adalah duri dalam daging. Bukan karena Hamas, Jihad Islam, atau para “radikal berjanggut”, tetapi karena Gaza adalah kamp Gulag tempat pembuangan para pemilik sah tanah Ashkelon, Sderot, dan daerah-daerah lain di sekitarnya. Delapan puluh persen lebih dari 1,5 juta populasi Gaza adalah mereka—anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit dari mereka—yang 60 tahun lalu tinggal di wilayah yang kini menjadi bagian Selatan Israel, dan diusir secara paksa demi mewujudkan ambisi politik apartheid.
Gaza
adalah negeri kaum pengungsi, dalam maknanya yang di luar batas
kewajaran. Mereka berkali-kali mengungsi dari satu kamp ke kamp yang
lain, dan kini berkat serangan “membela diri” Israel, mereka bukan hanya
telah kehilangan kampung halaman tetapi juga tempat pengungsian.
Kalaupun
ada roket-roket primitif Hamas yang membuat warga Israel insomnia,
pastinya itu bukan karena hukum internasional memandang roket-roket itu
legal (Resolusi PBB 37/43 menyatakan setiap orang berhak melawan
pendudukan dengan menggunakan segala cara yang mungkin, termasuk
perjuangan bersenjata). Namun, suara ledakannya seolah menyenandungkan
nyanyian pengantar tidur anak-anak Gaza, “Kami akan pulang, wahai
kampung halaman tercinta. Wahai kalian yang di sana, di Sderot,
Ashkelon, Beer Sheva, Ashdod, Tel Aviv, dan Haifa! Sadarlah, kalian hidup di atas tanah rampokan. Ingatlah, waktu kalian kian sempit.”
Gaza
adalah ironi paling tragis bagi Israel. Mereka “membela diri” dari
orang-orang yang justru lebih berhak membela diri dari mereka.
Bagi Amerika Serikat
dan para tiran Arab, Gaza adalah kerikil di dalam sepatu. Bukan karena
Hamas berwajah Islamis tetapi karena Gaza menjadi simbol sebuah
pemerintahan demokratis yang digulingkan. Pemerintahan ini dipilih dalam
sebuah pemilu paling demokratis yang pernah ada di kawasan, tetapi ia
diboikot, dikerdilkan, dikriminalisasikan, dan pada akhirnya sebuah
kudeta.
Kalaupun
ada ancaman yang dihadirkan Hamas, maka pastilah itu demokrasi.
Pilar-pilar tirani yang sudah mulai lapuk di Kairo, Riyadh, Damaskus,
dan lainnya gemetar cemas karena “demam Hamas” yang mulai mewabah di
tengah-tengah rakyat mereka.
Kalaupun
memang ada “kelahiran menyakitkan dari Timur Tengah baru”, seperti yang
dikatakan Condoleezza Rice, yakinlah itu bukan Invasi Lebanon 2006 atau
Gaza 2008 tetapi demokrasi, proyek prestisius Washington yang hasilnya
di Palestina kini mereka bumi hanguskan.
Bagi
pemerintah George W. Bush, Gaza adalah salah satu saksi bisu impotensi
mereka dalam melindungi warga Amerika di hadapan Israel. Pada 2003,
aktivis asal Amerika, Rachel Corrie, terbunuh di Rafah
oleh buldoser militer Israel ketika tengah melindungi rumah seorang
warga yang hendak dihancurkan. Ironis, bukan hanya tidak meminta
pertanggung jawaban Israel tetapi pemerintah Bush malah melemparkan
kesalahan kepada Corrie, sang martir “pembela teroris”.
Kalaupun
dibutuhkan bukti bahwa kehidupan Amerika didominasi kepentingan Zionis,
maka mungkin keluarga Corrie bisa berkisah bagaimana
pertunjukan-pertunjukan teater tentang anak mereka diboikot di negeri Paman Sam itu.
Tiap-tiap
ironi di atas disadari benar oleh Tel Aviv, Washington, dan tentu saja
sekutu-sekutu Arab mereka. Itulah mengapa mereka bersatu padu
melancarkan sebuah perang penghancuran atas Gaza.
