Pesan Rahbar

Home » , , , , » Tragedi Hari Kamis : Kritik Atas Tanggapan Ibnu Abdillah Al Katibiy

Tragedi Hari Kamis : Kritik Atas Tanggapan Ibnu Abdillah Al Katibiy

Written By Unknown on Friday, 15 August 2014 | 22:56:00

Beberapa hari yang lalu kami mendapat kiriman link yang katanya membantah tulisan kami tentang “Tragedi Hari Kamis”. Setelah kami membaca tulisannya, ternyata sang penulis tidaklah berbeda dengan para pengingkar lainnya yang mencari-cari syubhat demi membela Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu].
Pertama-tama kami tekankan kepada penulis tersebut tolong tidak usah mengkait-kaitkan tulisan kami tersebut dengan Syi’ah. Kami tidak menulisnya atas nama Syi’ah dan tidak pula berhujjah dengan pandangan Syi’ah. Kalau anda mau membantah kami ya silakan kutip tulisan kami dan silakan bantah apa yang ingin anda bantah. Jangan mencampuradukkan bantahan terhadap kami dengan bantahan terhadap Syi’ah. Berikut kami tunjukkan syubhat-syubhat dari penulis tersebut [tulisannya kami kutip dalam bentuk quote]

Syubhat Dalih Pembelaan Tehadap Umar bin Khaththab.
Inti dari tulisan kami tentang Tragedi Hari Kamis adalah Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] telah keliru ketika mencegah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam penulisan wasiat tersebut. Sedangkan inti dari bantahan anda adalah Umar benar atas sikapnya, dan dalam bantahan tersebut anda membawakan syubhat-syubhat berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki perhatian yang begitu besar atas umatnya, hal yang paling dikhawatirkan Beliau sebelum wafatnya adalah keadaan umatnya sepeninggalannya. Meskipun beliau sudah menyampaikan semua yang harus disampaikan kepada umatnya, dan telah sempurna agama islam. Beliau masih merasa sesuatu yang kurang, maka beliau dalam keadaan payah memerintahkan para sahabat untuk menyediakan kertas agar bisa menulis sesuatu yang dianggap penting dari apa yang telah ada
Silakan tanya diri anda, anda umat siapa?. Jika anda memang umat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka bukankah seharusnya anda lebih mengedepankan dan membela dengan mati-matian apa yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kalau anda bisa mengatakan Rasulullah masih merasa sesuatu yang kurang maka bukankah sebagai umat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] harusnya menganggap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lebih paham tentang kondisi umatnya dan apa yang terbaik bagi umatnya. Posisi kami disini jelas yaitu membela yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan menyalahkan Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu].
Sayidina Umar setelah mendengar firman Allah di Arafah yang disampaikan Nabi dalam haji Wada` :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا  [المائدة : 3]
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Al Maidah : 3)
Serta setelah mendengar sabda Rasullullah dalam haji wada’ :
وقد تَرَكْتُ فِيكُمْ ما لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إن اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ
“..Benar-benar telah kutinggalkan dalam kalian sesuatu yang kalian tidak akan pernah tersesat setelahnya jika kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitab Allah..” (HR Muslim)
Jawaban kami sederhana saja. Siapakah yang lebih paham akan Al Qur’anul Karim terutama Al Maidah ayat 3 yang anda kutip?. Jawabannya ya jelas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Siapakah yang paling paham akan ucapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat Haji Wada tersebut? Jawabannya ya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Jadi tidak ada gunanya anda membela Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] dengan ayat Al Qur’an dan hadis tersebut. Bahkan seharusnya kalau memang Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] mau berpegang teguh pada Al Qur’an. Bukankah Beliau pernah membaca Ayat

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah [QS Al Hasyr : 7].

Jadi sikap yang benar disini adalah menerima apa yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut tidak peduli apakah wasiat tersebut sesuatu yang belum diucapkan atau penekanan terhadap sesuatu yang pernah diucapkan sebelumnya.

Alasan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sakit atau dalam keadaan payah bukanlah alasan yang kuat untuk membantah apa yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sebagian sahabat yang ada disana justru ingin memenuhi permintaan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya saja mereka diselisihi oleh sebagian lain yang mengikuti pendapat Umar. Artinya dalam pandangan sebagian sahabat, wasiat tersebut masih mungkin untuk dipenuhi dengan cara-cara yang tidak menyulitkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi berhentilah berapologi dan lihatlah masalah ini dengan objektif.

Syubhat Tragedi Yang Dimaksud Ibnu ‘Abbas.
Pada tulisan kami sebelumnya [tentang Tragedi Hari Kamis] kami menyebutkan bahwa yang dimaksud tragedi atau bencana oleh Ibnu ‘Abbas adalah terhalangnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari penulisan wasiat tersebut. Sedangkan penulis tersebut menganggap yang dimaksud bencana itu adalah perselisihan dan keributan di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Penulis tersebut telah melakukan syubhat halus disini, yaitu mencoba untuk menyimpangkan makna bencana yang dipahami Ibnu ‘Abbaas. Kami mengakui kalau perselisihan dan keributan di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu sangat tidak pantas apalagi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan sakit. Penulis tersebut mengatakan:
Yang diratapi Sayidina Abbas bukan tidak jadinya Rasulullah dalam menuliskan wasiat akan tetapi perselisihan dan kegaduhan para sahabat di samping Rasulullah, padahal Rasulullah dalam keadaan sakit parah.
Pernyataan penulis tersebut tidak tepat karena dalam hadis Shahih Bukhariy terdapat matan yang dengan jelas menyebutkan bahwa yang diratapi Ibnu ‘Abbas adalah terhalangnya [tidak jadinya] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam menuliskan wasiatnya.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا اشْتَدَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ قَالَ ائْتُونِي بِكِتَابٍ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَا تَضِلُّوا بَعْدَهُ قَالَ عُمَرُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَهُ الْوَجَعُ وَعِنْدَنَا كِتَابُ اللَّهِ حَسْبُنَا فَاخْتَلَفُوا وَكَثُرَ اللَّغَطُ قَالَ قُومُوا عَنِّي وَلَا يَنْبَغِي عِنْدِي التَّنَازُعُ فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ إِنَّ الرَّزِيَّةَ كُلَّ الرَّزِيَّةِ مَا حَالَ بَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ كِتَابِهِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihaab dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas yang berkata Ketika Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengalami sakit berat maka Beliau berkata “Berikan kepadaku kertas sehingga aku tuliskan untuk kalian tulisan maka kalian tidak akan tersesat setelahnya” Umar berkata “sesungguhnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang sakit dan cukuplah bagi kita Kitab Allah”. Maka mereka berselisih dan menimbulkan keributan. Beliau berkata “pergilah kalian dariku, tidak pantas terjadi pertengkaran di sisiku”. Maka Ibnu ‘Abbas keluar dan mengatakan “sesungguhnya musibah yang paling besar adalah terhalangnya antara Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan wasiat tulisannya [Shahih Bukhariy 1/34 no 114]

أَخْبَرَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى ، قَالَ : ثنا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، قَالَ : أنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، قَالَ : ثنا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : ” لَمَّا حَضَر رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَفِي الْبَيْتِ رِجَالٌ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هَلُمَّ أَكْتُبُ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ، فَقَالَ عُمَرُ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غَلَبَ عَلَيْهِ الْوَجَعُ ، وَعِنْدَكُمُ الْقُرْآنُ حَسْبُنَا كِتَابُ اللَّهِ ، فَاجْتَمَعُوا فِي الْبَيْتِ ، فَقَالَ قَوْمٌ : قُومُوا يَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ، وَقَالَ قَوْمٌ مَا قَالَ عُمَرُ ، فَلَمَّا أَكْثَرُوا اللَّغَطَ وَالاخْتِلافَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمْ : قُومُوا عَنِّي ” ، قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ : وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ ، يَقُولُ : إِنَّ الرَّزِيَّةَ كُلَّ الرَّزِيَّةِ مَا فَاتَ مِنَ الْكِتَابِ الَّذِي أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكْتُبُ أَنْ لا تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ، لَمَّا كَثُرَ لَغَطُهُمْ وَاخْتِلافُهُمْ

Telah mengabarkan kepadaku Zakariyaa bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhriy dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas yang berkata ketika telah dekat [kematian] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkumpul orang-orang di dalam rumahnya, diantara mereka ada Umar bin Khaththab. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kemarilah, aku akan menuliskan untuk kalian tulisan sehingga kalian tidak akan sesat selamanya”. Umar berkata “sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dikuasai oleh sakitnya dan di sisi kalian terdapat Al Qur’an maka cukuplah bagi kita Kitab Allah”. Maka berkumpullah orang-orang di dalam rumah. Sebagian orang berkata “berikanlah agar Beliau menuliskan untuk kalian sehingga kalian tidak akan tersesat selamanya” dan sebagian orang berkata seperti yang dikatakan ‘Umar. Ketika terjadi keributan dan perselisihan di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Beliau berkata kepada mereka “pergilah kalian dariku”. ‘Ubaidillah berkata bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan “sesungguhnya musibah yang sangat besar adalah tidak jadinya dibuat tulisan yang mana Rasulullah berkeinginan menulisnya agar mereka tidak sesat selamanya ketika terjadi keributan dan perselisihan diantara mereka” [Sunan Nasa’iy no 7474, sanadnya shahih].

