Oleh: Ahamad Syafii Maarif
Ada ungkapan yang populer di kalangan
kaum pembaru Muslim sejak abad ke 19. “la’natu Allah’ ala al-siyasati”
(laknat Allah atas politik kekuasaan). Saya belum berjumpa sumbernya,
siapa pencipta pertama kali ungkapan ini, tetapi tidak akan jauh dari
Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan
tokoh-tokoh lain di sekitarnya.
Abad ke-19 adalah puncak kejatuhan
negeri-negeri Muslim ke tangan Eropa yang dimulai sejak abad ke-16.
Hanya empat yang masih tersisa: Turki, Iran, Afganistan, dan Arab Saudi.
Namun, Turki dalam keadaan sakit, Iran berada di bawah pengaruh Inggris
dan Rusia, Afganistan negeri miskin dan terbelakang, dan Saudi masih di
bawah Turki Usmani.
Para pembaru itu mengamati dengan getir
suasana pilitik di dunia Islam di tangan para penguasa yang
tunamartabat, lemah dan tunavisi. Al-afghani adalah tokoh yang paling
tajam sorotan matanya dalam membaca situasi umat yang sedang sekarat
itu.
Oleh sebab itu, baginya, satu-satu nya
jalan yang terbaik adalah membebaskan dunia Islam dari cengkeraman kuku
penjajah Eropa yang lagi naik daun itu. Cita-cita mulia itu baru menjadi
kenyataan seluruhnya pasca-Perang Dunia (PD) II di saat al-Afghani dan
Abduh telah lama berkalang tanah. Indonesia termasuk bangsa Muslim yang
merdeka beberapa hari setelah PD II.
Dalam perspektif penjajahan, Amerika
serikat adalah pendatang baru dalam petualangan imperialism Barat.
Negara ini hanyalah mendapatkan Filipina yang direbut dari spanyol pada
1898. Sementara Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Italia, dan belanda
telah mendahuluinya sekitar tiga abad sebelumnya.
Dalam konteks ini, Amerika adalah Negara
imperialis kesiangan. Itulah sebabnya ia ingin balas dendam yang sampai
hari ini dengan segala cara dan tipu, seluruh dunia ini, termasuk dunia
Islam, mau dikangkanginya. Namun, dunia tidak sebodoh itu. Amerika
nyaris kehilangan sahabat di muka bumi.
Rezim Barack H Obama dengan segala
kelemahannya menghadapi Israel, dibandingkan rezim George Bush ada
sedikit kemajuan. Terakhir ini adalah pendekatan masalah nuklir dengan
Iran di bawah presiden Hassan Rouhani ( menduduki jabatan mulai 3
Agustus 2013 ) yang moderat, sangat kontras dengan pendahulunya si
burung elang Mahmud Ahmadinejad ( berkuasa 3 Agustus 2005- 3 Agustus
2013 ).
Kekayaan minyak Saudi, Iran, dan Irak
telah lama menjadi incaran Amerika, Iran di bawah rezim Shahinshah Reza
Pahlevi adalah sahabat Amerika yang terdekat, sampai Ayatullah Khamenei
mengusirnya pada 1979. Amerika dan Israel kalang kabut. Selama 34 tahun
hubungan Amerika-Iran membeku dan bermusuhan.
Di mata Khamenei, Amerika adalah setan
besar. Iran dikenakan sangsi ekonomi yang cukup berat dirasakan oleh
rakyatnya. Mengikuti jejak Presiden Muhammad Khatami, Presiden Rouhani
ingin melepaskan Iran dan Isolasi Barat dengan kesediaan merundingkan
proyek nuklirnya yang merisaukan Amerika dan Israel.
Ada ketidak adilan dalam masalah nuklir
ini. Israel dibiarkan punya nuklir, Iran dilarang. Sekiranya Reza
Pahlevi masih berkuasa, boleh jadi Iran tidak akan dihalangi
mengembangkan proyek nuklirnya. Sebab, Israel tidak merasa terancam
karena Amerika sama-sama telah jadi bapak angkatnya.
Selama bertahun tahun, Pahlevi adalah
kacung Amerika di kawasan itu, seperti halnya Saudi sekarang ini, bagi
Amerika, tidak peduli, selama kepentingan nasionalnya terjamin, dia akan
“bersahabat” dengan Negara manapun, yang anti demokrasi, korup, dan
penindas rakyat. Iran tentunya akan cukup hati-hati berhadapan dengan
Amerika, sekalipun pada 24 November 2013 sudah ditandatangani
persetujuan sementara tentang program nuklirnya yang menggelisahkan
Barat dan menakuti Israel itu.
Persetujuan sementara ini dilakukan di
Jenewa antara Iran dan Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Amerika,
Rusia, Inggris, Perancis, dan Cina plus Jerman. Negara yang paling dikit
kepala akibat dari persetujuan ini adalah Israel. Benyamin Netanyahu
dengan marah mengatakan bahwa persetujuan itu adalah “ sebuah kesalahan
sejarah”.
Tidak saja Israel, Saudi pun risau karena
khawatir posisi Iran akan semakin menguat di kawasan itu. Sebagaimana
kita sudah maklum, Iran dan Saudi sudah lama berebut hegemoni untuk
menjadi yang dipertuan di wilayah panas yang sarat konflik itu. Saudi
jelas tidak senang jika Iran berdamai dengan Amerika.
