Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (1)
Sekilas Tentang Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat.
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat adalah karya Syeikh Muhammad ibn Abdi Wahhâb yang ia tulis untuk mendektekan “hujjah-hujjah dan bukti-bukti” dan menjelaskan inti pikiran ajarannya. Kitab ini menjadi rujukan utama sekte Wahhabiyah dalam menanamkan doktrin ajarannya, ia tersebar dengan luas di kalangan para santri, pelajar, mahasiswa dan kaum awam Wahhabi sekalipun. Kemasyhuran kitab tersebut tidak kalah dengan kemasyhuran kitab at Tauhid karyanya.
Kitab tersebut, baik terjemahan maupun aslinya telah menyebar di tanah air nusantara yang kita cintai.
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat.
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhât adalah sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslimin selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb). Ia telah mengkategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan! Dan atas dasar itu ia mengafirkann dan menvonis musyrik selain kelompoknya.
Dalam buku kecil itu, Ibnu Abdil Wahhâb telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari berbagai mazhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrikan tidak kurang dari dua puluh empat kali. Sementara itu, lebih dari dua puluh lima kali ia menyebut kaum Muslimin dengan sebutan:
Kafir,
Para penyembah berhala-berhala,
Orang-orang munafikun,
Orang-orang murtad,
Para penentang Tauhid,
Musuh-musuh Tauhid,
Musuh-musuh Allah,
Orang-orang yang mengaku-ngaku Islam secara palsu,
Pengemban kebatilan,
Orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecendurngan kepada kebatilan,
Kaum jahil,
Setan-setan,
Dan sesungguhnya orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir dan para penyembah berhala-berhala lebih pandai dari mereka …
Dan kata-kata keji lainnya.
Sebuah kenyataan yang membuat kitab tersebut sebagai kitab Pedoman Doktrin Takfîr paling berbahaya dan sekaligus sebagai saksi nyata bahwa ajaran Wahhâbiyah ditegakkan di atas pondasi pengafiran yang sulit dielak oleh para pengikutnya sekarang!
Dan untuk melihat dari dekat kitab tersebut, maka kami tertarik untuk menerjemahkannya dengan disertai catatan yang akan membantu pembaca mengenal dengan baik pikiran inti Pendiri Setke Wahhâbiyah dan sekaligus akan menggaris-bawai beberapa kekeliruannya.
Naskah yang kami terjemahkan adalah terbitan Dâr al-Kutub al-Ilmiah Beirut – Lebanon dengan disertai syarah Syeikh Ibnu Utsaimin dan dicetak bersama kitab al-Ushûl as -Sittah juga karya Ibnu Ibdil Wahhâb. Tebal halaman berikut syarh-nya adalah 83.
Di bawah ini mari kita ikuti terjemahan dan catatan komentar atasnya…
Selamat membaca..!
Berkata Ibnu Abdil Wahhab –pendiri sekte Wahhâbiyah- dalam kitabnya Kasyfu asy Syubuhât.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ketahuilah wahai yang ingin dirahmati oleh Allah Swt, sesungguhnya tauhid adalah mengesakan Allah dengan ibadah. Di mana hal tersebut merupakan agama dan tuntunan duta-duta Allah untuk para hamba-Nya; dimulai oleh nabi Nuh a.s. yang diutus kepada kaumnya ketika mereka telah melampaui batas (gluluw) orang-orang yang saleh; Wudda, Suwa’a, Yaghuts, Ya’uq dan Nasra.
_______________
Catatan: 1
Awal pembicaraan di atas adalah benar, akan tetapi bagian akhirnya tidak berdasar. Tidak semetinya berpanjang-panjang dalam menjelaskan masalah yang telah diketahui dan disepakati semua umat Islam, bahwa para nabi saw. diutus untuk mengajarkan konsep Tauhid yaitu mengesakan Allah SWT dalam penyembahan dan meninggalkan penyembahan selain-Nya. Nabi Nuh as. diutus kepada kaum yang menyembah arca-arca dan berhala-berhala dan bukan sekedar ber-ghuluw (berlebihan) terhadap para shalîhîn seperti yang dikatakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Secara bahasa kata ghuluw artinya sikap melampaui batas, kata ini dapat memiliki konotasi yang luas dan dapat diseret kepada makna yang disalah-gunakan. Benar, terkadang sikap ghuluw itu mencapai puncaknya yaitu kekafiran, walaupun itu jarang… mencium tangan seorang shaleh atau wali dan ber-tabarruk terhadap kaum shâlîhîn dalam pandangan Ibnu Abdil Wahhâb termasuk sikap guluw… akan tetapi semua itu tidak benar dikategorikan sebagai syirik!
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hendak mengesankan kepada kita bahwa ajakannya adalah kelanjutan dari ajakan para Nabi as. Atau ia ingin membangun opini bahwa para Nabi dan Rasul as. itu tidak diutus oleh Allah SWT kecuali kepada kaum yang berg-huluw kepada kaum shâlîhîn semata! Atau bahwa kesalahan terbesar yang menjerumuskan mereka ke dalam lembah kemusyrikan hanyalah berghuluw kepada kaum shâlîhîn! Seperti yang ia tegaskan dalam kitab at Tauhid-nya dengan menulis sebuah bab dengan judul, “Bab bukti-bukti yang datang bahwa sebab yang membawa bani Adam kepada kekufuran dan meninggalkan agama mereka adalah ghuluw terhadap. kaum shâlîhîn.” (Syarah Ibnu Utsaimin atas Kasyfu asy-Syubuhât:15).
Ini semua tidak benar dan tidak berdasar, sebab pada kenyataannya mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala. Dan ini sudah cukup untuk menjadi alasan kemusyrikan mereka. Sementara itu, lawan-lawan ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang membantah alasan-alasannya dan yang ia kafirkn serta ia perangi adalah kaum Muslimin yang mengesakan Allah dan tidak menyembah selain-Nya, akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa ber-tabarruk dengan para shâlîhîn, yang sementara ini divonis syirik olehnya. Karenanya, Syeikh banyak mengulang poin ini dalam banyak kesempatan.
Makna Ibadah.
Seperti telah diketahui bersama bahwa tidaklah semua bentuk pengagungan dan ketundukan dapat diketegorikan sebagai ibadah (penyembahan/penghambaan). Jadi mengagungkan terhadap seorang Nabi misalnya, atau seorang wali atau ulama atau mengagungkan kuburan mereka dengan bentuk pengagungan tertentu atau ber-tabarruk dengan mereka tidak serta-merta disebut sebagai menyembah mereka dan atau kuburan mereka, atau menyamakannya dengan menyembah berhala dan karenanya divonis musyrik/kafir.
Memuji Kebaikan Kaum Musyrikin!
Seperti telah disinggung bahwa lawan-lawan yang dikafirkan dan diperangi Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb adalah kaum Muslimin yang menegakkan shalat, menjalankan puasa dan haji, oleh sebab itu ia mesti perlu membubarkan tanda tanya yang terus-menerus membayangi pengikutnya bahwa mereka itu benar-benar telah musyrik agar para pengikutnya itu tetap bersemangat mengafirkan dan kemudian memerangi mereka. Dari sini dapat dimengerti rahasia mengapa ia berlebih-lebihan dalam menekankan hal itu, seperti tampak dari kata-katanya di atas. Dan dari sini pula dapat dimengerti mengapa Syeikh begitu bersemangat memaparkan mahâsin (sisi baik) kaum kafir Quraisy, pengikut Musailamah al-Kadzdzâb dan kaum munafikin di zaman Nabi saw. Dalam banyak kali Syeikh mengunggulkan mereka atas kaum Muslimin; baik ulama maupun awamnya! Semua itu ia lakukan dengan maksud mengajukan bukti bahwa orang-orang yang ia perangi adalah orang-orang yang secara kualitas di bawah kaum kafir Quraisy dan kaum munafikin serta pengikut Musailamah al-Kadzdzâb!
Ini jelas salah besar, sebab ia hanya memaparkan sisi baik (jika kita terima anggapannya bahwa itu adalah kebaikan) kaum Musyrikun dan sengaja melupakan keburukan mereka. Sementara itu, ketika memaparkan kondisi kaum Muslimin yang sedang ia bandingkan dengan kaum kafir itu ia lupakan sisi-sisi positif yang ada dan hanya berfokus pada sisi negatif saja! Seperti akan disebutkan nanti.
Bersambung .....
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat adalah karya Syeikh Muhammad ibn Abdi Wahhâb yang ia tulis untuk mendektekan “hujjah-hujjah dan bukti-bukti” dan menjelaskan inti pikiran ajarannya. Kitab ini menjadi rujukan utama sekte Wahhabiyah dalam menanamkan doktrin ajarannya, ia tersebar dengan luas di kalangan para santri, pelajar, mahasiswa dan kaum awam Wahhabi sekalipun. Kemasyhuran kitab tersebut tidak kalah dengan kemasyhuran kitab at Tauhid karyanya.
Kitab tersebut, baik terjemahan maupun aslinya telah menyebar di tanah air nusantara yang kita cintai.
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhat.
Kitab Kasyfu asy-Sybubuhât adalah sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslimin selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb). Ia telah mengkategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan! Dan atas dasar itu ia mengafirkann dan menvonis musyrik selain kelompoknya.
Dalam buku kecil itu, Ibnu Abdil Wahhâb telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari berbagai mazhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrikan tidak kurang dari dua puluh empat kali. Sementara itu, lebih dari dua puluh lima kali ia menyebut kaum Muslimin dengan sebutan:
Kafir,
Para penyembah berhala-berhala,
Orang-orang munafikun,
Orang-orang murtad,
Para penentang Tauhid,
Musuh-musuh Tauhid,
Musuh-musuh Allah,
Orang-orang yang mengaku-ngaku Islam secara palsu,
Pengemban kebatilan,
Orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecendurngan kepada kebatilan,
Kaum jahil,
Setan-setan,
Dan sesungguhnya orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir dan para penyembah berhala-berhala lebih pandai dari mereka …
Dan kata-kata keji lainnya.
Sebuah kenyataan yang membuat kitab tersebut sebagai kitab Pedoman Doktrin Takfîr paling berbahaya dan sekaligus sebagai saksi nyata bahwa ajaran Wahhâbiyah ditegakkan di atas pondasi pengafiran yang sulit dielak oleh para pengikutnya sekarang!
Dan untuk melihat dari dekat kitab tersebut, maka kami tertarik untuk menerjemahkannya dengan disertai catatan yang akan membantu pembaca mengenal dengan baik pikiran inti Pendiri Setke Wahhâbiyah dan sekaligus akan menggaris-bawai beberapa kekeliruannya.
Naskah yang kami terjemahkan adalah terbitan Dâr al-Kutub al-Ilmiah Beirut – Lebanon dengan disertai syarah Syeikh Ibnu Utsaimin dan dicetak bersama kitab al-Ushûl as -Sittah juga karya Ibnu Ibdil Wahhâb. Tebal halaman berikut syarh-nya adalah 83.
Di bawah ini mari kita ikuti terjemahan dan catatan komentar atasnya…
Selamat membaca..!
Berkata Ibnu Abdil Wahhab –pendiri sekte Wahhâbiyah- dalam kitabnya Kasyfu asy Syubuhât.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ketahuilah wahai yang ingin dirahmati oleh Allah Swt, sesungguhnya tauhid adalah mengesakan Allah dengan ibadah. Di mana hal tersebut merupakan agama dan tuntunan duta-duta Allah untuk para hamba-Nya; dimulai oleh nabi Nuh a.s. yang diutus kepada kaumnya ketika mereka telah melampaui batas (gluluw) orang-orang yang saleh; Wudda, Suwa’a, Yaghuts, Ya’uq dan Nasra.
_______________
Catatan: 1
Awal pembicaraan di atas adalah benar, akan tetapi bagian akhirnya tidak berdasar. Tidak semetinya berpanjang-panjang dalam menjelaskan masalah yang telah diketahui dan disepakati semua umat Islam, bahwa para nabi saw. diutus untuk mengajarkan konsep Tauhid yaitu mengesakan Allah SWT dalam penyembahan dan meninggalkan penyembahan selain-Nya. Nabi Nuh as. diutus kepada kaum yang menyembah arca-arca dan berhala-berhala dan bukan sekedar ber-ghuluw (berlebihan) terhadap para shalîhîn seperti yang dikatakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Secara bahasa kata ghuluw artinya sikap melampaui batas, kata ini dapat memiliki konotasi yang luas dan dapat diseret kepada makna yang disalah-gunakan. Benar, terkadang sikap ghuluw itu mencapai puncaknya yaitu kekafiran, walaupun itu jarang… mencium tangan seorang shaleh atau wali dan ber-tabarruk terhadap kaum shâlîhîn dalam pandangan Ibnu Abdil Wahhâb termasuk sikap guluw… akan tetapi semua itu tidak benar dikategorikan sebagai syirik!
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hendak mengesankan kepada kita bahwa ajakannya adalah kelanjutan dari ajakan para Nabi as. Atau ia ingin membangun opini bahwa para Nabi dan Rasul as. itu tidak diutus oleh Allah SWT kecuali kepada kaum yang berg-huluw kepada kaum shâlîhîn semata! Atau bahwa kesalahan terbesar yang menjerumuskan mereka ke dalam lembah kemusyrikan hanyalah berghuluw kepada kaum shâlîhîn! Seperti yang ia tegaskan dalam kitab at Tauhid-nya dengan menulis sebuah bab dengan judul, “Bab bukti-bukti yang datang bahwa sebab yang membawa bani Adam kepada kekufuran dan meninggalkan agama mereka adalah ghuluw terhadap. kaum shâlîhîn.” (Syarah Ibnu Utsaimin atas Kasyfu asy-Syubuhât:15).
Ini semua tidak benar dan tidak berdasar, sebab pada kenyataannya mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala. Dan ini sudah cukup untuk menjadi alasan kemusyrikan mereka. Sementara itu, lawan-lawan ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang membantah alasan-alasannya dan yang ia kafirkn serta ia perangi adalah kaum Muslimin yang mengesakan Allah dan tidak menyembah selain-Nya, akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa ber-tabarruk dengan para shâlîhîn, yang sementara ini divonis syirik olehnya. Karenanya, Syeikh banyak mengulang poin ini dalam banyak kesempatan.
Makna Ibadah.
Seperti telah diketahui bersama bahwa tidaklah semua bentuk pengagungan dan ketundukan dapat diketegorikan sebagai ibadah (penyembahan/penghambaan). Jadi mengagungkan terhadap seorang Nabi misalnya, atau seorang wali atau ulama atau mengagungkan kuburan mereka dengan bentuk pengagungan tertentu atau ber-tabarruk dengan mereka tidak serta-merta disebut sebagai menyembah mereka dan atau kuburan mereka, atau menyamakannya dengan menyembah berhala dan karenanya divonis musyrik/kafir.
Memuji Kebaikan Kaum Musyrikin!
Seperti telah disinggung bahwa lawan-lawan yang dikafirkan dan diperangi Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb adalah kaum Muslimin yang menegakkan shalat, menjalankan puasa dan haji, oleh sebab itu ia mesti perlu membubarkan tanda tanya yang terus-menerus membayangi pengikutnya bahwa mereka itu benar-benar telah musyrik agar para pengikutnya itu tetap bersemangat mengafirkan dan kemudian memerangi mereka. Dari sini dapat dimengerti rahasia mengapa ia berlebih-lebihan dalam menekankan hal itu, seperti tampak dari kata-katanya di atas. Dan dari sini pula dapat dimengerti mengapa Syeikh begitu bersemangat memaparkan mahâsin (sisi baik) kaum kafir Quraisy, pengikut Musailamah al-Kadzdzâb dan kaum munafikin di zaman Nabi saw. Dalam banyak kali Syeikh mengunggulkan mereka atas kaum Muslimin; baik ulama maupun awamnya! Semua itu ia lakukan dengan maksud mengajukan bukti bahwa orang-orang yang ia perangi adalah orang-orang yang secara kualitas di bawah kaum kafir Quraisy dan kaum munafikin serta pengikut Musailamah al-Kadzdzâb!
Ini jelas salah besar, sebab ia hanya memaparkan sisi baik (jika kita terima anggapannya bahwa itu adalah kebaikan) kaum Musyrikun dan sengaja melupakan keburukan mereka. Sementara itu, ketika memaparkan kondisi kaum Muslimin yang sedang ia bandingkan dengan kaum kafir itu ia lupakan sisi-sisi positif yang ada dan hanya berfokus pada sisi negatif saja! Seperti akan disebutkan nanti.
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (2)
Dan
diakhiri oleh penghulu mereka Nabi Muhammad Saw. Beliau (juga demikian)
telah menghancurkan arca-arca berupa hamba-hamba saleh. Beliau diutus
oleh Allah SWT kepada umat manusia yang juga beribadah, berhaji,
bersedekah dan selalu berdzikr mengingat Allah, namun mereka menjadikan
sebagian makhluk sebagai sarana dan perantara di antara mereka dan Allah
SWT, dengan sarana-sarana tersebut mereka berharap dapat mendekatkan
diri kepada-Nya, mengharap syafa’at di sisi-Nya, seperti Malaikat, Isa,
Maryam dan sosok-sosok saleh yang lain.
Kemudian Allah SWT mengutus Muhammad Saw dalam rangka memperbaharui agama ayahnya, Ibrahim a.s. seraya mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.
___________
Catatan:2
Demikianlah, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb melukiskan potret indah tetapi tidak riil tentang orang-orang kafir Quraisy untuk dijadiknnya pijakan dalam mengafirkan umat Islam. Kata Syeikh kaum kafir Quraisy itu adalah orang-orang yang rajin menyembah Allah, melaksanakan haji, bersedekah dan banyak berzikir menyebut dan mengingat Allah SWT.!! Jelas ini adalah pembandingan yang tidak riil, seperti akan kami jelaskan sebentar lagi.
Setelahnya, Syeikh menjelaskan sifat/kondisi yang karenanya Rasulullah saw. memerangi kaum kafir Quraisy, ia mengatakan, “Akan tetapi??? “ itu artinya, mereka berhak diperangi, maka kami juga berhak memerangi mereka yang menyandang sifat dan berada dalam kondisi yng sama dengan alasan yang sama pula!!
Subhanallah! Demikianlah pendiri Sekte Wahhabiyah itu menyamakkan kaum Muslimin dengan kaum kafir Quraisy…. Dan semua keterangan yang ia obral dan atasnya ia membangun vonis sesatnya tentang kekafiran dan kemudian dihalalkannya memerangi kaum Muslimin adalah palsu dan hanya tipuan belaka, sebab:
Pertama: Pantaskan ia menyebut kaum kafir Quraisy itu sebagai kaum yang “menyembah Allah…. “ sementara ibadah dan penyembahan mereka itu telah digambarkan Allah dengan firmannya:
“Dan tidaklah shalat mereka di sekitar baitullah itu, melainkan hanya siualan dan tepuk tangan.” (QS. Al Anfâl [8];35).
Kata mukâ’ adalah bersiul dan tashdiyah artinya bertepuk tangan.
Dalam tasfir al-Kkasysyâf-nya az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa: ”Mereka itu thawâf mengelili Ka’bah sambil telanjang bulat, baik wanita maupun pria, mereka menyilangkan jari jemari mereka sambil bersiul dan bertepuk.” Mereka menyembah dan sujud kepada arca dan berhala yang jelas-jelas dilarang keras Allah SWT. Mereka memberikan sesajen kepada arca-arca dan berhala-berhala itu. Mereka mengucapkan talbiah dengan menyebut nama-nama berhala-berhala mereka, kemudian mereka melumurkan darah sembelihan mereka ke badan mereka. Inilah ibadahnya kaum kaum kafir Quraisy yang dibanggakan dan dipuji-puji Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Mereka berhaji tetapi dengan memasukkan bid’ah dan berbagai kekejian dan penyimpangan, di antaranya, mereka thawaf sambil telanjang bulat seperti telah disinggung, dengan aurat terbuka dan tak tertutupi oleh sehelai benang pun! Dengannya mereka beranggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kisah wanita yang datang ke kota Mekkah untuk ibadah haji yang dipaksa menanggalkan seluruh baju yang melekat di badannya adalah kisah masyhur di kalangan para sejarawan, dan kemudian ketika ia melakukan thawaf dengan telanjang, para penduduk kota Mekkah berkerumun menonton adegan thawaf bugil yang diperagakan wanita asing yang molek itu. Ia sambil malu berkeling mengitari Ka’bah seraya menggubah syair:
Hari ini tanpak sebagian atau seluruhnya…
Dan yang tanpak tak kuhalalkan untuk ditonton.
Inikah kaum, yang kata Ibnu Abdil Wahhâb kekafiran dan kemusyrikan mereka hanya terbatas pada tasyaffu’ (meminta syafa’at) kepada kaum shâliîhîn saja!
Kata Syeikh, “mereka bersedekah”, akan tetapi apakah ia lupa bahwa mereka itu mengingkari kerasulan para Nabi dan Rasul as. Dapatkah berguna sedakah mereka itu?!
Mereka kadang-kadang berdzikir menyebut Allah, namun dalam hampir seluruh kondisinya tidak mengingat Allah, bahkan berpaling dari menyebut Allah dan hanya menyebut-nyebut nama-nama berhala sesembahan mereka! Mereka menyebut-nyebut, “U’lu Hubal (berjayalah tuhan Hubal).” Disamping itu mereka menyebut nama-nama berhala-berhala ketika menyembelih hewan ternak mereka tanpa menyebut nama Allah SWT.
Abu Salafy berkata:
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb lupa untuk melengkapi khayalannya dengan menambahkan kata-kata, ‘dan mereka (kaum kafir Quraisy) itu rajin menegakan shalat, mengeluarkan zakat… mereka tidak berzina, tidak menikahi mantan istri ayah-ayah mereka… mereka tidak meminum arak, tidak berjudi bentuk maisir, anshâb, azlâm… mereka tidak bermu’amalah secara ribâ, tidak mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka….
Ringkas kata, mereka telah dengan sempurna melaksanakan syarat-syarat Islam, termasuk shalat tarâwih… kesalahan yang muncul dari mereka hanya satu yaitu meminta syafa’at kepada hamba-hmba yang berkedudukan tinggi di sisi Allah seperti malaikat, Nabi Isa dll., dan menjadikan mereka sebagai perantara! Atas dasar itu Nabi saw. memerangi mereka dan menvonis mereka sebagai Musyrikûn! Apa bukan demikian wahai pembaca yang arif?!
Pembandingan yang tidak Jujur.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa Syeikh menyebut beberapa sifat dan kondisi yang karenanya Nabi saw. menvonis mereka sebagai Musyrikûn dan karenanya pula halal bagi Nabi saw. untuk memerangi mereka! Dan kemudian membandingkannya dengan kondisi keagamaan yang sedang dijalani umat Islam di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, yang tentunya dengan alasan yang sama pula ia berhak memerangi mereka!
Akan tetapi pembandingan yang ia sebutkan itu tidak jujur dan tidak adil serta tidak berdasar! Sebab:
Kaum kafir Quraisy ingkar Lâ ilâha Illallah, dan tidak rela menjadikan Allah sebagai Tuhan mereka! Tidak mengimani hari kebangkitan, surga dan neraka! Tidak mengimani kerasulan Nabi Muhammaad saw.! Mereka menyembah berhala-berhala, berbuat zalim, membunuh, meminum arak, berzina dll. Lalu apakah mereka berhak disamakan dengan kaum Muslimin yang rajin shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat melaksanakan haji, bersedekah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT dan melazimkan diri berprilaku baik dan berbudi pekerti luhur?
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang- orang Islam itu sama dengan orang- orang yang berdosa ( orang kafir ).”(QS. Al Qalam [68];35).
Demi Allah yang Maha Adil tidaklah sama antara mereka. Umat Islam tidak mungkin sama dengan kaum kafir… Andai kita terima sekalipun apa yang dituduhkan Syeikh bahwa mereka telah melakukan kesyirikan dengan ber-tabarruk dan ber-tawassul misalnya, tetapi tidak berdasar jika kita menyamakan kaum Muslimin dengan kaum Kafir, sebab pintu ta’wîl dihadapan praktik para ulama dan awam kaum Muslimin terbuka lebar. Dan ber-ta’wil adalah satu asalan kuat yang menghalangi dibolehkannya menjaktuhkan vonis kafir atas pelaku praktik tertentu tersebut! Apapun alasannya adalah sebuah kekeliruan fatal ketika Syeikh menyamakan antara umat Islam dengan kaum Kafir Quraisy! Antara yang menjalankan rukun-rukun Islam dengan yang mengingkarinya!
Tidaklah sama kaum yang mengimani Nabi Muhammad saw. dengan yang mengingkari dan memeranginya!
Tidaklah sama antara kaum yang ber-tawassul kadapa Nabi saw. dan ber-tabarruk kepada para shâlihîn, -andai mereka itu salah- dengan kaum yang melempari Nabi saw. dengan batu dan membunuh para shâlihîn!
Tidakkah sama antara kaum yang beriman kepada hari akhir, surga dan neraka dengan kaum yang mengatakan:
“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS. Al Jatsiyah [45];24).
Akan samakah antara kaum yang berikrar dengan Lâ ilâha Illallah dengan kaum yang berikrar, “apakah engkau akan jadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu Tuhan saja?.”?
Samakah antara yang beriman dengan yang kafir?!
Akan samakah antara yang membenarkan kedatangan para Rasul saw. dengan yang mengingkari mereka?
Akan samakah antara yang beriman dengan hari akhir dengan yang kufur kapadanya?
Akan samakah antara yang meminta syafa’at dari para nabi dan para shâlihîn dengaan orang menyembah dan mengharap bantuan dari bebatuan?
Samakah antara kaum yang meminta syafa’at para nabi as. dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah dengan kaum yang meminta syafa’at dari berhala dan menjadikan mereka sekutu Allah dalam Ulûhiyah?
Pasti tidak hai Syeikh!!… Adalah perbedaan yang tak pernah ketemu titik kesamaannya!
Para Ulama Islam Membolehkan Ber-tabarruk.
Bukan maksud kami menguraikan masalah ini, akan tetapi sekedar sebagai singgungan saja bahwa mayorits [1] ulama Islam sejak zaman sebelum Syeikh hingga zaman Syeikh membolehkan ber-tabarruk dan bert-awassul dengan kaum shâlihîn, termasuk Imam Ahmad ibn Hanbal, dan para pembesar mazhab Hanbali. Apakah kaum Wahhhâbiyah sekarang mengafirkan mereka semua?! Atau sekedar menyalahkan mereka saja?!
Jika para pengikut Sekte Wahhâbiyah sekarang mengafirkan mereka, pastilah akan menuai protes keras dari ulama di luar keluaga Mazhab Wahhâbiyah, khususnya dari luar Kerajaan Dinasti Sa’ud dan akan langsung menuding mereka sebagai Islam Ekstirm! dan berlebihan dalam mengafirkan umat Islam!
Jika para pengikut Sekte Wahhâbiyah sekarang tidak mengafirkan mereka, itu artinya mereka (pengikut Wahhâbiyah) telah menolak mentah-mentah doktrin Syeikh Imam dan Pendiri Sekte mereka, yang dengan terang-terangan telah mengafirkaan kaum Muslimin, awam dan ulama mereka! Bukankah umat Islam yang divonis kafir dan musyrik oleh Syeikh di zamannya itu sama dengan kaum Muslimin zaman kita sekarang?!
Jika mereka mengada-ngada dengan mengatakan bahwa berbeda antara kaum Muslimin di zaman Syeikh yang ia kafirkan dengan kaum Muslimin zaman kita sekarang, maka semestinya, perbedaan antara kaum kafir Quraisy dengan ulama dan awam kaum Muslimin di zaman Syeikh lebih nyata!!!
Sebenarnya apa yang diprotes Syeikh dari praktik para ulama dan awam kaum Muslimin berupa: tawassul, tabarruk, memohon syafa’at kepada Nabi saw., ziarah kubur, dll itu semua masih juga ada dan dipraktikkan umat Islam, hingga sekarang, baik awam maupun ulama di berbagai belahan dunia Islam; Mesir, Meroko, Syam, Hijaz, Yaman, Irak, Iran dan tentunya tidak ketinggalan umat Islam di tanah air tercinta; Indonesia (tentunya selain yang berfaham Wahhâbi).
Jika sebagian pengikut sekte Wahhâbiyah mengafirkaan mereka semua, maka ia harus memprotes dan bersungguh-sungguh dalam menegakkan hujjah dan bukti kekfiran itu di hadapan para ulama dan penguasa di Arab Saudi, sebab mereka sekaarang sudah tidak lagi mengafirkan kaum Muslimin yang ber-tabarruk …. Dan apabila hujjah mereka yang mengafirkan telah sampai dan didengar oleh mereka, akan tetapi mereka tetap saja tidak mau mengafirkan juga maka mereka semua (ulama Wahhabiyah dan penguasa kerajaan Arab Saudi) harus divonis kafir, sebab berdasarkan kaidah dasar Da’wah Salafiyah bahwa “Siapa yang tidak mau mengafirkan orang kafir atau ragu akan kekafirannya maka ia kafir juga!!!”
Setelah pajang lebar pembicaraan kita, mari kita kembali ke asal permasalahan kita.
Kedua:
Membatasi kamusyrikan dan kekafiran kaum yang Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka hanya pada menjadikan sebagian hamba sebagai perantara dan pemegang hak syafa’at di sisi Allah SWT adalah sebuah kebodohan atau justru penipuan! Sebab kenyataannya mereka tidak seperti yang digambarkan syeikh:
A) Adapun kaum Musyrikûn Quraisy, walaupun mereka itu meyakini bahwa Pemberi rizki, Pencipta, yang mematikan dan menghidupkan, Pengatur dan Pemilik apa yang ada di langit dan di bumi adalah Allah SWT seperti dalam beberapa ayat yang telah disebutkaan Syeikh di atas, akan tetapi perlu dicermati, bahwa tidak ada pula bukti yang dapat diajukan untuk menolak bahwa mereka juga tidak meyakini bahwa berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan mereka, baik berupa jin, manusia maupun malaikat juga memiliki pengaruh di jagat raya ini dan bahwa pengaruh sepenuhnya di bawah kendali Allah SWT! Sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga meyakini bahwa sesembahan mereka itu dapat menyembuhkan yang sakit, menolong dari musuh, mengusir mudharrat, dll, dan bahwa sesembahan mereka itu akan memberi syafa’at di sisi Allah dan syafa’at mereka pasti diterima dan tidak bisa ditolak oleh Allah dan sesungguhnya Allah telah menyerahkan sebagian urusan pengurusan alam kepada mereka.
Tidak sedikit ayat Al Qur’an yang menerangkan kenyataan itu, coba perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
“Katakanlah:” Panggillah mereka yang kamu anggap ( tuhan ) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.”.(QS. Al Isra’ [17];56).
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:” Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab:” Siapakah yang Maha Penyayang itu Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami ( bersujud kepada-Nya )”, dan ( perintah sujud itu ) menambah mereka jauh ( dari iman ).” (QS. Al Furqan [25];60).
Bahkan dzahir dari ayat di atas ini jelas sekali bahwa mereka tidak mau sujud selain kepada arca dan berhala mereka, dan hanya berhala-berhala itu yang mereka yakini sebagai tuhan dan tiada tuhan selainnya!
“Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka* demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”.(QS. Asy Syu’ara’ [26];96-98)…..
Ayat di atas jelas menginformasikan kepada kita bahwa kaum kafir Quraisy itu berkeyakinan bahwa sesembahan mereka itu sama dengan Allah Rabbul ‘Alâmiîn, kendati tidak dari seluruh sisinya. Dan itu sudah cukup alasan dan bukti akan kemusyrikan dan kekafiran mereka!!
Dan semua ayat yang menyebut bahwa mereka menjadikan sesembahan-sesembahan mereka sebagai sekutu Allah juga menunjukkan keyakinan bahwa mereka meyamakan sekutu-sekutu itu dengan Allah SWT., seperti ayat:
“Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan- sembahan kita, seandainya kita tidak sabar ( menyembah ) nya” Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al Furqaan [25];42).
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan- sembahan kami karena seorang penyair gila.”(QS. Ash Shaffat [37];36 ).
Mengapa ia menjadikan tuhan- tuhan itu Tuhan Yang satu saja Sesungguhnya ini benar- benar suatu hal yang sangat mengherankan.(QS. Ash Shâd [38];5 ).
dan lain sebagiannya. Maka dengan demikian bagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membatasi kemusyrikan dan kekafiran mereka itu hanya pada menjadikan hamba-hamba sebagai perantaan dan pemilik syafa’at di sisi Allah SWT?! Sementara mereka adalah mengingkari kenabian dan karasulan Rasulullah saw. dan menuduhnya sebagai sâhir, penyihir dan mengingkari semua yang beliau bawa dari Allah; hukum dan syari’at kendati telah tegak mu’jizat kenabian beliau! Dan mereka bersikukuh berpegang kepada ajaran jahiliiyah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka!
Tidakkah semua ini sudah cukup untuk kemusyrikan dan kekafiran mereka?! Lalu apa manfa’at mengikrarkan keberadaan Allah dan menjalankan beberapa ritual ibadah, berdzikir, bersedekah, haji dll. (jika kita akui itu)?! Akankah berguna semua itu sementara mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw.!
Bagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membatasi kemusyrikan dan kekafiran mereka itu hanya pada menjadikan hamba-hamba sebagai perantaan dan pemilik syafa’at, sementara mereka telah merusak agama Allah yang dibawa Nabi Ibrahim as., mereka mengada tentang buhaira, sâibah, waashîlah, hâmi, nasî’u dll. Hal ini saja sudah cukup sebagai bukti kekafiran mereka! Apalagi ditambah mereka menyembah berhala dan arca serta para malaikat yang mereka jadikan sebagai sekutu Allah SWT. Penghambaan (ibadah) mereka itu tidak terbatas hanya pada meminta syafa’at daan bertawssul kepada hamba-hamba yang diberi hak syafa’at, seperti ucapan menipu yang ditebar Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Ibadah dan penyembahan kaum Musyrikîn terhadap arca dan berhala yang mereka buat dari batu, tembaga, kayu atau bahan-bahan lainnya dengan tangan-tangan mereka sendiri atau mereka menyembah pepohonan dengan bersujud, atau memberi sesajen dengan menyembelih binatang ternak dengan menyebut nama-nama arca sesembahan mereka… Mereka memohon darinya apa-apa yang semestinya mereka mohon dari Allah SWT. dan mereka berpaling dari menyembah Allah dengan anggapan bahwa mereka tidak mampu menyembah Allah, jadi sesembahan inilah yang mereka sembah untuk mendekatkan diri kepada Allah…
Ini semua bukti bahwa penyembahan kaum Musyrikûn itu bukan sekedar meminta syafa’at dari arca-arca atau sesembahan mereka! Mereka telah menentang perintah Allah WST. dan para rasul-Nya yang tegas-tegas melarang penyembahan selain Allah SWT. Dan juga menyimpang dari petunjuk akal sehat mereka jika mereka mau bertahkim kepadanya, bahwa semua yang mereka sembah itu tidak dapat memberi manfaa’at atau mudharrat.
Semua yang mereka lakukan itu tidak sedikitpun dikerjakan oleh kaum Muslimin terhadap seorang nabi atau wali atau kuburan atau lainnya. Apa yang dilakukan kaum Muslimin adalah memohon syafa’at kepada pribadi mulia yang diberi hak syafa’at… mereka bertawassul kepada pribadi mulia yang dijadikan baginya wasîlah… dan memohon syafa’at, tasyaffu’ tiada lain adalah doa yaang dipanjatkan kepada Allah agar permohonan sang nabi itu dikabulkan. Demikian juga dengan istighâtsah, semua itu hanya doa yang dipanjatkan agar Allah berkenan mengabulkan permohonan sang nabi atau wali!
Begitu juga dengan menghadiahkaan pahala kurban sembelihan untu nabi atau wali, itu artinya pahala perbuatan itu dihadiahkan kepada sang nabi atau sang wali. Dalam prosesi penyembelihan itu hanya nama Allah–lah yang disebut, bukan nama sang nabi atau wali!
Jadi keyakinan-keyakinan menyimpang, amal-amal serta penentangan kepada Nabi saw. lah yang menyebabkan mereka diperangi oleh Nabi Muhammad saw. dan bukaan sekedar ber-tasyaffu’ atau ber-tawassul dengan seorang nabi atau wali.
Sedangkan penyembahan mereka kepaada para malaikat yaitu dengan menjadikan mereka sebaagai arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah SWT. seperti disebutkan dalam firman Allah:
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:” Hendaklah kamu menjadi penyembah- penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi ( dia berkata ):” Hendaklah kamu menjadi orang- orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan ( tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah ( patut ) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam.” (QS. Âlu Imrân [3]; 80).
Ayat di atas adalah bukti nyata bahwa kaum Musyrikûn telah memposisikan para malaikat sebagai Tuhan. Mereka melakukan terhadapnya apa yang menjadi kekhususan sifat Ketuhanan, Rubûbiyah yang tidak selayaknya dilakukan selain kepada Allah, seperti sujud dan bentuk-bentuk ibadah atu keyakinan lainnya. Tidak ada bukti yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka perbuat itu hanya sekedar memohon syafa’at kepada Allah melalui perantaraan para malaikat!
Bukti Lain.
Selain itu banyak ayat yang tegas-tegas bahwa kaum Msuryikûn telah benar-benar menyembah, a’badû malaikat. Coba perhatina ayat-ayat di bawah ini:
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba- hamba- Nya sebagai bahagian daripada- Nya. Sesungguhnya manusia itu benar- benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah) * Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan- Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki- laki. * Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. * Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. * Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. * Dan mereka menjadikan malaikat- malaikat yang mereka itu adalah hamba- hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang- orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat- malaikat itu Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawab. * Dan mereka berkata: ”Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az Zukhruf [43];15-20).
Ayat-ayat di atas jelas sekali bahwa apa yang dilakukan kaum Quriasy adalah menyembah malaikat, khususnya ayat 20 “Dan mereka berkata: ”Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)” dan tidak ada petunjuk bahwa apa yang mereka lakukan hanya sekedar bertasyaffu’ atau beristighatsah. Bahkan sebaaliknya, tegas ayat di atas bahwa yaang mereka lakukan adalah penyembahan, ibadah!
Bahkan ayat 17: “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah” di atas tegas mengatakan bahwa mereka menjadikan malaikat itu serupa, matsalan dengan Allah, sebab anak adalah bagian yang serupa dan sejenis dengan ayahnya.
Dalam hal ini mereka telah mengada-ngada kepalsuan atas nama Allah dengan:
1) Menisbahkan anak untuk Allah SWT.
2) Mereka menisbahkan kepada Allah anak dari jenis terendah yang mereka sendiri enggan memilikinya.
3) Mereka mengklaim bahwa Allah meridhai apa yang mereka yakini.
Dari sini dapat disaksikan bahwa kekafiran dan kemusyrikaan mereka bukan disebabkan mereka meminta syafa’at melalui perantaraan para malaikat atau beristighatsah kepada mereka.
Adapun keyakinan mereka yang menyimpang bahwa para malaikat dapat mencipta, memberi rizki dan mengatur alam raya dengan Allah SWT. Tidak dengan sendirinya dapat menjadi bukti bahwa kekafiran dan kemusyrikan mereka itu disebabkan permohonan mereka kepada malaikat atau istighatsah dan bertawassul kepadaa mereka. Sebab syirik itu dapat terjadi dengaan selaain hal-hal tersebut di atas.
Kayakinan Kaum Nashrani.
Adapun keyakinan kaum Nashrani tentang Nabi Isa as. sudah sangat jelas bahwa mereka mempertuhankan Isa dan Siti Maryam; ibunda Isa as. Apa yaang mereka yakini dan mereka lakukan tidak sekedar istighatsah atau tawassul atau meminta syafa’at. Mereka benar-benar menjadikaan Isa sebagai Tuhan yang menyandang seluruh sifat KeTuhanan.
Adapun kaum Nabi Nuh as., mereka telah melakukan seperti apa yang dilakukan kaum kafir Quriasy dan bangsa Arab pada umumnya, yaitu menentang para rasul, mengingkari apa yang mereka bawa dari sisi Allah SWT. Dan menyembaah selain-Nya, seperti yang dikisahkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an. Dan semua itu sudah cukup alasan untuk kekafiran mereka! Dan tidak ada dalil, baik yang lemah apalagi yang kuat menunjukkan bahwa apa yang merekla lakukan itu sekedar ber-tasyaffu’, atau ber-tawassul dengan kaum Shâlihîn, sementara mereka masih konsisiten menjalankan syari’at/ajaran agama… dan sebenarnya Nuh as. diutus Allah untuk mencegah mereka dari dari praktik-praktik tersebut (ber-tasyaffu’ dll).
Yang pasti bahwa mereka telah bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap kaum Shâlihîn dengan menyembah mereka. Jadi apa yang mereka lakukan tidaklah sama dengan apa yang dilakukan berupa bertawassul, beristighatsah dan meminta syafa’at kepada kaum Shâlihîn seperti yaang dikatakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb!
Demikian pula dengaan kaum-kaum para nabi as. Mereka meyakini bahwa arca dan sesembahan mereka memikili kemandirian dalam ta’tsîr (memberikan pengaruh) baik atau buruk dengan tanpa bergantung kepada Allah SWT.
Khulashatul Kalam.
Dari semu ketarangan di atas jelaslah bahwa ibadah (penyembahan) kaum Musyrikûn terhadap arca-arca dan berhala-berhala bukanlah sekedar ber-tasyaffu’, atau ber-tawassul dengan kaum Shâlihîn atau meminta syafa’at kepada mereka!!
Tujuan Inti Diutusnya Nabi Muhammad saw.
Adapun tujuan diutusnya Nabi Muhaammd saw. buakanlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Wahhâb dengan kata-katanya, “Kemudian Allah Swt mengutus Muhammad Saw dalam rangka memperbaharui agama ayahnya, Ibrahim as. seraya mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.”
Diutusnya Nabi saw. adalah bukanlah untuk melarang manusia meminta syafa’at dari kaum Shâlihîn. Agama Ibrahim as. yang diperbaharui oleh Nabi Muhammad saw. adalah pemalsuan dan kerusakan serta penyimpangan yang diperbuat oleh kaum Musyrikûn seperti telah lewat disebutkan sebagiannya pada lembaran sebelumnya, dan juga praktik menikahi istri-istri ayah-ayah mereka, mengkonsumsi khamer, berjudi, mempekerjakan para budak wanita dalam dunia prostituisi, mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, bersujud kepada arca dan berhala, menyebut namanya ketika menyembelih binatang ternak, meninggalkan shalat dan menggantinya dengan bersiul dan tepuk tangan, mukâan wa tashdiyah, dan lain sebagainya… inilah yang mereka rusak dari ajaran agama Ibrahim as. dan untuk memperbaiki perusakan inilah Nabi Muhammad saw. diutus Allah SWT.
Adapaun larangan meminta syafa’at dari para malaikat atau nabi atau wali atau ber-tawassul dengan mereka tidaklah masuk dalam meteri da’wah Nabi saw. apalagi ia katakan sebagai tujuan utama dan inti! Justru Nabi saw. membenarkan praktik meminta syafa’at dan ber-tawssul yang pada intinya adalah memohon doa dari kaum Mukminin, seperti telah disinggung.
Adapun apa yang ia katakan, bahwa “(Nabi) mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.” adalah kepalsuan belaka atas nama Allah dan atas nama Nabi Ibrahim as.!
Kapan Allah memerintah Nabi Muhammad saw. agar mengabarkan kepada umatnya bahwa tidak boleh meminta syafa’at dari pribadi yang diberi hak memberi syafa’at?! Dan memintanya adalah hak khusus Allah dan tidak dibolehkan meminta dari selain-Nya?!
Kapan Nabi Muhammad sw. Mengabarkan kepada umatnya bahwa agar mereka tidak meminta syafa’at drinya?!
Justru yang terjadi adalah kebalikannya. Nabi Muhammad saw. mengabarkaan kepada umatnya bahwa beliau adalah syafî’ musyaffa’ (pemilik hak syafa’at dan syafa’atnya akan diperkenankan), pemilik wasîlah! Dan itu artinya agar kita memohon kepada beliau syafa’at; sebuah hak yang Allah anugerahkan untuknya.
Ketika Nabi Muhammad saw. mengabarkan pemberian anugerah itu, beliau tidak mengatakan kepada umatnya bahwa memohon syafa’at darinya adalah syirik dan kekafiran!
_______________________
Rujuk:
[1] Seluruh ulama Islam kecuali Ibnu Taimiyah membolekan ber-tabarruk dan ber-tawaassul dengan para nabi dan para shâlihîn.
Kemudian Allah SWT mengutus Muhammad Saw dalam rangka memperbaharui agama ayahnya, Ibrahim a.s. seraya mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.
___________
Catatan:2
Demikianlah, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb melukiskan potret indah tetapi tidak riil tentang orang-orang kafir Quraisy untuk dijadiknnya pijakan dalam mengafirkan umat Islam. Kata Syeikh kaum kafir Quraisy itu adalah orang-orang yang rajin menyembah Allah, melaksanakan haji, bersedekah dan banyak berzikir menyebut dan mengingat Allah SWT.!! Jelas ini adalah pembandingan yang tidak riil, seperti akan kami jelaskan sebentar lagi.
Setelahnya, Syeikh menjelaskan sifat/kondisi yang karenanya Rasulullah saw. memerangi kaum kafir Quraisy, ia mengatakan, “Akan tetapi??? “ itu artinya, mereka berhak diperangi, maka kami juga berhak memerangi mereka yang menyandang sifat dan berada dalam kondisi yng sama dengan alasan yang sama pula!!
Subhanallah! Demikianlah pendiri Sekte Wahhabiyah itu menyamakkan kaum Muslimin dengan kaum kafir Quraisy…. Dan semua keterangan yang ia obral dan atasnya ia membangun vonis sesatnya tentang kekafiran dan kemudian dihalalkannya memerangi kaum Muslimin adalah palsu dan hanya tipuan belaka, sebab:
Pertama: Pantaskan ia menyebut kaum kafir Quraisy itu sebagai kaum yang “menyembah Allah…. “ sementara ibadah dan penyembahan mereka itu telah digambarkan Allah dengan firmannya:
وَ ما كانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكاءً وَ تَصْدِيَةً.
“Dan tidaklah shalat mereka di sekitar baitullah itu, melainkan hanya siualan dan tepuk tangan.” (QS. Al Anfâl [8];35).
Kata mukâ’ adalah bersiul dan tashdiyah artinya bertepuk tangan.
Dalam tasfir al-Kkasysyâf-nya az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa: ”Mereka itu thawâf mengelili Ka’bah sambil telanjang bulat, baik wanita maupun pria, mereka menyilangkan jari jemari mereka sambil bersiul dan bertepuk.” Mereka menyembah dan sujud kepada arca dan berhala yang jelas-jelas dilarang keras Allah SWT. Mereka memberikan sesajen kepada arca-arca dan berhala-berhala itu. Mereka mengucapkan talbiah dengan menyebut nama-nama berhala-berhala mereka, kemudian mereka melumurkan darah sembelihan mereka ke badan mereka. Inilah ibadahnya kaum kaum kafir Quraisy yang dibanggakan dan dipuji-puji Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Mereka berhaji tetapi dengan memasukkan bid’ah dan berbagai kekejian dan penyimpangan, di antaranya, mereka thawaf sambil telanjang bulat seperti telah disinggung, dengan aurat terbuka dan tak tertutupi oleh sehelai benang pun! Dengannya mereka beranggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kisah wanita yang datang ke kota Mekkah untuk ibadah haji yang dipaksa menanggalkan seluruh baju yang melekat di badannya adalah kisah masyhur di kalangan para sejarawan, dan kemudian ketika ia melakukan thawaf dengan telanjang, para penduduk kota Mekkah berkerumun menonton adegan thawaf bugil yang diperagakan wanita asing yang molek itu. Ia sambil malu berkeling mengitari Ka’bah seraya menggubah syair:
Hari ini tanpak sebagian atau seluruhnya…
Dan yang tanpak tak kuhalalkan untuk ditonton.
Inikah kaum, yang kata Ibnu Abdil Wahhâb kekafiran dan kemusyrikan mereka hanya terbatas pada tasyaffu’ (meminta syafa’at) kepada kaum shâliîhîn saja!
Kata Syeikh, “mereka bersedekah”, akan tetapi apakah ia lupa bahwa mereka itu mengingkari kerasulan para Nabi dan Rasul as. Dapatkah berguna sedakah mereka itu?!
Mereka kadang-kadang berdzikir menyebut Allah, namun dalam hampir seluruh kondisinya tidak mengingat Allah, bahkan berpaling dari menyebut Allah dan hanya menyebut-nyebut nama-nama berhala sesembahan mereka! Mereka menyebut-nyebut, “U’lu Hubal (berjayalah tuhan Hubal).” Disamping itu mereka menyebut nama-nama berhala-berhala ketika menyembelih hewan ternak mereka tanpa menyebut nama Allah SWT.
Abu Salafy berkata:
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb lupa untuk melengkapi khayalannya dengan menambahkan kata-kata, ‘dan mereka (kaum kafir Quraisy) itu rajin menegakan shalat, mengeluarkan zakat… mereka tidak berzina, tidak menikahi mantan istri ayah-ayah mereka… mereka tidak meminum arak, tidak berjudi bentuk maisir, anshâb, azlâm… mereka tidak bermu’amalah secara ribâ, tidak mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka….
Ringkas kata, mereka telah dengan sempurna melaksanakan syarat-syarat Islam, termasuk shalat tarâwih… kesalahan yang muncul dari mereka hanya satu yaitu meminta syafa’at kepada hamba-hmba yang berkedudukan tinggi di sisi Allah seperti malaikat, Nabi Isa dll., dan menjadikan mereka sebagai perantara! Atas dasar itu Nabi saw. memerangi mereka dan menvonis mereka sebagai Musyrikûn! Apa bukan demikian wahai pembaca yang arif?!
Pembandingan yang tidak Jujur.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa Syeikh menyebut beberapa sifat dan kondisi yang karenanya Nabi saw. menvonis mereka sebagai Musyrikûn dan karenanya pula halal bagi Nabi saw. untuk memerangi mereka! Dan kemudian membandingkannya dengan kondisi keagamaan yang sedang dijalani umat Islam di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, yang tentunya dengan alasan yang sama pula ia berhak memerangi mereka!
Akan tetapi pembandingan yang ia sebutkan itu tidak jujur dan tidak adil serta tidak berdasar! Sebab:
Kaum kafir Quraisy ingkar Lâ ilâha Illallah, dan tidak rela menjadikan Allah sebagai Tuhan mereka! Tidak mengimani hari kebangkitan, surga dan neraka! Tidak mengimani kerasulan Nabi Muhammaad saw.! Mereka menyembah berhala-berhala, berbuat zalim, membunuh, meminum arak, berzina dll. Lalu apakah mereka berhak disamakan dengan kaum Muslimin yang rajin shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat melaksanakan haji, bersedekah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT dan melazimkan diri berprilaku baik dan berbudi pekerti luhur?
أَ فَنَجْعَلُ الْمُسْلِمينَ كَالْمُجْرِمينَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang- orang Islam itu sama dengan orang- orang yang berdosa ( orang kafir ).”(QS. Al Qalam [68];35).
Demi Allah yang Maha Adil tidaklah sama antara mereka. Umat Islam tidak mungkin sama dengan kaum kafir… Andai kita terima sekalipun apa yang dituduhkan Syeikh bahwa mereka telah melakukan kesyirikan dengan ber-tabarruk dan ber-tawassul misalnya, tetapi tidak berdasar jika kita menyamakan kaum Muslimin dengan kaum Kafir, sebab pintu ta’wîl dihadapan praktik para ulama dan awam kaum Muslimin terbuka lebar. Dan ber-ta’wil adalah satu asalan kuat yang menghalangi dibolehkannya menjaktuhkan vonis kafir atas pelaku praktik tertentu tersebut! Apapun alasannya adalah sebuah kekeliruan fatal ketika Syeikh menyamakan antara umat Islam dengan kaum Kafir Quraisy! Antara yang menjalankan rukun-rukun Islam dengan yang mengingkarinya!
Tidaklah sama kaum yang mengimani Nabi Muhammad saw. dengan yang mengingkari dan memeranginya!
Tidaklah sama antara kaum yang ber-tawassul kadapa Nabi saw. dan ber-tabarruk kepada para shâlihîn, -andai mereka itu salah- dengan kaum yang melempari Nabi saw. dengan batu dan membunuh para shâlihîn!
Tidakkah sama antara kaum yang beriman kepada hari akhir, surga dan neraka dengan kaum yang mengatakan:
وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ
“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS. Al Jatsiyah [45];24).
Akan samakah antara kaum yang berikrar dengan Lâ ilâha Illallah dengan kaum yang berikrar, “apakah engkau akan jadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu Tuhan saja?.”?
Samakah antara yang beriman dengan yang kafir?!
Akan samakah antara yang membenarkan kedatangan para Rasul saw. dengan yang mengingkari mereka?
Akan samakah antara yang beriman dengan hari akhir dengan yang kufur kapadanya?
Akan samakah antara yang meminta syafa’at dari para nabi dan para shâlihîn dengaan orang menyembah dan mengharap bantuan dari bebatuan?
Samakah antara kaum yang meminta syafa’at para nabi as. dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah dengan kaum yang meminta syafa’at dari berhala dan menjadikan mereka sekutu Allah dalam Ulûhiyah?
Pasti tidak hai Syeikh!!… Adalah perbedaan yang tak pernah ketemu titik kesamaannya!
Para Ulama Islam Membolehkan Ber-tabarruk.
Bukan maksud kami menguraikan masalah ini, akan tetapi sekedar sebagai singgungan saja bahwa mayorits [1] ulama Islam sejak zaman sebelum Syeikh hingga zaman Syeikh membolehkan ber-tabarruk dan bert-awassul dengan kaum shâlihîn, termasuk Imam Ahmad ibn Hanbal, dan para pembesar mazhab Hanbali. Apakah kaum Wahhhâbiyah sekarang mengafirkan mereka semua?! Atau sekedar menyalahkan mereka saja?!
Jika para pengikut Sekte Wahhâbiyah sekarang mengafirkan mereka, pastilah akan menuai protes keras dari ulama di luar keluaga Mazhab Wahhâbiyah, khususnya dari luar Kerajaan Dinasti Sa’ud dan akan langsung menuding mereka sebagai Islam Ekstirm! dan berlebihan dalam mengafirkan umat Islam!
Jika para pengikut Sekte Wahhâbiyah sekarang tidak mengafirkan mereka, itu artinya mereka (pengikut Wahhâbiyah) telah menolak mentah-mentah doktrin Syeikh Imam dan Pendiri Sekte mereka, yang dengan terang-terangan telah mengafirkaan kaum Muslimin, awam dan ulama mereka! Bukankah umat Islam yang divonis kafir dan musyrik oleh Syeikh di zamannya itu sama dengan kaum Muslimin zaman kita sekarang?!
Jika mereka mengada-ngada dengan mengatakan bahwa berbeda antara kaum Muslimin di zaman Syeikh yang ia kafirkan dengan kaum Muslimin zaman kita sekarang, maka semestinya, perbedaan antara kaum kafir Quraisy dengan ulama dan awam kaum Muslimin di zaman Syeikh lebih nyata!!!
Sebenarnya apa yang diprotes Syeikh dari praktik para ulama dan awam kaum Muslimin berupa: tawassul, tabarruk, memohon syafa’at kepada Nabi saw., ziarah kubur, dll itu semua masih juga ada dan dipraktikkan umat Islam, hingga sekarang, baik awam maupun ulama di berbagai belahan dunia Islam; Mesir, Meroko, Syam, Hijaz, Yaman, Irak, Iran dan tentunya tidak ketinggalan umat Islam di tanah air tercinta; Indonesia (tentunya selain yang berfaham Wahhâbi).
Jika sebagian pengikut sekte Wahhâbiyah mengafirkaan mereka semua, maka ia harus memprotes dan bersungguh-sungguh dalam menegakkan hujjah dan bukti kekfiran itu di hadapan para ulama dan penguasa di Arab Saudi, sebab mereka sekaarang sudah tidak lagi mengafirkan kaum Muslimin yang ber-tabarruk …. Dan apabila hujjah mereka yang mengafirkan telah sampai dan didengar oleh mereka, akan tetapi mereka tetap saja tidak mau mengafirkan juga maka mereka semua (ulama Wahhabiyah dan penguasa kerajaan Arab Saudi) harus divonis kafir, sebab berdasarkan kaidah dasar Da’wah Salafiyah bahwa “Siapa yang tidak mau mengafirkan orang kafir atau ragu akan kekafirannya maka ia kafir juga!!!”
Setelah pajang lebar pembicaraan kita, mari kita kembali ke asal permasalahan kita.
Kedua:
Membatasi kamusyrikan dan kekafiran kaum yang Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka hanya pada menjadikan sebagian hamba sebagai perantara dan pemegang hak syafa’at di sisi Allah SWT adalah sebuah kebodohan atau justru penipuan! Sebab kenyataannya mereka tidak seperti yang digambarkan syeikh:
A) Adapun kaum Musyrikûn Quraisy, walaupun mereka itu meyakini bahwa Pemberi rizki, Pencipta, yang mematikan dan menghidupkan, Pengatur dan Pemilik apa yang ada di langit dan di bumi adalah Allah SWT seperti dalam beberapa ayat yang telah disebutkaan Syeikh di atas, akan tetapi perlu dicermati, bahwa tidak ada pula bukti yang dapat diajukan untuk menolak bahwa mereka juga tidak meyakini bahwa berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan mereka, baik berupa jin, manusia maupun malaikat juga memiliki pengaruh di jagat raya ini dan bahwa pengaruh sepenuhnya di bawah kendali Allah SWT! Sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga meyakini bahwa sesembahan mereka itu dapat menyembuhkan yang sakit, menolong dari musuh, mengusir mudharrat, dll, dan bahwa sesembahan mereka itu akan memberi syafa’at di sisi Allah dan syafa’at mereka pasti diterima dan tidak bisa ditolak oleh Allah dan sesungguhnya Allah telah menyerahkan sebagian urusan pengurusan alam kepada mereka.
Tidak sedikit ayat Al Qur’an yang menerangkan kenyataan itu, coba perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
قُلِ ادْعُوا الَّذينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَ لا تَحْويلاً
“Katakanlah:” Panggillah mereka yang kamu anggap ( tuhan ) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.”.(QS. Al Isra’ [17];56).
وَ إِذا قيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمنِ قالُوا وَ مَا الرَّحْمنُ أَ نَسْجُدُ لِما تَأْمُرُنا وَ زادَهُمْ نُفُوراً
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:” Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab:” Siapakah yang Maha Penyayang itu Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami ( bersujud kepada-Nya )”, dan ( perintah sujud itu ) menambah mereka jauh ( dari iman ).” (QS. Al Furqan [25];60).
Bahkan dzahir dari ayat di atas ini jelas sekali bahwa mereka tidak mau sujud selain kepada arca dan berhala mereka, dan hanya berhala-berhala itu yang mereka yakini sebagai tuhan dan tiada tuhan selainnya!
قالُوا وَ هُمْ فيها يَخْتَصِمُونَ* تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفي ضَلالٍ مُبينٍ * إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعالَمينَ
“Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka* demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”.(QS. Asy Syu’ara’ [26];96-98)…..
Ayat di atas jelas menginformasikan kepada kita bahwa kaum kafir Quraisy itu berkeyakinan bahwa sesembahan mereka itu sama dengan Allah Rabbul ‘Alâmiîn, kendati tidak dari seluruh sisinya. Dan itu sudah cukup alasan dan bukti akan kemusyrikan dan kekafiran mereka!!
Dan semua ayat yang menyebut bahwa mereka menjadikan sesembahan-sesembahan mereka sebagai sekutu Allah juga menunjukkan keyakinan bahwa mereka meyamakan sekutu-sekutu itu dengan Allah SWT., seperti ayat:
إِنْ
كادَ لَيُضِلُّنا عَنْ آلِهَتِنا لَوْ لا أَنْ صَبَرْنا عَلَيْها وَ
سَوْفَ يَعْلَمُونَ حينَ يَرَوْنَ الْعَذابَ مَنْ أَضَلُّ سَبيلاً
“Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan- sembahan kita, seandainya kita tidak sabar ( menyembah ) nya” Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al Furqaan [25];42).
وَ يَقُولُونَ أَ إِنَّا لَتارِكُوا آلِهَتِنا لِشاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan- sembahan kami karena seorang penyair gila.”(QS. Ash Shaffat [37];36 ).
أَ جَعَلَ الْآلِهَةَ إِلهاً واحِداً إِنَّ هذا لَشَيْءٌ عُجابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan- tuhan itu Tuhan Yang satu saja Sesungguhnya ini benar- benar suatu hal yang sangat mengherankan.(QS. Ash Shâd [38];5 ).
dan lain sebagiannya. Maka dengan demikian bagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membatasi kemusyrikan dan kekafiran mereka itu hanya pada menjadikan hamba-hamba sebagai perantaan dan pemilik syafa’at di sisi Allah SWT?! Sementara mereka adalah mengingkari kenabian dan karasulan Rasulullah saw. dan menuduhnya sebagai sâhir, penyihir dan mengingkari semua yang beliau bawa dari Allah; hukum dan syari’at kendati telah tegak mu’jizat kenabian beliau! Dan mereka bersikukuh berpegang kepada ajaran jahiliiyah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka!
Tidakkah semua ini sudah cukup untuk kemusyrikan dan kekafiran mereka?! Lalu apa manfa’at mengikrarkan keberadaan Allah dan menjalankan beberapa ritual ibadah, berdzikir, bersedekah, haji dll. (jika kita akui itu)?! Akankah berguna semua itu sementara mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw.!
Bagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membatasi kemusyrikan dan kekafiran mereka itu hanya pada menjadikan hamba-hamba sebagai perantaan dan pemilik syafa’at, sementara mereka telah merusak agama Allah yang dibawa Nabi Ibrahim as., mereka mengada tentang buhaira, sâibah, waashîlah, hâmi, nasî’u dll. Hal ini saja sudah cukup sebagai bukti kekafiran mereka! Apalagi ditambah mereka menyembah berhala dan arca serta para malaikat yang mereka jadikan sebagai sekutu Allah SWT. Penghambaan (ibadah) mereka itu tidak terbatas hanya pada meminta syafa’at daan bertawssul kepada hamba-hamba yang diberi hak syafa’at, seperti ucapan menipu yang ditebar Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Ibadah dan penyembahan kaum Musyrikîn terhadap arca dan berhala yang mereka buat dari batu, tembaga, kayu atau bahan-bahan lainnya dengan tangan-tangan mereka sendiri atau mereka menyembah pepohonan dengan bersujud, atau memberi sesajen dengan menyembelih binatang ternak dengan menyebut nama-nama arca sesembahan mereka… Mereka memohon darinya apa-apa yang semestinya mereka mohon dari Allah SWT. dan mereka berpaling dari menyembah Allah dengan anggapan bahwa mereka tidak mampu menyembah Allah, jadi sesembahan inilah yang mereka sembah untuk mendekatkan diri kepada Allah…
Ini semua bukti bahwa penyembahan kaum Musyrikûn itu bukan sekedar meminta syafa’at dari arca-arca atau sesembahan mereka! Mereka telah menentang perintah Allah WST. dan para rasul-Nya yang tegas-tegas melarang penyembahan selain Allah SWT. Dan juga menyimpang dari petunjuk akal sehat mereka jika mereka mau bertahkim kepadanya, bahwa semua yang mereka sembah itu tidak dapat memberi manfaa’at atau mudharrat.
Semua yang mereka lakukan itu tidak sedikitpun dikerjakan oleh kaum Muslimin terhadap seorang nabi atau wali atau kuburan atau lainnya. Apa yang dilakukan kaum Muslimin adalah memohon syafa’at kepada pribadi mulia yang diberi hak syafa’at… mereka bertawassul kepada pribadi mulia yang dijadikan baginya wasîlah… dan memohon syafa’at, tasyaffu’ tiada lain adalah doa yaang dipanjatkan kepada Allah agar permohonan sang nabi itu dikabulkan. Demikian juga dengan istighâtsah, semua itu hanya doa yang dipanjatkan agar Allah berkenan mengabulkan permohonan sang nabi atau wali!
Begitu juga dengan menghadiahkaan pahala kurban sembelihan untu nabi atau wali, itu artinya pahala perbuatan itu dihadiahkan kepada sang nabi atau sang wali. Dalam prosesi penyembelihan itu hanya nama Allah–lah yang disebut, bukan nama sang nabi atau wali!
Jadi keyakinan-keyakinan menyimpang, amal-amal serta penentangan kepada Nabi saw. lah yang menyebabkan mereka diperangi oleh Nabi Muhammad saw. dan bukaan sekedar ber-tasyaffu’ atau ber-tawassul dengan seorang nabi atau wali.
Sedangkan penyembahan mereka kepaada para malaikat yaitu dengan menjadikan mereka sebaagai arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah SWT. seperti disebutkan dalam firman Allah:
ما
كانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتابَ وَ الْحُكْمَ وَ
النُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِباداً لي مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَ لكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِما كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ
الْكِتابَ وَ بِما كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ *وَ لا يَأْمُرَكُمْ أَنْ
تَتَّخِذُوا الْمَلائِكَةَ وَ النَّبِيِّينَ أَرْباباً أَ يَأْمُرُكُمْ
بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:” Hendaklah kamu menjadi penyembah- penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi ( dia berkata ):” Hendaklah kamu menjadi orang- orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan ( tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah ( patut ) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam.” (QS. Âlu Imrân [3]; 80).
Ayat di atas adalah bukti nyata bahwa kaum Musyrikûn telah memposisikan para malaikat sebagai Tuhan. Mereka melakukan terhadapnya apa yang menjadi kekhususan sifat Ketuhanan, Rubûbiyah yang tidak selayaknya dilakukan selain kepada Allah, seperti sujud dan bentuk-bentuk ibadah atu keyakinan lainnya. Tidak ada bukti yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka perbuat itu hanya sekedar memohon syafa’at kepada Allah melalui perantaraan para malaikat!
Bukti Lain.
Selain itu banyak ayat yang tegas-tegas bahwa kaum Msuryikûn telah benar-benar menyembah, a’badû malaikat. Coba perhatina ayat-ayat di bawah ini:
وَ جَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبادِهِ جُزْءاً إِنَّ الْإِنْسانَ لَكَفُورٌ مُبينٌ * أَمِ
اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَناتٍ وَ أَصْفاكُمْ بِالْبَنينَ * وَ إِذا
بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِما ضَرَبَ لِلرَّحْمنِ مَثَلاً ظَلَّ وَجْهُهُ
مُسْوَدًّا وَ هُوَ كَظيمٌ * أَ وَ مَنْ يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَ
هُوَ فِي الْخِصامِ غَيْرُ مُبينٍ * وَ جَعَلُوا الْمَلائِكَةَ الَّذينَ
هُمْ عِبادُ الرَّحْمنِ إِناثاً أَ شَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ
شَهادَتُهُمْ وَ يُسْئَلُونَ * وَ قالُوا لَوْ شاءَ الرَّحْمنُ ما
عَبَدْناهُمْ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ .
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba- hamba- Nya sebagai bahagian daripada- Nya. Sesungguhnya manusia itu benar- benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah) * Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan- Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki- laki. * Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. * Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. * Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. * Dan mereka menjadikan malaikat- malaikat yang mereka itu adalah hamba- hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang- orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat- malaikat itu Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawab. * Dan mereka berkata: ”Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az Zukhruf [43];15-20).
Ayat-ayat di atas jelas sekali bahwa apa yang dilakukan kaum Quriasy adalah menyembah malaikat, khususnya ayat 20 “Dan mereka berkata: ”Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)” dan tidak ada petunjuk bahwa apa yang mereka lakukan hanya sekedar bertasyaffu’ atau beristighatsah. Bahkan sebaaliknya, tegas ayat di atas bahwa yaang mereka lakukan adalah penyembahan, ibadah!
Bahkan ayat 17: “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah” di atas tegas mengatakan bahwa mereka menjadikan malaikat itu serupa, matsalan dengan Allah, sebab anak adalah bagian yang serupa dan sejenis dengan ayahnya.
Dalam hal ini mereka telah mengada-ngada kepalsuan atas nama Allah dengan:
1) Menisbahkan anak untuk Allah SWT.
2) Mereka menisbahkan kepada Allah anak dari jenis terendah yang mereka sendiri enggan memilikinya.
3) Mereka mengklaim bahwa Allah meridhai apa yang mereka yakini.
Dari sini dapat disaksikan bahwa kekafiran dan kemusyrikaan mereka bukan disebabkan mereka meminta syafa’at melalui perantaraan para malaikat atau beristighatsah kepada mereka.
Adapun keyakinan mereka yang menyimpang bahwa para malaikat dapat mencipta, memberi rizki dan mengatur alam raya dengan Allah SWT. Tidak dengan sendirinya dapat menjadi bukti bahwa kekafiran dan kemusyrikan mereka itu disebabkan permohonan mereka kepada malaikat atau istighatsah dan bertawassul kepadaa mereka. Sebab syirik itu dapat terjadi dengaan selaain hal-hal tersebut di atas.
Kayakinan Kaum Nashrani.
Adapun keyakinan kaum Nashrani tentang Nabi Isa as. sudah sangat jelas bahwa mereka mempertuhankan Isa dan Siti Maryam; ibunda Isa as. Apa yaang mereka yakini dan mereka lakukan tidak sekedar istighatsah atau tawassul atau meminta syafa’at. Mereka benar-benar menjadikaan Isa sebagai Tuhan yang menyandang seluruh sifat KeTuhanan.
Adapun kaum Nabi Nuh as., mereka telah melakukan seperti apa yang dilakukan kaum kafir Quriasy dan bangsa Arab pada umumnya, yaitu menentang para rasul, mengingkari apa yang mereka bawa dari sisi Allah SWT. Dan menyembaah selain-Nya, seperti yang dikisahkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an. Dan semua itu sudah cukup alasan untuk kekafiran mereka! Dan tidak ada dalil, baik yang lemah apalagi yang kuat menunjukkan bahwa apa yang merekla lakukan itu sekedar ber-tasyaffu’, atau ber-tawassul dengan kaum Shâlihîn, sementara mereka masih konsisiten menjalankan syari’at/ajaran agama… dan sebenarnya Nuh as. diutus Allah untuk mencegah mereka dari dari praktik-praktik tersebut (ber-tasyaffu’ dll).
Yang pasti bahwa mereka telah bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap kaum Shâlihîn dengan menyembah mereka. Jadi apa yang mereka lakukan tidaklah sama dengan apa yang dilakukan berupa bertawassul, beristighatsah dan meminta syafa’at kepada kaum Shâlihîn seperti yaang dikatakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb!
Demikian pula dengaan kaum-kaum para nabi as. Mereka meyakini bahwa arca dan sesembahan mereka memikili kemandirian dalam ta’tsîr (memberikan pengaruh) baik atau buruk dengan tanpa bergantung kepada Allah SWT.
Khulashatul Kalam.
Dari semu ketarangan di atas jelaslah bahwa ibadah (penyembahan) kaum Musyrikûn terhadap arca-arca dan berhala-berhala bukanlah sekedar ber-tasyaffu’, atau ber-tawassul dengan kaum Shâlihîn atau meminta syafa’at kepada mereka!!
Tujuan Inti Diutusnya Nabi Muhammad saw.
Adapun tujuan diutusnya Nabi Muhaammd saw. buakanlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Wahhâb dengan kata-katanya, “Kemudian Allah Swt mengutus Muhammad Saw dalam rangka memperbaharui agama ayahnya, Ibrahim as. seraya mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.”
Diutusnya Nabi saw. adalah bukanlah untuk melarang manusia meminta syafa’at dari kaum Shâlihîn. Agama Ibrahim as. yang diperbaharui oleh Nabi Muhammad saw. adalah pemalsuan dan kerusakan serta penyimpangan yang diperbuat oleh kaum Musyrikûn seperti telah lewat disebutkan sebagiannya pada lembaran sebelumnya, dan juga praktik menikahi istri-istri ayah-ayah mereka, mengkonsumsi khamer, berjudi, mempekerjakan para budak wanita dalam dunia prostituisi, mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, bersujud kepada arca dan berhala, menyebut namanya ketika menyembelih binatang ternak, meninggalkan shalat dan menggantinya dengan bersiul dan tepuk tangan, mukâan wa tashdiyah, dan lain sebagainya… inilah yang mereka rusak dari ajaran agama Ibrahim as. dan untuk memperbaiki perusakan inilah Nabi Muhammad saw. diutus Allah SWT.
Adapaun larangan meminta syafa’at dari para malaikat atau nabi atau wali atau ber-tawassul dengan mereka tidaklah masuk dalam meteri da’wah Nabi saw. apalagi ia katakan sebagai tujuan utama dan inti! Justru Nabi saw. membenarkan praktik meminta syafa’at dan ber-tawssul yang pada intinya adalah memohon doa dari kaum Mukminin, seperti telah disinggung.
Adapun apa yang ia katakan, bahwa “(Nabi) mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.” adalah kepalsuan belaka atas nama Allah dan atas nama Nabi Ibrahim as.!
Kapan Allah memerintah Nabi Muhammad saw. agar mengabarkan kepada umatnya bahwa tidak boleh meminta syafa’at dari pribadi yang diberi hak memberi syafa’at?! Dan memintanya adalah hak khusus Allah dan tidak dibolehkan meminta dari selain-Nya?!
Kapan Nabi Muhammad sw. Mengabarkan kepada umatnya bahwa agar mereka tidak meminta syafa’at drinya?!
Justru yang terjadi adalah kebalikannya. Nabi Muhammad saw. mengabarkaan kepada umatnya bahwa beliau adalah syafî’ musyaffa’ (pemilik hak syafa’at dan syafa’atnya akan diperkenankan), pemilik wasîlah! Dan itu artinya agar kita memohon kepada beliau syafa’at; sebuah hak yang Allah anugerahkan untuknya.
Ketika Nabi Muhammad saw. mengabarkan pemberian anugerah itu, beliau tidak mengatakan kepada umatnya bahwa memohon syafa’at darinya adalah syirik dan kekafiran!
_______________________
Rujuk:
[1] Seluruh ulama Islam kecuali Ibnu Taimiyah membolekan ber-tabarruk dan ber-tawaassul dengan para nabi dan para shâlihîn.
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (3)
Karena,
orang-orang musyrik juga bersaksi bahwa Allah merupakan satu-satunya
pencipta, tidak ada sekutu bagi-Nya, tiada yang memberi rizki
selain-Nya, tiada yang menghidupkan dan mematikan selain-Nya, tidak ada
sesuatu yang dapat mengatur kecuali Dia, dan sesungguhnya langit, bumi
dan seisinya, semuanya hamba dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya.
Jika anda mengharapkan bukti dan argumentasi bahwa yang diperangi oleh Rasulullah Saw adalah mereka yang bersaksi akan hal tersebut. Maka bacalah firman Allah ini:
Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya ).” (Yunus, 31).
Dan firman-Nya:
Katakanlah:” Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya Arasy yang besar”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari ( azab )-Nya, jika kamu mengetahui”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah:” (Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu”. (Al-Mukminun, 84-89).
Dan beberapa ayat yang lain.
Jika memang demikian, bahwa mereka itu telah berikrar dengan hal-hal tersebut namun tetap saja itu semua tidak memasukkan mereka kedalam tauhid yang diseru oleh Rasulullah Saw, dan saat anda mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid dalam ibadah yang disebut-sebut oleh orang-orang musyrik di masa kami dengan I’tiqad.
_______________________
Catatan 3:
Sekali lagi di sini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb memberikan gambaran menarik tentang kaum Musyrikûn. Ia tidak menyebutkan berbagai keburukan kaum Musyrikûn. Di sini ia hanya menyebut ayat-ayat yang menunjukkan kepercayaan global kaum Musyrikûn bahwa Allah Pencipta dan Pemberi rizki.
Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan. Sebab jika benar keyakinan mereka itu, pastilah meniscayakan mereka menerima keesaan Allah dan karasulan Nabi Muhammad saw. serta konsistensi dalam menjalankan berbagai ibadah yang diajarkannya. Karenanya, Allah SWT memerintah Nabi-Nya agar mengingatkan mereka akan konsekuansi dari apa yang mereka nyatakan itu; Maka katakanlah: ”Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” dan. Katakanlah: ”(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu.”?!
Seakan Allah SWT mengecam mereka bahwa mereka bebohong dalam apa yang mereka nyatakan dengan lisan mereka! Dan sesungghunya mereka tidak beriman kepada Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Khâliq, Maha Pemberi rizki, Râziq. Sementara pada waktu yang sama mereka juga tidak dapat memngatakan bahwa berhala-berhala sesembahan mereka itulah yang menciptakan langit dan bumi.
Demikian sebagian ulama Islam memahami ayat-ayat di atas. Dan andai pemahaman di atas ini tidak disetujui dan dianggap lemah, dan apa yang dinyatakan kaum Musyrikûn itu adalah sesuai apa yang mereka yakini, maka perlu diketahui bahwa sekadar mengimani Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Khâliq, Maha Pemberi rizki, Râziq tidaklah cukup alasan dikelompokkan sebagai kaum beriman jika mereka menyembah selain Allah SWT. seperti yang dilakukan kaum Musyrikûn.
Dan tidaklah adil apabila Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hanya berfokus menyebut berbagi ayat yang mengesankan adanya sisi positif pada kaum kafir, sementara itu ia melupakan ayat-ayat yang menyebut terang-terangan sisi-sisi buruk kaum kafir; kekafiran, penentangan kepada Rasul dan hari akhir, kazaliman dll. Kemudian ketika menyoroti kaum Muslimin, yang menjadi fokus bidikan adalah sisi kelam dan buruknya, sementara sisi-sisi positif dan terpujinya dilupakan.
Tidak benar! Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb melakukan hal itu sebagai pijakan awal untuk melegetimasi memerangi kaum Muslimin yang rajin bersembah sujud di hadapan Allah SWT dengan alasan bahwa mereka sama seperti kaum kafir/musyrik Arab di zaman Nabi saw. yang ia gambarkan dengaan kata-kata menipunya: “Beliau diutus oleh Allah kepada umat manusia yang juga beribadah, berhaji, bersedekah dan selalu berdzikr mengingat Allah.” Jadi, dalam logika Ibnu Abdil Wahhâb, salahkah bila ia juga melakukan persis seperti apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw.?! menghalalkan darah-darah dan memerangi mereka!
Catatan:
Coba Anda perhatikan akhir pernyataan Syeikh di atas. Ia tegas-tegas menyebut kaum Msulimin yang berbeda dengannya degang sebutan kaum Musyrikûn; “Anda mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid dalam ibadah yang disebut-sebut oleh orang-orang musyrik di masa kami dengan I’tiqad.”.
Dan ini adalah bukti nyata doktrin pengafiran yang ditekankan Syeikh untuk para pengikutnya.
Doktrin Pengafiran Ala Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Seperti telah kami sebutkan sebelumnya bahwa dalam tidak kurang dari dua puluh kesempatan, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb -pendiri Sekte Wahhâbiyah- ini menyebut umat Islam selain dirinya dan pengikutnya sebagai kaum Musyrikûn. Pernyataan di atas adalah teks tegas dalam pengafiran kaum Muslimin; para ulama di zamannya atau paling tidak kebanyakan ulama di zamannya!
Sebab, jika mereka yang ia maksud dengan pernyataan di atas adalah semua ulama’ yang menggunakan kata dan istilah i’tiqâd untuk menunjuk pada arti keyakinan yang telah dirangkum dalam kitab-kitab akidah, maka itu artinya jelas bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb benar-benar telah menvonis musyrik para ulama di zamannya. Jika yang ia maksud adalah i’tiqâd di sini adalah i’tiqâd khusus yaitu i’tiqâd kaum Sufi misalnya, maka itu artinya ia telah mengafirkan satu kelompok besar dari ulama Islam tanpa terlebih dahulu memperhatikan dalil dan alasan mereka dan tanpa mempelajari ta’wîl mereka. Bukankah ta’wîl itu dapat menjadi alasan dielakkannya vonis kafir atas sesorang?!
Al hasil, pernyataan di atas adalah bukti kuat bahwa Syeikh sedang mengafirkan kaum Muslimin di luar kelompoknya sendiri!
Di sini perlu diperhatikan, bahwa hujjah dan argumentsi kaum Sufi itu telah diterima kebenarannya oleh banyak ulama Islam. Seperti keyakinan bahwa waktu dan tempat tertentu itu memiliki kekhususan dalam memberikan pengaruh diijabahkannya doa seorang hamba lebih dari waktu dan tempat lain.
Di antara waktu-waktu itu adalah sepertiga malam akhir, Lailatul Qadar, Hari Arafah, Lailah Nishfu Sya’ban dll. -baik hadis tentangnya kita shahihkan atau tidak-. Dan di antara tempat-tempat tersebut adalah masjid-masjid, tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, Arafah, Mina, Muzdalifah, kota suci Madinah al Munawarrah, makam-makam para Nabi as. dan orang-orang Shâlihin, -baik kita terima atau kita tolak argumentasi mereka-, yang pasti mereka adalah orang-orang Muslim yang beriman kepada Allah, kenabian dan hari akhir.
Dan pada masalah terakhir ini telah terjadi perbedaan pendapat sejak masa silam, ada yag melarangnya… dan ada pula yang membolehkannya dengan keyakinan bahwa seorang yang dikebumikan di dalam makam itu adalah orang shâleh, dan ruhnya akan mendengar -sebab dalam keyakinan mereka bahwa mayyit dapat mendengar, dan masalah ini menjadi bahan perselisihan di antara para ulama-.
Dan karena ia hidup di alam kuburnya dan ruhnya dapat mendengar doa yang kita panjatkan kepada Allah, maka dengan demikian harapan di-ijabah-kannya doa itu lebih kuat, jika dibacakan di dekat makamnya. Para peziarah itu memohon syafa’at/bantuan darinya agar meng-amin-kan doa yaang mereka panjatkan! Dan praktik seperti ini dibenarkan oleh banyak ulama. Bahkan Ibnu Hazm telah melaporkaan adanya ijmâ’ atasnya, sebagaimana tidak sedikit ulama yang diakui ke-salafiyah-annya oleh kaum Wahhabi seperti adz-Dzahabi dan asy-Syawkani yang juga membolehkannya. Jadi rasanya sangat tidak tepat apabila kemudian kaum Wahhabi menvonis kafir dan musyrik para pelaku praktik seperti tersebut di atas.
Dan apabila kita cermati dengan seksama, berbagai alasan yang dijadikan pijakan untuk vonis ‘galak’ pengafiran kaum Muslimin oleh Ibnu Abdil Wahhâb, kita dapati adalah perkara-perkata yang bukan tergolong mukaffirah (yang menyebabkan kafirnya seseorang), bahkan ia adalah praktik-praktik yang dibolehkan banyak ulama tidak terkecuali tokoh-tokoh andalan Wahhâbi dan imam mereka, seperti Imam Ahmad dan murid-murid terdekatnya seperti Ibrahim al Harbi al Hanbali.
Benarkan Kaum Muslimin Menyembah Kaum Shâlihîn?
Dalam pernyataan Ibnu Abdil Wahhâb di atas tersirat tuduhan bahwa umat Islam adalah menuyembah kaum Shâlihîn. Dan ini jelas tidak berdasar. Umat Islam, baik dari kelompok Shufi, Ulama Ahli Fikih dan kaum awam sekalipun tidak menyembah selain Alllah Dzat Yang Maha Esa. Berbeda dengan kaum Musyrikin, baik kaum Quraisy maupun lainnya yang telah sujud kepada arca dan berhala!!
Jika hal ini belum juga jelas bagi kita, pastilah untuk membedakan hal yang lebih rumit dan samar. Di antara hal yang samar adalah tuduhan yang dilontarkan para ulama Islam bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan jama’ahnya adalah gerombolan kaum Khawarij Modern. Sebab dalam hemat para ulama itu hampir seluruh ciri negatif kaum Khawarij Klasik telah terkumpul pada penganut Sekte ini, seperti:
1) Mengafirkan kaum Muslimin selain kelompok mereka.
2) Menghalalkan darah-darah kaum Muslimin.
3) Mereka membaca Al Qur’an tetapi hanya sampai di kerongkongan saja, tidak meresap dalam jiwa, karenanya mereka tidak mengindahkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengafirkan kaum Muslimin dan mengalirkan darah-darah mereka.
4) Mereka mengetrapkan ayat-ayat yang turun berkaitan dengan kaum kafir kepada kaum Muslimin.
5) Mereka getol mengerjakan ritual-ritual formal. dll.
Dan apabila menyamakan pengikut Wahhâbiyah dengan kaum Khawârij mereka tolak dan mereka anggap sebagai perlakuakn zalim,- sementara kesamaan dan kemiripannya sangat kental-, maka menyamakan kaum Msulimin dengan kaum Musyrikin yang dilakukan oleh kaum Wahhâbi jauh lebih zalim dan jauh dari kebenaran.
Dan jika Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dapat ditoleransi dalam vonis penyamaan itu maka para ulama Islam yang menyamakan Ibnu Abdil Wahhâb dan jama’ahnya dengan kaum Khawârij lebih berhak menerima toleransi itu! Sebab kaum Khawârij masih digolongkan sebagai kaum Muslimin oleh banyak ulama Islam, sedangkan kaum Musyrik Quraisy tidak ada satupun yang meragukan kekafiran mereka!
Jika anda mengharapkan bukti dan argumentasi bahwa yang diperangi oleh Rasulullah Saw adalah mereka yang bersaksi akan hal tersebut. Maka bacalah firman Allah ini:
قُلْ
مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّماءِ وَ الْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَ الْأَبْصارَ وَ مَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَ
يُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَ مَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَ فَلا تَتَّقُونَ.
Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya ).” (Yunus, 31).
Dan firman-Nya:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَ مَنْ فيها إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ .سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَ فَلا تَذَكَّرُونَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّماواتِ السَّبْعِ وَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظيمِ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَ فَلا تَتَّقُونَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَ هُوَ يُجيرُ وَ لا يُجارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ.
Katakanlah:” Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya Arasy yang besar”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari ( azab )-Nya, jika kamu mengetahui”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah:” (Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu”. (Al-Mukminun, 84-89).
Dan beberapa ayat yang lain.
Jika memang demikian, bahwa mereka itu telah berikrar dengan hal-hal tersebut namun tetap saja itu semua tidak memasukkan mereka kedalam tauhid yang diseru oleh Rasulullah Saw, dan saat anda mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid dalam ibadah yang disebut-sebut oleh orang-orang musyrik di masa kami dengan I’tiqad.
_______________________
Catatan 3:
Sekali lagi di sini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb memberikan gambaran menarik tentang kaum Musyrikûn. Ia tidak menyebutkan berbagai keburukan kaum Musyrikûn. Di sini ia hanya menyebut ayat-ayat yang menunjukkan kepercayaan global kaum Musyrikûn bahwa Allah Pencipta dan Pemberi rizki.
Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan. Sebab jika benar keyakinan mereka itu, pastilah meniscayakan mereka menerima keesaan Allah dan karasulan Nabi Muhammad saw. serta konsistensi dalam menjalankan berbagai ibadah yang diajarkannya. Karenanya, Allah SWT memerintah Nabi-Nya agar mengingatkan mereka akan konsekuansi dari apa yang mereka nyatakan itu; Maka katakanlah: ”Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” dan. Katakanlah: ”(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu.”?!
Seakan Allah SWT mengecam mereka bahwa mereka bebohong dalam apa yang mereka nyatakan dengan lisan mereka! Dan sesungghunya mereka tidak beriman kepada Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Khâliq, Maha Pemberi rizki, Râziq. Sementara pada waktu yang sama mereka juga tidak dapat memngatakan bahwa berhala-berhala sesembahan mereka itulah yang menciptakan langit dan bumi.
Demikian sebagian ulama Islam memahami ayat-ayat di atas. Dan andai pemahaman di atas ini tidak disetujui dan dianggap lemah, dan apa yang dinyatakan kaum Musyrikûn itu adalah sesuai apa yang mereka yakini, maka perlu diketahui bahwa sekadar mengimani Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Khâliq, Maha Pemberi rizki, Râziq tidaklah cukup alasan dikelompokkan sebagai kaum beriman jika mereka menyembah selain Allah SWT. seperti yang dilakukan kaum Musyrikûn.
Dan tidaklah adil apabila Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hanya berfokus menyebut berbagi ayat yang mengesankan adanya sisi positif pada kaum kafir, sementara itu ia melupakan ayat-ayat yang menyebut terang-terangan sisi-sisi buruk kaum kafir; kekafiran, penentangan kepada Rasul dan hari akhir, kazaliman dll. Kemudian ketika menyoroti kaum Muslimin, yang menjadi fokus bidikan adalah sisi kelam dan buruknya, sementara sisi-sisi positif dan terpujinya dilupakan.
Tidak benar! Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb melakukan hal itu sebagai pijakan awal untuk melegetimasi memerangi kaum Muslimin yang rajin bersembah sujud di hadapan Allah SWT dengan alasan bahwa mereka sama seperti kaum kafir/musyrik Arab di zaman Nabi saw. yang ia gambarkan dengaan kata-kata menipunya: “Beliau diutus oleh Allah kepada umat manusia yang juga beribadah, berhaji, bersedekah dan selalu berdzikr mengingat Allah.” Jadi, dalam logika Ibnu Abdil Wahhâb, salahkah bila ia juga melakukan persis seperti apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw.?! menghalalkan darah-darah dan memerangi mereka!
Catatan:
Coba Anda perhatikan akhir pernyataan Syeikh di atas. Ia tegas-tegas menyebut kaum Msulimin yang berbeda dengannya degang sebutan kaum Musyrikûn; “Anda mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid dalam ibadah yang disebut-sebut oleh orang-orang musyrik di masa kami dengan I’tiqad.”.
Dan ini adalah bukti nyata doktrin pengafiran yang ditekankan Syeikh untuk para pengikutnya.
Doktrin Pengafiran Ala Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Seperti telah kami sebutkan sebelumnya bahwa dalam tidak kurang dari dua puluh kesempatan, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb -pendiri Sekte Wahhâbiyah- ini menyebut umat Islam selain dirinya dan pengikutnya sebagai kaum Musyrikûn. Pernyataan di atas adalah teks tegas dalam pengafiran kaum Muslimin; para ulama di zamannya atau paling tidak kebanyakan ulama di zamannya!
Sebab, jika mereka yang ia maksud dengan pernyataan di atas adalah semua ulama’ yang menggunakan kata dan istilah i’tiqâd untuk menunjuk pada arti keyakinan yang telah dirangkum dalam kitab-kitab akidah, maka itu artinya jelas bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb benar-benar telah menvonis musyrik para ulama di zamannya. Jika yang ia maksud adalah i’tiqâd di sini adalah i’tiqâd khusus yaitu i’tiqâd kaum Sufi misalnya, maka itu artinya ia telah mengafirkan satu kelompok besar dari ulama Islam tanpa terlebih dahulu memperhatikan dalil dan alasan mereka dan tanpa mempelajari ta’wîl mereka. Bukankah ta’wîl itu dapat menjadi alasan dielakkannya vonis kafir atas sesorang?!
Al hasil, pernyataan di atas adalah bukti kuat bahwa Syeikh sedang mengafirkan kaum Muslimin di luar kelompoknya sendiri!
Di sini perlu diperhatikan, bahwa hujjah dan argumentsi kaum Sufi itu telah diterima kebenarannya oleh banyak ulama Islam. Seperti keyakinan bahwa waktu dan tempat tertentu itu memiliki kekhususan dalam memberikan pengaruh diijabahkannya doa seorang hamba lebih dari waktu dan tempat lain.
Di antara waktu-waktu itu adalah sepertiga malam akhir, Lailatul Qadar, Hari Arafah, Lailah Nishfu Sya’ban dll. -baik hadis tentangnya kita shahihkan atau tidak-. Dan di antara tempat-tempat tersebut adalah masjid-masjid, tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, Arafah, Mina, Muzdalifah, kota suci Madinah al Munawarrah, makam-makam para Nabi as. dan orang-orang Shâlihin, -baik kita terima atau kita tolak argumentasi mereka-, yang pasti mereka adalah orang-orang Muslim yang beriman kepada Allah, kenabian dan hari akhir.
Dan pada masalah terakhir ini telah terjadi perbedaan pendapat sejak masa silam, ada yag melarangnya… dan ada pula yang membolehkannya dengan keyakinan bahwa seorang yang dikebumikan di dalam makam itu adalah orang shâleh, dan ruhnya akan mendengar -sebab dalam keyakinan mereka bahwa mayyit dapat mendengar, dan masalah ini menjadi bahan perselisihan di antara para ulama-.
Dan karena ia hidup di alam kuburnya dan ruhnya dapat mendengar doa yang kita panjatkan kepada Allah, maka dengan demikian harapan di-ijabah-kannya doa itu lebih kuat, jika dibacakan di dekat makamnya. Para peziarah itu memohon syafa’at/bantuan darinya agar meng-amin-kan doa yaang mereka panjatkan! Dan praktik seperti ini dibenarkan oleh banyak ulama. Bahkan Ibnu Hazm telah melaporkaan adanya ijmâ’ atasnya, sebagaimana tidak sedikit ulama yang diakui ke-salafiyah-annya oleh kaum Wahhabi seperti adz-Dzahabi dan asy-Syawkani yang juga membolehkannya. Jadi rasanya sangat tidak tepat apabila kemudian kaum Wahhabi menvonis kafir dan musyrik para pelaku praktik seperti tersebut di atas.
Dan apabila kita cermati dengan seksama, berbagai alasan yang dijadikan pijakan untuk vonis ‘galak’ pengafiran kaum Muslimin oleh Ibnu Abdil Wahhâb, kita dapati adalah perkara-perkata yang bukan tergolong mukaffirah (yang menyebabkan kafirnya seseorang), bahkan ia adalah praktik-praktik yang dibolehkan banyak ulama tidak terkecuali tokoh-tokoh andalan Wahhâbi dan imam mereka, seperti Imam Ahmad dan murid-murid terdekatnya seperti Ibrahim al Harbi al Hanbali.
Benarkan Kaum Muslimin Menyembah Kaum Shâlihîn?
Dalam pernyataan Ibnu Abdil Wahhâb di atas tersirat tuduhan bahwa umat Islam adalah menuyembah kaum Shâlihîn. Dan ini jelas tidak berdasar. Umat Islam, baik dari kelompok Shufi, Ulama Ahli Fikih dan kaum awam sekalipun tidak menyembah selain Alllah Dzat Yang Maha Esa. Berbeda dengan kaum Musyrikin, baik kaum Quraisy maupun lainnya yang telah sujud kepada arca dan berhala!!
Jika hal ini belum juga jelas bagi kita, pastilah untuk membedakan hal yang lebih rumit dan samar. Di antara hal yang samar adalah tuduhan yang dilontarkan para ulama Islam bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan jama’ahnya adalah gerombolan kaum Khawarij Modern. Sebab dalam hemat para ulama itu hampir seluruh ciri negatif kaum Khawarij Klasik telah terkumpul pada penganut Sekte ini, seperti:
1) Mengafirkan kaum Muslimin selain kelompok mereka.
2) Menghalalkan darah-darah kaum Muslimin.
3) Mereka membaca Al Qur’an tetapi hanya sampai di kerongkongan saja, tidak meresap dalam jiwa, karenanya mereka tidak mengindahkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengafirkan kaum Muslimin dan mengalirkan darah-darah mereka.
4) Mereka mengetrapkan ayat-ayat yang turun berkaitan dengan kaum kafir kepada kaum Muslimin.
5) Mereka getol mengerjakan ritual-ritual formal. dll.
Dan apabila menyamakan pengikut Wahhâbiyah dengan kaum Khawârij mereka tolak dan mereka anggap sebagai perlakuakn zalim,- sementara kesamaan dan kemiripannya sangat kental-, maka menyamakan kaum Msulimin dengan kaum Musyrikin yang dilakukan oleh kaum Wahhâbi jauh lebih zalim dan jauh dari kebenaran.
Dan jika Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dapat ditoleransi dalam vonis penyamaan itu maka para ulama Islam yang menyamakan Ibnu Abdil Wahhâb dan jama’ahnya dengan kaum Khawârij lebih berhak menerima toleransi itu! Sebab kaum Khawârij masih digolongkan sebagai kaum Muslimin oleh banyak ulama Islam, sedangkan kaum Musyrik Quraisy tidak ada satupun yang meragukan kekafiran mereka!
Post a Comment
mohon gunakan email