Kedua hadis di atas menjadi bukti shahih bahwa Ibnu ‘Abbas menganggap tidak jadinya ditulis wasiat tersebut sebagai musibah yang besar. Tidak dipungkiri bahwa penyebab Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak jadi menuliskannya karena keributan dan pertengkaran para sahabat di sisi Beliau. Tetapi bukan berarti seperti yang dikatakan penulis bahwa yang diratapi Ibnu ‘Abbas bukan tidak jadinya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menulis tetapi yang diratapi Ibnu ‘Abbas adalah perselisihan dan keributan para sahabat. Ini contoh syubhat halus untuk membela Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu].
Dalam ilmu logika ada yang namanya sebab dan ada yang namanya akibat. Nah penulis tersebut telah mencampuradukkan atau menjadikan sebab sebagai akibat dan ini keliru. Musibah besar yang dimaksud Ibnu ‘Abbas adalah tidak jadinya wasiat itu ditulis, ini adalah akibat sedangkan penyebab musibah besar tersebut adalah karena perselisihan dan keributan para sahabat di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], ini adalah sebab.

Kami akan bawakan analogi sederhana. Anda ingin pergi kerumah orang tua anda karena keperluan yang sangat mendesak tetapi hal itu tidak jadi terlaksana karena ada keributan yang besar di jalan menuju rumah orang tua anda. Anda akan menyampaikannya dengan kalimat berikut “sungguh masalah besar bagiku adalah tidak jadinya aku pergi ke rumah orang tuaku karena ada keributan besar di jalan”. Tentu saja yang dipahami dari kalimat tersebut adalah yang anda anggap masalah besar itu adalah tidak jadinya anda pergi ke rumah orang tua anda bukan keributannya walaupun memang hakikatnya keributan itu yang membuat anda tidak jadi pergi kerumah anda.

Syubhat Seolah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Menyetujui Umar.
Pada akhirnya Rasulullah tidak menulis wasiat tersebut, itu berarti secara tidak langsung Beliau setuju dengan pendapat Umar. Seandainya perkara yang akan disampaikan beliau adalah perkara yang wajib diketahui oleh semua orang mukmin tidak mungkin beliau diam di akhir hayatnya, padahal Allah telah mewajibkan Beliau untuk menyampaikannya risalahnya dalam ayat :
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (67) [المائدة : 67]
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS Al Maidah : 67)
Tidak perlu berandai-andai wahai penulis. Jangan terlalu berlebihan membela Umar bin Khaththab sampai-sampai anda mau menisbatkan hal yang aneh kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memang tidak jadi menuliskannya dan ini bermakna bisa saja bahwa apa yang Beliau ingin tuliskan itu sudah pernah Beliau sampaikan sebelumnya Atau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian menyampaikan hal tersebut secara lisan kepada beberapa orang yang mendengarnya [mengingat sebagian besar sahabat disuruh pergi pada saat itu].

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَحْوَلِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ ثُمَّ بَكَى حَتَّى خَضَبَ دَمْعُهُ الْحَصْبَاءَ فَقَالَ اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ يَوْمَ الْخَمِيسِ فَقَالَ ائْتُونِي بِكِتَابٍ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا فَتَنَازَعُوا وَلَا يَنْبَغِي عِنْدَ نَبِيٍّ تَنَازُعٌ فَقَالُوا هَجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي فَالَّذِي أَنَا فِيهِ خَيْرٌ مِمَّا تَدْعُونِي إِلَيْهِ وَأَوْصَى عِنْدَ مَوْتِهِ بِثَلَاثٍ أَخْرِجُوا الْمُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَأَجِيزُوا الْوَفْدَ بِنَحْوِ مَا كُنْتُ أُجِيزُهُمْ وَنَسِيتُ الثَّالِثَةَ

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Sulaiman Al Ahwal dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas [radiallahu ‘anhuma] bahwasanya ia berkata “hari Kamis dan tahukah kalian hari Kamis” kemudian Beliau menangis hingga air matanya mengalir, Beliau berkata “pada hari Kamis, sakit Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] semakin berat maka Beliau berkata “ambilkan aku kertas sehingga aku tuliskan untuk kalian maka kalian tidak akan tersesat selamanya” maka mereka bertengkar dan sangat tidak layak terjadi pertengkaran di sisi Nabi. Mereka berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] meracau”. Beliau berkata “biarkanlah aku, sesungguhnya aku lebih baik dari apa yang kalian seru atasnya”. Dan Beliau berwasiat tiga hal dekat kewafatannya, keluarkanlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab, dan perlakukan para utusan sebagaimana aku memperlakukan mereka, dan aku lupa yang ketiga [Shahih Bukhariy 4/69 no 3053].

Jadi bagian mana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akhirnya menyetujui Umar bin Khaththab. Apalagi anehnya penulis tersebut sebenarnya menukil hadis ini tetapi entah mengapa ia malah berkata
Dan jika hal ini memang hal yang harus (wajib) diketahui, kemudian sahabat tidak menyediakan kertas bagi beliau, apa yang menghalangi Rasulullah untuk mengatakan wasiatnya melalui lisan ??
Bukankah anda wahai penulis menukil hadis dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berwasiat secara lisan. Jadi bagaimana bisa muncul perkataan anda di atas. Apakah anda tidak memahami hadis yang anda nukil?

Syubhat Mengenai Perkataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Meracau.
Perkataan sayidina Umar bukanlah bentuk pembangkangan beliau pada Rasulullah tapi merupakan pendapat yang ia utarkan untuk dimusyawarahkan. Hanya saja kaum syi’ah yang membenci Sayidina Umar menggambarkan peristiwa ini dengan gambaran yang berlebihan, seolah-olah Sayidina Umar menentang dengan keras mereka yang menghendaki penulisan ini dan dengan kasar berkata “Nabi tadi hanya mengingau”. Padahal dalam riwayat yang ada, perkataan “Nabi Mengingau” justru muncul dari mereka yang menentang Sayidina Umar itupun dengan makna istifham inkari.
Dalam tulisan kami sebelumnya [mengenai tragedi hari kamis], kami tidak pernah mengatakan bahwa Umar bin Khaththab yang mengatakan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengigau atau meracau. Inilah yang kami maksud bahwa sang penulis mencampuradukkan bantahannya terhadap Syi’ah dengan bantahan terhadap kami. Mungkin saja penulis tersebut menemukan banyak orang Syi’ah yang menuduh Umar yang mengatakan hal tersebut tetapi jangan coba-coba menisbatkan hal tersebut kepada kami. Kami berhujjah dengan objektif dimana jelas dalam hadis bahwa yang mengatakan hal tersebut adalah sebagian sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

حدثنا إسحاق بن إبراهيم أخبرنا وكيع عن مالك بن مغول عن طلحة بن مصرف عن سعيد بن جبير عن ابن عباس أنه قال يوم الخميس وما يوم الخميس ثم جعل تسيل دموعه حتى رأيت على خديه كأنها نظام اللؤلؤ قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ائتوني بالكتف والدواة ( أو اللوح والدواة ) أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) فقالوا إن رسول الله صلى الله عليه و سلم يهجر

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibrahiim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Wakii’ dari Malik bin Mighwal dari Thalhah bin Musharrif dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas bahwasanya ia berkata “hari kamis, ada apa dengan hari Kamis?” kemudian air matanya mengalir hingga aku melihat seperti butiran mutiara di kedua pipinya. [Ibnu ‘Abbas] berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata ambilkan tulang dan tinta atau lembaran dan tinta, akan aku tuliskan untuk kalian tulisan yang kalian tidak akan tersesat selamanya. Maka mereka berkata “sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengigau” [Shahih Muslim 3/1257 no 1637].

حدثنا بكار بن قتيبة البكراوي قثنا يعقوب بن إسحاق الحضرمي قثنا مالك بن مغول عن طلحة بن مصرف عن سعيد بن جبير عن ابن عباس أنه قال يوم الخميس وما يوم الخميس قال ثم نظرت إلى دموعه على خده كأنه نظام اللؤلؤ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( ائتوني بكتف أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده أبدا ) فقالوا إنما رسول الله صلى الله عليه وسلم يهجر

Telah menceritakan kepada kami Bakkaar bin Qutaibah Al Bakraawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaquub bin Ishaaq Al Hadhraamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik bin Mighwaal dari Thalhah bin Musharrif dari Sa’iid bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas bahwasanya Beliau berkata “hari kamis, ada apa dengan hari Kamis?” kemudian aku melihat air matanya mengalir seperti butiran mutiara di kedua pipinya. [Ibnu ‘Abbas] berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata ambilkan aku tulang, akan aku tuliskan untuk kalian tulisan yang kalian tidak akan tersesat selamanya. Maka mereka berkata “sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya mengigau” [Mustakhraj Abu Awanah 3/477-478 no 5762, sanadnya shahih].

Aneh bin ajaib, penulis yang membantah dengan terlalu bersemangat itu malah mendistorsi riwayat dengan mengatakan
Maksudnya ketika Umar mengatakan usulanya dan mengatakan bahwa Nabi sedang payah, mereka yang menentang sayidina umar mengatakan “Apakah Nabi Mengingau (meracau) !!?” dengan maksud “tidak mungkin Nabi mengingau!” maka biarkanlah Nabi menuliskan wasiatnya.
Tidak perlu berbasa-basi, berkelit dan mencari dalih. Silakan perhatikan lafaz riwayat dimana para sahabat berkata “innama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yahjuru”. Apakah lafaz itu sesuai dengan basa-basi anda wahai penulis yaitu makna istifham inkari?. Jelas tidak, makna lafaz tersebut adalah sebagian sahabat mengatakan bahwa ucapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya mengigau atau meracau.
Kalau kita lihat bahwa ada dua golongan sahabat yaitu yang pertama golongan yang menginginkan wasiat tersebut ditulis dan yang kedua golongan yang sependapat dengan Umar. Pertanyaannya golongan manakah yang mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengigau?. Penulis tersebut beranggapan bahwa golongan yang menginginkan wasiat tersebut ditulis yang mengucapkan lafaz yahjuru dan makna “Apakah Nabi mengigau?” disana adalah “tidak mungkin Nabi mengigau”. Sesungguhnya ini hanyalah syubhat basa-basi karena zhahir riwayat mendustakannya [sebagaimana telah kami tunjukkan dengan riwayat Muslim dan Abu Awanah di atas]. Anehnya penulis tersebut menukil hadis berikut
قالوا ما شأنه أهجر؟ استفهموه. فذهبوا يفدون عليه. قال: “دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه
Mereka berkata, Bagaimana keadaannya, apakah ia meracau (mengigau)? hendaknya kalian tanyakan kembali kepada beliau. Maka beliau bersabda : ”Menyingkirlah kalian dari-Ku, keadaanku sekarang lebih baik dari pada apa yg kalian kira “ (Sunan al-Kubra : 4/433).
Apakah zhahir lafaz di atas menunjukkan bahwa sahabat yang menginginkan wasiat tersebut ditulis adalah golongan yang mengucapkan lafaz “mengigau”. Kalau makna kalimat itu adalah “tidak mungkin Nabi mengigau” maka mengapa disana ada lafaz “kalian tanyakan kembali kepada Beliau”. Apakah mungkin orang yang yakin bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengigau malah meminta agar ditanyakan lagi kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Justru lebih masuk akal bahwa mereka menganggap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memang mengigau maka minta ditanyakan kembali maksudnya.

Kemudian apakah jawaban Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “keadaanku sekarang lebih baik daripada apa yang kalian kira” pantas ditujukan kepada orang yang mengatakan “tidak mungkin Nabi mengigau”?. Jelas tidak, justru jawaban tersebut lebih pantas ditujukan pada orang yang memang mengatakan “Nabi mengigau”. Kami tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang dimainkan oleh penulis disini. Zhahir lafaz yang sudah jelas malah dipelintir demi melindungi kesalahan sebagian sahabat.

Syubhat Ahlul Bait Berselisih.
Kalau kaum syi’ah mau jujur pun, maka akan terlihat nyata bahwa bukan hanya Umar saja yang mencegah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari menulis kerana sakitnya yang berat, melainkan ada sahabat lainnya juga yang mencegah Nabi, bahkan dimungkinkan juga dari kalangan ahlul bait, dalam riwayat imam Bukhari lainnya disebutkan :
لما حضر رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي البيت رجال فقال: صلى الله عليه وسلم هلمّوا أكتب لكم كتاباً لا تضلون بعده”. فقال بعضهم: إن رسول الله قد غلبه الوجع وعندكم القرآن، حسبنا كتاب الله. فاختلف أهل البيت واختصموا، فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم كتاباً لا تضلون بعده، ومنهم من يقول غير ذلك. فلما أكثروا اللغو والاختلاف قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: قوموا
“Ketika telah dekat kematian Rasulullah, dalam Rumahnya berkumpul beberapa orang. Nabi saw Berkata “Kemarilah, aku akan menulis sebuah tulisan yang dengannya kalian tidak akan tersesat selamannya” kemudian sebagian mereka berkata bahwa Rasululllah saw sedang sakit, dan kalian telah memiliki Al Qur`an, Cukuplah kitabullah. Maka ahlu bait berselisih, dan mereka bertengkar sebagian mereka berkata “Berikanlah agar Nabi saw menulis untuk kalian tulisan yang dengannya kalian tidak akan tersesat setelahnya” dan sebagian mereka berkata selain itu. Ketika mereka membuat suasana menjadi gaduh dan saling berselisih, Maka Rasulullah berkata “Berdirilah (pergilah) kalian semua” (HR Bukhari).
Dengan riwayat ini penulis tersebut berusaha menunjukkan bahwa ahlul bait juga ikut berselisih yaitu sebagian sependapat dengan Umar dan sebagian menyelisihi Umar. Pertanyaan sederhana adalah siapakah ahlul bait yang dimaksud disana? Apakah yang dimaksud adalah Ahlul Bait Nabi?. Kalau iya maka Apakah istri-istri Nabi?. Apakah keluarga Ali? Apakah keluarga Ja’far? Apakah keluarga Abbaas?. Perhatikan hadis dengan kisah yang sama yaitu riwayat Nasa’iy yang kami nukil sebelumnya. Disana terdapat lafaz

فَاجْتَمَعُوا فِي الْبَيْتِ ، فَقَالَ قَوْمٌ : قُومُوا يَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ، وَقَالَ قَوْمٌ مَا قَالَ عُمَرُ ، فَلَمَّا أَكْثَرُوا اللَّغَطَ وَالاخْتِلافَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمْ : قُومُوا عَنِّي

Maka berkumpullah orang-orang di dalam rumah. Sebagian orang berkata “berikanlah agar Beliau menuliskan untuk kalian sehingga kalian tidak akan tersesat selamanya” dan sebagian orang berkata seperti yang dikatakan ‘Umar. Ketika terjadi keributan dan perselisihan di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Beliau berkata kepada mereka “pergilah kalian dariku” [Sunan Nasa’iy no 7474, sanadnya shahih].

Riwayat Nasa’iy menunjukkan bahwa “orang-orang di dalam rumah” pada saat itu terbagi menjadi dua yaitu yang ingin memenuhi permintaan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan yang sependapat dengan Umar. Lafaz “orang-orang di dalam rumah” inilah yang dalam riwayat Bukhariy disebut dengan “ahlul bait”. Maka makna “ahlul bait” tersebut adalah orang-orang yang berada di dalam rumah yaitu para sahabat Nabi.
Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al Bariy dan Muhammad bin ‘Abdul Haadiy As Sindiy dalam Hasyiyah As Sindiy Ala Shahih Bukhariy

قوله في الرواية الثانية فاختلف أهل البيت  أي من كان في البيت من الصحابة ولم يرد أهل بيت النبي صلى الله عليه وسلم

Perkataannya dalam riwayat kedua “maka Ahlul Bait berselisih” maksudnya adalah para sahabat yang berada di dalam rumah bukan maksudnya adalah ahlul bait Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 8/135]

قوله : (فاختلف أهل البيت) أي الذي كانوا فيه من الصحابة لا أهل بيته صلى الله عليه وسلّم

Perkataannya “maka Ahlul Bait berselisih” adalah orang-orang yang berada di dalamnya dari kalangan sahabat bukan ahlul baitnya [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Hasyiyah As Sindiy ‘Ala Shahih Bukhariy 3/35].

Syubhat Riwayat Al Mustadrak Al Hakim.
Penulis tersebut membawakan hadis lain riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak yang menyebutkan soal tulisan agar tidak tersesat.

أخبرني أحمد بن عبد الله المزني بنيسابور ومحمد بن العدل ثنا إبراهيم بن شريك الأسدي بالكوفة ثنا أحمد بن يونس عن أبو شهاب عن عمرو بن قيس عن ابن أبي مليكة عن عبد الرحمن بن أبي بكر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ائتني بدواة وكتف اكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ثم ولانا قفاه ثم أقبل علينا فقال : يأبى الله والمؤمنون إلا أبا بكر

Telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin ‘Abdullah Al Muzanniy di Naisabur dan Muhammad bin Al ‘Adl yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Syariik Al Asdiy di Kufah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus dari Abuu Syihaab dari ‘Amru bin Qais dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakar yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “ambilkan aku tinta dan tulang akan aku tuliskan tulisan sehingga kalian tidak akan sesat selamanya” kemudian Beliau membelakangi kami kemudian menghadap kami dan berkata “Allah dan kaum mukminin enggan kecuali Abu Bakar” [Al Mustadrak Ash Shahihain 3/542 no 6016].

Riwayat ini dinyatakan shahih oleh Adz Dzahabiy dalam Talkhis Al Mustadrak. Tetapi Ibnu Hajar menyatakan hadis ini cacat dalam Ittihaful Maharah.

قلت: بل معلول. فقد أخرجه أحمد من طريق: عبد الرحمن بن أبي بكرالدستكي، عن ابن أبي مليكة، عن عائشة، نحوه

Aku katakan “bahkan ia ma’lul [cacat]. Sungguh telah dikeluarkan oleh Ahmad dengan jalan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar Ad Dastakiy dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah seperti di atas” [Ittihaful Maharah 10/596 no 13476].

Untuk mengetahui pendapat yang rajih maka akan kami tampilkan takhrij singkat riwayat Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah yang dimaksud:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا عبد الرحمن بن أبي بكر القرشي عن بن أبي مليكة عن عائشة قالت لما ثقل رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لعبد الرحمن بن أبي بكر ائتني بكتف أو لوح حتى اكتب لأبي بكر كتابا لا يختلف عليه فلما ذهب عبد الرحمن ليقوم قال أبي الله والمؤمنون ان يختلف عليك يا أبا بكر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Abu Bakar Al Qurasyiy dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah yang berkata ketika sakit Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertambah berat, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada ‘Abdurrahman bin Abu Bakar “ambilkan tulang atau lembaran sehingga aku bisa menuliskan untuk Abu Bakar sebuah tulisan agar tidak berselisih atasnya, ketika Abdurrahman pergi berdiri maka Beliau berkata “Allah dan kaum mukimin enggan berselisih atasmu wahai Abu Bakar” [Musnad Ahmad 6/47 no 24245].

Riwayat ini sanadnya dhaif karena ‘Abdurrahman bin Abi Bakar Al Qurasyiy, Yahya bin Ma’in berkata “dhaif”. Abu Hatim berkata “tidak kuat dalam hadis”. Nasa’iy berkata “tidak tsiqat”. Ibnu Adiy berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah dan ia termasuk yang ditulis hadisnya”. Ibnu Sa’ad berkata “ia memiliki hadis-hadis dhaif”. Al Bazzaar berkata “layyin al hadits”. As Sajiy berkata “shaduq ada kelemahan padanya” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 6 no 299]. Tetapi ‘Abdurrahman bin Abu Bakar Al Qurasyiy dalam riwayatnya dari Ibnu Abi Mulaikah memiliki mutaba’ah.
  1. ‘Abdul Aziz bin Rafii’ sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud Ath Thayalisiy dalam Musnadnya [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy 1/210 no 1508] dengan jalan sanad dari Muhammad bin Aban dari Abdul ‘Aziz bin Rafii’ dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah. Muhammad bin Aban Al Ju’fiy dinyatakan dhaif oleh Abu Daud, Bukhariy berkata “tidak kuat” di saat lain berkata “dibicarakan hafalannya dan tidak bisa dijadikan pegangan”. Nasa’iy berkata “tidak tsiqat”. Ahmad berkata “bukan termasuk pendusta”. Abu Hatim mengatakan tidak kuat dalam hadis ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 5 no 109]. Adapun ‘Abdul Aziz bin Rafii’ seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/603].
  2. Nafii’ bin ‘Umar sebagaimana diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya [Musnad Ahmad bin Hanbal 6/106 no 24795] dengan jalan sanad dari Mu’ammal bin Ismaiil dari Naafii’ bin ‘Umar dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah. Mu’ammal bin Ismaiil dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Ma’iin . Abu Hatim berkata “shaduq keras dalam sunnah dan banyak melakukan kesalahan”. Bukhariy berkata “munkar al hadits”. Abu Daud memujinya hanya saja ia sering keliru dalam sesuatu. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata sering keliru. As Sajiy berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak melakukan kekelriuan”. Ibnu Qaani’ berkata “shalih terkadang keliru”. Daruquthniy berkata “tsiqat banyak melakukan kesalahan”. Ishaq bin Rahawaih menyatakan ia tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 682]. Adapun Naafii’ bin ‘Umar seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 2/238].
Ibnu Abi Mulaikah dalam periwayatannya dari Aisyah memiliki mutaba’ah diantaranya adalah
  1. Urwah bin Zubair sebagaimana yang diriwayatakan Muslim dalam Shahih-nya [Shahih Muslim 4/1857 no 2387].
  2. Qaasim bin Muhammad sebagaimana diriwayatkan Bukhariy dalam Shahih-nya [Shahih Bukhariy 7/119 no 5666].
  3. Ubaidillah bin ‘Abdullah sebagaimana diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya [Musnad Ahmad bin Hanbal 6/34 no 24107]. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata ‘sanadnya shahih dengan syarat syaikhain dan disebutkan bahwa konteks pembicaraan tersebut terkait dengan Abu Bakar sebagai Imam shalat.
Takhrij singkat di atas menunjukkam bahwa telah tsabit riwayat tersebut dari Aisyah termasuk Ibnu Abi Mulaikah juga meriwayatkan dari Aisyah. Yang meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah adalah Abdurrahman bin Abu Bakar Al Qurasyiy, ‘Abdul Aziz bin Rafii’ dan Naafii’ bin ‘Umar. Walaupun masing-masing sanad mengandung kelemahan tetapi kedudukannya saling menguatkan.

Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Ibnu Hajar bahwa sanad riwayat Al Hakim tersebut ma’lul [cacat] karena Ibnu Abi Mulaikah tidak meriwayatkannya dari ‘Abdurrahman bin Abu Bakar tetapi dari Aisyah. Sanad riwayat Al Hakim terdiri dari perawi tsiqat dan shaduq hanya saja Abu Syihaab yang meriwayatkan dari ‘Amru bin Qais dari Ibnu Abi Mulaikah telah dibicarakan hafalannya.

Abu Syihaab Al Hanaath dikatakan Ahmad bin Hanbal tidak ada masalah dengan hadisnya, Yahya bin Ma’in menyatakan tsiqat. Ibnu Numair berkata “tsiqat shaduq”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat” dan Al Bazzar menyatakan tsiqat. Yahya bin Sa’id berkata “ia tidak hafizh”. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis, seorang yang shalih tidak kuat, dan dibicarakan hafalannya”. Nasa’iy berkata “tidak kuat”. As Sajiy berkata “shaduq sering keliru dalam hadisnya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak hafizh di sisi para ulama” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 271]. Dan riwayat Abu Syihaab ini tidak memiliki mutaba’ah yang menguatkan sehingga bisa jadi kekeliruan sanad tersebut berasal darinya. Kesimpulannya hadis riwayat Al Hakim tersebut ma’lul [cacat] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Memang tidak diketahui apakah sebenarnya yang akan dituliskan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar para sahabat tidak tersesat sepeninggalnya [terdapat riwayat soal tiga wasiat yang ternyata perawinya lupa isi wasiat terakhir] oleh karena itu kita disini hanya bisa menduga-duga berdasarkan hadis-hadis sebelumnya. Menurut pendapat kami wasiat tersebut sudah pernah disampaikan kepada para sahabat karena kami tidak bisa menerima pandangan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] belum pernah menyampaikannya.

Dalam tulisan kami sebelumnya kami menunjukkan hadis yang cocok dengan matan riwayat di atas dan memiliki sanad yang shahih yaitu hadis Tsaqalain yang menyebutkan agar para sahabat berpegang teguh pada Al Qur’an dan Ahlul Bait agar tidak tersesat.

حَدَّثَنَا يحيى قَال حَدَّثَنَا جرير عن الحسن بن عبيد الله عن أبي الضحى عن زيد بن أرقم قَال النبي صلى الله عليه وسلم إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب الله عز وجل وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hasan bin Ubaidillah  dari Abi Dhuha dari Zaid bin Arqam yang berkata Nabi SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang-teguh kepadanya maka kalian tidak akan sesat yaitu Kitab Allah azza wa jalla dan ItrahKu Ahlul Baitku dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaKu di Al Haudh [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawi 1/536 dengan sanad yang shahih].

Silakan bagi siapapun yang tidak setuju dengan pandangan kami, kami tidak pernah memaksa siapapun. Kami telah menunjukkan hujjah kami bukan atas nama Syi’ah dan bukan atas nama membela Syi’ah. Kami hanya berusaha memahami riwayat Ibnu Abbas tersebut dengan objektif dan hasilnya memang benar Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] telah keliru. Salam Damai (Source)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: