Pesan Rahbar

Home » , , , , » HARI-HARI TERAKHIR RASULULLAH (kisah tentang para sahabat setianya) dan pemakaman Fatimah

HARI-HARI TERAKHIR RASULULLAH (kisah tentang para sahabat setianya) dan pemakaman Fatimah

Written By Unknown on Sunday 31 August 2014 | 19:54:00


AIR MATA DARI RASUL TERCINTA.

Seberapa besarkah cinta anda padanya?
Waktu itu muncul secara tiba-tiba seseorang mengucapkan salam. Kemudian ia berkata, “Bolehkah saya masuk?”. Ia meminta ijin untuk masuk. Akan tetapi Fathimah binti Rasulillah tidak berkenan dirinya masuk.  Beliau tidak mengijinkan orang itu untuk masuk sambil berkata dengan lemah lembutnya, “Ma’afkan saya. Anda tidak boleh masuk ke dalam karena ayah saya kebetulan sedang sakit”. Fathimah kemudian berpaling dan menutup pintu dari dalam rumah.

Fathimah kembali ke pembaringan dimana ayahnya sedang terbaring sakit. Ayahnya yang tercinta membuka matanya dan bertanya kepada Fathimah, “Siapa tadi, wahai anakku?”

“Aku tidak tahu, ayah. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, ayah”, Fathimah menjawab dengan lembutnya.

Kemudian Rasulullah menatap wajah puterinya itu dengan tatapan bergetar seolah-olah ia hendak mengingat-ingat setiap lekuk wajah puterinya itu. “Ketahuilah satu hal, anakku! Dialah yang akan menghilangkan semua kesenangan yang fana ini; dialah yang hendak memisahkan hubungan kekerabatan dan pertemanan di dunia ini. Dialah malaikat pencabut nyawa”, Rasulullah menjelaskan pada puterinya.

Demi mendengar itu Fathimah terhenyak seolah-olah mendengarkan sebuah bom yang diledakkan di dekatnya. Tangisan Fathimah meledak. Ia menangis tersedu-sedu dan tidak pernah tangisan dirinya itu, sepilu dan sepedih itu. Rasulullah kemudian menyuruh puterinya itu untuk mempersilahkan masuk sang malaikat pencabut nyawa itu. Kemudian ia masuk ke rumah. 

Malaikat pencabut nyawa (Izrail) datang menuju tempat dimana jasad Rasulullah terbaring lemah. Rasululah bertanya mengapa Jibril tidak datang bersama dengannya. Kemudian Jibril pun dipanggil dan datang. Jibril telah siap menyambut kedatangan Rasulullah di langit. Jibril sudah siap menyambut ruh suci dari kekasih Tuhan yang pernah memimpin dunia dengan keadilan, kebenaran, dan penuh kelembutan. 

“Wahai Jibril. Jelaskanlah kepadaku apa hak-hak yang akan aku dapatkan dari Allah?”, Rasulullah bertanya kepada Jibril dengan nada bicara yang sangat lemah.

“Pintu-pintu langit akan terbuka dan para malaikat akan berbaris rapi menyambut kedatangan ruh sucimu. Surga akan memanggil-manggilmu dan tidak sabar akan kedatanganmu”, Jibril berkata. Semua perkataan Jibril itu seolah-olah sama sekali tidak membuat Rasulullah tenang karena masih terlihat kedua mata Rasulullah menyimpan kekhawatiran yang mendalam. 

“Tuanku, apakah engkau tidak berbahagia dengan berita ini?”, tanya Jibril.
“Ceritakan kepadaku nasib dari umatku nanti di masa yang akan datang!”
“Janganlah kau khawatir, tuanku, ya Rasulullah! Aku telah mendengar Allah berfirman: Aku akan haramkan surga untuk setiap orang kecuali setelah umat Muhammad masuk kedalamnya“, Jibril mencoba menenangkan.

Waktu merambat makin dekat dan makin dekat. Waktu untuk mencabut ruh suci sang Nabi makin dekat. Izrail sebentar lagi akan menunaikan tugasnya. Dengan perlahan dan hati-hati ruh suci Nabi ditarik. Tubuh Rasulullah mulai mencucurkan keringat; urat lehernya menegang. 

“Jbril, ternyata yang namanya sakaratul maut itu sakit sekali”, Rasulullah berkata dengan gumaman lemah. Fathimah, puteri Rasulullah menutup kedua matanya menahan kesedihan yang teramat sangat. Imam Ali (as.) duduk di dekat Fathimah mendudukan kepalanya dalam-dalam; sementara itu Jibril memalingkan mukanya tidak kuat melihat pemandangan yang sangat mengharukan itu. 

