“Sejarah itu dibuat oleh pemenang”…
Pemenang politik, membuat sejarah versi kepentingan politiknya !”
Di zaman Global Modern saja Malaysia berbuat seperti ini, lalu apa yang dilakukan Dinasti Umayyah Abbasiyah di zaman kegelapan dulu ??
Berita terbaru dari Kementerian Dalam Negeri (KDN) Malaysia telah menetapkan perintah larangan terhadap tiga buah buku yang diterbitkan di Indonesia karena menyebarkan doktrin yang bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah.
Sekretaris Bagian Pengendalian Publikasi dan Teks Al-Quran, Abdul Aziz Mohamed Nor menjelaskan, tiga buku yang diharamkan adalah “Pengantar Ilmu-ilmu Islam,” “Dialog Sunnah Syi’ah” dan “Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah.” Buku “Pengantar Ilmu-ilmu Islam” ditulis oleh Murtadha Muthahhari dan diterbitkan Pustaka Zahra dari Jakarta, sedangkan “Dialog Sunnah Syi’ah” ditulis oleh A Syarafuddin Al-Musawi dan diterbitkan Penerbit Mizan Bandung.
Sementara “Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah” pula ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat dan diterbitkan PT Remaja Rosdakarya, juga dari Bandung.”Jika ini dibiarkan, buku-buku ini dapat membahayakan ketertiban,” kata Abdul Aziz kepada wartawan, tadi malam.
Perintah larangan ini, lanjut Abdul Aziz, sesuai dengan Pasal 7 (1) Akta Mesin Cetak dan Penerbitan 1984 yang menjadi satu kesalahan menurut ayat 2 Pasal 8 akta tersebut. “Adalah menjadi satu kesalahan jika pihak yang mencetak, mengimpor, memproduksi, mereproduksi, mempublikasikan, menjual, mengeluar, mengeliling, menawarkan untuk menjual, mendistribusikan atau ada dalam miliknya, bahan yang akan dikenakan perintah larangan itu,”.
katanya. Abdul Aziz menambahkan, siapapun yang melanggar larangan ini bisa dipenjara maksimal tiga tahun atau denda maksimal RM20,000 atau keduanya.
Sunni menekankan bahwa Qur’an sendiri tidaklah cukup. Qur’an membutuhkan penafsiran hadist untuk mengetahui artinya.
Problem utama yang saya dapati dari paham Ahlussunnah adalah mereka sangat menjunjung tinggi pendapat dari sahabat Nabi (meski pun mereka selalu mengulang-ulang mengatakan bahwa mereka sahabat tidak maksum).
Pengkultusan ini begitu hebatnya hingga pada titik dimana terdapat perbedaan pendapat antara Nabi dan Sahabat, maka mereka Salafy tidak mengindahkan perkataan Nabi sebaliknya perkataan Sahabatlah yang dijadikan acuan, seakan-akan Sahabat merupakan orang-orang yang paling benar, paling layak dicontoh dan paling tepat sebagai pembawa Risalah Allah swt.
Imam Ali menunda baiatnya jelas, yang mana menjelaskan kepada kita bahwa Imam Ali as tidak pernah mendengar isyarat atau penunjukan Abubakar sebagai pengganti Nabi saw. Jika Imam Ali as pernah mendengar isyarat ini maka bagi Imam Ali as tdk perlu menunggu waktu lama (bahkan hingga 6 bulan?) untuk melakukan baiat. Manusia di sekitar Nabi saw yang pertama pertama akan melaksanakan perintah Nabi saw adalah Imam Ali as.
Jangankan hanya membaiat, mengorbankan jiwanya untuk menggantikan Nabi saw pun bukan masalah. Penolakan Imam Ali as untuk membaiat kepada khalifah terpilih juga menegaskan 1 hal, yakni Imam Ali as sdh mengetahui dari Rasul saw siapa yang seharusnya menjadi pimpinan umat mukmin setelah Rasul saw wafat. Yang pasti bukanlah Abubakar.
Saudaraku...
- Imam Ali terpaksa membai’at Abubakar karena ingin memelihara umat agar tidak mati sia sia dalam perang saudara melawan Pasukan Abubakar dibawah pimpinan Khalid Bin Walid yang haus darah
- Dengan mengalah Imam Ali telah menyelamatkan umat Islam dari kehancuran..Kalau perang saudara terjadi dan imam Ali tidak membai’at Abubakar maka tidak ada lagi Islam seperti yang sekarang ini
Bila Syiah tidak ada maka agama Islam hari ini hanya menjadi kenangan sejarah saja, sebab Mazhab Ahlusunnah telah gagal memelihara agama ini dari olok olok musuh Islam dan mereka hari ini menjadi antek antek Kafir Zionis (masa sih, kalau mazhab yang paling benar tapi tunduk pada kekuatan kafir, sementara Allah mengatakan Islam lebih tinggi kedudukan dari orang orang kafir).
Hukum Islam sudah tidak lagi ditegakkan di seluruh negara yang bermazhab Ahlusunnah, bahkan mereka berijtihat dengan menentang nash nash yang sudah jelas dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, lebih lebih Saudi Arabia, itu menjadi satu bukti bahwa mazhab Ahlusunnah sudah tidak layak untuk diikuti…Bukankah Ahlah mengatakan dalam al-Quran QS 5: 44 bahwa barangsiapa yang tidak menegakkan hukum Allah (Syariat Islam) mereka adalah KAFIR???
Dengan ribuan fakta buruk lain masihkah mazhab Ahlusunnah itu dapat dianggap sebagai wakil Islam??????? Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dan Islam dari segala kekurangan mazhab Ahlusunnah.
Sebagai bahan renungan, Bila ada isme isme yang gagal dalam menerapkan kebijakannya sendiri, itu cukup menjadi bukti bahwa isme isme itu keliru. …Maaf bila saya katakan Mazhab Sunni keliru karena GAGAL TOTAL dalam menerapkan Syariat Islam dari dulu hingga kini… Gagal menerapkan Hukum Syariat???? Itu artinyaaaaaaaa……. silahkan baca lagi QS. al-Maaidah: 44…
Mazhab Anda telah ratusan tahun memfitnah dan menuduh Syiah kafir/sesat. Tapi sayang sekali, itu tidak terbukti. Maka sesuai dengan cukuplah yang tertuduh (Syiah) akan selamat
Qs. Al-Ahzab 33:….”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat, Kitab Allah dan Ithrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
Allah memerintah kita mempergunakan akal kita untuk berfikir dan mencari kebenaran.. Banyak kok orang mengklaim mencintai ahlul bait tetapi ketika ahlul bait dizalimi mereka berkeras menolak dan mencari-cari dalih…mengikuti Aswaja yang notabene warisan Muawiyah, musuhnya Ahlul Bait Nabi saw… Saat ini kita berhadapan dengan saudara-saudara yang terjebak dalam pengaruh mu’awiyah yang memenuhi kitab-kitab salaf.
Di antara pernyataan Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang Syi’ah:
KH Umar Syihab (Ketua MUI):
Kata Umar, MUI tidak pernah menyatakan, bahwa Syiah itu sesat. Syiah dianggap salah satu mazhab yang benar, sama halnya dengan ahli sunnah wal jama’ah. Ajaran Syiah, kata Umar, sudah diakui di dunia islam sebagai mazhab yang benar sampai saat ini.
KH Said Agil Siradj (Ketua NU):
Menurut Said Aqil, Sunni dan Syiah hanya dijadikan alat seolah-olah memang ada permusuhan. Padahal tidak, mereka dari dulu sampai sekarang hidup damai berdampingan. Ketua Umum PBNU itu meminta semua pihak bisa menahan diri dengan tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis. “Pihak ketiga itu selalu melancarkan provokasi supaya konflik terus terjadi. Dan bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi di kemudian hari,” katanya.
Prof Dr Said Agil Siraj mengungkapkan, di sejumlah negara Islam maupun Timur Tengah yang hidup faham Suni dan Syiah, dapat hidup rukun dan berdampingan. ”Bahkan Mufti Syria Badruddin Hassun yang berasal dari Suni, fatwa-fatwanya sangat didengar oleh kelompok Syiah,” jelas Kiai Siraj seraya menambahkan kondisi serupa terjadi di Saudi Arabia, Pakistan, maupun Libanon.
Bahkan di Libanon Selatan, lanjut Said, Hizbullah dari kelompok Syiah didukung juga oleh kelompok Suni. Dikatakan Said, sepanjang sejarah, perbedaan yang terjadi antara Suni dan Syiah sebenarnya, terkait soal kekuasaan atau lazim disebut imamah. Karena itu, kelompok Syiah memasukkan masalah imamah ke dalam rukun agama dan sejak dini anak-anak mereka diajarkan pengetahuan tentang imamah. “Dalam perkembangan Islam, kedua kelompok Suni dan Syiah sama-sama memberikan andil dan peran yang sangat besar dalam peradaban Islam,” tegas kyai Siraj.
Said menyebut sejumlah tokoh Syiah yang memberikan andil besar bagi kemajuan Islam. Sebut saja misalnya Ibnu Sina, seorang filsuf yang juga dikenal sebagai seorang dokter, Jabir bin Hayyan yang dikenal sebagai penemu ilmu hitung atau aljabbar, dan seorang sufi Abu Yazid al Busthami. Mereka yang beraliran Syiah ini telah menyumbangkan ilmunya bagi kemajuan Islam. “Jadi, kedua kelompok ini adalah aset yang sangat berharga bagi umat Islam.”.
Ahmad Syafi’i Maarif (Mantan Ketua Muhammadiyyah):
Syiah telah diakui sebagai mazhab kelima dalam Islam. Dia pun menyatakan bahwa setiap orang, sekalipun atheis berhak hidup. Terpenting, katanya, bisa hidup rukun dan toleran.
Prof Dr Din Syamsudin (Ketua Muhammadiyyah):
Pada Konferensi Persatuan Islam Sedunia yang berlangsung 4-6 Mei 2008 di Teheran, Iran, Din Syamsuddin pernah mengatakan, bahwa Sunni dan Syi’ah ada perbedaan, tapi hanya pada wilayah cabang (furu’yat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah). Menurut Din, Sunni dan Syi’ah berpegang pada akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajat penghormatan terhadap sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, yakni Ali bin Abi Thalib.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga mengatakan, sewajarnya jika dua kekuatan besar Islam ini (Sunni dan Syi’ah) bersatu melawan dua musuh utama umat saat ini yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. (Detikcom 5 Mei 2008).
Dikatakan Din, seandainya tidak dicapai titik temu, maka perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi. Seluruh elemen umat Islam dalam kemajemukannya perlu menemukan “kalimat sama” (kalimatun sawa) dalam merealisasikan misi kekhalifahan di muka bumi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa persatuan umat Islam khususnya antara kaum Sunni dan kaum Syiah, adalah mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan Islam. Kejayaan umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok umat Islam tersebut.
Patut kita ketahui bahwa NU dan Muhammadiyah adalah 2 ormas Islam terbesar di Indonesia. Sementara MUI (Majelis Ulama Indonesia) adalah perwakilan dari para ulama di seluruh Indonesia. Jika mereka menyatakan (sebagian) Syi’ah itu lurus, masih beranikah kita menyebut semua Syi’ah itu sesat bahkan kafir?
Prof Dr Quraisy Shihab bahkan membela Syi’ah dengan menulis buku “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Cuma sebagaimana para ulama yang membela bahwa tidak semua Syi’ah itu sesat, Quraisy Shihab oleh kelompok Wahabi yang ekstrim difitnah sebagai Syi’ah. Begitu pula Said Agil Siradj.
*****
Imam Ali menggempur orang itu kerana mereka menyelewengkan agama dan
menyimpang daripada ajaran al-Quranul Karim serta mengacaukan takwil dan
salah menafsirkan, dan mencuba hendak menyesuaikan tujuan ayatnya
dengan kemahuan dan keinginan mereka peribadi.
Kebencian kepada Imam Ali as. adalah bukti kuat kemunafikan.
Dalam banyak hadis, Nabi menyabdakan:
Imam Muslim dan lainnya meriwayatkan dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:
“Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”[Imam Muslim dalam Shahihnya].
Allah SWT akan membongkar kedok kebusukan mereka melalui apa yang terlontar dari mulut-mulut mereka yang mencerminkan kebusukan hati mereka. Allah berfirman:
“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka.* Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. Muhammad [47]:29-30).
Perang Shiffin Meletus.
Tanggal 1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali as melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali as dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata.
Pertempuran itu terjadi tahun 37 H. (656 M.), antara Amirul Mukminin
dan Gubernur Suriah, Mu’awiah, untuk apa yang dinamakan membalas dendam
atas kematian Khalifah ‘Utsman. Tetapi penyebab sebenarnya hanyalah
karena Mu’awiyah, yang telah lama menjadi Gubernur Suriah yang otonom
sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu
dengan membaiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib.
Ia hendak mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman. Peristiwa-peristiwa di hari-hari kemudian membuktikan bahwa setelah mengamankan pemerintahan ia tidak mengambil suatu langkah nyata untuk membalaskan darah ‘Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh ‘Utsman.
Walaupun Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan, ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H., setelah kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn ‘AbduIlah al-Bajali ke Mu’awiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan ‘Utsman kepadanya supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jarir dengan berbagai alasan, dan setelah berunding dengan ‘Amr ibn al-‘Ash, ia membangkang dengan dalih kasus pembunuhan ‘Utsman.
Gubernur Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan semangat balas dendam atas darah ‘Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya ‘Utbah ibn Abi Sufyan. ‘Utbah menyarankan, “Apabila dalam hal ini ‘Amr ibn ‘Ash dihubungi, ia akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi, ia tak akan mudah bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia tidak dibayari dengan apa yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk itu maka akan ternyata bahwa dia penasihat dan penolong yang terbaik.
Mu’awiah menyukai saran ini. Ia myuruh panggil ‘Amr ibn “’Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut balas atas darah ‘Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab atasnya. Sebagai imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam keadaan bagaimanapun ia tak akan membiarkan kekuasaan Mu’awiah di Suriah terganggu. Sesuai dengan itu, keduanya menepati dan memenuhi perjanjian itu.
Dengan Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan ‘Utsman terpikul pada ‘Ali, dan bahwa Ali memberi semangat dan melindungi para pengepung ‘Utsman. Sementara itu ia menggantungkan baju ‘Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah ‘Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah sehingga mereka bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia mendapatkan baiat mereka demi membalas dendam atas pembunuhan ‘Utsman, lalu ia bersiap untuk berperang. Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu mengirimkannya kembali ke Kufah dalam keadaan malu.
Ketika Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit menghadapi Mu’awiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbu’i untuk mengerahkan pasukan di lembah al-Nukhailah.
Sehubungan dengan itu, orang dari sekitar Kufah datang ke sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya melebihi 80.000 orang. Mula-mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan sebesar 8.000 di bawah komando Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000 orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani al-Haritsi ke Suriah. Setelah berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri berangkat ke Suriah memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.
Setelah keluar perbatasan kota Kufah, ia mendirikan salat lohor dan setelah berkemah di Dair Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Ka’b, Karbala’, Sabat, Baburasini, al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat ini menyukai ‘Utsman, dan di tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang itu telah berangkat dari Kufah untuk bergabung dengan Mu’awiah setelah membelot dari Amirul Mukminin. Ketika melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar jembatan Sungai Efrat supaya pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk menyeberang.
Tetapi, dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakha’i mereka ketakutan, dan setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu dan Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia melihat Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena keduanya mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa Mu’awiah sedang maju dengan tentaranya ke Sungai Efrat, dan karena berpikir bahwa mereka tidak akan mampu menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil menunggu Amirul Mukminin. Ketika mereka memberikan alasan kepada Amirul Mukminin mengapa mereka berhenti di situ, Amirul Mukminin menerima alasannya lalu mengirimnya ke depan.
Ketika mereka sampai di Sur ar-Rum, mereka mendapatkan bahwa Abu al-A’war as-Sulami (pihak Mu’awiyah) sedang berkemah di sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul Mukminin, lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan berusaha menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang sebenarnya sedapat mungkin.
Ketika tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin akan meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak pula ia mengambil langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-A’war menyerang secara tiba-tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang untuk memukulnya mundur. Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya Abu al-A’war melarikan diri di malam hari. Karena pertempuran telah dimulai, segera setelah fajar, seorang komandan pasukan ‘Iraq, Hasyim ibn ‘Uqbah al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan tempur.
Dari pihak lain datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk. Pada akhirnya Malik al-Asytar menantang Abu al-A’war bertarung dengannya, tetapi yang ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar maju.dengan pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan pasukannya lalu berangkat ke Shifffn bersama kontingen depannya dan pasukan-pasukan lainnya.
Mu’awiah telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah menempatkan pengawal di Sungai Efrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di sana Amirul Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan pengawalnya dari Sungai Efrat itu, tetapi Mu’awiah menolaknya. Karenanya pasukan ‘Iraq menghunus pedang lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.
Setelah itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn ‘Arnr al-Anshari, Sa’id ibn Qais al-Hamdani dan Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi kepada Mu’awiah untuk memperingatkannya tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi jawabannya adalah bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah ‘Utsman dan sekarang hanya pedang yang dapat menjadi perantara mereka.
Akibatnya, dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang memasuki medan dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn ‘Adi al-Kindi, Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi, Khalid ibn al-Mu’ammar, Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi, Ziyad ibn Khashafah at-Taimi, Sa’id al-Hamdani, Qais ibn Sa’d al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakha’i. Dari pihak Suriah, ‘Abdur-Rahman ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-A’War as-Sulami, Habib ibn Maslamah al-Fihri, ‘Abdullah ibn Dzil-Kala’ al-Himyari, ‘Ubaidullah ibn ‘Umar ibn Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.
Ketika bulan Zulhijah berakhir, pertempuran harus dihentikan karena tibanya bulan Muharam 37 H. Tetapi pada 1 Safar pertempuran berlanjut dan kedua belah pihak mengatur barisannya saling berhadapan dengan pedang, lembing dan persenjataan lain. Di pihak Amirul Mukminin, Malik al-Asytar memimpin pasukan berkuda dan ‘Ammar ibn Yasir memimpin pasukan infantri Kufah, sedang Sahl ibn Hunaif al-Anshari memimpin pasukan berkuda dan Qais ibn Sa’d memimpin infantri asal Bashrah. Panji tentara diberikan kepada Hasyim ibn ‘Utbah. Di tentara Suriah, sayap kanan dipimpin Ibn Dzil-Kala’ sedang kontingen sayap kiri dikomandoi Habib ibn Maslamah, pasukan berkuda dipimpin ‘Amr ibn al-‘Ash dan pasukan infantri dikomandoi adh-Dhahhak ibn Qais al-Fihri.
Pada hari pertama, Malik al-Asytar memasuki medan pertempuran dengan pasukannya, sedang di pihak Mu’awiah Habib ibn Maslamah datang dengan pasukannya, dan pertempuran sengit pun berkecamuk sepanjang hari.
Keesokan harinya Hasyim ibn ‘Utbah tampil dengan pasukan di pihak Amirul Mukminin sedang Abu al-A’war muncul dengan pasukan infantri pihak Mu’awiah. Pasukan berkuda berhadapan dengan pasukan berkuda, infantri dengan infantri.
Hari ketiga, ‘Ammar ibn Yasir dan Ziyad ibn an-Nadhr tampil dengan pasukan berkuda dan infantri, sedang pasukan besar pihak Mu’awiah dipimpin ‘Amr ibn al-‘Ash. Ziyad menyerang pasukan berkuda sedang Malik al-Asytar menyerang pasukan infantri Mu’awiah dengan sengitnya sehingga pasukan Mu’awiah mulai kehilangan pijakan, tak dapat bertahan lalu kembali ke perkemahan.
Hari keempat, Muhammad ibn al-Hanafiah tampil di medan dengan pasukannya. Dari pihak Mu’awiah tampil ‘Ubaidullah ibn ‘Umar al-Khaththab dan pertempuran berlangsung keras.
Hari kelima, ‘Abdullah ibn ‘Abbas memimpin tentara Amirul Mukminin sedang Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith menghadapinya. ‘Abdullah ibn ‘Abbas melancarkan serangan dengan sangat ulet dan berani dan memberikan pukulan keras sehingga lawannya mundur meninggalkan medan.
Hari keenam, Qais ibn Sa’d al-Anshari rnaju menghadapi pasukan Ibn Dzil-Kala’ dan pertempuran sengit berkecamuk. Banyak tentara gugur pada kedua pihak. Malam memisahkannya.
Hari ketujuh Malik al-Asytar berhadapan dengan Habib ibn Maslamah dan pertempuran berlangsung hingga tengah hari.
Hari kedelapan Amirul Mukminin sendiri maju dengan tentaranya dan serangan dilakukan di seluruh medan pertempuran yang berlangsung amat sengit. Kemudian Amirul Mukminin menantang Mu’awiah, lalu Mu’awiah, disertai ‘Amr ibn al-‘Ash datang agak mendekat. Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Marilah hadapi aku. Biarlah barangsiapa yang membunuh lawannya kelak menjadi penguasa.” ‘Amr ibn al-‘Ash lalu berkata kepada Mu’awiah, “Ali benar. Beranikanlah diri Anda dan hadapilah dia.” Mu’awiah menjawab, “Saya tidak sedia menyia-nyiakan nyawa saya atas godaanmu.” Sambil berkata demikian ia mundur. Ketika Amirul Mukminin melihatnya mundur ia tersenyum lalu mundur pula.
Keberanian Amirul Mukminin dalam serangannya di Shifffn merupakan keperkasaan yang luar biasa. Bila saja ia keluar menantang di medan pertempuran, barisan lawannya menjadi kacau balau, dan bahkan petarung perkasa mengelak untuk menghadapinya. Itulah sebabnya maka dalam beberapa kesempatan ia maju ke medan dengan pakaian yang berbeda agar tidak dikenali lawan, supaya ada yang berani menghadapinya. Sekali ‘Arar ibn Ad-ham dari pihak Mu’awiah bertarung dengan ‘Abbas ibn Rabi’ah ibn al-Harits ibn ‘Abdul Muththalib. Mereka bertarung dengan alot dan tak ada yang jatuh, sampai ‘Abbas melihat bahwa sambungan pada baju zirah lawannya longgar.
Dengan pukulan mendadak ia menusuk sisi itu dengan pedangnya, dan kemudian ia menyerang sambungan-sambungan lainnya yang longgar. Kemudian, dengan tujuan yang sebenarnya ia menyerang dengan pedangnya langsung ke dadanya. Melihat ini orang menyerukan takbir. Mu’awiah kaget karena seruan itu dan setelah mengetahui bahwa ‘Arar ibn Ad-ham telah terbunuh, ia lalu berseru meminta siapa yang berani membalaskan dendam kematian ‘Arar itu dengan membunuh ‘Abbas ibn al-Harits. Beberapa orang tentara berkuda yang kelelahan dari kalangan suku lakhm datang menantang ‘Abbas. ‘Abbas mengatakan bahwa ia akan datang setelah meminta izin imamnya, lalu ia pergi kepada Amirul Mukminin untuk meminta izin. Amirul Mukminin menahannya, memakai baju ‘Abbas, dan sambil menunggang kuda tunggangan ‘Abbas ia masuk ke medan pertempuran. Karena mengira dia ‘Abbas, orang-orang Lakhm berkata, “Jadi, Anda telah mendapatkan izin imam Anda.” Sebagai jawabannya Amirul Mukminin membaca ayat,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. “ (QS. 22:39).
Maka datanglah satu orang dari pihak lawannya sambil berteriak seperti gajah, menyerbu dengan mengamuk, tetapi Amirul Mukminin mengelakkan pukulannya lalu menetakkan pedangnya ke punggung penyerang itu sehingga badannya terputus dua. Mulanya dikira orang bahwa pukulan pedang itu sia-sia, tetapi ketika kuda tunggangannya melompat, tubuh itu jatuh dalam dua bagian. Setelah itu seorang lagi datang tetapi ia pun tewas dalam sekejap. Kemudian Amirul Mukminin menantang orang lain, tetapi dari pukulan pedangnya lawan mengetahui bahwa ialah Amirul Mukminin dalam pakaian ‘Abbas, dan tak ada lagi yang berani menghadapinya.
Pada hari kesembilan, sayap kanan di bawah komando ‘Abdullah ibn Budail dan sayap kiri di bawah pimpinan ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Pasukan di tengahnya dipimpin langsung oleh Amirul Mukminin. Di pihak Mu’awiah Habib ibn Maslamah memimpin pasukan Suriah. Ketika kedua barisan berhadap-hadapan, para pemberani menghunus pedang mereka dan saling menyerang dengan ganas seperti singa buas, dan pertempuran berkecamuk di seluruh medan. Panji sayap kanan tentara Amirul Mukminin berada di tangan Bani Hamdan.
Bila seseorang gugur, yang lainnya mengambil panji itu. Pertama-tama Kuraib ibn Syuraih memegangnya. Ketika ia gugur Syurahbil ibn Syuraih mengambilnya, lalu Martsad ibn Syuraih, kemudian Hubairah ibn Syuraih, kemudian Yarim ibn Syuraih, kemudian Sumail ibn Syuraih dan setelah gugurnya keenam orang bersaudara itu, panji dipegang berturut-turut oleh Sufyan, ‘Abd lalu Kuraib, ketiganya putra Zaid, dan semuanya gugur. Setelah itu panji dipegang oleh dua bersaudara, ‘Umair dan al-Harits ibn Basyir, dan setelah keduanya gugur pula, panji itu dipegang Wahb ibn Kuraib. Pada hari ini perhatian lebih besar pasukan Mu’awiah tertuju ke sebelah kanan, dan serangannya demikian sengitnya sehingga pasukan pihak Amirul Mukminin terpukul mundur.
Hanya 300 orang yang tertinggal bersama komandannya, ‘Abdullah ibn Budail. Melihat keadaan ini, Amirul Mukminin menyuruh Malik al-Asytar untuk memanggil mereka kembali dan menantang mereka ke mana mereka melarikan diri. “Apabila hari-hari kehidupan telah habis, mereka tak dapat mengelakkan maut dengan melarikan diri.” Sekarang, kekalahan sayap kanan itu pastilah berpengaruh pada sayap kiri.
Karena itu Amirul Mukminin pergi ke sayap kiri lalu maju ke depan, memaksa melewati barisan lawan, yang atasnya seorang budak Bani Umayyah berkata kepadanya, “Semoga Allah mematikan saya apabila saya tak dapat membunuh Anda hari ini.” Mendengar ini, budak Amirul Mukminin yang bernama Kaisan melompat kepadanya dan terbunuh olehnya. Ketika mengetahui ini Amirul Mukminin memegang budak Bani Umayyah itu di baju zirahnya, mengangkatnya lalu membantingnya dengan keras sehingga semua persediannya hancur.
Sementara itu, setelah dipanggil Malik al-Asytar dan menggugah rasa malunya, orang-orang yang tadinya mundur lalu kembali dan sekali lagi menyerang hingga musuh mundur sedang mereka maju sampai ke tempat di mana ‘Abdullah ibn Budail sedang dikepung musuh. Ketika melihat orang-orangnya sendiri datang, ia menjadi lebih berani lalu menyerang kemah Mu’awiah dengan pedang terhunus. Malik al-Asytar berusaha mencegahnya tetapi tak berhasil. Setelah membunuh tujuh orang Suriah, ia sampai ke kemah Mu’awiah.
Ketika Mu’awiah melihatnya di dekatnya, ia memerintahkan orang melemparinya dengan batu, dan orang Suriah pun mengeroyok dan membunuhnya. Ketika Malik al-Asytar melihat hal itu ia maju dengan para pejuang Bani Hamdan dan Bani Madzhij untuk menyerang Mu’awiah dan mengacaukan para pengawal yang mengelilinginya. Ketika tinggal satu lapis lagi dari lima lingkaran pengawalnya yang harus dipatahkan, Mu’awiah menunggang kudanya untuk melarikan diri, tetapi berhenti lagi setelah diberi semangat oleh seseorang.
Di sisi lain medan, pertempuran gegap gempita sedang berlangsung dari ujung ke ujung oleh pedang ‘Ammar ibn Yasir dan Hasyim ibn ‘Utbah. Dari sisi mana saja ‘Ammar lewat, para sahabat Nabi berkumpul di sekitarnya lalu membuat paduan sedemikian rupa sehingga kehancuran menyebar di seluruh barisan musuh. Ketika Mu’awiah melihat mereka maju, ia mengerahkan pasukan segar untuk menghadapinya. Tetapi ‘Ammar terus menunjukkan kegagahannya dalam badai pedang dan lembing.
Penyokong Muawiyah mencuba sekuat daya menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya.
Tetapi keperwiraan Ammar yang berjuang seolah-olah beliau satu pasukan tentera juga, menghilangkan pertimbangan mereka.
Sebahagian anak buah Muawiyah mengintai kesempatan untuk menewaskannya, hingga selepas kesempatan itu terbuka mereka laksanakanlah dan tewas Ammar di tangan tentera Muawiyah.
Akhirnya Abu al-‘Adziyah al-Juhani mengenainya dengan lembingnya, lalu Ibn Hawi (Jaun as-Saksiki) maju dan membunuhnya.
Matinya ‘Ammar ibn Yasir menimbulkan kegemparan di barisan Mu’awiah, karena Nabi telah bersabda, “’Ammar akan terbunuh di tangan kalangan pendurhaka.” Maka sebelum ia gugur sebagai syahid, Dzul Kala’ telah berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Ash, “Saya melihat ‘Ammar di pihak ‘Ali; kitakah orang-orang pendurhaka itu?”
‘Amr ibn al-‘Ash meyakinkan dia bahwa pada akhirnya ‘Ammar ibn Yasir akan bergabung dengan mereka, tetapi ketika ia terbunuh di pihak Ali, pihak pendurhaka terungkap dan tak ada lagi interpretasi lain.
Walaupun demikian, Mu’awiah mengatakan kepada orang Suriah, “Kita tidak membunuh ‘Ammar, melainkan Ali membunuhnya karena ia membawanya ke medan pertempuran.”
Ketika Amirul Mukminin mendengar kalimat licik itu, ia berkata, “Apabila demikian maka Nabilah yang membunuh Hamzah karena beliau membawanya ke pertempuran Uhud.” Hasyim ibn ‘Utbah juga gugur dalam pertempuran itu. Ia terbunuh oleh al-Harits ibn Mundzir at-Tanukhi. Setelah gugurnya, panji dipegang oleh putranya ‘Abdullah.
Ketika para pejuang yang amat pemberani itu telah tiada, Amirul Mukminin berkata kepada orang suku Hamdan dan Rabi’ah, “Bagi saya, Anda adalah ibarat perisai dan lembing. Bangkitlah dan berilah pelajaran kepada para pendurhaka itu.” Maka 12.000 pejuang dari suku Rabi’ah dan Hamdan bangkit dengan pedang terhunus. Panji dipegang oleh Hudhain ibn al-Mundzir.
Ketika memasuki barisan musuh, mereka menggunakan pedang sedemikian rupa sehingga kepala-kepala berjatuhan, tubuh-tubuh bergelimpangan dan di kedua pihak mengalir darah. Dan serangan para jago pedang ini tidak berhenti hingga hari menjelang berakhir dengan segala kehancurannya dan kegelapan turun dibawa oleh malam yang menakutkan yang dalam sejarah dikenal sebagai Malam al-Harir, di mana dencingan senjata, derap kaki kuda dan pekik jerit orang Suriah menimbulkan perhatian sedemikian rupa sehingga suara-suara lain yang sampai ke telinga tak terdengar. Di pihak Amirul Mukminin, slogannya yang menghancurkan kebatilan membangkitkan gelombang keberanian dan keperkasaannya sambil menggetarkan hati musuh.
Pertempuran telah mencapai puncaknya. Kantong panah para pemanah telah kosong. Batang-batang lembing telah patah. Pertempuran tangan berlangsung dengan pedang, dan mayat-mayat tertumpuk; menjelang pagi, jumlah yang tewas melebihi 30.000 orang.
Pada hari kesepuluh, orang-orang Amirul Mukminin menunjukkan moral yang sama. Di sayap kanan Malik al-Asytar memegang komando dan di sayap kiri ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Serangan-serangannya berlangsung seperti tentara baru. Tanda-tanda kekalahan nampak pada orang Suriah, dan mereka sudah hendak meninggalkan medan dan melarikan diri. Pada saat itu lima ratus mashaf Al-Qur’an diangkat di ujung lembing tentara Mu’awiah, yang mengubah seluruh wajah pertempuran. Pedang-pedang berhenti bergerak, senjata penipuan berhasil, dan jalan terbuka bagi berkuasanya kebatilan.
Dalam pertempuran ini 45.000 tentara Suriah tewas sementara 25.000 tentara ‘Iraq gugur. (Kitab Shiffin oleh Nashr ibn Muzahim (m. 212 H.) dan Tarikh ath-Thabari, jilid I, h. 3256-3349.)
Di antara yang hadir di Shiffin di pihak Amirul Mukminin terdapat 80 orang pahlawan Badr dan 800 yang hadir di Baiat Ridhwan. (al-Mustadrak, III, h. 104; al-Istî’âb, III, h. 1138; al-Ishâbah, II, h. 389; at-Târîkh al-Ya’qubi, II, h. 188).
Di samping orang-orang yang menonjol dan para sahabat Amirul Mukminin yang terkemuka seperti ‘Ammar, Dzusy-Syahadatain dan Ibn Tayyihan, yang gugur sebagai syahid di Shiffin adalah:
i. Hasyim ibn ‘Utbah ibn Abi Waqqash terbunuh pada hari yang sama dengan ‘Ammar. Ia pembawa panji tentara Amirul Mukminin pada hari itu.
ii. ‘Abdullah ibn Budail ibn al-Warqa” al-Khuza’i yang pernah menjadi komandan sayap kanan dan pernah pula sebagai komandan infantri pasukan Amirul Mukminin.
Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakam seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya.
Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.
Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amr bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama al-Quran.
Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah.
Melihat Al-Qur’an dijadikan alat siasat licik, Amirul Mukminin mengatakan, “Wahai, manusia. Janganlah kamu terjebak dalam penipuan dan kelicikan ini. Mereka menggunakan rancangan ini untuk mengelakkan aibnya kekalahan. Saya mengenal watak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Al-Qur’an dan tidak bertindak menurut perintah Al-Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru berhenti setelah mengalahkan musuh yang sedang sekarat.”
Namun, siasat licik kebatilan telah bekerja. Orang-orang itu mengambil sikap membangkang dan memberontak. Mis’ar ibn Fadaki at-Tamimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, masing-masing dengan pasukan sebesar 20.000 orang, menghadapi Amirul Mukminin seraya berkata, “Hai ‘Ali. Apabila Anda tidak menyambut seruan Al-Qur’an, kami akan memperlakukan Anda seperti kami memperlakukan ‘Utsman. Segeralah akhiri pertempuran, dan tunduklah kepada keputusan Al-Qur’an.”
Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah berdiri di hadapan mereka berjubahkan mashaf Al-Qru’an. Ia tidak mengizinkan mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran. Karena terpaksa, Amirul Mukminin mengirim Yazid ibn Hanif’ memanggil Malik.
Ketika Malik mendengar perintah ini, ia menjadi bingung, seraya berkata, ‘Tolong katakan kepadanya, ini bukan saat untuk meninggalkan posisi. Ia boleh menunggu sebentar saat saya menghadapnya dengan berita kemenangan.” Ibn Hani’ menyampaikan pesan itu sekembalinya, tetapi orang-orang berteriak bahwa tentulah Amirul Mukminin telah menyampaikan pesan rahasia kepadanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa tak ada kesempatan baginya untuk menyampaikan suatu pesan rahasia. Segala yang dikatakannya dilakukan di hadapan mereka.
Orang-orang itu mengatakan bahwa Ibn Hani’ harus diutus lagi, dan apabila Malik menunda kedatangannya maka Amirul Mukminin akan kehilangan nyawa. Amirul Mukminin menyuruh lagi Ibn Hani dan menyampaikan pesan bahwa telah terjadi pemberontakan; ia harus kembali dalam keadaan bagaimanapun. Maka Ibn Hani’ pergi lagi lalu mengatakan kepada Malik, “Apakah Anda lebih mencintai kemenangan atau nyawa Amirul Mukminin? Kalau nyawanya lebih Anda cintai, Anda harus melepaskan tangan dari pertempuran lalu pergi kepadanya.” Dengan meninggalkan kesempatan untuk menang, Malik berangkat menghadap Amirul Mukminin dengan sedih dan kecewa. Kekacauan pun berkecamuk. Ia membantah orang-orang itu dengan sangatnya, tetapi mereka tak dapat diperbaiki lagi.
Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam supaya mereka menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, “Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakam. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhirnya mengatakan, “Nah, Iakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”
Setelah pengangkatan hakam, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abi Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”
Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakam memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan, rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.
Ketika tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakam itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn ‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia duduk.
Sekarang giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya. Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia pada kedudukan itu.”
Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn ‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau mati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn ’Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah Mu’awiah dikuatkan kembali.
Inilah ringkasan riwayat Tahkim yang dasarnya dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah. Tetapi, apakah itu keputusan Al-Qur’an, ataukah itu hasil tipu daya licik yang selalu digunakan manusia duniawi untuk mempertahankan kekuasaan mereka?
Dapatkah lembaran-lembaran sejarah ini dijadikan obor penyuluh bagi masa depan?
Pantaskah Al-Qur’an dan sunah digunakan sebagai alat untuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi?
Siapakah Ammar bin Yasir ??
Nabi SAW menyebut Mu’awiyah cs sebagai kelompok pemberontak sesat !
Sabda Rasulullah SAW kepada Ammar: “Betapa kasihan Ammar, golongan pembangkang telah membunuhnya, padahal dia menyeru mereka kepada kebenaran (surga) sementara mereka menyeru kepada kesesatan (neraka)” (Hr. Bukhari, Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad).
Padahal Allah SWT menyatakan : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal didalamnya dan Allah murka kepada, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Qs. An Nisa ayat 93).
Juga sabda nya : “Anakku Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar yang berselisih”. Dan sabdanya pada Abu Dzar bahwa ia akan mati sendirian dan terasing. Demikian pula dengan sabda nya : “Imam imam setelahku ada 12, semuanya dari Quraisy”.
Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).
Pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa ‘Ammar dibunuh kelompok pemberontak.
Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu alGhadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya. Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”. (Ibn Qutaibah, AlMa’arif, hlm. 112).
Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu alGhadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as Saksaki (Ibn Abil Hadid, Syarh NahjulBalaghah,jilid 10, hlm. 105).
.
Sunni menutupi kesalahan kesalahan para Sahabat dengan menyalahkan tokoh fiksi Abdullah bin Saba’, menyembunyikan hadis dan membuat buat hadis palsu jaminan Surga kepada musuh musuh ahlulbait
Pasca wafat Nabi SAW, para sahabat banyak mengembangkan ijtihad dari hasil pemikirannya sendiri, walaupun itu harus merubah hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul sebelumnya !
Muawiyyah si Pengingkar Hadis Nabi Saaw.
Bekasi –
Husein bin Hamid Alattas akui dirinya tidak menganggap Muawiyah RA sebagai sahabat Nabi SAW, ia juga mengakui Muawiyah RA boleh dihujat dan dikritik. Meskipun, dirinya menyatakan bermanhaj sebagai Ahlus Sunnah.
“Secara lughowy (bahasa) Muawiyah termasuk sahabat, tetapi secara syar’i Muawiyah tidak termasuk sahabat,” kata Husein Hamid Alattas di tengah acara dialog dan mubahalah antara ustadz Haidar Abdullah Bawazir dengan Husein bin Hamid Alattas di Radio Silaturahim, Jl. Masjid Silaturahim No. 36, Cibubur, Bekasi, Rabu (27/6).
Husein berpendapat, Muawiyah RA merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya orang beriman dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah RA dengan Ali bin Abi Tholib RA yang berujung dengan peperangan. Pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah. “Memecahbelah umat dan menguasai harta,” tambah Husein.
Pendapat bahwa terdapat perbedaan makna sahabat secara bahasa dan syar’i dan ketidaksepakatan ulama dalam menilai sahabat yang membunuh orang beriman, menurutnya adalah berdasarkan kitab ulasan orang-orang yang sesuai dengan buku kalangan sunni kontemporer karya Hasan Farhan Al Maliki yang berjudul ‘Assubhu was Sahabah’. “Dalam buku itu tidak terdapat ijma dalam ahlussunnah berkaitan pandangan tersebut (status sahabat bagi orang yang membunuh orang beriman),” ujar Husein.
Penjelasan tersebut diutarakan Husein, setelah menolak definisi sahabat oleh jumhur ulama yang diutarakan ustadz Haidar Bawazir, yakni seseorang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan beriman ketika hidup dan beriman hingga ia meninggal dunia.
Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh. Muawiyah dan Amru bin Ash, yang mengobarkan perang Shiffin melawan Imam Ali.
Allah berfirman: “Barang siapa yang membunuh mukmin secara sengaja, Neraka Jahanam adalah balasan bagi mereka. Allah mengutuk dan memurkainya, dan azab yang sangat pedih menantinya” (QS. an-Nisa :93).
Dengan demikian, apakah kita harus menghormati seluruh sahabat dan mengikuti mereka semua, meski di antara mereka telah dikutuk Allah dengan ayat diatas? Mengapa kita harus mencintai orang yang dimurkai oleh Allah, dan kenapa kita harus taat pada orang yang telah dijanjikan baginya neraka?
Dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka.”
Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar : “Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).
Tahukah anda bahwa Nabi Muhammad bersabda seperti yang diriwayatkan Musnad Ahmad ibn Hanbal: “Barang siapa yang mengutuk Ali secara terang-terangan, maka ia telah mengutuk aku, dan barangsiapa yang telah mengutuk aku, maka ia telah mengutuk Allah, dan barangsiapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparkannya ke neraka jahanam.”
Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis ! Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).
Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.
Baladzuri mencatat dalam Ansab al-Asyraf (3/ 403) :
Doa Imam Ali Untuk Muawiyah dan Pengikutnya.
Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syarik ia memang seorang yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya. Ishaq Al Azraq meriwayatkan dari Syarik sebelum hafalannya berubah maka riwayatnya shahih.
Riwayat ini sanadnya hasan dengan penguat riwayat sebelumnya. ‘Abdullah bin Khalid adalah seorang kufah yang tsiqat dimana telah meriwayatkan darinya Sufyan Ats Tsawri dan Al A’masy.
Riwayat ini sanadnya shahih, Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]. Sedangkan Hushain dan Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan kalau mereka tsiqat.
Riwayat ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat termasuk perawi Bukhari Muslim [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin perawi kutubus sittah [At Taqrib 2/193]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Ubaid bin Hasan Al Muzanniy atau Abu Hasan Al Kufiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Nasa’I menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 128]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/643]. Dan ‘Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan bahwa ia tabiin yang tsiqat.
Kedua riwayat Abdurrahman bin Ma’qil ini menyebutkan kalau diantara mereka yang didoakan [dalam qunut] keburukan atau laknat oleh Imam Ali adalah Mu’awiyah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Imam Ali, Muawiyah dan pengikutnya itu menyimpang dan telah sesat plus menyesatkan banyak orang sehingga Imam Ali sampai membaca qunut nazilah untuk mereka. Abbas Ad Duuriy berkata:
Kelompok Muawiyah Berada Di Jalan Yang Bathil.
Telah terbukti kalau ‘Ammar terbunuh dalam perang shiffin dan ia berada di pihak Imam Ali jadi kelompok baaghiyyah [pembangkang] yang membunuh ‘Ammar dalam hadis Bukhari di atas adalah kelompok Muawiyah. Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok yang mengajak ke neraka. Jadi berdasarkan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dalam perang shiffin Imam Ali dan pengikutnya berada dalam kebenaran sedangkan Muawiyah dan pengikutnya berada dalam kesesatan.
Riwayat ini sanadnya hasan. ‘Abdullah bin Salamah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit perbincangan karena hafalannya. Riwayat ini juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 no 5651.
Kami juga ingin menegaskan kepada orang yang memang tidak punya kemampuan memahami perkataan orang lain bahwa kami tidak pernah menyatakan kalau Muawiyah dan pengikutnya kafir dalam perang shiffin berdasarkan hadis-hadis di atas. Jika dikatakan mereka bermaksiat maka itu sudah jelas, orang yang mengajak ke jalan neraka maka sudah jelas ia bermaksiat. Tetapi apakah maksiat itu membawa kepada kekafirannya maka hanya Allah SWT yang tahu. Soal Muawiyah kami sudah pernah membahas hadis shahih yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mati tidak dalam agama islam sedangkan soal pengikutnya yang lain kami tidak memiliki dalil yang jelas soal itu.
Syubhat Salafy Dalam Membela Muawiyah.
Riwayat ini secara zahir sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat tetapi terdapat illat di dalamnya. Adz Dzahabi mengatakan tentang Yazid bin Al Aasham kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih [As Siyar 4/517 no 211]. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi ia menemui masa khalifah Ali tetapi tetap saja Adz Dzahabi sendiri mengatakan kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih. Cukup ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa terkadang ada perawi yang melihat atau bertemu atau semasa dengan perawi lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dikatakan tidak shahih. Salah satu contohnya adalah Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Madini berkata tentangnya “ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520].
Ada yang berhujjah sembarangan dengan hadis ini. Mereka dengan hadis ini membela Muawiyah dan pengikutnya. Ini namanya asal berhujjah, telah kami tunjukkan bagaimana pandangan Imam Ali sebenarnya kepada kelompok Muawiyah. Jika Imam Ali sendiri berdoa dalam qunut nazilah agar Muawiyah dan pengikutnya mendapatkan hukuman dari Allah SWT maka sudah jelas menurut Imam Ali mereka kelompok Muawiyah berada dalam kesesatan atau kebathilan dan hal ini pun sesuai dengan petunjuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan pandangan ‘Ammar bin Yasir radiallahu ‘anhu.
Jadi jika riwayat di atas diartikan bahwa Imam Ali membenarkan Muawiyah dan pengikutnya maka itu keliru. Kami pribadi menganggap atsar tersebut matannya mungkar dan sanadnya memang mengandung illat. Bukankah dalam perang shiffin Muawiyah dan pengikutnya telah terbukti berada di atas Jalan yang menuju ke neraka berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih. Apakah mereka yang gugur karena membela kebathilan akan mendapat imbalan surga?. Jadi dari sisi ini kalau riwayat tersebut diartikan secara zahir maka mengandung pertentangan dengan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Seandainyapun orang-orang tersebut menerima riwayat Imam Ali di atas maka sudah seharusnya diartikan bahwa yang dimaksud bukan secara umum. Bukankah salafy sendiri [Muawiyah dan pengikutnya] menganggap bahwa dalam kelompok Imam Ali terdapat para pembunuh Utsman radiallahu ‘anhu. Nah apakah mereka yang terbunuh dalam kelompok Imam Ali ini akan mendapat surga? Silakan mereka salafy menjawabnya. Begitu pula mungkin saja dalam kelompok Muawiyah terdapat orang-orang yang tidak memahami persoalan, mereka tertipu oleh propaganda Muawiyah atau dengan bahasa yang lebih kasar fitnah kalau Imam Ali dan pengikutnya melindungi para pembunuh khalifah Utsman radiallahu ‘anhu. Mungkin saja kelompok ini yang dikatakan Imam Ali bahwa yang terbunuh diantara mereka mendapat surga. Sehingga sangat wajar di akhir riwayat Imam Ali mengatakan kalau masalah ini adalah antara diri Beliau dan Muawiyah.
Selain itu sangat ma’ruf kalau tidak semua orang yang ikut berperang memiliki niat yang baik walaupun mereka berada di pihak yang benar. Kedudukannya tergantung niat orang tersebut, jika ia berperang dengan niat mendapatkan harta atau niat lain yang buruk dan gugur dalam perang tersebut bukan berarti ia lantas mendapat surga. Terdapat kisah dimana salah seorang sahabat gugur di medan perang kemudian para sahabat yang lain mengatakan ia syahid tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membantahnya dan mengatakan kalau ia di neraka karena sahabat tersebut telah berkhianat dalam harta rampasan perang. Kami cuma ingin menyampaikan bahwa atsar Imam Ali di atas seandainya kita terima maka ia tidak bisa diartikan secara umum untuk semua orang yang terbunuh di shiffin. Apalagi sangat tidak benar menjadikan hadis ini untuk membela Muawiyah dan pengikutnya yang lain.
Sebenarnya ada hal lucu yang tidak terpikirkan oleh salafy. Bukankah mereka sering merendahkan Syiah yang katanya Syiah mengatakan bahwa Imam Ali mengetahui perkara yang ghaib. Padahal yang dilakukan syiah mungkin hanya berhujjah dengan riwayat yang ada di sisi mereka. Sekarang lihatlah riwayat Imam Ali di atas, bukankah pengetahuan siapa yang akan masuk surga adalah pengetahuan yang bersifat ghaib lantas kenapa sekarang salafy anteng-anteng saja meyakini riwayat tersebut. Sekarang dengan lucunya [demi membela Muawiyah] salafy mengakui kalau Imam Ali mengetahui perkara ghaib bahwa yang terbunuh di shiffin itu masuk surga. Sungguh tanaqudh dan memprihatinkan mereka suka mencela mazhab lain tetapi apa yang mereka cela ada pada diri mereka sendiri.
Bukan nashibi namanya kalau tidak membela Muawiyah. Segala cara akan mereka lakukan untuk membela Muawiyah, apapun yang terjadi pokoknya Muawiyah harus dibebaskan dari segala perilaku buruk. Setiap perilaku buruk Muawiyah harus ditafsirkan sebagai akhlak yang mulia. Jika Muawiyah meminum minuman yang diharamkan maka harus ditafsirkan bahwa yang ia minum adalah susu. Jika Muawiyah menolak hadis dan menuduh sahabat berdusta maka harus ditafsirkan ia berijtihad. Orang yang berakal pasti akan merasa geli melihat ulah para nashibi yang menghalalkan segala cara untuk membela pujaan mereka Muawiyah.
Berkaitan dengan Muawiyah mencela Imam Ali, para nashibi [yang biasa terlibat di forum konyol kebanggaan mereka] menolak dengan sombongnya kalau Muawiyah mencela Imam Ali. Bahkan ada diantara mereka yang berlisan kotor menuduh orang yang tidak sependapat dengannya sebagai Dajjal. Na’udzubillah betapa buruknya akhlak para nashibi.
Kami sarankan agar para pembaca tidak terlibat diskusi dengan mereka karena kasihan itu hanya akan memperbanyak dosa mereka. Diskusi itu pada akhirnya hanya akan membuat para nashibi menghina anda bahkan menyebut anda Dajjal. Apalagi kalau anda tidak hati-hati dan terbawa emosi maka anda akan ikut ikutan menghina pula jadilah diksusi itu ajang caci mencaci dan hina menghina. Biarkanlah mereka hidup dengan tabiat mereka yang suka menghina, tidak lain itu warisan dari pujaan mereka Muawiyah yang suka mencaci Imam Ali,
Nashibi yang sok berasa paham ilmu hadis Ahlus sunnah setelah menukil riwayat ini, ia menyatakan bahwa riwayat ini dhaif karena inqitha’ atau sanadnya terputus. Ibnu Sabith tidak mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqash maka riwayatnya mursal. Pernyataan ini hanya bertaklid buta pada pendapat Ibnu Ma’in berikut yaitu dari riwayat Ad Duuriy,
Yahya bin Ma’in beranggapan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’ad, Abu Umamah, dan Jabir. Riwayat Ibnu Saabith dari ketiganya adalah mursal. Ini adalah pendapat atau mazhab Ibnu Ma’in dan ternyata terbukti keliru. Imam Bukhari berkata:
Dan terdapat riwayat dari Ibnu ‘Adiim dalam kitabnya Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab menyebutkan riwayat dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [silakan lihat http://islamport.com/w/tkh/Web/363/1013.htm%5D
Riwayat ini kedudukannya shahih telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Para perawi yang kami jelaskan berikut adalah yang kami cetak biru,
Dari riwayat tersebut Ibnu Saabith bertemu dengan Jabir bin ‘Abdullah radiallahu ‘anhu bahkan melihat Husain bin Ali [‘alaihis salam]. Imam Husain wafat pada tahun 61 H [Al Kasyf no 1097]. Maka peristiwa di atas terjadi sebelum tahun 61 H dan saat itu Ibnu Saabith sudah dewasa dan bersama Jabir radiallahu ‘anhu. Sa’d bin Abi Waqash wafat pada tahun 55 H [Al Kasyf no 1845] maka Ibnu Saabith bertemu dengan Sa’d bin Abi Waqash apalagi, Ibnu Saabith itu adalah orang Makkah dan peristiwa Muawiyah mencela Imam Ali terjadi ketika Sa’ad bin Abi Waqash sedang berada di Makkah. Bagaimana mungkin perawi yang berada dalam satu masa dan satu kota yang sama bisa dikatakan tidak mendengar dan riwayatnya mursal. Kesimpulannya mazhab Ibnu Ma’in dalam hal ini terbukti keliru.
Ibnu Hajar dalam Al Ishabah mengutip bahwa ada yang mengatakan kalau Ibnu Saabith tidak shahih mendengar dari sahabat Nabi dan ada yang mengatakan kalau ia tidak menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash [Al Ishabah 5/228 no 6691]. Kemungkinan orang yang dimaksud Ibnu Hajar tersebut adalah Ibnu Ma’in. Lagipula terlepas dari siapa yang dikutip Ibnu Hajar tersebut pernyataan itu keliru. Ibnu Saabith terbukti mendengar dari Jabir radiallahu ‘anhu dan ia menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash.
Ad Dhiya’ Al Maqdisi dalam kitabnya Al Ahadits Al Mukhtarah [dimana ia menshahihkan hadis yang ia kutip] mengutip hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dengan judul “Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d radiallahu ‘anhu” [Al Ahadis Al Mukhtarah no 1008]. Hal itu menunjukkan bahwa di sisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’ad adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d. Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah 7/376 juga membawakan hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d di atas dan ia berkata “sanadnya hasan” maka itu berarti disisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d,
Kami telah menjelaskan panjang lebar makna hadis ini dalam tulisan kami yang lalu, dimana kami membantah penafsiran An Nawawi terhadap hadis ini. Disini kami hanya ingin mengutip ulama yang menguatkan hujjah kami bahwa makna hadis riwayat Muslim di atas adalah Muawiyah memerintahkan Sa’ad untuk mencaci Imam Ali.
Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy termasuk ulama yang mengartikan riwayat Muslim sebagai Muawiyah memerintah Sa’ad untuk mencaci Imam Ali. Dalam kitabnya Syarh Sunan Ibnu Majah, ketika menjelaskan lafaz “Fanala minhu” dalam hadis Ibnu Saabith di atas ia berkata:
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Manhaj As Sunnah ketika menyinggung hadis Sa’ad riwayat Muslim, ia berkata:
Penafsiran kami terhadap hadis ini jelas bersandarkan pada teksnya. Lafaz pertama “Muawiyah memerintah Sa’ad” kemudian lafaz berikutnya Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab”. Maka orang yang paham dan punya akal pikiran dapat mengetahui bahwa hadis itu bermakna Muawiyah memerintahkan Sa’d mencaci Ali tetapi Sa’d menolaknya maka Muawiyah bertanya “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab?”. Sedangkan apa yang dijelaskan oleh Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti secara buta oleh para nashibi [karena membela idola mereka] adalah penakwilan dan tidak berdasarkan pada lafaz hadisnya.
Berikut akan kami bawakan hadis lain sebagai bukti Muawiyah mencela Imam Ali dan menuduhnya dengan tuduhan konyol yang jika saja perkataan serupa ditujukan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami yakin para nashibi akan mengkafirkan orang yang mengatakannya.
Perhatikan hadis di atas setelah mengetahui ‘Ammar bin Yasar radiallahu ‘anhu terbunuh dan terdapat hadis bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang maka Muawiyah menolaknya bahkan melemparkan hal itu sebagai kesalahan Imam Ali. Menurut Muawiyah, Imam Ali dan para sahabatnya yang membunuh ‘Ammar karena membawanya ke medan perang dan menurut Muawiyah Imam Ali itu yang seharusnya dikatakan sebagai kelompok pembangkang. Sudah jelas ini adalah celaan yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya.
Tentu saja itu sama halnya dengan Muawiyah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membunuh para sahabat Badar dan Uhud yang syahid di medan perang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membawa mereka ke medan perang. Bayangkan jika perkataan dengan “logika Muawiyah” ini diucapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sudah pasti para nashibi itu akan menyatakan kafir orang yang mengatakannya. Mari kita lihat dalih dalih konyol para nashibi atas pembelaan mereka terhadap sahabat pujaan mereka Muawiyah.
Pemenang politik, membuat sejarah versi kepentingan politiknya !”
Di zaman Global Modern saja Malaysia berbuat seperti ini, lalu apa yang dilakukan Dinasti Umayyah Abbasiyah di zaman kegelapan dulu ??
Berita terbaru dari Kementerian Dalam Negeri (KDN) Malaysia telah menetapkan perintah larangan terhadap tiga buah buku yang diterbitkan di Indonesia karena menyebarkan doktrin yang bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah.
Sekretaris Bagian Pengendalian Publikasi dan Teks Al-Quran, Abdul Aziz Mohamed Nor menjelaskan, tiga buku yang diharamkan adalah “Pengantar Ilmu-ilmu Islam,” “Dialog Sunnah Syi’ah” dan “Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah.” Buku “Pengantar Ilmu-ilmu Islam” ditulis oleh Murtadha Muthahhari dan diterbitkan Pustaka Zahra dari Jakarta, sedangkan “Dialog Sunnah Syi’ah” ditulis oleh A Syarafuddin Al-Musawi dan diterbitkan Penerbit Mizan Bandung.
Sementara “Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah” pula ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat dan diterbitkan PT Remaja Rosdakarya, juga dari Bandung.”Jika ini dibiarkan, buku-buku ini dapat membahayakan ketertiban,” kata Abdul Aziz kepada wartawan, tadi malam.
Perintah larangan ini, lanjut Abdul Aziz, sesuai dengan Pasal 7 (1) Akta Mesin Cetak dan Penerbitan 1984 yang menjadi satu kesalahan menurut ayat 2 Pasal 8 akta tersebut. “Adalah menjadi satu kesalahan jika pihak yang mencetak, mengimpor, memproduksi, mereproduksi, mempublikasikan, menjual, mengeluar, mengeliling, menawarkan untuk menjual, mendistribusikan atau ada dalam miliknya, bahan yang akan dikenakan perintah larangan itu,”.
katanya. Abdul Aziz menambahkan, siapapun yang melanggar larangan ini bisa dipenjara maksimal tiga tahun atau denda maksimal RM20,000 atau keduanya.
Sunni menekankan bahwa Qur’an sendiri tidaklah cukup. Qur’an membutuhkan penafsiran hadist untuk mengetahui artinya.
Problem utama yang saya dapati dari paham Ahlussunnah adalah mereka sangat menjunjung tinggi pendapat dari sahabat Nabi (meski pun mereka selalu mengulang-ulang mengatakan bahwa mereka sahabat tidak maksum).
Pengkultusan ini begitu hebatnya hingga pada titik dimana terdapat perbedaan pendapat antara Nabi dan Sahabat, maka mereka Salafy tidak mengindahkan perkataan Nabi sebaliknya perkataan Sahabatlah yang dijadikan acuan, seakan-akan Sahabat merupakan orang-orang yang paling benar, paling layak dicontoh dan paling tepat sebagai pembawa Risalah Allah swt.
Imam Ali menunda baiatnya jelas, yang mana menjelaskan kepada kita bahwa Imam Ali as tidak pernah mendengar isyarat atau penunjukan Abubakar sebagai pengganti Nabi saw. Jika Imam Ali as pernah mendengar isyarat ini maka bagi Imam Ali as tdk perlu menunggu waktu lama (bahkan hingga 6 bulan?) untuk melakukan baiat. Manusia di sekitar Nabi saw yang pertama pertama akan melaksanakan perintah Nabi saw adalah Imam Ali as.
Jangankan hanya membaiat, mengorbankan jiwanya untuk menggantikan Nabi saw pun bukan masalah. Penolakan Imam Ali as untuk membaiat kepada khalifah terpilih juga menegaskan 1 hal, yakni Imam Ali as sdh mengetahui dari Rasul saw siapa yang seharusnya menjadi pimpinan umat mukmin setelah Rasul saw wafat. Yang pasti bukanlah Abubakar.
Saudaraku...
- Imam Ali terpaksa membai’at Abubakar karena ingin memelihara umat agar tidak mati sia sia dalam perang saudara melawan Pasukan Abubakar dibawah pimpinan Khalid Bin Walid yang haus darah
- Dengan mengalah Imam Ali telah menyelamatkan umat Islam dari kehancuran..Kalau perang saudara terjadi dan imam Ali tidak membai’at Abubakar maka tidak ada lagi Islam seperti yang sekarang ini
Bila Syiah tidak ada maka agama Islam hari ini hanya menjadi kenangan sejarah saja, sebab Mazhab Ahlusunnah telah gagal memelihara agama ini dari olok olok musuh Islam dan mereka hari ini menjadi antek antek Kafir Zionis (masa sih, kalau mazhab yang paling benar tapi tunduk pada kekuatan kafir, sementara Allah mengatakan Islam lebih tinggi kedudukan dari orang orang kafir).
Hukum Islam sudah tidak lagi ditegakkan di seluruh negara yang bermazhab Ahlusunnah, bahkan mereka berijtihat dengan menentang nash nash yang sudah jelas dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, lebih lebih Saudi Arabia, itu menjadi satu bukti bahwa mazhab Ahlusunnah sudah tidak layak untuk diikuti…Bukankah Ahlah mengatakan dalam al-Quran QS 5: 44 bahwa barangsiapa yang tidak menegakkan hukum Allah (Syariat Islam) mereka adalah KAFIR???
Dengan ribuan fakta buruk lain masihkah mazhab Ahlusunnah itu dapat dianggap sebagai wakil Islam??????? Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dan Islam dari segala kekurangan mazhab Ahlusunnah.
Sebagai bahan renungan, Bila ada isme isme yang gagal dalam menerapkan kebijakannya sendiri, itu cukup menjadi bukti bahwa isme isme itu keliru. …Maaf bila saya katakan Mazhab Sunni keliru karena GAGAL TOTAL dalam menerapkan Syariat Islam dari dulu hingga kini… Gagal menerapkan Hukum Syariat???? Itu artinyaaaaaaaa……. silahkan baca lagi QS. al-Maaidah: 44…
Mazhab Anda telah ratusan tahun memfitnah dan menuduh Syiah kafir/sesat. Tapi sayang sekali, itu tidak terbukti. Maka sesuai dengan cukuplah yang tertuduh (Syiah) akan selamat
Qs. Al-Ahzab 33:….”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat, Kitab Allah dan Ithrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).
Allah memerintah kita mempergunakan akal kita untuk berfikir dan mencari kebenaran.. Banyak kok orang mengklaim mencintai ahlul bait tetapi ketika ahlul bait dizalimi mereka berkeras menolak dan mencari-cari dalih…mengikuti Aswaja yang notabene warisan Muawiyah, musuhnya Ahlul Bait Nabi saw… Saat ini kita berhadapan dengan saudara-saudara yang terjebak dalam pengaruh mu’awiyah yang memenuhi kitab-kitab salaf.
Di antara pernyataan Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang Syi’ah:
KH Umar Syihab (Ketua MUI):
Kata Umar, MUI tidak pernah menyatakan, bahwa Syiah itu sesat. Syiah dianggap salah satu mazhab yang benar, sama halnya dengan ahli sunnah wal jama’ah. Ajaran Syiah, kata Umar, sudah diakui di dunia islam sebagai mazhab yang benar sampai saat ini.
KH Said Agil Siradj (Ketua NU):
Menurut Said Aqil, Sunni dan Syiah hanya dijadikan alat seolah-olah memang ada permusuhan. Padahal tidak, mereka dari dulu sampai sekarang hidup damai berdampingan. Ketua Umum PBNU itu meminta semua pihak bisa menahan diri dengan tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis. “Pihak ketiga itu selalu melancarkan provokasi supaya konflik terus terjadi. Dan bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi di kemudian hari,” katanya.
Prof Dr Said Agil Siraj mengungkapkan, di sejumlah negara Islam maupun Timur Tengah yang hidup faham Suni dan Syiah, dapat hidup rukun dan berdampingan. ”Bahkan Mufti Syria Badruddin Hassun yang berasal dari Suni, fatwa-fatwanya sangat didengar oleh kelompok Syiah,” jelas Kiai Siraj seraya menambahkan kondisi serupa terjadi di Saudi Arabia, Pakistan, maupun Libanon.
Bahkan di Libanon Selatan, lanjut Said, Hizbullah dari kelompok Syiah didukung juga oleh kelompok Suni. Dikatakan Said, sepanjang sejarah, perbedaan yang terjadi antara Suni dan Syiah sebenarnya, terkait soal kekuasaan atau lazim disebut imamah. Karena itu, kelompok Syiah memasukkan masalah imamah ke dalam rukun agama dan sejak dini anak-anak mereka diajarkan pengetahuan tentang imamah. “Dalam perkembangan Islam, kedua kelompok Suni dan Syiah sama-sama memberikan andil dan peran yang sangat besar dalam peradaban Islam,” tegas kyai Siraj.
Said menyebut sejumlah tokoh Syiah yang memberikan andil besar bagi kemajuan Islam. Sebut saja misalnya Ibnu Sina, seorang filsuf yang juga dikenal sebagai seorang dokter, Jabir bin Hayyan yang dikenal sebagai penemu ilmu hitung atau aljabbar, dan seorang sufi Abu Yazid al Busthami. Mereka yang beraliran Syiah ini telah menyumbangkan ilmunya bagi kemajuan Islam. “Jadi, kedua kelompok ini adalah aset yang sangat berharga bagi umat Islam.”.
Ahmad Syafi’i Maarif (Mantan Ketua Muhammadiyyah):
Syiah telah diakui sebagai mazhab kelima dalam Islam. Dia pun menyatakan bahwa setiap orang, sekalipun atheis berhak hidup. Terpenting, katanya, bisa hidup rukun dan toleran.
Prof Dr Din Syamsudin (Ketua Muhammadiyyah):
Pada Konferensi Persatuan Islam Sedunia yang berlangsung 4-6 Mei 2008 di Teheran, Iran, Din Syamsuddin pernah mengatakan, bahwa Sunni dan Syi’ah ada perbedaan, tapi hanya pada wilayah cabang (furu’yat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah). Menurut Din, Sunni dan Syi’ah berpegang pada akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajat penghormatan terhadap sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, yakni Ali bin Abi Thalib.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga mengatakan, sewajarnya jika dua kekuatan besar Islam ini (Sunni dan Syi’ah) bersatu melawan dua musuh utama umat saat ini yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. (Detikcom 5 Mei 2008).
Dikatakan Din, seandainya tidak dicapai titik temu, maka perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi. Seluruh elemen umat Islam dalam kemajemukannya perlu menemukan “kalimat sama” (kalimatun sawa) dalam merealisasikan misi kekhalifahan di muka bumi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan bahwa persatuan umat Islam khususnya antara kaum Sunni dan kaum Syiah, adalah mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan Islam. Kejayaan umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok umat Islam tersebut.
Patut kita ketahui bahwa NU dan Muhammadiyah adalah 2 ormas Islam terbesar di Indonesia. Sementara MUI (Majelis Ulama Indonesia) adalah perwakilan dari para ulama di seluruh Indonesia. Jika mereka menyatakan (sebagian) Syi’ah itu lurus, masih beranikah kita menyebut semua Syi’ah itu sesat bahkan kafir?
Prof Dr Quraisy Shihab bahkan membela Syi’ah dengan menulis buku “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Cuma sebagaimana para ulama yang membela bahwa tidak semua Syi’ah itu sesat, Quraisy Shihab oleh kelompok Wahabi yang ekstrim difitnah sebagai Syi’ah. Begitu pula Said Agil Siradj.
*****
Syi’ah mencela sahabat ?? RASUL MENGATAKAN BAHWA
AMMAR BIN YASIR AKAN DIBUNUH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA yakni
KELOMPOK MUAWIYAH.
Syi’ah mencela sahabat ??Perang Siffin yang mengorban lebih 70.000 orang, kebanyakannya sahabat dan tabi’in .
RASUL MENGATAKAN BAHWA AMMAR BIN YASIR AKAN DIBUNUH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA yakni KELOMPOK MUAWIYAH.
Kebencian kepada Imam Ali as. adalah bukti kuat kemunafikan.
Dalam banyak hadis, Nabi menyabdakan:
Imam Muslim dan lainnya meriwayatkan dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:
وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ
النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ
يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.
“Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”[Imam Muslim dalam Shahihnya].
Allah SWT akan membongkar kedok kebusukan mereka melalui apa yang terlontar dari mulut-mulut mereka yang mencerminkan kebusukan hati mereka. Allah berfirman:
أَمْ حَسِبَ الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ
أَضْغانَهُمْ * وَ لَوْ نَشاءُ لَأَرَيْناكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ
بِسيماهُمْ وَ لَتَعْرِفَنَّهُمْ في لَحْنِ الْقَوْلِ وَ اللَّهُ يَعْلَمُ
أَعْمالَكُمْ.
“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka.* Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. Muhammad [47]:29-30).
Tanggal 1 Shafar tahun 37 Hijriah, Perang Shiffin meletus. Perang ini terjadi antara pasukan Imam Ali as melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan, rakyat Madinah membaiat Imam Ali as dan mengangkat beliau sebagai khalifah. Namun, Muawiyah, seorang Gubernur di Damaskus, menolak menerima kepemimpinan Imam Ali dan melakukan perlawanan bersenjata.
Ia hendak mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman. Peristiwa-peristiwa di hari-hari kemudian membuktikan bahwa setelah mengamankan pemerintahan ia tidak mengambil suatu langkah nyata untuk membalaskan darah ‘Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh ‘Utsman.
Walaupun Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan, ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H., setelah kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn ‘AbduIlah al-Bajali ke Mu’awiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan ‘Utsman kepadanya supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jarir dengan berbagai alasan, dan setelah berunding dengan ‘Amr ibn al-‘Ash, ia membangkang dengan dalih kasus pembunuhan ‘Utsman.
Gubernur Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan semangat balas dendam atas darah ‘Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya ‘Utbah ibn Abi Sufyan. ‘Utbah menyarankan, “Apabila dalam hal ini ‘Amr ibn ‘Ash dihubungi, ia akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi, ia tak akan mudah bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia tidak dibayari dengan apa yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk itu maka akan ternyata bahwa dia penasihat dan penolong yang terbaik.
Mu’awiah menyukai saran ini. Ia myuruh panggil ‘Amr ibn “’Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut balas atas darah ‘Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab atasnya. Sebagai imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam keadaan bagaimanapun ia tak akan membiarkan kekuasaan Mu’awiah di Suriah terganggu. Sesuai dengan itu, keduanya menepati dan memenuhi perjanjian itu.
Dengan Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan ‘Utsman terpikul pada ‘Ali, dan bahwa Ali memberi semangat dan melindungi para pengepung ‘Utsman. Sementara itu ia menggantungkan baju ‘Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah ‘Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah sehingga mereka bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia mendapatkan baiat mereka demi membalas dendam atas pembunuhan ‘Utsman, lalu ia bersiap untuk berperang. Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu mengirimkannya kembali ke Kufah dalam keadaan malu.
Ketika Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit menghadapi Mu’awiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbu’i untuk mengerahkan pasukan di lembah al-Nukhailah.
Sehubungan dengan itu, orang dari sekitar Kufah datang ke sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya melebihi 80.000 orang. Mula-mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan sebesar 8.000 di bawah komando Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000 orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani al-Haritsi ke Suriah. Setelah berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri berangkat ke Suriah memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.
Setelah keluar perbatasan kota Kufah, ia mendirikan salat lohor dan setelah berkemah di Dair Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Ka’b, Karbala’, Sabat, Baburasini, al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat ini menyukai ‘Utsman, dan di tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang itu telah berangkat dari Kufah untuk bergabung dengan Mu’awiah setelah membelot dari Amirul Mukminin. Ketika melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar jembatan Sungai Efrat supaya pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk menyeberang.
Tetapi, dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakha’i mereka ketakutan, dan setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu dan Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia melihat Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena keduanya mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa Mu’awiah sedang maju dengan tentaranya ke Sungai Efrat, dan karena berpikir bahwa mereka tidak akan mampu menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil menunggu Amirul Mukminin. Ketika mereka memberikan alasan kepada Amirul Mukminin mengapa mereka berhenti di situ, Amirul Mukminin menerima alasannya lalu mengirimnya ke depan.
Ketika mereka sampai di Sur ar-Rum, mereka mendapatkan bahwa Abu al-A’war as-Sulami (pihak Mu’awiyah) sedang berkemah di sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul Mukminin, lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan berusaha menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang sebenarnya sedapat mungkin.
Ketika tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin akan meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak pula ia mengambil langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-A’war menyerang secara tiba-tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang untuk memukulnya mundur. Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya Abu al-A’war melarikan diri di malam hari. Karena pertempuran telah dimulai, segera setelah fajar, seorang komandan pasukan ‘Iraq, Hasyim ibn ‘Uqbah al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan tempur.
Dari pihak lain datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk. Pada akhirnya Malik al-Asytar menantang Abu al-A’war bertarung dengannya, tetapi yang ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar maju.dengan pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan pasukannya lalu berangkat ke Shifffn bersama kontingen depannya dan pasukan-pasukan lainnya.
Mu’awiah telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah menempatkan pengawal di Sungai Efrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di sana Amirul Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan pengawalnya dari Sungai Efrat itu, tetapi Mu’awiah menolaknya. Karenanya pasukan ‘Iraq menghunus pedang lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.
Setelah itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn ‘Arnr al-Anshari, Sa’id ibn Qais al-Hamdani dan Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi kepada Mu’awiah untuk memperingatkannya tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi jawabannya adalah bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah ‘Utsman dan sekarang hanya pedang yang dapat menjadi perantara mereka.
Akibatnya, dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang memasuki medan dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn ‘Adi al-Kindi, Syabats ibn Ribi’ at-Tamimi, Khalid ibn al-Mu’ammar, Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi, Ziyad ibn Khashafah at-Taimi, Sa’id al-Hamdani, Qais ibn Sa’d al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakha’i. Dari pihak Suriah, ‘Abdur-Rahman ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-A’War as-Sulami, Habib ibn Maslamah al-Fihri, ‘Abdullah ibn Dzil-Kala’ al-Himyari, ‘Ubaidullah ibn ‘Umar ibn Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.
Ketika bulan Zulhijah berakhir, pertempuran harus dihentikan karena tibanya bulan Muharam 37 H. Tetapi pada 1 Safar pertempuran berlanjut dan kedua belah pihak mengatur barisannya saling berhadapan dengan pedang, lembing dan persenjataan lain. Di pihak Amirul Mukminin, Malik al-Asytar memimpin pasukan berkuda dan ‘Ammar ibn Yasir memimpin pasukan infantri Kufah, sedang Sahl ibn Hunaif al-Anshari memimpin pasukan berkuda dan Qais ibn Sa’d memimpin infantri asal Bashrah. Panji tentara diberikan kepada Hasyim ibn ‘Utbah. Di tentara Suriah, sayap kanan dipimpin Ibn Dzil-Kala’ sedang kontingen sayap kiri dikomandoi Habib ibn Maslamah, pasukan berkuda dipimpin ‘Amr ibn al-‘Ash dan pasukan infantri dikomandoi adh-Dhahhak ibn Qais al-Fihri.
Pada hari pertama, Malik al-Asytar memasuki medan pertempuran dengan pasukannya, sedang di pihak Mu’awiah Habib ibn Maslamah datang dengan pasukannya, dan pertempuran sengit pun berkecamuk sepanjang hari.
Keesokan harinya Hasyim ibn ‘Utbah tampil dengan pasukan di pihak Amirul Mukminin sedang Abu al-A’war muncul dengan pasukan infantri pihak Mu’awiah. Pasukan berkuda berhadapan dengan pasukan berkuda, infantri dengan infantri.
Hari ketiga, ‘Ammar ibn Yasir dan Ziyad ibn an-Nadhr tampil dengan pasukan berkuda dan infantri, sedang pasukan besar pihak Mu’awiah dipimpin ‘Amr ibn al-‘Ash. Ziyad menyerang pasukan berkuda sedang Malik al-Asytar menyerang pasukan infantri Mu’awiah dengan sengitnya sehingga pasukan Mu’awiah mulai kehilangan pijakan, tak dapat bertahan lalu kembali ke perkemahan.
Hari keempat, Muhammad ibn al-Hanafiah tampil di medan dengan pasukannya. Dari pihak Mu’awiah tampil ‘Ubaidullah ibn ‘Umar al-Khaththab dan pertempuran berlangsung keras.
Hari kelima, ‘Abdullah ibn ‘Abbas memimpin tentara Amirul Mukminin sedang Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith menghadapinya. ‘Abdullah ibn ‘Abbas melancarkan serangan dengan sangat ulet dan berani dan memberikan pukulan keras sehingga lawannya mundur meninggalkan medan.
Hari keenam, Qais ibn Sa’d al-Anshari rnaju menghadapi pasukan Ibn Dzil-Kala’ dan pertempuran sengit berkecamuk. Banyak tentara gugur pada kedua pihak. Malam memisahkannya.
Hari ketujuh Malik al-Asytar berhadapan dengan Habib ibn Maslamah dan pertempuran berlangsung hingga tengah hari.
Hari kedelapan Amirul Mukminin sendiri maju dengan tentaranya dan serangan dilakukan di seluruh medan pertempuran yang berlangsung amat sengit. Kemudian Amirul Mukminin menantang Mu’awiah, lalu Mu’awiah, disertai ‘Amr ibn al-‘Ash datang agak mendekat. Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Marilah hadapi aku. Biarlah barangsiapa yang membunuh lawannya kelak menjadi penguasa.” ‘Amr ibn al-‘Ash lalu berkata kepada Mu’awiah, “Ali benar. Beranikanlah diri Anda dan hadapilah dia.” Mu’awiah menjawab, “Saya tidak sedia menyia-nyiakan nyawa saya atas godaanmu.” Sambil berkata demikian ia mundur. Ketika Amirul Mukminin melihatnya mundur ia tersenyum lalu mundur pula.
Keberanian Amirul Mukminin dalam serangannya di Shifffn merupakan keperkasaan yang luar biasa. Bila saja ia keluar menantang di medan pertempuran, barisan lawannya menjadi kacau balau, dan bahkan petarung perkasa mengelak untuk menghadapinya. Itulah sebabnya maka dalam beberapa kesempatan ia maju ke medan dengan pakaian yang berbeda agar tidak dikenali lawan, supaya ada yang berani menghadapinya. Sekali ‘Arar ibn Ad-ham dari pihak Mu’awiah bertarung dengan ‘Abbas ibn Rabi’ah ibn al-Harits ibn ‘Abdul Muththalib. Mereka bertarung dengan alot dan tak ada yang jatuh, sampai ‘Abbas melihat bahwa sambungan pada baju zirah lawannya longgar.
Dengan pukulan mendadak ia menusuk sisi itu dengan pedangnya, dan kemudian ia menyerang sambungan-sambungan lainnya yang longgar. Kemudian, dengan tujuan yang sebenarnya ia menyerang dengan pedangnya langsung ke dadanya. Melihat ini orang menyerukan takbir. Mu’awiah kaget karena seruan itu dan setelah mengetahui bahwa ‘Arar ibn Ad-ham telah terbunuh, ia lalu berseru meminta siapa yang berani membalaskan dendam kematian ‘Arar itu dengan membunuh ‘Abbas ibn al-Harits. Beberapa orang tentara berkuda yang kelelahan dari kalangan suku lakhm datang menantang ‘Abbas. ‘Abbas mengatakan bahwa ia akan datang setelah meminta izin imamnya, lalu ia pergi kepada Amirul Mukminin untuk meminta izin. Amirul Mukminin menahannya, memakai baju ‘Abbas, dan sambil menunggang kuda tunggangan ‘Abbas ia masuk ke medan pertempuran. Karena mengira dia ‘Abbas, orang-orang Lakhm berkata, “Jadi, Anda telah mendapatkan izin imam Anda.” Sebagai jawabannya Amirul Mukminin membaca ayat,
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. “ (QS. 22:39).
Maka datanglah satu orang dari pihak lawannya sambil berteriak seperti gajah, menyerbu dengan mengamuk, tetapi Amirul Mukminin mengelakkan pukulannya lalu menetakkan pedangnya ke punggung penyerang itu sehingga badannya terputus dua. Mulanya dikira orang bahwa pukulan pedang itu sia-sia, tetapi ketika kuda tunggangannya melompat, tubuh itu jatuh dalam dua bagian. Setelah itu seorang lagi datang tetapi ia pun tewas dalam sekejap. Kemudian Amirul Mukminin menantang orang lain, tetapi dari pukulan pedangnya lawan mengetahui bahwa ialah Amirul Mukminin dalam pakaian ‘Abbas, dan tak ada lagi yang berani menghadapinya.
Pada hari kesembilan, sayap kanan di bawah komando ‘Abdullah ibn Budail dan sayap kiri di bawah pimpinan ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Pasukan di tengahnya dipimpin langsung oleh Amirul Mukminin. Di pihak Mu’awiah Habib ibn Maslamah memimpin pasukan Suriah. Ketika kedua barisan berhadap-hadapan, para pemberani menghunus pedang mereka dan saling menyerang dengan ganas seperti singa buas, dan pertempuran berkecamuk di seluruh medan. Panji sayap kanan tentara Amirul Mukminin berada di tangan Bani Hamdan.
Bila seseorang gugur, yang lainnya mengambil panji itu. Pertama-tama Kuraib ibn Syuraih memegangnya. Ketika ia gugur Syurahbil ibn Syuraih mengambilnya, lalu Martsad ibn Syuraih, kemudian Hubairah ibn Syuraih, kemudian Yarim ibn Syuraih, kemudian Sumail ibn Syuraih dan setelah gugurnya keenam orang bersaudara itu, panji dipegang berturut-turut oleh Sufyan, ‘Abd lalu Kuraib, ketiganya putra Zaid, dan semuanya gugur. Setelah itu panji dipegang oleh dua bersaudara, ‘Umair dan al-Harits ibn Basyir, dan setelah keduanya gugur pula, panji itu dipegang Wahb ibn Kuraib. Pada hari ini perhatian lebih besar pasukan Mu’awiah tertuju ke sebelah kanan, dan serangannya demikian sengitnya sehingga pasukan pihak Amirul Mukminin terpukul mundur.
Hanya 300 orang yang tertinggal bersama komandannya, ‘Abdullah ibn Budail. Melihat keadaan ini, Amirul Mukminin menyuruh Malik al-Asytar untuk memanggil mereka kembali dan menantang mereka ke mana mereka melarikan diri. “Apabila hari-hari kehidupan telah habis, mereka tak dapat mengelakkan maut dengan melarikan diri.” Sekarang, kekalahan sayap kanan itu pastilah berpengaruh pada sayap kiri.
Karena itu Amirul Mukminin pergi ke sayap kiri lalu maju ke depan, memaksa melewati barisan lawan, yang atasnya seorang budak Bani Umayyah berkata kepadanya, “Semoga Allah mematikan saya apabila saya tak dapat membunuh Anda hari ini.” Mendengar ini, budak Amirul Mukminin yang bernama Kaisan melompat kepadanya dan terbunuh olehnya. Ketika mengetahui ini Amirul Mukminin memegang budak Bani Umayyah itu di baju zirahnya, mengangkatnya lalu membantingnya dengan keras sehingga semua persediannya hancur.
Sementara itu, setelah dipanggil Malik al-Asytar dan menggugah rasa malunya, orang-orang yang tadinya mundur lalu kembali dan sekali lagi menyerang hingga musuh mundur sedang mereka maju sampai ke tempat di mana ‘Abdullah ibn Budail sedang dikepung musuh. Ketika melihat orang-orangnya sendiri datang, ia menjadi lebih berani lalu menyerang kemah Mu’awiah dengan pedang terhunus. Malik al-Asytar berusaha mencegahnya tetapi tak berhasil. Setelah membunuh tujuh orang Suriah, ia sampai ke kemah Mu’awiah.
Ketika Mu’awiah melihatnya di dekatnya, ia memerintahkan orang melemparinya dengan batu, dan orang Suriah pun mengeroyok dan membunuhnya. Ketika Malik al-Asytar melihat hal itu ia maju dengan para pejuang Bani Hamdan dan Bani Madzhij untuk menyerang Mu’awiah dan mengacaukan para pengawal yang mengelilinginya. Ketika tinggal satu lapis lagi dari lima lingkaran pengawalnya yang harus dipatahkan, Mu’awiah menunggang kudanya untuk melarikan diri, tetapi berhenti lagi setelah diberi semangat oleh seseorang.
Di sisi lain medan, pertempuran gegap gempita sedang berlangsung dari ujung ke ujung oleh pedang ‘Ammar ibn Yasir dan Hasyim ibn ‘Utbah. Dari sisi mana saja ‘Ammar lewat, para sahabat Nabi berkumpul di sekitarnya lalu membuat paduan sedemikian rupa sehingga kehancuran menyebar di seluruh barisan musuh. Ketika Mu’awiah melihat mereka maju, ia mengerahkan pasukan segar untuk menghadapinya. Tetapi ‘Ammar terus menunjukkan kegagahannya dalam badai pedang dan lembing.
Penyokong Muawiyah mencuba sekuat daya menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya.
Tetapi keperwiraan Ammar yang berjuang seolah-olah beliau satu pasukan tentera juga, menghilangkan pertimbangan mereka.
Sebahagian anak buah Muawiyah mengintai kesempatan untuk menewaskannya, hingga selepas kesempatan itu terbuka mereka laksanakanlah dan tewas Ammar di tangan tentera Muawiyah.
Akhirnya Abu al-‘Adziyah al-Juhani mengenainya dengan lembingnya, lalu Ibn Hawi (Jaun as-Saksiki) maju dan membunuhnya.
Matinya ‘Ammar ibn Yasir menimbulkan kegemparan di barisan Mu’awiah, karena Nabi telah bersabda, “’Ammar akan terbunuh di tangan kalangan pendurhaka.” Maka sebelum ia gugur sebagai syahid, Dzul Kala’ telah berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Ash, “Saya melihat ‘Ammar di pihak ‘Ali; kitakah orang-orang pendurhaka itu?”
‘Amr ibn al-‘Ash meyakinkan dia bahwa pada akhirnya ‘Ammar ibn Yasir akan bergabung dengan mereka, tetapi ketika ia terbunuh di pihak Ali, pihak pendurhaka terungkap dan tak ada lagi interpretasi lain.
Walaupun demikian, Mu’awiah mengatakan kepada orang Suriah, “Kita tidak membunuh ‘Ammar, melainkan Ali membunuhnya karena ia membawanya ke medan pertempuran.”
Ketika Amirul Mukminin mendengar kalimat licik itu, ia berkata, “Apabila demikian maka Nabilah yang membunuh Hamzah karena beliau membawanya ke pertempuran Uhud.” Hasyim ibn ‘Utbah juga gugur dalam pertempuran itu. Ia terbunuh oleh al-Harits ibn Mundzir at-Tanukhi. Setelah gugurnya, panji dipegang oleh putranya ‘Abdullah.
Ketika para pejuang yang amat pemberani itu telah tiada, Amirul Mukminin berkata kepada orang suku Hamdan dan Rabi’ah, “Bagi saya, Anda adalah ibarat perisai dan lembing. Bangkitlah dan berilah pelajaran kepada para pendurhaka itu.” Maka 12.000 pejuang dari suku Rabi’ah dan Hamdan bangkit dengan pedang terhunus. Panji dipegang oleh Hudhain ibn al-Mundzir.
Ketika memasuki barisan musuh, mereka menggunakan pedang sedemikian rupa sehingga kepala-kepala berjatuhan, tubuh-tubuh bergelimpangan dan di kedua pihak mengalir darah. Dan serangan para jago pedang ini tidak berhenti hingga hari menjelang berakhir dengan segala kehancurannya dan kegelapan turun dibawa oleh malam yang menakutkan yang dalam sejarah dikenal sebagai Malam al-Harir, di mana dencingan senjata, derap kaki kuda dan pekik jerit orang Suriah menimbulkan perhatian sedemikian rupa sehingga suara-suara lain yang sampai ke telinga tak terdengar. Di pihak Amirul Mukminin, slogannya yang menghancurkan kebatilan membangkitkan gelombang keberanian dan keperkasaannya sambil menggetarkan hati musuh.
Pertempuran telah mencapai puncaknya. Kantong panah para pemanah telah kosong. Batang-batang lembing telah patah. Pertempuran tangan berlangsung dengan pedang, dan mayat-mayat tertumpuk; menjelang pagi, jumlah yang tewas melebihi 30.000 orang.
Pada hari kesepuluh, orang-orang Amirul Mukminin menunjukkan moral yang sama. Di sayap kanan Malik al-Asytar memegang komando dan di sayap kiri ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Serangan-serangannya berlangsung seperti tentara baru. Tanda-tanda kekalahan nampak pada orang Suriah, dan mereka sudah hendak meninggalkan medan dan melarikan diri. Pada saat itu lima ratus mashaf Al-Qur’an diangkat di ujung lembing tentara Mu’awiah, yang mengubah seluruh wajah pertempuran. Pedang-pedang berhenti bergerak, senjata penipuan berhasil, dan jalan terbuka bagi berkuasanya kebatilan.
Dalam pertempuran ini 45.000 tentara Suriah tewas sementara 25.000 tentara ‘Iraq gugur. (Kitab Shiffin oleh Nashr ibn Muzahim (m. 212 H.) dan Tarikh ath-Thabari, jilid I, h. 3256-3349.)
Di antara yang hadir di Shiffin di pihak Amirul Mukminin terdapat 80 orang pahlawan Badr dan 800 yang hadir di Baiat Ridhwan. (al-Mustadrak, III, h. 104; al-Istî’âb, III, h. 1138; al-Ishâbah, II, h. 389; at-Târîkh al-Ya’qubi, II, h. 188).
Di samping orang-orang yang menonjol dan para sahabat Amirul Mukminin yang terkemuka seperti ‘Ammar, Dzusy-Syahadatain dan Ibn Tayyihan, yang gugur sebagai syahid di Shiffin adalah:
i. Hasyim ibn ‘Utbah ibn Abi Waqqash terbunuh pada hari yang sama dengan ‘Ammar. Ia pembawa panji tentara Amirul Mukminin pada hari itu.
ii. ‘Abdullah ibn Budail ibn al-Warqa” al-Khuza’i yang pernah menjadi komandan sayap kanan dan pernah pula sebagai komandan infantri pasukan Amirul Mukminin.
Ketika semangat orang Suriah telah patah oleh pedang-pedang ganas orang ‘Iraq dan serangan-serangan yang tak berkeputusan pada Malam al-Harir menjatuhkan moralnya dan mengakhiri aspirasi-aspirasinya, ‘Amr ibn ‘Ash menyarankan siasat licik kepada Mu’awiah supaya mengangkat mashaf Al-Qur’an di ujung tombak dan berteriak-teriak mendesak untuk menggunakannya sebagai hakam seraya mengatakan, sebagian orang akan berusaha menghentikan peperangan dan sebagian lagi hendak meneruskannya.
Dengan demikian maka kita memecah belah mereka dan akan dapat menangguhkan peperangan sampai pada kesempatan lain.” Sesuai dengan saran itu, mushaf-mushaf Al-Qur’an diangkat pada ujung tombak. Hasilnya, sebagian orang yang tak berpikir membuat huru-hara dan berseru serta menimbulkan perpecahan dan kekacauan di kalangan tentara, dan perjuangan kaum Muslim yang terkicuh mereda setelah hampir mencapai kemenangan. Tanpa memahami sesuatu, mereka mulai menjerit-jerit menghendaki keputusan Al-Qur’an atas peperangan.
Ketika pasukan Imam Ali hampir mencapai kemenangan, penasehat Muawiyah bernama Amr bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan al-Quran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama al-Quran.
Imam Ali yang memahami tipuan ini memerintahkan pasukannya agar terus bertempur, namun sebagian kelompok menolak. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Atas desakan kelompok Khawarij pula, perang dihentikan dan diadakan perundingan antara kedua pihak. Dalam perundingan ini, delegasi Muawiyah melakukan tipuan. Akibatnya, kekhalifahan kaum muslimin direbut dari tangan Imam Ali dan jatuh ke tangan Muawiyah.
Melihat Al-Qur’an dijadikan alat siasat licik, Amirul Mukminin mengatakan, “Wahai, manusia. Janganlah kamu terjebak dalam penipuan dan kelicikan ini. Mereka menggunakan rancangan ini untuk mengelakkan aibnya kekalahan. Saya mengenal watak setiap orang dari mereka. Mereka bukan penganut Al-Qur’an dan tidak bertindak menurut perintah Al-Qur’an. Demi Allah, janganlah kamu terjebak dalam tipu daya mereka. Teruskan dengan tekad dan berani, dan baru berhenti setelah mengalahkan musuh yang sedang sekarat.”
Namun, siasat licik kebatilan telah bekerja. Orang-orang itu mengambil sikap membangkang dan memberontak. Mis’ar ibn Fadaki at-Tamimi dan Zaid ibn Husain ath-Tha’i, masing-masing dengan pasukan sebesar 20.000 orang, menghadapi Amirul Mukminin seraya berkata, “Hai ‘Ali. Apabila Anda tidak menyambut seruan Al-Qur’an, kami akan memperlakukan Anda seperti kami memperlakukan ‘Utsman. Segeralah akhiri pertempuran, dan tunduklah kepada keputusan Al-Qur’an.”
Amirul Mukminin berusaha sekuat kuasanya untuk menyadarkan mereka, tetapi iblis telah berdiri di hadapan mereka berjubahkan mashaf Al-Qru’an. Ia tidak mengizinkan mereka untuk berbuat demikian, dan mereka memaksa Amirul Mukminin mengutus seseorang untuk memanggil Malik ibn Harits al-Asytar dari medan pertempuran. Karena terpaksa, Amirul Mukminin mengirim Yazid ibn Hanif’ memanggil Malik.
Ketika Malik mendengar perintah ini, ia menjadi bingung, seraya berkata, ‘Tolong katakan kepadanya, ini bukan saat untuk meninggalkan posisi. Ia boleh menunggu sebentar saat saya menghadapnya dengan berita kemenangan.” Ibn Hani’ menyampaikan pesan itu sekembalinya, tetapi orang-orang berteriak bahwa tentulah Amirul Mukminin telah menyampaikan pesan rahasia kepadanya. Amirul Mukminin mengatakan bahwa tak ada kesempatan baginya untuk menyampaikan suatu pesan rahasia. Segala yang dikatakannya dilakukan di hadapan mereka.
Orang-orang itu mengatakan bahwa Ibn Hani’ harus diutus lagi, dan apabila Malik menunda kedatangannya maka Amirul Mukminin akan kehilangan nyawa. Amirul Mukminin menyuruh lagi Ibn Hani dan menyampaikan pesan bahwa telah terjadi pemberontakan; ia harus kembali dalam keadaan bagaimanapun. Maka Ibn Hani’ pergi lagi lalu mengatakan kepada Malik, “Apakah Anda lebih mencintai kemenangan atau nyawa Amirul Mukminin? Kalau nyawanya lebih Anda cintai, Anda harus melepaskan tangan dari pertempuran lalu pergi kepadanya.” Dengan meninggalkan kesempatan untuk menang, Malik berangkat menghadap Amirul Mukminin dengan sedih dan kecewa. Kekacauan pun berkecamuk. Ia membantah orang-orang itu dengan sangatnya, tetapi mereka tak dapat diperbaiki lagi.
Maka diputuskanlah bahwa setiap pihak harus menunjuk seorang hakam supaya mereka menyelesaikan persoalan kekhalifahan itu menurut Al-Qur’an. Dari pihak Mu’awiah telah diputuskan ‘Amr ibn ‘Ash. Dari pihaknya, orang-orang itu mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Melihat pilihan yang salah ini, Amirul Mukminin mengatakan, “Karena Anda tidak menerima pendapat saya tentang tahkim, sekurang-kurangnya sekarang Anda menyetujui untuk tidak mengangkat Abu Musa sebagai hakam. Ia bukan orang yang amanat. Di sini ada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, dan di sini ada Malik al-Asytar. Pilihlah seorang di antara mereka.” Tetapi, mereka tak mau mendengarkannya, dan bersikeras pada Abu Musa. Amirul Mukminin akhirnya mengatakan, “Nah, Iakukanlah sesuka Anda. Tidak lama lagi Anda akan memakan tangan Anda sendiri karena kebatilan Anda.”
Setelah pengangkatan hakam, setelah surat persetujuan ditulis, imbuhan “Amirul Mukminin” pada nama ‘Ali ibn Abi Thalib juga tertulis. ‘Amr ibn ‘Ash mengatakan, “Ini harus dihapus. Apabila kami memandangnya sebagai Amirul Mukminin, mengapa peperangan ini harus dilakukan?” Mula-mula Amirul Mukminin menolak untuk menghapusnya, tetapi setelah mereka sama sekali tak mau menerima, ia menghapusnya seraya mengatakan, “Peristiwa ini sama dengan peristiwa di Hudaibiah, ketika orang-orang kafir bersikeras bahwa kata ‘Rasulullah’ bersama nama Nabi Muhammad harus dihapus, dan Nabi menghapusnya.” Mendengar ini ‘Amr ibn ‘Ash marah dan mengatakan, “Apakah Anda memperlakukan kami sebagai orang kafir?” Amirul Mukminin berkata. “Pada hari apa Anda mempunyai suatu hubungan dengan kaum mukmin dan kapan Anda telah menjadi pendukung mereka?”
Bagaimanapun, setelah penyelesaian ini, orang-orang bubar. Setelah bermusyawarah, kedua hakam memutuskan bahwa dengan menyingkirkan ‘Ali maupun Mu’awiah dari kekhalifahan, rakyat akan diberi hak memilih siapa saja yang mereka sukai.
Ketika tiba saat pengumumannya, diadakan suatu pertemuan di Daumatul Jandal. Yang terletak antara ‘Iraq dan Suriah, kemudian kedua hakam itu tiba pula di sana untuk memaklumkan keputusan tentang nasib umat Islam. Secara licik, ‘Amr ibn ‘Ash berkata kepada Abu Musa, “Saya merasa tak pantas mendahului Anda. Anda lebih tua dalam tahun dan usia, karena itu Andalah yang mula-mula menyampaikan maklumat itu.” Abu Musa menyerah pada kata-kata pujiannya lalu keluar dengan bangganya serta berdiri di hadapan hadirin. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum Muslim, kami telah besama-sama menyelesaikan bahwa ‘Ali maupun Mu’awiah harus dimakzulkan dan hak memilih khalifah diserahkan kepada rakyat. Mereka akan memilih siapa saja yang mereka kehendaki.” Setelah mengatakan ini, ia duduk.
Sekarang giliran ‘Amr ibn ‘Ash, lalu ia berkata, “Hai, kaum Muslim. Anda telah mendengar bahwa Abu Musa telah menyingkirkan ‘Ali ibn Abi Thalib. Saya pun menyetujuinya. Tentang Mu’awiah, tidak ada persoalan akan menyingkirkan dia. Karena itu saya tetapkan dia pada kedudukan itu.”
Setelah ia mengatakan ini, serentak terdengar teriakan di mana-mana. Abu Musa berteriak sekuat-kuatnya bahwa itu tipu daya licik, seraya mengatakan kepada ‘Amr ibn ‘Ash, “Engkau telah menipu, dan ibaratmu adalah seperti anjing yang apabila kau mati sesuatu ia akan menjulurkan lidah, apabila engkau tinggalkan ia akan menjulurkan lidah.” ‘Amr ibn ’Ash menjawab, “Ibaratmu adalah seperti keledai yang dimuati buku.” Bagaimanapun, siasat licik ‘Amr ibn ‘Ash efektif dan kaki goyah Mu’awiah dikuatkan kembali.
Inilah ringkasan riwayat Tahkim yang dasarnya dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah. Tetapi, apakah itu keputusan Al-Qur’an, ataukah itu hasil tipu daya licik yang selalu digunakan manusia duniawi untuk mempertahankan kekuasaan mereka?
Dapatkah lembaran-lembaran sejarah ini dijadikan obor penyuluh bagi masa depan?
Pantaskah Al-Qur’an dan sunah digunakan sebagai alat untuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan duniawi?
Siapakah Ammar bin Yasir ??
Pada masa khalifah Umar, Ammar diangkat sebagai amir (wali negeri)
di Kufah dan wazirnya adalah Abdullah bin Mas’ud. Jabatan tersebut
tidaklah menambah kecuali zuhud, kesalehan dan juga kerendahan hatinya.
Ia tak segan membeli sayur di pasar kemudian memanggulnya sendiri. Dan
sebagaimana yang dilakukan Salman al Farisi, setelah menerima gaji
(tunjangan)-nya sebagai amir, ia membagi-bagikan semuanya kepada fakir
miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kebutuhan
hidupnya, ia menjalin (membuat) bakul dan keranjang dari daun kurma dan
menjualnya ke pasar.
Sepeninggal khalifah Umar bin Khaththab, yang mana Nabi SAW pernah
menyebut Umar sebagai “kunci (gembok) Fitnah”, mulai terjadi fitnah dan
perselisihan di antara umat Islam. Dalam keadaan seperti ini, para
sahabat selalu mengamati Ammar bin Yasir. Hal ini berawal dari sebuah
peristiwa di masa awal hijrah ke Madinah, ketika sedang membangun Masjid
Nabawi. Saat itu, sisi dinding di mana Ammar dan beberapa sahabat
lainnya sedang bekerja tiba-tiba runtuh dan menimpa Ammar. Pada saat
yang sama, Nabi SAW sedang mengamati Ammar, kemudian beliau bersabda,
“Aduhai ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka…”.
Para sahabat yang mendengar sabda beliau itu menyangka beliau
sedang meratapi kematian Ammar karena tertimbun dinding yang runtuh.
Karena itu mereka menjadi ribut dan panik atas musibah yang dialami
Ammar. Nabi SAW yang tanggap reaksi para sahabat tersebut, sekali lagi
bersabda untuk menenangkan mereka, “Tidak apa-apa, Ammar tidak
apa-apa…hanya saja, nantinya ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka!!”.
Jelas dan lugas, Nabi SAW tidak menyebut, “Ammar dibunuh kaum
kafirin, musyrikin atau musuh Allah.” Tetapi beliau menyebutnya,
“Kaum/golongan pendurhaka (fi-atul baaghiyah),” masih kaum muslimin,
tetapi mereka yang durhaka dan menyalahi ajaran Islam. Seperti halnya
anak yang durhaka kepada orangtuanya, ia tidak menjadi kafir, tetapi
berdosa besar dan terancam laknat Allah, kecuali jika Allah
mengampuninya.
Fitnah makin memuncak ketika khalifah Utsman terbunuh. Para sahabat
utama Nabi SAW yang masih hidup dan mayoritas umat Islam lainnya
memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin
Affan. Tetapi Muawiyah dan masyarakat Syam pada umumnya menolak untuk
memba’iat Ali, bahkan ia yang sebelumnya hanya gubernur yang membawahi
wilayah Syam, mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah menggantikan
khalifah Utsman, yang memang masih kerabat dekatnya.
Dengan dalih menuntut balas kematian Utsman bin Affan, Muawiyah
menggalang dukungan untuk mengukuhkan jabatannya tersebut. Dalam situasi
konflik seperti ini, beberapa sahabat sempat mendukung Muawiyah,
sebagian besar lainnya mendukung Ali bin Abi Thalib, dan ada juga
sekelompok kecil sahabat yang abstain, tidak memihak keduanya, dan tidak
ingin terjatuh pada perselisihan tersebut.
Ketika berbagai upaya damai yang dilakukan Ali bin Thalib gagal,
tidak terelakkan lagi terjadinya bentrok senjata, yang terkenal dengan
nama perang Shiffin. Dan Ammar bin Yasir, dengan segala ijtihad dan
pengenalannya akan kebenaran, memilih untuk berdiri di pihak Ali bin Abi
Thalib. Dengan pilihannya tersebut, para sahabat yang mendukung Ali bin
Abi Thalib merasa tenang tentram, karena mereka meyakini sabda Nabi
SAW, bahwa bersama Ammar bin Yasir, mereka berada pada pilihan yang
benar. Sementara sahabat yang berdiri di fihak Muawiyah merasa was-was
dan penuh keraguan.
Setelah berperang beberapa lama dalam perang Shiffin, ia menemui
Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pada hari ini,
dan itukah?”
Yang dimaksud oleh Ammar adalah tentang sabda Nabi SAW : “Aduhai Ibnu Sumayyah, ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka”.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ali dengan bijak berkata, “Tinggalkanlah urusan tersebut…”
Tetapi Ammar mengulang pernyataannya, dan Ali memberi jawaban yang
sama pula sampai tiga kali. Kemudian Ali memberi minuman susu kepada
Ammar, susu kental yang dicampur sedikit air. Setelah minum susu
tersebut ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda
kepadaku bahwa seperti inilah minuman terakhir yang aku minum di
dunia.”
Ali jadi terkejut, ia tidak tahu menahu sabda Nabi SAW
tentang minuman terakhir Ammar, dan tidak juga menjadi “Rahasia Umum”
seperti tentang siapa pembunuh Ammar. Mungkin itu menjadi rahasia
pribadi Ammar dan Rasulullah SAW semata. Dan jalannya takdir Allah
memang tidak bisa dihalangi lagi jika telah tiba waktunya.
Setelah itu Ammar terjun kembali dalam pertempuran. Di tengah
pertempuran tersebut, Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf sempat mendengar
seruan Ammar, “Sesungguhnya aku telah bertemu dengan Al Jabbar (yakni,
Allah SWT), dan aku telah dinikahkan dengan bidadari. Pada hari ini aku
akan bertemu dengan kekasihku, Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Beliau telah berjanji kepadaku, bahwa akhir bekalku di dunia ini adalah
susu kental yang dicampur dengan sedikit air….”.
Memang, setelah itu Ammar tidak minum atau makan apapun lagi dan ia
terjun ke medan pertempuran. Saat itu Ammar berjuang bersebelahan
dengan Hasyim bin Utbah yang membawa bendera, dan akhirnya mereka
menemui syahidnya bersama.
KHALIFAHNYA WAHABI ; MUAWIYAH SEBAGAI AHLI NERAKA…!!
Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.Nabi SAW menyebut Mu’awiyah cs sebagai kelompok pemberontak sesat !
Sabda Rasulullah SAW kepada Ammar: “Betapa kasihan Ammar, golongan pembangkang telah membunuhnya, padahal dia menyeru mereka kepada kebenaran (surga) sementara mereka menyeru kepada kesesatan (neraka)” (Hr. Bukhari, Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad).
Padahal Allah SWT menyatakan : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal didalamnya dan Allah murka kepada, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya” (Qs. An Nisa ayat 93).
Juga sabda nya : “Anakku Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar yang berselisih”. Dan sabdanya pada Abu Dzar bahwa ia akan mati sendirian dan terasing. Demikian pula dengan sabda nya : “Imam imam setelahku ada 12, semuanya dari Quraisy”.
Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).
Pada Perang Shiffin, dua orang yang membawa kepala ‘Ammar bin Yasir kepada Mu’awiyah, bertengkar, masing masing mengaku bahwa dialah yang memenggal kepala ‘Ammar yang oleh Rasul dikatakan bahwa ‘Ammar dibunuh kelompok pemberontak.
Ibnu Qutaibah menceriterakan dalam al Ma’arif bahwa yang mengaku membunuh ‘Ammar yang telah berumur 93 tahun itu adalah Abu alGhadiyah. Ia sendiri yeng mengaku membunuh ‘Ammar: “Sesungguhnya seorang lelaki menikam dan membuka tutup kepala ‘Ammar dan memenggal kepalanya. Kepala ‘Ammar telah berubah rupa”. (Ibn Qutaibah, AlMa’arif, hlm. 112).
Abu Umar menceriterakan ‘Ammar dibunuh oleh Abu alGhadiyah dan yang memenggal kepalanya adalah Ibnu Jaz as Saksaki (Ibn Abil Hadid, Syarh NahjulBalaghah,jilid 10, hlm. 105).
.
SHAHIH BUKHARI NO.428 MERIWAYATKAN BAHWA RASUL MENGATAKAN BAHWA AMMAR BIN YASIR AKAN DIBUNUH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي
ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي
سَعِيدٍفَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ
يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا
حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً
لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ
وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى
الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] berkata, telah
menceritakan kepada kami ['Abdul 'Aziz bin Mukhtar] berkata, telah
menceritakan kepada kami [Khalid Al Hadza'] dari ['Ikrimah], Ibnu ‘Abbas
kepadaku dan kepada Ali, anaknya, “Pergilah kalian bedua menemui [Abu
Sa'id] dan dengarlah hadits darinya!” Maka kami pun berangkat. Dan kami
dapati dia sedang membetulkan dinding miliknya, ia mengambil kain
selendangnya dan duduk ihtiba`. Kemudian ia mulai berbicara hingga
menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia mengkisahkan, “Masing-masing
kami membawa bata satu persatu, sedangkan ‘Ammar membawa dua bata dua
bata sekaligus. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya,
beliau berkata sambil meniup debu yang ada padanya: “Kasihan ‘Ammar, dia
akan dibunuh oleh golongan durjana. Dia mengajak mereka ke surga
sedangkan mereka mengajaknya ke neraka.” Ibnu ‘Abbas berkata, “‘Ammar
lantas berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah tersebut.”.
.
SIAPAKAH KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU..??
MASNAD AHMAD NO.17710:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِي
بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَلَمَّا قُتِلَ عَمَّارُ بْنُ
يَاسِرٍ دَخَلَ عَمْرُو بْنُ حَزْمٍ عَلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ
قُتِلَ عَمَّارٌ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ فَقَامَ عَمْرُو بْنُ
الْعَاصِ فَزِعًا يُرَجِّعُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ لَهُ
مُعَاوِيَةُ مَا شَأْنُكَ قَالَ قُتِلَ عَمَّارٌ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ قَدْ
قُتِلَ عَمَّارٌ فَمَاذَا قَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ
فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ دُحِضْتَ فِي بَوْلِكَ أَوَنَحْنُ قَتَلْنَاهُ
إِنَّمَا قَتَلَهُ عَلِيٌّ وَأَصْحَابُهُ جَاءُوا بِهِ حَتَّى أَلْقَوْهُ
بَيْنَ رِمَاحِنَا أَوْ قَالَ بَيْنَ سُيُوفِنَا
.
Telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] ia berkata, Telah
menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Thawus] dari [Abu Bakar bin
Muhammad bin Amru bin Hazm] dari [Bapaknya] ia berkata, “Ketika Ammar
bin Yasir di bunuh, [Amru bin Hazm] menemui Amru bin Ash dan berkata,
“Ammar telah dibunuh! Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’”
Amru bin Ash berdiri dengan penuh keterkejutan seraya mengucapkan
kalimat tarji’ (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun), lalu ia
mendatangi Mu’awiyah. Mu’awiyah pun bertanya padanya, “Apa yang terjadi
denganmu?” [Amru bin Ash] menjawab, “Ammar telah dibunuh!” Maka
Mu’awiyah berkata, “Ammar telah dibunuh, lalu apa masalahnya?” Amru bin
Ash menjawab, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ‘Yang akan membunuhnya adalah kelompok pemberontak.’”
Mu’awiyah berkata, “Kamu berpihak pada anakmu! Apakah kami yang
membunuhnya? Yang membunuhnya adalah Ali dan para sahabatnya, mereka
membawanya lalu melemparkan di tengah-tengah tombak-tombak kami, -atau
ia mengatakan, “di antara pedang kami.”.
JELAS KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA ITU ADALAH KELOMPOK
MUAWIYAH YANG BERUSAHA MENGATAKAN ALI DAN SAHABATNYA YANG MEMBUNUH AMMAR
BIN YASIR, PADAHAL IMAM ALI TERPILIH SECARA DEMOKRASI LANGSUNG SAH
SECARA DEMOKRASI MAUPUN TEOKRASI.
KELOMPOK PEMBERONTAK AHLI NERAKA INI HENDAK MENGATAKAN
SESUNGGUHNYA RASULULLAH SAWW TELAH MEMBUNUH SAYYIDINA HAMZAH KARENA
MENGIKUTSERTAKANNYA KE PERANG UHUD..NAUDZUBILLAH MIN DZALIK.
‘Ammar ibn Yasir ibn ‘Amir al-’Ansi al-Madzhiji al-Makhzûmi masuk
Islam di masa dini, dan Muslim pertama yang membangun mesjid dalam
rumahnya sendiri di mana ia beribadat kepada Allah. (Ibn Sa’d,
ath-Thabaqât, III, bagian I, h. 178; Usd al-Ghâbah, IV, h. 46; Ibn
Katsir, Târîkh, VII, h. 311).‘Ammar masuk Islam bersama ayahnya Yasir
dan ibunya Sumayyah. Mereka mengalami siksaan di tangan kaum Quraisy
karena masuk Islam. Ayah dan ibu ‘Ammar syahid dalam siksaan, lelaki dan
wanita pertama yang syahid dalam Islam.Banyak hadis diriwayatkan dari
Nabi (saw) mengenai kebajikan, perilakunya yang menonjol dan amal
perbuatannya yang mulia, seperti hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh
‘A’isyah dan lain-lainnya bahwa Nabi telah bersabda, bahwa ‘Ammar
dipenuhi dengan iman dari ubun-ubun kepalanya sampai ke tapak kakinya.
(Ibn Majah, as-Sunan, I, h. 65; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, I, h.
139; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 295; al-Istî’âb, III, h.
1137; al-Ishâbah, II, h. 512).
Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar,“‘Ammar bersama
kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja
kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan
hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.”
(ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392;
Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268,
270)Juga dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan
oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam
al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161,
164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307;
VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan
menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu
kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh
‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke
neraka. Pembunuhnya dan orang-orang yang merebut senjata dan pakaiannya
akan berada di neraka.”Ibn Hajar al-’Asqalani (dalam Tahdzîb at-Tahdzîb,
h. 409; al-Ishâbah, II, h. 512) dan as-Suyûthî (dalam al-Khashâ’ish
al-Kubrâ, II, h. 140) mengatakan,“Riwayat hadis (tersebut di atas) ini
adalah mutawâtir.” Yakni, hadis itu diriwayatkan secara berurut-turut
oleh sekian banyak orang sehingga tidak ada keraguan mengenai
keasliannya.
Ibn ‘Abdul Barr (dalam al-Istî’âb, III, h. 1140) mengatakan,“Hadis
itu mengikuti kesinambungan tanpa putus dari Nabi, bahwa beliau berkata,
‘Suatu kelompok pendurhaka akan membunuh ‘Ammar,’ dan ini adalah suatu
ramalan dari pengetahuan rahasia Nabi dan tanda kenabiannya. Hadis ini
termasuk yang paling sahih dan yang tercatat secara paling
tepat.”Setelah wafatnya Nabi, ‘Ammar termasuk penganut dan pendukung
terbaik Amirul Mukminin dalam masa pemerintahan ketiga khalifah pertama.
Dalam masa kekhalifahan ‘Utsman, ketika kaum Muslim memprotes kepada
‘Utsman terhadap kebijakannya dalam pembagian harta baitul mal, ‘Utsman
berkata dalam suatu pertemuan umum bahwa uang yang berada dalam
perbendaharaan adalah suci dan adalah milik Allah, dan bahwa dia
(sebagai khalifah Nabi) berhak untuk membelanjakannya menurut yang
dianggapnya pantas. ‘Utsman mengancam dan mengutuk semua yang hendak
memprotes atau menggerutu atas apa yang dikatakannya. Atasnya, ‘Ammar
ibn Yâsir dengan beraninya menyatakan keberatannya dan mulai menuduh
kecondongannya yang telah mendarah daging untuk mengabaikan kepentingan
rakyat umum; ia menuduhnya telah menghidupkan adat kebiasaan kaflr yang
dihapus oleh Nabi. Atasnya ‘Utsman memerintahkan supaya ia dipukuli, dan
beberapa orang dari kalangan Bani Umayyah, kerabat Khalifah, segera
menyerang ‘Ammar yang mulia itu, dan khalifah itu sendiri menyepak
kemaluan ‘Ammar dengan kaki bersepatu, yang menyebabkan ia menderita
hernia. ‘Ammar pingsan selama tiga hari dan dirawat oleh Ummul Mu’minin
Umm Salamah di rumahnya (Umm Salamah). (al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf,
V, h. 48, 54, 88; Ibn Abil Hadid, III, h. 47-52; al-Imâmah was-Siyâsah,
I, h. 35-36; al-’lgd al-Farîd, IV, h. 307; ath-Thabaqât, III, bagian i,
h. 185; Târîkh al-Khamîs, II, h. 271)Ketika Amirul Mukminin menjadi
khalifah, ‘Ammar adalah salah seorang pendukungnya yang paling setia. la
ikut serta dalam semua kegiatan sosial, politik dan militer dalam masa
itu, terutama dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin.
Namun, ‘Ammar gugur dalam Perang Shiffin pada 9 Safar 37 H. dalam
usia lebih sembilan puluh tahun. Pada hari syahidnya, ‘Ammar ibn Yasir
menghadap ke langit seraya berkata,
“Ya Allah Tuhanku. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa apabila aku mengetahui bahwa kehendak-Mu supaya aku menerjunkan diri ke Sungai (Efrat) dan tenggelam, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa apabila Engkau rida sekiranya aku menaruh pedang di dada dan menekannya keras-keras sehingga keluar di punggungku, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku! Aku tidak mengira ada sesuatu yang lebih menyenangkan bagi-Mu daripada berjuang melawan kelompok berdosa ini, dan apabila kuketahui bahwa suatu perbuatan lebih Engkau ridai, aku akan melakukannya.”
Abu ‘Abdur-Rahman as-Sulami meriwayatkan,
“Kami hadir bersama Amirul Mukminin di Shiffln di mana saya melihat ‘Ammar ibn Yasir tidak memalingkan wajahnya ke sisi mana pun, atau ke wadi-wadi (lembah) Shiffin melainkan para sahabat Nabi mengikutinya seakan-akan ia merupakan suatu panji bagi mereka. Kemudian saya mendengar ‘Ammar berkata kepada Hasyim ibn ‘Utbah (al-Mirqal), “Wahai Hasyim, menyerbula ke barisan musuh, surga berada di bawah pedang. Hari ini saya menemui kekasih saya, Muhammad dan partainya.”
“Kemudian ia berkata. ‘Demi Allah, sekiranya pun mereka membuat kita lari hingga ke pepohonan kurma Hajar (sebuah kota di Bahrain), namun kita dengan yakin bahwa kita benar dan mereka salah.’
“Kemudian ‘Ammar melajutkan (berkata kepada musuh):
Kami menyerangmu (dahulu) untuk (beriman) pada wahyu
Dan kini kami menyerangmu untuk tafsirnya;
Serangan yang memisahkan kepala dari tumpuannya;
Dan membuat kawan lupa akan sahabat setianya;
Sampai kebenaran kembali kepada jalannya.”‘
Lalu ia (as-Sulami) berkata, “Saya tidak (pernah) melihat para sahabat Nabi terbunuh pada saat mana pun sebanyak terbunuhnya mereka pada hari ini.”.
Kemudian ‘Ammar memacu kudanya, memasuki medan pertempuran dan mulai bertempur. la bersikeras memburu musuh, melancarkan serangan demi serangan, dan mengangkat slogan-slogan menantang sampai akhirnya sekelompok orang Suriah yang berjiwa kerdil mengepungnya pada semua sisi, dan seorang lelaki bernama Abu al-Ghadiyah al-Juhari (al-Fazari) menimpakan luka padanya sedemikian rupa sehingga tak dapat ditanggungnya lalu ia kembali ke kemahnya. la meminta air. Semangkuk susu dibawakan kepadanya.
Ketika ‘Ammar melihat mangkuk itu ia berkata, ‘Rasulullah telah mengatakan yang sebenarnya.’ Orang bertanya kepadanya apa yang dimaksudnya dengan kata-kata itu. la berkata, ‘Rasulullah telah memberitahukan kepada saya bahwa rezeki terakhir bagi saya di dunia ini adalah susu.’ Kemudian ia mengambil mangkuk susu itu, meminumnya, lalu menyerahkan nyawanya kepada Allah Yang Mahakuasa. Ketika Amirul Mukminin mengetahui kematiannya, ia datang ke sisi ‘Ammar, menaruh kepalanya ke pangkuannya sendiri dan mengucapkan elegi yang berikut,
“Sesungguhnya seorang Muslim yang tidak sedih atas terbunuhnya putra Yasir, dan tidak terpukul oleh petaka sedih ini, tidaklah ia beriman yang sesungguhnya.
“Semoga Allah memberkati ‘Ammar di hari ia masuk Islam, semoga Allah memberkatinya di hari ia terbunuh, dan semoga Allah memberkati ‘Ammar ketika ia dibangkitkan kembali.
“Sesungguhnya saya mendapatkan ‘Ammar (pada tingkat sedemikian) sehingga tiga sahabat Nabi tak dapat disebut tanpa ‘Ammar kecuali dia adalah yang keempat, dan empat nama dari mereka tak dapat disebut kecuali ‘Ammar sebagai yang kelima.
“Tak ada di antara para sahabat Nabi yang meragukan bahwa bukan saja surga sekali atau dua kali dilimpahkan dengan paksa kepada ‘Ammar, melainkan ia mendapatkan haknya atasnya (berkali-kali). Semoga surga memberikan kenikmatan kepada ‘Ammar.
“Sesungguhnya dikatakan (oleh Nabi), ‘Sungguh, ‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar.”‘
Lalu Amirul Mukminin melangkah maju dan melakukan salat jenazah baginya, dan kemudian dengan tangannya sendiri ia menguburkannya.
Kematian ‘Ammar menyebabkan gejolak besar pada barisan Mu’awiah pula, karena ada sejumlah orang terkemuka yang berperang pada pihaknya berpikiran bahwa peperangan Mu’awiah melawan Amirul Mukminin adalah perjuangan yang benar. Orang-orang itu mengetahui akan ucapan Nabi bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh suatu kelompok yang berada di pihak yang batil. Ketika mereka melihat bahwa ‘Ammar telah terbunuh oleh tentara Mu’awiah mereka menjadi yakin bahwa Amirul Mukminin pastilah di pihak yang benar. Kecemasan di kalangan para pemimpin maupun prajurit tentara Mu’awiah diredakan olehnya dengan argumen bahwa justru Amirul Mukminin yang membawa ‘Ammar ke medan pertempuran dan karena itu ialah yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Ketika argumen Mu’awiah disebutkan kepada Amirul Mukminin, ia mengatakan bahwa seakan-akan Nabi harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Hamzah karena beliau yang membawanya ke Pertempuran Uhud. (ath-Thabari, at-Târîkh, I, h. 3316-3322; III, h. 2314-2319; Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 176-189; Ibn Atsîr, al-Kâmil, III, h. 308-312; Ibn Katsir, at-Târîkh, VII, h. 267-272; al-Minqarî, Shiffin, h. 320-345; Ibn ‘Abdil Barr, al-Istî’âb, III, h. 1135-1140; IV, h. 1725; Ibn al-Atsir, Usd al-Ghâbah, IV, h. 43-47; V, h. 267; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jilid V, h. 252-258; VIII, h. 10-28; X, h. 102-107; al-Hakim, al-Mustadrak, III, h. 384-394; Ibn ‘Abdi Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, IV, h. 340-343; al-Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, II, h. 381-382; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 292-298; al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf (biografi Amirul Mukminin), h. 310-319.
Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam
periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis !“Ya Allah Tuhanku. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa apabila aku mengetahui bahwa kehendak-Mu supaya aku menerjunkan diri ke Sungai (Efrat) dan tenggelam, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa apabila Engkau rida sekiranya aku menaruh pedang di dada dan menekannya keras-keras sehingga keluar di punggungku, aku akan melakukannya. Ya Allah Tuhanku! Aku tidak mengira ada sesuatu yang lebih menyenangkan bagi-Mu daripada berjuang melawan kelompok berdosa ini, dan apabila kuketahui bahwa suatu perbuatan lebih Engkau ridai, aku akan melakukannya.”
Abu ‘Abdur-Rahman as-Sulami meriwayatkan,
“Kami hadir bersama Amirul Mukminin di Shiffln di mana saya melihat ‘Ammar ibn Yasir tidak memalingkan wajahnya ke sisi mana pun, atau ke wadi-wadi (lembah) Shiffin melainkan para sahabat Nabi mengikutinya seakan-akan ia merupakan suatu panji bagi mereka. Kemudian saya mendengar ‘Ammar berkata kepada Hasyim ibn ‘Utbah (al-Mirqal), “Wahai Hasyim, menyerbula ke barisan musuh, surga berada di bawah pedang. Hari ini saya menemui kekasih saya, Muhammad dan partainya.”
“Kemudian ia berkata. ‘Demi Allah, sekiranya pun mereka membuat kita lari hingga ke pepohonan kurma Hajar (sebuah kota di Bahrain), namun kita dengan yakin bahwa kita benar dan mereka salah.’
“Kemudian ‘Ammar melajutkan (berkata kepada musuh):
Kami menyerangmu (dahulu) untuk (beriman) pada wahyu
Dan kini kami menyerangmu untuk tafsirnya;
Serangan yang memisahkan kepala dari tumpuannya;
Dan membuat kawan lupa akan sahabat setianya;
Sampai kebenaran kembali kepada jalannya.”‘
Lalu ia (as-Sulami) berkata, “Saya tidak (pernah) melihat para sahabat Nabi terbunuh pada saat mana pun sebanyak terbunuhnya mereka pada hari ini.”.
Kemudian ‘Ammar memacu kudanya, memasuki medan pertempuran dan mulai bertempur. la bersikeras memburu musuh, melancarkan serangan demi serangan, dan mengangkat slogan-slogan menantang sampai akhirnya sekelompok orang Suriah yang berjiwa kerdil mengepungnya pada semua sisi, dan seorang lelaki bernama Abu al-Ghadiyah al-Juhari (al-Fazari) menimpakan luka padanya sedemikian rupa sehingga tak dapat ditanggungnya lalu ia kembali ke kemahnya. la meminta air. Semangkuk susu dibawakan kepadanya.
Ketika ‘Ammar melihat mangkuk itu ia berkata, ‘Rasulullah telah mengatakan yang sebenarnya.’ Orang bertanya kepadanya apa yang dimaksudnya dengan kata-kata itu. la berkata, ‘Rasulullah telah memberitahukan kepada saya bahwa rezeki terakhir bagi saya di dunia ini adalah susu.’ Kemudian ia mengambil mangkuk susu itu, meminumnya, lalu menyerahkan nyawanya kepada Allah Yang Mahakuasa. Ketika Amirul Mukminin mengetahui kematiannya, ia datang ke sisi ‘Ammar, menaruh kepalanya ke pangkuannya sendiri dan mengucapkan elegi yang berikut,
“Sesungguhnya seorang Muslim yang tidak sedih atas terbunuhnya putra Yasir, dan tidak terpukul oleh petaka sedih ini, tidaklah ia beriman yang sesungguhnya.
“Semoga Allah memberkati ‘Ammar di hari ia masuk Islam, semoga Allah memberkatinya di hari ia terbunuh, dan semoga Allah memberkati ‘Ammar ketika ia dibangkitkan kembali.
“Sesungguhnya saya mendapatkan ‘Ammar (pada tingkat sedemikian) sehingga tiga sahabat Nabi tak dapat disebut tanpa ‘Ammar kecuali dia adalah yang keempat, dan empat nama dari mereka tak dapat disebut kecuali ‘Ammar sebagai yang kelima.
“Tak ada di antara para sahabat Nabi yang meragukan bahwa bukan saja surga sekali atau dua kali dilimpahkan dengan paksa kepada ‘Ammar, melainkan ia mendapatkan haknya atasnya (berkali-kali). Semoga surga memberikan kenikmatan kepada ‘Ammar.
“Sesungguhnya dikatakan (oleh Nabi), ‘Sungguh, ‘Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar.”‘
Lalu Amirul Mukminin melangkah maju dan melakukan salat jenazah baginya, dan kemudian dengan tangannya sendiri ia menguburkannya.
Kematian ‘Ammar menyebabkan gejolak besar pada barisan Mu’awiah pula, karena ada sejumlah orang terkemuka yang berperang pada pihaknya berpikiran bahwa peperangan Mu’awiah melawan Amirul Mukminin adalah perjuangan yang benar. Orang-orang itu mengetahui akan ucapan Nabi bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh suatu kelompok yang berada di pihak yang batil. Ketika mereka melihat bahwa ‘Ammar telah terbunuh oleh tentara Mu’awiah mereka menjadi yakin bahwa Amirul Mukminin pastilah di pihak yang benar. Kecemasan di kalangan para pemimpin maupun prajurit tentara Mu’awiah diredakan olehnya dengan argumen bahwa justru Amirul Mukminin yang membawa ‘Ammar ke medan pertempuran dan karena itu ialah yang harus bertanggung jawab atas kematiannya. Ketika argumen Mu’awiah disebutkan kepada Amirul Mukminin, ia mengatakan bahwa seakan-akan Nabi harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Hamzah karena beliau yang membawanya ke Pertempuran Uhud. (ath-Thabari, at-Târîkh, I, h. 3316-3322; III, h. 2314-2319; Ibn Sa’d, ath-Thabaqât, III, bagian i, h. 176-189; Ibn Atsîr, al-Kâmil, III, h. 308-312; Ibn Katsir, at-Târîkh, VII, h. 267-272; al-Minqarî, Shiffin, h. 320-345; Ibn ‘Abdil Barr, al-Istî’âb, III, h. 1135-1140; IV, h. 1725; Ibn al-Atsir, Usd al-Ghâbah, IV, h. 43-47; V, h. 267; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jilid V, h. 252-258; VIII, h. 10-28; X, h. 102-107; al-Hakim, al-Mustadrak, III, h. 384-394; Ibn ‘Abdi Rabbih, al-’Iqd al-Farîd, IV, h. 340-343; al-Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, II, h. 381-382; al-Haitsamî, Majma’ az-Zawâ’id, IX, h. 292-298; al-Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf (biografi Amirul Mukminin), h. 310-319.
Sunni menutupi kesalahan kesalahan para Sahabat dengan menyalahkan tokoh fiksi Abdullah bin Saba’, menyembunyikan hadis dan membuat buat hadis palsu jaminan Surga kepada musuh musuh ahlulbait
Pasca wafat Nabi SAW, para sahabat banyak mengembangkan ijtihad dari hasil pemikirannya sendiri, walaupun itu harus merubah hukum yang telah ditetapkan Allah dan Rasul sebelumnya !
Muawiyyah si Pengingkar Hadis Nabi Saaw.
Percayakah anda bahwa ada orang yang meninggalkan sunnah karena
kebenciannya terhadap Imam Ali. Mau percaya atau tidak semuanya terserah
kepada anda sendiri, saya hanya menampilkan riwayat yang memang
menyebutkan hal yang demikian.
أخبرنا أبو الحسن محمد بن الحسين العلوي أنبأ عبد الله بن محمد بن
الحسن بن الشرقي ثنا علي بن سعيد النسوي ثنا خالد بن مخلد ثنا علي بن صالح
عن ميسرة بن حبيب النهدي عن المنهال بن عمرو عن سعيد بن جبير قال كنا عند
بن عباس بعرفة فقال يا سعيد ما لي لا أسمع الناس يلبون فقلت يخافون معاوية
فخرج بن عباس من فسطاطه فقال لبيك اللهم لبيك وإن رغم أنف معاوية اللهم
العنهم فقد تركوا السنة من بغض علي رضي الله عنه
Telah mengabarkan kepada kami Abu Hasan Muhammad bin Husein Al
‘Alawiy yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin
Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy yang berkata:
telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id A Nasawiy yang
berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad yang berkata
menceritakan kepada kami ‘Ali bin Shalih dari Maisarah bin Habiib An
Nahdiy dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair yang berkata “kami di
sisi Ibnu Abbas di ‘Arafah, dan ia berkata “wahai Sa’id kenapa aku
tidak mendengar orang-orang bertalbiyah, aku berkata “mereka takut
kepada Mu’awiyah”. Maka Ibnu Abbas keluar dari tempatnya dan berkata
“labbaikallahumma labbaik, dan celaka [terhinalah] Mu’awiyah, ya Allah
laknatlah mereka, mereka meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap
Ali radiallahu ‘anhu [Sunan Baihaqi 5/113 no 9230].
Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya tsiqat kecuali Khalid bin
Makhlad dia salah satu syaikh [guru] Bukhari yang diperbincangkan tetapi
perbincangan itu tidak menurunkan hadisnya dari tingkatan hasan.
Pendapat yang rajih Khalid bin Makhlad seorang yang shaduq hasanul
hadits,
* Abul Hasan Muhammad bin Husein bin Dawud bin ‘Ali Al ‘Alawiy An
Naisaburi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Sayyid Muhaddis Shaduq Musnad
Khurasan [Siyar ‘Alam An Nubala 17/98 no 60]. Dia adalah guru Baihaqi
yang utama dimana Baihaqi telah menshahihkan hadisnya [Sunan Baihaqi
5/142 no 9408]. Pernyataan Baihaqi kalau sanadnya shahih berarti Baihaqi
menganggap Abu Hasan Al ‘Alawiy seorang yang tsiqat.
* ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy termasuk seorang
yang tsiqat dalam hadis. As Sam’aniy berkata “ia dalam hadis seorang
yang tsiqat dan ma’mun” [Al Ansab As Sam’aniy 3/149]. Al Khalili
menyatakan ia tidak kuat [Al Irsyad 2/471] tetapi jarh ini tidak
memiliki alasan atau jarh mubham apalagi jarh laisa bil qawiy adalah
jarh yang ringan dan bisa diartikan sebagai perawi yang hasanul hadits
[tidak sampai ke derajat shahih]. Adz Dzahabi mengatakan kalau ia shahih
pendengarannya [dalam hal hadis] dari Adz Dzahili dan yang satu
thabaqat dengannya dan ia diperbincangkan karena sering meminum minuman
yang memabukkan [Mizan Al I’tidal juz 2 no 4664]. Tetapi tuduhan ini
masih perlu diteliti kembali karena besar kemungkinan yang diminum
adalah nabiidz.
* Ali bin Sa’id An Nasawiy Abu Hasan dia seorang yang tsiqat dan
tinggal di Naisabur ia mendengar hadis dari Abu Dawud, Abdus Shamad bin
Abdul Warits dan Abu Ashim, telah mendengar darinya Ibnu Abi Khaitsamah
[Al Irsyad Al Khalili 2/443].
* Khalid bin Makhlad Al Qazhwaniy adalah perawi Bukhari [termasuk
guru Bukhari], Muslim, Abu Dawud dalam Musnad Malik, Tirmidzi, Nasa’i
dan Ibnu Majah. Ahmad berkata ia memiliki hadis-hadis mungkar. Abu Hatim
berkata “ditulis hadisnya”. Abu Dawud menyatakan ia shaduq tasyayyu’.
Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada masalah padanya [yang berarti tsiqat].
Ibnu Adiy berkata “ia termasuk yang memiliki banyak riwayat, di sisiku
insya Allah tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia mungkar
al hadits dan berlebihan dalam tasyayyu’. Al Ijli berkata “ia tsiqat
dan sedikit tasyayyu’ serta banyak meriwayatkan hadis”. Shalih bin
Muhammad berkata “ia tsiqat dalam hadis hanya saja dituduh ghuluw”. Al
Azdiy berkata “di dalam hadisnya terdapat sebagian yang kami ingkari
tetapi di sisi kami ia termasuk orang yang jujur”. Ibnu Syahin
memasukkannya dalam Ats Tsiqat dimana Utsman bin Abi Syaibah berkata
“tsiqat shaduq”. As Saji dan Al Uqaili memasukkanya dalam Adh Dhu’afa
dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no
221]. Ibnu Hajar berkata “dia shaduq tasyayyu’ dan memiliki riwayat
afrad” [At Taqrib 1/263]. Adz Dzahabi berkata “Syaikh [guru] Bukhari
yang syiah shaduq” [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 100].
* ‘Ali bin Shalih bin Shalih bin Hay Al Hamdaniy adalah perawi
Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i menyatakan ia
tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan
ia tsiqat. Utsman Ad Darimi dari Ibnu Ma’in berkata “tsiqat ma’mun”.
Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat insya Allah hadisnya sedikit” [At Tahdzib juz
7 no 561]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib
1/696].
* Maisarah bin Habib An Nahdiy termasuk perawi Bukhari dalam Adabul
Mufrad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Telah meriwayatkan darinya
Syu’bah [itu berarti menurut Syu’bah ia tsiqat]. Ahmad, Ibnu Ma’in, Al
Ijli dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Abu Dawud berkata “ma’ruf
[dikenal]”. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 10 no 691]. Ibnu Hajar
menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/232]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat”
[Al Kasyf no 5752].
* Minhal bin ‘Amru Al Asdiy termasuk perawi Bukhari dan Ashabus
Sunan. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni
menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
Abdullah bin Ahmad berkata aku mendengar ayahku mengatakan Syu’bah
meninggalkan Minhal bin ‘Amru. Wahab bin Jarir dari Syu’bah yang berkata
“aku datang ke rumah Minhal kemudian aku mendengar suara tambur maka
aku kembali tanpa bertanya kepadanya. Wahab bin Jarir berkata “bukankah
sebaiknya kau bertanya padanya, bisa saja ia tidak mengetahui hal itu”.
[At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan shaduq dikatakan
pernah salah [At Taqrib 2/216].
* Sa’id bin Jubair termasuk perawi kutubus sittah yang dikenal
tsiqat. Ia adalah tabiin murid Ibnu Abbas yang terkenal. Abu Qasim At
Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia seorang yang faqih ahli
ibadah memiliki keutamaan dan bersifat wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14].
Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349].
Sudah jelas kalau hadis ini sanadnya hasan. Sebagian orang berusaha
melemahkan hadis ini dengan melemahkan Abu Muhammad Asy Syarqi Abdullah
bin Muhammad bin Hasan karena ia sering minum minuman yang memabukkan
[muskir]. Anehnya jika mereka konsisten maka seharusnya mereka juga
melemahkan dan menolak para sahabat yang meminum khamar seperti
Mu’awiyah dan Walid bin Uqbah. Kenyataannya mereka tetap menerima
riwayat kedua sahabat tersebut.
Dan bagi mereka yang akrab dengan kitab rijal maka hal-hal seperti
ini cukup ma’ruf [dikenal ] yaitu terdapat beberapa perawi yang tetap
dita’dilkan oleh ulama walaupun ia meminum minuman yang memabukkan.
Hamzah As Sahmiy mendengar Abu Zur’ah Muhammad bin Yusuf Al Junaidiy
pernah berkata tentang perawi yang bernama Ma’bad bin Jum’ah “ia tsiqat
hanya saja ia memimum minuman yang memabukkan” [Tarikh Al Jurjani no
951]. Kemudian terkait dengan lafaz yang digunakan dalam kitab rijal,
lafaz tersebut bukan “khamar” tetapi “muskir” dimana pada lafaz ini
terdapat ulama yang mengatakan kalau yang mereka minum adalah nabiidz.
Dan memang nabiidz ini dperselisihkan oleh sebagian ulama kedudukannya.
Terdapat para ulama yang menghalalkan nabidz diantaranya An Nakhaiy dan
ulama irak lainnya kemudian tetap banyak para ulama yang menta’dil
mereka.
Hadis Ibnu ‘Abbas di atas juga dikuatkan oleh jalur lain yang tidak
melewati Abu Muhammad Asy Syarqiy dari ‘Ali bin Sa’id dari Khalid bin
Makhlad. Ali bin Sa’id An Nasawiy dalam periwayatannya dari Khalid bin
Makhlad memiliki mutaba’ah yaitu Ahmad bin Utsman bin Hakim Al Kufy
sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Nasa’i 2/419 no 3993 dimana
Ahmad bin Utsman bin Hakin seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/42]. Selain
itu Ali bin Sa’id juga memiliki mutaba’ah dari Ali bin Muslim As Sulamiy
sebagaimana disebutkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 4/260 no 2830. Ali
bin Muslim As Sulamiy adalah syaikh [guru] dari Ibnu Khuzaimah dimana
Ibnu Khuzaimah menyebutnya Syaikh Al Faqih Al Imam dan menyatakan
hadisnya shahih. Hadis ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak
no 1706 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Haazim Al Ghifari dan Ali bin
Muslim keduanya dari Khalid bin Makhlad dari Ali bin Mushir dari
Maisarah bin Habib dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu
Abbas. [mungkin disini terjadi tashif dalam sanad Al Hakim yang benar
bukan Ali bin Mushir tetapi Ali bin Shalih].
Penjelasan Singkat Hadis.
Atsar Ibnu Abbas ini mengabarkan kepada kita situasi yang terjadi
di zaman pemerintahan Mu’awiyah. Tampak bahwa pada masa itu terdapat
orang-orang yang takut kepada Muawiyah sehingga mereka enggan
bertalbiyah padahal itu termasuk sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam]. Dari riwayat ini maka kita dapat memahami bahwa Mu’awiyah
telah melarang orang-orang untuk bertalbiyah di arafah dengan maksud
menyelisihi Imam Ali yang teguh melaksanakan sunnah Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam]. Jadi wajarlah kalau orang-orang tersebut takut kepada
Muawiyah.
Sikap Muawiyah dan para pengikutnya inilah yang diingkari oleh Ibnu
Abbas dimana Ibnu Abbas menyebutnya sebagai “meninggalkan sunnah karena
kebencian terhadap Imam Ali”. Hal yang seperti ini memang patut
diingkari dan menunjukkan kepada kita bahwa memang Muawiyah dan
pengikutnya konsisten untuk menunjukkan kebencian kepada Ahlul Bait
sampai-sampai mereka rela meninggalkan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] dan melarang orang melakukannya.
Husein bin Hamid Alattas akui dirinya tidak menganggap Muawiyah RA sebagai sahabat Nabi SAW, ia juga mengakui Muawiyah RA boleh dihujat dan dikritik. Meskipun, dirinya menyatakan bermanhaj sebagai Ahlus Sunnah.
“Secara lughowy (bahasa) Muawiyah termasuk sahabat, tetapi secara syar’i Muawiyah tidak termasuk sahabat,” kata Husein Hamid Alattas di tengah acara dialog dan mubahalah antara ustadz Haidar Abdullah Bawazir dengan Husein bin Hamid Alattas di Radio Silaturahim, Jl. Masjid Silaturahim No. 36, Cibubur, Bekasi, Rabu (27/6).
Husein berpendapat, Muawiyah RA merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya orang beriman dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah RA dengan Ali bin Abi Tholib RA yang berujung dengan peperangan. Pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah. “Memecahbelah umat dan menguasai harta,” tambah Husein.
Pendapat bahwa terdapat perbedaan makna sahabat secara bahasa dan syar’i dan ketidaksepakatan ulama dalam menilai sahabat yang membunuh orang beriman, menurutnya adalah berdasarkan kitab ulasan orang-orang yang sesuai dengan buku kalangan sunni kontemporer karya Hasan Farhan Al Maliki yang berjudul ‘Assubhu was Sahabah’. “Dalam buku itu tidak terdapat ijma dalam ahlussunnah berkaitan pandangan tersebut (status sahabat bagi orang yang membunuh orang beriman),” ujar Husein.
Penjelasan tersebut diutarakan Husein, setelah menolak definisi sahabat oleh jumhur ulama yang diutarakan ustadz Haidar Bawazir, yakni seseorang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan beriman ketika hidup dan beriman hingga ia meninggal dunia.
Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh. Muawiyah dan Amru bin Ash, yang mengobarkan perang Shiffin melawan Imam Ali.
Allah berfirman: “Barang siapa yang membunuh mukmin secara sengaja, Neraka Jahanam adalah balasan bagi mereka. Allah mengutuk dan memurkainya, dan azab yang sangat pedih menantinya” (QS. an-Nisa :93).
Dengan demikian, apakah kita harus menghormati seluruh sahabat dan mengikuti mereka semua, meski di antara mereka telah dikutuk Allah dengan ayat diatas? Mengapa kita harus mencintai orang yang dimurkai oleh Allah, dan kenapa kita harus taat pada orang yang telah dijanjikan baginya neraka?
Dalam hadis mutawatir dan dikenal luas yang telah disalurkan oleh al-Bukhârî (dalam ash-Shahîh, VIII, h. 185-186), Tirmidzi (dalam al-Jami’ ash-Shahîh), Ahmad ibn Hanbal (dalam al-Musnad, II, h. 161, 164, 206; III. h. 5, 22, 28, 91; IV, h. 197, 199; V, h. 215, 306, 307; VI, h. 289, 300, 311, 315), dan semua periwayat hadis dan sejarawan menyalurkan melalui 25 sahabat bahwa Nabi bersabda,“Sayang! suatu kelompok pendurhaka yang menyeleweng dari kebenaran akan membunuh ‘Ammar. ‘Ammar akan menyeru mereka ke surga dan mereka menyerunya ke neraka.”
Dalam sebuah hadis lain Nabi berkata tentang ‘Ammar : “Ammar bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ammar. la berpaling ke mana saja kebenaran berpaling. ‘ Ammar dekat kepadaku seperti dekatnya mata dengan hidung. Sayang, suatu kelompok pendurhaka akan membunuhnya.” (ath-Thabaqât, jilid III, bagian i, h. 187; al-Mustadrak, III, h. 392; Ibn Hisyam, as-Sîrah, II, h. 143; ibn Katsir, Târîkh, VII, h. 268, 270).
Tahukah anda bahwa Nabi Muhammad bersabda seperti yang diriwayatkan Musnad Ahmad ibn Hanbal: “Barang siapa yang mengutuk Ali secara terang-terangan, maka ia telah mengutuk aku, dan barangsiapa yang telah mengutuk aku, maka ia telah mengutuk Allah, dan barangsiapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparkannya ke neraka jahanam.”
Kalau memang dunia hadis sunni jujur dan tidak ada intimidasi dalam periwayatan hadis, niscaya Abu Hurairah tidak akan menyembunyikan hadis ! Bukhari dalam shahih nya meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata : “Saya menjaga dari Rasul SAW dua kantong, satu kantong saya sebarkan dan satu kantong lagi saya simpan. Kalau kantong yang saya tutupi ini saya buka juga, niscaya saya akan dihabisi oleh orang kejam ini (Mu’awiyah)” (Hr.Bukhari juz 1 halaman 38).
Sunni mencintai dan menghormati musuh musuh ahlulbait dengan alasan semuanya mengambil ajaran dari Rasul SAW. Bahkan sunni menganggap para sahabat seperti malaikat yang tidak pernah salah, tidak punya rasa dengki dan permusuhan kepada sesamanya.
Baladzuri mencatat dalam Ansab al-Asyraf (3/ 403) :
حدثني الحسين بن علي بن الأسود، ثنا يحيى بن آدم عن وكيع عن
إسماعيل بن أبي خالد عن شبيل اليحصبي قال: كانت لي حاجة إلى عمر بن الخطاب،
فغدوت لأكلمه فيها، فسبقني إليه رجل فكلمه فسمعت عمر يقول له: لئن أطعتك
لتدخلني النار، فنظرت فإذا هو معاوية.
“Aku mempunyai kebutuhan dari Umar bin Khatab, maka aku pergi kepadanya untuk bicara dengannya, namun seseorang laik-laki sebelumku berbicara kepadanya, aku dengar bahwa Umar mengatakan kepadanya : Jika aku ta’at kepadamu, kau akan membuatku masuk neraka”..lalu aku melihat dan itu (orang tsb) adalah Muawiyah”
- Husain bin Ali al Aswad : Ibn Hajar berkata : “Shaduq” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.216).
- Yahya bin Adam : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.2 / h.296).
- Waki : Ibn Hajar berkata: “Tsiqah” (Taqrib al-Tahdib, j.2 / h.284).
- Ismail bin Abi Khalid : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1 / h.93).
- Syubail al Yahshabi : Ibn Hajar berkata : “Tsiqah” (Taqrib al Tahdib, j.1/ h.412).
Doa Imam Ali Untuk Muawiyah dan Pengikutnya.
حدثنا تميم بن المنتصر الواسطي قال أخبرنا إسحاق يعني الأزرق عن شريك عن حصين عن عبد الرحمن بن معقل المزني قال صليت مع علي بن أبي طالب رضوان الله عليه الفجر ” فقنت على سبعة نفر منهم فلان وفلان وأبو فلان وأبو فلان
Telah menceritakan kepada kami Tamim bin Muntashir Al Wasithiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ishaq yakni Al Azraq dari Syarik dari Hushain dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy yang berkata “aku shalat fajar bersama Ali bin Abi Thalib radiallahu ‘anhu maka ia membaca qunut untuk tujuh orang, diantara mereka adalah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2628].Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syarik ia memang seorang yang tsiqat shaduq tetapi diperbincangkan hafalannya. Ishaq Al Azraq meriwayatkan dari Syarik sebelum hafalannya berubah maka riwayatnya shahih.
- Tamim bin Muntashir Al Wasithiy adalah perawi Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’I menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 958]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dhabit [At Taqrib 1/143-144].
- Ishaq bin Yusuf Al Azraq adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in dan Al Ijli menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shahih hadisnya shaduq tidak ada masalah dengannya”. Yaqub bin Syaibah berkata “ia termasuk orang yang alim diantara yang meriwayatkan dari Syarik”. Al Khatib berkata “termasuk tsiqat dan ma’mun”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bazzar menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 486]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/87].
- Syarik Al Qadhi adalah Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ia diperbincangkan sebagian ulama bahwa ia melakukan kesalahan dan terkadang hadisnya mudhtharib diantara yang membicarakannya adalah Abu Dawud, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban tetapi mereka tetap menyatakan Syarik tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 587]. Hafalan yang dipermasalahkan pada diri Syarik adalah setelah ia menjabat menjadi Qadhi dimana ia sering salah dan mengalami ikhtilath tetapi mereka yang meriwayatkan dari Syarik sebelum ia menjabat sebagai Qadhi seperti Yazid bin Harun dan Ishaq Al Azraq maka riwayatnya bebas dari ikhtilath [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 8507].
- Hushain adalah Hushain bin Abdurrahman As Sulami Al Kufi seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Al Ajli, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 2 no 659]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124].
- Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].
حدثني عيسى بن عثمان بن عيسى قال حدثنا يحيى بن عيسى عن الأعمش عن عبد الله بن خالد عن عبد الرحمن بن معقل قال صليت خلف علي المغرب فلما رفع رأسه من الركعة الثالثة قال اللهم العن فلانا وفلانا وأبا فلان وأبا فلان
Telah menceritakan kepadaku Isa bin Utsman bin Isa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Isa dari Al A’masy dari ‘Abdullah bin Khalid dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata “aku shalat maghrib di belakang Ali ketika ia mengangkat kepalanya pada rakaat ketiga, ia berkata “ya Allah laknatlah fulan, fulan, abu fulan dan abu fulan” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 2627].Riwayat ini sanadnya hasan dengan penguat riwayat sebelumnya. ‘Abdullah bin Khalid adalah seorang kufah yang tsiqat dimana telah meriwayatkan darinya Sufyan Ats Tsawri dan Al A’masy.
- Isa bin Utsman bin Isa adalah perawi Tirmidzi. Telah meriwayatkan darinya jama’ah hafizh diantaranya Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Nasa’I menyatakan “shalih” [At Tahdzib juz 8 no 410]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/772].
- Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376].
- Sulaiman bin Mihran Al A’masy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55].
- ‘Abdullah bin Khalid meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanniy dan telah meriwayatkan darinya Sufyan dan ‘Amasy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 7 no 8812]. Al Fasawiy menyebutkan ia seorang yang tsiqat [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/104].
- Abdurrahman bin Ma’qil Al Muzanni adalah perawi Abu Dawud seorang tabiin [walaupun ada yang mengatakan ia sahabat]. Ibnu Hajar menyebutkan ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Abu Zur’ah [At Tahdzib juz 6 no 543]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/591].
حدثنا هشيم قال أخبرنا حصين قال حدثنا عبد الرحمن بن معقل قال صليت مع علي صلاة الغداة قال فقنت فقال في قنوته اللهم عليك بمعاوية وأشياعه وعمرو بن العاص وأشياعه وأبا السلمي وأشياعه وعبد الله بن قيس وأشياعه
Telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hushain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ma’qil yang berkata Aku shalat bersama Ali dalam shalat fajar dan kemudian ketika Qunut Beliau berkata “Ya Allah hukumlah Muawiyah dan pengikutnya, Amru bin Ash dan pengikutnya, Abu As Sulami dan pengikutnya, Abdullah bin Qais dan pengikutnya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/108 no 7050].Riwayat ini sanadnya shahih, Husyaim adalah Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ibnu Hajar menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979]. Sedangkan Hushain dan Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan kalau mereka tsiqat.
حَدَّثَنَا عُبَيد الله بن معاذ قَال حدثني أبي قَال حَدَّثَنَا شُعبة عن عُبَيد أبي الحسن سمع عبد الرحمن بن معقل يقول شهدت علي بن أبي طالب قنت في صلاة العتمة بعد الركوع يدعو في قنوته على خمسة رهط على معاوية وأبي الأعور
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Ubaid Abi Hasan yang mendengar ‘Abdurrahman bin Ma’qil berkata “aku menyaksikan Ali bin ‘Abi Thalib membaca qunut dalam shalat ‘atamah [shalat malam yaitu maghrib atau isya’] setelah ruku’ untuk lima orang untuk Mu’awiyah dan Abul A’war [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 3/134].Riwayat ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat termasuk perawi Bukhari Muslim [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin perawi kutubus sittah [At Taqrib 2/193]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Ubaid bin Hasan Al Muzanniy atau Abu Hasan Al Kufiy adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan Nasa’I menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 128]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/643]. Dan ‘Abdurrahman bin Ma’qil telah disebutkan bahwa ia tabiin yang tsiqat.
Kedua riwayat Abdurrahman bin Ma’qil ini menyebutkan kalau diantara mereka yang didoakan [dalam qunut] keburukan atau laknat oleh Imam Ali adalah Mu’awiyah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Imam Ali, Muawiyah dan pengikutnya itu menyimpang dan telah sesat plus menyesatkan banyak orang sehingga Imam Ali sampai membaca qunut nazilah untuk mereka. Abbas Ad Duuriy berkata:
سمعت يحيى يقول أبو الأعور السلمي رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وكان مع معاوية وكان علي يلعنه في الصلاة
Aku mendengar Yahya [bin Ma’in] berkata “Abul A’war As Sulamiy seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ia bersama Muawiyah dan Ali telah melaknatnya di dalam shalat” [Tarikh Ibnu Ma’in 3/43 no 175].Kelompok Muawiyah Berada Di Jalan Yang Bathil.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hidzaa’ dari Ikrimah yang berkata Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Ali, pergilah kalian kepada Abu Sa’id dan dengarkanlah hadis darinya maka kami menemuinya. Ketika itu ia sedang memperbaiki dinding miliknya, ia mengambil kain dan duduk kemudian ia mulai menceritakan kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid. Ia berkata “kami membawa batu satu persatu sedangkan Ammar membawa dua batu sekaligus, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, kemudian Beliau berkata sambil membersihkan tanah yang ada padanya “kasihan ‘Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah [pembangkang], ia [Ammar] mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhari 1/97 no 447].Telah terbukti kalau ‘Ammar terbunuh dalam perang shiffin dan ia berada di pihak Imam Ali jadi kelompok baaghiyyah [pembangkang] yang membunuh ‘Ammar dalam hadis Bukhari di atas adalah kelompok Muawiyah. Muawiyah dan pengikutnya adalah kelompok yang mengajak ke neraka. Jadi berdasarkan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dalam perang shiffin Imam Ali dan pengikutnya berada dalam kebenaran sedangkan Muawiyah dan pengikutnya berada dalam kesesatan.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن عمرو بن مرة قال سمعت عبد الله بن سلمة يقول رأيت عمارا يوم صفين شيخا كبيرا آدم طوالا آخذا الحربة بيده ويده ترعد فقال والذي نفسي بيده لقد قاتلت بهذه الراية مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث مرات وهذه الرابعة والذي نفسي بيده لو ضربونا حتى يبلغوا بنا شعفات هجر لعرفت أن مصلحينا على الحق وأنهم على الضلالة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru bin Murrah yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Salamah berkata “aku melihat ‘Ammar dalam perang shiffin, dia seorang Syaikh yang berumur, berkulit agak gelap dan berperawakan tinggi, ia memegang tombak dengan tangan bergetar. Ia berkata “demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku telah berperang membawa panji ini bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tiga kali dan ini adalah yang keempat. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya sekiranya mereka menebas kami hingga membawa kami kepada kematian maka aku yakin bahwa orang-orang shalih yang bersama kami berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kesesatan [Musnad Ahmad 4/319 no 18904].Riwayat ini sanadnya hasan. ‘Abdullah bin Salamah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit perbincangan karena hafalannya. Riwayat ini juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 no 5651.
- Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]
- Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
- ‘Amru bin Murrah adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan shaduq tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Numair dan Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 8 no 163]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah [At Taqrib 1/745]
- ‘Abdullah bin Salamah adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ai Ijli menyatakan ia tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat termasuk thabaqat pertama dari ahli fiqih kufah setelah sahabat”. Abu Hatim berkata “dikenal dan diingkari”. Bukhari berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah”. Ibnu Ady berkata “aku kira tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 5 no 421]. Ibnu Hajar berkata “shaduq mengalami perubahan pada hafalannya” [At Taqrib 1/498]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Al Kasyf no 2760], Adz Dzahabi juga memasukkannya dalam Man Tukullima Fihi wa huwa Muwatstsaq no 182. Ibnu Hibban telah menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Hibban 15/555 no 7080]. Ibnu Khuzaimah telah berhujjah dan menshahihkan hadisnya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/104 no 208]. Al Hakim ketika membawakan hadis ‘Abdullah bin Salamah ia menyatakan hadis tersebut shahih sanadnya walaupun syaikhan tidak berhujjah dengan ‘Abdullah bin Salamah tetapi tidak ada cela terhadapnya [Al Mustadrak juz 1 no 541] itu berarti Al Hakim menganggap ‘Abdullah bin Salamah tsiqat. Pendapat yang rajih, ‘Abdullah bin Salamah adalah seorang yang hadisnya hasan terdapat sedikit pembicaraan dalam hafalannya tetapi itu tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan.
Kami juga ingin menegaskan kepada orang yang memang tidak punya kemampuan memahami perkataan orang lain bahwa kami tidak pernah menyatakan kalau Muawiyah dan pengikutnya kafir dalam perang shiffin berdasarkan hadis-hadis di atas. Jika dikatakan mereka bermaksiat maka itu sudah jelas, orang yang mengajak ke jalan neraka maka sudah jelas ia bermaksiat. Tetapi apakah maksiat itu membawa kepada kekafirannya maka hanya Allah SWT yang tahu. Soal Muawiyah kami sudah pernah membahas hadis shahih yang menunjukkan bahwa pada akhirnya ia mati tidak dalam agama islam sedangkan soal pengikutnya yang lain kami tidak memiliki dalil yang jelas soal itu.
Syubhat Salafy Dalam Membela Muawiyah.
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيُّ ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ بُرْقَانَ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ ، قَالَ : سُئِلَ عَلِيٌّ عَنْ قَتْلَى يَوْمِ صِفِّينَ ، فَقَالَ : قَتْلاَنَا وَقَتْلاَهُمْ فِي الْجَنَّةِ ، وَيَصِيرُ الأَمْرُ إلَيَّ وَإِلَى مُعَاوِيَةَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ayub Al Maushulliy dari Ja’far bin Burqaan dari Yazid bin Al Aasham yang berkata Ali pernah ditanya tentang mereka yang terbunuh dalam perang shiffin. Ia menjawab “yang terbunuh diantara kami dan mereka berada di surga” dan masalah ini adalah antara aku dan Muawiyah [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 15/302 no 39035].Riwayat ini secara zahir sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat tetapi terdapat illat di dalamnya. Adz Dzahabi mengatakan tentang Yazid bin Al Aasham kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih [As Siyar 4/517 no 211]. Walaupun dikatakan Adz Dzahabi ia menemui masa khalifah Ali tetapi tetap saja Adz Dzahabi sendiri mengatakan kalau riwayatnya dari Ali tidak shahih. Cukup ma’ruf dalam ilmu hadis bahwa terkadang ada perawi yang melihat atau bertemu atau semasa dengan perawi lain tetapi tidak mendengar hadis darinya sehingga hadisnya dikatakan tidak shahih. Salah satu contohnya adalah Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Madini berkata tentangnya “ia melihat Abu Sa’id Al Khudri tawaf di baitullah dan ia melihat Abdullah bin Umar tetapi tidak mendengar hadis dari keduanya” [Jami’ Al Tahsil Fii Ahkam Al Marasil no 520].
Ada yang berhujjah sembarangan dengan hadis ini. Mereka dengan hadis ini membela Muawiyah dan pengikutnya. Ini namanya asal berhujjah, telah kami tunjukkan bagaimana pandangan Imam Ali sebenarnya kepada kelompok Muawiyah. Jika Imam Ali sendiri berdoa dalam qunut nazilah agar Muawiyah dan pengikutnya mendapatkan hukuman dari Allah SWT maka sudah jelas menurut Imam Ali mereka kelompok Muawiyah berada dalam kesesatan atau kebathilan dan hal ini pun sesuai dengan petunjuk Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan pandangan ‘Ammar bin Yasir radiallahu ‘anhu.
Jadi jika riwayat di atas diartikan bahwa Imam Ali membenarkan Muawiyah dan pengikutnya maka itu keliru. Kami pribadi menganggap atsar tersebut matannya mungkar dan sanadnya memang mengandung illat. Bukankah dalam perang shiffin Muawiyah dan pengikutnya telah terbukti berada di atas Jalan yang menuju ke neraka berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang shahih. Apakah mereka yang gugur karena membela kebathilan akan mendapat imbalan surga?. Jadi dari sisi ini kalau riwayat tersebut diartikan secara zahir maka mengandung pertentangan dengan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Seandainyapun orang-orang tersebut menerima riwayat Imam Ali di atas maka sudah seharusnya diartikan bahwa yang dimaksud bukan secara umum. Bukankah salafy sendiri [Muawiyah dan pengikutnya] menganggap bahwa dalam kelompok Imam Ali terdapat para pembunuh Utsman radiallahu ‘anhu. Nah apakah mereka yang terbunuh dalam kelompok Imam Ali ini akan mendapat surga? Silakan mereka salafy menjawabnya. Begitu pula mungkin saja dalam kelompok Muawiyah terdapat orang-orang yang tidak memahami persoalan, mereka tertipu oleh propaganda Muawiyah atau dengan bahasa yang lebih kasar fitnah kalau Imam Ali dan pengikutnya melindungi para pembunuh khalifah Utsman radiallahu ‘anhu. Mungkin saja kelompok ini yang dikatakan Imam Ali bahwa yang terbunuh diantara mereka mendapat surga. Sehingga sangat wajar di akhir riwayat Imam Ali mengatakan kalau masalah ini adalah antara diri Beliau dan Muawiyah.
Selain itu sangat ma’ruf kalau tidak semua orang yang ikut berperang memiliki niat yang baik walaupun mereka berada di pihak yang benar. Kedudukannya tergantung niat orang tersebut, jika ia berperang dengan niat mendapatkan harta atau niat lain yang buruk dan gugur dalam perang tersebut bukan berarti ia lantas mendapat surga. Terdapat kisah dimana salah seorang sahabat gugur di medan perang kemudian para sahabat yang lain mengatakan ia syahid tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membantahnya dan mengatakan kalau ia di neraka karena sahabat tersebut telah berkhianat dalam harta rampasan perang. Kami cuma ingin menyampaikan bahwa atsar Imam Ali di atas seandainya kita terima maka ia tidak bisa diartikan secara umum untuk semua orang yang terbunuh di shiffin. Apalagi sangat tidak benar menjadikan hadis ini untuk membela Muawiyah dan pengikutnya yang lain.
Sebenarnya ada hal lucu yang tidak terpikirkan oleh salafy. Bukankah mereka sering merendahkan Syiah yang katanya Syiah mengatakan bahwa Imam Ali mengetahui perkara yang ghaib. Padahal yang dilakukan syiah mungkin hanya berhujjah dengan riwayat yang ada di sisi mereka. Sekarang lihatlah riwayat Imam Ali di atas, bukankah pengetahuan siapa yang akan masuk surga adalah pengetahuan yang bersifat ghaib lantas kenapa sekarang salafy anteng-anteng saja meyakini riwayat tersebut. Sekarang dengan lucunya [demi membela Muawiyah] salafy mengakui kalau Imam Ali mengetahui perkara ghaib bahwa yang terbunuh di shiffin itu masuk surga. Sungguh tanaqudh dan memprihatinkan mereka suka mencela mazhab lain tetapi apa yang mereka cela ada pada diri mereka sendiri.
Bukan nashibi namanya kalau tidak membela Muawiyah. Segala cara akan mereka lakukan untuk membela Muawiyah, apapun yang terjadi pokoknya Muawiyah harus dibebaskan dari segala perilaku buruk. Setiap perilaku buruk Muawiyah harus ditafsirkan sebagai akhlak yang mulia. Jika Muawiyah meminum minuman yang diharamkan maka harus ditafsirkan bahwa yang ia minum adalah susu. Jika Muawiyah menolak hadis dan menuduh sahabat berdusta maka harus ditafsirkan ia berijtihad. Orang yang berakal pasti akan merasa geli melihat ulah para nashibi yang menghalalkan segala cara untuk membela pujaan mereka Muawiyah.
Berkaitan dengan Muawiyah mencela Imam Ali, para nashibi [yang biasa terlibat di forum konyol kebanggaan mereka] menolak dengan sombongnya kalau Muawiyah mencela Imam Ali. Bahkan ada diantara mereka yang berlisan kotor menuduh orang yang tidak sependapat dengannya sebagai Dajjal. Na’udzubillah betapa buruknya akhlak para nashibi.
Kami sarankan agar para pembaca tidak terlibat diskusi dengan mereka karena kasihan itu hanya akan memperbanyak dosa mereka. Diskusi itu pada akhirnya hanya akan membuat para nashibi menghina anda bahkan menyebut anda Dajjal. Apalagi kalau anda tidak hati-hati dan terbawa emosi maka anda akan ikut ikutan menghina pula jadilah diksusi itu ajang caci mencaci dan hina menghina. Biarkanlah mereka hidup dengan tabiat mereka yang suka menghina, tidak lain itu warisan dari pujaan mereka Muawiyah yang suka mencaci Imam Ali,
حدثنا علي بن محمد . حدثنا أبو معاوية . حدثنا موسى بن مسلم عن ابن سابط وهو عبد الرحمن عن سعد بن أبي وقاص قال قدم معاوية في بعض حجاته فدخل عليه سعد فذكروا عليا . فنال منه . فغضب سعد وقال تقول هذا لرجل سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( من كنت مولاه فعلي مولاه ) وسمعته يقول ( أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي ) وسمعته يقول ( لأعطين الرأية اليوم رجلا يحب الله ورسوله ) ؟
Ali bin Muhammad menceritakan kepada kami yang berkata Abu Muawiyah menceritakan kepada kami yang berkata Musa bin Muslim menceritakan kepada kami dari Ibnu Sabith dan dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata ”Ketika Muawiyah malaksanakan ibadah haji maka Saad datang menemuinya. Mereka kemudian membicarakan Ali lalu Muawiyah mencelanya. Mendengar hal ini maka Sa’ad menjadi marah dan berkata ”kamu berkata seperti ini pada seseorang dimana aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ”barangsiapa yang Aku adalah mawlanya maka Ali adalah mawlanya”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Kamu disisiKu sama seperti kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahKu”. Dan aku juga mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Ali ”Sungguh akan Aku berikan panji hari ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya [Sunan Ibnu Majah 1/45 no 121 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah no 98].Nashibi yang sok berasa paham ilmu hadis Ahlus sunnah setelah menukil riwayat ini, ia menyatakan bahwa riwayat ini dhaif karena inqitha’ atau sanadnya terputus. Ibnu Sabith tidak mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqash maka riwayatnya mursal. Pernyataan ini hanya bertaklid buta pada pendapat Ibnu Ma’in berikut yaitu dari riwayat Ad Duuriy,
سمعت يحيى يقول قال بن جريج حدثني عبد الرحمن بن سابط قيل ليحيى سمع عبد الرحمن بن سابط من سعد قال من سعد بن إبراهيم قالوا لا من سعد بن أبى وقاص قال لا قيل ليحيى سمع من أبى أمامة قال لا قيل ليحيى سمع من جابر قال لا هو مرسل كان مذهب يحيى أن عبد الرحمن بن سابط يرسل عنهم ولم يسمع منهم
Aku mendengar Yahya mengatakan Ibnu Juraij berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Saabith, dikatakan kepada Yahya, apakah ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Sa’ad?. Yahya berkata “Sa’ad bin Ibrahim?”. Mereka menjawab “bukan”, dari Sa’ad bin Abi Waqaash. Yahya berkata “tidak”. Dikatakan kepada Yahya, apakah ia mendengar dari Abu Umamah. Yahya menjawab “tidak”. Dikatakan kepada Yahya apakah ia mendengar dari Jabir. Yahya menjawab “tidak, itu mursal”. Mazhab Yahya adalah ‘Abdurrahman bin Saabith mengirsalkan hadis dari mereka dan tidak mendengar dari mereka [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 366].Yahya bin Ma’in beranggapan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’ad, Abu Umamah, dan Jabir. Riwayat Ibnu Saabith dari ketiganya adalah mursal. Ini adalah pendapat atau mazhab Ibnu Ma’in dan ternyata terbukti keliru. Imam Bukhari berkata:
عبد الرحمن بن عبد الله بن سابط الجمحي المكي سمع جابرا روى عنه ليث وعبد الله بن مسلم بن هرمز وفطر
‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Saabith Al Jumahiy Al Makkiy mendengar dari Jabir, meriwayatkan darinya Laits, ‘Abdullah bin Muslim bin Hurmuz dan Fithr [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 5 no 985].عبد الرحمن بن سابط الجمحى مكى روى عن عمر رضى الله عنه مرسل وعن جابر بن عبد الله، متصل
‘Abdurrahman bin Saabith Al Jumahiy Al Makkiy meriwayatkan dari Umar radiallahu ‘anhu mursal dan dari Jabir bin ‘Abdullah muttashil [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/240 no 1137]Dan terdapat riwayat dari Ibnu ‘Adiim dalam kitabnya Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab menyebutkan riwayat dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [silakan lihat http://islamport.com/w/tkh/Web/363/1013.htm%5D
وأخبرنا أبو اسحاق إبراهيم بن عثمان بن يوسف الكاشغري -قدم علينا حلب- قال: أخبرنا أبو المظفر أحمد بن محمد بن علي بن صالح الكاغدي وأبو الفتح محمد بن عبد الباقي بن أحمد بن سلمان. قال أبو المظفر: أخبرنا أبو بكر أحمد بن علي بن الحسين بن زكريا، وقال أبو الفتح: أخبرنا أبو الفضل أحمد بن الحسن بن خيرون قالا: أخبرنا أبو علي الحسن بن أحمد بن ابراهيم بن شاذان قال: أخبرنا أبو محمد عبد الله بن جعفر بن درستويه قال: أخبرنا أبو يوسف يعقوب بن سفيان الفسوي قال: حدثنا محمد بن عبد الله بن نمير قال: حدثنا أبي، قال حدثنا ربيع بن سعد عن عبد الرحمن بن سابط قال: كنت مع جابر، فدخل حسين بن علي رضي الله عنهما، فقال جابر: من سره أن ينظر الى رجل من أهل الجنة فلينظر الى هذا، فأشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوله.
Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq Ibrahim bin Utsman bin Yusuf Al Kaasyghariy, yang mendatangi kami di Halab, yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muzhaffar Ahmad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Shalih Al Kaaghadiy dan Abu Fath Muhammad bin ‘Abdul Baqiy bin Ahmad bin Salmaan. Abu Muzhaffaar berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Husain bin Zakaria. Dan Abu Fath berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khairuun. Keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Syaadzan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ja’far bin Durustawaih yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Yusuf Ya’qub bin Sufyan Al Fasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Rabii’ bin Sa’d dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata “aku bersama Jabir maka masuklah Husain bin Ali radiallahu ‘anhum. Jabir kemudian berkata “siapa yang ingin melihat seorang ahli surga maka lihatlah orang ini, aku bersaksi telah mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya [Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab 5/92].Riwayat ini kedudukannya shahih telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat. Para perawi yang kami jelaskan berikut adalah yang kami cetak biru,
- Abu Ishaq Ibrahim bin Utsman bin Yusuf Al Kasyghariy disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam As Siyar yaitu Syaikh Mu’ammar Musnad Iraq. Ibnu Nuqtah berkata “pendengarannya shahih” [dalam hadis]. Ibnu Najjar juga mengatakan ia shahih pendengarannya [As Siyar Adz Dzahabi 23/148-149 no 03]
- Abu Fath Muhammad bin ‘Abdul Baqiy bin Ahmad bin Salmaan biografinya disebutkan Ibnu Ad Dimyathiy dalam kitabnya Al Mustafad Min Dzail Tarikh Baghdad dimana disebutkan kalau Abu Fath seorang syaikh shalih shaduq dan terpercaya [Al Mustafad Min Dzail Tarikh Baghdad no 14]
- Abu Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khairun disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam As Siyar bahwa ia Imam Alim Hafizh Musnad Hujjah. As Sam’aniy menyatakan ia tsiqat adil mutqin [As Siyar Adz Dzahabi 19/105-106 no 60]
- Abu Ali Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Syaadzan disebutkan biografinya oleh Adz Dzahabiy dalam As Siyaar bahwa ia Imam Al Fadhl Shaduq Musnad Iraq. Al Khatib berkata “aku menulis darinya, shahih pendengarannya, shaduq”. Abu Hasan bin Zarqawaih menyatakan ia tsiqat [As Siyar Adz Dzahabi 17/416-417 no 273]
- ‘Abdullah bin Ja’far Abu Muhammad adalah Ibnu Darastawaih, Adz Dzahabi menyatakan ia seorang Imam, Allamah dan tsiqat [As Siyar 15/531 no 309]
- Yaqub bin Sufyan Al Fasawi disebutkan Ibnu Hajar bahwa ia seorang hafiz yang tsiqat [At Taqrib 2/337]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6388]
- Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair adalah perawi kutubus sittah yang dikatakan Ibnu Hajar tsiqat hafizh memiliki keutamaan [At Taqrib 2/100]
- ‘Abdullah bin Numair adalah perawi kutubus sittah yang dikatakan Ibnu Hajar tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabiy menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024]
- Rabi’ bin Sa’d Al Ju’fiy dikatakan Abu Hatim “tidak ada masalah padanya” [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 2077]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 6 no 7800]. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2216]. Ibnu Syahin dan Ibnu Ammar menyatakan ia tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 354]
- Abdurrahman bin Saabith, Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/570]. Adz Dzahabiy menyatakan ia faqih tsiqat [Al Kasyf no 3198]
Dari riwayat tersebut Ibnu Saabith bertemu dengan Jabir bin ‘Abdullah radiallahu ‘anhu bahkan melihat Husain bin Ali [‘alaihis salam]. Imam Husain wafat pada tahun 61 H [Al Kasyf no 1097]. Maka peristiwa di atas terjadi sebelum tahun 61 H dan saat itu Ibnu Saabith sudah dewasa dan bersama Jabir radiallahu ‘anhu. Sa’d bin Abi Waqash wafat pada tahun 55 H [Al Kasyf no 1845] maka Ibnu Saabith bertemu dengan Sa’d bin Abi Waqash apalagi, Ibnu Saabith itu adalah orang Makkah dan peristiwa Muawiyah mencela Imam Ali terjadi ketika Sa’ad bin Abi Waqash sedang berada di Makkah. Bagaimana mungkin perawi yang berada dalam satu masa dan satu kota yang sama bisa dikatakan tidak mendengar dan riwayatnya mursal. Kesimpulannya mazhab Ibnu Ma’in dalam hal ini terbukti keliru.
Ibnu Hajar dalam Al Ishabah mengutip bahwa ada yang mengatakan kalau Ibnu Saabith tidak shahih mendengar dari sahabat Nabi dan ada yang mengatakan kalau ia tidak menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash [Al Ishabah 5/228 no 6691]. Kemungkinan orang yang dimaksud Ibnu Hajar tersebut adalah Ibnu Ma’in. Lagipula terlepas dari siapa yang dikutip Ibnu Hajar tersebut pernyataan itu keliru. Ibnu Saabith terbukti mendengar dari Jabir radiallahu ‘anhu dan ia menemui masa Sa’ad bin Abi Waqash.
Ad Dhiya’ Al Maqdisi dalam kitabnya Al Ahadits Al Mukhtarah [dimana ia menshahihkan hadis yang ia kutip] mengutip hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dengan judul “Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d radiallahu ‘anhu” [Al Ahadis Al Mukhtarah no 1008]. Hal itu menunjukkan bahwa di sisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’ad adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d. Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah Wan Nihayah 7/376 juga membawakan hadis ‘Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d di atas dan ia berkata “sanadnya hasan” maka itu berarti disisinya riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d adalah muttashil [bersambung] atau Ibnu Saabith mendengar dari Sa’d,
عن عامر بن سعد بن أبي وقاص عن أبيه قال أمر معاوية بن أبي سفيان سعدا فقال ما منعك أن تسب أبا التراب ؟ فقال أما ذكرت ثلاثا قالهن له رسول الله صلى الله عليه و سلم فلن أسبه لأن تكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول له خلفه في بعض مغازيه فقال له علي يا رسول الله خلفتني مع النساء والصبيان ؟ فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبوة بعدي وسمعته يقول يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله قال فتطاولنا لها فقال ادعوا لي عليا فأتى به أرمد فبصق في عينه ودفع الراية إليه ففتح الله عليه ولما نزلت هذه الآية فقل تعالوا ندع أبناءنا وأبنائكم [ 3 / آل عمران / 61 ] دعا رسول الله صلى الله عليه و سلم عليا وفاطمة وحسنا وحسينا فقال اللهم هؤلاء أهلي
Dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya yang berkata Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah Sa’ad, lalu berkata “Apa yang menghalangimu untuk mencaci Abu Turab”?. Sa’ad berkata “Selama aku masih mengingat tiga hal yang dikatakan oleh Rasulullah SAW aku tidak akan mencacinya yang jika aku memiliki salah satu saja darinya maka itu lebih aku sukai dari segala macam kebaikan. Rasulullah SAW telah menunjuknya sebagai Pengganti Beliau dalam salah satu perang, kemudian Ali berkata kepada Beliau “Wahai Rasulullah SAW engkau telah meninggalkanku bersama perempuan dan anak-anak?” Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya Tidakkah kamu ridha bahwa kedudukanmu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Aku mendengar Rasulullah SAW berkata di Khaibar “Sungguh Aku akan memberikan panji ini pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya serta dicintai Allah dan RasulNya. Maka kami semua berharap untuk mendapatkannya. Lalu Beliau berkata “Panggilkan Ali untukku”. Lalu Ali datang dengan matanya yang sakit, kemudian Beliau meludahi kedua matanya dan memberikan panji kepadanya. Dan ketika turun ayat “Maka katakanlah : Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian”(Ali Imran ayat 61), Rasulullah SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan berkata “Ya Allah merekalah keluargaku” [Shahih Muslim 4/1870 no 2404].Kami telah menjelaskan panjang lebar makna hadis ini dalam tulisan kami yang lalu, dimana kami membantah penafsiran An Nawawi terhadap hadis ini. Disini kami hanya ingin mengutip ulama yang menguatkan hujjah kami bahwa makna hadis riwayat Muslim di atas adalah Muawiyah memerintahkan Sa’ad untuk mencaci Imam Ali.
Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy termasuk ulama yang mengartikan riwayat Muslim sebagai Muawiyah memerintah Sa’ad untuk mencaci Imam Ali. Dalam kitabnya Syarh Sunan Ibnu Majah, ketika menjelaskan lafaz “Fanala minhu” dalam hadis Ibnu Saabith di atas ia berkata:
قوله : ( فنال منه ) أي نال معاوية من علي ووقع فيه وسبه بل أمر سعدا بالسب كما قيل في مسلم والترمذي
Perkataannya “Fanala minhu” bermakna Muawiyah mencela Ali, berkata buruk tentangnya dan mencacinya kemudian memerintahkan Sa’ad untuk mencacinya seperti yang dikatakan dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi [Syarh Sunan Ibnu Majah no 121].Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Manhaj As Sunnah ketika menyinggung hadis Sa’ad riwayat Muslim, ia berkata:
وأما حديث سعد لما أمره معاوية بالسب فأبى فقال ما منعك أن تسب علي بن أبي طالب فقال ثلاث قالهن رسول الله صلى الله عليه وسلم فلن أسبه لأن يكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم الحديث فهذا حديث صحيح رواه مسلم في صحيحه
Adapun hadis Sa’ad ketika Muawiyah memerintahkannya untuk mencaci dan ia menolak maka Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Ali bin Abi Thalib?” Sa’ad berkata “selama masih ada tiga hal yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentangnya maka aku tidak akan mencacinya. Seandainya aku memiliki satu saja diantara ketiganya maka itu lebih aku cintai dari segala macam kebaikan –al hadits-. Hadis ini adalah hadis shahih diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya [Manhaj As Sunnah Ibnu Taimiyyah 5/16].Penafsiran kami terhadap hadis ini jelas bersandarkan pada teksnya. Lafaz pertama “Muawiyah memerintah Sa’ad” kemudian lafaz berikutnya Muawiyah berkata “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab”. Maka orang yang paham dan punya akal pikiran dapat mengetahui bahwa hadis itu bermakna Muawiyah memerintahkan Sa’d mencaci Ali tetapi Sa’d menolaknya maka Muawiyah bertanya “apa yang mencegahmu mencaci Abu Turab?”. Sedangkan apa yang dijelaskan oleh Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti secara buta oleh para nashibi [karena membela idola mereka] adalah penakwilan dan tidak berdasarkan pada lafaz hadisnya.
Berikut akan kami bawakan hadis lain sebagai bukti Muawiyah mencela Imam Ali dan menuduhnya dengan tuduhan konyol yang jika saja perkataan serupa ditujukan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami yakin para nashibi akan mengkafirkan orang yang mengatakannya.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth].Perhatikan hadis di atas setelah mengetahui ‘Ammar bin Yasar radiallahu ‘anhu terbunuh dan terdapat hadis bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang maka Muawiyah menolaknya bahkan melemparkan hal itu sebagai kesalahan Imam Ali. Menurut Muawiyah, Imam Ali dan para sahabatnya yang membunuh ‘Ammar karena membawanya ke medan perang dan menurut Muawiyah Imam Ali itu yang seharusnya dikatakan sebagai kelompok pembangkang. Sudah jelas ini adalah celaan yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya.
Tentu saja itu sama halnya dengan Muawiyah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membunuh para sahabat Badar dan Uhud yang syahid di medan perang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membawa mereka ke medan perang. Bayangkan jika perkataan dengan “logika Muawiyah” ini diucapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sudah pasti para nashibi itu akan menyatakan kafir orang yang mengatakannya. Mari kita lihat dalih dalih konyol para nashibi atas pembelaan mereka terhadap sahabat pujaan mereka Muawiyah.
Post a Comment
mohon gunakan email