Israel tidak hendak menguasai sesuatu pun di Gaza. Tidak seperti Tepi Barat
yang dipenuhi situs-situs suci Yahudi, Gaza dalam konteks ini mungkin
tidak berarti apa pun bagi Israel. Israel hanya hendak menuntaskan
mahakarya pembersihan etnis mereka yang tertunda 60 tahun silam. Bom-bom
yang dijatuhkan terhadap populasi Gaza adalah upaya membungkam para
korban kejahatan mereka selama enam dekade ini.
Serangan membabi-buta sejak Sabbath (27 Desember 2008) itu merupakan realisasi dari keinginan Yitzhak Rabin dan Simon Perez pada 1990-an yang menginginkan Gaza lenyap, tenggelam ke kedalaman Laut Tengah.
Vanity Fair Ungkap Kudeta AS terhadap Hamas
Pemerintahan Bush telah merancang rencana-rencana untuk menjatuhkan
pemerintahan Hamas setelah kemenangannya dalam pemilu legislatif pada
Januari 2006. Upaya kudeta itu dibantu oleh orang kuat Fatah, Mohammad
Dahlan, yang terus memprovokasi Hamas untuk melakukan aksi preventif
mengambil-alih Jalur Gaza, demikian diungkap oleh majalah AS Vanity Fair
dalam edisi Aprilnya.
Seraya mengutip sejumlah dokumen-dokumen rahasia, serta didukung pernyataan-pernyataan dari pejabat-pejabat AS, baik yang mantan maupun yang masih menjabat, Vanity Fair mengatakan Presiden George W. Bush, Menlu Condoleezza Rice, dan Deputi Penasehat Keamanan Nasional Elliott Abrams mendukung penggulingan Hamas secara paksa ini.
Ketika serangan-serangan Israel dan pembekuan bantuan finansial Barat tidak menghasilkan apa-apa, Rice berkata kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk memecat pemerintahan yang didominasi Hamas sesegera mungkin, lalu mengumumkan keadaan darurat serta menyerukan pemilu baru.
“Jadi kita telah sepakat? Anda akan membubarkan pemerintahan (Hamas) ini dalam dua minggu?” tanya Rice kepada Abbas pada Oktober 2006, delapan bulan setelah Hamas secara demokratis terpilih untuk menjalankan pemerintahan, menurut seorang pejabat yang menghadiri pertemuan tersebut.
“Mungkin tidak dua minggu. Beri saya satu bulan. Tunggulan hingga setelah Idul Fitri,” jawab Abbas kepada Rice setelah acara buka puasa Ramadhan di Ramallah.
Ketika Abbas tidak bergerak cukup cepat, konsulat jenderal AS di Yerusalem Barat, Jake Walles, bergegas datang ke Ramallah untuk memberi ultimatum.
“Anda harus memperjelas niat anda untuk menyatakan sebuah keadaan darurat dan membentuk sebuah pemerintahan darurat,” kata Walles kepada Abbas, sebagaimana dicatat dalam sebuah memo yang didapatkan oleh Vanity Fair.
“Orang Kita”
Bosan dengan kelambanan Abbas, pemerintah Bush berpaling kepada bekas penasehat keamanan Abbas, Mohammad Dahlan, untuk memimpin sebuah pasukan elit demi menggulingkan Hamas.
Para pejabat Amerika mengatakan kepada Vanity Fair bahwa Bush tidak bisa menemukan sekutu yang lebih baik di wilayah Palestina selain daripada Dahlan untuk melaksanakan skema-skemanya.
Bush bahkan secara publik memuji Dahlan sebagai seorang “pemimpin yang baik dan solid”.
Secara pribadi, sebagaimana dikisahkan para pejabat Israel dan AS, Bush menggambarkan Dahlan sebagai “orang kita”.
“Mereka yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan ini mengatakan, ‘Lakukan apa pun yang perlu dilakukan. Kita harus dalam posisi mendukung Fatah untuk mengalahkan Hamas secara militer, dan hanya Mohammad Dahlan yang mempunyai kelicikan dan kekuatan untuk melakukan ini,” kata seorang pejabat Deplu AS.
Dahlan meminta kepada Letnan Jenderal Keith Dayton, koordinator keamanan AS bagi Palestina, untuk menyediakan dana dan senjata yang diperlukan untuk menggulingkan pemerintahan Hamas.
“Saya membutuhkan sumber-sumber daya yang substansial. Kami tidak memiliki kapabilitas itu,” kata Dahlan kepada Dayton menurut seorang pejabat AS yang mencatat pertemuan mereka pada November 2006.
Karena gagal mendapatkan persetujuan Kongres bagi 86,4 juta dolar untuk mendukung kekuatan militer Abbas melawan Hamas, pemerintah Bush mulai berpaling kepada opsi-opsi lain agar dapat menuntaskan misi ini.
Menurut pejabat-pejabat Deplu AS, Rice kemudian bertemu dengan para pemimpin dari empat negara Arab, Mesir, Jordan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, dan meminta mereka untuk menyediakan pelatihan militer kepada pasukan Abbas dan membelikan bagi pasukan itu persenjataan.
Namun, rencana pemerintah Bush sedikit terganggu setelah Arab Saudi menginisiasi sebuah kesepakatan damai antara Fatah dan Hamas di kota suci Mekkah setelah berminggu-minggu terlibat konfrontasi berdarah.
Rice pun bergerak kepada “Plan B” dan meminta Abbas untuk “membubarkan pemerintahan Hamas”, sekali lagi dengan menggunakan pasukan elit Dahlan yang kali ini sudah dipersenjatai dan dilatih oleh Mesir dan Jordan.
Ketika kabar mengenai rencana kudeta ini terungkap di sebagian suratkabar Arab dan Israel, Hamas bersiap diri dan mengambil aksi preventif dengan mengambil-alih Jalur Gaza.
Sejak saat itu, wilayah Gaza yang miskin itu terus menjadi korban boikot ekonomi yang massif dari Barat dan sanksi-sanksi Israel, termasuk blokade terhadap perbatasan-perbatasan laut, darat, dan udara.
David Wurmser, seorang neokonservatif yang mengundurkan diri sebagai penasehat senior Timur Tengah Wapres Dick Cheney pada Juli 2007, menuduh pemerintahan Bush telah terlibat dalam sebuah ‘perang kotor’ dalam upaya memberikan kemenangan kepada kediktatoran Abbas yang korup.
Wurmser percaya bahwa Hamas tidak bermaksud mengambil-alih Gaza hingga Fatah memaksanya melakukan hal itu.
“Bagi saya, ini terlihat bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah kudeta oleh Hamas tetapi sebuah upaya kudeta oleh Fatah yang diantisipasi Hamas sebelum hal itu terjadi.”
Kegagalan
Strategi militer Bush di Gaza, yang membuat Hamas semakin kuat daripada sebelumnya telah menimbulkan keretakan di tubuh pemerintahannya.
“Setiap orang kini saling menyalahkan,” kata seorang pejabat Departemen Pertahanan AS. “Kami duduk di sana di Pentagon dan berkata, ‘Siapa yang merekomendasikan hal ini?”
Beberapa tokoh neokonservatif, yang hingga akhir tahun lalu masih berada di dalam pemerintahan, mengatakan bahwa Bush tidak belajar dari masa lalu, dimana ia bergantung kepada orang seperti Mohammad Dahlan untuk menyelesaikan persoalan ketimbang bertindak secara langsung.
Bergantung kepada proksi seperti Dahlan, kata mantan duta besar AS di PBB John Bolton, merupakan sebuah “kegagalan institusional, kegagalan strategi.”
Menurut Vanity Fair, pemerintahan Bush kini berpikir ulang tentang penolakan mentah-mentah untuk berbicara kepada Hamas.
Beberapa staf Dewan Keamanan Nasional dan Pentagon baru-baru ini meminta sejumlah pakar untuk melakukan riset tentang Hamas dan para simpatisan utamanya.
“Mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan berbicara kepada Hamas,” kata salah seorang pakar itu,”tetapi pada akhirnya mereka harus melakukan hal itu. Ini tidak bisa dihindari.”
Dokumen-dokumen yang diperoleh Vanity Fair.
Dalam laporan lengkapnya, “The Gaza Bombshell”, jurnalis Vanity Fair David Rose memperoleh beberapa dokumen yang memperkuat informasi adanya rencana kudeta yang disponsori AS terhadap pemerintahan terpilih Hamas di Palestina.
- Sebuah memo yang berisi poin-poin pembicaraan antara konsulat jenderal AS di Yerusalem, Jake Walles, dengan Mahmoud Abbas pada akhir Oktober atau awal November 2006. Dalam memo itu, Walles mendesak Abbas untuk membubarkan pemerintahan Palestina yang dipimpin Hamas jika Hamas menolak mengakui hak Israel untuk eksis, seraya menjanjikan bahwa AS beserta sekutu-sekutu Arabnya akan memperkuat pasukan militer Fatah demi menghadapi kemungkinan reaksi Hamas.
- Dokumen “Plan B” yang menunjukkan strategi Deplu AS yang dibuat setelah Abbas membuat kesepakatan pada Januari 2007 untuk membentuk sebuah pemerintahan bersatu antara Fatah dan Hamas, sesuatu yang mengecewakan AS. “Plan B” diakui keotentikannya oleh pejabat-pejabat senior Deplu dan oleh pejabat-pejabat Palestina yang melihatnya di dalam kantor Abbas. Dokumen ini menggarisbawahi skenario-skenario yang mungkin bagi Abbas untuk menjatuhkan Hamas dari kekuasaan dan memperkuat pasukan keamanannya dalam menghadapi konsekuensi konfrontasi yang tidak bisa dihindari.
- “Plan B” kemudian dikembangkan menjadi “rencana aksi bagi presiden Palestina”, sebuah cetak biru bagi sebuah kudeta besar terhadap pemerintahan bersatu Abbas sendiri. Ini merupakan draf yang diracik oleh tim bersama Amerika dan Jordan. Para pejabat yang mengetahuinya pada saat itu mengatakan bahwa itu berasal dari Deplu. Lampiran keamanan dalam dokumen itu memerinci percakapan rahasia antara orang kuat Palestina, Mohammad Dahlan, dan Letjen Keith Dayton.
- Draf final dari rencana aksi tersebut sebagian besarnya mengadopsi dokumen-dokumen sebelumnya, tetapi menunjukkan bahwa rencana itu telah dipikirkan dari sejak awal oleh Abbas dan para stafnya. Draf ini juga diakui keotentikannya oleh pejabat-pejabat yang memiliki akses informasi pada saat itu.[ia]
sumber: (VF, islamonline)
Saatnya Mendukung Perlawanan Palestina.
Tidak ada yang baru dari Israel. Warga sipil masih menjadi
korban utama agresi militer mereka. Seperti juga dalam agresi-agresi
Israel yang lain, fasilitas-fasilitas milik PBB, petugas medis, dan
wartawan tidak luput menjadi sasaran mereka. Tak heran jika Presiden
Venezuela Hugo Chavez menyebut militer keempat terkuat di dunia itu
sebagai pengecut.
Tak cukup sampai di situ, Resolusi Dewan Keamanan PBB—sebagaimana banyak resolusi lainnya terhadap mereka—yang meminta mereka menghentikan serangan dan mundur dari Jalur Gaza tak mereka patuhi. Negara Zionis ini benar-benar menganggap dirinya berada di atas hukum (above the law).
Bagi Israel, tatanan hukum internasional dan proses diplomasi hanya berlaku jika sesuai dengan keinginan mereka. Pada 2006, mereka menerima resolusi Dewan Keamanan hanya karena resolusi itu menyediakan bagi mereka exit strategy yang menyelamatkan pasukan mereka dari kerugian lebih besar akibat agresi kedua terhadap Lebanon. Kini situasi yang sama belum (dan mungkin akan segera) terjadi di Gaza, dan karenanya mereka terus melanjutkan proyek brutal ini.
Sebagaimana kekuatan-kekuatan kolonialis lainnya, apa yang bisa membuat Israel tunduk kepada hukum internasional dan membawa mereka ke meja perundingan hanyalah kenyataan di lapangan, yakni berupa kerugian besar (baca: kekalahan) mereka secara militer.
Dalam arena perang yang berbeda, yakni perang propaganda, Israel mulai kehabisan alasan pembenar bagi agresi mereka atas Gaza. Alasan bahwa Hamas-lah yang melanggar gencatan senjata kini terbukti tidak valid. Tak kurang dari reporter-reporter ternama seperti Robert Fisk (The Independent) dan Jim Lobe (IPS) mencatat bahwa pihak Israel-lah yang pertama kali secara efektif melanggar gencatan senjata. Ketika media-media arus utama dunia tenggelam dalam histeria pemilihan presiden Amerika Serikat pada 4 Nopember 2008, militer Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza yang menewaskan empat warga Gaza, dan disusul dengan serangan serupa pada 17 Nopember yang menewaskan tujuh warga Gaza. Sekarang, media seperti CNN sekalipun sudah mengkonfirmasi peristiwa tersebut.
Ini berarti terminologi “self-defense” lebih tepat disematkan kepada serangan roket-roket oleh Hamas. Bahkan seandainya peristiwa itu tidak terjadi, Israel tetap tidak bisa mengklaim berhak melakukan agresi atas Gaza setidaknya karena dua hal. Pertama, hukuman kolektif yang diterapkan Israel atas penduduk Jalur Gaza, berupa blokade wilayah darat, laut, dan udara Jalur Gaza, sekaligus kendali atas wilayah-wilayah perbatasan-perbatasan. Dalam terminologi perang, kebijakan tersebut sesungguhnya merupakan tindakan perang (act of war) dimana Israel-lah pemicu pertamanya. Kedua, meski Israel mengklaim telah menarik mundur pasukannya dan memindahkan pemukiman-pemukiman Yahudi dari Gaza pada 2005, kebijakan blokade tadi membuat Jalur Gaza tetap menjadi daerah pendudukan. Ini berarti bahwa seperti halnya bangsa-bangsa lain di bawah pendudukan, bangsa Palestina memiliki hak legal untuk melakukan perlawanan dengan cara apa pun yang tersedia, termasuk di antaranya perlawanan bersenjata.
Legalitas dan legilitimasi perlawanan bangsa Palestina diakui sejumlah instrumen hukum internasional. Prinsip hak menentukan nasib sendiri (self-determination) seperti tercantum dalam Piagam PBB bermakna bahwa ketika ada tindakan yang mengambil paksa hak itu, maka kekuatan (force) bisa digunakan untuk menghadapinya serta merebut kembali hak tersebut. Komisi Hak Asasi Manusia PBB dan Majelis Umum PBB beberapa kali menegaskan kembali hak perlawanan terhadap pendudukan dalam resolusi-resolusi mereka. Bahkan, Konvensi Jenewa tentang Terorisme menyatakan bahwa penggunaan hak perlawanan terhadap rezim kolonial dan pendudukan oleh suatu bangsa jangan sampai disalahtafsirkan dengan aksi-aksi terorisme internasional.
Saatnya Mendukung Perlawanan.
Di tengah ketidakberdayaan dunia dalam menghentikan agresi membabi-buta Israel, apakah masih bijak kita mengatakan kepada warga Gaza untuk diam dan menunggu hasil diplomasi para politisi? Diplomasi membutuhkan waktu tetapi warga Gaza yang setiap harinya kini berhadapan dengan moncong senjata tidak bisa begitu saja pasrah menunggu godot di tangan serdadu-serdadu Israel. Perlawanan terhadap pendudukan dalam situasi antara hidup-mati seperti di Gaza kini adalah salah satu cara yang niscaya, dan dalam sejarah terbukti efektif memaksa kekuatan-kekuatan kolonial untuk duduk berunding dalam terminologi-terminologi yang setara.
Dalam konteks ini dan melihat resolusi Dewan Keamanan yang lumpuh, keinginan pemerintah Indonesia untuk meminta PBB menggelar sidang darurat Majelis Umum adalah langkah yang tepat dan paling mungkin dilakukan. Namun, keputusan Majelis Umum nantinya meski bersifat non-legally binding tidak sebatas pada permintaan gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan Israel, tetapi juga dukungan eksplisit kepada perlawanan bangsa Palestina menghadapi agresi militer Israel yang melanggar nyaris setiap norma hukum Internasional.
Ini patut dilakukan dan secara konstitusional pemerintah punya kewajiban untuk melakukannya. Patut dicatat, hampir sulit kita membayangkan kemerdekaan Indonesia tanpa adanya perlawanan-perlawanan bersenjata yang dilakukan para pejuang kita. Indonesia lahir bukan semata dari atas meja perundingan tetapi juga dari perjuangan di medan perang.
Post a Comment
mohon gunakan email