang 33 hari, para mata-mata Lebanon berusaha mengorek informasi tentang tingkat hubungan antara pejabat keamanan Lebanon dan para panglima Hizbullah. Mereka menanyakan sejauh mana tingkat hubungan antara para pejabat Lebanon dan panglima Hizbullah dan seperti apa mekanismenya. Dengan informasi tersebut, CIA dapat menyusun rencana untuk meneror mereka.


Cara Merekrut Mata-Mata.

Al-Akhbar menyebutkan bahwa cara Kedutaan Besar Amerika Serikat dan CIA dalam merekrut mata-mata di Lebanon adalah dengan membujuk orang-orang yang mengajukan visa. Sebagai contoh, pada tahun 2008, seorang warga Lebanon mengajukan permintaan visa dan beberapa hari kemudian, ia mendapat telpon dari seseorang untuk bertemu di kawasan Awkar (wilayah kedubes AS).

Dalam pertemuannya dengan pihak penelpon itu, warga Lebanon tersebut diminta untuk mengumpulkan beberapa data mengenai Emad Mughniyeh (seorang komandan Hizbullah) jika ingin mendapat visa.

Nato: Bantai 9 Bocah Afghanistan Cukup dibayar Dengan “Ma’af” !

______________________________________

Bunuh Sembilan Bocah Afghanistan, tak Cukup Hanya Minta Maaf’
SUMBER: Republika


REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Permintaan maas NATO dan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama atas meninggalnya sembilan warga sipil di Afghanistan ditanggapi dingin Presiden Afganistan Hamid Karzai. Ia mengatakan permintaan maaf bagi sembilan anak korban serangan udara NATO tidak lah cukup.

Hal itu disampaikan dia saat merespon permintaan maaf dari komandan NATO Jendral David Petraeus dan Barack Obama. “Atas nama rakyat Afganistan, saya menuntut agar pembunuhan warga sipil dihentikan.” tuturnya dalam pertemuan kabinet yang dihadiri oleh komandan NATO, Petraeus, Ahad (6/3).

Pada Selasa (1/3) kemarin sembilan anak tewas saat mereka mengumpulkan kayu di propinsi Kunar. Pilot pesawat Amerika mengira mereka para pemberontak dan melancarkan tembakan dari udara.

Sementara itu, demo yang diikuti oleh 500 orang digelar di ibukota Kabul bagi sembilan anak tersebut. Korban warga sipil merupakan masalah yang sensitif di Afganistan. Kematian warga sipil telah menjadi sumber ketegangan antara pihaknya dan pihak AS serta NATO.


Logika AS: Ada Diktator Baik dan Buruk.


AS benar-benar kebingungan menyikapi fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di negara-negara Arab. Ini merupakan problema utama AS. Jika mendukung diktator-diktator Arab, Washington akan kehilangan kredibilitasnya di mata dunia. Pada saat yang sama, bila Gedung Putih menentang mereka, itu sama halnya dengan mendiskreditkan kroni-kroni mereka sendiri.

Apa yang harus dilakukan AS di tengah krisis seperti ini? Dalam logika politik Washington, ada istilah diktator baik dan diktator buruk. Logika inilah yang membuat AS harus bersikap standar ganda dalam menyikapi gejolak di negara-negara Arab.

Di Bahrain, AS bersikap lebih lembut dalam menyikapi gejolak rakyat negara ini. Meski demikian, Washington tetap mengkritik rezim Bahrain yang bersikap anarkis dalam mereaksi para pendemo pro-demokrasi. Namun kadar kritikannya hanya sekedar basa-basi.

Mengapa Bahrain tidak disikapi keras oleh AS? Jawabannya sangatlah jelas. AS menganggap Bahrain sebagai mitra baik. Apalagi rezim Bahrain menfasilitasi AS untuk mendirikan pangkalan militer. Tentunya, gejolak di Bahrain akan merugikan kepentingan AS. Dualisme Washington juga dapat disaksikan pada sikap para pejabat Washington yang cenderung pro-kontra menyikapi Revolusi Rakyat di negara-negara Arab.

Kepada Bahrain, Presiden AS, Barack Obama memilih bungkam dalam menyikapi rezim Bahrain. Sementara itu, Libya menjadi sasaran kritik dan kecaman langsung dari Presiden AS.

Beluma lama ini, Penasehat Keamanan Nasional AS mengontak Raja Bahrain dan mengapresiasi langkah rezim Bahrain dalam menyikapi para pendemoa. Dikatakannya, “Bahrain termasuk mitra baik AS, dan di negara ini ada pangkalan angkatan udara AS.”

Terkait Libya, para diplomat Washington dalam pertemuannya dengan para pejabat Tripoli menyampaikan kritik pedasnya atas kekerasan Muammar Gaddafi dalam menyikapi unjuk rasa para pendemo pro-demokrasi. Philip Crowley, Jubir Kemenlu AS, termasuk pejabat yang bersikap keras dalam menyikapi gejolak akhir-akhir ini di Arab.

Meski AS menuding Libya sebagai negara yang mendukung terorisme, tapi Washington tetap menjalin hubungan diplomatik dengan negara ini pada tahun 2009. Yang jelas, kritikan-kritikan keras Washington terhadap dunia Arab membuat AS kehilangan keseimbangan. Menurut analisa pengamat Timur Tengah, Dina Y Suleiman, Gaddafi adalah tipe lain mitra AS yang berkesan anti-imprealisme. Hal itu juga jelas dengan pidato Gaddafi beberapa hari lalu. Dalam pidatonya. Gaddafi malah menakut-nakuti Barat bahwa gejolka di Libya akan melahirkan kekuatan Islam baru. Dengan cara ini, Gaddafi berupaya menjustifikasi pemberantasannya terhadap para pendemo di Libya.

Menyusul gejolak di Tunisia setelah beberapa dekade di bawah rezim Ben Ali, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan anti-rezim ini. Padahal sebelumnya, tidak ada suara sumbang terkait Tunisia dari Negeri Paman Sam. Setalah Ben Ali tergulingkan, AS menyatakan bahwa masalah yang harus diperhatikan di negara ini adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh rezim Ben Ali.

Dari sisi lain, dualisme Washington terhadap femonena di negara-negara Arab menimbulkan ketegangan tersendiri dengan Arab Saudi. Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz menyatakankecewa atas sikap Washington malah memojokkan posisi Hosni Mubarak. Semenjak awal, Arab Saudi bersikap membela diktator-diktator Arab, bahkan negara ini bersedia menjadi tempat perlindungan para diktator.

Menanggapi gejolak di Bahrain, Riyadh meminta Manama supaya memberantas para pendemo pro-demokrasi. Lebih dari itu, Riyadh bahkan menggandeng Qatar masuk ke wilayah Bahrain memberantas para pendemo. Hal inilah yang membuat AS lebih memilih bungkam dalam menyikapi Revolusi Rakyat di Bahrain.

Di tengah kondisi seperti ini, AS terpaksa harus menklasifikasi rezim di negara-negara Arab menjadi diktator baik dan buruk . Dengan cara ini, politik dualisme AS dapat diterapkan di negara ini. Akan tetapi klasifikasi ini jelas tidak valid dari sisi politik sehat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Diktator tetaplah diktator. Barang buruk tetaplah buruk. Untuk itu, diktator tidak dapat dipaksakan untuk menjadi barang yang bukan buruk. Apalagi diktator ini dipaksakan menjadi diktator baik dan buruk.

(Republika/My-Artikel/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: