Begitu banyak Mukmin dan ulama serta wali Tuhan tidak tergoncang dan terpukul walaupun berhadapan dengan kematian orang-orang yang dicintainya dan menenangkan dirinya dengan kesabaran dan ketabahan. Mereka memandang bahwa orang-orang yang meninggalkannya merupakan amanat Tuhan yang diambil kembali oleh-Nya.
Hujjatul Islam Mustafa Azadiyan, anggota komisi ilmiah lembaga penelitian ilmu-ilmu dan budaya Islam, dalam wawancara dengan wartawan Shabestan dalam menjawab suatu pertanyaan bahwa apa sikap dan cara berpikir yang diambil supaya tetap tenang ketika berbenturan dengan kesulitan dan kesedihan?, mengatakan bahwa untuk dapat meredam kesulitan dan menanggungnya, beberapa langkah-langkah yang sangat sederhana dapat dilakukan supaya dengan mudah menjalani kehidupan dengan beragam kesulitan yang menyertainya.
Ia melanjutkan, “Langkah pertama, manusia harus memiliki pandangan global dan universal terhadap alam dunia dan berupaya memahami makna kehidupan dan dunia secara teoritis. Jika kepercayaan seseorang terkait dengan dunia, manusia, dan kehidupan sesuai dengan ajaran agama, maka ia telah mengambil langkah pertama di dalam tahapan ini, dengan demikian ia dapat menghadapi beragam kesulitannya dengan lebih mudah. Oleh karena itu, jika pandangan dunia, pengenalan sejati manusia, dan keberartian kehidupan dunia dapat dipahami dengan baik dan pengenalan semakin bertambah dalam bidang ini, maka ia lebih kuat tampil berhadapan dengan kesulitan-kesulitan dan kesedihan-kesedihan.”
Ia mengungkapkan, “Dikatakan telah mencapai pengenalan itu jika manusia dalam pandangannya sendiri terhadap dunia, Tuhan, alam akhirat (alam setelah dunia) dan…mempercayai bahwa ia memiliki kewajiban di dunia ini dan alam ini senantiasa bersama dengan kebaikan, keburukan, panas, dan dingin, oleh karena itu ia harus sadar dan mengetahui bahwa kesulitan dan penderitaan dunia niscaya berlalu. Dan pasca pengenalan ini, ia mampu meredam penderitaan dan kesulitannya sendiri, bahkan dengan tenang menikmatinya.”
“Salah satu wacana yang saat ini sangat populer dan sayang sekali sebagian cendekiawan materialis mengupasnya dan menafsirkannya secara tidak tepat adalah tentang kebermaknaan dunia; mereka memandang bahwa dunia yang kita hidup di dalamnya tidaklah memiliki tujuan. Bentuk penafsiran ini akan menyebabkan nihilisme dalam kehidupan individual. Berhaluan dengan pemikiran ini adalah pandangan dunia tauhid dan keagamaan yang menegaskan bahwa kehidupan dunia ini memiliki tujuan yang jelas, karena itu mereka mampu tabah, sabar, dan tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan hidup,” jelasnya.
“Langkah kedua dalam menghadapi kesulitan dan kesedihan secara praktis, melakukan safar untuk berziarah ke makam-makam suci para Imam, waliullah, dan ulama rabbani, membaca al-Quran, mendirikan salat dua rakaat, berdoa, bertawassul kepada Ahlulbait Nabi saw,” tambahnya.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email