Data: January 19, 2008
Oleh: vineyard of saker
Oleh: vineyard of saker
Jika ada sebuah peristiwa yang sangat sentral dalam etos Muslim Syiah, maka itu adalah kesyahidan (martyrdom)
Imam Husain bin Ali (cucu Muhammad, Nabi Islam) dan 72 pengikutnya di
tangan 40 ribu pasukan yang kuat dari Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan
pada 680 M dalam Perang Karbala. Sekilas rentetan kisah perang itu dikisahkan kembali dalam situs gerakan perlawanan Islam di Lebanon.
Kemenangan Darah atas Pedang
Kesyahidan Husain bin Ali telah memberi makan
bagi pikiran dan pengabdian banyak generasi hingga hari ini. Ia telah
mendapatkan banyak interpretasi, dan setiap generasi memandang
perjuangannya dalam makna perjuangan al-Husain. Dalam pengertian ini,
maka darah telah mengalahkan pedang dan Imam Husain telah meraih
kemenangan sementara Yazid adalah si pecundang.
Sekarang, saya dapat membayangkan bagaimana
sebagian pembaca saya, khususnya mereka yang agnostik dan ateis,
memutar-putar mata mereka mengenai hal ini dan bertanya-tanya bagaimana
semua ini relevan dengan zaman modern. Jawabannya adalah sebuah
kesalahan besar untuk mengabaikan keimanan dan kesalehan orang lain
hanya kerena kita tidak bisa memahami, atau berbagi dengan mereka.
Syiah, yang telah ditindas selama berabad-abad,
telah membangun seluruh kehidupan spiritual mereka di atas teladan
kesyahidan Imam Husain bin Ali, dan tiba pada sebuah resolusi yang kuat
bahwa mereka tidak akan pernah membiarkan sebuah peristiwa seperti itu
(pembunuhan atas seorang hamba Tuhan yang saleh oleh siapa pun yang
tidak bertanggung jawab) untuk terjadi lagi.
Nyaris tidak mungkin untuk mengabaikan makna kesyahidan ini bagi Syiah (Jangan
kalian menganggap yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Tidak, mereka
hidup dan di sisi Tuhan, mereka mendapatkan rejekinya, QS. 2:214). Menarik, bahwa kata Arab Syahid memiliki makna yang sama dengan kata Yunani μάρτυς (‘martyr’),
yakni ‘saksi’. Dengan kata lain, baik Islam maupun Kristen Ortodoks
percaya bahwa menjadi martir (syahid) adalah menjadi saksi sejati bagi
Tuhan, dalam kasus Islam melalui teladan Imam Husain dan dalam Kristen
melalui teladan Kristus.
Orang-orang Barat yang terdidik gaya
“Hollywood” begitu saja menerima kesesatan berpikir bahwa perang hanya
dapat dimenangkan lewat teknologi canggih. Dan ketika perang yang akan
datang terjadi, maka itu adalah “jet tempur Stealth AS melawan F4 Iran
yang kuno atau antara F16 Israel versus Katyusha Hizbullah”. Ini jelas
merupakan pandangan yang naif dan bodoh mengenai perang. Perang-perang
di masa depan akan menghadapkan dua pasukan tempur: satu pihak adalah
mereka yang percaya bahwa perangkat keras akan memenangkan perang bagi
mereka atas orang-orang saleh yang, di atas segalanya, berketetapan
untuk tidak membiarkan kebenaran digagahi lagi oleh kejahatan dan yang
memandang kesyahidan sebagai berkah tertinggi yang manusia bisa
dambakan.
Tidak seperti para Wahabi, Syiah tidak
mencari peperangan. Mereka pada kenyataannya akan berupaya menghindari
itu selama mungkin. Namun demikian, mereka melakukan itu dengan
kesadaran penuh bahwa mereka akan menghadapinya jika situasi menuntut
hal itu.
Sekitar dua juta Muslim Syiah berpawai menuju Karbala pada tahun ini,
dan jutaan lainnya berkumpul di sekeliling Hassan Nasrallah di Beirut
untuk memperingati Asyura. Massa yang besar ini berkumpul ketika para
pemimpin mereka mewanti-wanti akan risiko perang yang sangat mungkin
terjadi (lihat pidato Hassan Nasrallah).
Perang-perang yang akan datang mungkin akan mengambil banyak bentuk:
Israel menginvasi Gaza; Israel menginvasi Lebanon; Israel menyerang
Iran; dan AS menyerang Iran; atau kombinasi dari tiap-tiapnya. Apa yang
harus dipahami para pemimpin Imperium Global adalah bahwa dunia Syiah
lebih siap untuk menghadapi mereka. Mereka juga harus mengingat
kata-kata Mark Twain bahwa, “Ini bukan soal ukuran anjing dalam
pertarungan tetapi ukuran pertarungan dalam anjing,” yang akan
menentukan hasilnya.
Apakah mereka yakin memiliki ruh petarung
dalam diri mereka dibandingkan dengan apa yang akan mereka hadapi dari
diri para “tentara” Syiah?
Tulisan di atas dikutip dari blogger yang mengaku non-Muslim dengan nama vineyard of saker, disertai
permintaan maaf kepada para pembacanya yang Syiah jika penafsirannya
tentang peristiwa di Karbala tidak sesuai dengan tradisi Syiah.
Post a Comment
mohon gunakan email