Dalam persaingan politik kekuasaan,
sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka tuan dan puan jangan
terkejut jika suatu saat Arab Saudi main mata dengan Israel demi
menghadapi Iran. Terbetik berita pertemuan berkali-kali Kepala Intelijen
Saudi Pangeran Bandar bin Sultan dengan Kepala Intelijen Israel
(Mossad) pada 27 November di Jenewa adalah indikator awal dari permainan
mata itu.
Alangkah sulitnya kita menggunakan
perintah agama yang sangat tegas tentang doktrin persaudaraan universal
antara sesama bangsa Muslim. Saudi Muslim, Iran Muslim, apapun mazhab
teologi yang dianut. Konflik karena perbedaan mazhab yang telah berusia
ratusan tahun itu, mengapa tetap saja dilanjutkan, bahkan diberhalakan?
Di mana kita menempatkan Alquran, sebuah kitab suci yang tidak ada
duanya di muka bumi, mengapa pesan-pesannya tentang persaudaraan hanya
dianggap sebagai angin lalu? Manakala ajaran agama tentang hubungan baik
sesama Muslim tidak lagi dihiraukan, janganlah bermimpi bahwa dunia
Islam akan diperhitungkan pihak lain.
Kita akan tetap saja berada di kawasan
pinggir peradaban, karena suasana batin umat ini masih saja rapuh di
tengah-tengah jumlah mereka pada tingkat global yang semakin membengkak
secara kuantitatif. Jumlah besar minus kualitas bisa menjadi beban
sejarah, dan kenyataan semacam itulah yang berlaku selama ini.
Al-Afghani sepanjang karier hidupnya yang
selalu diincar bahaya telah diabdikannya untuk penyatuan dunia Islam,
tanpa mau diributkan oleh gesekan mazhab yang berketiak ular. Mengapa
faksi Sunni dan faksi Syiah tidak mau mencontoh sosok pemersatu ini?
Bukankah sunnisme dan syiisme semata-mata buatan sejarah yang tidak
pernah hadir di zaman Nabi?
Kembali ke masalah persetujuan nuklir
Iran yang diapresiasi dunia itu, tetapi yang dilawan oleh Israel. Gilad
Atzmon (nama yang sudah sering muncul di ruang ini), mantan Zionis, via
TV, memberikan kritik keras kepada Israel dan kekuatan lobinya di
Amerika karena mereka “Gagal memahami bahwa dunia sedang mengatakan
kepada mereka `enough is enough(cukup sudah). “Kami tak ingin lagi
melihat perang Yahudi. Kami tidak akan mengebom Iran untuk kepentinganmu
(Israel).”
Gilad juga mengomentari sikap umat Yahudi
Iran yang dinilai patriotik dan autentik karena mendukung program
nuklir Iran. Menurut Gilad, sikap Yahudi Iran yang semacam ini jarang
terjadi.
Tokoh Yahudi lain yang tak kurang
garangnya adalah Uri Avnery, mantan anggota parlemen Israel, anti
Zionisme, dan sahabat Yasser Arafat. Dalam The Palestine Chronicle,
tertanggal 2 Desember 2013, Avnery menulis, “Bahaya terbesar bagi Israel
bukanlah bom nuklir Iran yang diduga itu. Bahaya terbesar adalah
kebodohan pemimpin-pemimpin kita.” Dilanjutkan, “…Benjamin Netanyahu dan
hampir seluruh politisi mapan Israel telah meraih rekor baru dalam
kebahlulan (foolishness).”
Kemudian Avnery memuji sikap Iran di
bawah Presiden Rouhani yang telah membuka diri bagi pro gram nuklirnya.
Kita kutip, “Iran adalah pemenang besar. Ia telah disambut hangat karena
telah kembali ke lingkungan keluarga bangsa-bangsa beradab. Mata
uangnya, rial, membubung. Prestise dan peng aruhnya di kawasan itu
melonjak tinggi. Musuh-musuhnya di dunia Islam, Saudi Arabia dan
negara-negara Teluk, telah terhina. Serangan militer apapun, oleh siapa
pun atasnya, termasuk oleh Israel, menjadi tidak masuk akal.”
Tokoh tua dalam usia kepala delapan, se
misal Avnery, telah lama risau dengan Zionis Israel yang buta sejarah,
tidak hirau dengan pendapat dunia. Pertanyaan krusial yang segera muncul
adalah apakah Amerika Serikat, demi menjaga hubungannya dengan
bangsa-bangsa beradab di dunia, mau mengorbankan Israel yang dimanjakan
selama ini? Belum bisa dijawab, masalahnya kompleks sekali. Tetapi yang
pasti, sikap berbaik dengan Iran haruslah dibaca dalam konteks
kepentingan nasional Amerika, tidak lebih dari itu.
Bangsa-bangsa Muslim semestinya harus
tetap waspada terhadap negara imperialis ke siangan ini. Saudi dan Iran
semestinya lebih mementingkan Islam di atas segala-galanya, bukan
memberhalakan nasionalisme masing-masing yang telah melumpuhkan suasana
persaudaraan umat dalam kurun waktu yang panjang. Al-Afghani, `Abduh,
dan para penerusnya sangat terluka oleh persaingan biadab antar bangsa
Muslim yang tidak kunjung reda.
(Republika/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email