“Apakah aku tampak menjijikan bagimu, wahai, Jibril. Sehingga engkau memalingkan wajahmu dariku?’, Rasulullah bertanya kepada sang penyampai wahyu. “Siapakah gerangan orangnya yang sanggup dan kuat melihat kekasih Allah sedang menghadapi sakaratul maut. Oleh karena itu aku memalingkan wajahku darimu, wahai tuanku”, Jibril berkata. 

Tidak berapa lama berselang, Rasulullah mengeluarkan suara dari tenggorokkannya karena rasa sakit yang teramat sangat. 

“Ya, Allah. Betapa sakitnya sakaratul maut ini. Berikanlah rasa sakit ini kepadaku semuanya dan jangan berikan sedikitpun kepada umatku”. Tubuh Rasulullah kemudian terasa dingin; kedua kakinya dan dadanya tidak bisa lagi digerakkan. Bibir mulia beliau bergetar seolah-olah ingin mengutarakan sesuatu. Imam Ali (as.) mendekatkan telinganya ke arah mulut beliau yang suci. Rasulullah berbisik: “Ushiikum bis salati, wa maa malakat aimanuku” (jagalah shalat dan urusilah urusan orang-orang lemah yang ada di sekitarmu)”.

Di luar ruangan terdengar tangisan sahut menyahut; tangisan yang satu disusul oleh tangisan yang lain–lebih keras dan lebih keras. Para sahabat Nabi saling berpegangan tangan satu sama lain seolah-olah ingin memperkuat dan menghibur hati sahabatnya yang lain.  Fathimah binti Muhammad, puteri Nabi, menutupi wajahnya yang basah dengan air mata yang bercucuran sejak tadi. Imam Ali sekali lagi mendekatkan telinganya ke dekat mulut Rasulullah yang sekarang sudah tampak membiru.

“Ummati, ummati, ummati”, (Ummatku, ummatku, ummatku) (dengan kalimat itu Rasulullah berwasiat agar Ali bin Abi Thalib mengurusi urusan umat Muhammad sepeninggal beliau). Setelah mengucapkan kalimat itu, Rasulullah pun berangkat menuju kekasihnya dengan tenang. Innalillahi wa inna ilayhi roji’un.


DAPATKAH KAMI MEMBALAS CINTAMU WAHAI MUHAMMAD-KU?
Allahumma Shali ‘Ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad (Ya, Allah curahkan shalawat dan salam kepada Muhammad dan juga kepada keluarga Muhammad)

Berapa besar dan dalamkah cinta Rasulullah kepada kita? Sesungguhnya, Rasulullah-lah yang lebih pantas kita cintai daripada apapun di dunia ini seperti yang diceritakan dalam sebuah riwayat di bawah ini. 

Thawban, sahabat yang setia
Thawban adalah salah seorang budak belian yang telah dibebaskan oleh Rasulullah. Ia selalu bersama Rasulullah baik itu ketika Rasulullah ada di rumahnya maupun ketika beliau sedang melakukan perjalanan. Setelah Rasulullah meninggal, ia tetap berdiam diri di rumahnya di Syiria selama bertahun-tahun dan kemudian ia pindah ke Mesir untuk tinggal di sana juga selama beberapa tahun lamanya. Ia berada di Mesir ketika pasukan Muslimin menguasai Mesir. Thawban meninggal pada usia 51 tahun.

Diceritakan dalam beberapa riwayat bahwa dirinya itu sangat mencintai Rasulullah (saaw.); begitu cintanya hingga dirinya hampir tidak sanggup kehilangan Rasulullah walaupun hanya beberapa saat saja. Pada suatu ketika Rasulullah melihat Thawban dalam keadaan bersedih hati tampak dari wajahnya yang kusam dan muram. Ia kelihatan tampak lemah dan tidak bertenaga. Rasulullah bertanya pada dirinya, “Hai, Thawban! Ada apakah gerangan dengan dirimu sehingga tampak muram dan kusam wajahmu?”. Thawban menjawab dengan penuh kesopanan, “Ya, Rasulullah! Aku tidak sedang sakit juga tidak sedang mengalami rasa sakit sedikitpun, akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal  pikiranku. Aku khawatir dengan kedekatan dirimu dengan Allah. Aku mungkin nanti akan kehilangan kesempatan untuk masuk surga; sedangkan dirimu itu akan berada di sana, di tempat yang tinggi, malah. Aku sendiri walau masuk surga misalnya, tempat kedudukanku tidak akan setinggi kedudukanmu. Aku akan berada di tempat yang rendah di sana. Oleh karena itu, kemungkinan aku tidak bisa berjumpa dengan dirimu. Itulah yang merisaukan pikiranku selama ini. Aku tidak sanggup dan tidak kuat kalau aku tidak bisa lagi melihat wajah sucimu”.

Pada saat itulah turun sebuah ayat kepada Rasulullah. Ayat itu berbunyi:
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An-Nisaa: 69) [lihat Bihar al-Anwar, vol. 2, 68]

“Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya aku sangat mencintai dirimu!”

A’isyah melaporkan dalam sebuah riwayat bahwa seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata kepada beliau, “Ya, Rasulullah! Sesungguhnya, aku ini sangat mencintaimu. Malah kecintaanku padamu ini melebihi dari kecintaanku pada keluargaku sendiri. Aku lebih mencintaimu daripada aku mencintai anak-anakku. Apabila aku sedang berada di rumah dan aku sedang memikirkan dirimu, maka aku tidak bisa menahan diriku hingga aku bisa datang menemuimu dan memandang wajah dirimu yang suci itu. Apabila aku sedang berpikir tentang kematianku dan kematianmu, aku tahu bahwa engkau nantinya akan masuk ke surga dan engkau akan ditempatkan di tempat yang tinggi–tempat yang paling baik untuk para nabi. Tapi apabila aku masuk surga, aku takut dan bertanya-tanya: ‘Apakah aku akan bisa bertemu dengan dirimu?'”

Rasulullah tidak berkata-kata. Beliau terdiam. Beliau terdiam hingga Jibril menyampaikan sebuah ayat yang diturunkan oleh Allah untuk disampaikan kepada Rasulullah. Ayat itu berbunyi:
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shidiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An-Nisaa: 69)
[lihat: Silsilat al-Ahadith as-Sahihah; #2933)


RASULULLAH BERSAMA ENAM SAHABAT SETIANYA
Pada tahun ketiga setelah Hijrah, beberapa orang dari suku Ozal dan Qarih yang bermukim di sekitar kota Mekah (dan tampaknya masih memiliki kesamaan asal-usul dengan orang-orang Qurays) datang menemui diri Rasulullah (saaw.) yang mulia dan berkata, “Ya, Rasulullah! Beberapa orang dari suku kami telah memilih Islam dan memeluk Islam sebagai agama mereka. Sekarang perkenankanlah kami untuk meminta kepada tuan agar sudi untuk mengirimkan beberapa orang Muslim kepada kami untuk mengajari kami tentang agama Islam, tentang Al-Qur’an ul-Karim, tentang ajaran dan aturan serta hukum-hukum Islam”. 

Demi mendengar ini, Rasulullah yang mulia (saaw.) memilih enam sahabatnya untuk pergi dengan perwakilan dari suku Ozal dan Qarih itu. Pemimpin dari enam orang sahabat itu ialah Marand bin Abi Marthad atau Asim bin Sabit.

Rasulullah (saaw.) kemudian mengirimkan sekelompok utusannya yang terpilih untuk berangkat dengan perwakilan dari suku tersebut meninggalkan kota Medinah. Mereka berjalan meninggalkan kota Medinah hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pemukiman suku Hozail dan mereka beristirahat di sana. Para sahabat Rasulullah yang diutus itu beristirahat dan melepaskan lelah di sana sambil mengumpulkan tenaga untuk meneruskan perjalanan. Tiba-tiba ketika mereka sedang beristirahat sekelompok orang dari suku Hozail datang dan menyerang mereka dengan sebilah pedang terhunus di tangan. 

Dengan segera para utusan Rasulullah itu menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka dengan cepat bergegas menjemput senjata-senjata yang mereka bawa untuk mempertahankan diri mereka. 

Para penyerang para utusan Rasulullah itu berjanji bahwa mereka tidak memiliki maksud untuk membunuh akan tetapi bermaksud untuk menyerahkan mereka kepada orang-orang Qurays di kota Mekah untuk mendapatkan bayaran uang. Mereka telah memiliki kesepakatan dengan orang-orang Mekah. Tiga orang dari mereka termasuk Asim bin Sabit menjawab, “Kami tidak bisa menerima perlakuan kaum Musyrikin”. Akhirnya para utusan Rasulullah itu balik menyerang dan bertempur habis-habisan hingga akhirnya mereka menemui kesyahidan. 

Sementara itu 3 orang utusan Rasulullah yang lain yaitu Zaid bin Dasaneh, Khabib bin Oday, dan Abdullah bin Tariq menerima usulan dari kelompok penyerang itu dan akhirnya mereka setuju untuk berserah diri dan ikut beserta kelompok penyerang untuk menemui orang-orang Qurays di kota Mekah. 

Orang-orang dari suku Hozail itu kemudian memberangus mereka dan mengikat mereka dengan seutas tali yang kuat dan kemudian mereka semua berangkat ke kota Mekah. Abdullah bin Tariq, ketika makin mendekati kota Mekah, mencoba untuk melonggarkan tali ikatan yang mengikat kedua tangannya dan ia berhasil mencapai pedang yang masih ada di pinggangnya akan tetapi orang-orang Hozail itu mengetahui apa yang ia lakukan dan mereka tidak mau mengambil resiko lebih buruk dengan membuang waktu terlalu banyak membiarkan seorang tawanan yang sedang ingin membebaskan dirinya. Orang-orang Hozail itu dengan cepat mendekati Abdullah bin Tariq dan kemudian membunuhnya. 

Zaid bin Dasaneh dan Khabib bin Oday diakhir perjalanan mereka akhirnya ditukar dengan dua orang suku Hozail yang menjadi tawanan orang-orang  Mekah. Jadi orang-orang Hozail sebenarnya telah melakukan kesepakatan dengan orang-orang Qurays di kota Mekah dimanan untuk setiap tawanan dari suku Hozail akan ditebus dengan seorang tawanan dari kaum Muslimin. 

Safwan bin Umayyah dari suku Qurays membeli Zaid bin Dasaneh. Ayahnya Safwan terbunuh dalam peperangan Badar atau Uhud jadi ia bermaksud untuk membalas dendam terhadap Zaid bin Dasaneh. Ia ingin membunuh Zaid bin Dasaneh. 

Zaid bin Dasaneh dibawa keluar kota Mekah. Orang-orang Qurays berkumpul semua untuk menyaksikan adegan demi adegan dimana Zaid bin Dasaneh akan dibunuh. Zaid bin Dasaneh datang berjalan dengan tegap. Langkahnya pasti tak sedikitpun gurat keraguan di wajahnya; tak sedikitpun rasa ketakutan tergambar di matanya. 

Abu Sufyan melihat adegan yang berlangsung itu dengan perasaan hati gembira. Ia mengira bahwa inilah saatnya yang ia nantikan dimana ia bisa memaksa Zaid bin Dasaneh untuk mencaci maki diri pribadi Nabi yang suci karena menyangka bahwa Zaid bin Dasaneh akan ketakutan dan ia akan mengorbankan keimanannya demi kehidupan atau nyawanya. Abu Sufyan mendatangi Zaid bin Dasaneh dan kemudian ia berkata, “Apakah kamu ingin bertukar tempat dengan Muhammad agar dirimu selamat dan kami tidak usah memotong lehermu. Kamu bisa pulang kepada isterimu dan anakmu dengan aman dan nyaman”.

Zaid bin Dasaneh menjawab, “Demi Allah aku tidak akan senang apabila melihat sebuah duripun menusuk kaki suci Nabi sementara aku beristirahat dengan tenang dan santainya di rumahku bersama isteri dan anak-anakku”.

AbU Sufyan memandang Zaid dengan tatapan tajam menusuk seraya membuka mulutnya lebar-lebar seakan-akan tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh Zaid. Ia kemudian berpaling dan menghadap kepada orang-orang Qurays, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat teman atau sahabat seseorang yang sebegitu cintanya ia kepada orang itu seperti cintanya teman-teman Muhammad kepada diri Muhammad”. 

Para sahabat Nabi Muhammad mencintai Muhammad secinta-cintanya hingga bahkan mereka tidak rela melihat Nabi Muhammad terkena duri di kakinya. 

Demi melihat cinta seperti ini, Abu Sufyan, salah seorang musuh Islam dan musuh Rasulullah nomor wahid, mengakui bahwa ia tidak pernah melihat seseorang yang sangat dicintai oleh orang-orang lain seperti Muhammad yang dicintai para sahabatnya. 

Setelah beberapa saat setelah kesyahidan Zaid bin Dasaneh, tibalah saatnya bagi Khabib bin Oday untuk digantung hingga mati. Ia juga dibawa keluar kota Mekah. Khabib bin Oday meminta waktu sebentar kepada mereka untuk mengijinkan dirinya mendirikan shalat terlebih dahulu untuk menyongsong kesyahidannya yang hanya menunggu berlalunya waktu yang sudah kian mendekat. Mereka mengijinkan Khabib bin Oday untuk shalat dan kemudian shalatlah dia dalam shalat yang sangat khusyu dan penuh dengan penyerahan diri kepada Allah. Khabib menunaikan shalatnya dengan cepat. 

Kemudian ia kembali kepada orang-orang Qurays sambil berkata, “Demi Allah seandainya aku tidak takut bahwa kalian akan mengira bahwa diriku shalat berlama-lama itu karena aku takut pada kematian maka aku akan shalat lebih lama dan lebih khusyu lagi”. 

Mereka akhirnya membawa Khabib ke sebuah pohon yang ditentukan. Kemudian Khabib bin Oday berdo’a kepada Allah. Suara do’anya yang begitu menyentuh hati dan penuh konsentrasi terdengar oleh orang-orang begitu menyentuhnya do’a yang tinggi nilai spiritualnya itu hingga beberapa orang terjatuh ke tanah. 

Apa yang diucapkan Khabib dalam do’anya? Khabib berdo’a sebagai berikut:

Kami telah menunaikan tugas yang diberikan oleh Nabimu yang suci
Beritahukanlah kepada junjunanku itu bahwa kami telah mati
Ya, Allah! Lihatlah apa yang telah diperbuat orang-orang dzalim kepadaku
Musnahkanlah mereka seperti mereka memusnahkan kami satu per satu

(Oleh as-Syahid, Morteza Motahhari).


CERITA TENTANG KEHORMATAN RASULULLAH.
Seorang Yahudi kehilangan sebuah cincin yang sangat berharga bagi dirinya. Untungnya seorang Muslim yang kebetulan juga orang miskin menemukan cincin tersebut. Ketika orang Muslim yang miskin ini mengetahui bahwa cincin itu milik dari orang Yahudi itu maka ia segera mengembalikan cincin itu kepadanya. Orang Yahudi itu tersenyum dan kemudian bertanya kepada orang Muslim miskin itu: “Tahukah kamu betapa berharganya cincin ini?”
Orang Muslim menjawab: “Ya, aku tahu”
“Kamu menemukan cincin ini sedangkan kamu ini orang miskin dan sangat memerlukan bantuan tapi kamu tetap mengembalikan cincin berharga ini kepadaku?”, kata orang Yahudi itu. 
“Betul sekali tuan, memang itu yang aku lakukan”, Muslim yang miskin itu menjawab.
Orang Yahudi itu kemudian bertanya lagi, “Pernahkah terbersit dalam benakmu untuk menjual cincin ini hingga kamu bisa memenuhi kebutuhanmu malah kamu bisa hidup senang. Kemudian kamu ngomong kepada orang-orang bahwa karena cincin yang ditemukan itu milik orang Yahudi maka kamu merasa memiliki alasan untuk menjualnya dan tidak mengembalikannya?”
Orang Muslim itu kemudian menjawab, “Mengapa aku harus berpikiran seperti itu?”
“Mengapa juga kamu mengembalikan cincin ini padahal aku khan tidak tahu bahwa kamu yang menemukan cincin ini?”
Dijawab oleh si Muslim yang miskin itu, “Kami orang Islam percaya kepada hari pembalasan. Aku berkata pada diriku sendiri seandainya aku tidak mengembalikan cincin ini kepada pemiliknya, maka nanti pada saat penghitungan amal-amalan manusia pada hari Kiamat, Nabi saya, Nabi Muhammad bersama dengan nabimu, Nabi Musa akan duduk bersama. Kamu mengeluh kepada Nabi Musa dan kemudian Nabi Musa akan mengeluh kepada Nabiku, Nabi Muhammad. Nabi Musa akan bercerita kepada Nabi Muhammad bahwa ada salah seorang umatnya telah melakukan perbuatan buruk. Pada saat itu, aku yakin bahwa Nabi Muhammad tidak akan dapat menjawab pertanyaan itu. Aku telah mengembalikan cincin ini kepadamu hingga nanti pada hari pembalasan, aku bisa menyelamatkan kehormatan Nabiku, Nabi Muhammad.
————————————————————
Catatan moral : berpikirlah sebagai seorang Muslim, bertindaklah sebagai seorang Muslim, dan cintailah Allah, cintailah Rasulullah! Itulah hidup sejati seorang Muslim!
————————————————————

PUTERI NABI ITU DIMAKAMKAN SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI.

Quiet Funeral of Fatima Zahra (sa), the daughter of Messenger of Allah (saw).
Sebuah rombongan kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih dan terasa mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi kepala-kepala mereka. Rombongan itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi berarti ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun sebelas Hijriah. Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah. Terasa segar dalam ingatan baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran puterinya yang tercinta…………Fathimah Az-Zahra (as).

Dalam rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman dekat dari sang ayah; mereka semua berjalan dalam kebisuan dan kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi meskipun begitu sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di tenggorokan; air mata mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali hampir tak terdengar seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan malam karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam baik oleh sejarah.

Seorang ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali (as); sementara anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan (as) di sana; ada Imam Husein (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi baik ketika Nabi masih hidup atau ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.

Ketika setiap mata dari penduduk Madinah tertutup; ketika tak ada suara sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi, Fathimah az-Zahra. Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan.
Akan tetapi dimanakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?
          Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat?  
Mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat?
Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat?
Mengapa harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?

Fathimah memang merencanakan itu semua sebelumnya. Fathimah telah memberikan wasiat kepada Imam Ali agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.

Ada kesunyian yang mencekam di sana. Tiba-tiba terdengar tangisan agak keras dan parau memecah kesunyian yang tadi. Tangisan itu datang dari pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan menyingkir. Tangisan itu sekarang terdengar lebih keras seakan menghabiskan rasa kepenasaran karena sedari tadi tangisan itu ia tahan. Ia berkata dalam tangisannya:

“Ya, Rasulullah! Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari puterimu yang sekarang ini akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas meninggalkanku untuk sampai kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak terasa pada diriku dan rasa lemah tak berdaya telah menggerogoti diriku. Itu tak lain karena engkau dan puterimu telah meninggalkanku. Tapi aku sadar semua ini milik Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali (QS. 2: 156).
Semua yang telah dititipkan itu akan diambil kembali; semua yang pernah kita miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu kepedihan dan kesedihan Ali, tetap bermasayam dalam dirinya baik siang maupun malam hari. Tak ada batasan jelas untuk Ali kapan ia bersedih dan kapan ia terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang dicintainya sangat mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada dirinya hingga dirinya nanti bertemu lagi dengan yang dicintainya……yaitu pada hari dimana ia dipanggil oleh Allah untuk menghadapNya. Imam Ali kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih……”Ya, Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang menimpa umat ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu ingin agar engkau datang kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah bercerai berai ini. Dan engkau nanti akan bertanya padanya secara rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini menentang keluarga nabi. Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah ditentukan oleh Nabi. Dan mengapa mereka melakukan hal ini padahal kematianmu itu baru saja terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini!”

“Salam untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan dariku yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari pusara kalian, itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan kalau aku berlama-lama di pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi percaya dengan kuasa Tuhan dan apa yang telah Tuhan janjikan kepada orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”

Setelah menguburkan Fathimah az-Zahra (as), rombongan berisi keluaga dekat Nabi dan para sahabat pilihannya segera bergegas kembali ke rumahnya masing- masing sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu dimana Fathimah dikuburkan.

Sesampainya mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka telah ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa pikiran mereka. Akan tetapi itu tidak mudah dilakukan. Imam Ali mencoba menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Pahlawan Badar, Uhud, Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan yang luar biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan; bukan tangisan manja dan penuh keputus-asaan.

Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali di Ghadir Khum telah dilupakan secara sengaja oleh banyak orang; tanah Fadak sudah dirampas; rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama; pintu rumah keluarga Nabi yang dibakar menimpa Bunda Fathimah az-Zahra—pintu itu mematahkan beberapa tulang iganya dan menggugurkan kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring sakit di ranjangnya selama beberapa hari setelah itu; terbaring sendirian dan terisolasi dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang menyesakkan!
Salah satu sudut pandang tempat bernama Ghadir Khum

Malam hari itu setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur kelelahan……………hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu demi satu. Sementara itu Bunda Fathimah menyaksikan mereka dengan wajah sendu.
 
MENGAPA KUBURANNYA DIRAHASIAKAN?

Hingga detik ini tidak ada seorangpun yang tahu persis dimanakah kuburan dari sayyidah Fathimah (as) yang kepadanya Rasulullah selalu memberikan pernghormatan yang penuh takzim. Rasulullah selalu senantiasa berdiri menyambut apabila Fathimah datang menjenguk. Rasulullah seringkali didengar orang berkata: “Fathimah itu adalah bagian dari diriku. Siapapun yang menyakiti diri Fathimah akan berarti menyakiti diriku.” Rasulullah juga seringkali berkata: “Barangsiapa yang menyakiti Fathimah, ia berarti menyakitiku; barangsiapa yang menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah!”. Rasulullah juga seringkali berkata: “Allah menjadi sangat marah karena kemarahan Fathimah; dan merasa senang dengan rasa senang Fathimah.” Sejarah telah mencatat bahwa Fathimah dikuburkan di sekitar Jannat al-Baqi di Madinah akan tetapi tidak ada seorangpun yang tahu tempat persisnya; tak ada seorangpun yang bisa menunjukkan dengan pasti di mana makam dari puteri Nabi yang suci itu. 
USAHA-USAHA UNTUK MENCARI DAN  MEMBUKA KUBURAN FATHIMAH (as) DI JANNAT AL-BAQI SENANTIASA MENGALAMI KEGAGALAN.


Ketika matahari terbit di keesokan harinya, orang-orang di kota Madinah berduyun-duyun menuju rumah Ali (as). Mereka ingin ikut serta dalam upacara penguburan dari puteri kandung Rasulullah itu. Akan tetapi mereka terpaksa gigit jari karena upacara penguburan telah lama selesai. Penguburan sayyidah Fathimah dilakukan secara sembunyi-sembunyi di malam hari dan tanpa kehadiran penduduk kota Madinah.

Pada saat yang bersamaan Imam Ali sedang membuat empat buah kuburan baru di Jannat al-Baqi untuk mengelabui para penduduk kota Madinah supaya orang-orang tidak tahu dimana letak kuburan Fathimah yang sebenarnya. Ketika para penduduk kota Madinah memasuki kompleks pemakaman, mereka kebingungan karena ada empat buah kubur yang baru dan mereka tidak tahu yang mana yang kuburan Fathimah (as) yang asli. Mereka saling pandang satu sama lainnya dan segera saja perasaan bersalah menyelimuti mereka. Mereka berkata: “Nabi kita tidak meninggalkan satupun anak kecuali Fathimah (as). Dan sekarang puteri Rasulullah telah meninggal dan kita sama sekali tidak ikut serta dalam upacara penguburannya. Kita bahwak tidak sadar dan tidak tahu persis dimana letak makamnya”.
Kompleks pemakaman Jannatul Baqi sebelum dihancurkan rezim Saudi pada tahun 1925

Pemerintah yang berkuasa sadar sekali akan bahaya yang mengancam dari peristiwa ini. Kematian puteri tercinta Nabi setelah kejadian penyerbuan ke rumahnya oleh pemerintah yang berkuasa, serta upacara penguburan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan mengharu biru perasaan emosi dari para penduduk kota Madinah. Oleh karena itu, pemerintah membuat pengumuman yang mengejutkan: “Buatlah kelompok berisi wanita Muslimah dan suruh mereka untuk menggali makam-makam ini agar kita bisa menemukan mayat Fathimah dan kita bisa menshalatkan dia dan menguburkannya lagi”.
Kompleks pemakaman Jannatul Baqi setelah penghancuran yang diperintahkan oleh rezim Saudi. Rupanya rezim Saudi menindaklanjuti rencana rezim Abu Bakar yang tertunda belasan abad sebelumnya.

Kemudian mereka tanpa basa-basi lagi dan tanpa mengenal rasa malu dan khawatir sedikitpun mulai melaksanakan rencana mereka. Mereka melanggar wasiat yang telah diberikan oleh Fathimah! Mereka juga melanggar hak-hak privasi seseorang. Imam Ali telah berusaha untuk menyembunyikan makam Fathimah akan tetapi mereka berusaha untuk membongkarnya.

Apakah mereka telah lupa betapa tajamnya pedang Imam Ali, Zulfiqar? Apakah mereka telah lupa betapa beraninya Imam Ali? Apakah mereka akan mengira bahwa Imam Ali akan tetap diam melihat perbuatan tercela mereka? Apakah mereka mengira Imam Ali akan diam tak bertindak melihat mereka membogkar kuburan Fathimah? 
Kompleks pemakaman Jannatul Baqi sekarang……….rata dengan tanah. Tidak menyisakan keindahan melainkan sebuah gurun gersang. Kalau saja orang tidak pernah mengingatnya sebagai kompleks pemakaman para sahabat dan isteri-isterin Nabi dan Ahlul Bayt Nabi, mungkin orang sama sekali tidak bisa mengetahui nilai sejarahnya. Rezim Saudi ingin melupakan nilai historis dari kompleks pemakaman ini.

Imam Ali sama sekali tidak melawan atau melakukan tindakan balasan atas perlakuan rezim Abu Bakar sepeninggal Rasulullah karena Imam Ali tidak ingin perlawanannya menimbulkan perpecahan di kalangan Muslimin. Umat Islam akan terpecah-pecah kedalam berbagai kelompok kepentingan dan itu tak bisa dihindarkan kalau Imam Ali melawan. Imam Ali dan keluarga Nabi terpaksa mengorbankan dirinya sebagai tumbal untuk persatuan dan keutuhan umat Islam. Imam Ali selama ini tidak melawan meskipun ada tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan kepada Fathimah sebelum maupun setelah Nabi wafat. Imam Ali tidak melawan karena Imam Ali telah diperintahkan oleh Rasulullah untuk bersabar, akan tetapi kesabaran itu sampai pada batas yang telah ditentukan. Ketika Imam Ali menerima berita bahwa rezim Abu Bakar akan membongkar kuburan Fathimah, Imam Ali dengan segera mengenakan pakaian perangnya dan bergegas menuju pemakaman Jannat al-Baqi. Seseorang dari mereka berteriak melihat kedatangan Imam Ali, “Ini Ali bin Abu Thalib datang dengan menghunus pedangnya dan berkata: “Barangsiapa ada yang berani untuk membongkar makam puteri Nabi walaupun ia hanya memindahkan sebuah batu darinya, aku akan memukul punggungnya dengan pedang hingga orang terakhir dari kalian, wahai kaum yang dzalim.”

Orang-orang yang tahu benar akan keseriusan Imam Ali segera mundur teratur melihat ancaman itu bukan hanya sekedar bualan. Mereka sadar bahwa Imam Ali akan melaksanakan ancamannya kepada orang yang berani mengganggu kuburan isterinya, Fathimah. Pada waktu itu, ada seorang suruhan dari pemerintah yang berkuasa yang datang dengan gemetar menghadap Imam Ali sambil berkata: “Ada apa gerangan, ya Abbal Hasan? Demi Allah, kami ini akan menggali kuburannya dan membawa jasadnya keluar untuk kami shalatkan.”

Imam Ali menjambak pakaian orang itu dan mengguncang-guncangnya kemudian melemparkannya ke tanah jauh sekali dan kemudian berkata: “Wahai anaknya Sawada! Aku telah lama mengabaikan hakku dan kewajibanku untuk melindungi orang-orang dari mencampakkan keyakinannya…………akan tetapi demi kuburan Fathimah dan demi DIA yang jiwaku ada di tanganNya, apabila engkau dan para pengikutmu berusaha untuk membongkar kuburan Fathiimah, maka saksikanlah…………aku akan menggenangi tanah ini dengan darah kalian!” 

Pada saat-saat kritis seperti ini akhirnya Abu Bakar datang tergopoh-gopoh dan menggigil ketakutan sambil berkata: “Wahai Abu Al-Hasan, aku memohon kepadamu demi hak Rasulullah dan demi DIA yang ada di Arasy; tinggalkanlah lelaki itu dan kami berjanji tidak akan melakukan apapun yang engkau tidak sukai.”
Akhirnya hingga saat ini detik ini, lokasi dari kuburan Fathimah (as) tetaplah misteri………tak seorangpun yang tahu.
Fathimah az-Zahra (as) telah berwasiat agar dikuburkan pada malam hari. Permintaannya agar kuburannya disembunyikan merupakan pesan tersendiri yang ingin disampaikan lewat rintang sejarah hingga ke masa yang akan datang. Fathimah Az-Zahra (as) ingin agar pesan ini sampai kepada seluruh umat Islam………….pesan yang menyatakan bahwa keluarga Nabi telah disia-siakan dan didzalimi serta hak-haknya dirampas oleh rezim yang berkuasa. Dan ini bisa menjadi titik balik sejarah di kehidupan seseorang yang hanya mengetahui satu versi sejarah yaitu sejarah yang ditulis dan diajarkan penguasa dan diindoktrinkan ke dalam sel-sel darah umat Islam.

Fathimah Az-Zahra membangkitkan kehidupan dari kematian; memberikan kemenangan dari kekalahan; dan sebuah cerita kepahlawanan dan perdamaian dari jaman ke jaman ia ciptakan dari hidupnya yang penuh kepedihan. Fathimah menciptakan sebuah revolusi di setiap jantung kaum Muslim yang sadar dari satu generasi ke generasi lainnya. Jantung Fathimah masih berdetak di sela-sela detak jantung umat Islam. Dan kedua belah matanya terjaga menunggu bendera kebebasan yang akan berkibar bersama dengan kedatangan puteranya yang ditunggu-tunggu yaitu Imam Mahdi (as).

Sekarang ini, seperti juga pada jaman-jaman lainnya yang telah lalu, kita semua menghadapi kepedihan dan penindasan. Kita harus bersabar dalam menghadapi kepedihan ini. Kita harus meneruskan pesan Fathimah ini ke generasi selanjutnya. Kita harus sampaikan penderitaan keluarga Nabi ini kepada generasi kita dan selanjutnya agar mereka tahu bahwa Rasulullah dan misi keIslamannya telah mendapatkan tekanan dari orang-orang terdekatnya dan Islam telah dicampuri dan dikotori oleh mereka.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: