Pesan Rahbar

Home » » Benarkah Asma’ Binti Abu Bakar Melakukan Nikah Mut’ah? Berikut Ringkasannya

Benarkah Asma’ Binti Abu Bakar Melakukan Nikah Mut’ah? Berikut Ringkasannya

Written By Unknown on Monday 26 October 2015 | 19:50:00


Mari Kita Lihat Website Wahabi dengan Judul BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH (http://jaser-leonheart.blogspot.co.id/2012/04/bukti-ibnu-zubair-bukan-anak-hasil.html):
____________________________________

Location : Home » Syubhat » BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH

BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH
Oleh : Al-Akh Dodi ElHasyimi -Hafizhahullah-


PERMASALAHAN PERTAMA :

Dalam statement-nya para Rofidhoh memaparkan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti bahwa Asma' Binti Abu Bakar dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah Hingga Melahirkan Anak yang bernama Abdullah bin Zubair, argument/riwayat2 yang mereka kemukakan diantaranya adalah :

Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu'"

Referensi : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".
Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;
"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : "AKU TIDAK MELAHIRKANMU KECUALI MELALUI NIKAH MUT'AH".

Referensi : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.


JAWABAN :
Kebohongan, kesalahan dan kebathilan riwayat2 yg dibawakan oleh para Rofidhoh (terutama yg bersumber dan diambil dari keterangan ulama mereka yg bernama Al Fakikiy dalam kitabnya Al Mut’ah hal 56-57 dan diikuti oleh para rofidhoh di Indonesia) dapat dijawab dengan 4 point :
PERCAKAPAN YANG TERJADI ANTARA IBNU ABBAS DAN IBNU ZUBAIR SERTA UCAPAN ASMA’ MENGENAI سطوع المجامر (berhamburannya bara api) ITU BERKAITAN DENGAN MUT’AH HAJI ( HAJI TAMATTU’) DAN SAMA SEKALI TIDAK BERKAITAN DENGAN MUT’AH NISA’.
PENJELASAN : Hadis سطوع المجامر (berhamburannya bara api) yg diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya hal 344-345 mengenai Asma’ dg jalur periwayatan yg berbeda-beda :

ثنا عبيدة بن حميد عن يزيد بن أبي زياد ، عن مجاهد ، عن أسماء بنت أبي بكر قالت : حججنا مع رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فأمرنا ، فجعلناها عمرة ، فأحللنا كل الإِحلال حتى سطعت المجامر بين الرجال والنساء

“Kami berhaji bersama Rasulullah SAW, dst sampe akhir hadist….”

Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan :

: ثنا محمد بن الفضيل : ثنا يزيد - يعني ابن زياد - عن مجاهد قال : قال عبد الله بن الزبير : « أفردوا بالحج ودعوا قول هذا » - يعني ابن عباس رضي الله عنهما - فقال ابن عباس : ألا تسأل أمك عن هذا » فأرسل إليها فقالت : « صدق ابن عباس ، بمثل الحديث الأول

“Berhajilah dengan cara Ifrod dan tinggalkanlah pendapat orang ini-yakni Ibnu Abbas- Maka Ibnu Abbas menjawab, dst sampe akhir hadist…..”

JADI DAPAT DIKETAHUI BAHWA KALIMAT ITU BERKAITAN DENGAN MUT’AH HAJI DAN SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN MUT’AH NISA’.

SEMUA ORANG YANG PERNAH MEMBACA KITAB2 SEJARAH DAN TARIKH AKAN MENEMUKAN BAHWA SY ZUBAIR RA MENIKAHI ASMA’ BINTI ABU BAKAR RA DALAM KEADAAN PERAWAN DAN SETELAH WAFATNYA SY ZUBAIR RA(SUAMINYA) BELIAU TIDAK PERNAH MENIKAH LAGI.

ASMA’ RA MENGANDUNG ABDULLAH BIN ZUBAIR DAN MELAHIRKANNYA DI QUBA’, DAN INILAH KELAHIRAN PERTAMA YG PERNAH TERJADI DALAM ISLAM SEBAGAIMANA KETERANGAN2 YG TELAH MASYHUR KITA KETAHUI, SEDANGKAN MUT’AH TIDAKLAH TERJADI KECUALI SETELAH HIJRAH DAN SEBELUM PERANG KHOIBAR. MAKA PERNIKAHAN ANTARA ASMA’ DENGAN ZUBAIR RADHIYALLAHU ANHUMA ADALAH PERNIKAHAN DAIM ( PERMANEN). KARENA SEANDAINYA MEREKA BERDUA MELAKUKAN MUT’AH, MAKA MEREKA WAJIB MEMISAHKAN MUT’AH INI DAN MEMBEBASKAN JALINANNYA. SEBAGAIMANA SABDA RASULULLAH SAW :

قال النبي صلى اللّه عليه وسلم : « فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيلها »

Nabi SAW bersabda : “ maka barangsiapa di sisinya terdapat wanita2 (yg diakadi mut’ah) maka lepaskanlah akad mut’ah itu.


Hadist ini dapat dilihat di kitab :

(صحيح مسلم بشرح النووي 5/1/185 سنن أبي داود 1/478 -497 ، مسند الإمام أحمد 3/404 -405 سنن ابن ماجه 1/632 مصنف عبدالرزاق 7/504 الدارمي 1/2/140(

Ini point yg terpenting !!! mari kita meruju’ kepada kitab Muhadhorotu Al Udaba’ wa Muhawarotu Al Syu’aro ( محاضرات الأدباء ومحاورات الشعراء) juz 3 hal 214 karya Ar Roghib Al Ashbihani yg sering digunakan berhujah oleh para Rofidhoh untuk melancarkan tuduhan mengenai status Ibnu Zubair (Abdullah bin Zubair) cucu Sy Abu Bakar RA sebagai anak hasil mut’ah, karena dalam kitab inilah yang secara shorih (jelas) menyatakan hal ini :

إن عبد الله بن الزبير عيّر ابن عباس بتحليله المتعة ، فقال له ابن عباس : سل أمك كيف سطعت المجامر بينها وبين أبيك . فسألها ، فقالت : والله ما ولدتك إلا بالمتعة .

“Sesungguhnya Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah. Ibnu Abbas kemudian berkata kepadanya : "Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : "Demi Allah Aku tidak melahirkanmu kecuali dengan cara mut'ah.”

TERNYATA JELAS SEKALI BAHWA KISAH CERITA DI DALAM KITAB INI SAMA SEKALI TIDAK ADA SANADNYA, TERPUTUS HANYA BEGITU SAJA, SEBAGAIMANA HIKAYAT2 LAIN YANG SERING DITULIS OLEH PARA AHLI SATRA YANG SERING DIGUNAKAN SEBAGAI CARA UNTUK MENJATUHKAN DAN MEMFITNAH, TANPA MEMANDANG APAKAH RIWAYAT YANG DITULIS ITU SHOHIH ATAU KADZDZAB…!!

PERTANYAAN : APAKAH HIKAYAT YANG TERPUTUS SANADNYA SEPERTI INI BISA DIGUNAKAN UNTUK MENETAPKAN HUKUM SYARIAT SECARA HAKIKI, SERTA DIGUNAKAN UNTUK MENENTANG RIWAYAT2 HADIS YANG DISANDARKAN KEPADA KITAB2 HADIS YANG MU’TAMAD ( DAPAT DIJADIKAN PEDOMAN ) ???

TENTU JAWABNYA : TIDAK, SAMA SEKALI TIDAK BISA…!!!

Sebenarnya dari judul kitabnya saja kita bisa menebak dan mengetahui, bahwa kitab ini hanyalah karya sastra dari para sastrawan yang sama sekali tidak bermaksud untuk menjustifikasi akan kebenaran atau tidaknya suatu masalah dari sisi hukum syariat, nama kitabnya adalah Muhadhorotu Al Udaba’ wa Muhawarotu Al Syu’aro ( محاضرات الأدباء ومحاورات الشعراء) yang artinya “KUMPULAN PARA AHLI SASTRA DAN PERCAKAPAN PARA AHLI SYAIR”, namun untuk mengelabui orang awwam, para Rofidhoh dalam menyebutkan kitab ini hanya memutilasi lafadz depannya saja, yaitu Al Muhadhorot, sehingga seolah-olah bahwa kitab ini adalah kitab yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk berhujah dan mengambil hukum…!!!!


PENUTUP :
Celaan yang selalu ditampakkan oleh para Rofidhoh (terutama Al Fakiki dalam kitabnya itu) mengenai percakapan yang terjadi antara Ibnu Abbas yang berisi penghinaan dan penjatuhan martabat dari Ibnu Zubair itu sama halnya dengan membohongkan riwayat dari Ibnu Abbas yang terdapat dalam hadis shohih bahwasanya beliau menyifati Ibnu Zubair sebagai : “AFIFUL ISLAM (orang yg bisa menjaga diri dan menjauhkan diri dari hal2 yang tidak baik yang pernah ditemui dalam Islam), QORI-UL QURAN (orang yang hafal dan banyak membaca Al Quran), AYAHNYA ADALAH HAWARY (sahabat istimewa yang membantu dan menolong) RASULULLAH SAW, IBUNYA ADALAH PUTRI ASH SHIDDIQ, NENEKNYA ADALAH SHOFIYAH BIBI RASULULLAH SAW, BIBI DARI AYAHNYA KHODIJAH BINTI KHUWAILID. Bisa dilihat di Shohih Al Bukhori :

صحيح البخاري - (ج 14 / ص 226)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّهُ قَالَ حِينَ وَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ابْنِ الزُّبَيْرِ قُلْتُ أَبُوهُ الزُّبَيْرُ وَأُمُّهُ أَسْمَاءُ وَخَالَتُهُ عَائِشَةُ وَجَدُّهُ أَبُو بَكْرٍ وَجَدَّتُهُ صَفِيَّةُ

صحيح البخاري - (ج 14 / ص 227)
قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَكَانَ بَيْنَهُمَا شَيْءٌ فَغَدَوْتُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ
فَقُلْتُ أَتُرِيدُ أَنْ تُقَاتِلَ ابْنَ الزُّبَيْرِ فَتُحِلَّ حَرَمَ اللَّهِ فَقَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ ابْنَ الزُّبَيْرِ وَبَنِي أُمَيَّةَ مُحِلِّينَ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُحِلُّهُ أَبَدًا قَالَ قَالَ النَّاسُ بَايِعْ لِابْنِ الزُّبَيْرِ فَقُلْتُ وَأَيْنَ بِهَذَا الْأَمْرِ عَنْهُ أَمَّا أَبُوهُ فَحَوَارِيُّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ الزُّبَيْرَ وَأَمَّا جَدُّهُ فَصَاحِبُ الْغَارِ يُرِيدُ أَبَا بَكْرٍ وَأُمُّهُ فَذَاتُ النِّطَاقِ يُرِيدُ أَسْمَاءَ وَأَمَّا خَالَتُهُ فَأُمُّ الْمُؤْمِنِينَ يُرِيدُ عَائِشَةَ وَأَمَّا عَمَّتُهُ فَزَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ خَدِيجَةَ وَأَمَّا عَمَّةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَدَّتُهُ يُرِيدُ صَفِيَّةَ ثُمَّ عَفِيفٌ فِي الْإِسْلَامِ قَارِئٌ لِلْقُرْآنِ وَاللَّهِ إِنْ وَصَلُونِي وَصَلُونِي مِنْ قَرِيبٍ وَإِنْ رَبُّونِي رَبُّونِي أَكْفَاءٌ كِرَامٌ فَآثَرَ التُّوَيْتَاتِ وَالْأُسَامَاتِ وَالْحُمَيْدَاتِ يُرِيدُ أَبْطُنًا مِنْ بَنِي أَسَدٍ بَنِي تُوَيْتٍ وَبَنِي أُسَامَةَ وَبَنِي أَسَدٍ إِنَّ ابْنَ أَبِي الْعَاصِ بَرَزَ يَمْشِي الْقُدَمِيَّةَ يَعْنِي عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ وَإِنَّهُ لَوَّى ذَنَبَهُ يَعْنِي ابْنَ الزُّبَيْرِ


PERMASALAHAN KEDUA :
Mengenai Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair yang Sering ditampilkan oleh Para Rofidhoh Untuk Menggulkan Kebolehan Mut’ah :

1. Dari Ayyub berkata :
"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan: 'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.
Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.

2. Dari Ibnu Abi Mulaikah :
Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".


JAWABAN :
Dari dua riwayat diatas para Rofidhoh seolah-olah ingin menampilkan bahwa dalam debat diatas, kebolehan mut’ah-lah- yang diwakili oleh pendapat sahabat Ibnu Abbas RA- yang diunggulkan, dengan ending (akhir) pembicaraan sebagaimana tersebut diatas. Tetapi ternyata, riwayat2 ini ADALAH HASIL MUTILASI DARI RIWAYAT YANG MASIH ADA KELANJUTANNYA. Mari kita lihat selengkapnya :

زاد المعاد - (ج 2 / ص 190)
وَقَالَ عَبْدُ الرّازِقِ حَدّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيّوبَ قَالَ قَالَ عُرْوَةُ لِابْنِ عَبّاسٍ أَلَا تَتّقِي اللّهَ تُرَخّصُ فِي الْمُتْعَةِ ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبّاسٍ : سَلْ أُمّك يَا عُرَيّةَ . فَقَالَ عُرْوَةُ : أُمّا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، فَلَمْ يَفْعَلَا ، فَقَالَ ابْنُ عَبّاسٍ : وَاَللّهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتّى يُعَذّبَكُمْ اللّهُ أُحَدّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَتُحَدّثُونَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ؟ فَقَالَ عُرْوَةُ : لَهُمَا أَعْلَمُ بِسُنّةِ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَأَتْبَعُ لَهَا مِنْك

Juga dapat dilihat riwayat yang lengkap disini :

الحاوى الكبير ـ الماوردى - دار الفكر - (ج 9 / ص 836)
وَنَاظَرَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَيْهَا مُنَاظَرَةً مَشْهُورَةً ، وَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ : أَهْلَكْتَ نَفْسَكَ ، قَالَ : وَمَا هُوَ يَا عُرْوَةُ ، قَالَ : تُفْتِي بِإِبَاحَةِ الْمُتْعَةِ ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ يَنْهَيَانِ عَنْهَا ، فَقَالَ : عَجِبْتُ مِنْكَ ، أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} وَتُخْبِرُنِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ، فَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ : إِنَّهُمَا أَعْلَمُ بِالسُّنَّةِ مِنْكَ فَسَكَتَ .

Jadi percakapan selengkapnya berbunyi :

Dari Ayyub berkata : "Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar. Maka Urwah menjawab : ”SESUNGGUHNYA MEREKA BERDUA ( ABU BAKAR DAN UMAR ) LEBIH MENGETAHUI SUNNAH ( NABI SAW ) DARIPADA DIRIMU. MAKA SANGGAHAN INI MEMBUAT IBNU ABBAS TERDIAM.”

JADI MUTILASI YANG DILAKUKAN PARA ROFIDHOH ADALAH PADA JAWABAN URWAH : ….”SESUNGGUHNYA MEREKA BERDUA ( ABU BAKAR DAN UMAR ) LEBIH MENGETAHUI SUNNAH ( NABI SAW ) DARIPADA DIRIMU. MAKA SANGGAHAN INI MEMBUAT IBNU ABBAS TERDIAM.”

MAKA DENGAN ADANYA RIWAYAT YANG LENGKAP, MAKA KITA AKAN MENGETAHUI ENDING (AKHIR) CERITA INI DENGAN SESUNGGUHNYA, YAITU TENTANG BENARNYA KEHAROMAN MUT’AH. JADI DARI SINI PULA TERBONGKARLAH KELICIKAN PARA ROFIDHOH DALAM BERHUJJAH…!!!

SEMOGA KETERANGAN YANG KAMI SAMPAIKAN DIATAS DAPAT BERMANFAAT…. WALLOHU A’ALAM, WALLOHU AL MUWAFFIQ ILA AQWAMI AL THORIQ.

Untuk para syi’ah dan lainnya yang tidak setuju serta tidak sependapat dengan tulisan kami diatas, silahkan dikomentari dibawah, mari kita diskusikan bersama…!!! Dengan syarat berbicara dengan dasar ilmiyah serta dikemukakan dengan menggunakan dalil dan hujjah, bukan berdebat diatas ludah…..Tafadhdhol !!!!!!
______________________

Demikian Hujjah dari Note Al-Akh Dodi ElHasyimi, Simak Dialog Lengkap Beliau Bersama Saudara-Saudara Ahlus Sunnah Lainnya dengan para kaum sesat agama syi'ah ----->DISINI<-----

_________________________________
Jawaban Syiah dalam hadis Ahlus Sunnah Sebagai berikut:

Sebelumnya kita lihat disini dalil menurut Al-Qur'an sbb:
Kedudukan Mut'ah halal menurut Al-Qur'an, Sedangkan Haram Menurut Umar bin Khattab. Apakah Umar itu Tuhan Yang menentukan Ayat-Ayat Allah Swt?

Allah Swt Berfirman dalam Al-Qur'an dalam 3 Ayat sbb:
3 Ayat Al-Qur'an Tentang Mut'ah, Al-Baqarah (2:241 dan 2:236) dan Al-Ahzab 33:49
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:

241.

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖحَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.

242.

كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ الَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.

243.

۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ الَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚإِنَّ الَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.

244.

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ الَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ الَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

245.

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ الَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚوَالَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

246.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ الَّهِ ۖقَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖقَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ الَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖفَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۗوَالَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.

247.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ الَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚقَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚقَالَ إِنَّ الَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖوَالَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚوَالَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

248.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَىٰ وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ ۚإِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.

249.

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ الَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚفَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۚفَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚقَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو الَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ الَّهِ ۗوَالَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."

250.

 وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".

2. Al Baqarah Ayat 236 Dan Terjemah:

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

_____*****____
Turunnya ayat ini menurut riwayat didahului oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat dari kaum Ansar yang menikahi seorang perempuan. Dalam akad nikahnya tidak ditentukan jumlah mahar. Dan sebelum ia bercampur, istrinya tersebut telah ditalaknya. Setelah turun ayat ini maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memberikan mutah (hadiah) kepada bekas istrinya itu meskipun hanya berupa pakaian tutup kepala.

Seorang suami yang menjatuhkan talak pada istrinya sebelum bercampur dan sebelum menentukan jumlah maharnya ia tidak dibebani membayar mahar tetapi ia diwajibkan memberi mutah, yaitu pemberian untuk menimbang-rasa bekas istrinya. Besar kecilnya jumlah pemberian tersebut tergantung pada suami, yang kaya sesuai dengan kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar yang disanggupinya. Pemberian mutah tersebut merupakan suatu kewajiban atas laki-laki yang mau berbuat baik.

3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

_________________________________________

Diantara sahabat wanita yang meyakini kehalalan Nikah Mut’ah adalah Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] dan dia adalah Ibu dari Abdullah bin Zubair. Sebagian tabiin pernah datang kepadanya menanyakan tentang Nikah Mut’ah maka ia menjawab “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut pembahasannya:

حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل و محمد بن صالح بن الوليد النرسي قالا : ثنا أبو حفص عمرو بن علي قال : ثنا أبو داود ثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن المتعة فقالت : فعلناها على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Shaalih bin Waliid An Nursiy keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ab Hafsh ‘Amru bin Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata “kami menemui Asma’ binti Abu Bakar maka kami tanyakan kepadanya tentang Mut’ah maka ia berkata “kami telah melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/103 no 277].

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya:
1. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal anak seorang imam [Ahmad bin Hanbal] tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/295 no 3205]. Muhammad bin Shaalih bin Waliid tidak ditemukan biografinya.
2. ‘Amru bin ‘Aliy Al Fallaas Abu Hafsh seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/424 no 5081].
3. Abu Dawud adalah Sulaiman bin Dawud Ath Thayaalisiy seorang yang tsiqat hafizh, keliru dalam hadis-hadis [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550].
4. Syu’bah bin Hajjaaj seorang yang tsiqat hafizh mutqin, Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia amirul mukminin dalam hadis [Taqrib At Tahdzib 1/266 no 2790].
5 Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/530 no 6643].


‘Amru bin Aliy Al Fallaas dalam riwayatnya dari Abu Dawud Ath Thayalisiy memiliki mutaba’ah yaitu:
1. ‘Abdah bin ‘Abdullah Al Khuza’iy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dengan lafaz mut’ah. ‘Abdah bin ‘Abdullah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/369 no 4272].
2. Yunus bin Habiib Al Ashbahaaniy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341 dan Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy no 1731, dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Yunus bin Habiib seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 9/237 no 1000].
3. Mahmuud bin Ghailan Al Marwaziy sebagaimana disebutkan dalam Sunan Nasa’i 3/326 no 5540 dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Mahmuud bin Ghailan seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516].

Berikut riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang menyebutkan lafaz bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah:

حدثنا يونس قال حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن متعة النساء فقالت فعلناها على عهد النبي صلى الله عليه وسلم


Telah menceritakan kepada kami Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawuud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata kami menemui Asmaa’ binti Abi Bakar, maka kami menanyakan kepadanya tentang Nikah Mut’ah maka ia berkata “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Musnad Abu Dawud Ath Thayaalisiy no 1731].

Kedudukan hadis tersebut shahih. Mengenai Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy, Ahmad bin Hanbal menyatakan tidak ada masalah dengannya. Abu Hatim berkata “syaikh”. Nasa’iy berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib 10/123 no 251].

Abu Dawud Ath Thayaalisiy memang dinyatakan bahwa ia pernah keliru dalam sebagian hadisnya tetapi ia pada dasarnya seorang yang tsiqat hafizh dan disini termasuk riwayatnya dari Syu’bah dimana Yahya bin Ma’in berkata bahwa Abu Dawud lebih alim dari Ibnu Mahdiy dalam riwayat dari Syu’bah [Tarikh Ibnu Ma’in, riwayat Ad Darimiy 1/64 no 107]. Hanya saja jika ternukil penyelisihan dalam arti ia tafarrud dalam periwayatan dimana menyelisihi para perawi yang lebih tsiqat atau tsabit dari dirinya maka hal ini bisa menjadi illat [cacat] bagi lafaz yang tafarrud tersebut.

حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan keringanan untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberi keringanan tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan keringanan tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].

Hadis Muslim di atas juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 6/348 no 26991, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/77 no 202, Sunan Baihaqiy no 9153, Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dan Tarikh Ibnu Asakir 5/69 semuanya dengan jalan sanad Rauh bin ‘Ubadah dari Syu’bah dari Muslim Al Qurriy.

Rauh bin ‘Ubadah seorang yang tsiqat fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/211 no 1962]. Ternukil juga sebagian ulama yang sedikit membicarakannya seperti Ibnu Mahdiy yang membicarakannya karena kekeliruan dalam sanad hadis. Al Qawaririy yang tidak mau menceritakan hadis dari Rauh. Diriwayatkan dari Abu Hatim yang berkata “tidak dapat berhujjah dengannya”. Nasa’i berkata “tidak kuat” [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/409].

Tetapi hal ini tidaklah menjatuhkan kedudukannya. Dalam hal ini kami menukil ulama yang membicarakannya hanya untuk menunjukkan bahwa kedudukan Rauh bin ‘Ubadah tidaklah berbeda dengan kedudukan Abu Dawud Ath Thayaalisiy. Keduanya perawi yang sama-sama tsiqat dan ternukil sedikit kelemahan padanya.

Abu Dawud dalam hadis ini telah berselisih dengan Rauh bin ‘Ubadah. Abu Dawud menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah sedangkan Rauh bin ‘Ubadah menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji. Kemudian Muslim dalam Shahih-nya setelah mengutip hadis Rauh di atas ia menyebutkan hadis berikut:

وحدثناه ابن المثنى حدثنا عبدالرحمن ح وحدثناه ابن بشار حدثنا محمد ( يعني ابن جعفر ) جميعا عن شعبة بهذا الإسناد فأما عبدالرحمن ففي حديثه المتعة ولم يقل متعة الحج وأما ابن جعفر فقال قال شعبة قال مسلم لا أدري متعة الحج أو متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad yakni Ibnu Ja’far keduanya dari Syu’bah dengan sanad ini. Adapun ‘Abdurrahman dalam hadisnya disebutkan Mut’ah tanpa mengatakan Mut’ah Haji dan adapun Ibnu Ja’far mengatakan Syu’bah berkata Muslim berkata “aku tidak tahu apakah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].

Muhammad bin Ja’far [Ghundaar] adalah perawi yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].

Kedudukan riwayat Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah pada dasarnya lebih didahulukan dibanding riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy dan Rauh bin ‘Ubadah. Dan ternyata riwayat Muhammad bin Ja’far menyebutkan bahwa Muslim Al Qurriy ragu apakah itu Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah. Hal ini sebenarnya termasuk perkara musykil karena bagaimana bisa Muslim Al Qurriy yang menemui Asma’ dan bertanya kepadanya tentang Mut’ah menjadi ragu atau tidak tahu apakah Mut’ah tersebut adalah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah.

Sebagian para pengingkar demi menolak anggapan Asma’ binti Abu Bakar melakukan nikah mut’ah, maka mereka melemahkan riwayat Abu Dawud dari Syu’bah di atas dengan alasan telah menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdiy, Ghundaar dan Rauh bin ‘Ubadah yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah an nisaa’ [nikah mut’ah].

Hujjah ini bathil dan mengandung penyesatan halus karena dengan alasan yang sama riwayat Rauh bin ‘Ubadah [yang menyebutkan Mut’ah Haji] bisa juga dilemahkan karena menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdi, Ghundaar dan Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah haji.

Cara berhujjah seperti ini keliru. Riwayat Syu’bah hanya berselisih dengan riwayat Rauh bin ‘Ubadah. Adapun riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar yang menyebutkan lafaz Mut’ah saja, tidaklah berselisih secara makna dengan riwayat Syu’bah atau pun Rauh bin ‘Ubadah. Yang manapun yang benar diantara keduanya akan tetap sesuai dengan riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar.

Penyelesaian masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan riwayat Muslim Al Qurriy saja. Harus ada qarinah lain yang menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud Asma’ binti Abu Bakar tersebut apakah nikah Mut’ah atau Mut’ah haji. Terdapat riwayat shahih selain riwayat Muslim Al Qurriy bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah.

حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَال حدثنا هُشَيمٌ قَال أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْر عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، يَخْطُبُ وَهُوَ يُعَرِّضُ بِابْنِ عَبَّاسٍ، يَعِيبُ عَلَيْهِ قَوْلَهُ فِي الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْأَلُ أُمَّهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ صَدَقَ ابْنُ عَبَّاسٍ، قَدْ كَانَ ذَلِكَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا لَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ رِجَالًا مِنْ قُرَيْشٍ وُلِدُوا فِيهَا

Telah menceritakan kepada kami Shaalih bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Zubair berkhutbah dan ia mencela Ibnu ‘Abbas atas perkataannya tentang Mut’ah. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “tanyakanlah kepada Ibunya jika memang ia benar” maka ia bertanya kepadanya [Ibunya]. [Ibunya] berkata “Ibnu ‘Abbas benar, sungguh hal itu memang demikian”. Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ta’ala ‘anhuma] berkata “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya [nikah mut’ah]” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/24 no 4306].

Riwayat Ath Thahawiy di atas sanadnya jayyid. Para perawinya tsiqat dan shaduq berikut keterangan tentang mereka:
1. Shaalih bin ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Al Haarits Al Mishriy termasuk salah satu guru Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Mesir dan dia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/408 no 1790]. Dia termasuk guru Ibnu Khuzaimah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/77 no 149]. Dia juga termasuk guru Abu Awanah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Mustakhraj Abu Awanah 2/431 no 1737]. Pendapat yang rajih, ia seorang yang shaduq.
2. Sa’id bin Manshuur adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “termasuk orang yang memiliki keutamaan dan shaduq”. Ibnu Khirasy dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan tsiqat dan termasuk orang yang mutqin dan tsabit. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [At Tahdzib juz 4 no 148].
3. Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim telah memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979].
4. Abu Bisyr adalah Ja’far bin Iyaas perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, An Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 129]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan termasuk orang yang paling tsabit dalam riwayat Sa’id bin Jubair, Syu’bah melemahkannya dalam riwayat Habib bin Salim dan Mujahid” [At Taqrib 1/160 no 932].
5. Sa’id bin Jubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Ath Thabari berkata tsiqat imam hujjah kaum muslimin. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan faqih ahli ibadah memilik keutamaan dan wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 578].

Lafaz perkataan Ibnu Abbas “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya” menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah Nikah Mut’ah. Tetapi terdapat juga riwayat lain yang menguatkan bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji.

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا محمد بن فضيل قال ثنا يزيد يعنى بن أبى زياد عن مجاهد قال قال عبد الله بن الزبير أفردوا بالحج ودعوا قول هذا يعنى بن عباس فقال بن عباس ألا تسأل أمك عن هذا فأرسل إليها فقالت صدق بن عباس : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم حجاجا فأمرنا فجعلناها عمرة فحل لنا الحلال حتى سطعت المجامر بين النساء والرجال

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid yaitu bin Abi Ziyaad dari Mujahid yang berkata ‘Abdullah bin Zubair berkata “lakukanlah haji kalian dengan ifrad dan tinggalkanlah perkataan orang ini yaitu Ibnu ‘Abbaas”. Maka berkata Ibnu ‘Abbaas “tidakkah kami menanyakan kepada Ibumu mengenai hal ini”. Maka ia [Ibnu Zubair] mengutus seseorang kepada Ibunya, [Ibunya] berkata “benarlah Ibnu ‘Abbaas, kami keluar bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk melakukan haji, maka Beliau memerintahkan untuk menjadikannya Umrah maka menjadi halal bagi kami apa-apa yang halal hingga bertebaran bara api antara wanita dan pria [Musnad Ahmad 6/344 no 26962].

Hanya saja riwayat di atas sanadnya dhaif karena Yazid bin Abi Ziyaad. Yazid bin Abi Ziyaad Al Qurasyiy termasuk perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak hafizh”. Yahya bin Ma’in berkata “tidak kuat”. Al Ijliy berkata “ja’iz al hadits”. Abu Zur’ah berkata “layyin ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Abu Dawud berkata “tidak diketahui satu orangpun yang meninggalkan hadisnya tetapi selainnya lebih disukai daripadanya”. Ibnu Adiy berkata “orang syi’ah kufah yang dhaif ditulis hadisnya”. Ibnu Hibban berkata “shaduq kecuali ketika tua jelek dan berubah hafalannya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ahmad bin Shalih Al Mishriy berkata “tsiqat dan tidak membuatku heran perkataan yang membicarakannya”. An Nasa’iy berkata “tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 531]. Pendapat yang rajih Yazid bin Abi Ziyaad seorang yang dhaif tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar.

Kalau kita ingin menerapkan metode tarjih maka qarinah bahwa Mut’ah yang dimaksudkan Asma’ binti Abu Bakar adalah Nikah Mut’ah lebih kuat kedudukannya dibanding qarinah yang menunjukkan Mut’ah Haji. Tetapi kalau kita ingin menerapkan metode jamak maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis Mut’ah baik Nikah Mut’ah maupun Mut’ah Haji telah dilakukan dan diyakini kebolehannya oleh Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha]. Terdapat riwayat yang menjadi petunjuk bahwa perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mencakup kedua jenis Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji], berikut riwayatnya:

حدثنا حامد بن عمرو البكراوي حدثنا عبدالواحد ( يعني ابن زياد ) عن عاصم عن أبي نضرة قال كنت عند جابر بن عبدالله فأتاه آت فقال ابن عباس وابن الزبير اختلفا في المتعتين فقال جابر فعلناهما مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم نهانا عنهما عمر فلم نعد لهما

Telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar Al Bakraawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waahid yaitu Ibnu Ziyaad dari ‘Aashim dari Abi Nadhrah yang berkata aku berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah maka datanglah seseorang dan berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair telah berselisih tentang dua Mut’ah. Maka Jabir berkata “kami telah melakukannya keduanya bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian Umar melarang kami melakukan keduanya maka kami tidak melakukan keduanya” [Shahih Muslim 2/1022 no 1405].

Masih memungkinkan untuk dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang hukum kedua Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji] maka Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair bertanya kepada Ibunya [Asma’ binti Abu Bakar] dan Ia menyatakan bahwa kedua Mut’ah tersebut telah dilakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pendapat ini lebih baik karena menggabungkan semua riwayat yang ada di atas.


Kesimpulannya memang shahih Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] mengakui bolehnya nikah Mut’ah dimana ia bersaksi bahwa ia telah melakukan nikah Mut’ah di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
___________________________________

Tambahan Dari Saya:

Nikah Mut’ah jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman


Pertanyaan yang cukup menyentak dari ulama syiah adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.

tangisilah salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, Zubair bin Awwam, seorang sahabat yang terkenal keberaniannya, suami Asma’ binti Abu Bakar, khalifah pertama. Perkawinan mereka dilakukan melalui kawin mut’ah yang melahirkan Abdullah dan urwah bin Zubair. Juga banyak sahabat yang lain, sebagaimana tercatat dalam buku-buku tarikh Sunni kita. Mengapa anda tidak sekaligus mengkritik Rasulullah karena ‘mengizinkan’ perkawinan mut’ah tersebut dan mengapa Rasulullah SAWW tidak menangisinya? [1]

Mengenai kawin mut’ah, Umar melarangnya, tetapi ayat Al-Quran tidak dapat dibuang. Islam tidak mengajarkan kita untuk mengawini tiap wanita yang kita temui di jalan, kawin biasa, kawin sirri atau kawin mut’ah.


Pernahkah saudara menyaksikan kawin mut’ah di Iran?

Tanyailah Amien Rais atau Lukman Harun yang pernah berkunjung ke Iran. Atau Smith Alhadar, seorang pengamat Timur Tengah terkenal yang pernah mengelilingi Timur Tengah, seorang Sunni dari dulu sampai sekarang, yang pernah tinggal di Saudi Arabia maupun di Iran selama bertahun-tahun.

Apakah saudara-saudara telah menyelidiki berapa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin disini untuk satu bulan samapai tiga tahun? Sudahkah saudara-saudara memeriksa surat nikah mereka?

Seorang kawan menceritakan kepada saya bahwa ia diberi uang Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi. DIa mencari seorang pelacur dan ‘menasihatinya’ agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur lain untuk dikawin-kontrakkan kepadanya selama tiga bulan.


Tahukah saudara-saudara berapa banyak TKI kita yang diperkosa disana ?

Tanpa ditanya, seorang teman yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kerajaan Saudi Arabia mengatakan kepada saya bahwa bila para lelaki bisa hamil, maka jumlah kehamilan diluar nikah akan berlipat ganda.

Apakah saudara-saudara punya statistik berapa banyak ulama yang punya istri lebih dari sepuluh dan berapa banyak yang kawin sirri di Indonesia? berapa banyak yang kawin antar agama dan membagi anak-anak dalam dua bagian, sebagian mengikuti agama bapak sebagian mengikuti ibu? Apakah saudara-saudara juga punya statistik serupa dikalangan Syi’ah? Metode berpikir komparatif sangat dibutuhkan dalam berbagai cabang ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbandingan agama atau ilmu perbandingan mazhab.

Saudara-saudara menyatakan bahwa kawin mut’ah haram. Padahal ini jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman Umar. Kalau tidak setuju, kita bahas nanti dibagian lain. Tapi mampukah saudara mengatakan bahwa pelacuran dan lokalisasi pelacuran itu haram dalam Islam? Punyakah saudara-saudara statistik jumlah bayi, yang ayahnya entah berada dimana, yang dibungkus plastik dan dibuang ke selokan-selokan serta tempat-tempat sampah dan yang digugurkan di klinik-klinik yang resmi atau pun tidak, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ?

Mampukah saudar-saudara mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu haram dan dengan demikian melokalisasinya juga haram? Dan tahukah saudara-saudara bahwa pelacur-pelacur makin hari makin bertambah? Jangan-jangan saudara takut membuat fatwa yang mengharamkan pelacuran dan menutup lokalisasi tersebut?

Pelacuran tidak akan ada bila tidak ada sekelompok laki-laki ‘pencari seks’ yang hendak memenuhi naluri seks mereka.

Ataukah saudara-saudara takut jangan-jangan para ‘pencari seks’ memasuki jendela-jendela kita dan meperkosa istri dan anak-anak kita, sehingga saudara-saudara meras perlu menghalalkan lokalisasi tersebut? Bukankah berdiam diri dalam masalah ini sama dengan menghalalkan pelacuran, perzinaham dan lokalisasi ?

Say akhawatir saudara-saudara mengharamkannya karena mereka yang menjalankan mut’ah berhujjah dengan nash yang tidak terbantahkan. Sebaliknya menghalalkan pelacuran karena sudah jelas haramnya, meski pun beresiko anak yang lahir kelak tak akan pernah mengetahui bapaknya. Dan pelacuran juga menyulitkan untuk menjajaki, tracing, sumber penyakit kelamin. Kawin mut’ah ada masa iddah-nya, dan suaminya dikenal, sehingga sulit menyebarkan penyakit kelamin. Kalau pun ada, mudah dijajaki. Bukankah penyakit kelamin atau AIDS, terjadi karena menganti-ganti pasangan ?

Silahkan saudara-saudara mencukur jenggot dan kumis dan tinggal di tempat-tempat kost sekitar kampus lalu saksikan dengan mata kepala sendiri sexual behaviour, tingkah laku seks putra-putri saudara. Mungkin saudara-saudar akan pingsan waktu menyaksikan apa yang dilakukan oleh putra saudara-saudara yang tiap hari pulang ke rumah bak pangeran dan perjaka, serta putri bak perawan suci yang baru turun dari kahyangan. Mampukah kita mengucapkan istighfar dan membenarkan perzinahan sementara mengkambinghitamkan kawin mut’ah ?

Punyakah saudara-saudara statistik berapa banyak putra-putri kita yang berzinah, yang melakukan kawin sirri, atau kawin sembunyi-sembunyi ala Sunni atau kawin mut’ah ala Sunni? Sebagian besar mungkin akan menjawab bahwa mereka membaca artikel ‘Mut’ah, Sebuah Perkawinan Alternatif’ dalam sebuah koran ibu kota yang ditulis seorang tokoh Sunni.

Jangan sekali-kali berprasangka buruk, bahwa pemuda-pemuda kita adalah bodoh, lalu kawin mut’ah hanya karena dipengaruhi oleh orang Syi’ah.

Tahukah saudara-saudara berapa banyak tokoh dan pemuda Sunni kita yang kawin mut’ah ? Darimana mereka mendapat ‘fatwa’ bahwa mut’ah itu halal ?

Jangan menuduh Syi’ah sebagai scape goat, pemikul beban, sebagai ‘kucing hitam’, padahal Sunni sendiri yang mengeluarkan ‘fatwa’ dan kaum Sunni yang melakukan kawin mut’ah menurut versi Sunni sendiri sesuai dengan pandangan kritis.

Justru yang harus menjaga anak-anak gadisnya adalah kaum Syi’ah, bukan Sunni!

Referensi:
[1] Bacalah perdebatan antara Abdullah bin Abbas dan Ibnu Zubair: Ibn Abi’l-Hadid. Syarh Nahju’l-Balaghah, jilid 20, hal, 129-131.
____________________________________

Benarkah Nikah Mut’ah Tidak Dipraktekan Rasulullah saw dan Aimmah?

Seseorang mengirimkan e-mail dan bertanya: apakah Nabi dan Imam Ahlulbait mempraktikan nikah mutah? Benarkah tidak ada dalil yang kuat tentang nikah mutah, khususnya dari para Imam Ahlulbait? 

JAWABAN: Kami belum menemukan riwayat atau data sejarah tentang Rasulullah saw dan Aimmah melakukan nikah mut’ah. Meski tidak dipraktekan oleh Rasulullah saw dan Aimmah, tetapi masih bagian dari syariat Islam. 

Sejarah menyebutkan praktek nikah mut’ah, berdasarkan hadis dan riwayat dari Ahlusunnah dan Ahlulbait, bahwa terjadi ketika para sahabat jauh dari istri-istrinya dan dalam kondisi perang. Para sahabat yang tidak tahan saat melihat kaum wanita diizinkan oleh Rasulullah saw untuk menikahinya dengan dibatasi waktu. Nikah yang dibatasi waktu inilah yang disebut dengan nikah mut’ah dengan ketentuan rukun dan syarat ditunaikan. Sama dengan ketentuan dalam rukun dan syarat nikah daim, baik monogami maupun poligami.

Nikah mut’ah yang dilakukan sahabat dan diketahui atau dibolehkan oleh Rasulullah saw merupakan taqrir. Meski tidak dicontohkan, tetap masih ada pembenaran dari Rasulullah saw dengan tidak melarang sahabat melakukan nikah mut’ah dan tercantum pula dalam Al-Quran surah Annisa ayat 24. 

Memang tidak ada riwayat yang mengitsbatkan Nabi dan para Imam Ahlulbait melakukan nikah mut’ah. Tetapi hal itu bukan menjadikan dalil bahwa nikah mut’ah itu haram. Sebab tidak semua yang halal dilakukan oleh Nabi dan para Imam Ahlulbait seperti halnya Nabi belum pernah merasakan bawang. Lalu, apakah bawang itu haram? 

Memang ada sebagian orang yang memperkirakan bahwa sebagian Imam melakukan nikah mut’ah karena mereka istrinya lebih dari empat. Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra telah melakukan nikah mutah dengan seorang perempuan Kufah, Irak. Namun, belum ada keterangan yang menguatkan riwayat tersebut. Mungkin saja istri yang banyak itu budak wanita, bukan istri mutah. 

Perlu diketahui, nikah mutah tidak semudah yang dikira oleh orang-orang yang anti Syiah. Dalam fikih mazhab Syiah terdapat syarat dan rukun yang perlu diketahui, dilaksanakan, dan konsekuensi syariatnya.
Beberapa ketentuan nikah mutah, yaitu aqad harus dengan bahasa Arab disebutkan mahar dan zaman (waktu); kalau mahar atas keinginan dan keridhaan wanita; nikah mutah tak ada paksaan (hukum dasarnya mubah, tapi bisa jadi makruh, haram, mustahab/sunah); kalau seorang gadis wajib izin walinya (ayahnya atau kakeknya); tidak boleh dengan perempuan pelacur. 

Kalau membuahkan anak maka anaknya sah nasab ke ayahnya dan menjadi tanggungan ayahnya dari sisi nafkah dan pewarisan; tidak saling mewarisi antara suami dan istri kecuali disepakati dari aqad nikah masalah adanya hal semacam pewarisan. 

Suami tidak ada kewajiban menafkahi kecuali kalau disyaratkan dalam aqad nikah untuk memberikan semacam nafkah; istri mut’ah adalah istri resmi dan berlaku hukum suami istri.
Setelah selesai masa nikah (waktu) istri harus iddah dua kali haid (kalau hendak menikah lagi) dan sebelum habis masa haid tidak boleh menikah. 

Sama dengan nikah permanen (daim), nikah mutah juga ada dalilnya yang terdapat pada surah Annisa ayat 24:
“…. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka. Berikanlah kepada mereka maharnya (sebagai suatu kewajiban).” 

Mufasir Al-Fakhru al-Razi menerangkan bahwa: ayat (Annisa ayat 24) ini khusus tentang nikah mutah karena alasan berikut: “Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat ini iIâ ajalin musammâ (sampai waktu yang ditentukan). Tidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijma tentang kebenaran qiraatnya.” 

Dari Imran bin Hushayn: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhnya dan Nabi Muhammad saw tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia.”(Musnad Ahmad 4: 436). 

Imran bin Hushayn berkata: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Tidak turun ayat sesudahnya yang menasakhnya dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak pernah melarangnya. Kemudian seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak hatinya.” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, Kitab al-Tafsir, 7:24). 

Al-Hakam ditanya tentang surat Annisa ayat 24: “Apakah sudah mansukh?” Ia menjawab: “Tidak.” Lalu ia mengutip ucapan Ali: “Sekiranya Umar tidak melarang mutah, tidak akan ada yang berzinah kecuali orang yang jahat (celaka).” (Tafsir al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi 5:16). 

Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mutah dan Ibn Abbas ra memerintahkannya. Kami melakukan mutah (pada masa) bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar bin Khaththab ra memerintah, pernah berkhotbah: Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini dan sungguh Al-Quran adalah Al-Quran ini. Sesungguhnya ada dua mutah yang ada pada zaman Rasulullah saw, yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama mutah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai watu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua adalah mutah haji (haji tamattu).” (Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab nikah mutah, Al-Durr 3:487;Al-Fakhr 9:54, Al-Qasimi 5:1192). 

Dari hadis tersebut bahwa nikah mut’ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab. Mungkin karena posisi Umar menjadi penguasa sehingga bisa membuat kebijakan baru dengan mengharamkannya. Meski diharamkan oleh Umar, nash al-Quran dan hadis tidak terhapus karena kedudukannya lebih kuat dari pada fatwa politik khalifah. 

Kalau menelusuri sejarah sahabat diketahui bahwa Abdullah bin Zubair dan Urwah bin Zubair adalah anak hasil nikah mutah antara Zubair bin Awwam dengan Asma binti Abu Bakar. Silakan baca buku Mazhab Kelima karya Prof Muhammad Husain T (penerbit Nur Al-Huda, 2013) bagian lampiran 2: mut’ah (pernikahan temporer) halaman 295. 

O.Hashem dalam buku Menjawab Seminar Sehari tentang Syiah menjelaskan banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun. 

Ia juga bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mutah ala Wahabi. Dia mencari seorang perempuan yang bisa diajak “main ranjang” dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. 

Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan perempuan itu. Ketika ia datang kembali ia akan disuguhkan perempuan nakal yang lain untuk dikawin kontrak selama tiga bulan. 

Menurut Hashem, nikah yang disebutkan tidak masuk dalam kategori mutah. Orang-orang Arab menyebutnya misyar(nikah untuk diceraikan kalau sudah tidak diperlukan) dan ada dalam mazhab Wahabi. 

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa nikah mut’ah masih bagian dari syariat Islam. Meski tidak dicontohkan atau dipraktekan pelaksanaannya oleh Rasulullah saw dan Aimmah, masih bisa dilakukan oleh umat Islam dengan mengacu pada ketentuan dan rukun yang didasarkan pada syariat Islam yang kini masuk dalam kajian ilmu fikih.
Di Indonesia, karena hukumnya belum mendukung pada nikah mut’ah maka alangkah baiknya tidak dilakukan oleh umat Islam. Mengikuti ketentuan hukum di Indonesia, bagi yang ingin menambah istri bisa melakukan nikah daim ta’adud (poligami). Tentu dengan ketentuan dan rukun yang harus dipenuhi pula.
Daripada melakukan ibadah atau praktek beragama yang akan menuai kecaman orang yang belum paham, lebih baik menghindar dari masalah. Syariat Islam bukan sekadar nikah mut’ah, masih banyak syariat Islam lainnya yang perlu diwujudkan dan dipraktekan. Seperti menghormati perbedaan mazhab, mengentaskan kemiskinan, dan membantu kaum dhuafa.[]
___________________________________

MENURUT SUNNI WAHABI-ASMA’ BINTI ABUBAKAR , ADALAH WANITA PEZINA!!.. 
08.15 Hersen De Dios Romero 
Kalau nika mut’ah ada yang menghukumkan sebagai haram , maka ASMA’ BINTI ABUBAKAR sebagai pezina dan melahirkan anak zinaASMA’ BINTI ABUBAKAR NIKAH MUTAH DAN MELAHIRKAN 2 ANAK KESAKSIAN MUSLIM DAN ABU DAWUD(1) Muslim meriwayatkan haji mut’ah dan nikah mut’ah dalam 2 versi:
(a) Dari Syu’bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :“Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut’ah haji. Beliau menjawab:’Boleh’. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab:’Rasul membolehkannya’.”
(b) Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan “mut’ah haji”, melainkan “mut’ah” saja. Menurut Ibnu Ja’far dari Syu’bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :”Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut’ah haji atau nikah mut’ah”.[Sahih Muslim, Jilid 1, Subbab “mut’ah haji”].
(2) Riwayat versi kedua dari Muslim tersebut diperkuat juga dengan riwayat dalam Musnad Abu Dawud, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu’bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan:“Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma’ binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut’ah. Dijawab olehnya:’Kami melakukannya di zaman Rasul’.”
PERDEBATAN IBNU ABBAS DENGAN URWAH DAN ABDULLAH BIN ZUBAIR
(1) Ayyub berkata :“Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :’Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut’ah?’. Ibnu Abbas menjawab:’Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah’. Kemudian Urwah mengatakan:’Abubakar dan Umar tidak melakukannya’. Ibnu Abbas menjawab:’Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu.[Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, Jilid 1, Hlm 213].
Dalam hadits ini, kata “mut’ah” adalah “nikah mut’ah”. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.[Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, Jilid 6, Hlm 404].
(2) Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair :“Adapun tentang mut’ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma’, tentang selendang ‘Ausajah”. Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma’) berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.[Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, Jilid 20, Hlm 130]
(3) Dari Ibnu Abi Mulaikah:Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas:”Orang-orang mendurhakaimu”. Ibnu Abbas menanyakan:”Apa sebabnya”. Berkata Urwah: ”Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut’ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya”.Ibnu Abbas menghardik: ”Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar”.[Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, Jilid 20, Hlm 130][Lihat juga Musnad Ahmad, Jilid1, Hlm 337].
(4) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :“Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut’ah. Kemudian Jabir berkata: ”Kami pernah melakukan kedua jenis mut’ah tersebut (mut’ah haji dan nikah mut’ah) bersama Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi”.[Sahih Muslim, Jilid 1, Bab “Nikah Mut’ah”]
(5) Dari Abu Nadhrah, dia berkata:“Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut’ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : ‘Dahulu aku pernah melakukan nikah mut’ah bersama Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan:’Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut’ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu’”[Sahih Muslim, Jilid 1, Subbab “Masalah kawin Mut’ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh”].
(6) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut’ah.Ibnu Abbas kemudian berkata; “Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu”. Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : “Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut’ah”.[Ar-Raghib, dalam “Al-Muhadharat”, Jilid 2, Hlm. 94].
(7) Pada riwayat tersebut di atas, pada riwayat Muslim, Ibnu Abbas berkata :“Demi Allah, nikah mut’ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa”. Lalu Abdullah bin Zubair menimpali: “Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya”.[Sahih Muslim, Jilid 4, Hlm 133].
PERNYATAAN IBNU ABBAS LAINNYA
Ibnu Abbas berkata: “Perapian pertama yang menyala dalam mut’ah adalah perapian keluarga Zubair”[Ibn Abdu Rabbih, dalam “Iqdu Al-Farid”, Jilid 4, Hlm 414].
Catatan: “perapian yang menyala” adalah kiasan arab yang berarti “bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri”. Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang “satha’at al-majamir (perapian yang menyala)” ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.[Lihat Musnad Ahmad, Jilid 6, Hlm 348-349].
KESIMPULAN:
(1) Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma’ dan Zubair melakukan nikah mut’ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh 
(a) Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan 
(b) Urwah ataupun 
(c) Abdullah bin Zubair, juga 
(d) pernyataan Asma’ sendiri.
(2) Masih banyak referensi lainnya yang mendukung uraian di atas seperti: 
(a) Abu Umar, dalam “Al-’Ilm”, Jilid 2, Hlm 196; 
(b) Thabari, dalam “Jami’ Al-Bayan”, Jilid 2, Hlm. 239. dll.

__________________________________

Debat Sahabat tentang Nikah Mut'ah 
Posted by Admin

Feb 08 Bukti-bukti Asma' dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah
hingga Melahirkan Anak


I. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya dan Abu Dawud Thayalisi dalam Musnad-nya.

Dari Syu'bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :
"Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut'ah haji. Beliau menjawab :'Boleh'. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab :"Rasul membolehkannya'."

Dan riwayat tersebut ada dua versi.

Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan "mut'ah haji", melainkan "mut'ah" saja. Dan menurut Ibnu Ja'far dari Syu'bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :"Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut'ah haji atau nikah mut'ah".
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "mut'ah haji".

Hal ini diperkuat juga dengan riwayat pada Musnad Abu Dawud Thayalisi, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu'bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan : "Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma' binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut'ah. Dijawab olehnya : 'Kami melakukannya di zaman Rasul'. "
Ref : Musnad Abu Dawud Thayalisi , juz 1, hal. 309.


II. Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair maupun Abdullah bin Zubair

a) Dari Ayyub berkata :
"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.
Ref : Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.

Dalam hadits ini, kata "mut'ah" adalah "nikah mut'ah". Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.
Ref. : Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404

Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair : "Adapun tentang mut'ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma', tentang selendang 'Ausajah". Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma') berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.
Ref. : Ibn Abil Hadid, dalam "Syarh Nahjul Balaghah", jilid 20, hal. 130.

Dari Ibnu Abi Mulaikah : Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".

Lihat juga :
a. Musnad Ahmad, juz 1, hal. 337.

b. Juga riwayat dari Shohih Muslim, juz 1, bab "Nikah Mut'ah"sebagai berikut :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata : "Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut'ah. Kemudian Jabir berkata :"Kami pernah melakukan kedua jenis mut'ah tersebut (mut'ah haji dan nikah mut'ah) BERSAMA Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi".

b) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu' "
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".

c) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab :"Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut'ah".
Ref : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.

d) Pada riwayat Muslim :
Pada riwayat tersebut Ibnu Abbas berkata : "Demi Allah, nikah mut'ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa". Lalu Abdullah bin Zubair berkata :"Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya".
Ref : Shohih Muslim, juz 4, hal. 133.


III. Pernyataan Ibnu Abbas di saat yang lain (bukan saat berdebat)

Ibnu Abbas berkata :"Perapian pertama yang menyala dalam mut'ah adalah perapian keluarga Zubair".
Ref : Ibn Abdu Rabbih, dalam "Iqdu Al-Farid", juz 4, hal. 414.

"perapian yang menyala" adalah kiasan arab yang berarti "bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri". Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.

Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang "satha'at al-majamir (perapian yang menyala)" ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
Lihat : Musnad Ahmad, Jilid 6, hal. 348/349.


Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma' dan Zubair melakukan nikah mut'ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan Urwah ataupun Abdullah bin Zubair, juga pernyataan Asma' sendiri.

Dan sebenarnya masih banyak referensi lainnya yang mendukung, seperti : 1. Abu Umar, dalam "Al-'Ilm", juz 2, hal. 196. 2. Thabari, dalam "Jami' Al-Bayan", juz 2, hal. 239. dll.


Dan sampai detik ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah bahwa Asma' dan Zubair menikah dengan cara SELAIN nikah mut'ah.
_________________________________

NIKAH MUT‘AH DALAM ISLAM 
 
Nikah mut'ah disepakati adanya, tetapi tidak disepakati mengenai masih berlakunya. Sebagian ummat Islam meyakininya bahwa nikah mut'ah itu masih berlaku seperti halnya syari'ah-syari'ah yang lainnya. Tetapi sebagiannya beranggapan bahwa nikah mut'ah itu telah dihapus hukumnya (mansûkh). Terjadinya perbedaan ini karena 'Umar bin Al-Khaththâb telah melarangnya pada masa kekuasaannya. 
 
Nikah mut'ah telah disyari'ahkan Allah dan Rasûl-Nya dan diamalkan oleh kaum muslim pada zamannya saw hingga beliau wafat, kemudian mereka mengamalkan setelahnya pada zaman Abû Bakr sampai beliau meninggal, lalu setelahnya 'Umar berkuasa dan mereka terus mengamalkannya hingga dia melarangnya dengan ucapannya di atas minbar, "Ada dua mut'ah yang terjadi di zaman Rasûlullâh dan aku melarang keduanya dan aku akan menjatuhkan hukuman bagi orang yang melakukan keduanya: mut'atul hajji dan mut'aun nisâ`." 
 
Larangan sahabat dan ulama abaikan saja karena tidak ada kaitannya dengan syari'ah Allah dan Rasûl-Nya, dan buat kita cukuplah Al-Qurãn Al-Karîm sebagai dalil dalam kebolehannya, yaitu ayat ke-24 sûrah Al-Nisâ` dan sunnah Rasûlullâh saw. Apa yang dihalalkan Nabi saw halal sampai hari kiamat dan apa yang diharamkannya haram sampai hari kiamat.
 
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْحَلَالِ وَ الْحَرَامِ فَقَالَ حَلَالُ مُحَمَّدٍ حَلَالٌ أَبَداً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَ حَرَامُهُ حَرَامٌ أَبَداً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يَكُونُ غَيْرُهُ وَ لَا يَجِي‏ءُ غَيْرُهُ. وَ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ ع مَا أَحَدٌ ابْتَدَعَ بِدْعَةً إِلَّا تَرَكَ بِهَا سُنَّةً 
 
Dari Zurârah berkata: Saya telah bertanya kepada Abû 'Abdillâh as tentang halal dan haram, maka beliau berkata, "Halal Muhammad adalah halal selamanya sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram selamanya sampai hari kiamat, tidak terjadi yang lainnya dan tidak datang yang selainnya." Dan Dia berkata, "'Ali as telah berkata, 'Seseorang tidak mengadakan suatu bid'ah melainkan dengannya dia tinggalkan satu sunnah.'" 
 
 
Terhadap nikah mut'ah sebagian orang suka menyebutnya nikah kontrak, semua macam pernikahan hakikatnya kontrak, nikah permanen kontraknya sam-pai mati salah satunya bahkan dapat dipersingkat waktunya dengan thalâk atau khulû'. 
 
Jika suami mati misalnya, istri yang ditinggal-kan sudah bukan istrinya lagi, dia tinggal menunggu masa 'iddah dan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, setelah itu dia bisa menikah lagi dengan lelaki lain yang dicintainya kapan saja. 
 
 
Perbedaan Nikah Permanen dan Nikah Mut'ah 
1. Dalam nikah permanen, masa berlaku pernikahan tidak disebutkan sedang dalam nikah mut'ah mesti disebutkan, misalnya untuk sekian hari, sekian bulan, sekian tahun atau sekian puluh tahun. 
2. Nikah permanen bisa diperpendek dengan cara menjatuhkan thalâq dari suami atau khulû' dari istri sedang nikah mut'ah bisa diperpanjang setelah masa berlakunya habis. 
3. Dalam nikah permanen ada thalâq, dan jika istri di-thalâq suaminya sebanyak tiga kali, maka dia tidak bisa kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dia telah menikah dengan lelaki lain dan bila laki-laki itu telah menceraikannya serta masa 'iddah-nya telah habis, maka suami yang sebelumnya bisa kembali lagi. Dan bila suaminya itu telah menceraikannya sebanyak sembilan kali, maka dia tidak bisa kembali lagi untuk selama-lamanya. Dalam nikah mut'ah tidak ada thalâq, maka dia bisa nikah mut'ah dengan mantan istri-nya berapa kali yang tidak terbatas. 
4. Dalam nikah permanen ada pewarisan antara suami dan istri jika salah satunya meninggal sebagaimana dalam Al-Quran, bila istri mati, suami dapat setengah, jika istri punya anak suami dapat seperempat. Bila suami mati, istri dapat seperempat, jika suami punya anak istri dapat seperdelapan. 
5. Dalam nikah permanen, jumlah istri dibatasi sampai empat orang istri sedang dalam nikah mut'ah tidak terbatas. 
6. Dalam nikah permanen tentang hubungan suami-istri dan nafkah tidak disyaratkan sedang dalam nikah mut'ah bisa disyaratkan untuk tidak melakukan hubungan suami-istri (jimâ') dan ti-dak memberi nafkah. 
7. Dalam nikah permanen, istri apabila diceraikan wajib ber-'iddah tiga kali haid sedang dalam nikah mut'ah jika telah habis masanya, istri wajib 'iddah satu kali haid. 
8. Dalam nikah permanen istri yang dicerai ketika dalam masa 'iddah-nya wajib dinafkahi sedang dalam nikah mut'ah tidak wajib. 
9. Dalam nikah permanen bagi lelaki yang beristri lebih dari satu wajib berlaku adil dalam qismah dan nafqah (kilir dan belanja) sedang dalam nikah mut'ah hal itu tidak mengikat. 
 
 
Dalil-dalil Nikah Mut'ah
 
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيْضَةً وَ لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْضِ الْفَرِيْضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا 
 
Maka jika kamu nikahi secara mut‘ah dari mereka (sampai waktu tertentu), berikan kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban, dan tidak mengapa buat kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakan-nya setelah menentukan mahar. Sesungguhnya Allah ma-ha mengetahui lagi maha bijaksana. 
 
Dalam Syarh Muslim oleh Al-Nawâwi disebutkan bahwa Ibnu Mas'ud membacanya Famastamta'tum bihi minhunna ilâ ajalin (Maka jika kamu menikahi mereka secara mut'ah sampai suatu waktu). Dalam kitab Tafsir Al-Kabîr dan Al-Kasysyâf disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbâs, Ubayy bin Ka'ab, Sa'îd bin Jubair dan Al-Sudi membaca ayat tersebut sebagai berikut:
 
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ... 
 
Maka yang kamu nikahi secara mut‘ah dari mereka sampai waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya…
 
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لاَ جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ 
 
Dari Abû Bashîr berkata: Saya bertanya kepada Abû Ja'far as tentang mut'ah. Maka beliau berkata, "Telah turun (dalilnya) dalam Al-Quran, Maka mut'ah yang kalian lakukan dengan mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai kewajiban, dan tidaklah mengapa atas kamu terhadap apa yang kamu telah saling merelakannya setelah kewajiban (menentukan mahar itu)."
 
 عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُفْعَلُ عَلَى عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ رَسُولِ اللَّهِ ص 
 
Dari Al-Zuhri dari 'Urwah bin Al-Zubair ber-kata: Ibnu 'Abbâs telah berkata, "Adalah nikah mut'ah dilaksanakan pada zaman Imâmul Muttaqîn Rasûlullâh saw."
 
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص أَيُّ رَجُلٍ تَمَتَّعَ بِامْرَأَةٍ مَا بَيْنَهُمَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ أَحَبَّا أَنْ يَزْدَادَا ازْدَادَا وَ إِنْ أَحَبَّا أَنْ يَتَتَارَكَا تَتَارَكَا 
 
Dari Salamah bin Al-Akwa' berkata: Rasûlullâh saw telah berkata, "Lelaki yang mana saja yang melakukan nikah mut'ah dengan seorang perempuan dengan waktu di antara mereka berdua tiga hari, maka jika mereka suka menambah, mereka manambah dan apabila mereka ingin meninggalkan, mereka meninggalkan."
 
وَ عَنْ شُعْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ فَسَأَلْنَاهَا عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَتْ فَعَلْنَاهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ص 
 
Dan dari Syu'bah bin Muslim berkata: Saya datang ke Asmâ` putri Abû Bakr, lalu kami bertanya ke-padanya tentang mut'ah, maka dia berkata, "Kami melakukannya di zaman Rasûlullâh saw."
 
وَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ص وَ أَبِي بَكْرٍ وَ قَالَ مَا زِلْنَا نَتَمَتَّعُ حَتَّى نَهَى عَنْهَا عُمَرُ 
 
Dan dari Abû Nadhrah dari Jâbir berkata, "Kami melakukan nikah mut'ah bersama Rasûlullâh saw dan Abû Bakr." Dan dia berkata, "Senantiasa kami melakukan nikah mut'ah sampai 'Umar melarangnya." Pernikahan macam ini halal bagi orang yang memahami hukum-hukumnya, dan haram bagi orang yang tidak mengetahuinya.
 
وَ قَالَ الرِّضَا عَلَيْهِ السَّلاََمُ : الْمُتْعَةُ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِمَنْ عَرَفَهَا وَ هِيَ حَرَامٌ عَلَى مَنْ جَهِلَهَا 
 
Dan Al-Ridhâ as berkata, "Mut'ah itu tidak halal kecuali bagi orang yang memahaminya, dan ia itu haram atas orang yang tidak memahaminya." 
 
Nikah mut'ah telah disepakati adanya, tetapi setelah 'Umar bin Al-Khaththâb melarangnya, maka terjadi ikhtilâf (perbedaan pendapat, ada yang pro dan ada yang kontra) hingga sekarang ini, maka ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan.
 
 عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ 
 
Dari Abû Bashîr berkata: Saya bertanya kepada Abû Ja'far as tentang mut'ah, maka beliau berkata, "Telah turun ayatnya di dalam Al-Quran, Apabila kamu mela-kukan nikah mut'ah dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban, dan ti-dak ada dosa bagi kamu apabila kamu saling merelakannya setelah kewajiban."
 
عَنْ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ الْمُتْعَةُ نَزَلَ بِهَا الْقُرْآنُ وَ جَرَتْ بِهَا السُّنَّةُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ص 
 
Dari Abû Maryam dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Nikah mut'ah itu, Al-Quran telah turun dengannya, dan sunnah dari Rasûlullâh saw berjalan dengannya."
 
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَنِيفَةَ يَسْأَلُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ عَنْ أَيِّ الْمُتْعَتَيْنِ تَسْأَلُ قَالَ سَأَلْتُكَ عَنْ مُتْعَةِ الْحَجِّ فَأَنْبِئْنِي عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ أَ حَقٌّ هِيَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ أَ مَا تَقْرَأُ كِتَابَ اللَّهِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَ اللَّهِ لَكَأَنَّهَا آيَةٌ لَمْ أَقْرَأْهَا قَطُّ 
 
Dari 'Abdurrahmân bin Abû 'Abdillâh berkata: Saya telah mendengar Abû Hanîfah bertanya kepada Abû 'Abdillâh tentang mut'ah, lalu beliau menjawab, "Mut'ah yang mana yang kamu tanyakan?" Dia berkata, "Saya bertanya kepadamu mengenai mut'ah haji, maka kabarkan kepadaku tentang mut'ah perempuan (juga), apakah benar ia." Beliau berkata, "Subhânallâh, tidakkah kamu membaca Kitab Allah, Apabila kamu melakukan ni-kah mut'ah dengan mereka, maka berikanlah kepada me-reka maharnya sebagai suatu kewajiban." Abû Hanîfah berkata, "Demi Allah, sungguh seakan-akan ia itu ayat yang belum pernah saya baca."
 
عَنِ الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانَ عَنِ الرِّضَا ع فِي كِتَابِهِ إِلَى الْمَأْمُونِ مَحْضُ الْإِسْلَامِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِلَى أَنْ قَالَ وَ تَحْلِيلُ الْمُتْعَتَيْنِ اللَّذَيْنِ أَنْزَلَهُمَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَ سَنَّهُمَا رَسُولُ اللَّهِ ص مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَ مُتْعَةِ الْحَجِّ 
 
Dari Al-Fadhl bin Syâdzân dari Al-Ridhâ as da-lam suratnya kepada Al-Ma`mûn, "Yang benar-benar dari ajaran Islâm adalah kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah—sampai beliau mengatakan---dan menghalalkan dua mut'ah yang Allah turunkan di dalam Kitab-Nya dan Rasûlullâh saw men-sunnah-kannya, yaitu mut'atun nisâ` (nikah mut'ah) dan mut'atul hajj (haji tamattu')."
 
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ص إِنَّهُمْ غَزَوْا مَعَهُ فَأَحَلَّ لَهُمُ الْمُتْعَةَ وَ لَمْ يُحَرِّمْهَا وَ كَانَ عَلِيٌّ ع يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ ابْنُ الْخَطَّابِ يَعْنِي عُمَرَ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ وَ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ هَؤُلَاءِ يَكْفُرُونَ بِهَا وَ رَسُولُ اللَّهِ ص أَحَلَّهَا وَ لَمْ يُحَرِّمْهَا 
 
Dari Muhammad bin Muslim dari Abû Ja'far as berkata: Jâbir bin 'Abdullâh berkata dari Rasûlullâh saw, sesungguhnya mereka berperang bersama beliau, maka dia menghalalkan mut'ah bagi mereka dan tidak mengharamkannya, dan adalah 'Ali as berkata, "Kalaulah tidak mendahuluiku putra Al-Khaththâb yakni 'Umar, tentu tidak akan ada orang yang berzina selain orang yang celaka." Dan adalah Ibnu 'Abbâs membaca, Maka jika kamu menikahi mereka secara mut'ah sampai waktu ter-tentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan mereka ini mengkufurinya se-dang Rasûlullâh saw menghalalkannya dan dia tidak mengharamkannya." 
 
 
Mut'ah Terjadi Dengan Dua Perkara
 
 عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى
 
Dari Zurârah dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Tidak terjadi nikah mut'ah selain dengan dua perkara: Waktu tertentu dan mahar tertentu."
 
عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ أَنْ تَقُولَ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطَ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً الْحَدِيثَ 
 
Dari Samâ'ah dari Abû Bashîr berkata, "Mesti kamu ucapkan padanya syarat-syarat ini: Aku nikahi kamu se-cara mut'ah selama sekian hari dengan sekian dirham."
 
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ الْفَضْلِ الْهَاشِمِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ مَهْرٌ مَعْلُومٌ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ 
 
Dari Ismâ'îl bin Al-Fadhl Al-Hâsyimi berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh tentang nikah mut'ah, maka beliau berkata, "(Dengan) mahar tertentu sampai waktu tertentu." 
 
 
Rasûlullâh saw Melakukan Mut'ah
 
وَ رَوَى الْفَضْلُ الشَّيْبَانِيُّ بِإِسْنَادِهِ إِلَى الْبَاقِرِ ع أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَطَاءٍ الْمَكِّيَّ سَأَلَهُ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَ إِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ الْآيَةَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص تَزَوَّجَ بِالْحُرَّةِ مُتْعَةً فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ بَعْضُ نِسَائِهِ فَاتَّهَمَتْهُ بِالْفَاحِشَةِ فَقَالَ إِنَّهُ لِي حَلَالٌ إِنَّهُ نِكَاحٌ بِأَجَلٍ فَاكْتُمِيهِ فَأَطْلَعَتْ عَلَيْهِ بَعْضَ نِسَائِهِ 
 
Dan Al-Fadhl Al-Syaibâni telah meriwayatkan dengan isnâd-nya ke Al-Bâqir as bahwa 'Abdullâh bin 'Athâ` Al-Makki bertanya kepadanya tentang firman-Nya yang maha tinggi, Dan (ingatlah) ketika Nabi mera-hasiakan—baca ayat selengkapnya, maka beliau ber-kata, "Sesungguhnya Rasûlullâh saw menikahi perempuan merdeka secara mut'ah, lalu salah seorang istrinya menge-tahuinya, maka dia menuduhnya melakukan perbuatan keji, lalu beliau berkata, 'Sesungguhnya hal itu halal bagiku, sesungguhnya ia itu nikah dengan waktu tertentu, maka raha-siakanlah hal itu.' Kemudian dia memberitahukannya kepada sebagian istri-istrinya."
 
قَالَ الصَّادِقُ ع إِنِّي لَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَمُوتَ وَ قَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ خَلَّةٌ مِنْ خِلَالِ رَسُولِ اللَّهِ ص لَمْ يَأْتِهَا فَقُلْتُ فَهَلْ تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ ص قَالَ نَعَمْ وَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَ إِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلى بَعْضِ أَزْواجِهِ حَدِيثاً إِلَى قَوْلِهِ ثَيِّباتٍ وَ أَبْكَاراً 
 
Al-Shâdiq as telah berkata, "Sesungguhnya aku benci bagi lelaki bahwa dia mati sedangkan masih ada salah satu perilaku dari perilaku Rasûlullâh saw yang belum dilaksanakan." Saya bertanya, "Apakah Rasulu-llah saw telah melakukan nikah mut'ah?" Beliau menja-wab, "Ya." Dan dia membaca ayat ini, Dan (ingatlah) ketika Nabi merahasiakan pembicaraan kepada sebagian istrinya—sampai firman-Nya—janda dan perawan." 
 
 
Banyak Sahabat Nabi saw Melakukan Nikah Mut'ah
 
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُفْعَلُ عَلَى عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ رَسُولِ اللَّهِ ص. 
 
Dari 'Urwah bin Al-Zubair berkata: Ibnu 'Abbâs telah berkata, "Adalah mut'ah itu dilakukan pada zaman imâmul muttaqîn (imam orang-orang yang ber-taqwâ), yaitu Rasûlullâh saw."
 
 عَنْ شُعْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ فَسَأَلْنَاهَا عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَتْ فَعَلْنَاهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ص 
 
Dari Syu'bah bin Muslim berkata: Saya masuk ke rumah Asmâ` binti Abû Bakr, lalu kami bertanya kepadanya tentang nikah mut'ah, maka dia berkata, "Kami melakukannya pada zaman Rasûlullâh saw."
 
عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ص وَ أَبِي بَكْرٍ وَ قَالَ مَا زِلْنَا نَتَمَتَّعُ حَتَّى نَهَى عَنْهَا عُمَرُ 
 
Dari Abû Nadhrah dari Jâbir berkata, "Kami me-lakukan nikah mut'ah bersama Rasûlullâh saw dan Abû Bakr." Dan dia berkata, "Kami senantiasa melaku-kan nikah mut'ah hingga 'Umar melarangnya." 
 
 
Anjuran Nikah Mut'ah
 
 عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ ص فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص قَدْ أَذِنَ لَكُمْ فَتَمَتَّعُوا يَعْنِي نِكَاحَ الْمُتْعَةِ 
 
Dari Jâbir berkata: Keluar juru bicara Rasûlullâh saw, lalu dia berkata, "Sesungguhnya Rasûlullâh saw te-lah mengizinkan bagi kalian, maka bersenang-senanglah yakni nikah mut'ah."
 
عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ سَأَلْتُهُ عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ إِنِّي لَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا وَ قَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ خَلَّةٌ مِنْ خِلَالِ رَسُولِ اللَّهِ ص لَمْ يَقْضِهَا 
 
Dari Bakr bin Muhammad dari Abû 'Abdillâh as dia berkata: Saya telah bertanya kepadanya tentang ni-kah mut'ah, maka beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tidak suka kepada lelaki muslim bahwa dia keluar dari du-nia sementara masih ada satu perilaku Rasûlullâh saw yang belum dilaksanakannya."
 
عَنْ صَالِحِ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ قُلْتُ لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ قَالَ إِنْ كَانَ يُرِيدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى وَ خِلَافاً عَلَى مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً وَ لَمْ يَمُدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ حَسَنَةً فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ بِذَلِكَ ذَنْباً فَإِذَا اغْتَسَلَ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرَّ مِنَ الْمَاءِ عَلَى شَعْرِهِ قُلْتُ بِعَدَدِ الشَّعْرِ قَالَ بِعَدَدِ الشَّعْرِ 
 
Dari Shâlih bin 'Uqbah dari ayahnya dari Abû Ja'far as dia bertanya, "Apakah orang yang melakukan mut'ah mendapat pahala?" Beliau menjawab, "Jika dengan itu dia menginginkan wajah (rela) Allah yang maha tinggi dan dengan maksud menyalahi orang yang menging-karinya, tentu dia tidak berkata-kata dengan satu kata pun melainkan Allah mencatatkan baginya satu kebaikan dengannya, dan tidak mengulurkan tangannya kepadanya me-lainkan Allah mancatatkan baginya satu kebaikan, jikalau dia mendekatinya, Allah mengampuninya satu dosa baginya dengan yang demikian itu, dan apabila dia mandi, Allah mengampuni dengan kadar air yang melalui rambutnya." Saya bertanya, "Dengan sejumlah helai rambut?" Beliau ber-kata, "Dengan sejumlah rambut."
 
قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ ع إِنَّ النَّبِيَّ ص لَمَّا أُسْرِيَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ قَالَ لَحِقَنِي جَبْرَئِيلُ ع فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ ص إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى يَقُولُ إِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِينَ مِنْ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ 
 
Abû Ja'far as berkata: Sesungguhnya Nabi saw tatkala di-isrâ`-kan dengannya ke langit beliau berka-ta, "Jabra`îl as menemuiku, lalu dia berkata, 'Wahai Muha-mmad saw, sesungguhnya Allah yang maha berkah dan ma-ha tinggi berfirman, Sesungguhnya Aku telah mengampuni orang-orang yang melakukan nikah mut'ah dari ummat-mu dari kalangan perempuan."
 
عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ إِنِّي لَأُحِبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَتَمَتَّعَ وَ لَوْ مَرَّةً وَ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمُعَةَ فِي جَمَاعَةٍ 
 
Dari Hisyâm dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Se-sungguhnya suka kepada laki-laki bahwa dia tidak keluar dari dunia hingga dia melakukan nikah mut'ah walaupun satu kali dan dia shalat Jumat dengan berjama'ah."
 
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ يُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُتْعَةَ وَ مَا أُحِبُّ لِلرَّجُلِ مِنْكُمْ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَتَزَوَّجَ الْمُتْعَةَ وَ لَوْ مَرَّةً 
 
Dari Hisyâm bin Sâlim dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Dianjurkan bagi laki-laki menikah mut'ah, dan aku tidak suka bagi lelaki dari kamu dia keluar dari dunia hingga menikah mut'ah walau satu kali."
 
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ قَالَ لِي تَمَتَّعْتَ قُلْتُ لَا قَالَ لَا تَخْرُجْ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى تُحْيِيَ السُّنَّةَ 
 
Dari Muhammad bin Muslim dari Abû 'Abdi-llâh as berkata: Beliau berkata kepadaku, "Kamu pernah nikah mut'ah?" Saya berkata, "Belum." Beliau berkata, "Janganlah kamu keluar dari dunia hingga kamu hidupkan sunnah."
 
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ الْفَضْلِ الْهَاشِمِيِّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع تَمَتَّعْتَ مُنْذُ خَرَجْتَ مِنْ أَهْلِكَ قُلْتُ لِكَثْرَةِ مَا مَعِيَ مِنَ الطَّرُوقَةِ أَغْنَانِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَ وَ إِنْ كُنْتَ مُسْتَغْنِياً فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ تُحْيِيَ سُنَّةَ رَسُولِ اللَّهِ ص 
 
Dari Ismâ'îl bin Al-Fadhl Al-Hâsyimi berkata: Abû 'Abdillâh as berkata kepadaku, "Apakah kamu me-lakukan mut'ah sejak keluar dari keluargamu?" Saya ber-kata, "Karena sering melakukan hubungan intim de-ngan istri yang ada padaku Allah telah mencukupiku darinya." Beliau berkata, "Dan kalaupun kamu merasa cu-kup, maka sesungguhnya aku ingin kamu menghidupkan su-nnah Rasûlullâh saw."
 
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فَقَالَ لِي يَا أَبَا مُحَمَّدٍ تَمَتَّعْتَ مُنْذُ خَرَجْتَ مِنْ أَهْلِكَ قُلْتُ لَا قَالَ وَ لِمَ قُلْتُ مَا مَعِيَ مِنَ النَّفَقَةِ يَقْصُرُ عَنْ ذَلِكَ قَالَ فَأَمَرَ لِي بِدِينَارٍ قَالَ أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ إِنْ صِرْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ حَتَّى تَفْعَلَ 
 
Dari Abû Bashîr berkata: Saya masuk kepada Abû 'Abdillâh as, lalu beliau berkata kepadaku, "Wahai Abû Muhammad, apakah kamu telah melakukan mut'ah se-jak kamu keluar dari istrimu?" Saya berkata, "Tidak." Beliau bertanya, "Mengapa?" Saya menjawab, "Saya tidak punya nafkah yang memadai untuk itu." Dia (Abû Ba-shîr) berkata, "Maka beliau menyuruhku dengan satu dinar, beliau berkata, "Aku sumpahi atas kamu jangan ka-mu kembali ke rumahmu hingga kamu melakukan."
 
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ مَا مِنْ رَجُلٍ تَمَتَّعَ ثُمَّ اغْتَسَلَ إِلَّا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ كُلِّ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْهُ سَبْعِينَ مَلَكاً يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَ يَلْعَنُونَ مُتَجَنِّبَهَا إِلَى أَنْ تَقُومَ السَّاعَةُ 
 
Dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Tidak seorang le-laki pun yang melakukan mut'ah, kemudian dia mandi, me-lainkan Allah jadikan dari setiap tetes air yang menetes da-rinya tujuh puluh malak yang memintakan ampun baginya sampai hari kiamat, dan mereka melaknat orang yang men-jauhinya (menganggap haram) hingga hari kiamat." 
 
 
Hiburan Orang yang Beriman
 
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيَنَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ لَهْوُ الْمُؤْمِنِ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ التَّمَتُّعِ بِالنِّسَاءِ وَ مُفَاكَهَةِ الْإِخْوَانِ وَ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ 
 
Dari Zurârah bin A'yan dari Abû Ja'far as berka-ta, "Hiburan orang yang beriman itu dalam tiga perkara: Nikah mut'ah dengan perempuan-perempuan, bercanda dengan saudara-saudara (seiman) dan shalat pada waktu malam."
 
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيَنَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ لَهْوُ الْمُؤْمِنِ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ التَّمَتُّعِ بِالنِّسَاءِ وَ مُفَاكَهَةِ الْإِخْوَانِ وَ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ 
 
Dari Zurârah bin A'yan dari Abû Ja'far as berkata, "Hiburan orang yang beriman itu dalam tiga perkara: Nikah mut'ah dengan perempuan-perempuan, bercanda de-ngan saudara-saudara (seiman) dan shalat pada waktu ma-lam." 
 
 
Kalimat Akad Nikah Mut'ah
 
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع كَيْفَ أَقُولُ لَهَا إِذَا خَلَوْتُ بِهَا قَالَ تَقُولُ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ لَا وَارِثَةً وَ لَا مَوْرُوثَةً كَذَا وَ كَذَا يَوْماً وَ إِنْ شِئْتَ كَذَا وَ كَذَا سَنَةً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً وَ تُسَمِّي (مِنَ الْأَجْرِ) مَا تَرَاضَيْتُمَا عَلَيْهِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيراً فَإِذَا قَالَتْ نَعَمْ فَقَدْ رَضِيَتْ وَ هِيَ امْرَأَتُكَ وَ أَنْتَ أَوْلَى النَّاسِ بِهَا الْحَدِيثَ 
 
Dari Abân bin Taghlib berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, bagaimana aku mengucapkannya jika aku menyendiri dengannya? Beliau berkata, "Kamu ucapkan: Aku menikahimu atas dasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya tidak ada yang mewariskan dan tidak ada yang diwarisi (tidak ada pewarisan) untuk waktu sekian hari dan jika kamu mau sekiat tahun dengan mahar sekian dirham dan kamu sebutkan (maharnya) yang telah kamu sepakati atasnya baik sedikit maupun banyak, maka bila dia mengucapkan, "Ya." Berarti dia rela dan dia menjadi istrimu, dan kamu menjadi orang yang paling berhak dengannya. "
 
عَنِ ابْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ ثَعْلَبَةَ قَالَ تَقُولُ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ نِكَاحاً غَيْرَ سِفَاحٍ وَ عَلَى أَنْ لَا تَرِثِينِي وَ لَا أَرِثَكِ كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً وَ عَلَى أَنَّ عَلَيْكِ الْعِدَّةَ 
 
Dari Ibnu Abî Nashr dari Tsa'labah berkata, "Kamu ucapkan: Aku menikahimu secara mut'ah atas (nama) Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya sebagai pernikahan bukan perzinaan, dan bahwa kamu tidak mewarisiku dan aku tidak mewarisimu selama sekian hari dengan mahar sekian dirham dan wajib bagimu 'iddah (jika telah habis masa pernikahannya)."
 
عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ قَالَ يَقُولُ أَتَزَوَّجُكِ كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً فَإِذَا مَضَتْ تِلْكَ الْأَيَّامُ كَانَ طَلَاقُهَا فِي شَرْطِهَا وَ لَا عِدَّةَ لَهَا عَلَيْكَ 
 
Dari Ibnu 'Umair dari Hisyâm bin Sâlim dia ber-kata: Saya bertanya, "Bagaimana seseorang menikah secara mut'ah?" Dia berkata, "Dia mengucapkan: Aku menikahimu sekian hari dengan mahar sekian dirham. Maka apabila hari-hari itu telah berlalu adalah ia thalaq-nya da-lam syaratnya dan tidak ada 'iddah baginya atasmu." Tidak ada 'iddah itu maksudnya tidak ada rujuk, dan kalau ingin memperpanjang waktu tinggal mela-kukan akad lagi dengan mahar yang baru.
 
عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ أَنْ يَقُولَ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطَ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً نِكَاحاً غَيْرَ سِفَاحٍ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ وَ عَلَى أَنْ لَا تَرِثِينِي وَ لَا أَرِثَكِ وَ عَلَى أَنْ تَعْتَدِّي خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ يَوْماً وَ قَالَ بَعْضُهُمْ حَيْضَةً 
 
Dari Samâ'ah dari Abû Bashîr berkata, "Mesti dia ucapkan syarat ini kepadanya: Aku menikahimu dengan nikah mut'ah selama sekian hari dengan mahar sekian dirham sebagai pernikahan bukan perzinaan di tas Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya dan bahwa kamu tidak mewarisiku dan aku tidak mewarisimu, dan bahwa kamu ber-'iddah empat puluh lima (45) hari.. Dan sebagian mereka mengatakan satu kali haid."
 
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ الْجَوَالِيقِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثٍ قَالَ قُلْتُ مَا أَقُولُ لَهَا قَالَ تَقُولُ لَهَا أَتَزَوَّجُكِ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ وَ اللَّهُ وَلِيِّي وَ وَلِيُّكِ كَذَا وَ كَذَا شَهْراً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً عَلَى أَنَّ لِيَ اللَّهَ عَلَيْكِ كَفِيلًا لَتَفِيِنَّ لِي وَ لَا أَقْسِمُ لَكِ وَ لَا أَطْلُبُ وَلَدَكِ وَ لَا عِدَّةَ لَكِ عَلَيَّ فَإِذَا مَضَى شَرْطُكِ فَلَا تَتَزَوَّجِي حَتَّى يَمْضِيَ لَكِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً وَ إِنْ حَدَثَ بِكِ وَلَدٌ فَأَعْلِمِينِي 
 
Dari Hisyâm bin Sâlim Al-Jawâlîqi dari Abû 'Abdillâh as dalam sebuah hadîts dia berkata: Saya ber-kata, apa yang mesti saya ucapkan kepadanya (dalam nikah mut'ah)? Beliau berkata, "Kamu ucapkan kepadanya: Aku menikahimu di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, dan Allah waliku dan walimu selama sekian bulan dengan mahar sekian dirham bahwa Allah pelindung bagiku atasmu, kamu sempurnakan bagiku, dan aku tidak membagi (waktu) bagimu dan tidak menuntut anakmu dan tidak ada 'iddah bagimu atasku, maka jika telah berlalu syaratmu, maka janganlah kamu menikah hingga berlalu bagimu empat puluh lima (45) hari, dan jika terjadi anak denganmu, maka bertahukan padaku." 
 
 
Akad Mut'ah yang Paling Singkat
 
 عن الحسن بن علي بن يقطين قال قال أبو الحسن موسى بن جعفر ع أدنى ما يجزي من القول أن يقول : أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً عَلَى كِتَابِ اللهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ بِكَذَا وَ كَذَا إِلَى كَذَا. 
 
Dari Al-Hasan bin 'Ali bin Yaqthîn berkata: Abû Al-Hasan Mûsâ bin Ja'far as, "Sekurang-kurangnya akad nikah mut'ah itu seseorang mengucapkan (kepada calon istrinya): Atazawwajuki mut'atan 'alâ kitâbillâhi wa sunnati nabiyyihi shallallâhu 'alaihi wa ãlih, bikadzâ wa kadzâ ilâ kadzâ. (Saya menikahimu atas dasar Kitab Allah dan su-nnah Nabi-Nya saw dengan mahar …sampai …)" 
 
Kadzâ wa kadzâ diganti dengan mahar yang telah ditentukan, dan ilâ kadzâ diganti dengan waktu yang disepakati, misalnya bilmahril ma'lûm ilal muddati ma'lûmah (dengan mahar yang telah ditentukan sampai masa yang telah ditentukan). 
 
 
Jika tidak Menyebutkan Waktu Berarti Nikah Dâ`im
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثٍ إِنْ سُمِّيَ الْأَجَلُ فَهُوَ مُتْعَةٌ وَ إِنْ لَمْ يُسَمَّ الْأَجَلُ فَهُوَ نِكَاحٌ بَاتٌّ 
 
Dari 'Abdullâh bin Bukair berkata: Abû 'Abdi-llâh as telah berkata dalam sebuah hadîts, "Jika disebutkan tempo, maka ia nikah mut'ah, dan bila tidak disebutkan tempo, maka nikah biasa (bukan nikah mut'ah)."
 
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ مُتْعَةً مَرَّةً مُبْهَمَةً قَالَ فَقَالَ ذَاكَ أَشَدُّ عَلَيْكَ تَرِثُهَا وَ تَرِثُكَ وَ لَا يَجُوزُ لَكَ أَنْ تُطَلِّقَهَا إِلَّا عَلَى طُهْرٍ وَ شَاهِدَيْنِ قُلْتُ أَصْلَحَكَ اللَّهُ فَكَيْفَ أَتَزَوَّجُهَا قَالَ أَيَّاماً مَعْدُودَةً بِشَيْ‏ءٍ مُسَمًّى مِقْدَارَ مَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ فَإِذَا مَضَتْ أَيَّامُهَا كَانَ طَلَاقُهَا فِي شَرْطِهَا وَ لَا نَفَقَةَ وَ لَا عِدَّةَ لَهَا عَلَيْكَ الْحَدِيثَ 
 
Dari Hisyâm bin Sâlim berkata: Saya telah ber-kata kepada Abû 'abdillâh as, "Saya menikahi permpu-an dengan pernikahan mut'ah satu kali yang samar." Beliau berkata, "Yang demikian itu menjadi sangat terikat bagimu, kamu mewarisinya dan dia mewarisimu, dan tidak boleh bagimu menceraikannya kecuali dalam keadaan dia suci (dari haid dan tidak digauli) dan ada dua orang saksi laki-laki." Saya bertanya, "Semoga Allah memaslahat-kanmu, bagaimana saya menikahinya?" Beliau berkata, "Beberapa hari yang ditentukan dengan mahar yang dise-butkan dengan sama-sama rela dengannya, maka bila telah berakhir hari-harinya itu thalaq-nya dalam syaratnya dan tidak ada nafkah dan tidak ada 'iddah baginya atasmu." 
 
 
Tidak Ada Batasan untuk Mahar dan Waktu
 
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ قَالَ حَلَالٌ وَ إِنَّهُ يُجْزِي فِيهِ الدِّرْهَمُ فَمَا فَوْقَهُ
 
Dari Abû Bashîr berkata: Saya telah bertanya kepada Abû Ja'far as tentang mut'atun nisâ`, beliau ber-kata, "Halal, dan sesungguhnya (maharnya) memadai satu dirham atau lebih."
 
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنِ الْأَحْوَلِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع أَدْنَى مَا يُتَزَوَّجُ بِهِ الْمُتْعَةُ قَالَ كَفٌّ مِنْ بُرٍّ 
 
Dari Abû Sa'îd Al-Ahwal berkata: Saya telah berkata kepada Abû 'Abdillâh as serendah-redahnya mahar yang digunakan dalam nikah mut'ah, beliau berkata, "Segenggam gandum."
 
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع كَمِ الْمَهْرُ يَعْنِي فِي الْمُتْعَةِ قَالَ مَا تَرَاضَيَا عَلَيْهِ إِلَى مَا شَاءَا مِنَ الْأَجَلِ 
 
Dari Muhammad bin Muslim berkata: Saya te-lah bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Berapakah ma-har yakni dalam nikah mut'ah?" Beliau berkata, "Apa yang telah disepakati oleh mereka berdua atasnya sampai waktu yang dikehendaki mereka berdua."
 
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عُمَرَ فَقَالَتْ إِنِّي زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي فَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُرْجَمَ فَأُخْبِرَ بِذَلِكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ع فَقَالَ كَيْفَ زَنَيْتِ قَالَتْ مَرَرْتُ بِالْبَادِيَةِ فَأَصَابَنِي عَطَشٌ شَدِيدٌ فَاسْتَسْقَيْتُ أَعْرَابِيّاً فَأَبَى أَنْ يَسْقِيَنِي إِلَّا أَنْ أُمَكِّنَهُ مِنْ نَفْسِي فَلَمَّا أَجْهَدَنِيَ الْعَطَشُ وَ خِفْتُ عَلَى نَفْسِي سَقَانِي فَأَمْكَنْتُهُ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ع تَزْوِيجٌ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ 
 
Dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Ada seorang perempuan datang ke 'Umar, lalu dia berkata, 'Sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah aku.' Lalu dia menyuruh dengannya untuk dirajam. Maka hal itu dikabarkan kepada Amîrul Mu`minîn as, lalu dia bertanya, 'Bagaimana kamu berzina?' Dia menjawab, 'Saya melewati perkampungan, lalu dahaga yang sangat menimpaku, maka saya meminta air ke seorang a'râbi, tetapi dia enggan memberiku minum kecuali saya memberikan kehormatanku, maka dahaga semakin memayahkanku dan aku takut binasa, dia memberiku minum, kemudian aku berikan kehormatanku kepadanya.' Maka Amîrul Mu`minîn as berkata, 'Itu pernikahan demi pemilik Ka'bah.'"
 
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع فِي الْمُتْعَةِ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ أَنْ يُصْدِقَهَا شَيْئاً قَلَّ أَوْ كَثُرَ وَ الصَّدَاقُ كُلُّ شَيْ‏ءٍ تَرَاضَيَا عَلَيْهِ فِي تَمَتُّعٍ أَوْ تَزْوِيجٍ بِغَيْرِ مُتْعَةٍ 
 
Dari Zurârah dari Abû Ja'far as tentang mut'ah berkata, "Mesti memberikan sesuatu kepadanya sedikit atau banyak, dan mahar itu segala sesuatu yang mereka berdia rido atasmya dalam nikah mut'ah atau nikah lain selain mut'ah." 
 
 
'Iddah Mut'ah
 
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع أَنَّهُ قَالَ إِنْ كَانَتْ تَحِيضُ فَحَيْضَةٌ وَ إِنْ كَانَتْ لَا تَحِيضُ فَشَهْرٌ وَ نِصْفٌ 
 
Dari Zurârah dari Abû 'Abdillâh as bahwa dia telah berkata, "Jika dia haid, maka satu kali haid, dan jika tidak haid, maka satu bulan setengah."
 
عَنْ أَبِي الْحَسَنِ الرِّضَا ع قَالَ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ ع قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً وَ الِاحْتِيَاطُ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ لَيْلَةً 
 
Dari Abû Al-Hasan Al-Ridhâ as berkata: Abû Ja'far as telah berkata, "'Iddah mut'ah itu 45 hari dan hati-hatinya 45 malam."
 
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ع يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ 
 
Dari Zurârah berkata, "'Iddah mut'ah 45 hari seakan aku melihat kepada Abû Ja'far mengisyaratkan dengan tangannya, maka bila telah lewat waktunya berarti pisah tanpa thalâq."
 
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَجَّاجِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ مُتْعَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى عَنْهَا هَلْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ فَقَالَ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَ عَشْراً وَ إِذَا انْقَضَتْ أَيَّامُهَا وَ هُوَ حَيٌّ فَحَيْضَةٌ وَ نِصْفٌ مِثْلُ مَا يَجِبُ عَلَى الْأَمَةِ الْحَدِيثَ 
 
Dari 'Abdurrahmân bin Al-Hajjâj berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as tentang perempuan yang dinikahi lelaki secara mut'ah, kemudian lelaki itu wafat darinya, "Apakah wajib 'iddah bagi perempuan itu?" Maka beliau berkata, "Dia ber-'iddah empat bulan sepuluh hari, dan jika hari-harinya telah berlalu sedang lelaki itu hidup, maka 'iddah-nya satu kali haid dan setengah semisal yang wajib bagi hamba sahaya." 
 
 
Perempuan yang Nikah Mut'ah dengan Dukhûl tidak Boleh Menikah dengan Lelaki Lain Kecuali setelah Ha-bis Masa 'Iddah dan Dia Boleh Nikah dengan Mantan Suaminya dalam Masa 'Iddah
 
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ فِي حَدِيثٍ أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ إِنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ أَمْراً جَدِيداً فَعَلَ وَ لَيْسَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْهُ وَ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِهِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ لَيْلَةً 
 
Dari Muhammad bin Muslim dalan sebuah ha-dîts bahwa dia bertanya kepada Abû 'Abdillâh as ten-tang nikah mut'ah, maka belaiu berkata, "Jika dia ingin melakukan akad yang baru, dia bisa lakukan, dan tidak wajib 'iddah bagi perempaun itu dari mntan suaminya, tetapi dia wajib 'iddah dari laki-laki yang lainnya selama 45 malam."
 
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَزِيدَكَ وَ تَزِيدَهَا إِذَا انْقَطَعَ الْأَجَلُ فِيمَا بَيْنَكُمَا تَقُولُ لَهَا اسْتَحْلَلْتُكِ بِأَجَلٍ آخَرَ بِرِضًا مِنْهَا وَ لَا يَحِلُّ ذَلِكَ لِغَيْرِكَ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا 
 
Dari Abû Bashîr berkata, "Dia menambahmu dan kamu menambahnya apabila telah terputus tempo di antara kamu berdua, kamu katakan kepadanya, 'Saya minka kamu menghalalkan dengan tempo yang lain.' 
Dengan keridoan darinya, dan tidak halal yang demikian itu bagi lelaki selainmu hingga berakhir 'iddah-nya." 
 
 
Tidak Boleh Nikah Mut'ah dengan Perempuan yang Sedang Di-mut'ah-inya (untuk memperpanjang waktu) kecuali setelah Habis Masanya atau setelah Dihibahkannya
 
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ مُتْعَةً فَيَتَزَوَّجُهَا عَلَى شَهْرٍ ثُمَّ إِنَّهَا تَقَعُ فِي قَلْبِهِ فَيُحِبُّ أَنْ يَكُونَ شَرْطُهُ أَكْثَرَ مِنْ شَهْرٍ فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَزِيدَهَا فِي أَجْرِهَا وَ يَزْدَادَ فِي الْأَيَّامِ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ أَيَّامُهُ الَّتِي شَرَطَ عَلَيْهَا فَقَالَ لَا يَجُوزُ شَرْطَانِ فِي شَرْطٍ قُلْتُ كَيْفَ يَصْنَعُ قَالَ يَتَصَدَّقُ عَلَيْهَا بِمَا بَقِيَ مِنَ الْأَيَّامِ ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ شَرْطاً جَدِيداً 
 
Dari Abân bin Taghlib berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Ada lelaki menikah mut'ah dengan perempuan, dia menikahinya untuk waktu sebulan, kemudian niatnya berubah, dia ingin syaratnya itu lebih lama dari sebulan, bolehkah dia menambah maharnya dan menambah hari-harinya sebelum masa-nya yang dia syaratkan berakhir?" Beliau berkata, "Tidak boleh dua syarat dalam satu syarat." Saya bertanya, "Bagaimana dia harus berbuat?" Beliau berkata, "Dia sedekahkan kepadanya sisa waktunya, kemudian dia mulai dengan syarat yang baru." 
 
 
Nikah Mut'ah dengan Seorang Perempuan Bisa Beru-lang Kali tanpa Batas
 
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ قُلْتُ لَهُ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ 
 
Dari Zurârah dari Abû Ja'far as dia (Zurârah) berkata: Saya berkata kepadanya, "Ada laki-laki meni-kah mut'ah dan berakhirlah syaratnya, kemudian perempuan itu dinikahi oleh lelaki lain hingga nyata (pi-sah) darinya, kemudian dia dinikahi lagi oleh lelaki yang pertama hingga nyata darinya sebanyak tiga kali, dan perempuan tersebut menikah dengan tiga suami, apakah halal bagi lelaki yang pertama untuk menika-hinya lagi?" Beliau berkata, "Ya, berapa kali saja dia mau ini tidak semisal perempuan merdeka (yang dinikahi secara dâ`im), ini disewa dan ia kedudukannya sebagaimana pernikahan dengan hamba sahaya."
 
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبَانٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي الرَّجُلِ يَتَمَتَّعُ مِنَ الْمَرْأَةِ الْمَرَّاتِ قَالَ لَا بَأْسَ يَتَمَتَّعُ مِنْهَا مَا شَاءَ 
 
Dari 'Ali bin Al-Hakam dari Abân dari sebagian sahabatnya dari Abû 'Abdillâh as tentang lelaki menikah mut'ah dengan satu perempuan berkali-kali, beliau berkata, "Tidak mengapa dia melakukan mut'ah dengannya menurut yang dia mau." 
 
 
Lelaki yang Menghibahkan Sisa Waktu tidak Boleh Rujuk
 
عَنْ عَلِيِّ بْنِ رِئَابٍ قَالَ كَتَبْتُ إِلَيْهِ أَسْأَلُهُ عَنْ رَجُلٍ تَمَتَّعَ بِامْرَأَةٍ ثُمَّ وَهَبَ لَهَا أَيَّامَهَا قَبْلَ أَنْ يُفْضِيَ إِلَيْهَا أَوْ وَهَبَ لَهَا أَيَّامَهَا بَعْدَ مَا أَفْضَى إِلَيْهَا هَلْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِيمَا وَهَبَ لَهَا مِنْ ذَلِكَ فَوَقَّعَ ع لَا يَرْجِعُ 
 
Dari 'Ali bin Ri`âb berkata, "Saya menulis surat kepadanya bertanya tentang seorang lelaki yang melakukan nikah mut'ah dengan seorang perempuan, kemudian laki-laki itu menghibahkan hari-harinya kepadanya sebelum melakukan hubungan dengannya, apakah dia boleh kembali pada apa yang dia hibahkan baginya dari hal itu?" Maka beliau as menulis jawabannya, "Dia tidak boleh rujuk." 
 
 
Apabila Perempuan Menghibahkan Maharnya dan Lela-ki memberikan waktunya sebelum Dukhûl
 
عَنْ زُرْعَةَ عَنْ سَمَاعَةَ قَالَ سَأَلْتُهُ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ جَارِيَةً أَوْ تَمَتَّعَ بِهَا ثُمَّ جَعَلَتْهُ مِنْ صَدَاقِهَا فِي حِلٍّ يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا قَبْلَ أَنْ يُعْطِيَهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ إِذَا جَعَلَتْهُ فِي حِلٍّ فَقَدْ قَبَضَتْهُ مِنْهُ فَإِنْ خَلَّاهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا رَدَّتِ الْمَرْأَةُ عَلَى الرَّجُلِ نِصْفَ الصَّدَاقِ 
 
Dari Zur'ah dari Samâ'ah dia berkata, Saya bertanya kepadanya tentang lelaki menikahi perempuan atau nikah mut'ah denganya, lalu perempuan tersebut membebaskan maharnya, bolehkah lelaki tersebut melakukan dukhûl (hubungan badan) sebelum dia menyerahkan mahar kepadanya?" Dia menjawab, "Boleh, jika perempuan memberikan maharnya, maka hakikatnya dia telah memegangnya darinya, apabila lelaki melepaskannya sebelum dukhûl dengannya, maka perempuan tersebut mengembalikan setengah dari mahar itu kepada laki-laki." 
 
 
Saksi dan Resepsi tidak Wajib
 
عَنْ عُمَرَ بْنِ أُذَيْنَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثِ الْمُتْعَةِ قَالَ وَ صَاحِبُ الْأَرْبَعِ نِسْوَةٍ يَتَزَوَّجُ مِنْهُنَّ مَا شَاءَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَ لَا شُهُودٍ 
 
Dari 'Umar bin Udzaibah dari Abû 'Abdillâh as dalam hadîts mut'ah berkata, "Orang yang punya empat istri bisa menikahi mereka (perempuan yang lain secara mut'ah) menurut yang dia kehendaki tanpa wali dan tanpa saksi."
 
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع مَا يُجْزِي فِي الْمُتْعَةِ مِنَ الشُّهُودِ فَقَالَ رَجُلٌ وَ امْرَأَتَانِ قُلْتُ فَإِنْ كَرِهَ الشُّهْرَةَ فَقَالَ يُجْزِيهِ رَجُلٌ وَ إِنَّمَا ذَلِكَ لِمَكَانِ الْمَرْأَةِ لِئَلَّا تَقُولَ فِي نَفْسِهَا هَذَا فُجُورٌ 
 
Dari Al-Hârits bin Al-Mughîrah berkata: Saya telah bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Apa yang memadai dari saksi dalam nikah mut'ah?" Beliau berkata, "Seorang lelaki dan dua orang perempuan." Saya bertanya, "Kalau dia tidak suka banyak orang tahu?" Beliau berkata, "Cukup seorang laki-laki, yang demikian itu supaya perempuan itu tidak mengatakan dalam hatinya: Ini fujûr (zina)." 
 
 
Anak dalam Nikah Mut'ah Dihubungkan ke Ayahnya
 
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثٍ فِي الْمُتْعَةِ قَالَ قُلْتُ أَ رَأَيْتَ إِنْ حَبِلَتْ فَقَالَ هُوَ وَلَدُهُ 
 
Dari Muhammad bin Muslim dari Abû 'Abdi-llâh as dalam hadîts tentang mut'ah dia bertanya, "Apa yang engkau fatwakan jika dia hamil?" Beliau menjawab, "Dia anaknya."
(Secondprince/Syiah-Ali/Miskat-News/Fatimah/Sunni-Syiah/Abu-Zahra/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: