Meneladani Para Sahabat yang Dijamin Surga.
Judul : 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga..
Penulis : Abdus Sattar As-Syaikh
Cetakan pertama : April 2011Penerbit : Darus Sunnah Press
Tebal : 964 Halaman
Buku ini keliru menyebut Abubakar-Umar dan usman dijamin SURGA !!!
Kita Lihat Website Wahabi sebagai berikut:
http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2012/07/10-sahabat-yang-dijamin-masuk-surga.html
________________________________
Rabu, 25 Juli 2012
10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga
بسم الله الرحمن الرحيم
Ada sepuluh orang dari sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang dijamin pasti masuk ke dalam surga. Nama-nama mereka tersebut di dalam hadits yang shahih berikut ini:
“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم
bersabda: Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di
surga, Thalhah di surga, Az Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di
surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah di
surga.” [HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih.]
Berikut ini perincian nama-nama mereka yang tersebut di dalam hadits:
1. Abu Bakr, yaitu Abdullah bin Utsman At Taimi, digelari dengan Ash Shiddiq Al Akbar. Wafat pada bulan Jumadil Awal tahun 13 H pada umur 63 tahun.
2. Umar, yaitu ibnul Khaththab Al ‘Adawi, Abu Hafsh, digelari dengan Al Faruq. Syahid pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
3. Utsman, yaitu bin Affan Al Umawi, Abu Abdillah, digelari dengan Dzunnurain. Syahid pada bulan Dzulhijjah setelah Idul Adha tahun 35 H dalam umur sekitar 80 tahun.
4. Ali, yaitu bin Abi Thalib Al Hasyimi, Abul Hasan, digelari dengan Abu Turob. Anak paman Nabi صلى الله عليه وسلم dan suami dari anak perempuannya, yaitu Fatimah radhiallahu ‘anha. Syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 H pada umur 63 tahun.
5. Thalhah, yaitu bin Ubaidillah At Taimi, Abu Muhammad. Digelari dengan Thalhah Al Fayyadh. Syahid pada perang Jamal tahun 36 H dalam umur 63 tahun.
6. Az Zubair, yaitu ibnul ‘Awwam Al Asadi, Abu Abdillah. Syahid pada tahun 36 H setelah pulang dari perang Jamal.
7. Sa’d, yaitu bin Abi Waqqash Az Zuhri, Abu Ishaq. Orang yang paling pertama memanah dalam perang jihad fi sabilillah. Wafat di ‘Aqiq pada tahun 55 H. Beliau adalah yang paling terakhir meninggal di antara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga.
8. Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Muhammad Az Zuhri. Termasuk sahabat yang paling dahulu masuk Islam. Wafat pada tahun 32 H.
9. Sa’id, yaitu bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al ‘Adawi, Abul A’war. Wafat pada sekitar tahun 50 H.
10. Abu Ubaidah ibnul Jarrah, yaitu Amir bin Abdillah Al Fihri. Digelari dengan Aminu Hadzihil Ummah (Orang yang sangat terpercaya di umat ini). Termasuk dari anggota pasukan Perang Badr. Wafat syahid disebabkan oleh wabah menular Amwas pada tahun 18 H dalam umur 58 tahun.
وبالله التوفيق
_____________________________________
Jawaban:
Syi’ah Yang Sezaman dengan Nabi SAW dikaitkan dengan QS.
Al-Bayyinah:7-8: (1) Abu Dzar Al Ghifari, (2) Salman al Farisi, (3)
AlMiqdad bin al Aswad al Kindi (4) ‘Ammar bin Yasir.
Mengutip dari hadis yang diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Na’im, yangmeriwayatkan dengan sanad dari IbnuAbbas, ketika turun ayat yang mulia :” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka itu sebaik-baik makhluk” (QS. Al-Bayyinah:7-8), kemudian Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin AbiThalib, “Wahai Ali, itu adalah engkau dan syi’ahmu…”.
“Manifestasi pengejawantahan syi’ah awal ini muncul usai wafatnya
Rasulullah SAWW, sebagai bentuk loyalitas dan kepatuhan para sahabat
kepadaRasulullah SAW yang telah menetapkan Ali Bin Abi Talib (Ahlul
Ba’it Rasulullah SAW dan Ittrah Rasulullah SAW ) – di Ghadir Kum –
sebagai yangharus di patuhi pasca beliau SAW tiada.
Seorang ulama ahlu sunnah bernama Abu Hatim ar Razi dalam kitabnya al-Zinah,
menuliskan, nama pertama yang diberikan dalam Islam sebagai julukan
bagi sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW masih hidup sebagi Syi’ah
adalah (1) Abu Dzar Al Ghifari, (2) Salman al Farisi, (3) AlMiqdad bin al Aswad al Kindi (4) ‘Ammar bin Yasir.
Ayatullah Sayyid Muhammad al Musawi mengomentari
hal tersebut sebagai berikut, “…mereka adalah sahabat yang ikhlas,
mereka mendengar Nabi SAW bersabda, “Syiah Ali adalah makhluk terbaik
dan mereka adalah orang-orangyang beroleh kemenangan “, oleh karena itu
mereka bangga menjadi bagian darimakhluk terbaik itu, dan mereka dikenal
di kalangan sahabat dengan julukan syi’ah.
Di berbagai kesempatan Rasulullah SAW banyak memuji ke empatsahabat –syi’ah awal- tersebut, diantaranya :
- Sunan Tirmidzi 5/636 no 3718 menuliskanDiriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kalau Allah SWT memerintahkan Beliau untuk mencintai empat orang sahabat dan Rasulullah SAW juga diberitahubahwa Allah SWT mencintai keempat sahabat tersebut. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW siapakah keempat sahabat yang mendapatkeistimewaan seperti itu. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka adalah Ali RA, Abu Dzar RA, Miqdad bin Aswad RA, dan Salman Al Farisi RA. Hadis ini diriwayatkan dalam,. Berikut hadis riwayat Tirmidzi :حدثنا إسماعيل بن موسىالفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسولالله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرنيبحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail binMusa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kamiSyarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Sunan Ibnu Majah 1/53 no 149 (Dengan redaksi samadengan di atas) حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبيربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرنيبحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثاو أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Musnad Ahmad 5/351 no 23018 (Dengan redaksi samadengan no 1) ) حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسو الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai. Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Mustadrak Al Hakim 3/130 no 4649 (Dengan redaksi sama dengan no 1) حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telahmenceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Al Kuna Al Bukhari 1/31 no 271 Dengan redaksi samadengan no 1) حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عنأبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن اللهأمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقولذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Tarikh Ibnu Asakir 21/409. ) حدثنا إسماعيل بن موسىالفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسولالله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهموأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al-Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarikdari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empatorang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkanitu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya حدثنا عبد اللهحدثني أبي ثنا بن نمير عن شريك ثنا أبو ربيعة عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسولالله صلى الله عليه و سلم ان الله عز و جل يحب من أصحابي أربعة أخبرني انه يحبهموأمرني ان أحبهم قالوا من هم يا رسول الله قال ان عليا منهم وأبو ذر الغفاريوسلمان الفارسي والمقداد بن الأسود الكندي Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Syarik yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya Allah Azza wajalla mencintai empat orang dari sahabatKu. Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia mencintai Mereka dan memerintahkanKu untuk mencintai Mereka. Para sahabat berkata “siapa mereka wahai Rasulullah?”. Rasulullah SAW berkata”Ali diantaranya, Abu Dzar Al Ghiffari, Salman Al Farisi dan Miqdad bin Aswad Al Kindi.
- Al Hafizh Abu Na’im, dalam Hilayah al Awliyajilid I hlm 172 meriwayatkan dari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka, lalu ditanyakan, “Siapa mereka itu ?” Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, AbuDzar, al Miqdad dan Salman.
- Ibnu Hajar al Makki dalam kitabnya al Shawa’iq alMuhriqah, dalam hadis ke lima dari empat puluh hadis yang menukil tentangkeutamaan Ali bin Abi Thalib meriwayatkan hadis dari Turmudizi dan al Hakimdari Buraidah bahwa Rasulullah saw bersabda, ” Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk mencintai empat orang. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintai mereka, lalu ditanyakan, “Siapa mereka itu ?” Rasulullah saw menjawab, “Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, al Miqdad dan Salman.
- Ibnu Hajar al Makki dalam kitabnya al Shawa’iq alMuhriqah dalam hadis nomor 29 menukil dari Turmudzi dan al Hakim dari Anas binMalik, bahwa Rasulullah saw bersabda :”Surga merindukan tiga orang, mereka adalah Ali, Ammar dan Salman”.
- Ibn Maghazali al Syafi’i dalam Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib hadis no 331, meriwayatkan hadis dengan sanadnya dari Buraidah: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai empat orang dari sahabatku. Allah mengabarkan bahwa Dia mencintai mereka dan Dia memerintahkan kepadaku untuk mencintai mereka,” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab, “Mereka adalah Ali, Abu Dzar, Salman dan al Miqdad bin al Aswad al-Kindi” Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad 5/351dengan sanad dari Muhammad bin al Thufail dari syarik. Al Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak 3/30 melalui Imam Ahmad bin Hanbal darial Aswad bin ‘Amir dan Abdullah bin Numair yang disahihkan oleh al-Dzahabi dalam Talkhis. Al Hafizh al Qazwini meriwayatkan pula dalam Sunan alMushthafa 1/52 .
Jadi hati-hati mengatakan Syi’ah itu sesat, karena akan kembali kepada dirimu sendiri …
Tidak seperti yang 10, Inilah 4 orang yang dijanjikan Surga dan tidak ada seorang Ulama pun yang berselisih paham.
Ada banyak hadits yang memberitakan tentang adanya 4 sahabat
Rasulillah SAWW yang dijamin Surga dan terbukti hingga akhir hayat
mereka kisah perjalanan hidup mereka telah membuktikan ke shahihan
hadits ini, beda dengan hadits 10 orang dijamin masuk surga, perilaku
hidup sebagian dari mereka tidak mecerminkan perilaku orang yang dijamin
sesungguhnya.
Adapun beberapa hadits yang bisa dirujuk adalah :
- Musnad Ahmad 5/351 no 23018 (Dengan redaksi sama dengan no 1) ) حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسو الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Sunan Tirmidzi 5/636 no 3718 menuliskan Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan kalau Allah SWT memerintahkan Beliau untuk mencintai empat orang sahabat dan Rasulullah SAW juga diberitahu bahwa Allah SWT mencintai keempat sahabat tersebut. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW siapakah keempat sahabat yang mendapat keistimewaan seperti itu. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa mereka adalah Ali RA, Abu Dzar RA, Miqdad bin Aswad RA, dan Salman Al Farisi RA. Hadis ini diriwayatkan dalam,. Berikut hadis riwayat Tirmidzi :حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
- Mustadrak Al Hakim 3/130 no 4649 (Dengan redaksi sama dengan no 1) حدثنا إسماعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي حدثنا شريك عن أبي ربيعة عن ابن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله أمرني بحب أربعة وأخبرني أنه يحبهم قيل يا رسول الله سمهم لنا قال علي منهم يقول ذلك ثلاثا و أبو ذر المقداد و سلمان أمرني بحبهم وأخبرني أنه يحبهم Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al Fazari Ibnu binti As Suddi yang berkata telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abi Rabi’ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkanKu untuk mencintai Empat orang dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka. Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah SAW tolong sebutkan nama-nama mereka”. Rasulullah SAW bersabda “Ali diantaranya (Beliau menyebutkan itu tiga kali) kemudian Abu Dzar, Miqdad dan Salman. Allah SWT memerintahkanKu untuk mencintai Mereka dan Allah SWT memberitahuKu bahwa Dia pun mencintai Mereka.
Mereka yang dijanjikan yaitu : Ali (as) , Abu Dzar , Miqdad dan
Salman, yang disebut terkhir adalah yang dikenal sebagai Syi’ah Ali
yabna Abi Thalib AS. mereka ini tidak pernah :
- Lari dari pertempuran baik di Uhud , Khaibar maupun Hunain.
- Tidak membatalkan Baiat Ridwan.
- Mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dengan mengikuti Imam Ali KW sebagai Pemimpin mereka.
Penderitaan Abu Dzar ( Sahabat Rasulullah Saw), Dibuang Ustman Karena Perjuangannya Mempertahankan Kebenaran Dan Keadilan Ummat.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a., seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a., penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: “Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang Pedih Pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman r.a. mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas:
Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku –yakni Marwan– dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a., “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: “Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman r.a. berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan dilekatkan pada dadanya.[4]
Bagaimanakah keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Tidak lain..Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-ke mari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:
“Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”.
Bila kita hendak berlaku jujur, hadis seperti ini haruslah dianggap sebagai “hadis hadis politik” yang muncul untuk membenarkan kekuasaan de facto. Ini merupakan preseden timbulnya kebiasaan mendukung pemerintahan de facto oleh kebanyakan ulama Sunni, seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. (Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1984. Pada hlm. 137, ia menulis, “Orangorang Sunni hampir selalu menjadi pendukung setiap pemimpin Negara”).
Hadis ini menyangkut sepuluh orang yang telah dinyatakan akan masuk surga (sepuluh yang mendapat kabar gembira masuk surga), yang dilaporkan oleh Sa’id bin Zaid, ipar Umar bin Khaththab, di zaman Mu’awiyah. Baiklah kita ikuti riwayat munculnya hadis ini di zaman ‘pengucilan’ Ali bin Abi Thalib ini.
Said meninggal dunia tahun 51 H/671 M. Di tahun itu juga Mu’awiyah membunuh Hujur bin ‘Adi bersama dua belas kawankawannya.
Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa pemulanya ialah Mughirah
bin Syu’bah, gubernur yang diangkat Mu’awiyah di Kufah, melaknat Ali dan Hujur membantahnya. Pada tahun 40 H/660 M, Mughirah bin Syubah digantikan oleh Ziyad bin Abih yang mengejar dan menganiaya siapa saja yang tidak mau mencerca Ali bin Abi Thalib.
Hadis ini timbul pada masa itu, dengan lafal: ‘Pada suatu ketika, di masjid (Kufah), seseorang telah menyebut (melaknat pen.) Ali bin Abi Thalib. Maka berdirilah Said bin Zaid seraya berkata:
‘Aku bersaksi dengan nama Rasul Allah saw bahwa sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, ‘Sepuluh orang masuk surga: Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair,Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf’. Kemudian orang bertanya, ‘Siapa yang kesepuluh?’ Setelah ditanyakan berkali kali,‘Sa’id bin Zaid’ menjawab, ‘Aku’. Dalam lafal yang lain, nama Abu Ubaidah bin al ‘Jarrah disebut, sedang Nabi tidak dimasukkan. 183
Dalam kemelut seperti itu, Said bin Zaid’ telah bertindak sangat berani. Orang orang yang disebut oleh ‘Sa’id bin Zaid’ sudah tepat. Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah pernah bergesekan dengan Ali, mengepung dan hendak membakar rumah ‘penghulu wanita mu’minin’
Fathimah, ‘meskipun Fathimah ada di dalam’, sebagaimana nanti akan terbaca dalam peristiwa Saqifah. Utsman adalah dari marga Umayyah, marganya Mu’awiyah. Thalhah dan Zubair memerangi Ali dalam perang Jamal. Ali menyebut mereka sebagai kelompok Nakitsun, yaitu kelompok yang membatalkan baiat, karena mereka berdua merupakan orang orang pertama yang membaiat Ali, tetapi kemudian berbalik memeranginya. Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Ali setelah Utsman meninggal dunia.
Abdurrahman bin ‘Auf meskipun kemudian menyesal pernah mengancam akan membunuh Ali dengan pedang, bila Ali tidak membaiat Utsman dalam Syura yang dibentuk oleh Umar. Dengan cerdiknya, ‘Sa’id’ memasukkan nama Ali untuk mencegah para penguasa mengutuk Ali di mimbar mimbar seluruh desa dan kota dan secara tidak langsung berusaha menyelamatkan kaum Syi’ah agar tidak dibantai seperti Hujur. Dan untuk menyelamatkan dirinya, ‘ia’ memasukkan namanya pula.
Hadis ini, ditinjau dari segi sejarah, tidak dapat ditafsirkan lain dari itu. Hadis yang merupakan ‘pemberontakan’ terhadap penguasa yang zalim seperti ini, tidak dapat dikatakan salah, tetapi tidak juga dapat dikatakan benar. Riwayat di atas kemungkinan besar dibuat orang dengan mengatas namakan Sai’id bin Zaid. Imam Malik, misalnya, meriwayatkan: Rasul Allah saw bersabda kepada para Syuhada’ Perang Uhud: ‘Aku menjadi saksi mereka (bahwa mereka telah mengorbankan nyawa mereka) di jalan Allah’. Dan berkatalah Abu Bakar ashShiddiq: ‘Wahai Rasul Allah, bukankah kami saudara saudara mereka? Kami memeluk Islam seperti mereka, dan kami berjihad seperti mereka berjihad!’. Dan Rasul Allah menjawab: ‘Ya, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kamu lakukan sesudahku’. Dan menangislah Abu Bakar sambil berkata: ‘Apakah kami akan masih hidup sesudahmu? 184
Perawi ‘sepuluh orang masuk surga’ tidak menceritakan kepada kita dalam hubungan apa Rasul Allah saw menyampaikan hadis ini, dan siapa saja yang ikut mendengarkan
Dan mengapa Sa’id, misalnya, tidak berdiri di depan massa yang sedang mengepung rumah Utsman yang berakhir dengan pembunuhan khalifah ketiga itu dan mengatakan kepada mereka
hadis yang penting ini?
Mengapa Sa’id bin Zaid, misalnya, tidak menasihati Abdullah bin Umar agar membaiat Ali tatkala terjadi pembaiatan terhadap Ali sesudah Utsman terbunuh, karena bagaimanapun juga Ali
termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasul Allah? Malah membaiat Mu’awiyah, Yazid dan ‘Abdul Malik serta Hajjaj bin Yusuf?
Mengaa tidak menasihati ummu’lmu’minin Aisyah dan menyampaikan hadis itu agar ia tidak memerangi Ali dan agar menetap di rumahnya sebagaimana diperintahkan AlQur’an?
Mengapa pula Thalhah dan Zubair dimasukkan ke dalam sepuluh masuk surga dan bukan, misalnya, Abu Dzarr alGhifari dan Hamzah paman Rasul? Mengapa pula Sad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan misalnya Miqdad atau Abu Ayyub atAnshari?
Begitu pula Abu Ubaidah bin alJarrah, seorang penggali kubur di Madinah dimasukkan pula ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan, misalnya Salman alFirisi?
Meskipun menyesal di kemudian hari Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Imam Ali sedang Rasul mengatakan bahwa ‘barangsiapa tidak mengenal imam pada zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliah’. Dan hadis ini diakui sebagai hadis shahih di semua mazhab?
Apakah surga ini hanya diperuntukkan bagi para khalifah dan mereka. yang ikut dalam pergolakan kekuasaan dan bukan orang orang seperti ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Dzarr alGhifari
atau Salman alFarisi?
183 Tirmidzi, dalam Jami’nya, hlm. 13, 183, 186, dan lainlain.
Hadis ini melalui ‘Abdurrahman alAkhnas, yang didengamya sendiri di masjid Kufah. Jalur lain melalui ‘Abdurrahman bin Hamid yang didengarnya dari ayahnya; ayahnya mendengar dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Hadis yang disebut ini dianggap batil, karena ayah ‘Abdurrahman bin Hamid, yang bernama azZuhri, adalah seorang tabi’i (generasi kedua), bukan Sahabat. Ia lahir 32 H., 653 M. dan meninggal 105 H, 723 M. dalam usia 73 tahun, sedang ‘Abdurrahman bin ‘Auf meninggal 31, 652 M.atau 32 H., 653 M.
Dengan kata lain, Zuri lahir pada saat ‘Abdurrahman bin ‘Auf
meninggal atau setahun sesudahnya. Dengan demikian maka satusatunya jalur adalah yang melalui Said bin Zaid.
Yang masuk surga tidak dapat dibatasi pada mereka yang berhasil menduduki kekhalifahan atau yang ikut dalam pergolakan politik dan tidak dapat dibatasi pada sepuluh orang. Alangkah banyaknya umat Muhammad yang akan masuk surga.
Rujuk:
184. Ibn AbilHadid, Syarh Nahju’lBalaghah, jilid 15, hlm. 37, alWaqidi, Maghazi, jilid 1, hlm. 3 10; berasal dari Thalhah bin ‘Ubaidilllah, Ibnu ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdullah.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a., seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a., penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: “Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang Pedih Pada hari kiamat.
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman r.a. mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas:
Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku –yakni Marwan– dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a., “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: “Yang kauketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman r.a. berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan dilekatkan pada dadanya.[4]
Bagaimanakah keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Tidak lain..Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-ke mari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:
“Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’.
Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”.
KISAH ANTARA ALI, ABU DZAR DAN UTSMAN.
Ali bin Abi Thalib tengah galau memikirkan kondisi
negara dan umat Islam yang dilanda kekacauan akhir-akhir ini yang
disebabkan kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan. Gaya kepemimpinannya
yang sangat nepotis itulah yang menjadi penyebabnya. Cara hidup yang
mementingkan kesenangan duniawi di kalangan keluarga penguasa, dan
sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah
membangkitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat
Islam.
Beberapa waktu setelah terbai’at sebagai Khalifah,
Utsman bin Affan mengangkat orang-orang dari kalangan keluaganya (Bani
Umayyah) dan di tempatkan pada kedudukankedudukan penting atau lebih
penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi
penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak
sebagai kepala daerah atau gubernur, mereka diangkat sebagai
panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.
Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman,
ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium.
Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat
oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang
dihadiahkan oleh Khalifah Utsman kepada para pembantunya, terutama
Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut
sebagai menantu. Pembagian ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al
Qur’an.
Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah,
jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah
Utsman yang dikendalikan oleh kerabat dekatnya, Marwan bin Hakam dan
kawan-kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.
Di antara tindakan-tindakan itu disebut pemberian
uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid.
Khalifah Utsman juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash
kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir
oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya
terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup
berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang
terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil
oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.
Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan
yang dilakukan oleh Khalifah Utsman atas desakan para penasehat dan
pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan
benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat
pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama
“Mazhur”, oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam,
saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul
Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.
Namun yang sangat menyakitkan Ali adalah
pengambil-alihan tanah Fadak oleh khalifah dan kemudian diserahkannya
kepada kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini memiliki arti
yang sangat khusus di mata Ali dan mengingatnya selalu membuat hatinya
sedih sekaligus marah.
Tanah fadak adalah tanah pampasan perang yang oleh
Rosulullah telah diberikan kepada putri tercintanya, Fathimah az-Zahra
sang bunga surga, yang juga istri tercinta Ali bin Abi Thalib. Tindakan
Rosulullah memberikan tanah Fadak kepada Fathimah adalah mengikuti
perintah Allah yang diturunkan dalam Al Qur’an: “Dan kepada kerabatmu,
berikanlah akan haknya.” Tanah ini sangat subur dan luas dan selama
bertahun-tahun dalam masa pemerintahan Rosulullah telah memberikan
banyak keuntungan bagi keluarga Ali dan Fathimah.
Saat Abu Bakar berkuasa sebagai khalifah, ia
mengambil tindakan yang sangat menyakitkan Fathimah dan Ali, yaitu
merampas tanah itu dengan dalih sebuah hadits yang sangat kontroversial.
Abu Bakar berdalih bahwa Rosulullah pernah bersabda bahwa sebagai
seorang rosulullah beliau tidak meninggalkan warisan. Atas dasar hadits
itu maka Abu Bakar mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai
harta kekayaan negara (baithul mal).
Fathimah dan Ali tidak pernah mendengar hadits
tersebut tentu saja menolak klaim Abu Bakar. Bagaimana mungkin sebagai
ahli waris, Fathimah tidak diberitahu oleh Rosulullah langsung kalau
memang beliau pernah mengatahan hal itu. Selain itu hadits tersebut juga
bertentangan dengan Al Qur’an yang menyebutkan para rosul juga
meninggalkan warisan sebagaimana Nabi Daud memberi warisan kepada Nabi
Sulaiman dan Nabi Zakaria memberi warisan kepada Nabi Yahya. Bahkan
ketika Fathimah berdalih tanah tersebut bukan warisan karena telah
diberikan Rosulullah beberapa tahun sebelum meninggal, Abu Bakar tidak
bergeming. Dengan dalih sebagai amirul umat ia tetap mengambil alih
tanah fadak sehingga membuat Fathimah marah dan membawa kemarahannya
hingga ke liang kubur.
Abu Bakar telah membuat Ali marah karena merampas
tanah fadak untuk kepentingan umat. Apalagi Usman yang telah merampasnya
untuk diserahkannya kepada kerabatnya sendiri.
Khalifah Utsman juga mengeluarkan sebuah peraturan
yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan,
bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah
menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi
ternak milik orang-orang Bani Umayyah.
Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara,
yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia,
Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada
Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Dengan kekuasaan penuh itu
Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah
seorang penguasa negara di dalam negara.
Abdullah adalah saudara sesusuan Khalifah yang pernah
dijatuhi hukuman mati oleh Rosulullah sewaktu Penaklukan Mekkah, karena
kejahatannya yang luar biasa kepada Islam. Ia selamat setelah Utsman
menghalang-halangi niat nabi untuk mengeksekusinya. Sebenarnya Nabi
tidak pernah mengampuninya. Beliau hanya menghindari perselisihan dengan
Utsman yang ngotot membela saudara sesusuannya meski Allah telah
memerintahkan kaum muslimin untuk memenuhi perintah Rosulnya, tanpa
reserve karena perintah Allah memang tidak untuk diperdebatkan.
Kepada Abu Sufyan, dedengkot Quraisy yang dulunya
terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi
Rasul Allah s.a.w., dan baru masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke
tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman diberi hadiah sebesar
200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika
Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan
puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman membekalinya lagi dengan
uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.
Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman
mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada
menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal, Zaid bin
Arqam (salah satu sahabat utama yang paling awal masuk Islam dan
rumahnya dijadikan sebagai tempat dakwah awal Rosulullah), menghadap
Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.
Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid
bin Arqam: “Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut
Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?”
“Tidak!”, jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan
mengusap air mata. “Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta
Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda
infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup.
Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu
sungguh terlampau banyak.”
“Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!” hardik Khalifah
dengan wajah merah padam. “Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak
seperti engkau.”
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan
adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang
dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang
ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga
keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan
kecemasan penduduk.
Ali dan banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang
heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman. Sebab mereka tahu,
ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang
mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri
atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung
untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum
muslimin.
Namun Ali kemudian ingat hadits Rosulullah, bahwa
sebagian dari para sahabat yang dahulu iklhas berjuang menegakkan Islam,
setelah kematian Rosulullah akan saling bertikai karena memperebutkan
dunia. Ali juga ingat dengan peringatan Allah kepada Rosulullah mengenai
“melencengnya” para sahabat dari jalan Allah sepeninggal beliau. Hingga
di akhirat kelak Rosul akan bersaksi sebagaimana kesaksian Nabi Isa
atas pengikut-pengikutnya: “Aku menjadi saksi atas mereka selama aku
berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku,
Engkaulah yang mengawasi mereka.” (QS Al Maidah 117)
Betapa klalifah telah menyimpang dari ajaran Rosul.
Ia bahkan berani menentang nash-nash yang telah jelas dalam Al Qur’an
dan hadits, misalnya dalam hal pembagian ghanimah dan merehabilitasi
musuh Rosulullah. Ali masih mengingat dengan jelas apa yang telah
disumpahkan oleh Uthsman sebelum dilantik sebagai khalifah.
Saat itu, sidang majelis syoru yang dibentuk untuk
memilih khalifah pengganti Umar bin Khattab sampai pada satu titik di
mana kandidat khalifah telah mengerucut menjadi dua orang: Ali bin Abi
Thalib dan Utsman bin Affan. Abdurrahman bin Auf kemudian mengambil
inisiatif. Ia mendatangi Ali dan manyatakan bahwa ia dan anggota-anggota
majelis lainnya akan membai’at Ali jika mau bersumpah akan menjalankan
pemerintahan berdasar Al Qur’an, sunnah Rosul dan sunnah Abu Bakar dan
Umar.
Ali dengan tegas menolak permintaan tersebut dan
hanya mau bersumpah menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur’an dan
hadits Rosul.
Kemudian Abdurrahman mendatangi Uthsman dan
mengajukan permintaan yang sama. Dengan tegas Uthsman menyetujuinya.
Maka terpilihlah Uthsman sebagai khalifah. Namun kebijakan pemerintahan
pertama yang dilakukannya justru melanggar sumpahnya, yaitu mengganti
para pejabat yang telah diangkat Abu Bakar dan Umar dengan pejabat dari
kerabatnya sendiri.
Abu Dzar dibuang
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat
Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani
Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman seperti Marwan bin
Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah
yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak
sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran
penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang
pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan
jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan
pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala
Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan
diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang.
Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara
terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys hingga
ia nyaris meninggal karena dikeroyok orang-orang Qureiys yang marah.
Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil
mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah
lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak
menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan
menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi
Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah
mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar
telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi.
Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah
dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap
penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan
manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul
Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara
lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran
dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain,
namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu
erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang
melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar
serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip
sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah
s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di
kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta
ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi
Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan
pedangku!”
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi
Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang
tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu.
Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!” Rasul
Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang
dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu
Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu
Bakar, gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah
s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, berkat
ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat
pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan
tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa
terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang
membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim
hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya
menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman sudah lanjut,
serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya
sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah
s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia
kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di
antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa
potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan
pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta
ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan
seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada
umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung
padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan
dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat
berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi
diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia
berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat
Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan
lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya.
Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang
memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam
perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada
kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di
Syam, ia selalu memperingatkan orang dengan ayat-ayat Al Qur’an: “Barang
siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan
Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa
yang pedih pada hari kiamat.”
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya
terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin
hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan
suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip
kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran
Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan
sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya
yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar,
Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya.
Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu
Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap
orang: “Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak
mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin
banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama
dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri
dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat
dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela
kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang
pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia
adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…,” “Tak ada manusia
yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”, “Penguasa adalah
abdi masyarakat,” “Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap
penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya….” dan lain
sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang
bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu
Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan
tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi
dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu
tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah,
penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan
rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi
penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan
pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu
Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai
penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada
hari kiyamat dengan api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu
Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang
biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa
saja. Namun meski membahayakan kekuasaan, Abu Dzar adalah sahabat Rosul
yang mulia. Muawiyah tidak berani bertindak keras terhadapnya. Ia hanya
harus disingkirkan dari daerah kekuasaannya.
Segera Muawiyah menulis sepucuk surat kepada Khalifah
Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar
yang menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah
mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada
Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya,
kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu
Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan
atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan
singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar
berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya
kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah
dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar dan Khalifah
Umar. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah
Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para
penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari
pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para
penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu Dzar
harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah, satu daerah di tengah
padang pasir yang tidak berpenghuni dan tandus. Tak boleh ada seorang
pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan
selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam
pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan
di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman. Ia berkata: “Demi
Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi
atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah.
Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan
aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan
berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan
seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati,
aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih
baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih
duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan
gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid
yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan
membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah
sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad
s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap
anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam
kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam
bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas,
menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di
atas: Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar
berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang
pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali
r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu
Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin
Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak
Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis
menegor: “Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin
melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti,
ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a.
tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala
unta yang dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah
akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu
meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya
keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap
Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap
karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan
anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata
mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat
jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi
Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari menceritakan pengalamannya
sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada
Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi
karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut
kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka
mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi
tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa
kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak
ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang
menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu
Dzar: “Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau
tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau
sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah,
sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan
berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan
mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh
karena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika
seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang
yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu
percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan
terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah
datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan
ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat
kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa
mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan
beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: “Hai
paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman
alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya.
Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa
butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah!
Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar
merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat
pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan
kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah
tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak
akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas
melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah
orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah
orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut
menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan
hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang
“menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai
imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu.
Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia
dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga
Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian
aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu
bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku
merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di
tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka
memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di
mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah
s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan
bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang
mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah
Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati
gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku, yakni Marwan
dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu,” jawab Imam Ali r.a. dengan
tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia
kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang
bersifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. terhadap
kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yang kucambuk,” Imam Ali
menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, “bolehlah
ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku,
tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang
sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. “Apakah engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!”
sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam
Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Sikap Ali bukanlah cerminan kesombongan, melainkan
cerminan integritas diri. Ali menyadari sepenuhnya keutamaannya
dibandingkan Uthsman: Ali lebih dahulu masuk Islam, Ali lebih banyak
jasanya dalam menegakkan perjuangan Islam, Ali kerabat dekat Rosul
sekaligus suami dari anak kesayangan Rosul. Ia orang yang oleh Rosul
dinyatakan sebagai “saudara Rosul sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi
Musa”, “kunci kota ilmu”, “orang yang diridhoi Allah dan Rosulnya” serta
julukan-julukan bernada pujian lainnya yang tidak disandang orang lain.
Dan lebih dari itu Ali adalah seorangahlul bait yang oleh Allah telah
dinyatakan suci.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah
Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk
tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya
terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para
pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin
dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman.
Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa
untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman.
Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a.
mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan
untuk meminta maaf?”
“Tidak,” jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. “Aku tidak
akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku
hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah
Utsman. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis
memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata:
“Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku
mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau
menentang keputusanmu. Yang ku maksud semata-mata hanyalah memenuhi hak
Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah
supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa
Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi
Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang
ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku,
sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak
menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a.
tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada lemah lembut: “Apa yang
telah kau ucapkan kepadaku, sudah ku ikhlaskan. Dan apa yang telah
kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun
mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau
memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah
tanganmu….!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat
pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia
wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun turut menangis
sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan
kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri bertahan
hidup dengan sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia
bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak
isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan.
Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin
kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan
apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal
udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar
kelihatan sudah membalik.
Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis,” jawab isterinya yang
setia itu, “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas
ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain
kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus
pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan
isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke
jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang
lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat,” kata
Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh
Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah
telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau
tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan
aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan
kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui
ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi
ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-kemari dan tidak menemukan apa
pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan
pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat
bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di
punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju
memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju
ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya,
kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik bertanya. “Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada
mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu
mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka
untuk memperoleh kepastian.
“Ya, benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu
segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu
menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang
mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata: “Demi Allah…, aku tidak
berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk
membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta
dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku…..Aku minta
kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain
kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan
saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim
dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus
jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih
payahku.
Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan
lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara
perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang
berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal
teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir
dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah
menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai dimakamkan, orang Anshar itu berdiri di atas
kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul
Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang
demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau
mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki
keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang,
disengsarakan dan dihinakan. Sekarang ia mati dalam keadaan terpencil.
Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya
jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!”
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil
mengucapkan “Aamiin” dengan khusyu’. Orang mulia yang bernama Abu Dzar
Al-Ghifari telah wafat. Semasa hidupnya Rosulullah pernah berkata
kepadanya: “Engkau datang sendirin. Engkau pun akan maninggal dalam
kesendirian.” Sementara Abu Dzar pernah berpesan: “Kebenaran tidak
meninggalkan pembela bagiku…”
Namun tragisnya, para musuh Abu Dzar masih terus
berusaha mendeskreditkan manusia “mulia” ini. Misal adanya sebuah cerita
bahwa Abu Dzar pernah meminta suatu jabatan pemerintahan kepada
khalifah. Permintaan tersebut ditolak karena Abu Dzar dianggap sebagai
orang yang lemah dan itu menjadi penyebab ia menentang khalifah.
Yah begitulah. Bahkan kepada para ahlul bait yang
oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya pun, mereka masih berusaha
mendeskreditkannya, sampai sekarang.
ALLAH dan Rasulullah menggunakan kosa kata SAHABAT untuk orang2 yang masuk surga (Jannah) dan orang2 yang masuk api neraka
SHOHIB = kawan, teman, penghuni, pemilik dll
ASHABU = kawan2, teman2, penghuni2, pemilik2 dll
ALQURAN 7:50
Ahabu Nar (sahabat2 di api neraka) berkata kepada Ashabu Jannah (sahabat2 di dalam surga): “Berikanlah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan oleh ALLAH kepada kamu!”
Ahabu Nar (sahabat2 di api neraka) berkata kepada Ashabu Jannah (sahabat2 di dalam surga): “Berikanlah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan oleh ALLAH kepada kamu!”
ALQURAN 5:10
Orang2 Kafir yang mendustakan ayat ayat kami (AlQuran); sesungguhnya mereka Ashabu Al Jahim (sahabat2 di dalam neraka Jahim)
Orang2 Kafir yang mendustakan ayat ayat kami (AlQuran); sesungguhnya mereka Ashabu Al Jahim (sahabat2 di dalam neraka Jahim)
Jika kita membaca semua kosa kata ASHABU (sahabat2, kawan2, teman2)
di dalam AlQuran dengan teliti; maka kita bisa melihat bahwa ALLAH
menggunakan kosa kata SAHABAT untuk mereka yang masuk api neraka dan
juga untuk mereka yang masuk surga.
Ulama Sunni sengaja memutar-balikan ayat ayat AlQuran untuk membodohi ummat Islam.
SYIRIK (dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh ALLAH); adalah
aqidah (kepercayaan & keyakinan) kaum Sunni; karena Kaum Sunni rajin
memuji para sahabat; sehingga Kaum Sunni tidak bisa melihat dan tidak
bisa mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para sahabat; padahal
semua pujian hanya dimiliki oleh ALLAH.
Kaum Syiah sengaja mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para
sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya kamu Syiah tidak mengulangi
kesalahan2 yang sama; karena Kaum Syiah tidak mau dihukum oleh ALLAH di
dunia ini dan di akhirat nanti.
ASHABI (kawan-kawanku, teman-temanku, sahabat-sahabatku)
SHOHIH BUKHARI, Kitab 60 no 149
Ibn Abbas melaporkan bahwa Rasulullah berkata (di depan para sahabatnya): “Ya manusia, kamu akan dikumpulkan pada hari Qiyammah di depan ALLAH dalam keadaan telanjang, tidak ada alas kaki dan tidak disunat. Rasulullah mengucapkan ayat ayat ALLAH
Ibn Abbas melaporkan bahwa Rasulullah berkata (di depan para sahabatnya): “Ya manusia, kamu akan dikumpulkan pada hari Qiyammah di depan ALLAH dalam keadaan telanjang, tidak ada alas kaki dan tidak disunat. Rasulullah mengucapkan ayat ayat ALLAH
ALQURAN 21:104
Pada hari kami gulung langit seperti kami gulung lembaran lembaran kertas; sebagaimana kami telah menciptaan ciptaan kami yang pertama; kami akan mengulanginya; karena itu adalah janji kami; sesungguhnya akan terjadi karena kami akan melaksanakannya
Pada hari kami gulung langit seperti kami gulung lembaran lembaran kertas; sebagaimana kami telah menciptaan ciptaan kami yang pertama; kami akan mengulanginya; karena itu adalah janji kami; sesungguhnya akan terjadi karena kami akan melaksanakannya
Rasulullah melanjutkan dan berkata: “Orang pertama yang akan
diberikan pakaian adalah Nabi Ibrahim pada hari kebangkitan. Banyak
orang yang mengikuti saya akan dibawa kepada saya; kemudian mereka
dimasukan ke dalam api neraka!”
Rasulullah akan berkata (kepada ALLAH): “Mereka adalah ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawnku, teman-temanku)!”
ALLAH akan berkata (kepada Nabi Muhammad): “Kamu tidak mengetahui
perbuatan mereka setelah kepergianmu (setelah Muhammad wafat); mereka
telah MURTAD setelah kepergian kamu!”
Rasulullah akan mengutip ayat AlQuran yang diucapkan oleh Nabi Isa Al Masih
ALQURAN 5:118
Jika anda menyiksa mereka; sesungguhnya mereka adalah hamba-hambamu; jika anda mengampuni mereka; sesungguhnya anda maha perkasa dan maha bijaksana.
Jika anda menyiksa mereka; sesungguhnya mereka adalah hamba-hambamu; jika anda mengampuni mereka; sesungguhnya anda maha perkasa dan maha bijaksana.
KESIMPULAN
Perhatikan kosa kata ASHABI (sahabat-sahabatku, kawan-kawanku,
teman-temanku) dipergunakan oleh Rasulullah untuk para sahabat yang akan
dimasukan ke dalam api neraka.
Ulama Sunni sengaja menyembunyikan atau rajin menutup-nutupi Hadith
ini; supaya SYIRIK (dosa terbesar) tersebar di dalam kalangan Kaum Ahlul
Sunnah Wal Jamaah.
Ulama Sunnah sengaja menyembunyika Hadith tersebut; supaya semua
sahabat bisa dipuji oleh ummat Islam; ini adalah kesalahan besar yang
dilakukan oleh Ulama Sunnah; karena semua pujian hanya dimiliki oleh
ALLAH; bukan dimiliki oleh para sahabat.
Tidakkah mereka membaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepada ‘Ali : “Tidaklah seseorang yang mencintaimu kecuali dia
adalah seorang mukmin dan tidak membencimu kecuali dia adalah seorang
munafik”?
Anehnya hadits ini selalu terpampang di salah blog nashibi.
Definisi keadilan cuma satu yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Definisi keadilan cuma satu yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Mengenai masalah munafik ini adalah masalah hati, makanya Nabi tidak
menghukum Abdullah bin Ubay padahal nabi mengetahui tentang
kemunafikannya. Terus saya koreksi sedikit bahwa memang sahabat itu
manusia biasa dan tidak maksum. Jadi sahabat bisa melakukan kesalahan
dan dosa.
siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di madinah di zaman Nabi saw
seperti yang disebutkan oleh ayat Qs. At taubah 101 biar sunni tidak
terkena hadis-hadis palsu yang mereka susupkan, yang terlanjur tercantum
dikitab-kitab hadis/shahih sunni
Saya juga minta tolong kepada syekh-syekh salafiyun barangkali tau
atau dapat wangsit tentang siapa nama-nama kaum munafik yang hidup di
madinah di zaman Nabi saw… seperti yang disebutkan oleh ayat ini (biar
kami tidak terkena hadis-hadis palsu yg mereka susupkan, yg terlanjur
tercantum dikitab-kitab hadis/shahih sunni :
وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ مَرَدُواْ عَلَى النِّفَاقِ لاَ تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ
نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ
عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada
orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka
keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami
siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar
(Al Qur’an, S. At Taubah[9]: 101)
bacalah ALQURAN 25:30-31
30. Rasulullah berkata: “Ya Tuhanku, KAUMKU telah meninggalkan AlQuran!”
31. ALLAH berkata: “dan seperti itulah (yang terjadi); telah kami
adakan untuk semua nabi; musuh dari orang orang yang berdosa; dan
cukuplah ALLAH menjadi penolong dan pemberi petunjuk
Perhatikanlah kosa kata KAUMKU di dalam ayat ayat AlQuran tersebut.
Para sahabat juga termasuk KAUM MUHAMMAD. Sebagian dari para sahabat
melanggar AlQuran setelah kepergian Rasulullah (setelah Nabi Muhammad
wafat)
Mereka yang melanggar AlQuran akan dijadikan musuh2 Nabi Muhammad
pada hari Qiyammah nanti. Berapa banyak sahabat yang melanggar AlQuran;
sehingga mereka saling membunuh di dalam perang Riddah, perang Siffin,
perang Jamal dan perang perang yang lain.
Mayoritas Ulama Sunni adalah orang2 yang pintar dan yang mengagumkan; tetapi minoritas Ulama Sunni adalah orang2 yang sombong.
Minoritas Ulama Sunni inggin ummat Islam memuji para sahabat; dengan
alasan semua sahabat adalah manusia yang sempurna; padahal semua pujian
hanya dimiliki oleh ALLAH; sehingga tidak mungkin para sahabat melakukan
kesalahan2.
Jika Kaum Syiah mempelajari kesalahan2 yang dilakukan oleh para
sahabat setelah Rasulullah wafat; supaya Kaum Syiah tidak mengulangi
kesalahan2 yang sama;
maka Ulama Sunni tersebut akan marah dan akan tersinggung; kemudian
Ulama Sunni tersebut menuduh Kaum Syiah sebagai orang2 yang suka
menghamun (mencela, menghina) para sahabat; padahal SYIRIK (dosa
terbesar) adalah keyakinan Kaum Sunni
Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang
yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data
riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam.
ucapan anda dipertanggungjawabkan di hadapan Allah lho…jangan asal
ucap, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar!”(QS. AlBaqarah: 111)
Di dalam Bab II, “Sawaiq al-Muhriqah”, Ibn Hajar mencatatkan Hafiz
Jamaluddin Mohammad bin Yusuf Zarandi Madani (seorang faqih dan ulama di
kalangan mazhab Sunni) yang mengatakan, “… tatkala engkau dan
pengikut-pengikut (Syi’ah) engkau akan datang pada Hari Pembalasan kelak
di dalam keadaan diridhai Allah dan Allah ridha terhadap kamu semua.
Musuh-musuh engkau akan berasa cemburu dan tangan mereka akan dibelenggu
ke leher mereka.” Kemudian Ali as bertanya siapakah musuhnya.
Rasulullah saww menjawab, “Orang-orang yang memusuhi engkau dan yang
menghina engkau.” Allamah Samhudi di dalam “Jawahirul”, dengan
pengesahan Hafiz Jamaluddin Zarandi Madani dan Nuruddin Ali bin Mohammad
bin Ahmad Maliki Makki yang terkenal sebagai Ibn Sabbagh, yang dianggap
sebagai ulama yang berwibawa dari kalangan ulama Sunni dan juga seorang
ahli ilmu kalam, di dalam bukunya “Fusul al-Muhimmah”, pada halaman
122, memetik dari Abdullah bin Abbas bahwa, ketika ayat tersebut
diwahyukan Rasulullah saww bersabda kepada Ali as, “Engkau dan Syi’ahmu.
Engkau dan merekalah yang akan datang di Hari Pembalasan kelak dengan
penuh keridhaan dan kepuasan, manakala musuh-musuh engkau akan datang
dengan kesedihan dan terbelenggu tangan-tangan mereka.”
Mir Syed Ali Hamdani Syafie, salah seorang daripada ulama Sunni yang
terpercaya, menyebut di dalam bukunya “Mawaddatul Qurba.” Juga Ibn
Hajar, seorang yang terkenal sebagai anti-Syi’ah di dalam bukunya
“Sawaiq al-Muhriqah” meriwayatkan dari Ummul Mukminin Ummu Salamah,
isteri Nabi saww, bahwa Rasulullah saww bersabda, “Hai Ali, engkau dan
Syi’ahmu akan kekal di dalam Syurga, engkau dan Syi’ahmu akan kekal di
dalam Syurga.”
Seorang ulama yang terkemuka, Khawarazim Muaffaq bin Ahmad di dalam
“Manqib”nya, Bab 19, meriwayatkan dari Rasulullah saww di atas
pengesahan yang tidak dapat diragukan, bahwa Baginda Nabi bersabda
kepada Ali as, “Di kalangan umatku, engkau adalah seumpama Isa al-Masih
Ibn Mariam as, yakni sebagaimana pengikut Nabi Isa as yang telah
berpecah kepada tiga kelompok, yaitu yang benar-benar beriman yang
dikenali sebagai Hawariyyin, penentangnya yaitu orang-orang Yahudi dan
satu lagi golongan yang melampaui batas, yang menyamakan beliau dengan
sifat-sifat ketuhanan. Seperti itu juga umat Muslim, yang akan berpecah
kepada tiga kelompok terhadap engkau. Salah satu dari mereka adalah
Syi’ahmu, dan mereka inilah golongan yang benar-benar beriman. Yang
lainnya adalah musuh-musuh engkau dan mereka itulah yang memungkiri
janji-janji untuk taat setia kepadamu, dan yang ketiganya adalah
golongan yang melampaui batas mengenai kedudukan engkau dan mereka
adalah orang-orang yang menolak kebenaran serta tersesat. Jadi, engkau,
hai Ali, dan juga Syi’ahmu akan berada di dalam Syurga, dan juga
orang-orang yang mencintaimu akan berada di dalam Syurga sedangkan
musuh-musuhmu dan mereka yang berlebih-lebihan terhadapmu akan berada di
dalam Neraka.”
Biarin aja mas. Konsekuensi dari kalimat tsb adalah;
(1) Bahwa tidak selalu orang2 yang beserta Nabi saw akan mati dalam keadaan Islam.
Bagaimana kalau nashibi maksa semuanya harus atau pasti mati dalam keadaan Islam? Wah kalau udah gitu sy nyerah deh.
(2) Bahwa sebelum mereka mati, mereka belum bisa disebut sahabat.
Jadi nanti saat mati baru ketahuan mana sahabat mana yang bukan.
(3) Bahkan yang mati pun belum bisa disebut sahabat kalau ga ketahuan matinya kapan, dimana dan bagaimana.
Nah, tinggal nanya ke nashibi: “berapa banyak data yang mereka punyai
mengenai orang2 di sekitar Nabi saw yang matinya ketahuan dalam keadaan
Islam?”
Malah bagus kan?
Perawi-perawi dan para ulama telah memberitakan bahwa terdapat
sahabat Nabi saw yang munafik serta macam2 prilaku buruk. Ayat2 Alquran
sdh memastikan adanya orang2 di sekitar Nabi saw yang munafik. Hanya
salafiyyun yang bersikeras dan ngotot bahwa sahabat Nabi saw tidak ada
yang munafik, bahwa semua sahabat ‘adil. Bagi mereka yang mau membaca
dan menggunakan akal sehatnya akan mampu melihat secara terang benderang
mana pemahaman yang benar mana yang keliru.
Semoga Allah swt memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
****
Hadis hadis keutamaan nashibi sungguh sangat tidak adil, bertentangan
dengan fakta sejarah. Sekiranya benar Ali bin Abi Thalib pernah
mendengar Rasul Allah bersabda demikian, jalannya sejarah tidak akan
seperti itu. Dalam kumpulan khotbah, ucapan dan tulisan Ali yang
dikumpulkan dalam Nahju’l Balaghah, tidak ditemukan hadis semacam itu.Bila kita hendak berlaku jujur, hadis seperti ini haruslah dianggap sebagai “hadis hadis politik” yang muncul untuk membenarkan kekuasaan de facto. Ini merupakan preseden timbulnya kebiasaan mendukung pemerintahan de facto oleh kebanyakan ulama Sunni, seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. (Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1984. Pada hlm. 137, ia menulis, “Orangorang Sunni hampir selalu menjadi pendukung setiap pemimpin Negara”).
Hadis ini menyangkut sepuluh orang yang telah dinyatakan akan masuk surga (sepuluh yang mendapat kabar gembira masuk surga), yang dilaporkan oleh Sa’id bin Zaid, ipar Umar bin Khaththab, di zaman Mu’awiyah. Baiklah kita ikuti riwayat munculnya hadis ini di zaman ‘pengucilan’ Ali bin Abi Thalib ini.
Said meninggal dunia tahun 51 H/671 M. Di tahun itu juga Mu’awiyah membunuh Hujur bin ‘Adi bersama dua belas kawankawannya.
Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa pemulanya ialah Mughirah
bin Syu’bah, gubernur yang diangkat Mu’awiyah di Kufah, melaknat Ali dan Hujur membantahnya. Pada tahun 40 H/660 M, Mughirah bin Syubah digantikan oleh Ziyad bin Abih yang mengejar dan menganiaya siapa saja yang tidak mau mencerca Ali bin Abi Thalib.
Hadis ini timbul pada masa itu, dengan lafal: ‘Pada suatu ketika, di masjid (Kufah), seseorang telah menyebut (melaknat pen.) Ali bin Abi Thalib. Maka berdirilah Said bin Zaid seraya berkata:
‘Aku bersaksi dengan nama Rasul Allah saw bahwa sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, ‘Sepuluh orang masuk surga: Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair,Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf’. Kemudian orang bertanya, ‘Siapa yang kesepuluh?’ Setelah ditanyakan berkali kali,‘Sa’id bin Zaid’ menjawab, ‘Aku’. Dalam lafal yang lain, nama Abu Ubaidah bin al ‘Jarrah disebut, sedang Nabi tidak dimasukkan. 183
Dalam kemelut seperti itu, Said bin Zaid’ telah bertindak sangat berani. Orang orang yang disebut oleh ‘Sa’id bin Zaid’ sudah tepat. Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah pernah bergesekan dengan Ali, mengepung dan hendak membakar rumah ‘penghulu wanita mu’minin’
Fathimah, ‘meskipun Fathimah ada di dalam’, sebagaimana nanti akan terbaca dalam peristiwa Saqifah. Utsman adalah dari marga Umayyah, marganya Mu’awiyah. Thalhah dan Zubair memerangi Ali dalam perang Jamal. Ali menyebut mereka sebagai kelompok Nakitsun, yaitu kelompok yang membatalkan baiat, karena mereka berdua merupakan orang orang pertama yang membaiat Ali, tetapi kemudian berbalik memeranginya. Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Ali setelah Utsman meninggal dunia.
Abdurrahman bin ‘Auf meskipun kemudian menyesal pernah mengancam akan membunuh Ali dengan pedang, bila Ali tidak membaiat Utsman dalam Syura yang dibentuk oleh Umar. Dengan cerdiknya, ‘Sa’id’ memasukkan nama Ali untuk mencegah para penguasa mengutuk Ali di mimbar mimbar seluruh desa dan kota dan secara tidak langsung berusaha menyelamatkan kaum Syi’ah agar tidak dibantai seperti Hujur. Dan untuk menyelamatkan dirinya, ‘ia’ memasukkan namanya pula.
Hadis ini, ditinjau dari segi sejarah, tidak dapat ditafsirkan lain dari itu. Hadis yang merupakan ‘pemberontakan’ terhadap penguasa yang zalim seperti ini, tidak dapat dikatakan salah, tetapi tidak juga dapat dikatakan benar. Riwayat di atas kemungkinan besar dibuat orang dengan mengatas namakan Sai’id bin Zaid. Imam Malik, misalnya, meriwayatkan: Rasul Allah saw bersabda kepada para Syuhada’ Perang Uhud: ‘Aku menjadi saksi mereka (bahwa mereka telah mengorbankan nyawa mereka) di jalan Allah’. Dan berkatalah Abu Bakar ashShiddiq: ‘Wahai Rasul Allah, bukankah kami saudara saudara mereka? Kami memeluk Islam seperti mereka, dan kami berjihad seperti mereka berjihad!’. Dan Rasul Allah menjawab: ‘Ya, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kamu lakukan sesudahku’. Dan menangislah Abu Bakar sambil berkata: ‘Apakah kami akan masih hidup sesudahmu? 184
Perawi ‘sepuluh orang masuk surga’ tidak menceritakan kepada kita dalam hubungan apa Rasul Allah saw menyampaikan hadis ini, dan siapa saja yang ikut mendengarkan
Dan mengapa Sa’id, misalnya, tidak berdiri di depan massa yang sedang mengepung rumah Utsman yang berakhir dengan pembunuhan khalifah ketiga itu dan mengatakan kepada mereka
hadis yang penting ini?
Mengapa Sa’id bin Zaid, misalnya, tidak menasihati Abdullah bin Umar agar membaiat Ali tatkala terjadi pembaiatan terhadap Ali sesudah Utsman terbunuh, karena bagaimanapun juga Ali
termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasul Allah? Malah membaiat Mu’awiyah, Yazid dan ‘Abdul Malik serta Hajjaj bin Yusuf?
Mengaa tidak menasihati ummu’lmu’minin Aisyah dan menyampaikan hadis itu agar ia tidak memerangi Ali dan agar menetap di rumahnya sebagaimana diperintahkan AlQur’an?
Mengapa pula Thalhah dan Zubair dimasukkan ke dalam sepuluh masuk surga dan bukan, misalnya, Abu Dzarr alGhifari dan Hamzah paman Rasul? Mengapa pula Sad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan misalnya Miqdad atau Abu Ayyub atAnshari?
Begitu pula Abu Ubaidah bin alJarrah, seorang penggali kubur di Madinah dimasukkan pula ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan, misalnya Salman alFirisi?
Meskipun menyesal di kemudian hari Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Imam Ali sedang Rasul mengatakan bahwa ‘barangsiapa tidak mengenal imam pada zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliah’. Dan hadis ini diakui sebagai hadis shahih di semua mazhab?
Apakah surga ini hanya diperuntukkan bagi para khalifah dan mereka. yang ikut dalam pergolakan kekuasaan dan bukan orang orang seperti ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Dzarr alGhifari
atau Salman alFarisi?
183 Tirmidzi, dalam Jami’nya, hlm. 13, 183, 186, dan lainlain.
Hadis ini melalui ‘Abdurrahman alAkhnas, yang didengamya sendiri di masjid Kufah. Jalur lain melalui ‘Abdurrahman bin Hamid yang didengarnya dari ayahnya; ayahnya mendengar dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Hadis yang disebut ini dianggap batil, karena ayah ‘Abdurrahman bin Hamid, yang bernama azZuhri, adalah seorang tabi’i (generasi kedua), bukan Sahabat. Ia lahir 32 H., 653 M. dan meninggal 105 H, 723 M. dalam usia 73 tahun, sedang ‘Abdurrahman bin ‘Auf meninggal 31, 652 M.atau 32 H., 653 M.
Dengan kata lain, Zuri lahir pada saat ‘Abdurrahman bin ‘Auf
meninggal atau setahun sesudahnya. Dengan demikian maka satusatunya jalur adalah yang melalui Said bin Zaid.
Yang masuk surga tidak dapat dibatasi pada mereka yang berhasil menduduki kekhalifahan atau yang ikut dalam pergolakan politik dan tidak dapat dibatasi pada sepuluh orang. Alangkah banyaknya umat Muhammad yang akan masuk surga.
Rujuk:
184. Ibn AbilHadid, Syarh Nahju’lBalaghah, jilid 15, hlm. 37, alWaqidi, Maghazi, jilid 1, hlm. 3 10; berasal dari Thalhah bin ‘Ubaidilllah, Ibnu ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdullah.
Post a Comment
mohon gunakan email