Pesan Rahbar

Home » » Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal Dengan 9 Aspek Kesamaan Dengan Nabi Musa MEMBUKTiKAN MAZHAB SYi”AH BENAR !

Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal Dengan 9 Aspek Kesamaan Dengan Nabi Musa MEMBUKTiKAN MAZHAB SYi”AH BENAR !

Written By Unknown on Wednesday 15 October 2014 | 20:30:00

Oleh : Ustad Husain Ardilla Dilangsir AHLUL BAIT NABI SAW
.
UMAT  KHiANATi  Ali  PASCA  NABi  SAW WAFAT
.
Qs. Al An’am ayat 65-67;
Qs. 6:65. Katakanlah (Muhammad), “Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan berulang ulang tanda tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami (nya).

Qs. 6:66. Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal (azab) itu benar adanya. Katakanlah (Muhammad), “Aku ini bukanlah penanggung jawab kamu”.

Qs. 6:67. Setiap berita (yang dibawa oleh Rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui
Dikutip dari  “AL HiDAYAH ALQURAN TAFSiR PERKATA TAJWID KODE ANGKA PENERBIT KALiM”  yang disahkan DEPAG, halaman 136 :
Asbabun Nuzul Qs.6 : 65-67 : Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda  kepada para sahabat, “Setelah kepergianku, janganlah kalian kembali menjadi kafir dengan saling membunuh diantara kalian”. Mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Nya. “Sebagian yang lain berkata, “ini tidak akan pernah terjadi untuk selamanya, yaitu saling membunuh diantara kita, sementara kita semua adalah muslim.” Maka turunlah ketiga ayat ini (HR. Ibnu Abi Hatim).

Wahai para pembaca…
Qs. Asy Syu’ara; ayat 205-207;
Qs.26 : 205  : Maka bagaimana pendapatmu jika kepada mereka kami berikan kenikmatan hidup beberapa tahun,
Qs.26 : 206  : Kemudian datang kepada mereka azab yang diancamkan kepada mereka,
Qs.26 : 207  : Niscaya tidak berguna bagi mereka kenikmatan yang mereka rasakan.

Dikutip dari  “AL HiDAYAH ALQURAN TAFSiR PERKATA TAJWID KODE ANGKA PENERBIT KALiM”  yang disahkan DEPAG, halaman  376 :
Asbabun Nuzul Qs.26 : 205-207 : Menurut Abu Jahdham, ketiga ayat ini diturunkan berkenaan dengan Rasulullah yang suatu ketika terlihat bingung dan gelisah. Para sahabat menanyakan hal itu. “Aku bermimpi, setelah aku wafat kelak, aku melihat musuhku yang ternyata adalah berasal dari umatku sendiri,” jawab Rasulullah (HR.ibnu Abi Hatim).

Wahai para pembaca…

DUA SUMBER PERBEDAAN AGAMA SAMAWI

Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya.
Golongan Suni :
Karena tidak mengakui pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Penerus/Pengganti Nabi Muhammad SAW dengan kedudukan Imam (pemimpin) bagi umat Islam, maka Golongan Suni berpandangan tidak ada perbuatan penghianatan terhadap kepemimpinan Penerus/-Pengganti Nabi Muhammad saw.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw adalah sah karena didasarkan pada kesepakatan (musyawarah) umat Islam yang dilaksanakan di Saqifah, Balai Pertemuan Bani Saidah.

Golongan Syi’ah:
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam (pemimpin) umat Islam (setelah Nabi SAW) oleh Nabi Muhammad SAW sendiri di Gadhir Khum adalah merupakan ketetapan Nabi SAW yang wajib di taati. Jika kemudian segelintir umat Islam yang berkumpul di Balai Pertemuan Saqifah Bani Saidah, memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama setelah wafatnya Nabi SAW, maka perbuatan itu merupakan pembangkangan terhadap Ketetapan Nabi Muhammad SAW serta merupakan pengkhianatan terhadap Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat sebagai Pemimpin/Imam Umat Islam.
(Lihat Peristiwa Penolakan Bani Israel terhadap Pengangkatan Nabi Harun as sebagai Pengganti/Penerus Nabi Musa as pada Kemah Pertemuan Bani Korah).

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek  persamaan dengan Nabi Musa as, karena tidak ada perbuatan penghianatan terhadap Pemimpin/Imam, sebab memang Beliau SAW tidak pernah mengangkat anggota keluarganya (Ali bin Abi Thalib as) sebagai Pemimpin/Imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Kendati tak henti-hentinya Nabi saw. menasihati para sahabat dan umat Islam akan besarnya hak Ahlulbait as. atas mereka… kendati pesan demi pesan telah beliau sampaikan agar umat bersikap baik, medukung, membela dan menerima kepmipminan Ahlulbait as., namun pasan-pasan dan wasiat-wasiay Nabi saw. itu sepertinya tidak mendapat sambutan semestinya… mereka makin memebenci Imam Ali dan Ahlulbait Nabi saw., sampai-sampai seakan, andai Nabi saw. memerintahkan mereka untuk membencinya niscaya apa yang sudah mereka lakukan sudah melebihi dari cukup… Andai Nabi saw. memerintah mereka untuk mengkhianatinya niscaya pengkhianatan yang mereka lakukan sudah melebihi apa yang beliau perintahkan… mereka lebih memilih jalan pengkhianatan ketimbang kesetiaan… lebih menyukai jalan kebencian ketimbang kecintaan….


Kini Umat Mengkhianati Sang Imam as.!
Pengkhiatan itu begitu menyakitkan…. Karena ia akan membawa kesengsaraan dunia akhirat …. Pengkhianatan yang akan menghalangi sang Imam meberikan bimbingan keselamatan dan menghindarkan mereka dari kebinasaan… Karenanya, Imam Ali as. berulang kali mengatakan:

إنّه ممّا عهد إليّ النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) أنّ الاُمّة ستغدر بي بعده

“Termasuk yang dijanjikan Nabi kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.”

Sumber Hadis:
Hadis ini telah diriwayatkan dan dishahihkan al Hakim dan adz Dzahabi. Ia berkata:

صحيح الاسناد

“Hadis ini sahih sanadnya.”

Adz Dzahabi pun menshahihkannya. Ia berkata:

صحيح

“Hadis ini shahih.” [1]

Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al Bazzâr, ad Dâruquthni, al Khathib al Baghdâdi, al Baihaqi dkk.

Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Menuangkan Kedengkian Mereka Kepada Imam Ali as.
Pengkhianatan itu akan mereka tuangkan dalam bentuk dendam kusumat terlaknat ke atas Imam Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw. sepeninggal beliau.

Demikianlah, mereka yang memendam dendam kusumat dan kebencian kepada Nabi saw. akan menuangkannya kepada Imam Ali as., dan puncaknya akan mereka lakukan sepeninggal Nabi saw.
Kenyataan itu telah diberitakan Nabi saw. kepada Ali as. Para ulama meriwayatkan banyak hadis tentangnya, di antaranya adalah hadis di bawah ini:

Imam Ali as. berkata:

بينا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) آخذ بيدي ونحن نمشي في بعض سكك المدينة، إذ أتينا على حديقة، فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! فقال: إنّ لك في الجنّة أحسن منها، ثمّ مررنا بأُخرى فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! قال: لك في الجنّة أحسن منها، حتّى مررنا بسبع حدائق، كلّ ذلك أقول ما أحسنها ويقول: لك في الجنّة أحسن منها، فلمّا خلا لي الطريق اعتنقني ثمّ أجهش باكياً، قلت: يا رسول الله ما يبكيك ؟ قال: ضغائن في صدور أقوام لا يبدونها لك إلاّ من بعدي، قال: قلت يا رسول الله في سلامة من ديني ؟ قال: في سلامة من دينك

“Ketika Rasulullah saw. memegang tanganku, ketika itu kami sedang berjalan-jalan di sebagian kampong kota Madinah, kami mendatangi sebuah kebun, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah indahnya kebun ini!’ Maka beliau bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Kemudian kami melewati tujuh kebun, dan setiap kali aku mengatakannya, ‘Alangkah indahnya’ dan nabi pun bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Maka ketika kami berda di tempat yang sepi, Nabi saw. memelukku dan sepontan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rrasulullah, gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis?’ Beliau menjawab, ‘Kedengkian-kedengkian yang ada di dada-dada sebagian kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.’ Aku berkata, ‘Apakah dalam keselamatan dalam agamaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Dalam keselamatan agamamu.’”.

Sumber Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al Bazzâr dengan sanad shahih, al Hakim dan adz Dzahabi dan mereka menshahihkannya,[2] Ibnu Hibbân dkk. [3]
Ia juga disebutkan oleh asy Syablanji dalam kitab Nûr al Abshârnya:88
Jadi jelaslah bagi kita apa yang sedang dialami oleh Imam Ali as. dari sebagian umat ini!

Imam Ali as. Mengeluhkan Pengkhianat Sahabat Dari Suku Quraisy dan Para Pendukungnya
Dalam banyak pernyataannya, Imam Ali as. mengeluhkan kedengkian, kejahatan dan pengkhianatan tokoh-tokoh suku Quraisy terhadap Nabi saw. yang kemudian, ketika mereka tidak mendapatkan jalan untuk meluapkannya kepada beliau saw., mereka meluapkan dendanm kusumat kekafiran dan kemunafikan kepadanya as.

Di bawah ini akan saya sebutkan sebuah kutipan pernyataan beliau as. tersebut.

اللهمّ إنّي أستعديك على قريش، فإنّهم أضمروا لرسولك (صلى الله عليه وآله وسلم) ضروباً من الشر والغدر، فعجزوا عنها، وحُلت بينهم وبينها، فكانت الوجبة بي والدائرة عليّ، اللهمّ احفظ حسناًوحسيناً، ولا تمكّن فجرة قريش منهما ما دمت حيّاً، فإذا توفّيتني فأنت الرقيب عليهم وأنت على كلّ شيء شهيد

“Ya Allah, aku memohon dari Mu agar melawan Quraisy, karena mereka telah memendam bermacam sikpa jahat dan pengkhianatan kepada Rasul-Mu saw., lalu mereka lemah dari meluapkannya, dan Engkau menghalang-halangi mereka darinya, maka dicicipkannya kepadaku dan dialamatkannya ke atasku. Ya Allah peliharalah Hasan dan Husain, jangan Engkau beri kesempatan orang-orang durjana dari Quraisy itu membinasakan keduanya selagi aku masih hidup. Dan jika Engkau telah wafatkan aku, maka Engkau-lah yang mengontrol mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.”[4]

Coba Anda perhatikan pernyataan Imam Ali as. di atas, bagaimana dendam dan pengkhianatan Quraisy terhadap Nabi saw. akan mereka luapkan kepadanya! Dan di dalamnya juga terdapat penegasan bahwa mereka tidak segan-segan akan menghabisi nyawa bocah-bocah mungil kesayangan Rasulullah saw.; Hasan dan Husain as. yang akan meneruskan garis keturunan kebanian sebagai melampiasan dendam mereka kepada Nabi saw.!

Dalam salah sebuah pidatonya yang lain, Imam Ali as. mempertegas hal tersebut, beliau berkata:

وقال قائل: إنّك يا ابن أبي طالب على هذا الامر لحريص، فقلت: بل أنتم ـ والله ـ أحرص وأبعد، وأنا أخص وأقرب، وإنّما طلبت حقّاً لي وأنتم تحولون بيني وبينه، وتضربون وجهي دونه، فلما قرّعته بالحجة في الملا الحاضرين هبّ كأنه بهت لا يدري ما يجيبني به.

اللهم إني استعديك على قريش ومن أعانهم، فانهم قطعوا رحمي، وصغّروا عظيم منزلتي، وأجمعوا على منازعتي أمراً هو لي، ثم قالوا: ألا إنَّ في الحق أنْ تأخذه وفي الحق أن تتركه .

“Ada seorang berkata, ‘Hai putra Abu, Sesungguhnya engkau rakus terhadap urusan (Kekhalifahan) ini!’ Maka aku berkata, “Demi Allah, kalian-lah yang lebih rakus dan lebih jauh, adapun aku lebih khusus dan lebih dekat. Aku hanya meminta hakku, sedangkan kalian menghalang-halangiku darinya, dan menutup wajahku darinya. Dan ketika aku bungkam dia dengan bukti di hadapan halayak ramai yang hadir, ia terdiam, tidak mengerti apa yang harus ia katakan untuk membantahku.

Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu atas Quraisy dan sesiapa yang membela mereka, karena sesungguhnya mereka telah memutus tali kekerabatanku, menghinakan keagungan kedudukanku dan bersepakat merampas sesuatu yang menjadi hakku. Mereka berkata, ‘Ketahuilah bahwa adalah hak kamu untuk menuntut dan hak kamu pula untuk dibiarkan.”[5]

Coba Anda perhatikan pengkhianatan apa yang mereka lakukan… ketika Imam Ali as. berusaha mengambil kembali hak beliau yang mereka rampas, jusretu mereka menuduhnya rakus dan gila kekuasaan… sementara mereka yang merampas haknya merasa benar dan menjalanlan apa yang seharusnya mereka lakukan! Karenanya, kemudian beliau membungkam mulut khianat mereka dengan hujjah yang tak terbantahkan.

[1] Mustadrak al Hakim,3/140 dan 142.
[2] Al Mustadrak,3/139 hanya saja bagian akhir radaksi hadis ini terpotong, sepertinya ada “tangan-tangan terampil” yang sengaja menyensor hadis di atas.
[3]Teks hadis di atas sesuai dengan yang terdapat Majma’ az Zawâid,9/118.
[4] Syarah Nahjul Balaghhah, 20/298.
[5] Nahjul Balaghah, kuthbah ke.172

saudaraku….
Dialog Ibnu Abbas ra. Dan Sayyidina Umar Seputar Perampasan Hak Imamah Ali as.
Banyak spekulasi yang dipaksakan para ulama Sunni dalam menyikapi apa yang terjadi sesa’at setelah Nabi saw. wafat ketika para sahabat menyingkirkan Imam Ali as. dari hak kepemimpinan tertinggi umat Islam.. Mereka terpaksa mendustakan atau memalingkan ketegasan makna nash-nash penunjukan Imam Ali as. khususnya sabda Nabi saw. di Ghadir Khum, hanya karena satu alasan yaitu jika diterima kenyataan baahwa Nabi saw. telah menunjuk Ali sebagai Imam dan pemimpin tertinggi umat Islam sepeninggal beliau, mana mungkin para sahabat itu sepakat menentangnya?! Itu artinya kita menuduh para sahabat itu sebagai yang fasik karena terang-terangan menentang wasiat Nabi saw.

Tetapi jika kita mau jujur dalam melihat masalah ini, kita akan menyaksikan bahwa telah ada kesepakatan di balik meja antara para pembesar Quraisy (termasuk di antara mereka adalah para tokoh kafir Quraisy yang baru memeluk Islam karena terpaksa setelah kota Mekkah ditaklukkan dan juga sebagian sahabat lama dari suku Quraisy) yang akan berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan Imam Ali as. dan bahkan siapapun dari suku bani Hasyim (sukunya Nabi saw.) dari tampuk kekuasaan khilafah… mereka hanya akan menggilir khilafah ini pada suku-suku Quraisy selain bani Hasyim.

Dialoq di bawah ini akan menjelaskan kenyataan adanya persekongkolan jahat tokoh-tokoh Quraisy… Dan dokumen ini sangat bernilai mengingat ia memuat pengakuan dari arsitek pembaiatan Saqifah yaitu sayyidina Umar ibn al-Khaththab…. Dan yang juga menentang penulisan wasiat keselamatan abadi yang hendak dituliskan Nabi saw di hari-hari akhir sebelum beliau meninggalkan umat Islam untuk selamanya.

Sayyidina Umar Membongkar Persekongkolan Quraisy Dalam Menyingkirkan Imam Ali as.

Ibnu Abil Hadid Al Mu’tazili dalam Syahr Nahjul Balaghah-nya dan Ibnu Al Atsir dalam al Kamil-nya menriwayatkan dialog panjang antara Sayyidinna Umar dan Ibnu Abbas ra. sebagai berikut:
Umar, “Hai Ibnu Abbas, tahukah kamu apa yang mendorong kaum Quraisy menolak kepemimpinan Ahlulbait sepeningal Muhammad?”
Ibnu Abbas, “Maka aku tidak ingin berterus terang dalam menjawab, lalu aku katakan kepada Umar, ‘Kalau saya tidak mengetahuinya, tentu Amirul Mu’minin mengetahuinya.’
Umar, Karena mereka (kaum Quraisy) tidak menyukai berkumpul kenabian dan kekhilafahan pada kalian (Bani Hasyim), sebab kalian akan menjadi congkak dan semena-mena tehadap kaum kalian. Oleh sebab itu kaum Quraisy memilih untuk mereka seorang pemimpin dan langkah itu benar dan sesuai ….. .
Ibnu Abbas“Apakah Amirul Mukminin bersedia menjauhkan dariku amarahnya lalu mendengarkan pembicaraan saya?”
Umar, “Ucapkan terserah kamu!”
Ibnu Abbas“Adapun ucapan Amirul Mukminin bahwa Quraiys membenci (berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan pada bani Hasyim), maka sesungguhnya Allah –Ta’ala- telah berfirman :“Yang demikian itu adalah kerena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di turunkan Allah lalu Allah menghapus (pahal-pahala) amal –amal mereka ” (QS:47;9).
Adapun ucapan Anda, ‘Bahwa kami akan congkak. Maka jika kami bakal congkak dikarenakan jabatan khilafah maka sesungguhnya kami akan congkak dikarenakan kekerabatan kami (dengan Nabi saww), akan tetapi kami adalah kaum yang akhlak kami terbelah dari akhlak Rasulullah yang Allah berfirman tentangnya“Dan sesungguhnya kamu berada di atas akhlak(budi pekerti)  yang agung”(QS:68;4) dan Allah berfirman kepadanya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,yaitu orang-orang yang beriman “(QS:26;215).
Adapun ucapan Anda bahwa kaum Quraiys memilih …, maka Allah telah berfirman : “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka”. (QS:28;68). Dan Anda –wahai Amirul Mukminin- mengetahui sesungguhnya Allah telah memilih dari hambaNya untuk jabatan itu .Dan andai kaum Quraisy berpendapat seperti yang ditetapkan Allah niscaya mereka tepat dan benar .
Umar, Tunggu, hai Ibnu Abbas, memang hati kalian Bani Hasyim enggan kecuali kebencian yang tiada padam dan kedengkian yang tiada berubah terhadap urusan kaum Quraisy.”
Ibnu Abbas, Tenang wahai Amurul Mukminin, jangan Anda menuduh hati Bani Hasyim dengan kedengkian, sebab hati mereka dari hati Rasulullah yang disucikan dari noda, mereka adalah Ahlulbait yang Allah berfirman kepada mereka: “Sesungguhnya Kami berkehendak untuk menghilangkan dari kalian rijs –wahai Ahlul-Bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya” .
Adapun ucapan Anda, “Mereka sakit hati. Maka benar, bagaimana seseorang yang miliknya dirampas dan melihat miliknya di tangan orang lain ia tidak sakit hati?!”
Umar“Adapun kamu hai Ibnu Abbas telah sampai kepada saya ucapanmu yang saya tidak suka memberitahukannya kepadamu, sebab akan menjatuhkan kedudukanmu disisiku.”
Ibnu Abbas“Apa itu wahai Amirul Mukminin, beritahukan kepadaku, kalua ia kebatilan maka orang seperti saya layak menjauhkan kebatilan dari dirinya dan jika ia haq maka kedudukanku disisi Anda tidak sepatutnya akan jatuh.”
Umar“Telah sampai kepadaku bahwa kamu senantiasa mengatakan: Perkara ini di rampas dari kami karena kedengkian (rasa hasut) dan dengan kezaliman.”
Ibnu Abbas, Adapun ucapan Anda ‘karena rasa hasut’, maka sesungguhnya Iblis telah mengahsut Adam sehingga mengeluarkannya dari surga dan kami adalah anak turun Adam yang di hasuti.
Adapun ucaapan Anda ‘dengan kezaliman’, maka sesungguhnya Amirul Mukminin mengatahui pemilik hak ini, siapa dia?
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah bangsa Arab berhujjah atas orang ajam (non Arab) dengan kedudukan Rasulullah, dan suku Quraisy berhujjah atas seluruh bangsa Arab dengan kedudukan Rasulullah saww, maka kami lebih berhak terhadap Rasulullah dari seluruh Quraiys.”
Umar, Berdirilah sekarang dan pulanglah kerumahmu!”
Maka Ibnu Abbas berdiri dan ketika ia berjalan Umar memanggilnya, “Hai orang yang sedang berpaling, saya tetap seperti dulu, memelihara hakmu. Lalu Ibnu Abbas menoleh dan berkata, “Sesungguhnya saya punya hak atas Anda, wahai Amirul Mukminin dan atas seluruh kaum Muslimin dengan kedudukan Rasulullah saw., maka barang siapa memeliharanya berarti ia memelihara hak dirinya sendiri dan barang siapa menyia-nyiakannya maka ia menyia-nyiakannya. Kemudian ia berlalu, maka Umar berkata kepada mereka yang duduk bersamanya, “Aduh, Ibnu Abbas, tiada saya melihat ia berdebat dengan seorang kecuali ia mengalahkannya.[1]
Analisa Ringkas terhadap Dialoq diatas.
Dari dialoq panjang antara Sayyidina Umar; arsitek pembaiatan Saqifah dan Ibnu Abbas ra. salah seorang keluarga besar Bani Hasyim yang dirampas hak kepemipimnanya oleh mereka yang merampasnya dapat Anda saksikan beberapa poin penting, di antaranya:
  • Umar berterus terang bahwa suku Quraisy benci pengaturan Tuhan yang menggabungkan kenabian dan khilafah pada keluarga Muahammad saww.
  • Pengaturan Tuhan mengandung arti menzalimi hak suku Quraisy –selain Bani Hasyim-, sebab Dia memberikan kepada Bani Hasyim kenabian dan khilafah, sementara  yang lainnya tidak kebagian keutamaan tersebut.
  • Kendati hal itu adalah ketetapan Tuhan akan tetapi kalangan Quraisy menolak penggabungan kenabian dan khilafah dengan alasan bahwa ketetapan itu akan menyebabkan Bani Hasyim akan merasa congkak dan angkuh.
  • Khalifah Umar membekukan ketentuan Tuhan yang menetapkan hak kenabian dan khilafah bagi Bani Hasyim dan menyajikan konsep alternatif yang mencabut dari mereka hak khilafah  dan ia menyebutnya sebagai tindakan benar dan lurus.
  • Khalifah menuduh banwa Bani Hasyim curang dan dengki terhadap suku-suku Quraisy lain, sebab mereka berusaha mengambil kembali khilfaha dari Quraisy.
  • Khalifah memposisikan dirinya sebagai jubir resmi pihak Quraisy dan sekaligus sebagai pembela kepentingan-kepentingannya.
  • Orang pertama dari kalangan Quraisy yang melahirkan alasan-alasan tersebut dan menyatakannya serta merancang kekuasaan Quraisy adalah Umar bin Khaththab. jadi beliau adalah anak Quraisy yang bakti dan perancang konsep alternatif.
  • Khalifah Umar selalu mewaspadai semua keluarga besar Bani Hasyim dan khawatir mereka mengambil kembali kekuasaan khilafah dari Quraisy. Adapun sikap akrabnya terhadap Ibnu Abbas adalah mata rantai sikap politis yang bertujuan memecah belah kesatuan Bani Hasyim yang selalu setia mendukung Imam Ali as., sebagaimana sebelumnya mereka lakukan terhadap Abbas dengan menawarkan jabatan agar ia meninggalkan Ali as akan tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Abbas paman Nabi tersebut.
Tanggapan Ibnu Abbas ra. Terhadap Sikap Sayyidina Umar.
  • Sesungguhnya suku-suku Quraisy, diantara mereka adalah Umar sendiri benci terhadap ketetapan Allah Swt.dengan dipilihnya Ahlulbait as. sebagai pemimpin umat Islam.
  • Sesungguhnya suku-suku Quraisy menyimpang dari kebenaran syar’iyah dan salah karena memilih selain yang di pilihkan Allah.
  • Sesungguhnya kekhawatiran Quraisy terhadap kecongkakan Bani Hasyim apabila kenabian dan khilafah ditangan meraka, walau hal itu adalah ketetapan Allah, sama sekali tidak beralasan, baik alasan syar’iyah maupun berdasar logika.
  • Suku-suku Quraisy dalam sikap politis mereka dengan meninggalkan pilihan Allah dan menentukan pilihan mereka sendiri adalah bertentangan dengan ketetapan syar’iyah. Meraka mengatakan bahwa sikap itu benar dan menuduh Ahlulbait as.yang disucikan Allah sesuci-sucinya yang berusaha mengambil kembali hak mereka yang terampas sebagai berbuat curang dan memendam rasa hasut.
  • Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Umar telah mengetahui siapa sebenarnya pemilik hak khilafah itu, yaitu Ali as. namun kendati demikian mereka merampasnya.
  • Sesungguhnya suku Quraisy mendengki dan menzalimi Ahlul-Bait as dengan merampas hak khilafah dari mereka.
  • Sesungguhnya mereka yang menyia-nyiakan hak Ahlulbait as dalam kepemimpinan umat sebenarnya meraka menzalimi diri mereka sendiri!
Ketidak Sukaan Suku Quraisy Terhadap Kepemiminan Ali as. Didasari Oleh Kebencian!
Dokumen dan ketarangan di bawah akan memperjelas kenyataan di atas dan sekaligus mengungkap latar belakang perampasan hak kepemimpinan Imam Ali as. yang dilakukan ooleh tokoh-tokoh Quraisy.
Kebencian bangsa Arab dan khususnya suku Quraisy terhadap Imam Ali as. adalah dikarenakan pembelaan beliau terhadap Nabi saww. dan agama Islam, sehingga dengan ketajaman pedang Ali as., musuh-musuh Islam dikalahkan, dan korban dari kalangan merekapun berjatuhan, sehingga walaupun di kemudian hari mereka memeluk Islam rasa dengki dan dendam tersebut masih ada dalam hati mereka. Apalagi mereka yang memeluk Islam bukan karena ketulusan akan tetapi karena tujuan-tujuan lain seperti: karena ikut-ikutan, menginginkan mendapatkan materi, takut terhadap kejayaan Islam dan lain lain .

Ibnu Abi al Hadid mengatakan, “Ketahuilah bahwa semua darah yang ditumpahkan Rasulullah saw. dengan pedang Ali as. dan dengan pedang yang lainnya maka orang-orang Arab sepeninggal Nabi saw. hanya akan menuntut balas semua itu kepada Ali as., dan itu adalah kebiasaan bangsa Arab apabila ada seorang dari mereka terbunuh mereka menuntut balas kepada si pembunuhnya dan apabila ia telah mati atau ada halangan untuk membalasnya maka mereka akan membalas keluarga yang paling sepadan dengan si pembunuh dari keluargnya.” [2]

Dan selain itu kedengkian itu pada sebagain mereka di kerenakan rasa iri dan hasut terhadap berbagai keistimewaan dan keutamaan Imam Ali as. yang selalu diutarakan dan di tablighkan Nabi Muhammad saww. serta kedudukan sentral yang di berikan kepada beliau as. Dan perlu di ketahui bahwa suku Quraisy adalah terkenal dengan rasa hasut dan iri serta kompetisi tidak sehat diantara mereka, sebagaimana di tegaskan oleh Khalifah Umar  kepada Abu Musa al-’Asy’ari dan Mughirah bin Syu’bah.[3]
.
Bukti-bukti Adanya Kedengkian Suku Quraisy Terhadap Imam Ali as. dan Ahlulbait as.
Dalam sebuah hadis  dari Abu Utsman an Nahdi dari Ali as. beliau berkata, “Pada suatu hari Nabi saww. memelukku sambil menangis tersedu-sedu, maka saya bertanya kepada beliau: Gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, ‘Kedengkian terhadapmu yang ada di dada-dada beberapa kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.
Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah dalam keselamatan agamaku?’
Beliau menjawab, ‘Ya, dalam keselamatan agamamu.’” [4]

Ibnu Abi al Hadid setelah membenarkan sikap Imam Ali as. bergabung dengan dewan syura yang di bentuk oleh Umar kendati beliau tahu bahwa tidak akan terpilih dan Abbas pun telah menyarankan agar beliau tidak terlibat dalam dewan tersebut, karena menurut hemat Ibnu Abi al Hadid dengan tidak ikut sertanya beliau dalam dewan itu akan menggembirakan hati kaum Quraisy sebab, “Quraisy sangat membenci Ali as.”[5]

Dalam kesempatan lain ia mengemukakan, “Ketahuilah bahwa keadaan Ali dalam hal ini (kebencian bangsa Arab terhadapnya) sangat masyhur dan tidak perlu di perpanjang lagi , tidakkah Anda menyaksikan bagaiamana pemberontakan bangsa Arab dari berbagai penjuru ketika beliau di baiat sebagai khialifah setelah dua puluh lima tahun dari wafat Nabi saw. dan semestinya dalam kurun waktu kurang dari itu kedengkian itu sudah terlupakan, tuntutan balas dendam sudah padam  dan hati-hati yang membara meredah serta terhibur, berlalunya sebuah generasi dan datangnya generasi baru dan tidak tersisa dari generasi menyandang dendam kecuali sebagaian kecil, namun demikian keadaan beliau dengan suku Quraisy setelah kurun waktu yang panjang itu seperti keadaan beliau apabila menerima jabatan khilafah langsung sepeninggal anak pamannya (Nabi) saww. dalam sisi penampakan apa yang terpendam dalam jiwa dan gejolak hati, sehingga generasi pelanjut Quraisy dan para pemuda yang tidak ikut serta menyaksikanperistiwa-peristiwa yang dilakuakan Ali as.dan penghunusan pedang terhadap pendahulu dan ayah-ayah mereka juga melakukan apa-apa yang seandainya  para pendahulu itu masih hidup tidak akan melakukan seperti itu. Lalu apa bayangan kita kalau beliau duduk di kursi khilafah sementara pedang beliau masih bercucuran darah bangsa Arab, khususnya Quraisy… [6]

Dan inilah salah satu bentuk penghianatan umat terhadap beliau seperti yang di sabdakan Nabi saww. kepada Ali as.
Habib bin Tsa’labah bin Yazid berkata : Saya mendengar Ali berkata ketika dipaksa memberi baiat untuk Abu Bakar, “Demi Tuhan langit dan bumi (beliau ucapkan tiga kali), sesungguhnya ini adalah janji Nabi yang ummi kepadaku, “Bahwa umat akan berkhianat terhadapmu sepeninggalku.[7]
.
Beberapa bukti adanya kebencian sahabat terhadap Imam Ali as.
Dalam banyak riwayat dapat kita temukan bukti adanya rasa dengki dan kebencian sebagian sahabat Nabi saww. terhadap Imam Ali as. walaupun Nabi saww. dalam banyak kesempatan telah menegaskan bahwa kebencian terhadap Imam Ali as. adalah kemunafikan. Dibawah ini akan kami sebutkan beberapa riwayat hadis yang membuktikan adanya kebencian itu .


Para muhadis seperti at-Turmudzi, ath-Thabarani, an-Nasa’i dan lain-lain meriwayatkan beberapa hadis yang menyebutkan bahwa ada sekelompok sahabat yang bersekongkol menyampaikan keluhan tentang sikap Ali as. kepada Nabi saww. ketika menjadi komandan pasukan yang di kirim ke negri Yaman dengan tujuan menjatuhkan kedudukan Ali as. di hadapan Nabi saww., melihat tindakan mereka Nabi saww. marah dan menegur mereka agar tidak membenci Ali as. seraya menegaskan bahwa Ali adalah wali mereka sepeninggal Nabi saww.
Setiap kali mereka mengeluhkan tetntang Ali as. Nabi saww. mengatakan kepada mereka dengan nada marah : Apa yang kalian maukan dari Ali? Apa yang kalian maukan dari Ali? Dia adalah pemimpin kalian setelahku . [8]

Dalam riwayat lain di katakan: “Maka Khalid bin walid [9] menulis sepucuk surat kepada Nabi saww. dan memerintah saya  (Buraidah) untuk mengecam Ali, maka saya serahkan surat itu dan saya kecam Ali ra. maka tiba–tiba berubahlah wajah Rasulullah saww. dan bersabda: Janganlah kamu membenci Ali sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali dan dia adalah wali(pemimpin) kalian setelahku.” [10]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Buraidah berkata: Maka Khalid memanggilku dan mengatakan manfa’atkan kesempatan ini dan beritakan kepada Nabi saww apa yang ia lakukan, maka saya berangkat kembali ke Madinah dan sesampainya di madinah saya menuju masjid dan ketika itu Rasulullah saww. sedang berada dirumahnya sementara sekelompok sahabat beliau di hadapan pintu rumah beliau. Mereka bertanya: Ada berita apa hai Buraidah? Saya menjawab: baik, Allah memenangkan kaum muslimin. Mereka bertanya lagi, “Lalu apa yang membawamu pulang? Saya menjawab : Ali mengambil seorang tawanan wanita dari bagaian khumus dan saya datang untuk melaporkan hal itu kepada Nabi saw.”.

Mereka serempak menjawab, “Ya, beritahukan kepada Nabi saw. agar ia jatuh di mata Nabi saw. Sementara itu Rasulullah mendenganrkan pembicaraan mereka, lalu beliau keluar dengan muka marah dan bersabda: Mengapakah gerangan ada sekelompok kaum mencela-cela Ali? Barang siapa mencela-cela Ali berarti ia mencela saya dan barang siapa meninggalkan Ali berarti telah meninggalkan saya .Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali  … .”[11]

Referensi:
[1] Syarah Nahj: jilidIII\12\107, Tarikh Thabari: 4\223 dan  Al Kamil Fit Tarikh: 3\62 (peristiwa tahun 23).
[2] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:283.
[3] Baca dialoq lengkap mereka dalam Syarah Nahjul Balaghah :jilid:I juz 2\125-126, dan dalam dialoq tersebut Umar menegaskan bahwa yang paling hasut diantara suku Quraisy adalah Abu Bakar.
[4] Nuur al-Abshar (asy-Syablanji asy-Syafi’i):88.Cetakan Daar al-Fikr.
[5] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:283.
[6] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:38.
[7] Syarah Najh :jilid II\juz6 hal:18 .
[8] Hadis riwayat an-Nasa’i dalam Khashaish(dengan komentar Abu Ishaq al-hawaini) diterbitkan Daar al-Baaz Makkah ,hadis nomer 84 dengan sanad Shahih .
[9] dalam espedisi tersebut Nabi saww. mengirim dua pasukan ,satu di bawah pimpinan Khalid dan yang lain di bawah pimpinan Imam Ali as. dan Nabi saww.mengatakan : Jika kalian bertemu maka Alilah pimpinan tunggal atas pasukan itu dan jika kalian berpisah maka setiap pasukan di bawah pimpinan masing-masing ,dan sesampainya di Yaman mereka bertemu .(An-Nasa’i: hadis ke 85).
[10] Ibid. hadis nomer:85 denagn sanad hasan .
[11] Majma’ az Zawaid ;al-Haitsami,9\18 dari riwayat ath-Thabarani dalam Mu’jam Ausath.

saudara pembaca…
—————————————
Berikut saya jabarkan 9 persamaan aspek kenabian Nabi Musa dan nabi Muhammad SaaW.
Aspek Kenabian Musa as
1 . Nabi, Rasul & Imam
2 . Membawa Kitab Taurat untuk Bangsa Israel.
3. Bermigrasi/Hijrah
4. Menghadap Tuhan untuk menerima perintah-Nya bagi bangsa Israel
5. Mengangkat Mantan Hamba Sahayanya menjadi Panglima Militer sebelum wafat- nya.
6. Mengangkat seorang anggota Keluarga-nya menjadi Penggantinya (Wasiy) dan sebagai Imam Pertama bagi umatnya
7. Mempunyai 12 orang Imam, dan salah satunya yang menjadi Imam Besar berasal dari keturunan Penggantinya
8. Penggantinya dan keturunannya di sucikan untuk menjadi Imam Besar Bangsa Israel
9. Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya

Aspek kenabian Nabi Muhammad sebagai mesiah universal
1. Nabi, Rasul, Imam dan Tuan para Nabi & Rasul/Nabi Penutup
2. Membawa Kitab Baru dari Tuhan sebagai Perjanjian Baru untuk seluruh umat manusia
3. Bermigrasi/Hijrah
4. Menghadap Tuhan untuk menerima PerintahNya bagi seluruh umat manusia.
5. Mengangkat Mantan Hamba Sahayanya menjadi Panglima Militer sebelum wafat nya.
6. Mengangkat serang anggota keluarganya sebagai penggantinya dan sebagai imam pertama bagi umatnya
7. Mempunyai 12 orang Imam dari keturunan Penggantinya
8. Penggantinya dan keturunannya di sucikan untuk menjadi Imam Universal.
9. Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya

Dikarenakan adanya perbedaan pandangan antara kedua golongan Islam (Sunni dan Syi’ah), maka umat Islam hanya sepakat bulat dalam pemenuhan Aspek ke-1 s/d ke-5 dari persamaan antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa as, yaitu:

Aspek-1 : Muhammad SAW adalah Nabi, Rasul, Imam dan Tuan para Nabi & Rasul/Nabi Penutup.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Al Ahzab [33] : 40).

Aspek-2 : Nabi Muhammad SAW membawa Al Qur’an yang bersisikan hukum/ perjanjian baru bagi seluruh umat Manusia.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, (QS. Al Furqon [25] : 1).

Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,….(QS. An Nahl [16]: 44).

Aspek-3 : Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah
Hai Nabi, …………..…… yang turut hijrah bersama kamu ………… Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33]: 50).

Aspek-4 : Nabi Muhammad SAW menghadap langsung Allah SWT di dalam peristiwa Isra Mi’raj.

Aspek-5 : Nabi Muhammad SAW beberapa saat menjelang kewafatannya mengangkat mantan hamba sahayanya yaitu “Zayd bin Haritzah” sebagai Panglima Pasukan, tetapi didalam pertempuran awal Zayd bin Haritzah gugur/syahid, kemudian didalam keadaan sakit yang semakin parah, Beliau SAW mengangkat Usamah bin Zayd (anak laki-2 Zayd bin Haritzah) yang masih berumur 18 tahun sebagai Panglima Pasukan menggantikan bapaknya yang mantan hamba sahaya Nabi Muhammad SAW.

Tindakan Nabi Muhammad SAW mengangkat Zayd bin Haritzah maupun Usamah bin Zayd mengundang tanda-tanya besar (kalau tidak bisa dikatakan sebagai protes halus) dikalangan para Sahabat Beliau SAW, karena masih banyak di antara para Sahabat yang berdasarkan kemampuan berperang berada jauh di atas kemampuan Zayd dan Usamah. Apalagi mengingat usia Usamah masih sangat muda untuk diangkat sebagai Panglima Pasukan.

Ke-engganan umat Islam untuk bergabung kedalam pasukan Usamah, sampai2 menyebabkan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan sakit yang semakin parah dan hanya beberapa hari saja menjelang Beliau SAW dipanggilan ke Rahmatullah, terpaksa keluar dari kamarnya dengan dipapah dan naik ke mimbar masjid untuk berpidato menegaskan kembali akan keputusan-nya mengangkat Usamah sebagai Panglima dan memerintahkan agar pasukan Usamah segera berangkat.

Banyak sekali umat Islam, bahkan sampai masa kini, tidak memahami latar belakang keputusan Nabi Muhammad SAW untuk mengangkat Zayd bin Haritzah dan Usamah bin Zayd sebagai Panglima Pasukan Islam, sampai2 Beliau SAW dalam keadaan sakit yang semakin parah dan hanya beberapa hari saja menjelang kewafatannya, bersikap sangat gigih mempertahankan keputusannya itu.

Tetapi jika masalah ini dilihat dari sisi Nubuat Mesianistik, khususnya berkaitan dengan Aspek Ke-5 kesamaan dengan Nabi Musa as, maka sesungguhnya sangat jelas latar belakang keputusan Nabi Muhammad SAW di dalam mengangkat Zayd bin Haritzah dan Usamah bin Zayd, yaitu Nabi Muhammad SAW se-mata2 ingin menyatakan dan membuktikan bahwa Beliau adalah sama seperti Nabi Musa as, yang menjelang kewafatannya juga mengangkat mantan hamba sahayanya menjadi Panglima Pasukan, yaitu Yusya bin Nun (Yoshua bin Nun/Nabi Dzulkifli).

Aspek -6 :Mengangkat seorang anggota Keluarganya menjadi Penggantinya/ Penerusnya (Wasiy) dan sebagai Imam Pertama bagi umatnya.

Golongan Suni :
Sekalipun mengakui adanya hadisth Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : “Hai Ali !, Tidakkah kamu menyukai (kedudukanmu) dariku seperti kedudukan Harun as dari Musa?”
Namun hadist ini tidak dimaknai sebagai pengangkatan Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi SAW) menjadi Pengganti/Penerus (Wasiy) Nabi Muhammad SAW. Golongan Suni sama sekali tidak mengakui kedudukan Ali Bin Abi Thalib sebagai Wasiy Nabi SAW, bahkan menurut mereka Wasiy Nabi SAW adalah seseorang yang dipilih/diangkat atas kesepakatan umat, dan yang pertama adalah Abu Bakar yang dipilih/diangkat di Balai Pertemuan Bani Saidah di Saqifah. Dengan demikian secara tidak disadari mereka telah menolak kemesiahan universal Nabi Muhammad Saaw.

Golongan Syi’ah:
Hadisth Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : “Hai Ali !, Tidakkah kamu menyukai (kedudukanmu) dariku seperti kedudukan Harun as dari Musa?”, dimaknai sebagai isyarat dari Nabi Muhammad SAW bahwa Ali bin Abi Thalib adalah merupakan Penerus/Pengganti (wasiy) Beliau SAW untuk memimpin umat sebagai Imam Pertama.

Isyarat hadist di atas kemudian diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW sepulangnya dari Haji Wada ditengah perjalanan menuju Madinah disuatu perempatan yang dinamakan Gadhir Khum, pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H, dihadapan 120.000 umat Islam, berupa pengangkatan resmi Ali bin Abi Thalib sebagai Penerus/Pengganti (Wasiy) Nabi SAW sebagai pemimpin umat (Imam) setelah Nabi SAW.

Peristiwa Ghadir Khum di riwayatkan oleh 110 perawi hadist dan dimuat oleh ratusan kitab hadist baik dari Golongan Suni maupun Golongan Syi’ah. Tetapi anehnya tidak termuat di dalam 6 Kitab Hadist (Kuttubus Sittah) yang diakui oleh Golongan Suni sebagai kitab2 hadist yang sahih dan boleh dijadikan pegangan. Padahal Hadist Gadhir Khum ini merupakan Hadist Sahih yang Muttawatir (artinya kebenaran-nya dianggap mutlak karena diriwayatkan oleh banyak jalur perawi yang dipercaya).

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-6 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena Beliau SAW tidak mengangkat anggota keluarganya sebagai Pemimpim/Imam umat Islam. Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-6 dari persamaan dengan Nabi Musa, dengan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai Wasiy Beliau SAW.

Bahwasanya Golongan Suni tidak mengakui pengangkatan Ali bin Abi Thalib tersebut, tidaklah menjadikan pengangkatan itu menjadi tidak ada. Karena bukti hadist dan sejarah tetap menunjukkan Nabi Muhammad SAW telah mengangkat salah seorang anggota keluarga-nya sebagai Penerus/Pengganti/Wasiy dan Imam Pertama bagi umatnya.

Aspek-7: Mempunyai 12 orang Imam dari keturunan Penggantinya
Golongan Suni :
Sekalipun mengakui adanya Hadisth tentang 12 Imam sebagai hadist yang sahih dan muttawatir, tetapi berpendapat bahwa pengangkatan ke-12 Imam ini adalah berdasarkan pemilihan/kesepakatan umat Islam.
Tetapi kemudian Golongan Suni mengalami kesulitan karena tidak bisa menyebutkan/menetapkan siapakah ke duabelas Imam itu, bahkan sampai ada yang nekat memasukkan yazid bin muawiyah sebagai salah satu dari 12 imam padahal ia termasuk orang yang zalim. Akhirnya Hadist 12 Imam ini tidak pernah lagi dimunculkan dalam syariat maupun aqidah Suni.

Golongan Syi’ah :
Sebaliknya Golongan Syi’ah mengakui adanya 12 Imam setelah Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat. Hanya saja berbeda dengan 12 Imam pada Nabi Musa as (Bani Israel) yang keberadaannya sekaligus 12 Imam (horizontal) pada setiap masa, maka 12 Imam pada Nabi Muhammad SAW adalah berurut kebawah (vertikal), sesuai dengan ruang-lingkup waktu misi Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal di akhir jaman.

Adapun ke 12 Imam menurut pandangan Syiah adalah :
1. Imam ‘Ali bin Abu Thalib as – Amirul mukminin Ash Shidiq Al Faruq
2. Imam Hasan as – Al Mujtaba
3. Imam Husein as – Sayyidu Syuhada
4. Imam ‘Ali bin Husein as – As Sajjad Zainal Abidin
5. Imam Muhammad bin ‘Ali as – Al Baqir
6. Imam Ja’far bin Muhammad as – Ash Shadiq
7. Imam Musa bin Ja’far as – Al Kadzim
8. Imam ‘Ali bin Musa as – Ar Ridha
9. Imam Muhammad bin ‘Ali as – Al Jawad At Taqi
10. Imam ‘Ali bin Muhammad as – Al Hadi At Taqi
11. Imam Hasan bin ‘Ali as – Az Zaki Al Askari
12. Imam Muhammad bin Hasan as – Al Mahdi Al Qoim Al hujjah Al Muntadzar Sohib Al Zaman Hujjatullah.

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-7 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena Beliau SAW tidak mempunyai 12 Pemimpim/Imam yang berasal dari keturunannya Penggantinya (Wasiy).

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-7 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena Beliau SAW mempunyai 12 Pemimpim/Imam yang berasal dari keturunannya Penggantinya (Wasiy), yaitu dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra Binti Muhammad SAW.

Aspek-8: Penggantinya dan keturunannya di sucikan untuk menjadi Imam Universal.
Golongan Suni :
Sekalipun mengakui bahwa bahwa ayat pada QS. Al Ahzab [33]: 33 adalah berkenaan dengan penyucian, tetapi yang disucikan adalah anggota keluarga (Ahlul Bayt) Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Nabi SAW sendiri, semua isteri Beliau, anaknya (Fatimah Az-Zahra), menantunya (Ali bin Abi Thalib) dan kedua cucunya (Hasan & Husein).

Dan penyucian tersebut se-mata2 bertujuan untuk menyucikan Ahlul Bayt Nabi SAW dari semua dosa, tidak ada tujuan lainnya.

Golongan Syi’ah :
Penyucian yang dimaksud pada QS. Al Ahzab [33]: 33 hanya berkena-an dengan anggota keluarga (Ahlul Bayt) Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Nabi SAW sendiri, anaknya (Fatimah Az-Zahra), menantu-nya (Ali bin Abi Thalib) dan kedua cucunya (Hasan & Husein). Sedang-kan isteri2 Nabi SAW tidak termasuk didalamnya. Asbabun Nuzul ayat ini diperkuat dengan Hadist Al Kisa yang diakui oleh seluruh umat Islam sebagai Hadist Muttawatir.

Mengapa isteri2 Nabi SAW tidak termasuk didalam “Ahlul Bayt” yang disucikan ?
Pertama, karena penyucian ini adalah dalam rangka persiapan anggota keluarga Nabi SAW untuk menduduki jabatan Imam bagi seluruh Umat Manusia (lihat : penyucian Nabi Harun as dan anak-2nya yang akan menjabat kedudukan Imam Besar umat Israel pada Tanakh/Injil Perjanjian Lama Kitab Keluaran 40: 12-15).

Kedua, adalah aneh jika isteri2 Nabi SAW yang ada pada saat QS. Al Ahzab [33]: 33 diturunkan di sucikan, tetapi isteri Nabi SAW yang paling utama dan merupakan salah satu dari 4 wanita utama umat manusia, yaitu Khadijah Al Kubra tidak ikut di sucikan, karena telah jauh sebelumnya wafat.
Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-8 persamaan dengan Nabi Musa, karena penyucian terhadap anggota keluarga Nabi SAW tidak ada kaitannya dengan pengangkatan Pemimpin/Imam.

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-6 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena penyucian anggota keluarga Nabi SAW adalah justru dalam rangka persiapan menjadi Imam bagi Penggantinya (Wasiy) yaitu Ali bin Abi Thalib beserta anak2nya.

Aspek-9: Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya
Golongan Suni :
Karena tidak mengakui pengangkatan Imam ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Penerus/Pengganti Nabi Muhammad SAW dengan kedudukan Imam (pemimpin) bagi umat Islam, maka Golongan Suni berpandangan tidak ada perbuatan penghianatan terhadap kepemimpinan Penerus/-Pengganti Nabi Muhammad saw.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw adalah sah menurut golongan sunni karena didasarkan pada kesepakatan (musyawarah) umat Islam yang dilaksanakan di Saqifah, Balai Pertemuan Bani Saidah.

Golongan Syi’ah:
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam (pemimpin) umat Islam (setelah Nabi SAW) oleh Nabi Muhammad SAW sendiri di Gadhir Khum adalah merupakan ketetapan Nabi SAW yang wajib di taati. Jika kemudian segelintir umat Islam yang berkumpul di Balai Pertemuan Saqifah Bani Saidah, memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama setelah wafatnya Nabi SAW, maka perbuatan itu merupakan pembangkangan terhadap Ketetapan Nabi Muhammad SAW serta merupakan pengkhianatan terhadap Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat sebagai Pemimpin/Imam Umat Islam. (Lihat Peristiwa Penolakan Bani Israel terhadap Pengangkatan Nabi Harun as sebagai Pengganti/Penerus Nabi Musa as pada Kemah Pertemuan Bani Korah, pada halam 32 s/d 36 ).

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-9 persamaan dengan Nabi Musa as, karena tidak ada perbuatan penghianatan terhadap Pemimpin/Imam, sebab memang Beliau SAW tidak pernah mengangkat anggota keluarganya (Ali bin Abi Thalib as) sebagai Pemimpin/Imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-9 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama di Saqifah Bani Saidah jelas merupakan tindakan penghianatan terhadap Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Pemimpin/Imam Umat Islam di Gadhir Khum pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H.

Perbedaan pandangan diantara Golongan Suni dan Golongan Syi’ah di atas, membawa implikasi terhadap pemenuhan kriteria Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal, khususnya dalam dalam kriteria “sama seperti Nabi Musa as” .

Apabila mengikuti pandangan Golongan Suni, maka tentunya akan sulit meyakinkan umat beragama lainnya tentang keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal, karena pandangan Golongan Suni menafikan (menolak) adanya kesamaan antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as, khususnya berkaitan dengan Aspek Kenabian Ke-6 s/d Ke-9.

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah, keseluruhan Aspek Kenabian (9 Aspek) pada Nabi Muhammad SAW adalah sesuai/sama seperti Nabi Musa as, sehingga menurut pandangan Golongan Syi’ah, tidak ada keraguan sedikitpun dan sepenuhnya dapat dibuktikan tentang keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal.

Adanya dua pandangan yang berbeda di antara umat Islam tentang pemenuhan persyaratan kesamaan 9 aspek kenabian antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as sebagaimana di uraikan di atas, sesungguhnya tidak membawa konsekwensi apapun terhadap keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal.

Sebagaimana dapat dimisalkan dengan 3 (tiga) orang buta yang berkumpul pada sebuah tanah lapang di siang hari. Ketiganya tidak bisa melihat matahari yang sedang bersinar terang. Tetapi ketidak mampuan mereka untuk melihat matahari, tidaklah berarti atau tidaklah mengakibatkan matahari tersebut menjadi tidak ada. Keberadaan Matahari tidak tergantung dari mampu atau tidak mampunya manusia melihatnya.

Demikian juga kebenaran dan keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal tidaklah tergantung pada pandangan golongan-2 umat Islam yang menafikan adanya unsur2/faktor2 persyaratan sebagai Mesiah Universal pada diri Nabi Muhammad SAW, sekalipun mereka itu merupakan golongan yang mayoritas dari umat Islam.

Dalam kontek inilah hendaknya dipahami firman Allah SWT berikut ini :
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al An’am [6]: 116).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.(QS. Al Maidah [5]: 57).

Sekalipun pandangan Golongan Suni seperti yang diuraikan di atas mengakibat-kan sebahagian aspek kenabian Nabi Muhammad SAW menjadi “tidak seperti Nabi Musa as”, yaitu aspek ke-6 s/d ke-9, namun hal ini bukan berarti Golongan Suni tidak mempercayai/meyakini bahwasanya Nabi Muhammad SAW adalah “Pembawa Rahmat bagi Alam Semesta” yang bermakna juga sebagai Mesiah Universal. Hanya saja keyakinan tersebut se-mata2 di dasarkan pada Al Qur’an, tanpa didukung pembuktian yang terukur dengan alat ukur yang telah ditentukan berdasarkan Nubuat2 Mesianistik, sehingga keyakinan termaksud tidak dapat dijadikan hujjah (argumentasi) untuk menyakinkan umat non-Islam (yang tidak mempercayai Al Qur’an) tentang aspek kenabian Nabi Muhammad SAW yang “sama seperti Nabi Musa as”.

Dilain pihak, pandangan Golongan Suni yang berkaitan dengan Nubuat Mesianistik ini justru menguntungkan umat agama lainnya, terutama Umat agama Yahudi. Mengapa ?
Aqidah agama Yahudi sepenuhnya bertumpu pada harapan kedatangan Sang Mesiah Universal yang akan mengangkat derajat bangsa Israel pada tingkat yang paling tinggi di antara semua bangsa yang ada di dunia. Tanpa adanya harapan ini, maka umat Yahudi akan tercerai-berai mengikuti agama-agama lainnya.
Apabila ternyata Sang Mesiah Universal (yang di-tunggu2) sudah datang dan derajat Bangsa Israel tidak terangkat sampai puncak yang paling tinggi di antara umat manusia, maka tentunya kenyataan itu akan menghapuskan harapan umat Yahudi, dan pada gilirannya akan menghancurkan sendi2 ke-imanan mereka akan kebenaran agama Yahudi.

Oleh karena itu selama harapan umat Yahudi belum terwujud, maka mereka akan dan harus menolak semua klaim atas kemunculan Mesiah Universal yang tidak sejalan dengan harapan2 mereka.

Sebenarnya para pemimpin agama Yahudi (Rabi2) sejak awal kelahiran Nabi Muhammad SAW telah mengetahui bahwa Beliau SAW merupakan Mesiah Universal yang ditunggu2 dan dikhabarkan di dalam Nubuat2 Mesianistik pada Kitab2 Suci terdahulu. Hal inilah yang dikatakan di dalam Al Qur’an :
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.(QS. Al Baqarah [2] : 146).

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. Al A’raf [7]: 157).

Keberadaan komunitas Yahudi di Semenanjung Arab (Madinah dan Khaibar) sebenarnya dilatar belakangi oleh pengetahuan mereka tentang kedatangan Mesiah Universal dari wilayah ini. Umat Yahudi memang me-nunggu2 kedatangan Sang Mesiah Universal tetapi bukan untuk mengikutinya, melainkan untuk menggagalkan baik kedatangan maupun misi Sang Mesiah Universal ini. Karena kedatangan Mesiah Universal dari tanah Arab yang bukan berasal dari keturunan Nabi Ishak as dan bukan pula dari garis keturunan Nabi Daud as (Suku Yehuda), akan membuka rahasia kepalsuan nubuat2 mesianistik yang mereka buat2 sendiri dan pada gilirannya akan memporak-porandakan sendi-2 aqidah dan keimanan agama Yahudi.

Sejarah Islam meriwayatkan hal-2 yang berkaitan dengan aktivitas umat Yahudi di Semenanjung Arab guna menggagalkan kedatangan dan misi Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal, di antaranya :
1. Dimasa kanak2 nya Nabi Muhammad SAW diriwayatkan adanya peringatan tentang usaha pembunuhan atas Nabi Muhammad SAW oleh orang2 Yahudi ;
2. Selama Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, sejak awal sampai akhir umat Yahudi baik secara terang2an maupun sembunyi2 (bekerja sama dengan kaum Musyrik Mekkah) senantiasa berupaya menggagalkan misi Nabi Muhammad SAW.
3. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Yahudi tetap berupaya merusak agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari dalam dengan cara membuat hadist2 palsu, yang dikenal sebagai “Hadist Israiliyat”, bekerjasama dengan beberapa unsur umat Islam (munafiqun).

Pandangan dikalangan mayoritas umat Islam sendiri yang secara langsung berakibat (se-olah2) aspek kenabian Nabi Muhammad SAW tidak sama seperti aspek kenabian Nabi Musa as, sangat sejalan dengan keinginan dan kepentingan umat Yahudi sejak awal, dengan demikian para pemimpin agama Yahudi dapat mengatakan kepada umatnya :
“Hai Bani Israel !!! Lihatlah mayoritas umat Islam sendiri tidak mengakui bahwa Nabi mereka “sama seperti Nabi Musa”, artinya Nabi mereka (Nabi Muhammad SAW) bukanlah Sang Mesiah Universal yang kita tunggu. Mesiah Universal dari keturunan Nabi Ishak dan Nabi Daud belum datang !”

Keselarasan antara pandangan Golongan Suni dengan keinginan/kepentingan umat Yahudi berkenaan dengan Ke-Mesiah-an Nabi Muhammad SAW, mungkin hanya kebetulan saja. Tetapi mungkin juga bukan hal yang kebetulan.

Bukankah Sejarah Islam juga meriwayatkan keberadaan figur Kaab Al-Akhbar, seorang ulama Yahudi yang kemudian masuk Islam dimasa pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW ? Kedekatan Kaab Al-Akhbar dengan beberapa tokoh puncak umat Islam di masa itu, yaitu Khalifah Umar bin Khattab ra, Khalifah Utsman bin Affan ra , serta Abu Hurairah ra (perawi hadist terbanyak dilingkungan Golongan Suni) juga banyak diriwayatkan di dalam kitab2 sejarah Islam.

Melihat kenyataan bahwa pandangan Golongan Suni yang sejalan dan selaras dengan keinginan/kepentingan agama/kaum Yahudi, bukankah cukup alasan untuk berspekulasi, bahwa Kaab Al-Akhbar mungkin telah berhasil memasukan pemikirannya kedalam pandangan Golongan Suni melalui hadist2 Israiliyatnya, seperti hadist di bawah ini :
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: “Dua orang bercaci maki, seorang dari kaum Muslim dan seorang dari Yahudi. Orang Muslim itu berkata: ……………………………………….., lalu Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian memilih aku atas Musa karena besok pada hari Qiyamat manusia pingsan dan akupun pingsan bersama mereka, Aku adalah orang yang mula pertama sadar, tiba-tiba Musa memegang pada satu segi Arasy, maka aku tidak tahu apakah ia termasuk orang yang pingsan dan sadar sebelum aku, atau ia termasuk orang yang dikecualikan Allah”.

Pada hadist yang diriwayat oleh Abu Hurairah ra (yang sangat erat hubungannya dengan Kaab Al Akhbar) di atas, menjelaskan bahwa Nabi Musa as dibangunkan Allah SWT lebih dahulu dahulu daripada Nabi Muhammad SAW di Hari Kiamat, halmana menunjukan bahwa kedudukan Nabi Musa as lebih utama dibandingkan dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW.

———————————————————————————–
Memahami Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal.
Ketidakpahaman mayoritas umat Islam (Golongan Suni) terhadap kedudukan dan fungsi Nabi Muhammad SAW selaku Mesiah Universal/Juru Selamat Umat Manusia/Pembawa Rahmat bagi Alam Semesta, yang berpangkal pada penolakan persamaan aspek kenabian ke-6 s/d ke-6 antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as, kemudian mempengaruhi pandangan mayoritas umat Islam terhadap sosok dan kepribadian Nabi Muhammad SAW, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi aqidah dan syariat ke-Islam-an mereka.

Sebagai konsekwensinya, maka selama mayoritas umat Islam belum mampu memahami kedudukkan dan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal, maka selama itu pula mayoritas umat Islam tidak akan mampu memahami ajaran agamanya secara utuh.

Sebagai Rahmatan lil Alamin, Nabi Muhammad SAW tidaklah sama seperti semua manusia lainnya yang pernah di ciptakan Allah SWT, Beliau SAW adalah se-mulia2-nya manusia yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Sehubungan dengan ini Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. QS. Al Ahzab [33]: 56.

Tidak ada satupun manusia sejak Nabi Adam as sampai Hari Kiamat nanti yang memperoleh kehormatan dari Allah SWT sedemikian tingginya kecuali terhadap Nabi Muhammad SAW. Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk mendirikan shalat, melaksanakan puasa, berzakat, beramal-soleh dan sebagainya, tetapi tentunya Allah SWT sendiri tidaklah melakukan/mengerjakan apa2 yang diperintahkanNya kepada umat manusia itu.

Namun berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW, sebelum Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk memberikan salam penghormatan (ber-shalawat) kepada Beliau SAW, Allah SWT sendiri beserta seluruh Malaikat telah terlebih dahulu dan terus senantiasa memberikan salam penghormatan (ber-shalawat) kepada Nabi Muhammad SAW.

Apakah Nabi SAW “maksum”?
Jikalau Para Imam Bani Israel dari keturunan Nabi Harun as dan para Imam dari ke-12 Suku Bani Israel saja disucikan oleh Allah SWT, yang artinya “maksum” yaitu setiap saat dicegah dari perbuatan melakukan kesalahan/dosa. Maka tentunya Nabi Muhammad SAW dan Para Imam Penerus (Wasiy) Beliau SAW yang berlingkup untuk seluruh umat manusia (Universal) lebih dapat dipastikan “ke-maksuman-nya”, sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam QS. Al Ahzab [33] : 33.

Sementara ini kalangan mayoritas umat Islam mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW hanya “maksum” pada saat menerima dan memberitakan wahyu Al Qur’an, sedangkan diluar itu Beliau SAW adalah seperti manusia biasa lainnya, yang dapat berbuat salah dan dosa. Sebagai akibat pemahaman ini sering kali terdengar ucapan di antara umat Islam: “Ah tidak apa2 koq berbuat salah, karena Nabi Muhammad SAW juga acapkali berbuat salah, Beliau kan hanya manusia biasa seperti kita”.

Jika benar Nabi Muhammad SAW bisa berbuat salah dan dosa (diluar saat menerima dan memberitakan wahyu Al Qur’an), maka bagaimana mungkin umat Islam diwajibkan berpegang pada Sunnah Beliau SAW? Bukankah dengan demikian di antara sunah2 Nabi SAW itu terbuka kemungkinan mencakup pula perkataan atau perbuatan Beliau SAW yang salah dan mengandung dosa? Dan jika Nabi Muhammad SAW adalah seperti manusia biasa yang bisa berbuat salah dan dosa, bagaimana mungkin Allah SWT justru memerintahkan seluruh umat manusia sampai Hari Kiamat untuk menjadikan Beliau SAW sebagai suri tauladan yang baik, sebagaimana firman Allah SWT :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al Ahzab [33] : 21).

Ucapan di atas sungguh2 merendahkan derajat dan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Rahmatan lil Alamin (Mesiah Universal), bagaimana mungkin kedudukan Nabi Muhammad SAW ditempatkan di bawah Para Imam Bani Israel yang dijamin Allah SWT tidak akan melakukan kesalahan/dosa karena mereka telah di sucikan (maksum).

Padahal dilain pihak mayoritas umat Islam mengakui adanya Hadist yang berbunyi: “Ulama2 dari umatku kedudukannya lebih tinggi dari nabi2 Bani Israel”. Para Imam Bani Israel itu kedudukannya lebih rendah dari nabi2 Bani Israel, dan Nabi Muhammad SAW ditempatkan dibawah para Imam Bani Israel, tetapi dilain pihak ulama2 umat Islam berada di atas nabi2 Bani Israel. Jadinya kedudukan Nabi Muhammad SAW berada jauh dibawah ulama2 umatnya sendiri ?
Cara berpikir mayoritas umat Islam yang kontradiktif di atas se-mata2 dikarenakan ketidakpahaman mereka terhadap kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal, Juru Selamat dan Pembawa Rahmat bagi seluruh umat Manusia. (Rahmatan lil Alamin).

Nabi SAW “bermuka masam”
Perendahan/pelecehan kedudukan Nabi Muhammad SAW oleh mayoritas umat Islam tidak saja terjadi pada tingkatan pembicaraan2 ringan se-hari2, melainkan lebih jauh lagi, yaitu dalam menafsirkan ayat2 Al Qur’an menisbahkan (melekatkan) hal2 yang tercela kepada Beliau SAW, seperti terjadi pada penafsiran yang umum atas Surat Abasa [80] : 1-2, yang merupakan Surat Makkiyah Ke-24 :
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya,
Padahal pada Surat Al Qalam [68] : 4, yang merupakan Surat Makkiyah Ke-2, Allah SWT berfirman :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Bagaimana mungkin dapat dipahami oleh akal yang sehat bahwa Nabi Muhammad SAW yang Allah SWT sendiri telah mengatakan “berbudi pekerti yang agung”, malah bermuka masam dan berpaling ketika seorang pengikutnya yang saleh lagi buta menemuinya (Abdullah bin Ummi Maktum).

Disamping itu wahyu Al Qur’an itu diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, halmana artinya komunikasi yang terjadi adalah antara Allah SAW (melalui Malaikat Jibril as) dan Nabi Muhammad SAW.
Dalam komunikasi dua pihak, maka tentunya kata ganti orang yang digunakan adalah kata ganti orang kedua (kamu, engkau dsb), bukan kata ganti orang ketiga (dia, mereka), karena kata orang ketiga mengandung arti yang bersangkutan tidak termasuk didalam komunikasi dua pihak.

Karena QS. Abasa [80]: 1 ditafsirkan : “Dia (Muhammad)….”, maka berarti Nabi Muhammad SAW merupakan orang ketiga yang tidak termasuk di dalam komunikasi antara Allah SWT dengan orang yang menerima wahyu Al Qur’an termaksud. Jadi kepada siapakah wahyu Surat Abasa ini diturunkan ? Atau berarti juga wahyu Al Qur’an ditafsirkan tidak saja turun kepada Nabi Muhammad SAW tetapi juga ada orang lain?

Nabi SAW “kena sihir”.
Kalangan mayoritas umat Islam mempercayai bahwa di Madinah Nabi Muhammad SAW terkena sihir yang dilakukan orang orang Yahudi, sehingga selama 3 hari Beliau SAW menjadi “linglung”, berdasarkan hadist yang di riwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra dan dimuat pada Kitab Sahih Bukhari.

Hadist ini jelas Dhaif (palsu), karena :
1. Jika benar Nabi SAW terkena sihir, maka benarlah tuduhkan kaum kaum musyrik yang mengatakan Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang yang kena sihir, sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an :
Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata: “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir”.(QS. Al Isra [17]: 47).

atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil) nya?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.” (QS. Al Furqon [25]: 8).

2. Sihir adalah perbuatan syaitan, dan syaitan tidak bisa menggangu orang2 yang mukhlas, sedangkan Nabi Muhammad SAW pastilah lebih lagi dari sekedar orang yang mukhlas.
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia ……….(QS. Al Baqarah [2]: 102).

Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.(QS. Shaad [38]: 82-83).

Hadist Dhaif tentang Nabi Muhammad SAW terkena sihir yang diriwayatkan oleh Aisyah ra (Kitab Sahih Bukhari) ini kemudian diperkuat lagi dengan hadist2 lainnya (seperti pada Kitab Hadist Al Baihaqi), yang meriwayatkan ketika Nabi SAW terkena sihir inilah Allah SWT menurunkan Surat Al Falaq dan Surat An Nas (Surat Al Mu’awwidzatain), padahal kedua surat tersebut turun di Mekkah sebagai Surat Makkiyah Ke-20 dan Ke-22, sedangkan menurut riwayat hadistnya Nabi SAW terkena sihir ketika di Madinah.
Ketiga contoh di atas tentang rendahnya pandangan dan penghargaan mayoritas Umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW, hanya sekedar mewakili dari banyak lagi contoh2 lainnya yang sejenis, dimana jika dijelaskan satu persatu, niscaya dapat disusun ke dalam sebuah buku tebal tersendiri.

Pandangan dan penghargaan mayoritas umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW sebagaimana digambarkan di atas jelas sekali bertentangan dengan kedudukan dan fungsi Beliau SAW sebagai Mesiah Universal/Juru Selamat dan Pembawa Rahmat bagi umat manusia serta seluruh alam semesta.
Dengan keadaan seperti ini bagaimana mungkin umat Islam mampu menyakinkan umat agama lainnya tentang kebenaran ajaran Agama Islam, karena syarat utama kebenaran ajaran agama samawi di akhir jaman adalah bahwa Nabi Pembawa Risalahnya haruslah memenuhi persyaratan sebagai Sang Mesiah Universal.
Dan sebaliknya, rendahnya penghargaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW, justru dapat dijadikan senjata oleh umat agama lainnya, dimana mereka akan mengatakan, “lihat ! umat Islam sendiri mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai banyak kelemahan seperti layaknya manusia biasa, jadi mana mungkin Nabi Muhammad SAW bisa di akui sebagai Sang Mesiah Universal”.

Kesimpulan/Penutup:
1. Ditinjau dari aspek ajarannya, maka pada hakekatnya semua agama samawi mengandung ajaran yang sama, baik pada segi Tauhid maupun Aqidahnya, yang berbeda adalah pada segi syariatnya saja, karena disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktunya.

Semua agama samawi mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan itu adalah Maha Pencipta Alam Semesta berserta Isinya, sembahlah Tuhan Yang Esa jangan menduakanNya, berlombalah berbuat kebaikan dan janganlah berbuatan kejahatan. Perbedaannya hanyalah berkaitan dengan muatan materi ajarannya yang disesuaikan dengan kemampuan umat manusia pada kurun waktunya untuk memahami ajaran agama yang bersangkutan.

Mungkin tahapan perkembangan muatan materi ajaran agama2 samawi ini dapat di ibaratkan seperti pelajaran pada jenjang pendidikan formal yang ada.
Ajaran agama (pesan Ilahiyah) yang dibawakan oleh Nabi Nuh as sampai Nabi Saleh as (Kaum Tsamud), dapat di umpamakan seperti pelajaran bagi tingkat Taman Kanak2 dan Sekolah Dasar.

Ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as sampai Nabi Yunus as, dapat di umpamakan seperti pelajaran bagi tingkat Sekolah Dasar. Kemudian ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi Musa as sampai Nabi Zakaria as & Nabi Yahya as, dapat di umpamakan seperti pelajaran bagi tingkat Sekolah Lanjutan Pertama. Sedangkan ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi Isa as diumpamakan seperti pelajaran bagi Sekolah Lanjutan Atas, dan sekaligus mempersiapkan Bani Israel untuk memasuki jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi. Akhirnya, ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk tingkatan pendidikan yang terakhir, yaitu tingkat Perguruan Tinggi sampai mencapai gelar akademis yang tertinggi, yaitu Tingkat S-3. Seluruh ajaran agama yang dibawa sejak Nabi Adam as sampai ke Nabi Muhammad SAW merupakan satu paket pelajaran pendidikan formal yang terpadu, selaras dan sejalan sesuai dengan tingkatannya, dan paket ajaran ini namanya “Islam”.

2. Agama-2 Samawi pada hakekatnya bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek ajaran (aqidah dan syariat) dan aspek sosok/figur Pembawa Risalah Agama yang bersangkutan (Nabi/Rasul) berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Juru Selamat/Pembawa Rahmat bagi Kaum tertentu atau bagi seluruh Umat Manusia (Mesiah Universal). Kedua aspek agama samawi ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka memperoleh pemahaman yang seutuhnya atas masing2 agama samawi yang bersangkutan.
Oleh karena itu ajaran Agama Yahudi tidaklah mungkin dapat dipahami secara utuh tanpa memahami kedudukan dan fungsi Nabi Musa as, Pembawa Risalah Agama Yahudi dengan Kitab Tauratnya (dan juga Nabi Daud as dengan Kitab Zaburnya) sebagai Juru Selamat Bani Israel (Mesiah Bani Israel).

Demikian juga, Agama Nasrani/Kristen tidaklah mungkin dapat dipahami secara utuh tanpa memahami kedudukan dan fungsi Nabi Isa as (Yesus), Pembawa Risalah Agama Nasrani dengan Kitab Injilnya, sebagai Nabi Terakhir/Penutup Bani Israel dan sekaligus Juru Selamat Bani Israel, yang dikirim oleh Allah SWT guna memberikan peringatan kepada Bani Israel atas penyelewengan2 yang telah mereka dilakukan dan sekaligus mempersiapkan Bani Israel untuk menyongsong kehadiran Sang Juru Selamat/Pembawa Rahmat bagi seluruh umat manusia (Sang Mesiah Universal).

Dan terlebih lagi tentunya dengan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia. Ajaran Agama Islam mutlak hanya mungkin dipahami secara utuh dan benar dengan bertitik pangkal pada pemahaman tentang kedudukan dan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai Juru Selamat/Pembawa Rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta (Rahmatan lil Alamin), yaitu sebagai Sang Mesiah Universal.

3. Kehadiran Mesiah Universal yang dijanjikan menjadi “Thema Sentral” agama2 samawi, dimana hampir semua Nabi yang di utus oleh Allah SWT memberitakan tentang ciri2 dari Sang Mesiah Universal tersebut. Berita2 atau Riwayat2 tentang Mesiah yang terdapat pada Kitab2 Suci Agama Samawi disebut pula sebagai “Nubuat Mesianistik”.

Adapun ciri utama Sang Mesiah Universal menurut Nubuat Mesianistik yang diakui oleh semua agama samawi adalah:
1). Sang Mesiah Universal berasal dari keturunan anaknya Nabi Ibrahim as yang dikorbankan,
2). Sang Mesiah Universal itu memiliki kesamaan dalam aspek kenabian dengan Nabi Musa as.
4. Di dalam perkembangan sejarahnya agama2 samawi ternyata tidak dapat bebaskan dirinya dari pengaruh2 kepentingan umatnya untuk mengaku/-mengklaim bahwa masing2 agama merupakan satu2nya agama yang benar dan Nabi Pembawa Risalah Agamnya adalah Sang Mesiah Universal yang ditunggu oleh segenap penganut agama samawi.

Untuk memperkuat klaim tersebut tidak segan2 pula para pemuka agama samawi, dalam hal ini Agama Yahudi, merubah bagian2 tertentu dari Kitab Suci Taurat (Tanakh), agar ciri2 Sang Mesiah Universal sesuai dan sejalan dengan apa yang mereka kehendaki.

Akhirnya, dapat kiranya disimpulkan bahwa perbedaan agama yang ada diantara agama2 samawi adalah bersumber dari persoalan siapakah anak Nabi Ibrahim yang dikorban itu, Ismail-kah atau Ishak-kah dan persoalan Nabi siapakah yang memiliki kesamaan dalam aspek kenabiannya dengan Nabi Musa as.
Kedua persoalan yang nampaknya sangat simpel, tetapi tidak mampu diselesaikan oleh umat manusia.
Dan kedua persoalan ini semata-mata membuktikan betapa benarnya firman Allah SWT,
…………..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,(QS. Al Maidah [5]: 48).

Dari ayat QS. Al Maidah [5]: 48 di atas sebenarnya sangat terang dan jelas, dimana melalui ayat tersebut Allah SWT menyatakan sesungguhnya sangat mudah bagi Allah SWT untuk menjadikan umat manusia seluruhnya sepakat terhadap siapakah yang sebenarnya Mesiah Universal itu (‘pemberian-Nya”), tetapi Allah SWT justru menjadikan “pemberian-Nya kepadamu” yaitu Sang Mesiah Universal untuk seluruh umat manusia itu sebagai ujian bagi umat manusia apakah mampu mengenali dan mengimani Sang Mesiah Universal itu.

Tetapi pada akhirnya, ketika umat manusia kembali kepada Allah SWT, maka Dia akan memberitahukan siapakah yang sebenarnya Sang Mesiah Universal itu, yang selalu diperselisihkan oleh umat manusia.
Sebagaimana layaknya suatu ujian, maka pemberitahuan Allah SWT tentang siapakah sebenarnya Sang Mesiah Universal adalah juga merupakan jawaban yang berfungsi untuk menilai keberhasilan ujian termaksud.

Bilamana selama hidup di dunia ternyata seseorang telah mengenali dan mengimani Mesiah Universal yang salah, maka artinya yang bersangkutan tidak berhasil lulus dari ujian Allah SWT, dan sebagai akibatnya yang bersangkutan tidak akan memperoleh keselamatan dan keberkatan pada kehidupan di dunia dan di akherat.
Tetapi sebaliknya, jika selama hidup di dunia ternyata seseorang telah mengenali dan mengimani Mesiah Universal yang benar, maka artinya yang bersangkutan berhasil lulus dari ujian Allah SWT, dan sebagai ganjarannya yang bersangkutan akan memperoleh keselamatan dan keberkatan pada kehidupan di dunia dan di akherat.

Orang nasrani kemudian menganggap Nabi Isa as sebagai juru selamatnya dan menganggap Nabi Muhammad Saw sbg mesiah dan Nabi palsu. Tapi setelah diselidiki Nabi Isa as tidak memiliki ciri kesamaan apapun dgn Nabi Musa as.

Bukankah di Al-Quran dikatakan bahwa nama Nabi Muhammad tertulis di alkitab? Coba anda cari ga bakalan ada, dan itulah senjata nasrani. Tapi setelah di cek dalam alkitab bahasa Ibrani, ternyata ditemukan, tapi bukan dgn nama “Ahmad” namun dgn tulisan “HMD” atau “Hamda” yang artinya adalah terpuji. Tapi “Hamda” juga bisa berarti “barang yang indah”, bah terjemahan kedualah yang diambil dan dijadikan patokan alkitab, namun itulah kelemahan kita karena tidak ada bukti lain.

Oleh ahli sejarah kemudian ditelusuri kembali, dan ditemukan bahwa ciri2 yang sama seperti musa as ternyata ada pada diri nabi muhammad saw. dan umat nasrani ga berkutik ketika disodorkan bukti terebut.
Ingat bung, bukti2 di atas lah yang disembunyikan oleh bangsa israil pada masa kenabian Nabi Muhammad Saw, karena bukti itulah mereka hendak membunuh Nabi Muhammad Saw.

Tentu anda tahu hadits 12 imam, 12 khalifah, Hadits kedudukan Imam ‘Ali dalam kitab2 sunni, sekarang saya tanya siapa saja 12 imam/khalifah versi sunni?
Apabila mengikuti pandangan Golongan Suni, maka tentunya akan sulit meyakinkan umat beragama lainnya tentang keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal, karena pandangan Golongan Suni menafikan (menolak) adanya kesamaan antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as, khususnya berkaitan dengan Aspek Kenabian Ke-6 s/d Ke-9.

nih bukti2 hadits 12 imam dari kitab2 sunni yang ditolak oleh sunni sendiri :
Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah berwilayah kepada Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu ke pintu kesesatan” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Bukhari juz 5, Sahih Muslim juz 2; Adzahabi dalam kitabnya Mizanul I’tidal juz 4; Al-Khawarizmi dalam kitabnya Al-Manaqib, Al-Qunduzi Al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah; Ibnu Hajar Asqalani as-Syafi’i dalam kitabnya Al-Ishabah juz 1).

Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia! Hormatilah Ali karena Allah telah mengkaruniakan kelebihan kepadanya. Terimalah Ali karena Allah telah melantiknya untuk kalian. Wahai manusia! Sesungguhnya Ali adalah imam dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menerima taubat seorang yang mengingkari wilayahnya. Dan Allah sekali-kali tidak akan mengampuninya. Sudah pasti Allah akan melakukan hal demikian ini terhadap orang yang menyalahi perintah-Nya mengenainya. Dan Dia akan menyiksanya dengan siksaan pedih yang berpanjangan. Lantaran itu kalian berhati-hatilah supaya kalian tidak menyalahinya. Justru itu kalian akan dibakar di neraka di mana bahan bakarnya adalah manusia dan batu disediakan kepada orang-orang yang ingkar” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi` al-Mawaddah; al-Khawarizmi dalam kitabnya al-Manaqib; Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdhib al-Tahdhib juz 1).

Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia! Dengan akulah demi Allah, para Nabi dan Rasul yang terdahulu diberi khabar gembira. Aku adalah penutup para Nabi dan Rasul. Akulah hujjah atas semua makhluk di bumi dan di langit. Barangsiapa yang meragukan Ali adalah kafir sebagaimana kafir jahiliyah. Dan barangsiapa yang meragukan sabdaku ini, berarti dia meragukan seluruhnya. Orang yang meragukannya adalah neraka sebagai balasannya” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah; al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak juz 3).

Rasulullah saw bersabda, “Ali adalah pemimpin setiap orang yang beriman sesudahku” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Tirmidzi, juz 5; Al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ al-mawaddah; Al-Khawarizmi al-Hanafi dalam kitabnya Al-Manaqib; Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-Ishabah juz 2; An-Nasa’i As-Syafi’i dalam kitabnya Khashaish Amirul Mukminin; Ibnu Asakir as-Syafi’i dalam kitabnya Tarjamah Ali bin Abi Thalib dalam Tarikh Damsyiq juz 1; Ibnu Atsir dalam kitabnya Jami’ al-Ushul juz 9).

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mati tanpa ketaatan (kepada seorang imam), mati sebagai murtad dan kafir.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Ahmad ibn Hanbal dalam kitabnya Musnad Ahmad, juz 3).

“Barangsiapa yang mati tanpa berbaiat (terhadap seorang imam), maka ia mati sebagai kafir.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Muslim).

“Barangsiapa mati dan tidak memiliki seorang imam, ia mati sebagai seorang kafir.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Mu’jam al-Kabir juz 10).

“Selama masih ada paling sedikit dua orang (di dunia), persoalan ini (kekhalifahan) tetap berada di tangan Quraisy.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Muslim, Sahih Bukhari, Musnad Ahmad).

“Barangsiapa yang mati tanpa seorang imam, maka ia mati sebagai kafir.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Musnad Ahmad juz 4).

“Barangsiapa yang mati tidak memiliki imam umatnya, maka ia mati sebagai seorang kafir.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Hakim dalam kitabnya Mustadrak juz 1).

Dari Ali mengatakan bahwa Rasulullah saw ketika menafsirkan ayat al-Qur’an, ‘(ingatlah) suatu hari ketika Kami memanggil setiap orang dengan imamnya’ (QS.Al-Isra:71) beliau bersabda, ‘Setiap kelompok akan dipanggil dengan imam zamannya.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Ad-Durr al-Mantsur juz 4; AL-Qurthubi dalam kitabnya Tafsir).

Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Akan ada 12 pemimpin dan khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Ayahku berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Semuanya dari golongan Quraisy.’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Bukhari juz 4; Sahih Muslim; Sahih Tirmidzi; Sunan Abu Dawud; Musnad Ahmad).

Jabir meriwayatkan, “Aku dan ayahku pergi menemui Rasulullah saw. Kami mendengarnya bersabda, ‘Persoalan ini (kekhalifahan) tidak akan berakhir sampai datang 12 khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak kudengar aku menanyakan pada ayahku apa yang Rasulullah saw sabdakan. Beliau saw bersabda, ‘Semuanya dari golongan Quraisy.’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Muslim).

Rasulullah saw bersabda, “Agama Islam akan tetap berdiri sampai 12 khalifah, yang semuanya dari golongan Quraisy, memerintah atas kamu.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Muslim; Syarah Nawawi).

Jabir berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Akan ada 12 imam dan pemimpin setelahku.” Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tak dapat kumengerti. Aku menanyakan pada seseorang di sampingku tentang itu. Ia berkata, “Semuanya dari golongan Quraisy’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih At-Tirmidzi juz 2).
Rasulullah saw bersabda, “Terdapat 12 khalifah untuk umat (Islam) ini.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Musnad Ahmad juz 5).

Rasulullah saw bersabda, “Agama ini akan tetap agung sampai datang 12 imam.” Mendengar hal ini, orang-orang mengagungkan Allah dengan berkata Allahu Akbar dan menangis keras. Kemudian beliau saw mengatakan sesuatu dengan suara yang pelan. “Aku bertanya pada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan?’ ‘Mereka semua dari golongan Quraisy,’ jawabnya.’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Sahih Abu Dawud juz 2).

Awn mengutip ayahnya Abu Juhayfah sebagai berikut, “Aku dan pamanku sedang bersama Rasulullah saw, ketika itu beliau bersabda, “Urusan umatku akan terus berlalu sampai datang 12 khalifah.’ Kemudian beliau memelankan suaranya. Aku bertanya oleh Rasulullah saw. Ia menjawab, ‘Wahai anakku!’ Rasulullah saw bersabda bahwa mereka semua dari golongan Quraisy’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Mustadrak ‘ala ash-Shahihayn juz 3).

Masyruq berkata, “Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud, mempelajari al-Qur’an darinya. Seseorang bertanya padanya, ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah saw berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw dan beliau menjawab, ’12, seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil.’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Musnad Ahmad juz 1).

Jabir meriwayatkan, “Aku dan ayahku sedang berhadapan dengan Rasulullah saw ketika beliau bersabda, ‘Pemerintahan dan khalifah umat islam ini akan berjumlah 12. mereka tidak akan menderita meskipun orang-orang tidak memberikan pertolongan.’ Dan menambahkan sesuatu yang tidak kudengar. Aku menanyakan pada ayahku tentang hal itu, ‘Rasulullah saw mengatakan bahwa mereka semua dari golongan Quraisy,’ jawabnya’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Mu’jam Al-Kabir oleh Thabrani juz 2).
.
Dalil 12 Imam adalah Dari Bani Hasyim.
Hadis-hadis tentang 12 imam adalah sahih dan mutawatir, mereka semua dari golongan Quraisy. Sekarang dari bani apakah mereka?
Jabir berkata, “Aku dan ayahku berada di hadapan Rasulullah saw ketika beliau bersabda, ‘Akan ada 12 khalifah setelahku.’ Kemudian beliau memelankan suaranya. Aku bertanya pada ayahku apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw dengan pelan. Ia menjawab bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Mereka semua berasal dari Bani Hasyim!’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Qunduzi Al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ Al-Mawaddah, Maktabah Ibnu Taymiyah).

Siapakah 12 Imam Itu?
Siapakah mereka (Imam 12)? Keluarga suci (Ahlulbait) Nabi? Sahabat Nabi? Berikut ini adalah dalil-dalil Sahihnya dari kitab-kitab Ahlussunnah.

Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah saw bersabda, ‘Barangsiapa ingin hidup dan mati sepertiku dan ditempatkan di surga ‘Adn yang diciptakan Allah, maka harus mengikuti Ali dan penerusnya dan para imam setelahku, karena mereka adalah Ahlulbaitku. Mereka diciptakan dari tanahku dan diberikan pengetahuan.

Kesengsaraan bagi orang yang menolak derajat ketinggian mereka. Kesengsaraan bagi orang yang menolak hubungan mereka dengaku. Semoga Allah mencabutnya dari syafaat mereka’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Hilyat Al-Awliya juz 1).

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah saw menyelesaikan shalat yang pertama bersama kami, kemudian membalik badan menghadap kami dan bersabda, ‘Wahai para sahabatku, Ahlulbaitku di sisimu adalahseperti perahu Nuh dan gerbang Tobat. Maka setelahku, berpegang teguhlah pada Ahlulbaiku, pengikut kebenaran dan keturunanku. Dan pasti kalian tidak akan tersesat’ beliau di tanya,’Wahai Rasulullah, ada berapa jumlah imam setelahmu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka berjumlah 12 dari Ahlulbaitku’” (Referensi Sahih Ahlussunnah : HR. Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak Ash-Shahihain, juz 2, Al-Hakim berkata hadits ini Sahih; Musnad al-Firdaus).

Seorang Yahudi memanggil Na’tsal untuk datang menemui Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Muhammad! Aku memiliki beberapa pertanyaan yang telah lama kusimpan. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan mameluk Islam dengan pertolonganmu.” Rasulullah saw bersabda, “Wahai Abu Amarah! Engkau dapat menanyakannya padaku!” Ia bertanya, “Wahai Muhammad! Bertahukanlah kepadaku penerus-penerusmu, karena tidak ada Rasul tanpa penerus.” Rasulullah saw menjawab, “Penerusku adalah Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku Al-Hasan dan Al-Husain, yang setelahnya akan ada 9 imam dari keturunan al-Husain yang datang secara berurutan.” Kemudian Yahudi itu berkata, “Sebutkan nama-nama mereka, wahai Muhammad!” Rasulullah saw menyatakan, “Setelah al-Husain akan ada putranya Ali (Zainal Abidin), setelahnya Muhammad (Al-Baqir), setelahnya Ja’far (Ash-Shadiq), setelahnya Musa (Al-Kazhim), setelahnya Ali (Ar-Ridha), setelahnya Muhammad (Al-Jawad) setelahnya Ali (Al-Hadi), setelahnya Hasan (Al-Asykari) dan setelah Hasan putranya Hujjah Muhammad Al-Mahdi. Maka jumlah mereka ada 12 imam.” (Referensi Sahih Ahlussunnah : Al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah)
PERLU DIGARIS BAWAHI SEMUA ITU ADALAH HADITS DARI KITAB-KITAB SUNNI, sampai dimana lagi kalian mau menolaknya?

Selamat menempuh ujian Allah SWT !!!


Kedudukan Hadis Umat Mengkhianati Ali Sepeninggal Nabi SAW.
Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada Imam Ali bahwa sepeninggal Beliau SAW, umat akan mengkhianati Imam Ali. Hal ini telah dinyatakan dalam hadis-hadis shahih. Salah satunya dalam hadis berikut

حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده

Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi dalam At Talkhis]
Hadis ini adalah hadis yang shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asmaa’ 2/442 no 441,

حدثنا يحيى بن غيلان ، عن أبي عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، وحدثنا فهد بن عوف ، قال ، ثنا أبو عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، عن أبي إدريس إبراهيم بن أبي حديد الأودي أن علي بن أبي طالب ، قال : عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي من بعده

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ghailan dari Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dan telah menceritakan kepada kami Fahd bin Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Ibrahim bin Abi Hadid Al Awdi bahwa Ali bin Abi Thalib berkata “telah dijanjikan oleh Nabi SAW bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”.
Hadis ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya yaitu sanad Yahya bin Ghailan dari Abu Awanah dari Ismail bin Salim dari Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali. Ibrahim adalah seorang tabiin yang melihat atau bertemu dengan Ali.
  • Yahya bin Ghailan dia adalah perawi Muslim Nasa’i dan Tirmidzi. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 429 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sahl, Al Khatib, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sa’ad. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/312 menyatakan ia tsiqat.
  • Abu ‘Awanah dia adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 11 no 204 dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Abdil Bar. Dalam At Taqrib 2/283 ia dinyatakan tsiqat . Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 6049 juga mengatakan ia tsiqah.
  • Ismail bin Salim adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 1 no 554 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Sa’ad, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Daruquthni, Yaqub Al Fasawi, Abu Ali Al Hafiz dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 1/94 ia dinyatakan tsiqat.
  • Ibrahim bin Abi Hadid dia adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 4 no 1613. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 908 menyebutkan keterangan tentangnya bahwa telah meriwayatkan darinya Ismail bin Salim tanpa menyebutkan jarh terhadapnya. Sehingga Ibrahim bin Abi Hadid adalah tabiin yang tsiqah dan Al Bukhari juga menyebutkan kalau ia bertemu atau melihat Ali bin Abi Thalib RA.
Jadi hadis riwayat Ad Dulabi dalam Al Kuna adalah hadis yang shahih. Sebelum mengakhiri tulisan ini kami akan membantah syubhat kalau Ibrahim bin Abi Hadid itu majhul dan hadisnya dari Ali mursal.

Syubhat Abu Hatim.
Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/96 menyebutkan kalau riwayat Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali mursal dan ia seorang yang majhul. Pernyataan ini tertolak dengan dasar ulama-ulama lain mengenalnya seperti Ibnu Hibban, Al Bukhari dan Ibnu Ma’in. Dalam Tarikh Ibnu Ma’in no 1861 riwayat ad Dawri berkata:

سمعت يحيى يقول أبو إدريس إبراهيم بن أبى حديد قلت ليحيى هو الذي يروى عنه إسماعيل بن سالم قال نعم

Aku mendengar Yahya mengatakan Abu Idris Ibrahim bin Abi Hadid. Aku bertanya kepada Yahya “diakah yang telah meriwayatkan darinya Ismail bin Salim”. Ia menjawab “ benar”.

Kemudian juga disebutkan dalam Tarikh Ibnu Ma’in no 2547 dari Ad Dawri,

سمعت يحيى يقول أبو إدريس إبراهيم بن أبي حديد صاحب إسماعيل بن سالم

Aku mendengar Yahya mengatakan Abu Idris Ibrahim bin Abi Hadid sahabat Ismail bin Salim.
Pernyataan Abu Hatim bahwa riwayat Ibrahim bin Abi Hadid dari Ali mursal adalah pernyataan keliru dan itu didasari oleh ketidaktahuannya akan siapa Ibrahim bin Abi Hadid. Al Bukhari berkata dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 908:

قال لي بن زرارة أخبرنا هشيم قال حدثنا إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس نظرت إلى علي

Telah berkata kepadaku Ibnu Zurarah yang mengabarkan kepada kami Husyaim yang menceritakan kepada kami Ismail bin Salim bahwa Abu Idris melihat Ali.

Atsar ini shahih. Ibnu Zurarah adalah Syaikh(guru) Bukhari dan telah dinyatakan dalam At Taqrib 1/735 bahwa ia tsiqat dan Husyaim bin Basyir disebutkan dalam At Taqrib 2/269 kalau ia tsiqat tsabit. Sedangkan Ismail bin Salim telah disebutkan ketsiqahannya. Riwayat Bukhari ini sebaik-baik bukti yang membantah pernyataan Abu Hatim.

Selain diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abi Hadid, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Tsa’labah bin Yazid Al Himmani. Hadis Tsa’labah diriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 42/447, Musnad Al Bazzar 3/91, Dalail Nubuwwah Baihaqi 7/312 no 2759 dan Al Kamil Ibnu Ady 6/216. Berikut sanad hadis Tsa’labah bin Yazid yang terdapat dalam kitab Al Mathalib Al Aliyah Ibnu Hajar 11/205 no 4018:

حدثنا الفضل هو أبو نعيم ثنا فطر بن خليفة أخبرني حبيب بن أبي ثابت قال سمعت ثعلبة بن يزيد قال سمعت عليا يقول والله إنه لعهد النبي الأمي صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepada kami Fadhl (dia Abu Nu’aim) yang berkata telah menceritakan kepada kami Fithr bin Khalifah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Habib bin Abi Tsabit yang berkata aku mendengar Tsa’labah bin Yazid berkata aku mendengar Ali mengatakan Demi Allah, sesungguhnya Nabi yang ummi telah menjanjikan kepadaku.

Sanad ini adalah sanad yang shahih dan tidak diragukan keshahihannya, kecuali oleh mereka yang tidak senang dengan matan hadis tersebut.
  • Fadhl bin Dukain atau Abu Nu’aim adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan yang dikenal tsiqah. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 8 no 505 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Yaqub bin Syaibah, Ibnu Sa’ad, Ibnu Syahin Abu Hatim dan yang lainnya. Dalam At Taqrib 2/11 Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat.
  • Fithr bin Khalifah adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 8 no 550 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Sa’id, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Al Ajli, Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Dalam At Taqrib 2/16 Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq (jujur).
  • Habib bin Abi Tsabit adalah perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 2 no 323 menyebutkan kalau ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, An Nasa’i, Abu Hatim, Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban,  dan Ibnu Ady. Dalam At Taqrib 1/183 ia dinyatakan tsiqat.
  • Tsa’labah bin Yazid adalah seorang tabiin yang tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 2 no 42 menyebutkan bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Bukhari berkata bahwa hadis-hadisnya perlu diteliti lagi dan tidak diikuti. Pernyataan Bukhari tidaklah benar, hadis Tsa’labah bin Yazid ini ternyata diikuti oleh yang lainnya yaitu oleh Ibrahim bin Abi Hadid dan Hayyan Al Asdi, mereka semua meriwayatkan dari Ali RA.  Ibnu Ady mengakui kalau Tsa’labah tidak memiliki hadis-hadis mungkar. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/149 menyatakan ia seorang syiah yang shaduq.
Sekali lagi kami katakan hadis ini shahih dan tidak ada gunanya syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang. Diantara mereka, ada yang berhujjah dengan pernyataan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 2 no 2103 biografi Tsa’labah bin Yazid dimana Bukhari berkata “perlu diteliti lagi” kemudian Al Bukhari membawakan hadis Tsa’labah ini dan berkata “tidak diikuti”. Kami sudah katakan bahwa Al Bukhari tidaklah benar, hadis ini diikuti oleh yang lain yaitu Ibrahim bin Abi Hadid dan Hayyan Al Asdi.

Ibnu Hibban ternyata memuat biografi Tsa’labah bin Yazid dalam Al Majruhin no 170 dan mengatakan bahwa ia berlebihan dalam tasyayyu’ tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri meriwayatkan dari Ali. Kami katakan pencacatan karena tasyayyu’ tidaklah diterima dan Ibnu Hibban sendiri memasukkan Tsa’labah bin Yazid sebagai perawi tsiqah dalam Ats Tsiqat juz 4 no 1995 ditambah lagi Tsa’labah tidak menyendiri meriwayatkan hadis ini.

Semua syubhat tersebut sangat lemah dan telah dijelaskan kekeliruannya tetapi mereka salafiyun tetap tidak rela kalau hadis ini dikatakan shahih. Padahal jika diteliti dengan standar ilmu hadis yang benar maka tidak diragukan lagi bahwa hadis ini bersanad shahih. Wallahu’alam


Setelah kaum muslimin menyalati jenazah Nabi saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah sau-daranya itu.Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesung-guhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudah-mu terdapat peristiwa besar.”[1]

Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil meng-ubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri.

Muktamar Tsaqîfah.
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peris-tiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka sekaligus membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.

Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ‘idah pada hari Nabi saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekha-lifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Nabi saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum. Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Nabi saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Nabi saw. sedang mengigau sehing-ga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar telah berperan sebagai tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Nabi saw. dan mereka pernah mene-barkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.

Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”[2]

Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha merendahkan dan menghinakan para khalifah itu. Mu‘âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu‘âwiyah memerintah, dia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.

Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar men-calonkan Sa‘d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa‘d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa‘d, Khazraj. Sudah sejak lama memang hubungan antara kedua suku ini tegang.

‘Uwaim bin Sâ‘idah bangkit bersama Ma‘n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada dua sahabat ini peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa‘d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif di ajang perebutan kekuasaan itu. Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Nabi saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.

Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar.
Para sejarawan dan perawi hadis sepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Nabi saw. Kedudukan Ali as. di sisi Nabi saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam telah tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Ia pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”.

Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memak-sanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Dia menakut-nakuti, mengancam, dan meng-gertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu. Buah hati Nabi saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”[3]

Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap orang muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Fatimah Az-Zahrâ’ as., buah hati Nabi saw. Padahal Allah ridha karena keridhaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.

Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Dengan pedang terhunus para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”

Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekuatan mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas perkara ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, sebaliknya kalianlah yang semestinya membaiatku. Kalian telah merampas hak ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw. Tetapi kalian juga telah merampas kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kalian telah mendakwa di hadapan kaum Anshar bahwa kalian lebih berhak atas kekhilafahan ini daripada mereka dengan dalih Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar. Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Nabi saw., baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman! Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu menyadarinya.”.

Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih kuat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan sepupu-sepupu atau pamannya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjalin dalam bentuk yang paling sempurna. Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.

Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. dan berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak mem-baiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar sengit.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membe-lanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasu-lullah.”

Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Nabi saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.

Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya dia menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fatimah berada di sisinya.”.

Akhirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari menuju ke makam saudaranya, Nabi saw., untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”[4]

Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar, telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ….”(QS. Âli ‘Imrân [3]:144).

Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn.

Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû‘ah Al-Imam Amiril Mukminin as.

Fatimah Az-Zahrâ’ Menuju ke Alam Baka.
Salah satu peristiwa yang sangat menyedihkan Imam Ali as. adalah kepergian buah hati Rasulullah saw., Fatimah Az-Zahrâ’ as. Ia jatuh sakit, sementara hatinya yang lembut tengah merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit telah menyerangnya. Dan kematian begitu cepat menghampirinya, sementara usianya masih begitu muda. Oh, betapa beratnya duka yang menimpa buah hati dan putri semata wayang Nabisaw. itu. Ia telah mengalami berbagai kekejaman dan kezaliman dalam masa yang sangat singkat setelah ayahandanya wafat. Mereka telah mengingkari kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah, merampas hak warisannya dan menyerang rumahnya.

Fatimah Az-Zahrâ’ telah menyampaikan wasiat terakhir yang maha penting kepada putra pamannya. Dalam wasiat itu ditegaskan agar orang-orang yang telah ikut serta merampas haknya tidak boleh menghadiri pemakaman, jenazahnya dikuburkan pada malam hari yang gelap gulita, dan kuburannya disembunyikan agar menjadi bukti betapa ia murka kepada mereka.

Imam Ali as. melaksanakan wasiat istrinya yang setia itu di pusara-nya yang terakhir. Ia berdiri di pinggir makamnya sambil menyiramnya dengan tetesan-tetesan air mata. Ia menyampaikan ucapan takziah, bela sungkawa dan pengaduan kepada Nabi saw. setelah menyampaikan salam kepada beliau:
Salam sejahtera untukmu dariku, ya Rasulullah, dan dari putrimu yang telah tiba di haribaanmu dan yang begitu cepatnya menyusulmu. Ya Rasulullah, betapa sedikitnya kesabaranku dengan kemangkatanmu dan betapa beratnya hati ini. Hanya saja, dalam perpisahan denganmu dan besarnya musibahmu ada tempat untuk berduka. Aku telah membaring-kanmu di liang kuburmu. Dan jiwamu telah pergi meninggalkanku ketika kepalamu berada di antara leher dan dadaku. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji‘ûn. Titipan telah dikembalikan dan gadai pun telah diambil kembali. Tetapi kesedihanku tetap abadi. Malam-malamkupun menjadi panjang, hingga Allah memilihkan untukku tempatmu yang kini engkau singgahi. Putrimu akan bercerita kepadamu tentang persekong-kolan umatmu untuk berbuat kejahatan. Tanyakanlah dan mintalah berita mengenai keadan mereka! Padahal perjanjian itu masih hangat dan namamu masih disebut-sebut. Salam sejahtera atasmu berdua, salam selamat tinggal, tanpa lalai dan jenuh! Jika aku berpaling, itu bukan karena bosan. Jika aku diam, itu bukan karena aku berburuk sangka terhadap apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang sabar.[5]

Ungkapan-ungkapan Imam Ali as. di atas menunjukkan betapa ia menga-lami kesedihan yang mendalam atas kepergian titipan Rasulullah saw. itu. Ungkapan-ungkapan itu juga menunjukkan betapa dalamnya sakit hati dan duka yang dialaminya akibat perlakuan umat Islam. Imam Ali as. juga minta kepada Nabi saw. agar memaksa putrinya bercerita dan memberi-kan keterangan tentang seluruh kejahatan dan kezaliman yang telah dilakukan oleh umatnya itu.

Seusai menguburkan jenazah buah hati Nabi saw., Imam Ali as. kembali ke rumah dengan rasa duka dan kesedihan yang datang silih berganti. Para sahabat telah mengasingkannya. Imam Ali as. berpaling sebagaimana mereka juga berpaling darinya. Ia bertekad untuk menjauhi seluruh urusan politik dan tidak terlibat di dalamnya.

1.Nahjul Balaghah, khotbah ke-409.
2.Hayâh Al-Imam Husain as., Jil. 1/ 235.
3.Ansâb Al-Asyrâf, karya Al-Balâdzurî. Para sejarahwan sepakat tentang adanya ancaman Umar terhadap Ali as. untuk membakar rumahnya itu. Silakan merujuk Târîkh Ath-Thabarî, Jil. 3/202, Târikh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/156, Târîkh Al-Ya‘qûbî, Jil. 2/105, Murûj Adz-Dzahab, Jil. 1/414, Al-Imâmah wa As-Siyâsah, Jil. 1/12, Syarah Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadîd, Jil. 1/ 34, Al-Amwâl, karya Abu ‘Ubaidah, hal. 131, A‘lâm An-Nisâ’, Jil. 3/205, danAl-Imam Ali, karya Abul Fattâh Maqshûd, Jil. 1/213.
4.Al-Imâmah wa As-Siyâsah, hal. 28-31.
5.Nahjul Balâghah, Jil. 2/ 182.

Penjagaan Nabi SAW dan Imam Ali AS atas keberlanjutan AGAMA iSLAM adalah lebih penting daripada beliau menjaga para sahabat nya. Lagipula proyek pengkaderan telah menghasilkan tokoh tokoh revolusioner yang tangguh seperti Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad dll.

Imam Ali as. menerangkan kepada kita sebab mengapa beliau pada akhirnya memberikan baiat untuk Abu Bakar dan tidak terus mengambil sikap oposisi, apalagi perlawanan bersenjata!
.
Dalam keterangan-keterangan yang dinukil dari Imam Ali as. ada beberapa sebab:
Pertama, tidak adanya pembela yang cukup untuk mengambil alih kembali hak kewalian beliau.
Sikap Imam Ali as. itu telah beliau abadikan dalam benyak kesempatan, di antara dalam pidato beliau yang terkenal dengan nama khuthbah Syiqsyiqiyyah.

Imam Ali as. berpidato:

أَمَا وَاللهِ لَقَدْ تَقَمَّصَهَا إبْنُ اَبِيْ قُحَافَةَ وَإِنَّهُ لَيَعْلَمُ أَنَّ مَحَلِّي مِنْهَا مَحَلُّ اْلقُطْبِ مِنَ الْرُحَى , يَنْحَدِرُ عَنِّي اْلسَيْلُ وَ لاَ يَرْقَى إلَىَّ الْطَيْرُ. فَسَدَلْتُ دُوْنَهَا ثَوْبًا  وَ طَوَيْتُ عَنْهَا كَشْحًا . وَ طَفِقْتُ أَرْتَئِ بَيْنَ أنْ أَصُوْلَ بِيَدٍ جَذَّاءَ أوْ أَصْبِرَ عَلَى طِخْيةٍ عَمْيَاءَ , يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ وَ يَشِيْبُ فِيْهَا الْصَغِيْرُ, وَ يَكْدَحُ  فِيْهَا الْمُؤْمِنُ حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ !
فَرَاَيْتُ اَنَّ الْصَبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى . فَصَبَرْتُ , وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى, و فِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِيْ نَهْبًا.
                                              
             
“Demi Allah, sesungguhnya putra Abu Quhafah (Abu ABakar) telah mengenakan busana kekhilafahan itu, padahal ia tahu bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah bagaikan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Maka aku mengulur tabir terhadap kekhilafahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang dengan tangan terputus atau bersabar atas kegelapan yang membutakan, dimana orang dewasa menjadi tua bangka dan anak kecil menjadi beruban dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup dalam tekanan sampai ia menemui Tuhannya!
Maka aku dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijaksana. Maka aku bersabar, walaupun ia menusuk mata dan mencekik kerongkongan. Aku menyaksikan warisanku dirampok … “ [1]

Kedua, sikap enggan memberikan baiat itu sudah cukup membuktikan hak kewalian beliau yang mereka bekukan.

Dan ketiga, mengingat maslahat umat Islam menuntut agar beliau mengorbankan hak beliau demi meraih maslahat Islam yang lebih abadi. Sebab eksistenti kaum Muslimin dan Dawlah Islam sedang terancam dengan maraknya kaum murtad yang meninggalkan agama Islam dan berniat untuk menyerang kota suci Madinah dan memerangi kaum Muslim!

Dalam sebuah pernyataannya, Imam Ali as. menjelaskan sebab mengapa beliau sudi memberikan baiat untuk Abu Bakar:

فأَمْسَكْتُ يدي حتَّى رأيتُ راجِعَةَ الناسِ قد رجعت عن الإسلامِ , يدعون إلى مَحقِ دين محمد (ص), فَخَشيتُ إن لم أنصرِ الإسلامِ و أهلَه أن أرى فيه ثَلْمًا أو هدمًا تكون المصيبةُ بِهِ عليَّ أعظَم من فوتِ ولايَتِكم.
“Dan ketika aku saksikan kemurtadan orang-orang telah kembali meninggalkan Islam, mereka mengajak kepada pemusnahan agama Muhammad saw., maka aku khawatir jika aku tidak membela Islam dan para  pemeuluknya aku akan menyaksikan celah atau keruntuhan Islam yang bencananya atasku lebih besar dari sekedar hilangnya kekuasaan atas kalian.”[2]

Inilah sebabh hkiki dalam maalah ini, bukan seperti yang diasumsikan sebagian orang.
Adapaun tuduhan Syeikh bahwa dengan demikian kaum Syi’ah menuduh Imam mereka bersikap pengecut, maka kesimpulan miring itu sama sekali tidak berdasar, sebab pada diri Nabi Harun as. terdapat uswah, teladah baik bagi Imam Ali as. ketika beliau berkata, seperti diabadikan dalam Al Qur’an:

وَ لَمَّا رَجَعَ مُوسى‏ إِلى‏ قَوْمِهِ غَضْبانَ أَسِفاً قالَ بِئْسَما خَلَفْتُمُوني‏ مِنْ بَعْدي أَ عَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَ أَلْقَى الْأَلْواحَ وَ أَخَذَ بِرَأْسِ أَخيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوني‏ وَ كادُوا يَقْتُلُونَني‏ فَلا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْداءَ وَ لا تَجْعَلْني‏ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمينَ 
 
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim.” (QS.A’râf [7];150) .

Imam Ali as. mengalami kondisi serupa dengan parnah dialami oleh Nabi Harun as. ketika kaumnya membangkang dengan kesesatan akibat provokasi Samiri.

Ketertindasan dan ketidak-berdayaan Imam Ali as. itu telah diberitakan Nabi saw. dalam banyak sabda beliau, di antaranya adalah hadis yang sangat terkenal yang berbunyi:

أنتم المستَضْغَفٌون بَعدي
“Sepeninggalku, kalian akan ditindas.”[3]
Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Mengkhianati Imam Ali as. 
Bahkan lebih dari itu, Nabi saw. telah memberitakan dari balik tirai ghaib, bahwa umat ini akan menelantarkan Ali as. dan tidak memberikan kesetian pembelaan untuknya. Mereka akan mengkhianatinya!
.
Imam Ali as. berulang kali mengatakan:

إنّه ممّا عهد إليّ النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) أنّ الاُمّة ستغدر بي بعده.
  
“Termasuk yang dijanjikan Nabi kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.” 
Hadis ini telah diriwayatkan dan dishahihkan al Hakim dan adz Dzahabi. Ia berkata:

صحيح الاسناد
“Hadis ini sahih sanadnya.”
.
Adz Dzahabi pun menshahihkannya. Ia berkata:

صحيح
“Hadis ini shahih.” [4]
Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al Bazzâr, ad Dâruquthni, al Khathib al Baghdâdi, al Baihaqi dkk..
Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Menuangkan Kedengkian Mereka Kepada Imam Ali as.
Demikian juga, sebagian orang yang memendam dendam kusumat dan kebencian kepada Nabi saw. akan menuangkannya kepada Imam Ali as., dan puncaknya akan mereka lakukan sepeninggal Nabi saw.
Kenyataan itu telah diberitakan Nabi saw. kepada Ali as. Para ulama meriwayatkan banyak hadis tentangnya, di antaranya adalah hadis di bawah ini:
Imam Ali as. berkata:

بينا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) آخذ بيدي ونحن نمشي في بعض سكك المدينة، إذ أتينا على حديقة، فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! فقال: إنّ لك في الجنّة أحسن منها، ثمّ مررنا بأُخرى فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! قال: لك في الجنّة أحسن منها، حتّى مررنا بسبع حدائق، كلّ ذلك أقول ما أحسنها ويقول: لك في الجنّة أحسن منها، فلمّا خلا لي الطريق اعتنقني ثمّ أجهش باكياً، قلت: يا رسول الله ما يبكيك ؟ قال: ضغائن في صدور أقوام لا يبدونها لك إلاّ من بعدي، قال: قلت يا رسول الله في سلامة من ديني ؟ قال: في سلامة من دينك. 
“Ketika Rasulullah saw. memegang tanganku, ketika itu kami sedang berjalan-jalan di sebagian kampong kota Madinah, kami mendatangi sebuah kebun, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah indahnya kebun ini!’ Maka beliau bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Kemudian kami melewati tujuh kebun, dan setiap kali aku mengatakannya, ‘Alangkah indahnya’ dan nabi pun bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Maka ketika kami berda di tempat yang sepi, Nabi saw. memelukku dan sepontan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rrasulullah, gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis?’ Beliau menjawab, ‘Kedengkian-kedengkian yang ada di dada-dada sebagian kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.’ Aku berkata, ‘Apakah dalam keselamatan dalam agamaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Dalam keselamatan agamamu.’”

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al Bazzâr dengan sanad shahih, al Hakim dan adz Dzahabi dan mereka menshahihkannya,[5] Ibnu Hibbân dkk. [6]

Ia juga disebutkan oleh asy Syablanji dalam kitab Nûr al Abshârnya:88.
Jadi jelaslah bagi kita apa yang sedang dialami oleh Imam Ali as. dari sebagian umat ini!
Tahukah anda kaum sunni, dlm kitab anda yg paling sahih, tercatat bagaimana Umar meragukan kenabian Junjungan Nabi Muhammad saaw saat perjanjian Hudaibiyah? Dan anda memujinya dgn pelbagai gelaran dan kehebatan.

Nabi saw telah menubuwahkan  nasib yang bakal menimpa Imam Ali a.s selepas Baginda saw wafat nanti, seperti  hadis berikut:
1. Rasulullah SAW melalui lisan sucinya telah mengabarkan kepada Imam Ali, bagaimana kondisi Imam Ali sepeninggal Beliau SAW. Beliau saaw mengatakan bahwa Imam Ali akan mengalami kesukaran atau kesulitan sepeninggal Beliau SAW. Hal ini diriwayatkan dalam kabar shahih yang tercatat dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim 3/151 no 4677;

أخبرنا أحمد بن سهل الفقيه البخاري ثنا سهل بن المتوكل ثنا أحمد بن يونس ثنا محمد بن فضيل عن أبي حيان التيمي عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لعلي أما أنك ستلقى بعدي جهدا قال في سلامة من ديني ؟ قال : في سلامة من دينك

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi saaw berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran (bersusah payah) sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi saaw menjawab “dalam keselamatan agamamu”.

2. Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada Imam Ali bahwa sepeninggal Beliau SAW, umat akan mengkhianati Imam Ali. Hal ini telah dinyatakan dalam hadis-hadis shahih. Salah satunya dalam hadis berikut:

حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده

Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi dalam At Talkhis].
.
Hadis ini adalah hadis yang shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi. Selain itu hadis ini juga diriwayatkan oleh Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asmaa’ 2/442 no 441;

حدثنا يحيى بن غيلان ، عن أبي عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، وحدثنا فهد بن عوف ، قال ، ثنا أبو عوانة ، عن إسماعيل بن سالم ، عن أبي إدريس إبراهيم بن أبي حديد الأودي أن علي بن أبي طالب ، قال : عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي من بعده

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ghailan dari Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dan telah menceritakan kepada kami Fahd bin Auf yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Ibrahim bin Abi Hadid Al Awdi bahwa Ali bin Abi Thalib berkata “telah dijanjikan oleh Nabi SAW bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”.

3. Selain diriwayatkan oleh Ibrahim bin Abi Hadid, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Tsa’labah bin Yazid Al Himmani. Hadis Tsa’labah diriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 42/447, Musnad Al Bazzar 3/91, Dalail Nubuwwah Baihaqi 7/312 no 2759 dan Al Kamil Ibnu Ady 6/216. Berikut sanad hadis Tsa’labah bin Yazid yang terdapat dalam kitab Al Mathalib Al Aliyah Ibnu Hajar 11/205 no 4018;

حدثنا الفضل هو أبو نعيم ثنا فطر بن خليفة أخبرني حبيب بن أبي ثابت قال سمعت ثعلبة بن يزيد قال سمعت عليا يقول والله إنه لعهد النبي الأمي صلى الله عليه وسلم
 
Telah menceritakan kepada kami Fadhl (dia Abu Nu’aim) yang berkata telah menceritakan kepada kami Fithr bin Khalifah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Habib bin Abi Tsabit yang berkata aku mendengar Tsa’labah bin Yazid berkata aku mendengar Ali mengatakan Demi Allah, sesungguhnya Nabi yang ummi telah menjanjikan kepadaku….(sama spt teks dlm hadis di atas).

Dengan ini, maka Imam Ali a.s telah tahu dan bersedia menghadapi pengkhianatan umat ke atas beliau a.s…
Namun, utk mengatakan bahawa beliau tidak menyebutkan hak2 dan keutamaan beliau kpd umat, adalah suatu yg mengelirukan, karena beliau a.s dlm banyak kesempatan, telah menyebutkannya.

Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Imam Ali mengakui kalau dirinya adalah orang yang paling berhak dalam urusan kepemimpinan sepeninggal Nabi SAW. Tetapi walaupun begitu demi kemaslahatan umat islam, Beliau tetap pada akhirnya memberikan baiat kepada para khalifah yaitu Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA. Hal ini tentu saja bertujuan agar tidak terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sebagian orang yang ingkar menjadikan baiat-nya Imam Ali sebagai alasan untuk membenarkan kepemimpinan ketiga khalifah. Sebaik-baik bantahan bagi mereka adalah pernyataan Imam Ali sendiri yang mengakui kalau ia adalah orang yang paling berhak sepeninggal Nabi SAW bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan pula Utsman.

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata “Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini . Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka bingung antara aku dan Muawiyah” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294].
Imam Ali as. Mengeluhkan Pengkhiatanan Suku Quraisy!
Dalam banyak pernyataannya, Imam Ali as. telah mengeluhkan kedengkian, kejahatan dan sikap arogan suku Quraisy terhadap Nabi saw. yang kemudian, ketika mereka tidak mendapatkan jalan untuk meluapkannya kepada beliau saw., mereka meluapkan dendanm kusumat kekafiran dan kemunafikan kepadanya as.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebuah kutipan pernyataan beliau as. tersebut.

اللهمّ إنّي أستعديك على قريش، فإنّهم أضمروا لرسولك (صلى الله عليه وآله وسلم) ضروباً من الشر والغدر، فعجزوا عنها، وحُلت بينهم وبينها، فكانت الوجبة بي والدائرة عليّ، اللهمّ احفظ حسناًوحسيناً، ولا تمكّن فجرة قريش منهما ما دمت حيّاً، فإذا توفّيتني فأنت الرقيب عليهم وأنت على كلّ شيء شهيد.
“Ya Allah, aku memohon dari Mu agar melawan Quraisy, karena mereka telah memendam bermacam sikpa jahat dan pengkhianatan kepada Rasul-Mu saw., lalu mereka lemah dari meluapkannya, dan Engkau menghalang-halangi mereka darinya, maka dicicipkannya kepadaku dan dialamatkannya ke atasku. Ya Allah peliharalah Hasan dan Husain, jangan Engkau beri kesempatan orang-orang durjana dari Quraisy itu membinasakan keduanya selagi aku masih hidup. Dan jika Engkau telah wafatkan aku, maka Engkau-lah yang mengontrol mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.”[7]

Coba Anda perhatikan pernyataan Imam Ali as. di atas, bagaimana dendam dan pengkhianatan Quraisy terhadap Nabi saw. akan mereka luapkan kepadanya! Dan di dalamnya juga terdapat penegasan bahwa mereka tidak segan-segan akan menghabisi nyawa bocah-bocah mungil kesayangan Rasulullah saw.; Hasan dan Husain as. yang akan meneruskan garis keturunan kebanian sebagai melampiasan dendam mereka kepada Nabi saw.!. 
Rujukan Ahlus Sunnah:
[1]Nahjul Balaghah, pidato ke3.
[2] Ibid. pidato ke74.
[3] Musnad Ahmad,6/339.
[4] Mustadrak al Hakim,3/140 dan 142.
[5] Al Mustadrak,3/139 hanya saja bagian akhir radaksi hadis ini terpotong, sepertinya ada “tangan-tangan terampil” yang sengaja menyensor hadis di atas.
[6]Teks hadis di atas sesuai dengan yang terdapat Majma’ az Zawâid,9/118.
[7] Syarah Nahjul Balaghhah, 20/298.
Rangkuman Riwayat Kebenaran 12 Imam Ahlilbait as.
Kedudukan Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”.

Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:

إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي

Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.


Takhrij Hadis.
Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud.

حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy  yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 829].

Hadis Imran bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat,
  • Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145]. Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221]. Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729]
  • Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616]. Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].
  • Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].
Hadis Imran bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187]. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929]. Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih [Musnad Abu Ya’la no 355].

Selain riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA. Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad,

ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908].

Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
  • Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024]
  • Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk  kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353]. Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72]. Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711]. Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.
  • Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].
Sudah jelas hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

Selain Imran bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud,

حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 2752].

Hadis Ibnu Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
  • Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
  • Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
  • Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].
Hadis Ibnu Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].

Hadis dengan jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani.

حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن وهب بن حمزة قال

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135].

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
  • Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750]
  • Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
  • Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112]
  • Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97]. Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
  • Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437]
  • Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955]. Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123]
Hadis Wahab bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].

Ibnu Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih.
Jika kita mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan:
  • Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman]
  • Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi]
  • Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj]
  • Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain]
Tentu saja dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata:

” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث

“kamu adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35].

قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم

Perkataannya ; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah SAW [Minhaj As Sunnah 7/278].

Cukuplah kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai “Syiahpobhia”.

Singkat Tentang Matan Hadis.
Setelah membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah,

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al Bidayah wan Nihayah 5/269].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy,

ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah  yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad Syakir].

Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.
1). Perumpamaan ahlilbaitku seperti perahu nuh, yang menaikinya selamat dan yang meninggalkannya tenggelam. (Al-Hakim, al-Mustadrak, ii, hlm. 343. Al-Dhahabi, al-Talkhis, ii, 345. al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi‘ al-Mawaddah , i, hlm. 27. al-Tabrani, al-Ausat, hlm. 216.

2). Al-Bukhari, Sahih, viii, hlm. 384-385. ‘‘Sesungguhnya mereka (para sahabat) telah menjadi murtad selepasmu (irtaddu ba‘da-ka). Hanya sedikit daripada mereka yang terselamat seperti unta yang tersesat daripada pengembalanya”. Ia sejajar dengan firman-Nya Surah al-Saba’ (34):13 ‘‘Dan sedikit sekali daripada hamba-hamba-Ku yang bersyukur”.
 
3). Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memandang ke Bumi, lalu Dia memilihku di kalangan mereka dan menjadikan aku seorang Nabi. Kemudian Dia memandang ke Bumi kali kedua, lalu Dia telah memilih suamimu dan Dia telah memerintahkanku supaya menikahkanmu dengannya. Dia telah memerintahkanku mengambilnya sebagai saudara, wazirwasi dan menjadikanya khalifahku pada umatku setelahku. Justeru itu, ayahmu ini adalah sebaik-baik Nabi Allah dan Rasul-Nya. Sementara suamimu adalah sebaik-baik wasi dan wazir. Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, vi, hlm. 153. al-Hakim, al-Mustadrak, iii, 159. al-Kanji al-Syafi‘i, Kifayah al-Talib, hlm. 491. 
4). Dan engkau adalah orang pertama yang akan mengikutiku (wafat) di kalangan keluargaku. Kemudian Dia telah merenung ke Bumi kali ketiga, lalu Dia memilihmu dan sebelas lelaki daripada anak cucumu dan suamimu. Lantaran itu, engkau adalah penghulu wanita Syurga. Sementara dua anak lelakimu adalah penghulu pemuda Syurga. Aku, saudaraku dan sebelas para imam dan para wasiku sehingga Hari Kiamat semuanya menjadi pembimbing dan mendapat petunjuk. Wasi pertama selepas saudaraku, adalah al-Hasan kemudian al-Husain, kemudian sembilan daripada anak anak al-Husain berada dalam satu martabat di Syurga (Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi‘ al-Mawaddah, hlm. 447).
5). Al-Bukhari, Sahih, viii, hlm. 378-385, (Bab fi al-Haudh), hadis no. 578, 584, 585, 586, 587 dan 590, telah meriwayatkan bahawa para sahabat Nabi Saw. telah menjadi kafir-murtad selepas kewafatannya. Hadis no. 585. ‘‘Aku akan mendahului kalian di Haudh. Sesiapa yang melalui di hadapanku akan meminumnya dan siapa yang telah meminumnya tidak akan dahaga selama-lamanya. Kelak sebilangan orang yang aku kenali dan mereka pula mengenaliku akan dikemukakan di hadapanku. Kemudian mereka (para sahabatku) dipisahkan daripadaku. Ketika itu aku akan berkata: Mereka itu adalah daripadaku (para sahabatku).
Dijawab: Sesungguhnya mereka telah melakukan bid‘ah-bid‘ah (ahdathu ba‘da-ka) selepas anda meninggalkan mereka. Maka aku bersabda: Terjauh, terjauh (daripada rahmat) mereka yang telah mengubahkan (ghayyara) Sunnahku selepasku. Di dalam riwayat yang lain, Nabi saw bersabda: Wahai Tuhanku! Sesungguhnya mereka adalah para sahabatku (ashabi)! Dijawab: Sesungguhnya anda tidak mengetahui bid‘ah- bid‘ah (ahdathu) yang telah dilakukan oleh mereka selepas anda. Sesungguhnya mereka telah menjadi kafir-murtad kebelakang”. Hadis no.587“Hanya sedikit daripada mereka terselamat seperti unta yang terpisah daripada pengembalanya.” Lihat juga Muslim, Sahih, iv, hlm.1793-6 (Kitab al-Fadha’il), hadis no. 26, 28, 29, 31 dan 32. Hadis no. 26.‘‘Kerana kamu tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka. Maka aku bersabda: Terjauhlah, terjauhlah (daripada rahmat) mereka yang telah mengubah (baddala) sunnahku selepasku”.
6). al-Turmudhi al-Hanafi, al-Kaukab al-Durriyy, hlm. 143, meriwayatkan sebuah hadis: ‘‘Ali adalah saudaraku, khalifahku dan pewaris ilmuku”.
7). Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi‘ al-Mawaddah, hlm. 441, meriwayatkan bahawa Nabi Saw. telah menetapkan para imam dua belas. al-Bukhari, Sahih, iv, hlm. 120. Muslim, Sahih, ii, hlm. 81, meriwayatkan berkenaan dengan dua belas amir/khalifah/lelaki.
8). Kemudian Umar memerintahkan orang ramai supaya membawa kayu api. Merekapun membawa kayu api, begitu juga dengan Umar. Kemudian kayu api itu diletakkan di sekeliling rumah Ali, Fatimah dan dua anak lelakinya. Kemudian Umar telah menyeru Ali. dan Fatimah. Demi Allah! kami akan mengeluarkan kalian wahai Ali! Oleh itu, hendaklah anda membai‘ah Khalifah Rasulullah.
Jika tidak, aku akan menyalakan api ke atas anda. Maka Fatimah a.s. berkata: Wahai Umar! Apakah pertalian kami dengan anda? Umar berkata: Bukakan pintu, jika tidak kami akan membakar rumah kalian. Fatimah berkata: Wahai Umar! Tidakkah anda bertakwa kepada Allah, anda ingin memasuki rumahku? Namun Umar enggan pulang. Kemudian dia menyeru untuk mendapatkan api lantas menyalakannya di pintu lantas menolaknya dan terus memasuki rumah. Diapun berhadapan dengan Fatimah a.s Abu al-Fida’, Tarikh, i, hlm. 156. al-Tabari, Tarikh, iii, hlm.156-7.
Fatimah a.s. menjerit dan berkata: Wahai bapaku! Wahai Rasulullah!. Tetapi Umar telah mengangkat pedang yang masih tersarung dan meletakkannya di bahu Fatimah a.s. Fatimah melaung: Wahai bapaku! Maka Umarpun mengangkat cemetinya dan terus memukul bahu Fatimah. Fatimah a.s. menyeru lagi: Wahai Rasulullah! Sejahat-jahat manusia selepas anda wafat adalah Abu Bakr dan Umar.
Dalam pada itu, Ali a.s. telah melompat lalu memegang hidung dan tengkuk Umar. Hampir-hampir beliau membunuhnya, namun beliau mengingati kata-kata dan wasiat Rasulullah Saw. Beliaupun berkata: Demi orang yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, wahai Ibn Sahhak (Umar)! Sekiranya tidak ada kitab daripada Allah terdahulu dan janji yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw. kepadaku, nescaya anda mengetahui bahawa anda tidak akan memasuki rumahku.
Umar pun meminta orang ramai supaya memasuki rumah Ali manakala Ali a.s. pula telah menerkam ke arah pedangnya, lantas Qunfudh pulang menemui Abu Bakr kerana takut Ali a.s. akan keluar dengan pedangnya. Ibn Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, i, hlm. 14-15. al-Tabari, Tarikh, iii, hlm. 198.
9). Dia mengetahui akan kehebatan Ali a.s. Abu Bakr berkata kepada Qunfudh: Kembalilah kepada Ali dan jika dia tidak keluar, cerobohilah rumahnya. Jika dia enggan, nyalakan api ke atas mereka dan rumah mereka sekali.
Lalu Qunfudh al-Mal‘un datang semula. Dia dan para sahabatnya telah memasuki rumah Ali a.s. tanpa izin. Ali a.s. telah menerkam kepada pedangnya tetapi mereka mendahuluinya. Mereka datang berpusu-pusu kepadanya dalam jumlah yang ramai. Meskipun begitu Ali a.s. sempat merampas sebahagian daripada pedang mereka. Akhirnya mereka mencampakkan tali ke leher Ali a.s. Fatimah a.s. pada masa itu yang berada di sebalik pintu dipukul oleh Qunfudh dengan cemeti lalu jatuh pengsan. Terdapat kesan di bahunya seperti warna hitam akibat daripada pukulan tersebut, la‘natullahi ‘alaihi. Kemudian Qunfudh melalui Ali a.s. yang sedang ‘digari’ dan membawanya ke hadapan Abu Bakr dan Umar yang sedang berdiri sambil memegang pedang di atas kepalanya.
Khalid bin al-Walid, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Salim maula Abi Hudhaifah, Mu‘adh bin Jabal, al-Mughirah bin Syu‘bah, Usyad bin Hudhair, Basyir bin S‘ad dan semua orang di sekitar Abu Bakr lengkap dengan senjata.
Akupun bertanya kepada Salman: Mereka telah memasuki rumah Fatimah tanpa izinnya? Salman menjawab: Ya. Demi Tuhan! Tidak ada di atasnya penutup (khimar), lalu Fatimah a.s. menyeru bapanya wahai bapaku! wahai Rasulullah! Sejahat-jahat manusia selepas anda meninggal adalah Abu Bakr dan Umar. Kedua-dua mata anda belum memejam dengan rapat dalam kuburan anda. Fatimah a.s. telah menyeru dengan suara yang tinggi. Akupun melihat Abu Bakr dan orang di sekelilingnya menangis melainkan Umar, Khalid dan al-Mughirah bin Syu‘bah. Umar berkata: Kami bukan perempuan kerana fikiran mereka tertumpu kepada perkara tertentu.
Salman berkata lagi: Mereka menyerahkan Ali a.s. kepada  Abu Bakr. Ali a.s. berkata: Demi Allah! jika terhunus pedang ditanganku maka kalian mengetahui bahawa kalian tidak akan sampai ke sini selama-lamanya. Demi Tuhan! aku tidak mencela diriku di dalam perjuangan kalian. Sekiranya aku dapat mengumpulkan empat puluh orang lelaki, nescaya aku dapat memecahkan kumpulan kalian. Tetapi Allah melaknati orang yang telah memberi bai‘ah kepadaku kemudian mereka tidak mematuhinya pula.
Manakala Abu Bakr merenung kepadanya dia melaungkan suaranya: Berikan laluan untuknya. Ali a.s. membalas: Alangkah cepatnya kalian menghina Rasulullah Saw.! Di atas hak dan kedudukan manakah anda menyeru orang ramai supaya memberi bai‘ah kepada anda? Tidakkah anda telah memberi bai‘ah kepadaku kemarin dengan perintah Allah dan Rasul-Nya? Qunfudh la‘natullah, telah memukul Fatimah a.s. dengan cemeti apabila terpisah antaranya dan suaminya. Kemudian menolaknya sambil memukul bahunya. Maka gugurlah janinnya daripada perutnya. Fatimah a.s. sentiasa berada di atas hamparannya sehingga beliau mati syahid.
Salman berkata: Manakala Ali a.s. dibawa kepada Abu Bakr, Umar memekik: Berilah bai‘ah dan tinggalkan kebatilan-kebatilan ini. Ali a.s berkata kepadanya: Sekiranya aku tidak melakukannya, apakah yang akan kalian lakukan kepadaku? Mereka berkata: Kami akan membunuh anda (naqtulu-ka) dengan penuh kehinaan. Beliau berkata: Jika begitu kalian membunuh seorang hamba Allah dan saudara Rasulullah? Abu Bakr menjawab: Adapun seorang hamba Allah, itu benar namun saudara Rasulullah, kami tidak mengakuinya. Ali berkata: Adakah kalian mengingkari bahawa Rasulullah Saw. telah mempersaudarakanku dengannya (Ibn Hanbal, Fadha’il al-Sahabah, ii, hlm. 617).
10). Ali a.s. telah tampil di hadapan mereka seraya berkata: Wahai Muslimin, Muhajirin dan Ansar! Aku menyeru kalian dengan nama Allah, adakah kalian telah mendengar Rasulullah Saw. berkata pada Hari Ghadir Khum. Ibn Qutaibah, Kitab al-Ma‘arif, hlm. 251-2. Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, ii, hlm. 298.
11). QS: AN_NISA, AYAT : 54. Maka sesungguhnya Kami telah mengurniakan keluarga Ibrahim akan al-Kitab dan al-Hikmah dan Kami kurniakan kepada mereka kerajaan yang besar”. Maka Al-Kitab adalah al-Nubuwwah(kenabian), al-Hikmah adalah al-Sunnah dan
Al-Mulk adalah al-khilafah. Dan kamilah keluarga Ibrahim. Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi‘ al-Mawaddah, hlm. 120-1.
Nabi Muhammad saww Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah.
Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan.

Seorang peneliti tidak akan dapat meragukan pelajaran sejarah Nabi saww dan pengetahuan sejarah Islam, bahwa Nabi saww telah menentukan para Imam yang ke dua belas (12 Imam as. ) dan beliau telah menetapkan mereka sebagai khalifah-khalifah setelahnya dan menjadi penerima wasiat di tengah umatnya. Telah disebutkan jumlah mereka dalam hadis-hadis shahih Ahlussunnah bahwa mereka itu adalah dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan hal itu telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.

Sebagaimana dalam Sunni telah menyebutkan nama-nama mereka penjelasan Nabi Muhammad saww, bahwa yang pertama adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya ialah putranya yakni al-Hasan as,kemudian saudaranya al-Husein as, sedang yang terakhir ialah al-Mahdi. Sebagaimana tersebut dalam hadis berikut ini : Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata, “Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menayakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu.’Beliau menjawab, ‘Tanyalah! hai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang sijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan, ‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin Imran telah berwasiat kepada Yusa’ bin Nun.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku al-Hasan dan al-Husein kemudian beliau menyebutkan sembilan Imam dari tulang sulbi al-Husein. ‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’ Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan,al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Aallah SWT karena petunjuk-Nya.”(1).
Seandainya kita mau membuka lembaran kitab-kitab Syi’ah dan apa yang terkandung di dalamnya, dari hal kebenaran khusususnya tentang masalah ini niscaya kita akan mendapatkan lebih banyak dari itu. Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan. Dan yang dapat menambahkan kayakinan bagi kita ialah, bahwa Imam yang ke-12 dari Ahlulbait itu tidak pernah belajar pada satu orang pun dari para ulama umat ini, tidak ada yang meriwayatkan pada kita baik para ahli tarikh maupun ahli hadis dan sejarawan, bahwa salah seorang Imam dari Ahlulbait itu mendapatkan ilmunya dari sebagian sahabat atau tabi’in sebagaimana halnya para ulama umat dan para imam mereka.  Sebagaimana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far ash -Shadiq dan Malik belajar kepada Abu Hanifah sedang Syafi’i mendapat ilmu dari Malik dan ia mengambil darinya, begitu pula Ahmad bin Hanbal. Adapun para imam Ahlulbait maka ilmu mereka adalah merupakan pemberian dari Allah SWT yang mereka mewarisi dari Bapak yang berasal dari datuk mereka, mereka itulah yang diistimewakan oleh Allah SWT dengan firmannya:“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari antara hamba-hamba Kami.”(QS.Fathir:32) Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan mengamalkannya serta mendapat petunjuk ! Kemudian mereka mengatakan bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat…?”
Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherankan mereka itu yang mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan, bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya. Maka Ahulussunnah wal Jama’ah itu tidaklah mengikuti dan ingin membinasakannya, dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah ilmu pengetahuan yang mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan yang mereka tuju. Dan bagaimana kita sekarang tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan mengikuti sunah Nabi saww, dan menyetakan sendiri telah meninggalkan sunah Nabi saww karena ia telah menjadi Syi’ah bagi Syi’ah, (2).
bukanlah ini merupakan hal yang mengherankan? Bagaimana kita tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sedang mereka merupakan kelompok yang banyak, seperti pengikut Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang mereka itu saling berselisih sebagian dengan lainnya dala hukum-hukum fiqih dan menganggap bahwa perselisihan itu adalah merupakan suatu rahmat bagi mereka, sehingga dengan demikian agama Allah SWT menjadi lampiasan hawa nafsu dan pendapat serta sasaran selera diri mereka. Memang benarlah, bahwa mereka adalah kelompok terbanyak yang saling berpecah-belah dalam hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi mereka bersatu dan bersepakat dalam mengesakan kekhalifahan Saqifah yang durhaka dan bersepakat dalam meninggalkan dan menjauhkan keluarga Nabi saww, yang Suci.  Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni Kitabullah dan keluarga Rasul betapapun mereka sendiri telah meriwayatkan hadis tersebut dan menshahihkannya…? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik pada Al-Qur’an maupun pada keluarga Rasul, sebab dengan meninggalkan keluarga Rasul yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan keluarga Rasul itu tidak pernah berpisah selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya: “Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha Sadar telah memberitahukan padaku bahwa keduanya yakni Aal-Qur’an dan keluarga Rasul tidak akan pernah berpisah sehingga menemui aku di telaga surga.”(3).
Dan bagaimana kita tidak heran kepada kaum yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah padahal mereka bersikap menentang terhadap apa yang telah ditetapkan dalam kitab shahih mereka dari hal perbuatan Nabi saww dan perintahnya serta larangannya.(4).
Adapun bila kita meyakini dan membenarkan hadis, “aku tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya.” Sebagaimana yang telah ditetapkan bagi sebagian Ahlussunnah sekarang ini, maka keheranan itu akan menjadi lebih besar dan kecelakaan itu akan lebih jelas. Karena justru para tokoh mereka dan imam mereka itulah orang-orang yang telah membakar sunah yang telah ditinggalkan Rasulullah saww di kalangan mereka, dan telah mencegah periwayatannya dan penulisannya sebagaimana yang telah kita ketahui dalam pembahasan terdahulu. Umar bin khatab sendiri dengan terang-terangan telah menyatakan ucapan, “Cukup bagi kami Kitabullah,” itu adalah merupakan penolakan yang nyata terhadap Rasulullah saww, sedangkan orang yang menolak Rasulullah berarti menolak Allah SWT sebagaimana hal itu tak bisa disembunyikan lagi. Ucapan Umar bin Khathab tersebut telah diriwayatkan oleh seluruh hadis-hadis shahih Ahlussunnah termasuk di dalamnya Bukhari dan Muslim. Apabila Nabi saww telah bersabda, “Aku telah tinggalkan pada kalian Kitabullah dan sunahku, dan kami tidak membutuhkan sunahmu, dan bila Umar telah berkata dihadapan Nabi saww, “Cukup bagi kami Kitabullah, maka sesungguhnya Abu Bakar telah menguatkan untuk mewujudkan pandangan temannya itu lalu ia menyatakan setelah menjadi Khalifah: Janganlah kalian meriwayatkan suatu hadis dari Rasulullah saww, maka jika seseorang bertanya pada kalian, katakanlah di antara mereka kita dan kalian ada Kitabullah, maka halalkanlah apa yang telah dihalalkannya dan haramkanlah apa yang telah diharamkan. (5).
Bagaimana kita tidak heran terhadap kaum yang telah meninggalkan sunah Nabi saww mereka dan membelakanginya lalu mereka menggantikan kedudukannya dengan suatu bid’ah yang mereka perbuat yang mana tidak diizinkan oleh Allah SWT, kemudian mereka menamakan diri dan pengikutnya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah…? Tetapi keheranan tersebut akan musnah ketika kita katahui bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman sebenarnya tidak mengenal pemberian nama tersebut selama-lamanya. Inilah Abu Bakar yang telah menyatakan: Jika kalian membebani aku dengan sunah Nabi saww, niscaya aku tidak akan mampu. (6).
Bagaimana mungkin Abu Bakar tidak mampu menjalankan sunah Nabi saww? Apakah sunah beliau itu suatu perkara yang mustahil dilaksanakan, sehingga Abu bakar tidak mampu? Bagaimana Ahlussunnah bisa mendakwahkan diri berpegang padanya jika tokoh mereka yang pertama dan pembina mazhab mereka itu tidak mampu melaksanakan sunah? Bukankah Allah SWT menyatakan, “Pada diri Rasulullah suatu tauladan yang baik bagi kalian .” (QS. al-Ahzab:21).
dan firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang kecuali semampunya.” (QS. at-Thalaq:7) Dan juga firman-Nya, “Dan tidak menjadikan suatu kesulitan bagi kalian dalam agama.” (QS. al-Haj :78).
Apakah Abu Bakar dan temannya Umar menganggap bahwa Rasulullah telah menciptakan suatu agama yang bukan diturunkan oleh Allah SWT, lalu beliau memerintah kaum Muslim ini dengan sesuatu yang tak terangkat dan membebani mereka dengan kesuliatan? Hal itu tidak mungkin, bahkan yang sering beliau katakan yakni, “Gembirakanlah dan jangan jadikan mereka lari, mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit, sesungguhnya Allah SWT telah memberi kalian keringanan maka jangan kalian memberatkan diri kalian sendiri.” Tetapi pengakuan Abu Bakar bahwa ia tidak mampu melaksanakan sunah Nabi saww itu adalah menguatkan apa yang menjadi pendapat kami bahwa ia telah melakukan suatu bid’ah yang mampu ia laksanakan sesuai dengan keinginannya dan sejalan dengan politik yang ia kuasai. Dan mungkin Umar bin Khathab berpandangan yang lain, bahwa hukum-hukum Al-Qur’an dan sunah itu tak mampu dilaksanakan, lalu ia sengaja meninggalkan shalat ketika ia junub sedangkan air tidak didapatinya dan ia berfatwa demikian di saat kekhalifahannya, sedang orang khusus dan yang umum telah mengetahui hal itu dan seluruh ahli hadis telah meriwayatkan itu darinya. Hal itu dikarenakan Umar adalah orang yang gemar banyak bersetubuh dan dialah yang disinggung oleh firman Allah SWT, “Allah mengetahui bahwa kalian mengkhianati diri kalian lalu Dia mengampuni kalian.” (Qs. al-Baqarah: 187).
Ini lantaran ia tidak mampu menahan diri dari bersetubuh di waktu puasa, dan dikarenakan air sangat sedikit maka Umar berpendapat bahwa yang paling mudah ialah meningalkan shalat dan bersantai-santai sampai ia mendapatkan air yang mencukupi untuk mandi, ketika itu baru ia kembali mengerjakan shalat. Adapun Utsman maka ia benar-benar telah mengabaikan sunah Nabi saww sebagaimana yang telah dikenal, sehingga ‘Aisyah mengeluarkan baju Nabi saww dan berkata, “Sungguh Utsman telah menghancurkan sunah Nabi saww sebelum baju beliau sendiri menjadi rusak.” Sehingga ia dicela oleh para sahabat bahwa ia telah menentang sunah Nabi saww, dan sunah Abu Bakar, Umar dan mereka pun membunuhnya lantaran itu. Mengenai Muawiyah, terserah apa yang Anda katakan, tidak mengapa, sesungguhnya ia telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah adalah dariku dan aku darinya, siapa yang mencaci ‘Ali sungguh telah mencaciku dan siapa yang mencaciku sungguh ia telah mencaci Allah SWT,” Kita dapati Muawiyah telah mengarahkan cacian dan kutukan padanya ia belum merasa cukup dengan itu sehingga ia memerintahkan seluruh wali-walinya dan para pegawainya untuk mencaci dan mengutuknya, siapa yang menolak di antara mereka maka ia disingkirkan dan dibunuh. Dan kita telah mengetahui bahwa Muawiyah itu adalah orang yang telah menamakan dirinya dan pengikutnya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka menentang penamaan Syi’ah sebagai pengikut kebenaran. Dan sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa tahun dimana Muawiyah memegang penuh kekuasaan umat Islam, setelah mengadakan perjanjian dengan al-Hasan bin ‘Ali Thalib bin Abi Thalib, maka tahun itu dinamakan tahun jama’ah. Dan keheranan pun akan hilang ketika kita memahami bahwa kata-kata sunah itu tidak dimaksudkan oleh Muawiyah dan pengikutnya kecuali hanyalah pengutukan ‘Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar Islam pada setiap hari Jumat dan hari Raya. Apabila Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan rekayasa Muawiyah bin Abi Sofyan maka kita memohon pada Allah SWT agar mematikan kita di dalam bid’ah rafidhi yang telah dibina oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (salam atas mereka). Anda tidak usah kaget wahai pembaca yang mulia, bila Ahlul bid’ah dan kesesatan itu menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah sedang imam-imam yang suci dari Ahlulbait itu menjadi Ahli bid’ah. Inilah al-Allamah Ibnu Khaldun yang termasuk ulama termasyhur dari Ahlussunnah wal Jama’ah, ia menyatakannya dengan tegas setelah ia memerinci mazhab-mazhab jumhur ia mengatakan, “Ahlulbait itu menjadi terasing karena aliran faham yang mereka adakan dan fiqih yang berlainan dan mereka telah membina mazhab mereka atas dasar pencacian sebagian sahabat.” (7)).
Wahai pembaca, bukankah saya telah katakan dari semula, seandainya Anda berbuat sebaliknya niscaya Anda benar/tepat. Maka jika orang-orang fasik dari kalangan Bani Umayah mereka itu adalah Ahlussunnah dan Ahlulbait itu adalah Ahli bid’ah seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun, maka buat Islam ucapan selamat jalan dan buat dunia ucapan selamat datang.
Foot note:
  1. Riwayat al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 440, dan Faraid as-Samthain oleh al-Humawaini dengan sanad dari Ibnu Abbas.
  2. Sesuai pernyataan Ibnu Taimiyah untuk meninggalkan sunah Nabi saww bila itu  telah menjadi syi’ar bagi Syi’ah, lihat Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah,II, hal.  143, dan Syarh al-Mawahib oleh Zargani,V, hal.13.
  3. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, V, hal. 189, dan al-Hakim dalam Mustadark, III, hal. 148 dan ia menyatakan shahih menurut syarat Bukhari Muslim.
  4. Diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya bahwa Nabi saww melarang shalat tarawih dalam bulan Ramadhan secara jama’ah dengan sabdanya, “Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, sesungguhnya seutama-seutama shalat seseorang adalah di rumahnya selain shalat fardu.” Tetapi Ahlussunnah mengabaikan larangan Nabi saww dan mereka mengikuti bid’ah Umar bin Khathab.
  5. Tadzkirat al-Huffadz oleh Dzahabi, I, hal. 3.
  6. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, I, hal. 4
  7. Muqaddaimah Ibnu Khaldun, hal. 494 dalam fasal Ilmu Fiqih.

Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).
Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.
Allah SWT berfirman: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah : 213).

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.
Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.

Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.

Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.
Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?

Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?

Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.
Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.
Kata mazhab Syafi’i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).
Petunjuk Umat.
Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.

Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).

Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.
Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. “Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf :52).

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ” (Qs. An-Nahl : 64).
Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.
Penyimpangan.
Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.
Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.
Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

(Syiahali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: