Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , » Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas Bagian 2

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas Bagian 2

Written By Unknown on Sunday 14 December 2014 | 13:52:00

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (4)

Sebagaimana mereka menyeru Allah Swt siang dan malam. Kemudian di antara mereka ada yang menyeru para malaikat karena kedekatan mereka di sisi Allah agar memintakan maghfiraah/ampunan untuknya. Atau menyeru seorang hamba shaleh, seperti Lata, atau seorang nabi seperti Isa as., dan Anda mengetahui bahwa Rasulullah Saw memerangi mereka atas dasar kesyirikan ini dan mengajak mereka untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah Swt semata. Sebagaimana Allah Swt berfirman:


فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

Maka janganlah kalian seru seseorang selaian Allah.” (Al-Jin: 18)

Dan firman-Nya yang lain,

لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَ الَّذينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ

Dia memiliki seruan yang benar, dan mereka yang menyeru selain Allah maka mereka tidak akan pernah dikabulkan permohonannya sedikitpun.(Ar-Ra’d: 14)

Dan jika telah terbukti bahwa Rasulullah Saw memerangi mereka agar supaya semua seruan dan doa hanya untuk Allah semata, pengorbanan, nazar, permohonan bantuan dan semua jenis dan macam ibadah hanya untuk-Nya.
Dan Anda telah mengetahui bahwa pengakuan mereka terhadap tauhid Rububiyah (keesaan sang pencipta) tidak memasukkan mereka kepada Islam, dan tujuan mereka dari para malaikat, para Nabi dan para wali untuk mendapatkan syafa’at mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengannya, itulah yang membuat halal darah dan harta mereka. Dengan demikian Anda mengetahui bahwa tauhid merupakan hal yang diseru oleh para nabi dan yang enggan diikrarkan oleh kaum musyrikin.
__________
Catatan 4:
Ini adalah upaya lain Syeikh dalam menggabarkan keindahan daan kebaikan prilaku kaum Musyrik.
Saya tidak habis pikir, bagaimana Syeikh mengatakan bahwa kaum Musyrikun itu “menyeru Allah SWT siang dan malam” ! Dalam ayat Al-Qur’an yang mana Allah menyebutkan bahwa kaum Musyrikun itu selalu, siang dan malam memanjatkan doa dan menyeru Allah SWT. Bukankaah yang mereka seru adalah arca dan berhala Hubal, Lâta, Uzza dan Manât. Andai mereka itu seperti yang digambarkan Syeikh Pendiri sekte Wahhâbi itu mengapakah Allah melarang Nabi-Nya untuk menyeru apa yang mereka seru?!
Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنِّي نُهيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لا أَتَّبِعُ أَهْواءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذاً وَ ما أَنَا مِنَ الْمُهْتَدينَ

“Katakanlah: ”Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan- tuhan yang kamu sembah selain Allah”. Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah( pula )aku termasuk orang- orang yang mendapat petunjuk.”(QS. Al An’am;56)
Dan Allah berfirman menjelaskan kondisi kaum Musyrikun di saat menjelang maut:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآياتِهِ أُولئِكَ يَنالُهُمْ نَصيبُهُمْ مِنَ الْكِتابِ حَتَّى إِذا جاءَتْهُمْ رُسُلُنا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قالُوا أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَ شَهِدُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كانُوا كافِرينَ

“Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat- ayat- Nya Orang- orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfûz); hingga bila datang kepada mereka utusan- utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu) utusan Kami bertanya:” Di mana (berhala- berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah” Orang- orang musyrik itu menjawab:” Berhala- berhala itu semuanya telah lenyap dari kami,” dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah orang- orang yang kafir.” (QS. Al A’râf;37)

إِنَّ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عِبادٌ أَمْثالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صادِقينَ

“Sesungguhnya berhala- berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk ( yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala- berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang- orang yang benar.” (QS. Al A’râf;194).

Dan juga tentang kaum kafir:

وَ إِذا رَأَى الَّذينَ أَشْرَكُوا شُرَكاءَهُمْ قالُوا رَبَّنا هؤُلاءِ شُرَكاؤُنَا الَّذينَ كُنَّا نَدْعُوا مِنْ دُونِكَ فَأَلْقَوْا إِلَيْهِمُ الْقَوْلَ إِنَّكُمْ لَكاذِبُونَ

“Dan apabila orang- orang yang mempersekutukan (Allah ) melihat sekutu- sekutu mereka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami mereka inilah sekutu- sekutu kami yang dahulu kami sembah selain dari Engkau.” Lalu sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya kamu benar- benar orang- orang yang dusta.”(QS. An Nahl;86).

Dan banyak lainnya, sengaja tidak kami sebutkan di sini. Bukankah ayat-ayat tersebut mengabarkan kepada kita gambaran yang bertolak belakang dengan gambaran yaang disajikan Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab difirmankan Allah bahwa seruan kaum Musyrikun itu dialamatkan untuk arca dan berhala-berhala mereka persekutukan dengan Allah. Jadi di manakah kita dapat menemukan bukti bahwa kaum Musyrikun itu menyeru Allah siang dan malam?.
Semua gambaran itu diperindah oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dengan tujuan membangun opini adanya kesamaan antara kaum Musyrikun dan umat Islam di masanya bahkan hendak meyakinkan bahwa kaum Musyrikun lebih unggul di banding umat Islam, kemudian atas dasar ini ia membangun vonis pengafiran atas umat Islam tersebut!

Di sini, perlu ditegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad saw. memerangi kaum Kuffâr Quraisy dan selainya dikarenakan banyak sebab, yang paling mendasar adalah: Kemusyrikan, syirk akbar, mendeportasi umat Islam daari rumah-rumah dan kampung halaman mereka, mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan berbagai kezaliman yang mereka lakukan terhadap kaum Musslimin.

Apa yang disebutkan Syeikh sebagai sebab diperanginya kaum Kuffâr adalah tidak lengkap dan cenderung menyebutkan sebab sepeleh yang kurang akurat dengan tujuan memberikan peluang baginya untuk mengambil kesimpulan sepihak.

Lagi pula, dalam ayat Al Qur’an yang mana kita dapat menemukan keterangan bahwa Nabi saw. Memerangi kaum Kuffâr “agar supaya semua seruan dan doa hanya untuk Allah semata, pengorbanan, nazar, permohonan bantuan hanya untuk-Nya.”!!

Di sini Syeikh hanya menyebutkan sebab yang samar, atau justru ia sengaja mengelabui pengikutnya. Apa yang ia sebutkan tidak akan pernah ditemukan dalam nash-nash keislaman dan tidak pasti apakah ia sebab yang karenanya Nabi saw. memerangi mereka?! Sementara itu ia menutup mata dari menyebut sebab yang pasti yang disepakati seluruh umat Islam dan telah ditegaskan Al Qur’an dalam berbagai ayatnya.

Dari sikap mengedepankan “yang belum pasti dan meninggalkan yang pasti” seperti inilah para “Ekstrimisme Islam” mendasarkan kegilaan sikapnya dalam menghalalkan darah-darah sesama kaum Muslimin dari golongan lain!!

Jadi anggapannya bahwa “tujuan mereka dari para malaikat, para nabi dan para wali untuk mendapatkan syafa’at mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengannya, itulah yang membuat halal darah dan harta mereka.” Adalah kepalsuan belaka daan kebohongan atas nama Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya yang menhalalkan darah-darah mereka adalah karena mereka telah merusak agama Ibrahim as., mengingkarii kenabian Nabi Muhammd saw. setelah tegas dan nyata bukti dan mu’jizat di hadapan mereka, serta penyembahan terhadap arca-arca dan berhala-berhala. Bukan sekedar memohon syafa’at dari para malaikat atau tawassul mereka dengan kaum Shâlihin.

Dari sini dapat dipastikan bahwa bangunan pemikiran yang ditegakkan Syeikh telah runtuh daari pondasinya dan dengannya dapat dipastikan pula bahwa penafsiran Kalimatut Tauhid yang ditandaskan Nabi Muhammad saw. dengan apa yang ia pahami adalah rapuh dan fâsid. Karena pengertian Kalimatut Tauhid tidak semata bahwa kata Ilâh maknanya ialah Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi Rizki dan Maha Pengatur dan darinya ia menyimpulkan bahwa beristighatsah dan memohon syafa’at kepada Allah dengan bantuan hamba-hamba pilihan-Nya adalah sama dengan menjadikan mereka sebagai âlihah (jamak ilâh) dan itu artinya menyembah mereka. Anggapan seperti itu akan Anda ketahui di bawah ini adalah jelas-jelas keliru dan menyimpang! Dan menyamakan kaum Muslimin yang bertawassul dan beristighatsah dengan para penyembah bintang-bintang, penyembah Isa dan Maryam as., penyembah malaikat adalah kejahilan belaka atau penentangan terhadap bukti nyata!

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (5), (6), (7) dan (8)

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (5).

Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.
_____________________
Catatan 5:
Dalam paragraf ini terdapat pengafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Ahlulbait Nabi saw. dan tidak sedikit umum kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!

Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbutki bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata:

أبوبكر سيِّدُنَا أعتَقَ بِلاَلا سيِّدَنَا

“Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”

Lebih dari itu Al Qur’an juga telah menggunakan kata tersebut untuk seorang Rasul utusan-Nya. Allah SWT berfriman:

فَنادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَ هُوَ قائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَ سَيِّداً وَ حَصُوراً وَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحينَ

“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)

Ketika menafsirkan kata سَيِّداً dalam ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip berbagai komentar para mufassir Salaf yang semuanya mengarah kepada makna adanya kemulian dan keistimewaan di sisi Allah SWT.

Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-” [1]

Dan dalam sepenjang penggunaannya oleh kaum Muslimin, kata Sayyid tidak pernah dipergunakan untuk makna yang menyalai kemurnian Tauhid dan penghambaan. Kata itu dipergunakan kaum Muslimin untuk seseorang yang diyakini memiliki kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah SWT. dengannya ia diisitimewakan dari orang lain dan karena kedudukan dan keistimewaannya itu maka permohonannya untuk seorang yang menjadikannya perantara dalam pengabulan doa dan permohonan diperkenankan Allah SWT. Jadi apa yang diyakin kaum Muslimin adalah apa yang telah ditetapka Allah SWT.
Adapun kaum Wahhâbiyah, mereka menafikan kedudukan yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-hamba pilihan-Nya dan menisbahkan kepada kaum Muslimin sesuatu yang tidak mereka yakini, dan kemudian menyebut kaum Muslimin dengan sebutan kaum Musyrikin. Apa yang mereka lakukan mirip dengan apa yang dilakukan kaum kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya kemudian menisbahkan kepada para Rasul dan pengikut setia mereka apa-apa yang tidak mereka yakini dan mereka perbuat!

Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid. Dan tentunya perlu diyakini bahwa tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mengunakannya untuk makna yang menyalai kemurnian penghambaan.

Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq.
Kemudian adalah tidak berdasar ucapan Syeikh bahwa kaum Musyrikun di zaman Nabi saw. seluruhnya telah mengatahui bahwa “Allah-lah Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki dan Maha pengatur alam semesta” sebab yang mengetahuinya hanya sebagian dari mereka saja, sementara sebagian lainnya adalah kaum dahriyyûn, yang tidak percaya akan ketiga prinsip itu dan tidak mempercayai adanya hari kebangkitan.
Allah SWT berfirman menceritakan mereka:

وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ.

“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24)
________________________

[1] Tafsir Ibnu Katsir,1/361.

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (6).

Maka Nabi saw. datang menyeru mereka kepada Kalimat Tauhid, La ilaha Illallah. Dan yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah maknanya, bukan sekedar melafazkannya. Orang-orang kafir yang dungu mengetahui bahwa maksud Nabi dari kalimat ini adalah meng-esakan Allah dengan hanya bergantung kepada-Nya dan mengingkari sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya, hal itu terungkap saat mereka diminta untuk mengucapkannya kalimat Lailaha Illallah, mereka menjawab:


أَ جَعَلَ الْآلِهَةَ إِلهاً واحِداً إِنَّ هذا لَشَيْءٌ عُجابٌ

Apakah tuhan-tuhan dapat dijadikan menjadi tuhan yang satu? Sesungguhnya ini benar- benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS.Shad: 5)
_______________________
Catatan 6:

Pertama-tama, perlu kami tegaskan di sini bahwa Nabi Muhammad saw. menerima dan memberlakukan hukum dzahir Islam atas sesiapa yang melafadzkan Kalimah Tauhid sekalipun ia berpura-pura dan tidak tulus dalam mengucapkannya. Dengannya, seseorang dapat dibentengi dari dikafirkan dan dicucurkan darahnya. Sementara, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb mengabaikan ketetapan itu, ia tidak segan-segan menghukum kafir dan halal darah-darah kaum Muslimin yang hidup sezaman dengannya, padahal mereka mengucapkannya dengan penuh ketulusan.

Kaum Munafiqin yang hidup di zaman Nabi saw. mengucapkan dua kalimah Syahâdatain dengan lisan mereka, tanpa meyakininya, dan Nabi saw. pun mengetahui hal itu, namun demikian beliau tidak menghukumi mereka secara dzahir dengan hukum kaum kafir dan menghalalkan darah-darah mereka. Adapun kaum Muslimin yaang hidup se zaman dengan “Syeikh” (Ibnu Abdul Wahab), darah-darah dan harta mereka tidak dihormati…. kalimah Syahâdatain yang mereka ucapkan tidak digubris oleh Syeikh… rukun-rukun Islam yang mereka tegakkan belum dianggap cukup untuk mencegah jiwa dan harta untuk dihalalkan!

Kedua, Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sedang berboros-boros kata-kata untuk sesuatu yang tidak perlu diperpanjang. Sebab tidak ada relefansinya apa yang ia katakan dengan klaim awalnya yang mengatakan bahwa kau Muslimin telah menyekutukan Allah dengaan sesembahan lainnya!
Kaum Muslimin memahami dengan baik bahwa inti seruan Rasulullah saw. adalah mengesakan Allah dalam penghambaan dan penyembahan. Tidak ada seorang pun dari umat Islam yang tidak memahami inti dasar seruan beliau itu! Hanya saja Syeikh ingin memperlebar cakupan makna penghambaan sehingga mencakup banyak hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan penghambaan, namun Syeikh beranggapan bahwa hal-hal tersebut adalah bagian inti dari penghambaan, kemudian atas dasar anggapan dan pahamannya yang menyimpang dan tidak berdasar itu ia menuduh umat Islam telah menyembah selain Allah SWT.

Ketiga, Semua mengetahui bahwa inti seruan Rasulullah saw. adalah menerima dengan sepenuh jiwa Kalimah Tauhid, tidak hanya sekedar mengucapkannya. Lalu apa maksudnya Syeikh mengatakan: “Dan yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah maknanya, bukan sekedar melafazkannya” kalau bukan hendak menuduh bahwa kaum Muslimin di zaman beliau telah menyekutukan Allah SWT dalam penyembahan, dan mereka tidak mengerti dari konsekuensi Kalimah Tauhid itu selain mengucapkannya belaka! Mereka tidak mengerti bahwa makna Kalimah Tauhid yang diminta untuk diimani dan dijalankan adalah: “Tiada sesembahan, ma’bûd yang berhak disembah melainkan Allah.” Sementara itu, kaum Musyrikun yang jahiliyah itu justru telah memahaminya! Seperti ia tegaskan dalam paragrap di bawah ini.

Jika Anda mengetahui bahwa orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Kuffâr itu memahami hal tersebut, maka yang sangat menherankan adalah ketidaktahuan orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim terhadap tafsir dari kalimat ini yang dapat dipahami oleh orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Kuffâr. Bahkan ia (yang mengaku Muslim itu) beranggapan bahwa makna Kalimah itu hanya sekedar pengucapannya tanpa dibarengi oleh keyakinan hati nurani terhadap maknanya.
______________________
Catatan 7:

Apa yang dikatakan Syeikh di sini adalah murni kebohongan. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin, serendah apapun pendidikannya berpendapat bahwa makna Kalimah Tauhid sekedar mengucapkannya saja tanpa harus diyakini dalam jiwa dan diwujudkan konsekuensinya dalam tindakan!
Umat Islam tanpa terkecuali, baik awam apalagi para ulama meyakini bahwa Kalimah Syahâdatain itu tidak cukup sekedar diucapkan dengan lisan tanpa dibarengi dengan keyakinan dalam jiwa. Dan mereka tidak ragu barang sedikitpun bahwa sekedar mengucapkannya tanpa dibarengi dengan keyakinan dalam jiwa adalah kemunafikan yaang mereka kecam! Umat Islam sepakat mengecam sesiapa yang ucapannya bertentangan dengan keyakinan hatinya. Bahkan kaum kafir sakali pun mengecam hal itu!

Lalu bagaimana Syeikh beranggapan bahwa kaum Muslimin yang hidup di zamannya berpendapat bahwa dengan sekedar mengucapkan Kalimat Tauhid saja tanpa dibarengi dengan meyakininya itu sudah cukup menjamin kebahagian dunia dan akhirat!

Bagaimana Syeikh beranggapan bahwa kaum Muslimin yang hidup di zamannya membolehkan untuk kita, misalnya untuk mengatakan: Lâ Ilâha Illa Allah, sementara pada waktu yang sama kita menyembah selain Allah… kita mengatakan: “Muhammad Rasulullah” dan pada waktu yang sama kita mengingkari kenabian dan kerasulannya?!

Apakah Syeikh mengangap mereka senaif dan sedungu itu?! Atau jangan-jangan itu hanya khayalan Syeikh belaka, atau bisikan dari qarîn-nya!
Jika praktik tabarruk, tawassul, tasyaffu’ dan istightsah yang dilakukan umat Islam sejak zaman Salaf Shaleh; para sahabat dan tabi’în yang dimaksud oleh Syeikh sebagai penyembahan dan penghambaan kepada selain Allah SWT dan itu dalam hemat Syeikh artinya umat Islam membolehkan menyembah selain Allah, maka anggapan itu sangat keliru. Sebab, paling tidak, dia harus menyadari bahwa umat Islam; para ulama dan awamnya yang melakukan praktik-praktik tersebut di atas memiliki banyak bukti yang membenarkan dan melegalkannya! Atau paling tidak, dalam hemat mereka praktik-praktik itu tidak menyalai prinsip Tauhid. Buku-buku yang mereka tulis untuk membuktikan di-syari’at-kannya apa yang mereka praktikan dipenuhi dengan dalil-dalil akurat dan kuat… Dan sekalipun Syeikh tidak menyetujuinya dan tidak menganggapnya dalil yang berarti, maka paling tidak hal itu dapat diangap sebagai syubhat dan ta’wil dalam melegalkan praktik mereka yang tentunya, jika diuji kualitas, ia tidak kalah kuat dengan syubhat dan alasan-alasan Syeikh dan kaum Wahhabiyah dalam mengafirkan kaum Muslimin! dan menggolongkan mereka lebih kafir dari kaum kafir Quraisy!
Tetapi, sulit rasanya beribicara dengan orang yang berani mengada-ngada kebohongan atas nama kaum Muslimin!

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (7).

Yang cerdas dari mereka (yang mengaku Muslim dari kalangan ulama Islam) menyangka bahwa maknanya adalah: “Tidak ada yang mencipta, memberi rizki, mengatur segala urusan selain Allah SWT.” Maka dari itu tidak ada kebaikan pada seorang, yang orang jahil dari kalangan Kuffâr saja lebih pandai darinya tentang makna Kalimah Lailaha Illallah.

_______________
Catatan 8:
Telah lewat kami jawab, bahwa tidak seorang pun dari ulama Islam, baik di zaman Syeikh maupun sebelumnya yang menafsirkan Kalimah Syahâdatain dengan apa yang disebutkan oleh Syeikh!

Entah dari mana Syeikh mengambil penafsiran itu?! Yang pasti di sepanjang sejarah umat Islam tidak pernah ada seorang ulama yang mengatakan bahwa tafsir Kalimah: Lailaha Illallah adalah “Tidak ada yang mencipta, memberi rizki, mengatur segala urusan selain Allah SWT.” Apalagi disertai dengan anggapan bahwa boleh saja seorang hamba mengalamatkan penghambaan dan penyembahannya kepada selain Allah SWT! Kami yakin tidak ada orang waras mengatakan seperti itu! Jika Syeikh menuduhnya demikian maka, ia wajib membuktikannya! Jika tidak, berarrti ia mengada-ngada kebohongan kemudian ia nisbahkan kepada ulama Islam!

Dan yang mengherankan dari Syeikh ialah tidak cukup mengada-ngada kepalsuan, ia menambahkan arogansinya dengan mengatakan, “Maka dari itu tidak ada kebaikan pada seorang, yang orang jahil dari kalangan Kuffâr saja lebih pandai darinya tentang makna Kalimah Lailaha Illallah.”!!!

Ini adalah bukti baru bahwa Syeikh lebih mengutamakan kaum Musyrikun atas kaum Muslimin! Dan menganggap kaum jahil dari kalangan kaum Kuffâr telah memahami dengan baik makna Kalimah Lailaha Illallah sementara itu ulama Islam gagal dalamm memaknainya!!

Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (8).

Jika Anda memahami apa yang saya sampaikan dengan sebenar-benarnya dan Anda memahami bahwa menyekutukan Allah yang disebut sebagai dosa yang tak dapat terampuni.

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَ يَغْفِرُ ما دُونَ ذلِكَ لِمَنْ يَشاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa’: 48).

Dan memahami bahwa agama Allah yang dibawa oleh para Rasul dari yang pertama hingga yang terakhir, agama yang tidak diterima oleh-Nya selain agama itu, dan Anda mengetahui bahwa betapa banyak orang-orang yang bodoh terhadap hal ini. Maka ada dua poin yang dapat diberikan,

pertama, bahagia terhadap anugerah dan rahmat Allah, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah:” Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS.Yunus: 58).

Dan poin selanjutnya (kedua) adalah ketakutan yang hebat.

Karena jika Anda memahami bahwa seseorang menjadi kafir karena ucapan yang dikeluarkan dari mulutnya dan dia tidak tahu, maka kebodohan/ketidaktahuannya tidak dapat dijadikan alasan. Dan terkadang dia mengatakan sesuatu yang dianggapnya dapat mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dikhayalkan oleh kaum musyrikin, terlebih jika Anda menyimak saat Allah mengisahkan cerita kaum Musa a.s. yang dengan ilmu dan keutamaan yang mereka miliki, mereka mendatangi Musa seraya berkata:

اجْعَلْ لَنا إِلهاً كَما لَهُمْ آلِهَةٌ

“Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Al-A’raf: 138)
Dengan demikian makin besarlah ketakutan Anda dan makin besar pula keinginan untuk memurnikan diri dari hal tersebut dan semisalnya.
________________
Cacatan 9:
Dalam pernyataannya di atas, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menvonis kafir seseorang karena perkataan yang ia katakan padahal ia mengatakannya dalam keadaan tidak mengetahui bahwa yang ia ucapkan itu berkonsekuensi kekafiran! Kajahilan itu tidak menjadi uzur untuk dielakkannya status kafir atasnya!

Jika Anda mengetahui bahwa memanggil Nabi Muhammad saw. dengan ucapan, “Ya Rasulullah, isyfa’ lî ‘indallahi/Wahai Rasulullah mohonkan untukku syafa’at dari Allah” itu digolongkan syirik, maka dapat dipastikan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, dihukumi kafir, walaupun ia tidak mengerti di mana letak kemusyrikan dari kata-kata yang ia ucapkan itu, andai benar anggapan Ibnu Abdil Wahhâb tentangnya!!

Ketegasan kata-kata Ibnu Abdil Wahhâb dalam vonis kafirnya atas pengucap kata-kata kekufuran walaupun tidak mengetahui apa yang ia ucapkan itu telah membuat para juru dakwah Sekte Wahhâbiyah belakangan ini agak kerepotan. Pasalnya pandangan demikian itu terbilang dangkal, menyimpang dan memilih sisi ekstrim dalam memamahi agama! Karenanya Syeikh al-Utsaimin –Khalifah Abdul Aziz ibn Bâz, Mufti Tertinggi sekte Wahhâbiyah di masanya- terpaksa berpanjang-panjang dalam memberikan arahan.
Dan sikap keras Syeikh dalam masalah ini seperti sikap kerasnya dalam masalah-masalah lain. Takfîr adalah senjata andalannya.

Al Jahl, Ketidak-tahuan Adalah Uzur Dihindarkannya Status Kafir Dari Seseorang!
Para ulama menyebutkan bahwa bisa jadi perbuatan tertentu atau meninggalkan sebuah perbuatan tertentu itu adalah merupakaan kekafiran, dan pelakunya adalah dijatuhi hukuman sebagai kafir. Akan tetapi ketika akan dijatuhkan atas pekalu tertentu (mu’ayyan), maka harus dilakukan prosedur panjang. Di antaranya:
A) Adakah bukti kuat yaang membenarkan ditetapkannya hukum itu atas orang tersebut? Dalam istilah ulama hal ini disebut dengan muqtadhi.
B) Tidak adanya penghalang untuk diterapkannya hukuman itu. Dalam istilah ulama hal ini disebut dengan tidak adanya mâni’.
Apabila terbukti bahwa muqtadhi belum lengkap atau tidak cukup… atau terdapat mâni’ tertentu maka ketetapan status hukuman itu tidak dapat ditetapkan.

Di antara mawâni’ (bentuk jamak kata mâni’) yang akan menghalangi ditetapkannya status kafir tersebut atas seseorang adalah kejahilan/ketidak-tahuan. Bahkan al jahl adalah mâni’ terpenting yang harus selalu diperhatikan sebelum menjatuhkan vonis kafir tersebut.

Hendaknya orang yang akan divonis itu mengetahui dengan pasti pelanggarannya. Allah berfirman:

وَ مَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبيلِ الْمُؤْمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلَّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ ساءَتْ مَصيراً.

“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk- buruk tempat kembali.” ( QS. An Nisâ’ [4];115).

Dalam ayat di atas ditegaskan, ditetapkannya siksa neraka bagi yaang menentang Allah dan Rasul-Nya itu setelah jelas baginya petunjuk. Itu artinya kejahilan telah terangkat darinya.

Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas sebagai berikut, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya” barang siapa menempuh selain jalan Syari’at yang dibawa Rasulullah saw. dan menjadi berada din sisi sementara Syari’at di sisi lain dengan kesengajaan setelah tampak dan jelas serta gamblang baginya al haq, kebenaran…. ” [1]

Dalam hal ini, al-Utsaimin berseberangaan dengan pendiri Sekte Wahhâbiyah. Setelah panjang lebar memberikan arahan agar imamnya tidak terlihat menyimpang, ia berkata menyimpulkan, “Al hasil, seorang yang jahil punya uzur tentang apa yang ia katakan atau lakukan yang merupakan kekafiran, sebagaimana ia diberi uzur atas apa yang ia katakan atau lakukan yang merupakan kefasikan. Hal itu berdasarkan dalil Al Qur’an dan Sunnah serta i’tibâr dan pendapat para ulama.” [2] Semoga fatwa ini adalah bentuk perlunakan doktrin ekstrim Wahhâbiyah!

Selain kejahilan, ta’wîl atau syubhat dalam memahami nash agama juga menjadi mâni’. Sebagai contoh, para ulama menyebutkan kasus kaum Khawârij, di mana seperti kita ketahui bersama bahwa mereka telah mengafirkan banyak sahabat besar seperti Sayyidina Ali ra., menghalalkan darah-darah kelompok Muslimin selain mereka, menghalalkan harta mereka… namun demikin mereka tidak divonis kafir oleh para ulama, sebab dalam hemat mereka, kaum Khawârij itu berpendapat dan bersikap demikian karena syubhat ta’wil dalam memahami nash-nash agama, walaupun jelas-jelas salah fatal!

Bahaya Mengafirkan Tanpa Dasar dan Bukti.
Mengapa begitu serius masalah pengafiran person, mu’ayyan atau bahkan yang bersifat umum? Karena hukum awal bagi kaum Muslimin adalah dihormatinya status keislaman mereka, dan kita harus senantiasa menetapkan bagi mereka status tersebut sehingga ada bukti nyata dan pasti bahwa statsu itu telah gugur. Di sini, dalam hal ini, kita tidak boleh semberono dan gegabah dalam menvonis kafir seseorang. Sebab dalam pengafiran itu terdapat dua bahaya yang bisa menghadang.

Pertama, Mengada-ngada atas nama Allah SWT dalam menetapkan hukum/status.
Hal ini jelas, karena kita telah menetapkan status atas seseorang yang tidak ditetapkan oleh Allah SWT. Kita mengafirkan seseoraang yang tidak dihukum kafir oleh Allah SWT. Tindakan itu sama dengan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah SWT., atau sebaliknya… .
Kedua, Mengada-ngada dalam penetapan status atas orang yang divonis.

Hal itu juga berbahaya, mengingat menetapkan status kafir atas seorang Muslim itu artinya kita menetapkan status yang berlawanan dengan status yang sebenarnya sedang ia sandang. Seorang Muslim kita sebut ia sebagai Kafir! Jika ada orang yang mengafirkan orang lain yang tidak berhak ia kafirkan maka vonis itu akan kembali kepadanya, seperti ditegaskan dalam banyak hadis shahih.
Imam Muslim meriwayatkaan dari Abdullah ibn Amr, ia berkata, “Nabi saw. bersabda, ‘Jika seorang mengafirkan orang lain, maka ia (status kafir itu) telah tetap bagi salah satunya.” [3]

Dalam redaksi lain disebutkan, “ Jika memang seperti yang ia katakan (ya tidak masalah), tetapi jika tidak, maka ia akan kembali kepadanya.” [4]
Karenanya perlu berhati-hati dalam menetapkan vonis kafir atas mu’ayyan, atau bahkan atas keyakinan tertentu atau pekerjaan tertentu yang dipraktikan kaum Muslimin, generasi demi generasi dan didasarkan atas dalil-dalil yang diyakini kesahihannya. Sebab boleh jadi menvonis secara gegabah praktik tertentu sebagai kemusyrikan atau kekafiran termasuk mengada-ngada atas nama Allah dan Rasul-Nya.

*****
___________________
Rujuk:
[1] Tafsir Ibnu Katsir,1/554-555.
[2] Syarah Kasyfu asy Syubuhât:38.
[3] Muslim, Kitab al Imân:60.
[4] Ibid.

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (9), (10), dan (11)

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (9)

Dan ketahuilah sesungguhnya termasuk dari hikmah Allah Swt adalah Dia tidak mengutus seorang nabi dengan tauhid ini kecuali dia telah menjadikan musuh-musuh baginya, sebagaimana firmannya:

وَ كَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطينَ الْإِنْسِ وَ الْجِنِّ يُوحي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap- tiap nabi itu musuh, yaitu setan- setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan- perkataan yang indah- indah untuk menipu (manusia). (Al-An’am: 112).

Dan terkadang para musuh-musuh tauhid memiliki ilmu yang begitu banyak, buku-buku dan berbagai argumentasi, sebagaimana firman Allah Swt:

فَلَمَّا جاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّناتِ فَرِحُوا بِما عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ

Maka tatkala datang kepada mereka rasul- rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan- keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka… (Al-Ghafir: 83).

Jika Anda mengetahui hal tersebut dan mengetahui bahwa jalan menuju Allah Swt senantiasa dipenuhi oleh musuh-musuh yang merintangi; mereka Ahli-Ahli bahasa (fasih), pemilik ilmu dan argumentasi, maka wajib bagi Anda untuk mempelajari agama yang dapat anda gunakan sebagai senjata untuk memerangi mereka; para setan yang pemimpin dan senior mereka telah berkata kepada Allah Swt:


لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِراطَكَ الْمُسْتَقيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْديهِمْ وَ مِنْ خَلْفِهِمْ وَ عَنْ أَيْمانِهِمْ وَ عَنْ شَمائِلِهِمْ وَ لا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شاكِرينَ

Saya benar-benar akan (menghalang- halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur ( taat ). (Al-A’raf: 16-17).

Akan tetapi jika Anda menghadap kepada Allah dan mendengarkan hujjah-hujjah dan penjelasan-Nya maka janganlah merasa takut dan bersedih.

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطانِ كانَ ضَعيفاً

“sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (An-Nisa’: 76).
________________
Catatan 10:
Dari keterangan Syeikh di atas terlihat jelas bahwa sebenarnya pertentangannya adalah dengan para ulama, -bukan dengan kaum awam-, yang memiliki kefasihan dalam berbahasa, banyak ilmu pengetahuan dan hujjahnya. Pernyataan ini adalah sebuah pengakuan bahwa ia sedang mengalamatkan pembicaraan dan dakwahnya kepada para ulama di wilayah Najd, Hijaz, dan Syam…. namun anehnya, beberapa lembar sebelum ini ia mengatakan bahwa mereka itu tidak memiliki pengetahuan tentang makna Kalimah Tauhid; Lâ ilâha Illa Allah!!

Jika dalam banyak kesempatan ia menyebut kaum Muslimin sebagai Musyrikûn yang menyekutukan Allah SWT, maka kali ini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menyebut para ulama Islam yang bertentangan dengannya sebagai musuh-musuh para Rasul… mereka adalah setan-setan dan pengikut setia Iblis… kerja mereka hanya menghalang-halangi umat manusia dari mengenal dan tunduk kepada Allah SWT.

Dalam banyak kesempatannya, Syeikh juga selalu menyebut bahwa sesiapa yang menentang dakwahnya berarti menentang ajaran Tauhid murni yang dibawa para Rasul….

Mungkin Anda beranggapan bahwa yang dimaksud olehnya adalah kaum Kuffâr; Yahudi, Nashrani, Ateis dll. Merekalah musuh-musuh para Rasul….
merekalah setan-setan itu! Akan tetepi anggapan itu segera terbukti naif, setelah Anda mengetahui bahwa di sepanjang aktifitas dakwahnya, Syeikh tidak pernah berdakwah selain kepada kaum Muslimin sendiri… hanya mereka yang menjadi fokus garapannya…
semua kegiatannya hanya dialamatkan kepada kaum Muslimin (yang tentunya ia vonis musyrik)….
sebagaimana peperangan dan jihadnya juga hanya melawan sesama kaum Muslimin !!

Jadi jelaslah bahwa yang ia maksud adalah ulama Islam! Merekalah dalam pandangan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai musuh-muusuh para Rasul dan setan, bala tentara Iblis!! Seperti akan ia pertegas dalam lembar-lembar berikutnya bahwa “setan-setan, musuh-musuh Tauhid, dan ulama Musyirikûn” itu berhujjah dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. dalam menetapkan keyakinan mereka akan kebenaran konsep Syafa’at, Istighâtsah dll. Adakah yang berhujjah dalam masalah tersebut di atas dengan Al Qur’an selain ulama Islam?! Jadi jelaslah bagi kita bahwa yang di maksud dengan Musyrikûn dan setan-setan bala tentara Iiblis adalah ulama Islam!!

Setelah ia menasihati para pengikutnya agar mempersenjatai diri dengan ilmu dan memperhatikan hujjah-hujjah Allah, ia berusaha mayakinkan mereka (dan juga kita semua) bahwa seorang awam dari pengikutnya pasti mampu mengalahkan seribu ulama Islam yaang ia sebut sebagai ulama kaum Musyrikin!

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (10).

Dan seorang awam dari Ahli tauhid akan mengalahkan seribu (1000) dari orang musyrik. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَ إِنَّ جُنْدَنا لَهُمُ الْغالِبُونَ

Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (As-Shaffat: 176).

Maka tentara-tentara Allah itu menang dengan hujjah dan argumentasi sebagaimana (lawan-lawan) mereka menang dengan pedang. Akan tetapi ketakutan itu hanya dirasakan oleh seorang Ahli tauhid yang menapaki jalan tanpa senjata.

Allah Swt telah menganugerahkan kepada kami sebuah kitab yang dijadikannya sebagai:

تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدىً وَ رَحْمَةً وَ بُشْرى لِلْمُسْلِمينَ

Untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang- orang yang berserah diri. (An-Nahl: 89).

Maka tidak ada Ahli batil yang mendatangkan hujjahnya kecuali al-Qur’an telah membantah dan merusaknya.


وَ لا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَ أَحْسَنَ تَفْسيراً

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 33).

Sebagian Ahli tafsir berkata bahwa ayat ini umum mencakup setiap hujjah yang diajukan oleh Ahli batil pada hari kiamat.
_________________
Catatan 11:
Pernyataan di atas tegas-tegas memuat pengafiran jumlah yang tidak sedikti dari ulama Islam. Adalah mustahil dalam kebiasaan terdapat 1000 ilmuan kafir seperti yang ia sebut dalam satu kota, misalnya. Ini adalah bukti kuat bahwa Syeikh sedang mengalamatkan vonisnya kepada ulama Islam yang tidak sependapat dengnnya.

Sementara itu yang selalu kita dengar dari Syeikh sendiri maupun para pengikutnya mereka mebela diri dengan mengtakan, “Ma’âdzallah, kami berlindung kepada Allah dari mengafirkan kaum Muslimin!”. Ini adalah ucapan bersifat umum. Akan tetapi permasalahannya terletak pada, siapa sejatinya “Muslim” dalam pandangan kaum Wahhâbiyah?. “Muslim” dalam pandangan mereka berbeda dengan “Muslim” dalam pandangan para ulama Islam lainnya.

Dalam pandangan Syeikh dan para pengikutnya, “Muslim” itu harus memenuhi banyak syarat yang tidak pernah disyaratkan oleh para ulama Islam di sepanjang masa….
mengucapkan Syahâdatain/dua kalimah Syahadat belum cukup untuk mengeluarkan seseorang dari kekafiran…
Mengetahui sebagian syarat saja sementara syarat-syarat lain tidak diketahuinya juga tidak menyelamatkannya dari vonis kafir! Kemudian dalam pemahaman terhadap makna sebagian syarat diharuskan menuruti pemahaman Syeikh…
maka dengan demikain hampir tidak ada yang terjaring ke dalam kelompok “Ahli Tauhid” (yang mengesakan Allah SWT) selain Syeikh dan pengikutnya.

Al hasil, di sini Syeikh menjamin bahwa seorang awam dari pengikutnya pasti akan mampu mengalahkan seribu ulama kaum Musyrikîn (baca Muslimin)! Dan seorang awam dari Ahli tauhid akan mengalahkan seribu dari orang musyrik. Sebab para pengikutnya adalah “Tentara Allah” yang dijamin kemenangannya baik dalam hujjah dan argumentasi maupun dalam peperangan…
demikian, Syeikh menanamkan kepercayaan diri dalam jiwa-jiwa pengikutnya…
dan sekaligus mempersiapkan mental mereka agar bersemangat dalam memerangi kaum Muslimin yang telah diperkenalkan kepada para pengikutnya (yang dewasa itu kebanyakan dari kalangan awam dan arab-arab Baduwi yang jauh dari pemahaman agama yang cukup).
Setelah itu, Syeikh mulai mengurai argumentasi yang dianggapnya mampu mempersenjati para pengikutnya.

Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (11).

Saya akan menyebutkan untuk Anda hal-hal yang disebut oleh Allah Swt di dalam kitab-Nya yang merupakan jawaban dari sanggahan kaum musyrikin di zaman kami yang ditujukan kepada kami.
Kami dapat menjawab sanggahan Ahli batil itu melalui dua bentuk: secara global dan secara terperinci. Yang global itu merupakan hal yang dapat memberi faedah besar bagi mereka yang memahaminya. Allah berfirman:

هُوَ الَّذي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَ أُخَرُ مُتَشابِهاتٌ فَأَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللَّهُ

Dia- lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat- ayat yang muhkamaat itulah pokok- pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang- orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat- ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari- cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. (Al-Imran: 7).

Telah disebutkan sebuah hadis sahih bahwa jika kalian melihat sekelompok orang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari al-Quran, maka mereka adalah orang-orang yang disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang patut diwaspadai.

Sebuah contoh: jika sebagian orang musyrikin berkata kepada Anda:

أَلا إِنَّ أَوْلِياءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak ( pula )mereka bersedih hati. (Yunus: 62)
Dan syafaat adalah sebuah kebenaran dan para nabi memiliki posisi di sisi Allah atau si musyrik membawakan sabda-sabda nabi sebagai dalil atas kebatilan pendapatnya, sedang Anda tidak memahami arti ungkapan yang disebutnya maka jawablah: “sesungguhnya mereka yang di hatinya ada kemunafikan maka mereka meninggalkan yang muhkam dan mengikuti yang muthasyabih.”

Dan apa yang saya sebutkan kepada Anda bahwa Allah Swt menyebut orang-orang musyrikin sebagai orang-orang yang mengakui tauhid rububiyah dan kekafiran mereka akibat hubungan mereka dengan para malaikat, para nabi dan para wali:

هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ

” Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. (Yunus: 18).

Hal ini merupakan hal yang muhkam dan jelas yang tidak bisa diubah artinya oleh siapapun.
______________

Catatan 12:
Wahai pembaca, siapa gerangan yang Ibnu Abdil Wahhâb maksud dengan: “kaum musyrikin dan “sebagian orang musyrikin” dalam kalimat yang ia tulis di atas, yang mana mereka menyelami dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw. dan memiliki kefashihan, ilmu dan hujjah-hujjah?! Bukankah mereka itu adalah ulama Islam yang sedang ia selisihi dalam klaim kekafiran dan kemusyrikan?

Siapakah yang meyakini adanya hak syafa’at bagi para nabi, khususnya Nabi Muhammad saw. dan mereka memohonnya dari beliau saw. dengan mengatakan misalnya, ‘wahai Rasulullah, berilah aku syafa’at’ (yang oleh Ibnu Abdil Wahhâb dituduh sebagai telah menyekutukan Allah SWT.)
Siapa sebenarnya yang sedang berhadap-hadapan dengan kaum Wahhâbi dan sedang dihadapi kaum Wahhâbi? Sejarah tidak pernah mencatat bahwa kaum Wahhâbi di masa awal kemunculannya hingga sekarang berhadapan dengan selain kaum Muslimin dalam persengketaan seputar masalah syafa’at, tawassul, istighâtsah dll?!

Tidak syak lagi bahwa stitmen di atas adalah sebuah bukti nyata pengafiran terang-terangan terhadap umat Islam selain kaum Wahhâbi yang selalu mereka tuduh sebagai a’dâ’u al Islâl, a’dâ’u at Tauhîd dan khushûm ad da’wah/musuh-musuh Islam, musuh-musuh Tauhid dan lawan-lawan da’wah.
Kenyaatan ini harus diakui sebagai sebuah kezaliman, sebab, seperti telah disinggug bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dalam seluruh kegiatannya hanya sedang membantah arugumentasi kuam Muslimin dan tidak sedang membantah kaum kafir atau kaum Musyrik. Jika Anda ragu akan hal itu, bacalah surat-surat yang dilayangkan atau buku-buku yang ditulis oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, Anda tidak akan menemukan satupun dari nama orang kafir (Yahudi dan atau Nashrani) atau seorang Musyrik (penyembah acra, matahari, atau sesembahan lainnya). Yang akan Anda temukan hanya nama-nama ulama Islam di masanya, seperti:
· Muhammad ibnu Fairûz al Ahsâ’i (seorang ulama dari suku bani Tamîm, suku yang sama dengan suku Syeikh, dan beliau hijrah ke kota Bashrah meninggalkan al Ahsâ’ setelah kota tersebut jatuh ke tangan kaum Wahhâbiyah).
· Marbad ibn Ahmad at Tamîmi (mufti pengikut mazhab Syafi’i di Madinah al Munawarah, beliaulah yang menceritakan apa adanya akidah Syeikh kepada al Amîr ash Shan’âni yang kemudian berbalik menghujat Syeikh karena sikap takfîr-nya yang melampaui batas, Syeikh Marbad dibunuh kaum Wahhâbiyah di kota Raghbah tahun 1171 H.).
· Abdullah ibn Sahîm (seorang faqih kota Qashîm, seorang qadhi bermazhab Hanbali untuk daerah Sudair).
· Sulaiman ibn Sahîm al Hanbali (ulama dan faqih penduduk kota Riyâdh, ia hijrah ke kota az Zubair meninggalkan kota Sudair setelah kaum Wahhâbiyah mendudukinya. Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb telah mengafirkannya dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama Islam).
· Abdullah ibn Abdul Lathîf (salah seorang guru Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang sangat menentang seruannya).
· Muhammad ibn Sulaiman al Madani, Abdullah ibn Daud al Zubairi (seorang ulama Ahlusunnah asal Iraq).
· Sayyid Alawi ibn Ahmad al Haddâd al Hadhrami (seorang ulama besar Ahlusunnah dari Hadhramaut).
· Sulaiman ibn Abdil Wahhâb (saudaranya sendiri).
· Muhammad ibn Abdur Rahman ibn ‘Afâliq al Hanbali al Najdi (seorang ulama kota al Ahsâ’).
· Al Qâdhi Thâlib al Humaishi.
· Syeikh Ahmad ibn Yahya.
· Syeikh Shaleh ibn Abdullah ash Shâigh (seorang ahli fikih dan qadhi kota ‘Unaizah) .
dan puluhan lainnya yang disebut oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai “Kaum Musyrikûn di zaman kita” !!

Dan sebagai bukti kesetiaan kaum Wahhâbiyah terhadap Doktrin Takfîr imam mereka, hingga sekarang mereka menapak-tilasi jalan Ibnu Abdil Wahhâb dalam mencoreng kaum Muslimin, awam dan ulama dengan tuduhan musyrik, kafir atau paling ringan tuduhan bid’ah yang hampir mencapai batas kafir (!), seperti yang mereka lakukan terhadap banyak ulama di antaranya, Ibnu Sallûm, Utsman ibn Sanad, Ibnu Manshûr, Ibnu Humaid, Syeikh Ahmad Zaini Dahlân (mufit mazhab Syafi’i di kota suci Makkah), Daud ibn Jirjîs dkk.

Dan sekarang di Abad ke- 14 dan 15 Hijriyah kegemaraan mengafirkan dan atau menuduh sebagai pembid’ah yang sesat itu masih sering kita dengar dan kita baca, seperti vonis mereka atas al Kautsari, Abu Ghuddah, Sayyid Muhammad Alawi al Maliki (guru besar para ulama dan Kyai Ahlusunnah Indonesia), ad Dajûri, Syeikh Syaltût (Rektor Universitas Al Azhar), Abu Zuhrah, Syeikh Muhammad Ghazzali, Syeikh Yusuf al Qardhâwi, Syeikh Sa’îd Ramadhan al Bûthi, Abdullah al Ghimâri dan Ahmad al Ghimâri, Sayyid Hasan ibn Ali as Seqaf (seorang ulama keturunan Sayyid yang tinggal di Yordania), Habîbur Rahman al A’dzumi dan masih banyak lannya dan mungkin, karena tulisan ini, nama Abu Salafy juga akan mereka sandingkan dengan nama-nama para ulama “Ahli Bid’ah” di atas!

Dan seperti telah saya singggung, -dan hal ini sangat disayangkan- bahwa kaum Wahhâbiyah tak menghentikan “aksi teror pengafiran” itu kecuali ketika mereka dalam kondisi lemah karena jumlah mereka sedikit atau ketika ada kekuatan pemerintahan yang mencegah mereka melakukan “aksi teror pengafiran” itu. Andai bukan karena dua sebab itu, pastilah tidak ada seorang pun yang selamat dari “aksi teror pengafiran” mereka!!

Ibnu Abdil Wahhab Mempersenjatai Pengikutnya Dengan Senjata Kebodohan.
Seperti diketahui semua orang, bahwa pada awal kemunculan ajakannya, Ibnu Abdil Wahhab telah ditentang keras para ulama Islam, sementara kaum awam menyambut dan menerima ajakan dan seruannya. Sementara itu, seperti ia janjikan (dan telah kami sebeutkan sebelumnya, bahwa satu dari pengikutnya yang awam saja pasti mampu mengalahkan seribu ulama kaum Musyrikun -Muslimun maksudnya-), maka di sini ia perlu mempersenjatai para pengikutnya yan rata-rata awam itu dengan senjata yang dengannya pasti mereka menang dalam menghadapi siapa saja yang menentangnya dan menyalahkan akidah dan pandangannya dan dalam situasi apapun.

Apa senjata yaang dipersiapkan Ibnu Abdil Wahhab untuk para pengikutnya?
Karena Ibnu Ibnu Abdil Wahhab itu adalah seorang pemimpi yang “bijak” maka ia pasti akan memberikan senjata yan tepat untuk mereka. Ia mengerti benar kadar ilmu para pengikutnya yang awam, karenanya ia mempersenjatai mereka dengan senjata: asal inkar dan menggolonkkan dalil apapun yang dibawa lawan ajakan tauhidnya sebagai hal yangg mutasyâbih!

Apapun bukti yang akan diajukan lawan-lawan kalian, yang tidak kalian menerti, maka jabablah dengan:
  • Senjata Inkar: “Dan apa yang Anda sebut wahai musyrik dari al-Quran dan sabda Nabi saw. tidak saya mengerti artinya.” (Kasyfu asy Syubuhât:48).
  • Senjata Dalil Kamu Mutasyabih: Jika sebagian orang musyrikin berkata kepada Anda: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati. (Yunus: 62) Dan sesungguhnya syafa’at adalah itu haq (pasti adanya) dan para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah atau si musyrik itu membawakan sabda-sabda Nabi saw. sebagai dalil atas kebatilan pendapatnya (tentangg syafa’at), sedang Anda tidak memahami arti ucapan yang ia sebutkan maka jawablah dengan: “Sesungguhnya Allah menyebutkan dalam Kitab-Nya bahwa mereka yang di hatinya ada kecenderungan kepada kebatilan maka mereka meninggalkan yang muhkam (tegas dan pasti maknanya) dan mengikuti yang muthasyabih (saram).” (Kasyfu asy Syubuhât:46).
Sungguh luar biasa senjata akal-akalan Imam Wahhabi yang satu ini…. ia mempersenjati para pengikutnya dengan senjata kebodohan, setiap kali ulama atau seorang awam kaum Muslimin membawakan dalil tantang syafa’at, misalnya, bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki hak memberikan syafa’at untuk umatnya, dan kami memohon dari beliau agar memberikan syafa’at untuk kami, maka di sini Ibnu Abdil Wahhab mendoktrin pengikutnya dengan: “Katakan bahwa masalah itu adalah tergolongg mutasyâbih dalil yan kamu bawakan juga mutasyâbih, dan kegemaran orang yang sesat dan menyimpang hanya mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbih!” dan “Ayat dan sabda Nabi saw. yang kamu uraikan itu saya tidak mengerti, tapi yang pasti bukan begitu!”

Demi Allah yang menciptakan akal sehat dan memberi hidayah para pencarinya, adakah senjata kebodohan dan sikap akal-akalan yang mengunguli apa yang didoktrinkan Imam Wahhabi ini?!
  • Ayat-ayat Syafa’at Bukan Mutasyâbih.
Seperti pernah saya jelaskan bahwa untuk mengolonkan sebuah ayat itu mutasyâbih atau muhkam, tidak dapat ditetapkan oleh selera kita dan atau asal-asalan. Kesamaran makna yang menyebabkan sebuah ayat digolongkan mutasyâbih itu harus ada sebabnya. Sementara kata-perkata dan kalimat perkalimat dalam ayat syafa’at itu sangat gamblang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Lalu mengapakah Syeikh Ibnu Abdil Wahhab menggolongkannya sebagai ayat mutasyâbihât? Sisi mana dari, misalnya:
A) Para awliya’ Allah tidak ada khawf/rasa takut dan tidak sedih,
B) Para awliya’ Allah memiliki kedudukan di sisi Allah SWT,

yang menggandung unsur kemutasyâbihan?

Demikianlah doktrin untuk mengatakan kepada lawan-lawan da’wah Wahhabiyah bahwa “faham/dalil yan kamu sebutkan itu mutasyâbih sedang yang kami yakini adalah muhkam (pasti/tegas), maka tidak benar meningalkan yang muhkam demi mengikuti yang mutasyâbih atau melawan yang muhkan dengan dalil yang mutasyâbih” diajarkan kepada para pengikutnya, akan tetapi ini adalah metode keliru dalam mengajarkan cara berdiskusi atau berdabat, dan semua orang bisa mempersenjatai diri dengan senjata seperti itu setiap kali terpojokkan. Kemutasyâbihan itu tidak dapat ditetapkan dengan sekendak kaum awam Wahhabi, ada aturan dan kaidahnya yang dihabas panjang lebar oleh para ulama.

Jadi adalah aneh, kebanggaan yang dipampakkan Imam Wahhabi setelah mengajarkan dalil dan cara berdebat di atas: Hal ini merupakan hal yang muhkam dan jelas yang tidak bisa diubah artinya oleh siapapun. ….
Akan tetapi jawaban ini tidak mungkin dipahami kecuali oleh orang yang telah diberi taufik oleh Allah.

Bersambung .....
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: