Pesan Rahbar

Home » » Amerika, Iran, Israil, dan Saudi

Amerika, Iran, Israil, dan Saudi

Written By Unknown on Wednesday, 13 August 2014 | 23:51:00


Oleh: Ahamad Syafii Maarif

Ada ungkapan yang populer di kalangan kaum pembaru Muslim sejak abad ke 19. “la’natu Allah’ ala al-siyasati” (laknat Allah atas politik kekuasaan). Saya belum berjumpa sumbernya, siapa pencipta pertama kali ungkapan ini, tetapi tidak akan jauh dari Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan tokoh-tokoh lain di sekitarnya.

Abad ke-19 adalah puncak kejatuhan negeri-negeri Muslim ke tangan Eropa yang dimulai sejak abad ke-16. Hanya empat yang masih tersisa: Turki, Iran, Afganistan, dan Arab Saudi. Namun, Turki dalam keadaan sakit, Iran berada di bawah pengaruh Inggris dan Rusia, Afganistan negeri miskin dan terbelakang, dan Saudi masih di bawah Turki Usmani. 

Para pembaru itu mengamati dengan getir suasana pilitik di dunia Islam di tangan para penguasa yang tunamartabat, lemah dan tunavisi. Al-afghani adalah tokoh yang paling tajam sorotan matanya dalam membaca situasi umat yang sedang sekarat itu.

Oleh sebab itu, baginya, satu-satu nya jalan yang terbaik adalah membebaskan dunia Islam dari cengkeraman kuku penjajah Eropa yang lagi naik daun itu. Cita-cita mulia itu baru menjadi kenyataan seluruhnya pasca-Perang Dunia (PD) II di saat al-Afghani dan Abduh telah lama berkalang tanah. Indonesia termasuk bangsa Muslim yang merdeka beberapa hari setelah PD II.

Dalam perspektif penjajahan, Amerika serikat adalah pendatang baru dalam petualangan imperialism Barat. Negara ini hanyalah mendapatkan Filipina yang direbut dari spanyol pada 1898. Sementara Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Italia, dan belanda telah mendahuluinya sekitar tiga abad sebelumnya.

Dalam konteks ini, Amerika adalah Negara imperialis kesiangan. Itulah sebabnya ia ingin balas dendam yang sampai hari ini dengan segala cara dan tipu, seluruh dunia ini, termasuk dunia Islam, mau dikangkanginya. Namun, dunia tidak sebodoh itu. Amerika nyaris kehilangan sahabat di muka bumi.

Rezim Barack H Obama dengan segala kelemahannya menghadapi Israel, dibandingkan  rezim George Bush ada sedikit kemajuan. Terakhir ini adalah pendekatan masalah nuklir dengan Iran di bawah presiden Hassan Rouhani ( menduduki jabatan mulai 3 Agustus 2013 ) yang moderat, sangat kontras dengan pendahulunya si burung elang Mahmud Ahmadinejad ( berkuasa 3 Agustus 2005- 3 Agustus 2013 ).

Kekayaan minyak Saudi, Iran, dan Irak telah lama menjadi incaran Amerika, Iran di bawah rezim Shahinshah Reza Pahlevi adalah sahabat Amerika yang terdekat, sampai Ayatullah Khamenei mengusirnya pada 1979. Amerika dan Israel kalang kabut. Selama 34 tahun hubungan Amerika-Iran membeku dan bermusuhan.

Di mata Khamenei, Amerika adalah setan besar. Iran dikenakan sangsi ekonomi yang cukup berat dirasakan oleh rakyatnya. Mengikuti jejak Presiden Muhammad Khatami, Presiden Rouhani ingin melepaskan Iran dan Isolasi Barat dengan kesediaan merundingkan proyek nuklirnya yang merisaukan Amerika dan Israel.

Ada ketidak adilan dalam masalah nuklir ini. Israel dibiarkan punya nuklir, Iran dilarang. Sekiranya Reza Pahlevi masih berkuasa, boleh jadi Iran tidak akan dihalangi mengembangkan proyek nuklirnya. Sebab, Israel tidak merasa terancam karena Amerika sama-sama telah jadi bapak angkatnya.

Selama bertahun tahun, Pahlevi adalah kacung Amerika di kawasan itu, seperti halnya Saudi sekarang ini, bagi Amerika, tidak peduli, selama kepentingan nasionalnya terjamin, dia akan “bersahabat” dengan Negara manapun, yang anti demokrasi, korup, dan penindas rakyat. Iran tentunya akan cukup hati-hati berhadapan dengan Amerika, sekalipun pada 24 November 2013 sudah ditandatangani persetujuan sementara tentang program nuklirnya yang menggelisahkan Barat dan menakuti Israel itu.

Persetujuan sementara ini dilakukan di Jenewa antara Iran dan Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Amerika, Rusia, Inggris, Perancis, dan Cina plus Jerman. Negara yang paling dikit kepala akibat dari persetujuan ini adalah Israel. Benyamin Netanyahu dengan marah mengatakan bahwa persetujuan itu adalah “ sebuah kesalahan sejarah”.

Tidak saja Israel, Saudi pun risau karena khawatir posisi Iran akan semakin menguat di kawasan itu. Sebagaimana kita sudah maklum, Iran dan Saudi sudah lama berebut hegemoni untuk menjadi yang dipertuan di wilayah panas yang sarat konflik itu. Saudi jelas tidak senang jika Iran berdamai dengan Amerika.

Dalam persaingan politik kekuasaan, sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka tuan dan puan jangan terkejut jika suatu saat Arab Saudi main mata dengan Israel demi menghadapi Iran. Terbetik berita pertemuan berkali-kali Kepala Intelijen Saudi Pangeran Bandar bin Sultan dengan Kepala Intelijen Israel (Mossad) pada 27 November di Jenewa adalah indikator awal dari permainan mata itu.

Alangkah sulitnya kita menggunakan perintah agama yang sangat tegas tentang doktrin persaudaraan universal antara sesama bangsa Muslim. Saudi Muslim, Iran Muslim, apapun mazhab teologi yang dianut. Konflik karena perbedaan mazhab yang telah berusia ratusan tahun itu, mengapa tetap saja dilanjutkan, bahkan diberhalakan? Di mana kita menempatkan Alquran, sebuah kitab suci yang tidak ada duanya di muka bumi, mengapa pesan-pesannya tentang persaudaraan hanya dianggap sebagai angin lalu? Manakala ajaran agama tentang hubungan baik sesama Muslim tidak lagi dihiraukan, janganlah bermimpi bahwa dunia Islam akan diperhitungkan pihak lain. 

Kita akan tetap saja berada di kawasan pinggir peradaban, karena suasana batin umat ini masih saja rapuh di tengah-tengah jumlah mereka pada tingkat global yang semakin membengkak secara kuantitatif. Jumlah besar minus kualitas bisa menjadi beban sejarah, dan kenyataan semacam itulah yang berlaku selama ini.
Al-Afghani sepanjang karier hidupnya yang selalu diincar bahaya telah diabdikannya untuk penyatuan dunia Islam, tanpa mau diributkan oleh gesekan mazhab yang berketiak ular. Mengapa faksi Sunni dan faksi Syiah tidak mau mencontoh sosok pemersatu ini? Bukankah sunnisme dan syiisme semata-mata buatan sejarah yang tidak pernah hadir di zaman Nabi?

Kembali ke masalah persetujuan nuklir Iran yang diapresiasi dunia itu, tetapi yang dilawan oleh Israel. Gilad Atzmon (nama yang sudah sering muncul di ruang ini), mantan Zionis, via TV, memberikan kritik keras kepada Israel dan kekuatan lobinya di Amerika karena mereka “Gagal memahami bahwa dunia sedang mengatakan kepada mereka `enough is enough(cukup sudah). “Kami tak ingin lagi melihat perang Yahudi. Kami tidak akan mengebom Iran untuk kepentinganmu (Israel).”

Gilad juga mengomentari sikap umat Yahudi Iran yang dinilai patriotik dan autentik karena mendukung program nuklir Iran. Menurut Gilad, sikap Yahudi Iran yang semacam ini jarang terjadi.

Tokoh Yahudi lain yang tak kurang garangnya adalah Uri Avnery, mantan anggota parlemen Israel, anti Zionisme, dan sahabat Yasser Arafat. Dalam The Palestine Chronicle, tertanggal 2 Desember 2013, Avnery menulis, “Bahaya terbesar bagi Israel bukanlah bom nuklir Iran yang diduga itu. Bahaya terbesar adalah kebodohan pemimpin-pemimpin kita.” Dilanjutkan, “…Benjamin Netanyahu dan hampir seluruh politisi mapan Israel telah meraih rekor baru dalam kebahlulan (foolishness).”

Kemudian Avnery memuji sikap Iran di bawah Presiden Rouhani yang telah membuka diri bagi pro gram nuklirnya. Kita kutip, “Iran adalah pemenang besar. Ia telah disambut hangat karena telah kembali ke lingkungan keluarga bangsa-bangsa beradab. Mata uangnya, rial, membubung. Prestise dan peng aruhnya di kawasan itu melonjak tinggi. Musuh-musuhnya di dunia Islam, Saudi Arabia dan negara-negara Teluk, telah terhina. Serangan militer apapun, oleh siapa pun atasnya, termasuk oleh Israel, menjadi tidak masuk akal.”

Tokoh tua dalam usia kepala delapan, se misal Avnery, telah lama risau dengan Zionis Israel yang buta sejarah, tidak hirau dengan pendapat dunia. Pertanyaan krusial yang segera muncul adalah apakah Amerika Serikat, demi menjaga hubungannya dengan bangsa-bangsa beradab di dunia, mau mengorbankan Israel yang dimanjakan selama ini? Belum bisa dijawab, masalahnya kompleks sekali. Tetapi yang pasti, sikap berbaik dengan Iran haruslah dibaca dalam konteks kepentingan nasional Amerika, tidak lebih dari itu.

Bangsa-bangsa Muslim semestinya harus tetap waspada terhadap negara imperialis ke siangan ini. Saudi dan Iran semestinya lebih mementingkan Islam di atas segala-galanya, bukan memberhalakan nasionalisme masing-masing yang telah melumpuhkan suasana persaudaraan umat dalam kurun waktu yang panjang. Al-Afghani, `Abduh, dan para penerusnya sangat terluka oleh persaingan biadab antar bangsa Muslim yang tidak kunjung reda.

(Republika/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: