Pesan Rahbar

Home » » Selama 80 Tahun Dinasti ‘Umayyah, Kecuali Di Zaman Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azis Yang Hanya Dua Setengah Tahun. Muawiyyah Dan Para Pejabatnya Serta Para Ulamanya Melaknat Dan Mencaci Ali bin Abu Thalib Dan Keluarga Beserta Pengikutnya Diatas Mimbar

Selama 80 Tahun Dinasti ‘Umayyah, Kecuali Di Zaman Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azis Yang Hanya Dua Setengah Tahun. Muawiyyah Dan Para Pejabatnya Serta Para Ulamanya Melaknat Dan Mencaci Ali bin Abu Thalib Dan Keluarga Beserta Pengikutnya Diatas Mimbar

Written By Unknown on Friday, 15 August 2014 | 23:32:00

Muawiyyah dan para pejabatnya serta para ulamanya melaknat dan mencaci Ali bin Abu Thalib dan keluarga beserta pengikutnya diatas mimbar diseluruh dunia Islam termasuk di Makkah dan Madinah, kecuali di Sijistan. Di Sijistan, sebuah kota yang sekarang terletak antara Afghanistan dan Iran, hanya sekali melakukan pelaknatan diatas mimbar.. Ali dilaknat dan dicaci atas perintah sahabat Mu’awiyyah, serta khalifah-khalifah Bani Umayyah lainnya. Pada masa itu, Ali tidak dianggap khalifah yang lurus.

Sunni percaya bahwa semua sahabat adil, dan semua tindakan mereka adalah ijtihad . Dan tindakan mereka mendapat pahala termasuk diantaranya sahabat yang melaksanakan pembunuhan berdarah dingin, pezinah, pemabuk, pembohong, pembakar orang hidup-hidup atau memerangi Imam zamannya dan perbuatan-perbuatan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.

Banyak sekali hadits-hadits seperti hadits Al-Haudh, diantaranya tercatat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Mereka membenarkan ayat Al-Qur’an tersebut dan menceritakan adanya sekelompok sahabat digiring ke neraka dan tatkala ditanya Rasul, ada suara yang menjawab “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu”.

Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa diantara para sahabat ada yang ‘kufur’ dan ‘munafik’.(Termasuk ayat-ayat terakhir bacalah At-Taubah ayat 48, 97).

Selama 80 tahun dinasti ‘Umayyah, kecuali di zaman khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azis yang hanya dua setengah tahun. Muawiyyah dan para pejabatnya serta para ulamanya melaknat dan mencaci Ali bin Abu Thalib dan keluarga beserta pengikutnya diatas mimbar diseluruh dunia Islam termasuk di Makkah dan Madinah, kecuali di Sijistan. Di Sijistan, sebuah kota yang sekarang terletak antara Afghanistan dan Iran, hanya sekali melakukan pelaknatan diatas mimbar.

Ali dilaknat dan dicaci atas perintah sahabat dan ipar Rasulullah SAWW, Mu’awiyyah, serta khalifah-khalifah Bani Umayyah lainnya. Pada masa itu, misalnya, Ali tidak dianggap khalifah yang lurus. Abdullah bin Umar tidak mau membai’at Ali malahan membai’at Mu’awiyyah, Yazid bin Mu’awiyyah dan gubernur Hajjaj bin Yusuf yang terkenal sebagai penjahat yang mebunuh 120 ribu kaum muslimin dan muslimat secara berdarah dingin, shabran.

Ibnu Umar juga mengeluarkan hadits-hadits yang menyingkirkan Ali sebagai salah satu khalifah yang lurus.

Kita tahu, Mu’awiyyah membunuh para sahabat seperti, Hujur bin ‘Adi, Syarik bin Syaddad, Shaifi bin Fasil, Asy-Syabani, Qabisyah bin Dhabi’ah Al-Abbasi, Mahraz bin Syahhab Al- Munqari, Kadam bin Hayyan Al-Anzi dan Abdurrahman bin Hassan Al-Anzi hanya karena tidak mau melaknat Ali. Abdurrahman Al-Anzi dikirim kepada Ziyad bin Abih dan dikuburkan hidup-hidup di Nathif dekat kuffah, ditepi sungai Efrat.

Beranikah saudara-saudara menganggap Mu’awiyyah dan seluruh pejabat,sahabat Rasulullah SAWW yang mendukungnya, serta para ulama telah kafir karena bukan saja memerintahkan kaum muslimin, termasuk para sahabat agar melaknat Ali, tetapi juga membunuh mereka yang menolak untuk melaknat? Pada masa itu tidak ada yang berani menamakan anaknya Ali. Sampai-sampai pernah seorang ayah melaporkan kepada penguasa karena merasa terhina oleh istrinya karena memanggilnya Ali!

Mu’awiyah yang tadinya menjabat gubernur Syam (Suriah) menyingkirkan khalifah yang sah melalui Politik Adu Domba Pecah Belah, Lalu Mu’awiyah Menyingkirkan Imam Hasan…. Musuh Ahlul Bait Jadi SANG PEDOMAN Sunni.
______________________________________

Akidah Sunni menghalalkan semua kejahatan Mu’awiyah dengan dalih mujtahid yang salah ijtihad dapat satu pahala Pertentangan dan Permusuhan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah

Menguraikan kejahatan Umayyah dan anak-anaknya.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS 3:103).


“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak mengecewakannya (membiarkannya menderita) dan tidak merusak kehormatan dan nama baiknya” (HR Muslim)

Sungguh, aku sangat keheranan menyaksikan keserakahan Bani Umayyah untuk mempertahankan kekhalifahan; padahal mereka jauh dari keluarga Rasulullah saw dan keluarga Bani Hasyim. Mengapa mereka merasa berhak atas kekhalifahan?

Di mana Bani Umayyah dan Bani Marwan bin Al-Hakam –yang diusir Rasul Allah saw dan dilaknatnya- dalam urusan ini? Telah jelas permusuhan antara Bani Umayyah dengan Bani Hasyim pada zaman jahiliah. Kemudian, permusuhan yang sangat dari Bani Umayyah kepada Rasulullah saw dan keterlaluan mereka dalam menyakiti Nabi dan membohongkan apa yang diajarkannya sejak Allah saw mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, sampai Allah memuliakan NabiNya dengan kemenangan. Maka masuklah ke dalam Islam siapa saja di antara mereka, seperti yang kita kenal.

satu puak yang memusuhi dan dimusuhi Rasulullah saw bisa merebut kekuasaan dan memerintah umat Islam atas nama agama. Ia ingin menjawab pertanyaan mengapa Bani Umayyah dengan segala kejahatannya dapat menyisihkan Bani Hasyim dengan segala kemuliaan akhlaknya.

Silahkan melacak permusuhan di antara kedua puak itu pada saat kelahiran Hasyim dan ‘Abd al-Syams yang kembar dempet. Mereka dipisahkan dengan pedang. Itulah tanda pertumpahan darah di antara anak-anak keduanya.


Derita Imam Ali

Ketika Muawiyah mengirimkan Sufyan bin ‘Auf al-Ghamidi untuk menjarah kota Anbar, ia mengirimkan 6000 penunggang kuda. Mereka menyerang Hit dan Anbar, membunuhi kaum muslimin, merampas perempuan mereka, dan memaksa orang untuk melaknat Imam ‘Ali. Mendengar berita itu Amirul Mukminin mengajak orang untuk memerangi mereka. Sebelumnya mereka berdiam diri saja. Ali memerintahkan orang untuk berkumpul.

Ia menyampaikan khotbah. Setelah memuji Allah dan membacakan shalawat kepada Rasulillah, ia berkata: ’Amma ba’d: wahai manusia! Demi Allah penduduk kota kalian sekarang ini lebih banyak dari jumlah orang Anshar di tengah-tengah bangsa Arab. Ketika mereka membuat perjanjian dengan Rasulullah untuk membela dia dan orang-orang muhajir yang besertanya, sehingga Rasulullah menyampaikan Risalah tuhannya, mereka hanyalah dua kabilah yang paling muda usianya di tengah-tengah bangsa Arab. Bilangan mereka juga bukan yang paling banyak. Ketika mereka melindungi Rasulullah dan para sahabatnya, membela Allah dan agamanya, bangsa Arab bersatu dan melakukan perjanjian bersama dengan kaum Yahudi. Kabilah demi kabilah memerangi mereka. Tetapi mereka persembahkan dirinya untuk agama. Mereka putuskan hubungan di antara mereka dan orang Arab lainnya dan di antara mereka dan orang Yahudi… sampai dekatlah Rasulullah dengan orang Arab. Ia melihat mereka dengan bahagia sebelum Allah memanggilnya kehadiratNya. Kalian sekarang ini lebih banyak dari mereka pada zaman itu.”Berdirilah seorang lelaki hitam dan tinggi. Ia berkata: ”Engkau tidak sama seperti Muhammad! Kami juga tidak sama dengan orang-orang yang kau sebut itu. Janganlah engkau bebani kami dengan apa yang kami tidak mampu melakukannya.” Amirul Mukminin berkata: “dengarkan baik-baik supaya engkau mendapat jawaban yang baik. Celakalah kalian! Kalian hanya merisaukan daku. Apakah aku bercerita kepada kalian bahwa aku seperti Muhammad saw, dan kalian seperti para pembelanya? Aku hanya membuat perumpamaan. Aku ingin kalian belajar dari perumpamaan ini.”

Seorang lelaki lain berdiri dan berkata: “Betapa perlunya Amirul Mukminin dan orang besertanya kepada ahli Nahrawan.” Dari setiap penjuru orang berbicara sehingga terdengar suara hiruk pikuk. Maka berdirilah seorang lelaki lainnya lagi dengan suara yang sangat keras: “Jelas sekali bagaimana penduduk Irak kehilangan Asytar. Sekiranya ia masih hidup tidak akan terjadi hiruk-pikuk seperti ini. Setiap orang akan berbicara yang ia ketahui.”

Kemudian Amirul Mukminin berkata: “Biarkan ibu-ibu menangisi anaknya yang keguguran!(Imam Ali menegur mereka dengan keras seakan-akan mereka adalah anak-anak yang seharusnya gugur sebelum lahir dan ditangisi ibunya) Aku lebih berhak ditaati ketimbang Asytar. Bukankah hak Asytar atas kalian adalah semata-mata hak seorang muslim kepada muslim lainnya.” Ia turun dari mimbarnya dalam keadaan murka.(al-amâli 173,293; al-ghârât 2:479; syarh nahj al-balaghah 2:89).

Penggalan sejarah di atas kita kutip untuk menunjukkan betapa beratnya Imam Ali menghadapi para sahabatnya. Mereka tidak terbiasa mentaati pemimpinnya yang adil. Mereka hanya patuh kepada pemimpin yang menggunakan madu dan racun untuk menegakkan kekuasaannya. Imam Ali hanya menawarkan kebenaran. Betapa sedikitnya orang yang mau menerima kebenaran dan setia mempertahankannya. Ia tahu bahwa manusia lebih tertarik untuk bergabung dengan orang-orang yang menawarkan dunia. Ia menyebutnya maidah, hidangan. Ia berkata: “Lâ tastawhisyū fi tharīqil hudâ liqillati ahlih. Fainnan nâsa qad ijtama’ū ‘ala mâidah syiba’uha qashīr wa ju’uha thawīl” ( Nahj al-Balaghah, Khuthbah 192). Janganlah kamu merasa kesepian di jalan petunjuk karena sedikit pengikutnya. Manusia sungguh hanya berkumpul di sekitar hidangan. Kenyangnya sebentar, laparnya berkepanjangan.

Seperti akan kita uraikan kemudian, banyak sahabat Imam Ali berbelot karena ingin mendekati hidangan duniawi sekarang; sementara Imam Ali menawarkan hidangan surgawi pada hari akhirat kelak.. Saya tidak tahu apakah sudah “fitrah” manusia bahwa mereka sangat taat kepada pemimpin yang zalim tetapi sangat membangkang kepada pemimpin yang adil. Lihatlah kembali kutipan di atas. Mungkinkah mereka berani bersuara hiruk pikuk di depan Muawiyyah atau Ibn Ziyad? Mereka berani berbuat begitu di depan Imam Ali, karena mereka tahu Imam Ali tidak akan menindak mereka dengan pedangnya.

Karena ia menegakkan kekuasaannya di atas keadilan dan kebenaran, orang banyak berani menentangnya. Kalau jihad yang paling utama adalah berbicara yang benar di depan penguasa yang zalim, rakyat imam Ali bebricara yang batil di depan penguasa yang adil. Semua rakyat takut kepada penguasanya yang zalim. Imam Ali takut akan kezaliman rakyatnya.

Pada tahun 39 H, Muawiyyah mengirimkan berbagai pasukan ke seluruh penjuru daerah kekuasaan Imam Ali. Nu’man bin Basyir disuruhnya menyerang ‘Ainut Tamar, Sufyan bin ‘Auf ke Anbar dan Hit, Abdullah bin Mas’adah ke Tayma, Al-Dhahhak bin Qais ke pinggiran Kufah, Busur bin Arthah ke Madinah dan Makkah. Di berabagai penjuru negeri itu mereka melakukan penjarahan, perkosaan, pembunuhan dengan cara-cara yang keji. Pada suasana kritis itu, Imam Ali mengajak rakyatnya untuk berperang, melawan agresi dari kaum yang zalim. Tampaknya “sense of crisis” yang dimiliki Imam Ali tidak terdapat pada para pengikutnya.

Mereka ogah-ogahan. Ketika panggilan datang, mereka pura-pura tidak mendengar. Mereka bersembunyi di rumah-rumahnya, “seperti biawak yang bersembunjyi di sarangnya” dalam kalimat Imam Ali. Imam Ali menyampaikan instruksi, tetapi mereka tidak menggubrisnya.. Dengan murkan, Imam Ali menyampaikan khutbah berikut ini:
“Walaupun Allah memberikan waktu kepada si penindas, ia tak akan luput dari tangkapan-Nya. Allah mengawasinya pada jalur perjalanannya dan pada kedudukan yang melemaskan kerongkongan.

Demi Allah yang hidupku dalam kekuasaan-Nya, orang-orang ini (Muawiyah dan orang-orangnya) akan menguasai Anda; bukan karena mereka lebih berhak dari Anda\, melainkan bergegasnya mereka menuju kepada yang salah bersama pemimpin mereka, dan kelambanan Anda tentang hak saya (untuk diikuti). Orang takut akan penindasan oleh para penguasa mereka, sementara saya takut akan penindasan oleh rakyat saya.

Saya memanggil Anda, tetapi Anda tak datang. Saya memperingatkan Anda, tetapi Anda tak mendengarkan. Saya memanggil Anda secara rahasia maupun terbuka, tetapi Anda tidak menjawab. Saya berikan kepada Anda nasihat yang tulus, tetapi Anda tidak menerimanya. Apakah Anda hadir sebagai tak hadir, dan budak sebagai tuan? Saya bacakan kepada Anda pokok-pokok kebijaksanaan, tetapi Anda berpaling darinya, dan saya nasihati Anda dengan nasihat yang menjangkau jauh, tetapi Anda menjauh darinya. Saya bangkitkan Anda untuk berjihad terhadap orang durhaka, tetapi sebelum saya mencapai akhir bicara saya, saya lihat Anda bubar seperti anak-anak Sabâ. Anda kembali ke tempat-tempat Anda dan saling menipu dengan nasihat Anda. Saya luruskan Anda di pagi hari, tetapi Anda kembali kepada saya di petang hari (dalam keadaan) bengkok seperti belakang busur. Si pelurus telah letih sementara yang diluruskan sudah tak dapat diperbaiki.

Wahai, orang-orang yang badannya hadir tetapi akalnya tak hadir dan keinginan-keinginannya bertebaran. Para penguasa mereka sedang dalam ujian. Pemimpin Anda menaati Allah, tetapi Anda membangkanginya; sedang pemimpin orang Suriah membangkangi Allah, tetapi mereka menaatinya. Demi Allah, saya ingin Muawiyah bertukaran dengan saya seperti dinar dengan dirham sehingga ia mengambil ddari saya sepuluh di antara Anda dan memberikan kepada saya satu dari mereka.

Wahai penduduk Kufah, saya telah mengalami dalam diri Anda tiga hal dan dua lainnya: Anda tuli walaupun Anda bertelinga, bisu walaupun bercakap, buta walaupun bermata. Anda bukan pendukung yang sebenarnya dalam pertempuran, dan bukan pula sahabat yang dapat diandalkan dalam kesedihan. Semoga tangan Anda dilumuri tanah. Wahai (manusia) yang seperti unta yang gembalanya telah menghilang, apabila mereka dikumpulkan dari satu sisi, mereka bertebaran dari sisi lain. Demi Allah, saya melihat Anda dalam khayalan saya bahwa apabila peperangan menjadi sengit dan tindakan sedang penuh gerak, Anda akan lari dari putra Abu Thalib seperti perempuan yang menjadi telanjang di depan. Sesungguhnya saya berada pada petunjuk yang jelas dari Tuhan saya dan pada jalan Nabi saya, dan saya berada pada jalan yang benar yang saya ikuti secara teratur. (Puncak kefasihan, khutbah 96).

Imam Ali bukan meramal. Ia menceritakan apa yang dialaminya. Tiga tahun sebelumnya, Mesir diserang Amr bin Ash. Gubernur yang ditunjuk Imam Ali di situ adalah Muhammad putra Abu Bakar, adik ‘Aisyah. Ketika sampai di Mesir, pasukan Kinanah yang diutus Muhammad menghadangnya. Amr bin Ash meminta tambahan bala bantuan. Muawiyah bin Hudayj al-Sukuni tiba dengan segera. Kinanah dan anggota-anggota pasukannya dikepung dari segala penjuru. Kinanah turun dari kudanya sambil membaca Al-Quran; Tidaklah satu diri akan mati kecuali dengan izin Allah, ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya.

Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia kami akan memberikannya. Barangsiapa menghendaki pahala Akhirat kami akan memberikannya juga. Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur’ (Ali Imran 145). Ia pun dan para pengikutnya ditebas dengan pedang. Mereka syahid. Berita hancurnya pasukan Kinanah meruntuhkan moral tentara Muhammad bin Abu Bakar. Mereka meninggalkannya sendirian.

Muhammad mengirimkan surat meminta bantuan pasukan kepada Imam Ali. Sementara pasukan belum datang, ia bersembunyi sendirian di sebuah puing-puing di pinggir jalan. Muawiyah menemukannya dan mengeluarkannya dari tempat persembunyiannya dalam keadaanhampir mati kehausan.

Muawiyah berkata: Tahukah kamu pa yang akan aku lakukan atasmu? Aku akan masukkan kamu dalam bangkai keledai kemudian membakarnya.

Muhammad berkata: Kalau kamu melakukan begitu kepadaku, seperti itulah seringkali para kekasih Allah diperlakukan. Aku berharap api yang membakarku itu akan dijadikan Allah sejuk dan sejahtera seperti Ia jadikan seperti itu pada Ibrahim as. Mudah-mudahan Allah memperlakukan kamu seperti Ia memperlakukan Namrud dan para pendukungnya…

Muawiyah marah Ia memasukkan Muhammad pada perut bangkai keledai dan membakarnya. Ketika Aisyah mendengar berita itu, ia menangis sepedih-pedihnya dan berrkunut setiap selesai salat mendoakan kebinasaan untuk Muawiyah dan Amr” (Tarikh Thabari 5:103; Al-Kamil fi al-tarikh 2:412; al-Gharat 1:282-5; Ansab al-Asyraf 3:171).

Masih dalam tarikh Thabari dikisahkan bagaimana Imam Ali berusaha keras untuk mengumpulkan bala bantruan. Ia berpidato di hadapan orang banyak: “Wahai hamba-hamba Allah! Mesir lebih besar dari Syam. Lebih banyak kebaikannya dan lebih banyak penduduknya. Jangan sampai orang lain merebut mesir. Karena lestarinya Mesir pada tangan kalian akan memuliakan kalian dan merendahkan musuh kalian. Besok datanglah ke Jur’ah, antara Hirat dan Kufah. Aku akan menunggu kalian di sana insya Allah.

Kesokan harinya Imam Ali keluar berjalan ke Jur’ah. Pagi-pagi sekali. Ia menunggu di situ sampai pertengahan hari. Tidak ada satu pun yang datang. Pada malam hari ia memanggil para tokoh ke tempat kediamannya. Di situ ia menyampaikan khotbah:

“Saya berhadapan dengan manusia yang tidak menaati bila saya perintahkan, dan tidak menyahut bila saya memanggilnya. Celakalah Anda! Apa yang Anda nantikan untuk bangkit pada Jalan Allah? Tidakkah iman menggabungkan Anda bersama-sama atau rasa malu membangunkan Anda? Saya berdiri di antara Anda sambil berteriak, tetapi Anda tidak mendengarkan perkataan saya, dan tidak menaati perintah-perintah saya, sampai keadaan menunjukkan akibat-akibat buruknya. Tak ada darah yang dapat ditebus melalui Anda, dan tak ada maksud yang dapat dicapai dengan Anda. Saya memanggil Anda untuk menolong saudara-saudara Anda, tetapi Anda membuat kebisingan seperti unta yang sakit perut, dan menjadi terlepas seperti unta yang berpunggung tipis. Kemudian suatu kontingen lemah yang goyah datang kepada saya dari antara Anda sekalian “seolah-olah mereka dihalau menemui maut, sedang mereka melihatnya”. (QS: 8:6)” (Puncak Kefasihan, khutbah 39).

Malik bin Ka’ab al-Hamdani beridri dan menyatakan siap berbaiat untuk dikirm melawan Amr bin Ash. Di pertengahan jalan, Malik mendengar berita terbunuhnya Muhammad. Abdurrahman bin Syuraih al-Syabami disuruh Ali untuk menjemputnya dan kembali lagi ke Kufah. Imam Ali sangat berduka mendengar syahidnya Muhammad putra Abu Bakar. Seperti biasa dengan bahasa yang indah Imam Ali memuji Muhammad: Laqad kana ilayya habiban, wa kana li rabiban, fa ‘indallahi nahtasibuhu waladan nashihah, wa amilan kadihan, wa sayfan qathi’an, wa ruknan dafi’an. Ia telah menjadi kesayanganku. Ia telah menjadi anak asuhku. Kepada Allah kami mengharapkan ganjarannya. Anak yang setia, yang beramal saleh, pedang yang tajam dan tiang yang kokoh (Nahj al-balaghah, al-Kitab 35).

Ia mengulangi pujiannya pada suratnya yang dikirim kepada Abdullah bin Abbas.

“Kemudian daripada itu, Mesir telah ditaklukkan dan Muhammad ibn Abu Bakar, semoga rahmat Allah atasnya, telah mati syahid. Kami memohon ganjarannya kepada Allah. Ia adalah putra dan teman setia, pekerja keras, pedang tajam dan benteng pertahanan. Saya telah membangkitkan rakyat untuk bergabung dengannya dan memerintahkan kepada mereka untuk pergi menolongnya sebelum kejadian ini. Saya memanggil mereka secara rahasia maupun terbuka berulang-ulang. Sebagian dari mereka datang dengan setengah hati, sebagian mengajukan dalih-dalih palsu dan sebagian pergi meninggalkan saya. Saya memohon kepada Allah Yang Mahamulia untuk memberikan kepada saya kebebasan yang segera dari mereka, karena demi Allah, sekiranya saya tidak merindukan untuk menemui musuh demi kematian syahid dan tidak mempersiapkan diri saya untuk kematian, tentulah tak akan suka berada dengan orang-orang ini untuk sehari suntuk pun, dan tidak pula akan pernah menghadapi musuh dengan mereka. (Puncak Kefasihan, surat 35).

Dalam suratnya ini, masih juga Imam Ali mengungkapkankekecewaannya kepada para sahabatnyatidak setia kepadanya. Melihat kawan-kawan yang seperti itu, kalau tidak memikirkan tugas yang diembannya, ia ingin segera meninggalkan mereka menemui Kekasih Abadinya.


Memerinci apa yang dilakukan Mu’awiyah terhadap Imam Ali dan putranya al-Hasan

Setelah Muawiyah merebut kekuasaan, ia bertindak sewenang-wenang kepada kelompok Syura yang masih hidup, kepada jamaah muslimin dari kalangan Anshar dan Muhajirin pada satu tahun yang ia sebut tahun jama’ah. Sebetulnya tahun itu adalah tahun perpecahan, penaklukan, tirani, dan pemaksaan, tahun yang mengubah imamah menjadi kekuasaan Kisrawi, khilafah menjadi perampasan Kaisari, belum dihitung semua kesesatan dan kefasikan…

Telah disampaikan kepadaku pendapat generasi di zaman kita dan ahli bid’ah saat ini yang berkata: Jangan mengecam dia karena ia itu sahabat. Mengecam Muawiyah bid’ah. Siapa yang membencinya telah melanggar Sunnah.

Abdullah bin Umar tidak mau membai’at Ali malahan membai’at Mu’awiyyah, Yazid bin Mu’awiyyah dan gubernur Hajjaj bin Yusuf yang terkenal sebagai penjahat yang mebunuh 120 ribu kaum muslimin dan muslimat secara berdarah dingin, shabran… Ibnu Umar juga mengeluarkan hadits-hadits yang menyingkirkan Ali sebagai salah satu khalifah yang lurus. Sunni percaya bahwa semua sahabat adil, dan semua tindakan mereka adalah ijtihad . Dan tindakan mereka mendapat pahala termasuk diantaranya sahabat yang melaksanakan pembunuhan berdarah dingin, pezinah, pemabuk, pembohong, pembakar orang hidup-hidup atau memerangi Imam zamannya dan perbuatan-perbuatan yang tidak terlukiskan dengan kata-kata.

Banyak sekali hadits-hadits seperti hadits Al-Haudh, diantaranya tercatat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Mereka membenarkan ayat Al-Qur’an tersebut dan menceritakan adanya sekelompok sahabat digiring ke neraka dan tatkala ditanya Rasul, ada suara yang menjawab “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sesudahmu”.

Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa diantara para sahabat ada yang ‘kufur’ dan ‘munafik’.(Termasuk ayat-ayat terakhir bacalah At-Taubah ayat 48, 97).

Selama 80 tahun dinasti ‘Umayyah, kecuali di zaman khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azis yang hanya dua setengah tahun. Muawiyyah dan para pejabatnya serta para ulamanya melaknat dan mencaci Ali bin Abu Thalib dan keluarga beserta pengikutnya diatas mimbar diseluruh dunia Islam termasuk di Makkah dan Madinah, kecuali di Sijistan. Di Sijistan, sebuah kota yang sekarang terletak antara Afghanistan dan Iran, hanya sekali melakukan pelaknatan diatas mimbar.

Ali dilaknat dan dicaci atas perintah sahabat dan ipar Rasulullah SAWW, Mu’awiyyah, serta khalifah-khalifah Bani Umayyah lainnya. Pada masa itu, misalnya, Ali tidak dianggap khalifah yang lurus. Abdullah bin Umar tidak mau membai’at Ali malahan membai’at Mu’awiyyah, Yazid bin Mu’awiyyah dan gubernur Hajjaj bin Yusuf yang terkenal sebagai penjahat yang mebunuh 120 ribu kaum muslimin dan muslimat secara berdarah dingin, shabran.

Ibnu Umar juga mengeluarkan hadits-hadits yang menyingkirkan Ali sebagai salah satu khalifah yang lurus.

Kita tahu, Mu’awiyyah membunuh para sahabat seperti, Hujur bin ‘Adi, Syarik bin Syaddad, Shaifi bin Fasil, Asy-Syabani, Qabisyah bin Dhabi’ah Al-Abbasi, Mahraz bin Syahhab Al- Munqari, Kadam bin Hayyan Al-Anzi dan Abdurrahman bin Hassan Al-Anzi hanya karena tidak mau melaknat Ali. Abdurrahman Al-Anzi dikirim kepada Ziyad bin Abih dan dikuburkan hidup-hidup di Nathif dekat kuffah, ditepi sungai Efrat.

Beranikah saudara-saudara menganggap Mu’awiyyah dan seluruh pejabat,sahabat Rasulullah SAWW yang mendukungnya, serta para ulama telah kafir karena bukan saja memerintahkan kaum muslimin, termasuk para sahabat agar melaknat Ali, tetapi juga membunuh mereka yang menolak untuk melaknat? Pada masa itu tidak ada yang berani menamakan anaknya Ali. Sampai-sampai pernah seorang ayah melaporkan kepada penguasa karena merasa terhina oleh istrinya karena memanggilnya Ali!

Mu’awiyah yang tadinya menjabat gubernur Syam (Suriah) menyingkirkan khalifah yang sah melalui Politik Adu Domba Pecah Belah, Lalu Mu’awiyah Menyingkirkan Imam Hasan…. Musuh Ahlul Bait Jadi SANG PEDOMAN Sunni.

Adilkah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang mewajibkan seluruh rakyatnya untuk membai’at anaknya, yaitu Yazid bin Mu’awiyah sebagai Khalifah ?? Sampai sekarang istilah Syiah melekat kepada umat Islam yang mengakui kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib setelah wafat Rasulullah saw; yang juga meyakini khalifah Islam harus berasal dari keturunan Sayidah Fathimah Az-Zahra.Sampai sekarang, Syiah melekat kepada umat Islam yang mengambil sumber-sumber agama dari Ahlulbait.Dalam sejarah politik Islam, orang-orang menyebut para pengikut Ahlulbait sebagai Syiah.

Mari kita telusuri periode pertama dari kehidupan Umat Islam pada zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya masyarakat Islam awal.

Umat sunni masa kini menganggap semua sahabat adil adalah sebuah sikap ghuluw karena faktanya tidak semua sahabat adil, antara sahabat yg satu dengan sahabat yg lain tentulah ada perbedaannya tidaklah sama dalam hal ilmu dan keadilannya dan ini bisa kita analogikan sebagai sebuah sikap menentang sunatullah dan didalam sejarah terbukti siapa yang menentang Sunatullah akan binasa dan celaka….pelajari kitab-kitab sejarah dengan seksama dan saudara akan terbelalak melihat fakta yang tak sesuai dengan keinginan saudara !!!!!!.

Perbedaan antara sunni – syi’ah telah mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana Ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam tubuh masyarakat Islam.

Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak mendukung bahkan memusuhi mereka. -Kelompok minoritas tersebut adalah Syi’ah.

Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi itu sebagai berikut:

Kelompok pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan.

Kelompok kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala segi kehidupan.

Mungkin faktor utama dari berkembang dan tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihadi (bil ra’yu) dikalangan Muslimin adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya.

Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu Allah) dan mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan teks ketetapan agama atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasionil bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah diajarkan agama.

Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang tegas terhadap resolusi per damaian yang disepakati dan ditanda tangani deh Rasul dan langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya ‘ala kholrll ‘amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah SAW. la Juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan Hajji Mut’ah (Tamattu) dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak asing lagi bagi kita.

Dua aliran pemiklran yang sangat berbeda itu pernah bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir hidup Nabi). Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas. la berkata:
“Ketika Rasulullah hampir wafat sedangkan di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab, belau bersuara: Mari kutullskan untuk kalian sebuah pusaka (yang jika kalian mengikutinya) maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya.

Tiba-tiba Umar berkata :
“Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah sehlngga bellau mengigau, apa perlunya tulisan itu sedangkan Al-Qur’an ada di sisi kalian. Sudahlah, AI-Qur’an itu sendiri cukup sebagai pedoman bagi kita”.

Pernyataan Umar ini akhirnya mengundang keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang yang berkerumun menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata:
“Berikan! Beliau hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan dapat menyelamatkan kalian kelak.”.

Sebagian yang lain mendukung Umar menolak memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Selang beberpa saat, rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang berkerumun mengelilingi bellau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir mereka: “Ayo enyahlah kalian!”. Begitulah perintah Rasul.

Tragedi bersejarah ini juga dengan jelas membuktikan dan menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua golongan adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima devisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampal beliau bangkit dari ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah lunglai untuk keluar dari rumah dalam keadaan sakit bellau mengetuh kesal di hadapan pengikutinya:
“Wahai ummati Desas-desus apa yang aku dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai panglima perang)? Tetapi mengapa dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya sebagal panglima. Demi Tuhan! la pantas dan mampu memegang jabatan panglima!”

Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan Imam setelah Nabi.

Orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang Muslim agar menerima secara mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan disamping kondisi dan situasi yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).

Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa golongan Syi’ah telah hadir dl tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup Rasul yang beranggotakan orang-orang Muslim yang secara praktis telah mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Rasul. Dan haluan yang berfaham Syi’ah kemudlan leblh menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dart sikap protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Saidah yang telah membekukan fungsi pim pinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain.

Ath-Thabarsi dalam buku Al-lhtijaj membawakan sebuah riwayat dari Ibban bin Taghib. la bertanya kepada Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq:
“Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat Rasullah?” Imam menjawab:”Ya. Dua belas orang, dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al’ash, Salman AI-Farisi, Abu Dzar AI-Ghifari, Miqdad bin AI’aswad, Ammar bin Yasir, Buraidah Al’aslami. Dan dari pihak Anshar adalah Abul Haitsam bin Attihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzus-syahadatain, Ubay bin Ka’ab dan Abu Ayyub AI’anshari”.

fungsi kepemimpinan pasca Nabi wafat terdapat pada 12 imam Ahlul Bait sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadits Tsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian:
Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka penting(as-Tsaqalain); yaitu Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dart langit hingga ke bumi dan yang keduanya adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baitku. Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing sampai keduanya menjumpaiku di telaga al-Haudh alkaut’sar, oleh karena itu lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya. (AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).

Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial adalah hadits Al-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al-Arqam. la berkata:
“Rasulullah pernah berpidato di daerah Ghadir Khum di bawah pohon, beliau bersabda: Wahai manusia! Aku akan diminta pertanggung-fawaban dan begitu juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan dan menanggapi ini semua! Para sahabat serentak menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga Allah mem-balas jasa kebaikanmu dengan kebaikan pula. Lalu beliau meneruskan dan bersabda: Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan bahwa surga dan neraka-Nya adalah benar dan nyata dan bahwa mati itu benar dan bahwa saat Kiamat itu past tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang terpendam dalam kubur! Mereka serentak menjawab: Ya! Kami bersaksi demikian. Lalu beliau melanjutkan lagi: Ya Allah! Saksikanlah. Selanjutnya bersabda kepada hadirin: Wahai ummat! Allah adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin setiap mukmin dan aku lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka orang ini (Ali disebelah beliau) adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!”

(Hadits ini diriwayatkan lebih delapan puluh tabi’in. Dan dari penghafal hadiths abad kedua sekitar enam enam puluh orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab AI-Ghadir dalam sebelas jilid).


tipikal penguasa Bani Umayyah yang Khalifahnya yang tidak suka berbasa-basi, tampil apa adanya dan sanggup berbuat apa saja untuk melindungi kekuasaannya dari ancaman. Berbeda nanti dengan Bani Abbasiyah yang tipikal penguasanya penuh dengan hipokrasi dan kemunafikan. Mereka tampil di depan khalayak dengan tampang khusuk dan penuh iman, tak jarang bercucuran air mata ketika dinasihati oleh para ahli ibadah. Namun pada lain waktu, mereka 360 derajat berbeda dengan melakukan hal-hal yang amat memalukan dan membelalakkan mata. Dalam kealfaan dan kegilaannya itu, mereka justru tidak risih disapa sebagai pemimpin kaum beriman (Amirul Mu’minin) dan Khalifah bagi umat Islam (Khalifah al-Muslimin).

Contoh kevulgaran dan kejujuran Bani Umayyah dapat dilihat dari sikap Abdul Malik bin Marwan. Dalam Tarikh al-Khulafa, al-Suyuti menceritakan kisah dari Ibnu Abi Aisyah mengatakan, Abdul Malik pernah diminta untuk memutuskan suatu perkara sambil diajukan kepadanya sebongkah mushaf al-Qur’an. Akan tetapi, ia justru mencampakkannya seraya berkata: “Ini adalah persentuhanku yang terakhir denganmu!”. Dan kenyataanya, apa yang ia katakan kemudian ia lakukan. Setelah menyatakan talak dengan al-Qur’an, sang ahli fiqih ini kemudian menjalankan roda pemerintahan dengan instingnya.

Bani Umayyah awalnya didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan (satu kakek buyut dengan Utsman bin Affan R.A.). Ia menjadi Khalifah setelah wafatnya Ali bin Abu Thalib. Orang-orang Madinah saat itu membaiat Hasan bin Ali, namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu yang sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.

Namun kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk membai’at anaknya, yaitu Yazid bin Mu’awiyah sebagai Khalifah pengganti dirinya. Sekaligus memperkenalkan suksesi secara putra mahkota, seperti layaknya sistem Monarki (Kerajaan). Memang prosesi pengangkatannya menggunakan bai’at sebagai formalisasi pengangkatan Khalifah, akan tetapi bai’at tersebut kemudian hanya menjadi kamuflase saja, karena bai’at dilakukan secara paksa dan ancaman hukuman mati akan diberikan bagi siapa saja yang menentang keputusan itu atau menolak bai’at.

Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahkan memberikan interprestasi sendiri dari kata Khalifah, dimana ia menambahkan kata “Allah” dibelakang kata Khalifah, yang dalam pengertiannya penguasa yang diangkat oleh Allah. Sedangkan Abu Bakar R.A. telah melarang penggunaan kata “Khalifah Allah”, ketika ia dipanggil demikian. Ia berkata, “Aku bukan Khalifah Tuhan, tapi aku adalah Khalifah (pengganti, perwakilan) dari utusan Tuhan. Lagipula, seseorang hanya dapat bertindak sebagai “Khalifah” (pengganti, perwakilan) seseorang yang tidak ada, bukan sesuatu yang ada (karena Tuhan selalu ada).

Tindakan pewarisan tahta ini memicu protes dikalangan umat. Ia di anggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Mu’awiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.


Keterangan gambar: Makam Muawiyah bin Abu Sofyan di Syria. Digembok rapat karena orang-orang suka membuang kotoran di makam ini. Konon di sekitarnya juga tumbuh pohon berduri yang tidak tumbuh di tempat lain.

Kubur Muawiyah Laknatullah.


Sejarah kemudian mencatatat munculnya Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai Khalifah menggantikan Husain bin Ali yang terbunuh dalam perang Karbala. Terjadi dualisme kepemimpinan dan perpecahan yang hebat di kalangan umat Islam. Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan (Khalifah ke-5 Bani Umayyah yang juga dikenal ahli fiqih), yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.

Pola pemerintahan tangan besi yang dipraktekkan Dinasti Umayyah berlanjut. Ketika Abdul Malik bin Marwan memimpin, ia menjadikan Hajjaj “si tukang jagal” sebagai tangan kanannya. Kekejaman Hajjaj bin Yusuf begitu terkenal, hingga ada pameo “jika Hajjaj datang, malaikat menyingkir dan setanpun berdansa mendekat”.

Demikian kenyataan sejarahnya, bahwa Dinasti Umayyah dibangun di atas genangan darah sesama Muslim. Pendahulu Abdul Malik bin Marwan seperti Yazid dikenal sebagai monster haus darah dengan tumbal pertamanya Husain bin Ali bin Abu Thalib. Tidak kalah sadisnya, Abdul Malik sang ahli fiqih ini juga telah melakukan pembantaian dengan jubah kebesarannya sekaligus menyatakan talak tiga dengan al-Qur’an, lalu ia memimpin dengan instingnya.

Namun sayangnya, saat itu Ulama-Ulamanya atau sejenis Ulama plat merah saat ini, selalu saja mendoakan Abdul Malik seraya berkata bahwa Abdul Malik sang penjaga amanat umat Islam, dimana saat itu spekulasi hadits bermunculan, salah satunya berbunyi “orang-orang yang sekurang-kurangnya pernah tiga hari memimpin umat Islam akan diampuni dosa-dosanya”. Dan menjelang kematianya, Abdul Malik bin Marwan berwasiat kepada anaknya Walid “Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah dengan kekuasaan yang telah diamanatkan padamu dan tetaplah hormati Hajjaj bin Yusuf, serta jangan hiraukan komentar orang tentang Hajaj bin Yusuf”.

Dan ketika anaknya Walid menangis, Abdul Malik berkata “Mental apaan ini, jika aku mati singsingkan lengan bajumu, pakailah sabuk kulit macan dan selipkan pedang, jika ada orang yang berkata lebih berhak atas kekuasaan dari padamu, tebaslah batang lehernya”.

Sejarah mencatat, bahwa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dimarakkan oleh tiga nama orang sebagai sadis, namun merupakan Khalifah yang dikenal populer yakni Yazid bin Muawiyah sang pembantai, Yazid bin Abdul Malik dan Walid bin Yazid. Satu orang yang kemudian dikenal sebagai sangat bijaksana yakni Umar bin Abdul Azis, karena kebijaksanaannya itu ia dijuluki Umar kedua yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi setelah Umar bin Khatab. Namun sayang orang baik ini harus mati terminum racun yang diduga diberikan oleh keluarga dekatnya sendiri karena menginginkan kekuasaannya.

Kezaliman Yazid bin Muawiyah tidak cukup ditandai dengan pembantaian atas Husain bin Ali, yakni ketika Yazid bin Muawiyah bersama pasukannya menaklukan Madinah karena masyarakatnya mencabut bai’at atasnya, Yazid memaklumatkan pembantaian dan anarkisme selama tiga hari dalam kota. Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh-nya meriwayatkan, akibat pembantaian itu 4.500 jiwa menjadi tumbal dan sekitar 1.000 perawan muslimah diperkosanya. Dan lebih dahsyatnya Yazid bin Muawiyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, telah secara ekplisit menyatakan kemurtadan dengan menyebutkan, “Klan Hasyim bermain-main dengan kuasa. Kekuasaan tidak datang wahyupun tidak menjelang”. Disebutkan dalam Tarikh al-Khulafa, Yazid juga dikenal gemar mengumbar nafsu dan minum minuman keras.

Sementara itu Yazid yang lain yakni Yazid bin Abdul Malik, ia adalah Khalifah pengganti Umar bin Abdul Azis. Yazid bin Abdul Malik menjadikan selama kekuasaannya sebagai lautan kebobrokan moral dan kemesuman, namun sebagaimana diriwayatkan oleh al-Suyuti dalam Tarikh al-Khulafa-nya: Ketika Yazid bin Abdul Malik mendapatkan mandat sebagai Khalifah, ia datangkan 40 orang Syeikh (maha guru agama), dan meminta agar 40 Syeikh tersebut berfatwa yang isinya bahwa seorang Khalifah tidak akan dihisab oleh Tuhan, apalagi disiksa.

Keadaan ini menegaskan juga bahwa ternyata kerusakan itu tidak hanya datang dari Khalifah, tetapi juga bisa datang dari Ulama dalam pengertian ahli ilmu agama. Kalau selama kekuasaan Yazid bin Abdul Malik telah menghabiskan masanya dengan bermesum ria dengan perempuan bernama Salamah dan roman cintanya dengan Habbabah. Al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab-nya meriwayatkan dari jalur Abu Hamzah al-Khariji menyatakan; Yazid mendudukan Hababah di paha kanannya, dan Salamah di sebelah kirinya, lalu secara terbuka dia menyatakan “aku ingin terbang” sambil berkata aku terbang menuju laknat Tuhan dan azabnya yang pedih. Ibnu Katsir juga meriwayatkan, bahwa ia (Yazid bin Abdul Malik) menginginkan agar istana dikosongkan dari manusia, ia menginginkan berdua saja dengan Habbabah untuk mengumbar libidonya, hingga bersenda gurau, yang akhirnya Habbabah harus mati tersedak buah anggur, dan bangkainyapun terus diciumi, dipeluk dengan penuh nafsu, barulah ketika mulai membusuk, mayat Habbabah dikubur dan Yazid bin Abdul Malik menginap dikuburan berhari-hari meratapi kematian kekasihnya.

Cerita lebih gila dari tiga tokoh antik dalam Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya anak Yazid bin Abdul Malik, yakni al-Walid bin Yazid, Ia seorang homoseksual yang “overdosis” dan hobinya menjadikan Mushaf Al-Quran sebagai sasaran memanah sambil membaca ‘auzubillahi, laa hawla walaqwata‘. Ketika beberapa orang ulama menyatakan al-Walid bin Yazid sebagai kafir dan zindiq, seorang ulama besar pula yang bernama Al-Zhahabi membelanya, sambil berkata, tidak benar kalau al-Walid kafir dan zindiq, namun memang ia dikenal sebagai pemabuk dan pelaku homoseksual. Bahkan ketika al-Walid pergi kerumah seorang Ulama bernama al-Muhtadi tentang desas desus tuduhan kafir zindik, al-Muhtadi justru membelanya. Layaknya kebanyakan Ulama sekarang yang membela penguasa sekalipun penguasa sudah berlaku yang zalim. Ketika membaca perilaku homoseksualitas Khalifah ini, anda mungkin tersentak sejenak.

Kita mungkin menyangka bahwa gejala LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transeksual) hanya ada di zaman kita dimana kebebasan individu begitu didewakan. Kenyataannya, gejala seperti ini sudah ada bahkan sejak awal kekhilafahan. Pelakunya pun tidak tanggung-tanggung, sang Khalifah sendiri. Kita mungkin juga mengira bahwa kebiasaan perselingkuhan antara penguasa dan agamawan hanya ada dalam kisah sejarah Eropa.

Mari kita lihat apa yang dilakukan al-Walid ketika membaca ayat “Mereka melakukan penaklukan dan takluklah setiap tiran yang bebal. Dibelakang mereka sudah menguntit neraka jahannam. Mereka akan disiram air yang menggelegak…” Seketika itu pula ia meletakkan mushaf al-Qur’annya untuk dipanah.

Namun, ia berubah pikiran, lalu cukup melemparkannya sambil berkata:

Aku menantang semua tiran yang bebal,
Ini, akulah sang tiran bebal,
Kalau tuhanku datang di hari kebangkitan,
Katakan, Tuhan, aku telah ditaklukkan al-Walid.

Muhammad Ibnu Yazid al-Mubarrad mengatakan: “Sesungguhnya al-Walid sudah ateis dalam syairnya yang menyebut-nyebut soal Nabi dan wahyu Tuhan yang tak datang padanya:”

Seorang Hasyimi bermain-main dengan kuasa,
Tanpa wahyu turun, tanpa Kitab,
Titahkan Tuhan melarangku makan,
Suruh Tuhan menghalangiku minum.

Al-Walid juga pernah berusaha membuat kubah di atas Ka’bah untuk minum-minum ketika ia melaksanakan haji beserta beberapa kerabatnya. Namun para pemuka sukunya berhasil meyakinkannya untuk mencabut keinginannya. Yang jelas, dari kisah hidupnya ia betul-betul memperturutkan hasratnya. Sampai-sampai kegilaan akan hiburan dan minuman itu mampu menguasai para elit dan masyarakat pada zamannya, sebagaimana diceritakan al-Mas’udi. Karena itu tak heran bila bermunculan bintang-bintang di bidang tarik suara bak American Idol, di antaranya Ibnu Sarih, Ma’bad, al-Gharidh, Ibnu Aisyah, Ibnu Muhriz, Thawis, dan Dahman.

Riwayat al-Walid berakhir dengan pembelotan sepupunya, yaitu Yazid bin al-Walid, yang membunuhnya setelah mencicipi kekuasaan selama satu tahun tiga bulan. Namun, takdir menentukan masa kepemimpinan Yazid pun jauh lebih pendek; tak lebih dari lima bulan. Ia meninggal, lalu digantikan adiknya, Ibrahim, untuk jangka waktu 70 hari saja, karena dikudeta Marwan bin Muhammad sebagai upaya balas dendam terhadap al-Walid bin Yazid. Setelah itu, masa Bani Umayyah berakhir dengan tewasnya Marwan, yang berkuasa sekitar 5 tahun, di tangan orang-orang Abbasiyah.

Terlalu banyak cerita gelap yang dapat diungkap dari Dinasti Bani Umayyah, beberapa kesimpulan yang dapat dipetik adalah pertama, adalah benar bahwa Dinasti ini telah melebarkan wilayah kekuasaan Islam, namun motivasinya lebih banyak untuk kesenangan nafsu sebagai layaknya masyarakat Jahiliyah yang baru berkenalan dengan dunia luar. Kedua, era Umayyah adalah nepostisme ke-Araban yang akut. Ketiga, pada era inilah Ulama-Ulama besar banyak bermunculan, namun seringkali Ulama malah bertindak menjustifikasi kebijakan Khalifah, sekalipun menyimpang dari Islam.

Selanjutnya akan kita dedah pula bagaimana Dinasti Bani Abbasiyah. Yang ternyata tidak kalah sadisnya, sekalipun pada Dinasti ini the Golden Era-nya peradaban Islam tertoreh dalam sejarah. Dinasti ini sebenarnya tidak perlu diperkenalkan lagi, sebab ia telah mempekenalkan diri lewat figur pendirinya yakni Abbul Abbas Al-Saffah (Abbul Abas si tukang jagal). Ada dua dekrit yang dikeluarkan oleh sang tukang jagal ini yakni pertama untuk mencari kuburan dan memburu apa saja yang tersisa dari pimpinan Bani Umayyah, kedua melecut, menyalib, membakar mayatnya dan menghamburkan ke udara abu jenazah para pemimpin Bani Umayyah.

Dinasti Bani Abbasiyah merebut kekuasaan dengan klaim bahwa hak kekuasaannya telah ditentukan dan diberi mandat langsung dari Tuhan. Dalam Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebutkan hadits berikut: “Akan muncul pemimpin dari sanak keluargaku pada masa terjadinya peralihan zaman dan malapetaka besar. Ia disebut al-Saffah, kedermawanannya sangat melimpah”. Al-Thabari juga menyebutkan: “Rasulullah pernah mewartakan kepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan Arab kelak akan jatuh ke tangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak keluarganya itu tidak sabar menantikan kapan saat itu tiba”. Inilah cara Abbasiyah merebut simpati massa untuk membai’at dan loyal terhadap mereka. Bermulalah model kekuasaan berdasarkan klaim palsu agama ini yang didukung dengan ancaman keras bagi mereka yang tidak loyal dan mengancam kekuasaan.

Pasukan tentara Bani Abbas kemudian berhasil menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Memang benar kemudian mereka bongkar kuburan Muawiyah dan Yazid bin Muawiyah dan hanya menemukan sepotong tulang yang sudah mirip dengan arang lalu mereka angkat dan bakar lalu dilambungkan abunya ke udara. Sementara saat membongkar kuburan Abdul Malik bin Marwan, mereka menemukan tengkorangnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh mengungkapkan bahwa Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.

Al-Mas’udi pula dalam Muruj al-Dzahab mengungkapkan kisahnya secara lebih terperinci. Haitsam bin Uday at-Tha’i meriwayatkan kisah dari Amru bin Hani. “Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah pada masa Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kami temukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. Abdullah bin Ali mengeluarkannya, menyambuknya 80 kali, lalu membakarnya. Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari pekuburan Dabiq. Yang tersisa memang hanya tulang belulang, tulang rusuk, dan tengkoraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal serupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek pekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus. Disana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik. Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga menggali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan penggalian kuburan Yazid bin Muawiyyah, tapi kami hanya menemukan sepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemukan garis hitam seperti di torehkan arang. Kami masih memburu jenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan membakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka”.

Farag Fauda dalam bukunya Al-Haqiqah al-Ghaybah, yang banyak menginspirasi dan komentarnya banyak saya kutip dalam tulisan ini mengatakan, ketika ia merenungkan kejadian-kejadian sadis ini, akal sehat bertanya, apa alasan dan justifikasi semua tindakan mereka ini. Pembunuhan terhadap para pembesar dalam konteks perebutan kekuasaan, membunuh sanak keluarga demi menjamin masa depan kekuasaan baru dan menghapuskan sisa-sisa kekuasaan masa lalu memang sudah sering terjadi. Akan tetapi, memburu jenazah, membalas dendam, menggantung dan membakarnya, benar-benar perkara yang sangat berlebihan.

Disamping berbuat bengis diluar kemanusiaan, pemimpin Abbasiah tetap saja berpidato dengan gaya layaknya orang yang sangat saleh dan beradab dengan cara memuji-muji Islam dengan kalimat “Segala puji bagi Allah yang telah memilih Islam, yang memuliakan dan mengagungkannya, yang telah memilihkannya untuk kita dan membuatnya tetap kukuh bersama kita, kita menjadi lurus dan lebur di dalamnya, serta menjadi pemenang karenanya”. Pidato tersebut sepintas mirip dengan pernyataan para pejabat saat ini yang menampakan diri seakan sangat suci dan sedikit-sedikit mengutip kalimat-kalimat suci bertabur ayat, namun membiarkan korupsi terus berlangsung, sehingga benar kemudian sepanjang masa Dinasti Bani Abbasiah, umat benar-benar tertipu dengan muslihat sang Khalifah yang berselingkuh dengan sebahagian besar Ulama dengan tampilan seakan muslim yang baik dan berlidung dibalik jubah agama, namun prilakunya sangat tidak beradab.

Dinasti Bani Umayyah kemudian di habisi sampai ke akar-akarnya oleh Bani Abbasiyah. Mereka yang masih tersisa dari Bani Umayyah menetap di Andalusia dan memerintah secara otonom, yang akhirnya musnah jua ditelan zaman sampai tahun 1031 H.

Kembali ke kisah Al-Saffah, Khalifah ini punya kepandaian dalam bersandiwara, bukan hanya bengis di hadapan lawan politik dan penuh iman di hadapan pendukungnya, ia juga pandai bersandiwara ketika mengeksekusi musuh-musuhnya. Ia mengatur skenario pembantaian sisa-sisa kerabat Bani Umayyah layaknya sebuah drama opera sabun, ada plot, kisahnya berlangsung secara alamiah, mengalir kemudian ada klimaks dan ending-nya yang sudah di set. Kita akan mulai kisah ini dengan babak sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir. Ibnu Atsir menuturkan “Di saat al-Saffah sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik, Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya:
Jangan silau akan tampilan seseorang,
Jika sumsum simpan penyakit mematikan,
Hunuskan pedang, sediakan lecutan,
Sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang.

Kontan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: “Anda benar-benar telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif)!” Al-Saffah pun langsung beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.

Suatu ketika Al-Saffah memberikan jaminan keamanan kepada keluarga Umayyah lainnya yang berjumlah 90 orang. Setting peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama. Dan sepanjang pembuat acara adalah Khalifah, kemurahan hati akan dipastikan tetap terjaga. Rasa amanpun tak pantas disangka-sangka. Tapi secara mengejutkan, seorang penyair datang seraya melantunkan syair:
Kekuasaan tidak akan goyah,
Di tangan Badut-Badut Bani Abbas,
Atas Bani Hasyim ia menuntut balas,
Setelah lama terbuang tabah,
Jangan lagi tergelincir oleh Abdus Syam,
Penggallah tiap tunas yang sedang mengembang.

Mendengar syair itu, al-Saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala mereka semua dengan pentungan besi. Sebagian pecah kepala, tetapi jasadnya tetap bernyawa, dalam kondisi yang mengenaskan. Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa, ia meninggikan suara sambil menuturkan titah: ‘Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan di atas mereka!’ Ia dan orang-orangnya memulai dinner party (santap malam), sementara permadani menari ke kanan dan ke kiri. Tatkala permadani tidak lagi bergerak, mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada para tentara dan kerabatnya.

Apabila para Khalifah gemar mendeklarasikan dirinya sebagai “tukang jagal semena-mena” (al-Saffah al-Mubih) untuk menunjukkan kebengisannya, begitu pula tingkah seorang gubernurnya. Dalam Tarikh al-Ya’qubi disebutkan Rayyah bin Utsman selaku gubernur Madinah dimasa al-Mansur menggelari dirinya sebagai “si ular anak si ular”. Kondisi di masa ini menunjukkan pada kita bahwa otoritarianisme yang di balut agama tidak hanya terjadi di barat, dan menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa kita tidak perlu mengusulkan adanya pembagian kekuasaan, menciptakan mekanisme kontrol dan Undang-Undang yang menjamin Negara tidak jatuh pada despotisme.

Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wa al-Mulk menceritakan kembali berdasarkan riwayat dari Ibnu Atsir dan al-Thabari; tidak lama kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan al-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan dikalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamananya”.

Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqih terkenal di Khurasan bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani (pendiri Negara Khurasan yang kemudian menyerahkannya ke al-Saffah). Namun ketika ia (setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu) menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah kedua Bani Abbasiyah naik tahta. Ia melakukan intrik politik agar Abu Muslim al-Khurasani bersedia membunuh Abdullah bin Ali (paman al-Saffah sekaligus panglima pasukan Abbasiyah di peperangan Zab yang menuntaskan kemenangan mereka terhadap orang-orang Umayyah). Setelah misi tuntas, ia sendiri yang turun tangan menghabisi Abu Muslim al-Khurasani. Abu Ja’far tidak peduli ketika Abu Muslim memohon: “Tidakkah lebih baik engkau biarkan aku hidup untuk menyingkirkan musuh-musuhmu?” Tetapi Abu Ja’far menampik: “Siapakah musuh yang lebih mematikan dari dirimu?!”.

Abu Ja’far al-Mansur bersekutu dengan Pepin dan Charlemagne, yang menguasai sebagian besar daratan Eropa pada abad pertengahan, demi menaklukkan Abdur Rahman bin Mu’awiyah bin Hisyam, Khalifah Umayyah di Andalusia. Namun ia gagal menaklukkannya. Kita mungkin berfikir kalau Khalifah tidak sepantasnya bekerjasama dengan kafir harbi fi’lan (Negara kafir yang secara terang-terangan memerangi umat Islam) karena tindakan seperti ini di haramkan syara’, apalagi bekerjasama untuk membantai umat Islam sendiri. Kita juga mungkin berfikir bahwa situasi seperti ini hanya terjadi di zaman kita. Kekuasaan telah menggelapkan mata mereka. Bagi al-Mansur, prinsip politiknya: “Lakukanlah apapun, tempuh jalan manapun, bersekutulah dengan musuhnya musuhmu, demi mencapai tujuanmu dan menang atas musuhmu”.

Artinya, ia benar-benar telah melupakan Islam, masa bodoh dengan hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhkan diri sedapat mungkin dari teladan para Khulafa’ al-Rasyidun. Ia hanya mengingat dirinya sebagai “penguasa Tuhan di muka bumi”, tipikal penguasa Arab-Quraisy. Ia mendasarkan kekuasaannya atas hak Bani Abbas terhadap Khalifah, bukan berdasarkan hak rakyat untuk memilih.

Al-Mansur juga terkenal anti kritik. Suatu ketika Ibnu Muqaffa mengirimkan untuk al-Mansur buku yang berjudul Risalah al-Sahaabah (Risalah tentang Para Sahabat). Buku itu berisi nasihat untuk Khalifah agar pandai-pandai memilih para pembantu dan memperbaiki sistem pengelolaan masyarakatnya. Nasihat itu ia sampaikan dengan sangat santun. Boleh jadi, ia sedang mengharap penghargaan materi yang pantas untuk karyanya dengan mengirimkannya kepada Khalifah. Dan mungkin, ia pun tidak mengira bahwa sekedar memberi nasihat kepada penguasa adalah tindak kriminal. Kaki dan tangan Ibnu Muqaffa dicincang satu per satu. Potongan dagingnya di panggang di atas bara api, tepat di hadapannya. Setelah matang, satu per satu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya. Ibnu Muqaffa menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal pun menjemputnya.

Mungkin Ibnu Muqaffa pun bertanya tatkala harus mengunyah jasadnya sendiri atas perintah “pemimpin kaum beriman”: pemimpin apa dan beriman seperti apa??? Ia mungkin bertanya, inikah hakikatnya kekuasaan Khilafah yang disebut “Islamiyah” itu? Islamiyah apanya??? Mungkin saat itu ia juga menyadari apa yang sekarang mesti pula disadari oleh para pejuang Khilafah dan sistem syariah, dan mereka yang memandang remeh usulan pembatasan dan pembagian kekuasaan, yang berfantasi tentang nikmatnya Negara despotik yang mengatasnamakan agama.

Namun demikian, walaupun al-Mansur masuk sejarah dari aspek yang paling bejatnya, ia tetaplah tercatat sebagai seorang negarawan besar yang berhasil mengukuhkan kekuasaannya dan mewariskannya kepada keturunan-keturunannya, meskipun dibangun di atas genangan darah. Dan kenyataan bahwa ia semena-mena, sebetulnya juga tidak lepas dari fatwa para fuqaha, ketakutan sebagian, dan bungkamnya sebagian yang lain. Juga yang terpenting tidak jalannya fungsi-fungsi pemerintahan, tidak adanya pembagian kekuasaan dan check and balance.

Era Abbasiyah adalah era pemerintahan paling bergairah dalam kebangkitan akal dan peradaban. Dan paling maju dalam soal fiqih. Dan untuk melengkapi gambarnya, kita dapat pula menyebutnya paling maju dalam soal kenikmatan hidup dan durjananya, ini ditandai dengan maraknya dunia hiburan dan kemaksiatan. Farag Fauda mengatakan, kondisi ini didorong oleh banyak faktor, namun barangkali faktor utamanya adalah apa yang di masa sekarang disebut sebagai “iklim kondusif” yang membuka peluang untuk kemaksiatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di masa lalu minuman keras, musik dan tarik suara menjadi kegemaran para Khalifah-Arab dalam pesta-fora mereka. Ini karena Ulama juga membolehkannya. Saat itu para fuqaha Irak yang terdiri dari murid-murid Abu Hanifah mempunyai fatwa yang membolehkan minuman keras. Sementara itu ulama Hijaz membolehkan musik dan nyanyian. Itulah iklim atau suasana umum yang mendorong maraknya musik dan minuman keras serta konsekuensi-konsekuensi lain seperti maraknya dunia hiburan, perempuan penghibur, dan penyimpangan perilaku seksual. Dunia hiburan sudah menjadi bagian dari kenikmatan masyarakat kala itu. Untuk soal menikmati perempuan penghibur, al-Mahdi dan putranya, Harun al-Rasyid adalah jagonya. Untuk soal penyimpangan seksual, al-Watsiq adalah bintangnya.

Mengenai maraknya minuman keras itu, “iklim kondusif” bukan hanya datang dari Khalifah, tapi pendapat fuqaha kala itu yang merupakan murid-murid Abu Hanifah yang merujukkan pendapatnya dari Abdullah bin Mas’ud yang kemudian mengambil kesimpulan bahwa kata khamar dalam al-Qur’an adalah air sari buah anggur berdasarkan makna kebahasaan dan dari hadits-hadits nabi lainnya. Pemahaman inilah yang membuat Abu Hanifah berijtihad menyangkut halalnya beberapa jenih khamar seperti sari buah kurma dan kismis. Dengan catatan, bahan-bahan itu diolah sewajarnya dan diminum dengan kadar tidak memabukkan.

Masa Abbasiyah ini diramaikan pula dengan maraknya perbudakan dan pergundikan. Perbudakan dan pergundikan bersumber dari sistem perdagangan budak yang masih ramai di masa itu, dan hasil pampasan perang. Asal mereka pun bermacam-macam, ada gundik Romawi, Persia dan Ethiopia. Terjadinya surplus budak ini menimbulkan fenomena saling menghadiahi selir, yang menjadi kebiasaan umum. Jumlah gundik-gundik yang dimiliki para petinggi Negara semakin berkembang dalam sejarah imperium Islam. Dari belasan di masa sahabat, menjadi puluhan pada masa Umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bilangan ini bahkan mencapai angka 4000 (empat ribu) orang di masa al-Mutawakkil. Dalam Tarikh al-Khulafa, al-Suyuti menceritakan Khalifah yang gemar minum-minuman keras ini konon telah meniduri seluruh empat ribu gundiknya selama seperempat abad masa kepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemilikan gundik yang pernah tercatatkan dalam sejarah umat manusia yang seharusnya masuk ke dalam catatan Book of Record.

Membaca sejarah kehidupaan Khalifah di masa itu, pembaca mungkin terheran-heran, mengapa masyarakat Islam di masa itu jauh dari kehidupan Islam, padahal masa itu adalah masa kekhilafahan. Kita mungkin berimajinasi bahwa masyarakat Islam dan pemimpin-pemimpinnya di masa kekhilafahan adalah masyarakat yang dekat dengan agama, dan syariat diterapkan secara total dalam semua aspek kehidupan. Namun anggapan itu salah, masyarakat Islam kala itu tidak lebih baik dari masyarakat kita saat ini yang sebagian dari Anda menganggapnya sebagai “masyarakat jahiliah modern” atau jauh dari agama (ideologi) Islam yang sebenarnya. Saat itu, syariat memang diterapkan, tapi diterapkan secara “kreatif” dan tebang pilih.

Pembacaan sejarah akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang sangat terkenal itu, terlepas dari kekurangan dan kelebihan, tentunya orang sudah kenal dengan siapa Harun al-Rasyid, atau paling tidak dengan al-Ma’mum dan al-Mu’tasim.

Pasca Harun al-Rasyid, putranya al-Amin (Shalih bin Harun) naik tahta. Al-Amin telah dinobatkan sebagai pengganti Harun semasa ia masih anak-anak. Harun al-Rasyid mewasiatkan bahwa setelah al-Amin naik tahta, jabatan Khalifah akan di lanjutkan oleh saudara al-Amin, yakni al-Ma’mun. Sementara al-Amin menjadi Khalifah, al-Ma’mun menjadi gubernur Khurasan di Persia Timur. Namun kemudian, Khalifah al-Amin membatalkan hak Khalifah al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya sendiri, Musa bin Muhammad al-Amin. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan perang saudara yang berujung pada dipenggalnya kepala al-Amin oleh panglima Tahir bin Husain yang di utus oleh saudaranya sendiri al-Ma’mun, setelah bala tentaranya berhasil menaklukkan tentara al-Amin dan memasuki Baghdad.

Al-Amin sebagai Khalifah ternyata juga dikenal abnormal dalam perilaku seksualnya. Dia sangat menyukai teman kencan seranjang sejenis dengan meninggalkan istri-istri dan gundik-gundiknya. Pacar yang sangat digandrungi oleh al-Amin bernama Kautsar, sementara Kautsar adalah seorang laki-laki tampan yang dibeli oleh Harun al-Rasyid sebagai hadiah buat al-Amin, karena dia mengetahui prilaku seksual anaknya. Satu peristiwa mencolok yang dilakukan oleh al-Amin terhadap kekasihnya Kautsar, yakni mengangkut dirham sebanyak tiga keledai untuk penyembuhan Kautsar karena cidera ringan, sementara dana tersebut sudah dialokasikan untuk biaya perang. Dan akhirnya al-Amin dihancurkan oleh para menteri dan gubernurnya sendiri karena ia lebih banyak berhura-hura, menghamburkan kas Negara dan asyik bermesraan dengan sesama jenis bernama Kautsar.

Satu Khalifah lagi yang kurang dikenal yang sangat piawai membuka babak baru sejarah dinasti keturunan Abbas bin Abdul Muthalib ini. Dia adalah al-Watsiq. Al-Watsiq adalah Khalifah terakhir Dinasti Abbasiah periode awal. Ia memerintah selama 6 tahun, ia seorang Transeks namun cenderung berperilaku homoseks, selama 6 tahun, nyaris waktunya digunakan dengan berpindah-pindah pelukan dari satu pria ke pria lainnya.

Satu pacar yang paling disukai oleh al-Watsiq adalah Muhaj, cowok keren dan sangat pandai memainkan perasaan al-Watsiq, sebuah pameo menceritakan, bila al-Watsiq sedang nyaman dalam pelukan Muhaj, maka stabilitas pemerintahan akan baik, namun jika al-Watsiq sedang cemburu buta dengan si Muhaj, maka dia akan mencari lawan-lawan politiknya untuk dibunuh. Prilaku homoseksual dua insan sesama jenis ini teruntai dalam syair ala dangdut:
Muhaj menguasai jiwa ini,
Lewat kerlingan mata yang sungguh menawan,
Tubuhnya indah mempesona,
Amboi manjanya dan penuh gairah,
Jika mata tertuju padanya,
Ia tak lagi mampu berpindah.

Al-Watsiq selama hidupnya tercatat telah menyusun lebih dari 100 syair lagu. Satu riwayat menceritakan, ketika al-Watsiq sedang mengadakan rapat bersama para pembesar istana, kemudian Muhaj yang memang menyadari akan posisinya, tiba-tiba muncul dengan melenggak-lenggokan badanya kemudian mengerlingkan mata kepada al-Watsiq dan membawakannya sekuntum bakung, sehingga al-Watsiq tanpa banyak bicara kemudian dari mulutnya meluncur syair-syair penuh birahi dan menyebabkan rapat penting tentang posisinya sebagai Khalifah menjadi runyam.

Al-Watsiq selain memiliki perilaku seks yang menyimpang, dia juga mempunyai sejarah inkuisisi seperti halnya ayahnya al-Ma’mum, kalau al-Ma’mum meninkuisisi Imam Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lainnya, sementara al-Watsiq melakukan hal yang serupa terhadap Ahmad bin Nasr al-Khaza’i seorang ahli haditst, al-Khaza’i dijemput paksa dan dihadapkan kepada al-Watsiq bersama Ulama-Ulama pelat merah saat itu, dan terjadilah dialog tentang kemahlukan al-Qur’an, namun karena al-Khaza’i tetap teguh dengan pendapatnya, akhirnya al-Watsiq meminta sebilah pedang sambil berkata, jika aku bergerak jangan ada yang ikut bergerak, aku akan menghitung langkahku menuju si kafir yang tidak menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan kita. Lalu ia meminta dibentangkan permadani tempat al-Khaza’i bersimpuh, lalu dipancungnyalah sang ahli hadits itu.

Sampai disini dululah pembacaan sejarah Bani Abbasiyah.


19 maret 2011

Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia menggelar diskusi yang bertema “Merajut Ukhuwah Islamiyah Di Tengah Pluralitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia. ” Diskusi bertempat di kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia Jl. Proklamasi Jakarta Pusat digelar kemarin (Senin, 14/3/2011).

Diskusi itu melibatkan tokoh-tokoh agama di tingkat nasional seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. K. H. Aqiel Siradj, Dr. K.H. Qureisy Shihab dan Dr. Khalid Walid.

Prof. Azyumardi Azra dalam diskusi itu mengulas perspektifnya yang berjudul, “Realitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia dan Tantangannya dari Masa ke Masa.” Prof. Azyumardi mengatakan, “Di Indonesia terdapat upaya aktualisasi Umat Wahdatan yang tidak berada dalam titik ekstrim. Baru belakangan ini muncul gerakan trans-nasional yang mudah mengkafirkan dan mengecam pandangan yang berbeda termasuk menolak maulid. “Menurut Prof Azyumardi, kelompok ini menjadi sumber konflik dan pemecah belah umat Islam di Indonesia. Prof, Azyumardi juga menambahkan, “Kelompok ini juga cenderung menyalahkan semua pandangan dan melakukan tindakan kekerasan seperti yang terjadi terhadap Ahmadiyah.”.

Lebih lanjut Prof. Azyumardi Azra, “Syiah adalah sahabat kita. Saya sangat menyesalkan pelarangan Syiah yang terjadi di Malaysia.” Prof. Azyumardi juga menyatakan dirinya sebagai simpatisan Syiah.

Dalam diskusi yang mengangkat tema Ukhuwah Islamiyah itu, Ketua PBNU, Prof. Dr. K.H. Aqiel Siradj juga menjadi salah satu pembicara inti. Dalam diskusi, Prof Aqiel Siradj mengulas pandangannya yang bertema, ‘Menjaga, Memelihara dan Merawat Ukhuwah Islamiyah.”.

Dalam kesempatan itu, Prof Aqiel Siradj mencontohkan masa Nabi. Dikatakannya, ” Di masa Nabi ada pluralitas keyakinan, dan tetap dilindungi dan dihormati.” Prof Aqiel Siradj mencontohkan Piagam Madinah sebagai dasar kebersamaan dan apresiasi.

Lebih Lanjut Aqiel Siradj yang juga pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia, menawarkan empat kiat untuk melangkah seperti yang dilakukan Rasulullah Saw dalam Piagam Madinah. Dikatakannya, “Kiat pertama, memahami orang lain. Kiat kedua, mengembangkan dan melestarikan tradisi. Ketiga, menjaga komitmen kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara. Keempat, memahami ideologi lain.”.

Prof Aqiel Siradj dalam pernyataannya di diskusi yang bertema Ukhuwah Islamiyah itu menyayangkan kekerasan yang seringkali dilakukan. Padahal menurut Aqiel Siradj, perbedaan adalah hal yang diciptakan Allah, bahkan bagian dinamika kehidupan. Lebih lanjut Prof Aqiel Siradj mengaku kagum atas mazhab Syiah yang melahirkan intelektual-intelektual luar biasa dan tetap berpegang teguh pada keyakinan agama.

Masih dalam diskusi Ukhuwah Islamiyah, Prof. Dr. K.H. Qureisy Shihab juga ikut menyumbang pandangan yang memilih tema, “Membangun Visi Bersama Umat Islam Indonesia. ” Dikatakannya, “Perbedaan adalah keniscayaan. Perbedaan dalam Islam adalah hal yang alami.”.

Prof Qureisy Shihab dalam pernyataannya menegaskan, “Perbedaan antarmazhab hanyalah pada tingkat ushul mazhab dan furu’u-dien semata (baca: prinsip mazhab bukan agama).” Menurut Prof Qureisy Shihab, hal tersebut hampir ditemukan pada seluruh mazhab atau aliran dalam Islam, baik Mu’tazilah, bahkan Wahabiyah.

Dalam penjelasannya, Qureisy Shihab menjelaskan, “Syiah memiliki ushul mazhab imamah atau kepemimpinan. Karena hal tersebut merupakan ushul mazhab, maka mereka yang tidak menerima Imamah tidaklah berarti kafir.” Prof Qureisy Shihab juga menyayangkan kelompok-kelompok yang sering mengkafirkan kelompok lain. Menurut Prof Qureisy Shihab, pengkafiran bermula dari kedangkalan pengetahuan.

Di penghujung acara, Dr.Khalid Walid yang juga penggagas acara tersebut menyatakan bahwa acara seperti ini harus terus digalakkan demi persatuan umat dan kesatuan bangsa Indonesia di nusantara. Diskusi ilmiah yang bertema “Merajut Ukhuwah Islamiyah di tengah Pluralitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia, ” dihadiri sekitar 200 peserta dari kalangan akademisi dan wakil pengurus pusat ormas-ormas Islam Indonesia termasuk Organisasi Ahlul Bait Indonesia atau ABI.

(Syiahali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: