Biarlah, dua langkah lagi wahai dunia...
Beri kesempatan ia dua langkah lagi. Biar kami memandang jejaknya lebih lama...
Beri kesempatan ia dua langkah lagi. Biar kami memandang jejaknya lebih lama...
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli’ala Muhammad wa Ali Muhammad
Biarlah, dua langkah lagi wahai dunia...
Beri kesempatan ia dua langkah lagi. Biar kami memandang jejaknya lebih lama...
Sepasang suami istri teramat setia,
menapaki tanah berdebu Arabia. Tapi tanah itu bukan tanah sembarang
tanah, ia tanah yang sangat keras kulitnya, amat padat isinya. Di atas
tanah itu ribuan hamba Allah berzikir memujaNya. Mereka berputar
mengelilingi bangunan hitam di tengahnya. Inilah tempat yang tidak
pernah berhenti dari ingatan pada Allah. Tiada seorang nabi pun diutus,
melainkan ia pernah tawaf di sekitarnya.
Itulah lembah Makkah yang penuh berkah.
Tempat bagi rumah Tuhan, Ka’bah Baitullah. Kini sepasang suami istri
teramat setia itu, tertatih-tatih menyusurinya. Adalah Abu Thalib sang
suami, pemegang kunci pintu rumah Tuhan, memapah sang istri, Fathimah
binti Asad dengan jabang bayi yang dikandungnya, kini menempuh sembilan
bulan di rahimnya.
Biarlah dua langkah lagi wahai dunia,
berikan langkah pada kaki-kaki yang perkasa itu. Setelah tawaf
mengelilingi rumah Tuhan, mereka berdua beristirahat.
Esok harinya, dengarkan riwayat dari
Yazid bin Qan’ab: Aku tengah duduk bersama Abbas bin Abdil Muthallib dan
sekelompok orang dari Bani Abdil ‘Uzza di samping Baitullah. Kemudian
aku lihat Fathimah binti Asad datang. Ia melangkah menuju Baitullah,
menghempaskan diri kepadanya seraya menyeru: “Duhai Tuhanku, aku beriman
kepadaMu dan kepada apa yang diturunkan dari sisiMu. Percaya pada rasul
dan kitabMu. Dan aku membenarkan ucapan datukku Ibrahim kekasihMu,
bahwa dialah yang membangun rumah tua yang kokoh ini. Maka demi hak dia
yang mendirikannya, dan demi hak dia yang ada dalam perutku. Mudahkan
bagiku kelahirannya...”
Menurut Yazid bin Qan’ab: Tiba-tiba aku
mendengar gemuruh, dan Baitullah telah terbuka dari arah belakang.
Fathimah binti Asad memasukinya. Ia hilang dari pandangan kami, dan
Baitullah kembali pada keadaannya semula, tertutup rapi dari sedia kala.
Kami bergegas menuju pintu Ka’bah, berusaha membukanya. Tapi pintu itu
tak bergeming. Kunci tak bergerak sedikitpun. Yakinlah kami bahwa ini
ketentuan Tuhan. Berlalu tiga hari setelah itu, dan pada hari yang
keempat Fathimah keluar dengan bayi merah di tangannya.[1]
Waktu itu, 13 Rajab, 30 tahun setelah
peristiwa yang menggemparkan tahun gajah. Kabar bahagia segera
disampaikan pada ayahnya. Rona sukacita terpancar jelas di mukanya.
“Beri dia nama, abah...” ujar sang Ibu. Abu Thalib sang ayah berkata:
“Kita tidak akan melakukan apa-apa, sebelum Muhammad putra Abdullah
datang melihatnya...”
Duapuluh empat tahun sudah, Muhammad
anak yatim Abdullah itu tinggal bersama Abu Thalib dan Fathimah binti
Asad. Bagi sang nabi terakhir ini, merekalah orangtua yang membesarkan
dan melindunginya. Abu Thalib dan Fathimah binti Asad tahu bagaimana
Muhammad. Yang paling terpuji, yang paling berilmu, yang paling santun
dan luhur akhlaknya. Adalah kemuliaan, menghadirkan jabang bayi itu
untuk dipertemukan dengannya.
Maka Muhammad bin Abdillah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam pun datang memangkunya. Kain pembungkus itu
pelan-pelan disingkapkannya. Dan bayi molek memandangnya bahagia.
Seakan-akan binar matanya sudah berteriak: “Assalamu’alaika yabna ‘ammi,
asyhadu an laa ilaaha ilallah wa asyhadu annaka rasulullah.”
Muhammad bin Abdillah memeluknya,
mendekap erat bayi itu. Menjulurkan lidahnya yang suci, dan bayi itu
dengan segera mengulumnya. Jauh sebelum seluruh kenikmatan duniawi, bayi
itu telah mengecup kenikmatan surgawi. Air liur Nabi kini menjadi air
liurnya. Bagian dari tubuhnya. Tak pernah terpisah, tak pernah habis.
Berdetak di setiap pembuluh darahnya, mengalir di setiap urat dan
nadinya. Kelak, ia berkata: “Wulidtu ‘ala al-fithrah, wa sabaqtu ila al-imani wal hijrah.”
Aku dilahirkan dalam kesucian (dalam fitrah ketauhidan), dan aku
mendahului siapapun dalam hijrah dan keimanan.” Kemudian Muhammad bin
Abdillah shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bergerak melangkah di
sekitar rumah Tuhan... melangkahlah wahai kekasih Allah, biarlah dua
langkah lagi, biar kami memandang jejakmu lebih lama.
Muhammad menamainya Ali.Ialah yang
membesarkan dan mendidiknya. Dengan kasih sayang Abu Thalib dan Fathimah
yang telah merawatnya, Muhammad tahu kini gilirannya untuk membalas
kebaikan orangtua asuhnya. Ketika usaha Abu Thalib sedang menurun,
Muhammad mengambil Ali dalam asuhannya: mendidik, membesarkan, merawat
dan mengasihinya.
Belia Ali mengikuti Muhammad di setiap
langkahnya. Ketika calon utusan terakhir ini menapaki terjalnya bukit
hira, Ali kecil mengikutinya. Melangkahlah wahai kekasih Allah, biarlah
dua langkah lagi, biar kami memandang jejakmu lebih lama. Ali bergegas
mengikuti putra pamannya: pengasuh dan pembimbingnya. Hingga ketentuan
ilahiah itu datang pada putra pamannya.
Kini, Muhammad bin Abdillah telah
menjadi utusan Allah. Ali segera mengimaninya. Ialah muslim pertama.
Mu’min setelah Khadijah. Tak sedikitpun keraguan pernah terbersit di
hatinya. Lalu datang seluruh peristiwa itu: keimanan orang-orang Islam
yang petama diuji. Mereka disiksa, disakiti, dianiaya. Dikucilkan,
dihinakan, dihempaskan. Perlindungan Abu Thalib dan harta Sayyidah
Khadijah menjadi penopang dakwah Nabi. Sehingga tiba saat ketika seluruh
Bani Hasyim dibuang di lembah Yusuf, lembah Abu Thalib, tidak jauh dari
rumah Tuhan itu. Lihatlah kawanan Basyim melangkah menjauhi rumah
Tuhan, patuh pada kesepakatan ummah, karena mereka tidak ingin
menyerahkah Muhammad Rasulullah. Pantaslah bila Tuhan agungkan mereka di
atas umat yang lainnya.
Tiga tahun masanya dikucilkan di lembah.
Ali yang berangkat di malam hari mencari yang berani melakukan
transaksi, meski kerap orang-orang itu bersembunyi. Setelah dirobek
plakat pemboikotan itu dengan titah Tuhan, melangkah mereka keluar
lembah. Menurut Ali: “Ketika kami keluar dari lembah, satu-satunya yang
kami miliki, adalah pakaian yang melekat di tubuh kami.”
Sungguh, kefakiran telah melekat pada dirimu sejak lama, duhai Imam kami.
Lalu datang saat di malam hijrah, ketika
Sang Nabi dengan merdu bersabda kepadanya: “Hai Ali, sesungguhnya
Quraisy telah bersepakat untuk makar terhadapku dan membunuhku. Dan
telah datang ketentuan dari Tuhanku, agar aku hijrah dari kampung
kaumku. Berbaringlah engkau di atas tikarku, selimutkan jubah Hadhrami
ini menutupimu. Sehingga dengan diammu tersembunyi dari mereka jejakku.
Apa pendapatmu, apa yang akan kaulakukan?”
Ali bertanya: “Apakah engkau akan
selamat dengan tidurku di peraduanmu ya Rasullah?” Nabi membenarkan. Ali
tersenyum. Ia tertawa bahagia. Bergegas telungkup ia sujud tepekur ke
bumi. Bersyukur kepada Allah atas berita keselamatan putra pamannya.
Kemudian ia berkata: “Berangkatlah sesuai perintah yang datang kepadamu.
Biarlah jadi tebusan bagimu, pendengaran dan penglihatanku, dan yang
paling dalam dari sanubariku.” [2]
Malam itu telah terjadi transaksi suci.
Seorang hamba menyerahkan seluruh hidupnya untuk keimanan. Seseorang
yang berubah, dari manusia menjadi supra manusia. Dari yang sempurna
menuju tingkat paripurna. Ali malam itu bukan lagi Ali yang sama. Ia
siap menjadi tumbal pengganti, asalkan keselamatan senantiasa menyertai
sang Nabi. Untuk peristiwa inilah turun ayat Al-Baqarah 207: “dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari ridha Allah...”
Tidurkah Ali di malam itu? Bagaimana
mungkin itu terjadi. Sedangkan ia sadar benar para pembunuh
mengintainya. Tapi ia diam tak bergerak. Adakah kepasrahan dan kesediaan
berkorban yang jauh lebih besar dari ini?
Simak bagaimana kitab tafsir
menyandingkan pengorbanannya dengan dua malaikat suci. Alkisah, Allah
Ta’ala memanggil malaikat Jibrail dan Mikail: “Sungguh aku telah
persaudarakan kamu berdua dan aku jadikan ajal seorang di antara kamu
lebih panjang dari yang lainnya. Siapakah yang ingin memberikan umurnya
hingga saudaranya hidup lebih lama?” Keduanya memilih hidup lebih lama
dan tak ada yang memberikan bagi saudaranya. Suara kudus kembali
terdengar: “Tidakkah kalian seperti Ali putra Abi Thalib. Aku
persaudarakan ia dengan Muhammad. Dan Ali tidur di pembaringan Muhammad.
Ia korbankan dirinya dan memberikan hidupnya untuk saudaranya. Turunlah
kalian berdua ke bumi. Jaga ia dari musuh-musuhnya.” Maka Jibrail pun
turun ke bumi. Dan Ali sedang berbaring di peraduan Nabi. Di dekat kaki
Ali Jibrail berkata: “Selamat, selamat bagi orang sepertimu wahai putra
Abu Thalib. Allah banggakan engkau di hadapan para malaikat.” [3]
Sebagaimana Tuhan banggakan ia di hadapan para malaikat, langkah-langkah Ali bertebaran di setiap halaman sejarah Islam.
Ia dipukuli dini hari itu. Diikat di
kursi. Diinterogasi. Orang-orang Quraisy yang tertipu melampiaskan
amukan, kesal dan amarah mereka pada Ali. Ali menerimanya tanpa
mengaduh. Setiap pukulan itu membahagiakannya, karena langkah kaki Nabi
semakin jauh. Seolah ia berkata: “Pukul aku lebih lama, biar sang Nabi
melangkah lebih jauh lagi...”
Kelelahan, mereka biarkan Ali.
“Tinggalkan dia,” kata seorang di antara mereka. “Ali tidak akan pernah
memberitahukan, di mana Muhammad berada...mari kita kejar, mungkin masih
belum jauh dia dari jarak pandang kita.”
...
Tak lama setelah itu. Perbendaharaan
kota Makkah yang diamanatkan Nabi telah Ali kembalikan pada pemiliknya.
Bila Muhammad Rasulullah Saw adalah al-amin penduduk Makkah, kepercayaan
penduduk Makkah, maka Ali adalah al-amin Rasulullah Saw. Kepada Ali-lah
Nabi menitipkan seluruh amanah yang dititipkan orang kepadanya, karena
kepergiannya ke Madinah dirahasiakan dari siapa pun...kecuali Ali, orang
yang dipercayainya.
Kini Ali memikul tugas baru. Ia
berangkat menuju Madinah, dengan keluarga Nabi yang tersisa. Sayyidah
Fathimah di antaranya. Ketika rombongan itu berangkat meninggalkan
Makkah, sekelompok pemuda Quraisy mengejarnya. Tapi Ali menyambut mereka
dengan pedangnya. Kali ini, Ali tidak terikat. Ia bersiap melepaskan
pedang dari sarungnya. Tak ada yang menghalanginya untuk mengayunkannya.
Tapi Ali tak pernah melepaskan pukulan pertama, dalam seluruh sejarah
peperangannya. Ia menanti biar musuh yang pertama mendekatinya. Tetapi,
melihat Ali siap di depan, tak seorang pun musuh berani mendekatinya.
Telah termasyhur bagi mereka, keberanian dan kepiawaian Ali di medan
laga. Waktu itu, duapuluh dua tahun usianya. Ia berada di puncak
kemudaannya. Orang-orang Quraisy itu lari menjauhinya...
Maka dimulailah langkah panjang Ali.
Menempuh perjalanan tanpa henti. Lebih dari empatratus enampuluh
kilometer berjalan kaki. Padang pasir yang gersang, terik mentari panas
yang membakar, dingin sahara yang mencengkeram...
Sandal Ali telah lama habis di
perjalanan itu. Kini ia berjalan dengan telapak kakinya menjejak tanah.
Tapi biarlah, biarlah ia melangkah lebih lama lagi. Biar kami melihat
jejak kakinya. Ketika perlahan-lahan telapaknya melepuh, biarlah ia
melangkah lebih lama lagi. Ketika kulitnya mengelupas, biarkan ia
melangkah lebih lama lagi. Ketika darah mengalir, biarkan ia melangkah
lebih lama lagi. Ketika kaki-kaki itu membengkak...biarlah ia melangkah
lebih lama lagi...
Biarkan ia datang pada Nabi dengan seluruh luka dan peluh itu...
Dan di Quba, memang Nabi menantinya
dengan penuh harap. Mengapa Sang Nabi menunggu di Quba, 15 kilometer
dari Yatsrib? Mengapa ia tidak bersegera memasukinya, padahal penduduk
Yatsrib begitu bersemangat menyambutnya? Sehingga mereka naik ke atas
pohon kurma, melihat kapan Nabi akan bergerak menuju ke rumah-rumah
mereka..
Tidak.
Nabi Saw tidak ingin memasuki Madinah, tanpa Ali di sampingnya. Empat
hari ia menunggu Ali. Dan ketika Ali datang dengan peluh dan luka itu.
Nabi mendudukan Ali. Muhammad bin Abdillah Shallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam, kemudian membasuh kedua tangan sucinya dengan air liurnya, dan
ia membasuh luka Ali itu, lagi dan lagi. Dahulu air liur Nabi menjadi
minuman pertamanya. Kini ia menjadi penyembuh lukanya, dan kelak
penerang matanya... Ali dan air liur Nabi, tak terpisahkan selamanya...
Dua langkah lagi di Quba
Dua langkah lagi di Ummu Salamah
Dua langkah lagi di medan-medan pertempuran
Tiada langkah di pusara Rasul Saw dan Sayyidah
Tiada langkah di Bashrah, Kufah, dan Nahrawan, Shiifin, Jamal
Dua langkah lagi di malam terakhir...
[Miftah F. Rakhmat]
Referensi:
[1] Elal al-Syarayi’ Syaikh Shaduq halaman 56; Bihar al-Anwar ‘Allamah Majlisi 8:35; Kasyf al-Ghummah al-Arbili 1:82; Rawdhat al-wa’izhin al-Nisyaburi 67
[2] Musnad Ahmad 1:331, Tafsir al-Thabari 9: 140, Mustadrak al-Hakim 3:4
[3] Usud al-Ghabah 4:25, Syawahid al-Tanzil 1:98, Mustadrak al-Hakim 3:132, Tafsir al-Kabir al-Fakhr al-Razi 5: 204, Tafsir al-Thabari 9:140, Yanabi’ al-Mawaddah 92, Musnad Ahmad 1:33
(ABNA/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email