Pesan Rahbar

Home » » Wahabi Penghacur Makam Keluarga Nabi Saww

Wahabi Penghacur Makam Keluarga Nabi Saww

Written By Unknown on Sunday 31 August 2014 | 20:21:00

Ibn Abdul Wahab

Pada tahun 1453, bangsa Turki menaklukkan Konstantinopel, sekarang Istanbul, dan kemudian mendirikan Kekaisaran Utsmani (Ottoman), dan melakukan ekspansi yang signifikan ke Eropa. Akan tetapi, pada tahun 1683, kampanye penaklukan dinasti ini di kawasan Eropa terhenti, ketika mereka secara meyakinkan dikalahkan di Wina. Kekaisaran telah mencapai puncak ekspansinya. Namun demikian, Kekaisaran ini masih memerintah di sejumlah besar wilayah, dan masih memegang kekuasaan di kawasan di mana kolonialisme Inggris berharap untuk menguasainya. Oleh karena itu, Inggris yang menggunakan strategi khas mereka "pecah-belah dan kuasai" (devide and rule), melalui agen Masonik mereka, berusaha untuk meruntuhkan Kekaisaran Ottoman dari dalam, yakni dengan mengadu-domba mereka untuk melawan saudara Islam mereka sendiri, yakni bangsa Arab di semenanjung.


Islam melarang seorang Muslim melawan Muslim lainnya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kemarahan orang-orang Arab terhadap saudara-saudara Turki mereka, maka perlu untuk terlebih dahulu menyusun penafsiran baru terhadap Islam yang ditujukan untuk melakukan pembunuhan namun dibenarkan dengan dalih jihad. Interpretasi baru kemudian dikenal sebagai Wahhabisme, yang didirikan oleh agen Inggris, Muhammad Abdul Wahhab.

Muhamad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1703, di sebuah kota kecil di gurun tandus, yang bernama Najd, di bagian Timur dari apa yang sekarang disebut Arab Saudi. Fakta yang menakutkan adalah bahwa nabi Muhammad (SAWW), telah menolak untuk memberkati wilayah tersebut, dan kemudian menyatakan bahwa dari situlah akan muncul hanya "fitnah, malapetaka, kekacauan dan tanduk setan". Ayah Abdul Wahhab adalah seorang hakim kepala, yang menganut mazhab Hanbali, yang secara tradisional dianut di wilayah tersebut. Namun, baik ayahnya maupun saudaranya, Sulaiman, mendeteksi tanda-tanda penyimpangan doktrinal dalam diri Abdul Wahab sejak awal. Sulaiman orang pertama yang menentang Abdul Wahab.

Setelah menempuh pendidikan agama di Madinah, Abdul Wahab melanjutkan pendidikannya di luar semenanjung, dan kemudian tiba di Basra. Dia kemudian pergi ke Baghdad, di mana ia menikah dengan seorang wanita kaya dan menetap selama lima tahun. Menurut Stephen Schwartz, dalam Two Faces of Islam (Dua Wajah Islam), "beberapa orang mengatakan bahwa selama pengembaraannya, Ibnu Abdul Wahhab terlibat kontak dengan orang Inggris tertentu yang mendorong dia untuk mencapai ambisi pribadi serta sikap kritis terhadap Islam."[1] Secara khusus, Mir'at al Harramin, sebuah karya dari Ayyub Sabri Pasha, ditulis antara 1933 dan 1938, menyatakan bahwa di Basra, Abdul Wahhab telah berhubungan dengan mata-mata Inggris bernama Hempher, yang "terinspirasi olehnya (Hempher) mengenai trik dan kebohongan yang dipelajari Hempher dari pemerintahan Persemakmuran Inggris."[2]

Detail hubungan antara Hempher dengan Abdul Wahab diuraikan di dalam suatu dokumen yang kurang dikenali, "The Memoirs of Mr. Hempher: A British Spy to the Middle East" (Memoar Mr. Hempher: Seorang Mata-mata Inggris di Timur Tengah), disebutkan bahwa telah diterbitkan dalam suatu seri di koran Spiegel Jerman, dan kemudian di sebuah koran terkemuka di Perancis. Seorang dokter Lebanon menterjemahkan dokumen ke bahasa Arab, dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dan lainnya. Memoar ini menguraikan otobiografi dari Hempher, yang mengaku telah bertindak sebagai mata-mata atas nama pemerintah Inggris, dengan misi mencari cara untuk meruntuhkan Kekaisaran Ottoman. Karena, sebagaimana dicatat oleh Hempher, dua perhatian utama dari pemerintah Inggris, berkaitan dengan koloninya di India, Cina dan Timur Tengah, adalah:
1. Mempertahankan wilayah yang telah dikuasai;
2. Merebut wilayah yang belum dikuasai, dan bersabar dalam mencapai tujuannya.

Hempher mengklaim sebagai salah satu dari sembilan mata-mata yang dikirim ke Timur Tengah untuk tujuan tersebut. Dia melaporkan, "kami mendesain rencana jangka panjang untuk mengobarkan perselisihan, kebodohan, kemiskinan, dan bahkan penyakit di negara-negara tersebut. Kami meniru adat dan tradisi dari kedua negara, sehingga dengan mudah menyembunyikan niat kami". Alasan Hempher melakukan tindakan tersebut adalah:

"Kami, orang Inggris, harus membuat kerusakan dan membangkitkan perpecahan di semua koloni kita agar kita dapat hidup dalam kesejahteraan dan kemewahan. Hanya dengan cara desakan seperti itulah kita akan mampu menghancurkan Kekaisaran Ottoman. Jika tidak, bagaimana mungkin sebuah negara dengan populasi kecil menguasai bangsa lain dengan populasi yang lebih besar di bawah kekuasaannya? Carilah celah apapun dengan segala daya, dan segeralah masuk setelah menemukannya. Anda harus tahu bahwa Kekaisaran Ottoman dan Iran telah mencapai titik nadir kehidupan mereka."

oleh karena itu, tugas pertama anda adalah menghasut rakyat melawan pemerintah! Sejarah telah menunjukkan bahwa "Sumber segala macam revolusi adalah pemberontakan umum." Ketika kesatuan umat Islam rusak dan simpati umum di antara mereka terganggu, maka kekuatan mereka akan tercerai-beraikan dan dengan demikian kita dengan mudah dapat menghancurkan mereka.

pada tahun 1710, Menteri Koloni mengirim Hempher ke Mesir, Irak, Arabia dan Istanbul, di mana ia belajar bahasa Arab, Turki dan hukum Islam. Setelah dua tahun, awalnya dia kembali ke London untuk pengarahan (briefing), sebelum dikirim ke Basra, sebuah kota campuran antara Sunni dan Syi'ah, di mana Hempher bertemu Abdul Wahhab. Menyadari kekurangajarannya terhadap Al-Qur'an dan tradisi Islam, Hempher menyadari Abdul Wahab adalah sosok ideal untuk strategi kolonialisme Inggris. Untuk memastikan karakternya yang korup, ia melakukan pernikahan temporer, yang dikenal dalam Islam sebagai pernikahan mut'ah, dan tidak dianggap sah, dengan wanita Kristen yang dikirim oleh pemerintah Inggris untuk merayu kaum pria Muslim. Dia berkata, "Kami merebut Spanyol dari orang-orang kafir [maksudnya Muslim] dengan alkohol dan percabulan. Mari kita ambil alih kembali semua tanah kita dengan menggunakan dua kekuatan besar tersebut."

Hempher kemudian ditugaskan ke Iran, dan kemudian ke Baghdad. Ia khawatir muridnya akan disadarkan oleh mereka yang lebih berpengetahuan dari dia. Jadi, Hempher meminta Abdul Wahhab untuk ikut bersamanya ke Iran, sebuah wilayah di mana Syi'ah mendominasi, dan yang menurut Hempher, masih dalam kebodohan, dan karena itu, kurang pengaruhnya bagi Abdul Wahab.

Abdul Wahab melakukan perjalanan ke Iran, wilayah Syi'ah, yang bertentangan dengan tradisinya sendiri yang Sunni, dan inilah kemudian menimbulkan kebencian yang cukup baginya dalam memahami perbedaan. Perjalanan Abdul Wahab ini hanya bisa dijelaskan bahwa dia sekedar melayani Hempher yang telah menasehatinya, "Saat anda tinggal di antara orang Syi'ah, lakukan Taqiyyah, jangan memberitahukan kepada mereka bahwa anda seorang Sunni agar mereka tidak menyusahkanmu. Manfaatkan negara dan ulama mereka! Pelajari kebiasaan dan tradisi mereka. Mereka hanyalah orang-orang bodoh dan keras kepala." Karena, seperti pernyataan Hamid Algar, dalam Wahhabisme: A Critical Essay (Wahhabisme: Sebuah Esai Kritis):

"Jika memang dia melakukan perjalanan tersebut, sekalipun dia antipati terhadap Syi'ah, motifnya untuk melakukan perjalanan tersebut tetaplah misteri. Tidak ada penyebutan nama Muhammad Abdul Wahab dari masa itu di sumber-sumber Persia, yang berarti maksud kunjungannya ke Iran diduga kuat sebagai usahanya untuk menyebarkan gagasan-gagasannya mengenai kejujuran tidak bisa diterima oleh karena secara nyata atau bahwa dia menentang dirinya sendiri dengan memanfaatkan praktek taqiyyah dari Syi'ah."[3]

Hempher kemudian dipanggil kembali ke London. Kali ini, pihak yang berwenang menyetujui kegiatan-kegiatannya, dan setuju dengan penilaiannya mengenai Abdul Wahab. Kemudian dia diberitahukan beberapa rahasia tertentu, yang sebagian besar terdapat di dalam sebuah buku seribuan halaman yang menguraikan kelemahan kaum Muslim, dan mengenai metode serta cara-cara yang dapat digunakan untuk menghancurkan kaum Muslim. Buku tersebut pun, yang memuat beberapa poin kelemahan kaum Muslim, yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, yakni antara lain: perpecahan sektarian, buta huruf, sanitasi yang buruk sehingga rentan terjangkiti penyakit. Mereka di bawah kekuasaan diktator yang tidak adil, infrastruktur yang buruk, ketidaktertiban umum, dimana aturan-aturan berdasarkan Al-Qur'an hampir tidak pernah diterapkan. Mereka berada dalam kondisi keruntuhan ekonomi, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kekuatan militernya pun lemah, dan persenjataan mereka pun sudah ketinggalan zaman atau usang. Hak-hak perempuan pun secara umum dirampas.

Buku rekomendasi ini terkait erat dengan strategi rahasia Inggris dan Amerika Serikat di Dunia Ketiga di masa abad ke-20. Direkomendasikan pula, dalam tujuan menghancurkan keunggulan dan kekuatan kaum Muslim, untuk menyebarluaskan kekurangan mereka di sisi lainnya, dengan metode: menyulut perselisihan serta mempublikasikan literatur untuk menghasut pertentangan sektarian. Menjauhkan dari pendidikan serta mempopulerkan suatu bentuk lain yang seperti tasawuf mistik (menjauhkan diri dari modernisasi dan pendidikan). Mempromosikan ide sekularisme, atau berbagai bentuk ide mengenai pemisahan agama dari urusan kenegaraan. Memperburuk kondisi perekonomian melalui sabotase. Membuat para politisi/negarawan agar terbiasa dengan pola hidup seks bebas (perzinahan), alkohol, menghabiskan waktu dalam permainan judi dan olah raga, serta mentradisikan bunga perbankan. Dan kemudian, dalam usaha menciptakan permusuhan antara generasi muda dengan penguasa serta ulama, diungkaplah prilaku korup mereka.

Demi tujuan untuk menyebarluaskan kesalahpahaman bahwa Islam adalah chauvinistik terhadap kaum perempuan, mereka harus mempopulerkan salah-tafsir atas ayat Al-Qur'an dengan menyatakan, "kaum laki-laki dominan (berkuasa) terhadap perempuan" (lihat pengertian yang sebenarnya di QS. An-Nisa' [4]:34), serta menyatakan, "kaum perempuan adalah sumber kejahatan". Yang paling penting, mereka harus memperkenalkan fanatisme di kalangan umat Islam, dan kemudian mengkritik Islam sebagai agama teror.

Cara paling populer untuk melakukan kejahatan tersebut adalah dengan menempatkan mata-mata sebagai pembantu atau penasehat negarawan Muslim, atau melalui budak atau selir untuk dijual kepada kerabat dekat mereka. Proyek Misionaris harus diarahkan untuk mampu menembus semua kelas sosial masyarakat, terutama melalui bidang kedokteran, teknik, dan pembukuan. Publikasi propaganda diterbitkan melalui gereja, sekolah, rumah sakit, perpustakaan serta lembaga-lembaga amal di negara-negara Islam. Jutaan buku Kristen tersebut diserbaluaskan secara gratis. Mata-mata menyamar sebagai biarawan atau biarawati, dan ditempatkan di gereja-gereja serta biara, dan ditunjuk sebagai pemimpin gerakan Kristen.

Kemudian, administrator Inggris memutuskan untuk datang langsung menemui Abdul Wahab. Abdul Wahab setuju untuk bekerja sama, namun dengan syarat-syarat tertentu. Persyaratannya adalah dia minta didukung dengan biaya serta persenjataan, yang akan digunakannya untuk melindungi dirinya dari para penguasa serta ulama setelah dia menyatakan ide-idenya. Dan juga menyangkut penentuan azas kenegaraan yang akan ditegakkannya di negara asalnya.

Hempher bergabung dengan Abdul Wahab di Najed, yang telah menyatakan kewajiban sebagai Muslim, bahwa semua yang tidak mengikutinya adalah kafir, dan mengumumkan bahwa diperbolehkan membunuh mereka, merampas harta benda mereka, melanggar kesucian mereka, dan memperbudak mereka serta menjualnya di pasar budak. Dia membangkitkan ketidakpatuhan kaum Muslim terhadap Sultan di Istanbul, dan memprovokasi pemberontakan melawan kekuasaan. Dia pun menyatakan bahwa semua situs suci sebagai berhala, dan penghormatan terhadap situs-situs suci tersebut sama saja dengan keyakinan politeistik dan kemurtadan, dan bahwa semua situs-situs tersebut harus dihancurkan. Dia melakukan dengan baik semua bentuk penghinaannya terhadap Nabi Muhammad (SAWW), para Khalifah, serta tokoh ulama dari berbagai mazhab, serta berbagai madrasah. Akhirnya, dia berhasil membangkitkan pemberontakan, penindasan serta anarki di negeri-negeri Muslim.

Sudah tentu, reformasi yang dirancang Inggris tersebut melalui mulut Abdul Wahab, didesain untuk menghasut umat Islam untuk saling menentang dan bermusuhan satu-sama lainnya, dan khususnya, terhadap Kekaisaran Ottoman. Jadi, meskipun masalah yang mendasar adalah masuknya kekuasaan Non-Muslim di negeri-negeri Muslim, Abdul Wahab berusaha mengalihkannya dengan mengidentifikasikan kesalahan kaum Muslim, yang mana sesuai dengan rencananya, yakni kebiasaan kaum Muslim berziarah mengunjungi makam-makam memohon "syafa'at" dari orang-orang suci.

Umat Muslim mempunyai tradisi berziarah ke makam-makam orang suci, dan berdoa melalui perantara orang-orang suci tersebut. Demi memenuhi kewajibannya kepada Inggris, Abdul Wahab menggunakan dalih bahwa dengan meminta bantuan dari selain Allah, mereka benar-benar telah menyembah orang-orang suci tersebut, dan tindakan bodoh tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari Islam dan menjadi murtad. Ini adalah dalih yang digunakan oleh Inggris, melalui Abdul Wahab, untuk menghasut orang-orang Arab melawan orang Turki.

Untuk menguatkan argumennya, Abdul Wahab menyatakan bahwa dunia Islam telah terperosok ke dalam kebodohan sehingga tidak ada bedanya dengan umat sebelum kedatangan Islam. Ada beberapa ayat di dalam Al-Qur'an (lihat QS. Ad-Dukhaan [44]) di mana Tuhan meminta kaum munafik agar memohon kepadaNYA di saat mereka menghadapi bencana, namun di saat mereka telah terlepas dari bencana, mereka kembali tidak beriman. Abdul Wahab menyatakan, bahwa umat Islam sama saja, meskipun mereka bersikeras menyatakan bahwa hanya menyembah Allah SWT namun mereka pun menyembah berhala. Dengan demikian, tergenapilah nubuat Nabi Muhammad (SAWW), yang telah memperingati bahwa akan datang suatu kaum bodoh dimana ayat-ayat Al-Qur'an disalahtafsirkan oleh mereka (Lihat hadits-hadits mengenai nubuat kemunculan tanduk setan dari Najed di HR. Bukhari, HR. Muslim, HR. Thabrani, Musnad Ahmad, Sunan Nasai).


» Part #2/3:
IBNU TAIMIYAH.


Kehidupan Ibnu Taimiyah ditandai dengan berbagai bentuk penganiayaan. Pada awal tahun 1293, dia terlibat pertikaian dengan penguasa karena memprotes hukuman, yang berdasarkan hukum agama, terhadap orang Kristen yang didakwa telah menghina Nabi. Pada tahun 1298, ia melakukan kritik legitimasi pembentukan majelis ulama Islam dari empat mazhab, dan dia mempropagandakan keyakinan antropomorfisme, yakni memberikan atribut atau karakteristik manusia kepada Allah (SWT), yang tidak pernah dianut sebelumnya dalam tradisi Islam. Ibnu Batutah, seorang pengembara dan penulis sejarah, melaporkan bahwa di saat Ibnu Taimiyah sedang berkhotbah di masjid, ia berkata, "Allah turun ke langit dunia ini sama seperti aku turun sekarang." dan dia memperagakan bagaimana dia turun selangkah dari mimbar.[4]

Pendapat mengenai Ibnu Taimiyah sangat variatif. Bahkan penentangnya, seperti Taqiuddin al-Subki berkata, "secara pribadi, saya kagum dengan kesalehannya. dalam upaya tanpa pamrihnya mencari kebenaran dan menuju kesempurnaan, yang bisa diteladani yang tak ada tandingannya baik di masa ini maupun di masa lalu."[5] Namun, dikecam oleh muridnya sendiri, seorang sejarawan dan ulama, Ad-Dhahabi, yang berkata, "Beruntunglah mereka yang mencari-cari kesalahannya sendiri. Celakalah mereka yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan orang lain. Sampai kapan engkau akan terus memperhatikan kotoran kecil di mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di matamu sendiri?!"[6] Menyangkut ketidakmampuan Ibnu Taimiyah menguasai dirinya, Ibnu Batutah menyebut Ibnu Taimiyah sebagai “fi aqlihi syaiun” (pikirannya guncang).[7]

Selama invasi bangsa Mongol di tahun 1299-1303, dan terutama sekali di saat pendudukan Damaskus oleh bangsa Mongol, Ibnu Taimiyah memimpin kelompok perlawanan, dan mencela iman para penjajah, sekalipun mereka telah memeluk Islam. Sewaktu invasi bangsa Mongol, Ibnu Taimiyah tinggal di Harran, pusat komunitas kaum Sabian, dan sangat besar kemungkinannya Ibnu Taimiyah terpengaruh oleh keyakinan kaum Sabian. Teks-teks Sabian menguraikan mengenai pandangan antropomorfik dari Adam kosmik, dengan cara yang mirip dengan ide Kabbalistik Shiur Khomah. Selama tahun-tahun berikutnya, Ibnu Taimiyah terlibat polemik yang intens dengan kaum Sufi dan Syi'ah. Pada tahun 1306, dia dibawa ke hadapan dewan gubernur untuk menjelaskan keyakinannya, yang sekalipun dia tidak dikecam, namun dia dibuang ke Kairo. Di Kairo, Ibnu Taimiyah menunculkan kembali ide antropomorfisme dan akhirnya dipenjara selama 18 bulan.

Jika Ibnu Taimiyah ingin menyampaikan gagasan tertentunya, sebagaimana lazimnya di kalangan Ismaili, dia menyampaikanya secara rahasia hanya kepada murid-murid pilihannya atau murid yang sudah level tinggi. Abu Hayyan, yang mengenali Ibnu Taimiyah secara personal, menghormati Ibnu Taimiyah, hingga dia diminta melakukan tugas dimana Ibnu Taimiyah menguraikan deskripsi Tuhan yang antropomorfik.[8] Buku tersebut telah diketahui isinya oleh orang yang menyusup berpura-pura menjadi pengikut Ibnu Taimiyah, yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi "lingkaran dalam" pengikut Ibnu Taimiyah. Hal ini memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah mempunyai doktrin yang dinyatakan secara umum, dan ada pula doktrin yang lebih esoteris dan eksklusif yang mirip dengan doktrin dan ritus okultisme yang hanya diungkapkan kepada orang-orang tertentu saja.

Penolakan Ibnu Taimiyah terhadap penghormatan pada orang-orang suci dipandang sebagai upaya memurnikan tauhid Islam. Pilar keyakinan Islam adalah monoteisme. Islam memulai pesannya dengan berhadapan dengan paganisme bangsa Arab, dan menyerukan untuk kembali menyembah Tuhan Yang Mahaesa, sebagaimana yang diajarkan para Nabi di Perjanjian Lama. Oleh karena itu, menyembah benda atau mahluk selain Allah (SWT) dinilai sebagai murtad. Ide inilah yang dikembangkan oleh Abdul Wahab ke arah ekstrim.

» Part #3/3:
KELUARGA SAUD


Akhirnya, Kementerian Persemakmuran Inggris mendapatkan dukungan bagi Abdul Wahab dari Muhammad Ibn Saud, Amir (penguasa) Dariyah. Di antara mereka telah disepakati bahwa kekuasaan diselenggarakan dan dipegang oleh keturunan Saud, yang bertindak sebagai otoritas politik, serta Abdul Wahab memegang kekuasaan dan otoritas kultus/keagamaan. Keluarga Saudi adalah salah satu keluarga Illuminati yang terpenting, yang secara rahasia adalah keturunan Yahudi, seperti halnya sahabat mereka, Doenmeh di Turki. Menurut Muhammad Sakher, yang telah diperintahkan dibunuh oleh karena mengungkapkan bahwa meskipun Ibn Saud memberi kesan sebagai pendukung dan pengikut Abdul Wahab, sejatinya mereka adalah keturunan Yahudi. Sebagaimana pembelaan Sakher, pada abad ke-15, seorang pedagang Yahudi dari Basra, bernama Mordechai, berimigrasi ke Hijaz, menetap di Dariyah, kemudian mengaku berasal dari suku Aniza, dan memperkenalkan dirinya sebagai Markan bin Dariyah.[9]

Suku Aniza, yang adalah suku keluarga Saud, seperti halnya keluarga Sabah penguasa di Kuwait, terdokumentasikan di berbagai riwayat adalah keturunan dari bangsa Yahudi, yang diduga terpaksa memeluk Islam. Lebih khusus lagi, Aniza dikaitkan sebagai cikal-bakal European Witch Cult, melalui seorang yang bernama Abu Al-Atahiyya. Legenda ini dipopulerkan oleh Gerald Gardner, pendiri Modern Cult of Wicca. Gardner adalah sahabat karib dari Aleister Crowley, seorang Co-Freemason, cabang tidak resmi dari French Masonry, yang didirikan oleh Annie Besant, yang dikenal sebagai perempuan peringkat ke-33.


Gardner juga merupakan sahabat dari guru penipu yang terkenal, Idris Shah, yang buku sufismenya adalah samaran dari Luciferianisme. Idris Shah mendeskripsikan bahwa Darwis "Maskhara" adalah yang dikenal juga sebagai "the Revellers" dan "the Wise Ones", yang dipimpin oleh Abu Al-Atahiyya. Nama Aniza, menurutnya, adalah kambing dan Al-Atahiyya dikenang sebagai "the Revellers" yang mempunyai simbol sebuah obor yang menyala di antara tanduk kambing, yang dikiaskan sebagai Baphomet dari para Templar. Setelah kematian Atahiyya, sekelompok pengikutnya berimigrasi ke Moor Spanyol.[10]

Di awal abad ke-18, suku Aniza telah mencapai gurun Suriah dimana mereka menjadi suku yang kuat dan berpengaruh. Seorang pengembara Jerman, Carlsten Niebuhr, di tahun 1761, menyebut suku Aniza sebagai suku terkuat di Gurun Suriah. Di masa sekarang ini, suku Aniza adalah suku terbesar yang tinggal di Yordania, Arab Saudi, dan Kuwait.

Keluarga Saud umumnya adalah bandit. Prilaku kriminal merekalah yang menyebabkan mereka berhadapan dengan kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Hal ini, tentu saja, sebagaimana dicatat oleh Schwartz, "menyebabkan mereka cenderung bersekutu dengan Inggris, yang menguasai bagian terkaya dan berharga di semenanjung Arab: di sepanjang pesisir Emirat, mulai dari Kuwait hingga Aden."[11] Di tahun 1746, aliansi Saudi Wahabi mendeklarasikan "kafir" terhadap semua orang yang menentang atau tidak sepaham dengan pemahaman mereka mengenai Islam, serta memproklamirkan "jihad" terhadap penentang mereka, yang sebenarnya hanyalah untuk menghalalkan praktek lama mereka, yakni menjarah.

Di dalam Islam, adalah tuduhan yang sangat serius bila menuduh seorang Muslim telah murtad. Dalam sebuah hadits, dijelaskan bahwa bila seseorang menuduh murtad terhadap orang lain, maka sesungguhnya sang penuduh yang sebenarnya telah murtad. Peringatan tegas ini rupanya tidak menghalangi Abdul Wahab untuk menyebut orang-orang Islam yang menentang "reformasinya" sebagai kafir.

Di tahun 1746, di saat Abdul Wahab belum beraliansi dengan Ibn Saud, dia mengirim delegasi sebanyak 30-an orang ke Syarif Mekkah, meminta izin untuk dirinya dan para pengikutnya untuk melaksanakan ibadah Haji. Para Syarif menyadari motif tersembunyi dari Abdul Wahab, yakni yang ingin memanfaatkan ibadah haji untuk menyebarkan ajarannya, sehingga mereka mendiskusikan hal tersebut dengan para ulama di Mekkah dan Madinah. Utusan Abdul Wahab gagal mempertahankan pandangan mereka, dan oleh Qadhi (hakim ketua) Mekkah, dengan tidak menyebut mereka sebagai kafir, mereka dinyatakan tidak dibenarkan untuk menyatakan seseorang sebagai kafir.[12]

Sejak saat itu, gerakan Wahabi ditandai dengan kedengkian dan kebencian terhadap kaum Muslim, meskipun yang nyata-nyata kafir, yakni Inggris, menimbulkan gangguan dan masalah di wilayah mereka. Termotivasi oleh masalah mereka di India, pada tahun 1755, Inggris melakukan upaya untuk memisahkan Kuwait dari Kekaisaran Ottoman namun gagal. Sepuluh tahun kemudian, Muhammad ibn Saud mati dan anaknya, Abdul Aziz, menjadi penguasa Dariyah. Selama dua dekade berikutnya, gerakan Wahabi memperluas wilayah pengaruh mereka, sejalan dengan infiltrasi Inggris di kawasan. Pada tahun 1775, Inggris sekali lagi melakukan gerakan melawan Kuwait, demi mengamankan dan melindungi jalur korespondensi mereka di kawasan, dan upaya ini kembali digagalkan oleh Kekaisaran Ottoman.

Di Tahun berikutnya, Abdul Wahab mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin umat Muslim sedunia, dan berhadapan langsung dengan kekuasaan Sultan di Istanbul, serta memperkuat deklarasinya dengan fatwa seruan melaksanakan "jihad" melawan Kekaisaran Ottoman. Dan, pada 1788, secara signifikan, Abdul Aziz ibn Saud, didukung oleh kekuatan Inggris, menyerang dan menduduki Kuwait.

Pada tahun 1792, Abdul Wahab mati, maka Abdul Aziz serta-merta diasumsikan sebagai pemimpin gerakan Wahabi, yang kemudian memperluas serangan mereka di tahun-tahun berikutnya ke Madinah, dan wilayah Suriah dan Irak. Pada tahun 1801, kaum Wahabi menyerang Karbala, kota suci kaum Syi'ah, di Irak, membantai ribuan warganya. Mereka merusak dan menjarah makam Imam Hussain (AS), cucu Nabi Muhammad (SAWW). Akibatnya, pada tahun 1803, Abdul Aziz dibunuh, yang sangat kuat dugaan dilakukan oleh seorang Syi'ah yang menuntut balas dendam. Anaknya, Saud ibn Abdul Aziz menggantikannya. Setelah menyerang Karbala, kaum Wahabi bergerak menyerang Mekkah. Gubernur Mekkah gagal merundingkan perdamaian, dan terpaksa mundur ke benteng di kota Thaif, dimana dia dikejar oleh 10.000-an Wahabi.

Di saat penaklukan Thaif, Wahabi menghancurkan semua makam suci dan pemakaman, dan kemudian menghancurkan masjid dan madrasah. Bahkan Al-Qur'an yang telah mereka hancurkan, sampul kulitnya mereka ambil dan lalu mereka pergunakan sebagai sandal. Al-Zahawi, seorang sejarawan pada masa itu, menjelaskan:

Mereka membunuh siapa saja yang mereka lihat, membantai orang dewasa maupun anak kecil, penguasa maupun rakyat jelata, orang miskin mapun kaya. Mereka mulai dengan menyusu di payudara seorang ibu, kemudian ke kelompok orang yang sedang belajar Al-Qur'an, membantai mereka semua, hingga orang terakhir yang terlihat hidup. Kemudian, mereka menyapu bersih orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah, lalu mereka ke jalan-jalan, pasar, dan masjid, membunuh siapapun yang mereka temukan di sana. Mereka bahkan tetap membunuh orang yang bersujud memohon ampun, hingga mereka hanya menyisakan sekitar 20-an orang tetap hidup di kota Thaif.

Ada sebuah tempat persembunyian di Bait al-Fitni yang juga sebagai arsenal tempat penyimpanan amunisi, namun tidak bisa diakses bahkan didekati oleh kaum Wahabi. Ada juga kelompok lain di Bait al-Far sekitar 270 orang yang bertempur melawan para Wahabi tersebut. Di hari kedua dan ketiga, kaum Wahabi memberi jaminan pengampunan bila mereka menyerah, padahal sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Mereka akhirnya menyerah, namun di saat itulah Wahabi merampas semua senjata mereka dan membantai mereka. Beberapa orang yang dibiarkan tetap hidup, lalu membuang mereka di lembah Waj bersama kaum perempuan, dibiarkan diterjang dingin salju dalam keadaan tanpa alas kaki dan telanjang bulat, suatu tindakan yang tidak bermoral dan menodai kesucian kaum perempuan. Kaum Wahabi selanjutnya menjarah dan merampas seluruh isi rumah.

Kaum Wahabi membuang buku-buku ke jalanan, beberapa di antaranya adalah Al-Qur'an, kitab-kitab hadits serta kitab hukum Islam. Buku-buku dan lembaran-lembaran kitab yang bertumpuk di jalanan dibiarkan berhari-hari dan diinjak-injak oleh para Wahabi. Tidak ada seorang pun Wahabi yang memungut lembaran-lembaran Al-Qur'an demi menyelamatkannya. Akhirnya, mereka menghancurkan dan meratakan semua rumah-rumah.

Kemudian, kaum Wahabi memasuki kota suci Mekkah. Ghalib, syarif kota tersebut, menolak mereka, namun kaum Wahabi menyerang dan kemudian menuju Medinah. Saud ibn Abdul Aziz berkata kepada orang-orang, "tidak ada jalan lain bagi kalian selain menyerah. Aku akan membuat kalian menangis dan membinasakan kalian sebagaimana yang kami lakukan terhadap penduduk Thaif." Di Medinah, mereka menjarah harta warisan Nabi Muhammad (SAWW), termasuk kitab-kitab, karya seni, serta peninggalan berharga lainnya yang telah dikumpulkan selama lebih dari seribu tahun. Akhirnya, sambil mengendalikan kedua kota suci tersebut, mereka memberlakukan versi Islam mereka, seperti melarang melakukan ziarah, melarang melaksanakan ibadah haji, menutup Ka'bah dengan kain hitam kasar, dan mulai melakukan penghancuran tempat-tempat suci serta pemakaman.

Kaum Wahabi melakukan pengrusakan dalam perlawanan terhadap Kekaisaran Ottoman, sebagai upaya pengabdian mereka terhadap kepentingan Inggris. Selama periode ini, Inggris memperoleh bagian Tenggara Arabia dan Oman, serta kedaulatan terhadap Zanzibar di Afrika dan di sebagian pantai Iran serta wilayah pesisir sekitarnya. Inggris akhirnya melanjutkan ekspansi kolonialnya ke bagian Utara dari wilayah Uni Emirat Arab. Inggris pun merebut kekuasaan di Aden, di pantai Selatan Yaman. Meskipun Inggris, yang nyata-nyata kafir, oleh Wahabi dibiarkan saja menaklukan jazirah Arab, dan mereka mengalihkan isu tersebut dengan melontarkan perjuangan "jihad" mereka melawan Islam.

Kaum Wahabi terus melakukan kekejaman mereka di Arabia hingga tahun 1811, sampai kemunculan Muhammad Ali Pasha, raja muda Mesir, yang ditugaskan oleh Kekaisaran Ottoman untuk mengatasi ulah keji Wahabi. Dia menunjuk putranya, Tosun Pasha, sebagai komandan, namun pasukannya secara telak dikalahkan. Ali Pasha akhirnya memegang sendiri komando, dan di tahun 1812, menyapu seluruh Arabia, menghancurkan dominasi Wahabi di kawasan tersebut. Dua orang paling terkutuk dari Wahabi, Utsman al-Mudayiqi dan Mubarak ibn Maghyan, dikirim ke Istanbul, diarak sepanjang perjalanan, hingga akhirnya dieksekusi.

Muhammad Ali Pasha

Ali Pasha juga mengirim pasukan di bawah komando putra keduanya, Ibrahim Pasha, untuk membasmi kaum Wahabi di Suriah, Irak dan Kuwait. Orang-orang Arab yang telah sangat menderita di bawah kekuasaan kaum Wahabi, bergabung bersama pasukan Ali Pasha, bangkit melakukan pemberontakan. Pada tahun 1818, benteng Wahabi di Dariyah, direbut dan dihancurkan, meskipun beberapa orang kerabat Saudi mendapat perlindungan dari Inggris di Jeddah. Saud bin Abdul Aziz mati karena sakit pada tahun 1814, namun ahli warisnya, Abdullah bin Saud, dikirim ke Istanbul, dan dieksekusi bersama kaum Wahabi lainnya. Sisa dari klan Wahabi dipenjara di Kairo.

Pemakaman Jannatul Baqi sebelum dihancurkan Iblis Ibnu Saud.


Pemakaman Jannatul Baqi pada saat ini

Setelah mengalami kekalahan telak, sisa-sisa kaum Wahabi berhimpun kembali di Najed, lalu mendirikan ibukota di Riyadh. Dalam beberapa dekade, kaum Wahabi mulai melakukan ekspansi baru, sebagaimana dicatat oleh Hamid Algar, "adalah suatu kebetulan yang akhirnya membawa keluarga Saud terlibat kontak kerja sama aktif dengan Inggris, yang tidak hanya mencari cara untuk mengkonsolidasikan dominasi mereka di Teluk Persia, namun juga mulai meletakkan rencana awal mengikis Kekaisaran Ottoman.

Benteng Dariyah.

... to be continued ...


Catatan Kaki:
[1] Two Faces of Islam, p. 74.
[2] Ayyub Sabri Pasha: Part Two: The Beginnings and Spread of Wahhabism
[3] p. 12-13.
[4] Rihla, quoted from Little, “Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose”, Studia Islamica XII (1975). p. 95.
[5] quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", p. 100
[6] al Nasiha al Dhahabiyya li Ibn Taymiyya, quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose", p. 100
[7] Rihla, quoted from Little, "Did Ibn Taymiyya Have a Screw Loose". p. 95.
[8] Nuh Ha Mim Keller, The Re-Formers of Islam. "Question 3 Re-Forming Classical Texts"
[9] Lihat tulisan terpisah "Dinasti Saudi: Dari manakah asal mereka? Siapa leluhur sejati mereka?"
[10] Lihat tulisan terpisah "Who The Hell Is Baphomet, And Why Am I Kissing Her Arse?"
[11] Two Faces of Islam, p. 82.
[12] Algar, Hamid. Wahhabism: A Critical Essay, p. 23.

Terjemahan bebas dari: TERRORISM & ILLUMINATI

________________________________

Orang-orang Arab Badui itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:97)

Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagai suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah[9]:98)

Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. (QS. At-Taubah [9]:101)

________________________________

(Conspiracy-School/Muhri-Kaizi-Blogspotcom/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: