Budaya Kejawen sebagai Metamorfosis Ajaran Islam Syiah di Pulau Jawa
Kaum muslim Syiah telah mempersiapkan sebuah kemasan baru untuk menghindari konflik dengan kaum muslim Sunni. Mereka atampaknya akan menerapkan kembali suatu strategi yang sering mereka praktekkan di timur tengah. Strategi itu disebut dengan taqiyah. Setelah di timur tengah, mereka tidak mempraktekkannya lagi ketika di Perlak. Tetapi di pulau Jawa ini tampaknya mereka harus menerapkannya lagi. Hal tersebut perlu karena persatuan diantara syiah dan sunni harus segera dilaksanakan secepatnya sebelum orang-orang barat datang ke Nusantara untuk melakukan penjajahan. Tetapi taqiyah yang mereka terapkan di pulau Jawa akan jauh lebih ekstrim daripada yang pernah mereka terapkan di timur tengah. Karena berdasarkan pada pengalaman sebelumnya bahwa adanya segitiga kepentingan, yaitu; syiah, sunni, dan non-muslim, kaum muslim sunni sukar menerima suatu koalisi dengan kaum syiah untuk menghadapi non-muslim seperti Sriwijaya atau Majapahit, tanpa menimbulkan kerugian pada kaum muslim syiah. Padahal lawan non-muslim yang akan dihadapi kaum muslimin di masa depan adalah orang-orang Eropa yang lebih kuat.
Oleh karena itu kaum Islam Syiah keturunan para musafir Perlak harus mengakselerasi persatuan kaum muslimin secepatnya di pulau Jawa. Mereka akan mengeliminir simbol-simbol ajaran syiah, dan memakai symbol-simbol Islam mazhab sunni, akan tetapi inti ajaran tauhid dari ajaran syiah tetap dipertahankan. Kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak akan menampakkan diri mereka di depan kaum muslim sunni seolah-olah telah keluar dari Islam mazhab syiah dan menganut peradaban yang berbeda dengan peradaban syiah yang sebelumnya mereka anut. Mereka akan menampilkan kepada saudaranya kaum muslim sunni, bahwa peradaban yang mereka anut tersebut telah ada dan diyakini oleh pribumi pulau Jawa sebelum kedatangan mereka di pulau tersebut. Kaum muslim syiah keturunan musafir Perlak di pulau Jawa memahami bahwa saudaranya kaum muslim sunni tidak akan terlalu mengusik jika mereka terlihat seperti telah keluar dari mazhab syiah yang dianut sebelumnya.
Pertanyaannya adalah apakah peradaban baru yang dibuat oleh orang-orang keturunan para musafir Perlak pesisir ke Jawa tersebut? jawabannya adalah: Budaya Kejawen. Budaya Kejawen mengandung nilai KeTuhanan dan kemanusiaan yang amat tinggi dan adiluhung, jadi tidak mungkin budaya tersebut secara mandiri dibentuk oleh suatu kearifan yang baru berumur beberapa ratus tahun saja. Budaya tersebut pastilah mempunyai kesinambungan dengan suatu peradaban manusia yang telah maju dari masa yang telah lama. Budaya manusia yang masih muda akan membentuk peradaban yang sederhana, seperti budaya-budaya penduduk primitifyang tinggal di pedalaman Guinea dan Australia. Pada tesis di uraian sebelumnya ditarik sebuah hipotesa bahwa budaya monotheisme yang bernilai keTuhanan tinggi dan membentuk budaya Kejawen adalah budaya Islam Syiah.
Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan, yaitu; kapankah kaum syiah keturunan kaum musafir Perlak mengubah keyakinannya menjadi peradaban kejawen? Secara historiologi, waktu pembuatan budaya baru ini kurang jelas. Akan tetapi kita bisa mendapatkan data melalui antropologi budaya masyarakat Nusantara/Jawa. Yaitu intensitas budaya Kejawen yang dipeluk masyarakat Jawa dan berita masa lalunya santer sampai sekarang. Berita tertulisnya tampak secara tersirat pada serat-serat sastra jawa kuno yang mengandung nilai-nilai keTuhanan yang tinggi. Berdasarkan berita santer masa lalu ini mudah kita untuk membayangkan bahwa budaya kejawen pernah secara masif mendominasi keyakinan masyarakat pulau Jawa. Yang kita berusaha lacak adalah periodisasinya. Budaya Kejawen memiliki persamaan yang menakjubkan pada ajaran sisi esoteris Islam mazhab Syiah. Pada keduanya terdapat kandungan pengajaran hikmah, filsafat wujud, tauhid dan akhlak yang benar-benar identik. Tidak pernah ditemukan persamaan antara dua peradaban yang begitu identik di dunia ini sebagaimana identiknya budaya Kejawen dan ajaran esoteris Islam mazhab Syiah.
Dilihat dari kuatnya pengaruh budaya kejawen yang masih terasa sampai sekarang, maka kemungkinan sekali periodisasi budaya kejawen ini sudah cukup lama. Periodisasinya juga jauh lebih tua dari ?Islamnya masyarakat Jawa menurut ?versi Dr Snouck? yang dimulai pada abad 15.? Islam menurut Dr Snouck masuk ke Jawa melalui Gujarat di Aceh dan masuk dari Hadramauth ke Jawa oleh para walisanga.
Jika periodisasi peninggalan tertulis budaya kejawen berasal dari abad ke 15 sampai dengan abad ke 19, maka budaya lisannya kemungkinan sekali berasal dari waktu yang jauh lebih awal dari abad ke 15. Bisa berasal dari abad ke 10 sampai abad ke 14. Dalam ilmu antropologi masyarakat, sering suatu pola budaya dalam masyarakat bermula dari nilai-nilai sosial yang bersifat non-formal. Kemudian semakin maju masyarakat tersebut maka menjadi budaya formal. Pada awalnya monotheisme Jawa berjalan atas penyebaran yang berbasis budaya lisan. Demikian pula ajaran monotheisme Kejawen. Makin lama monotheisme lisan kejawen tersebut mengambil bentuk budaya kompleks dan tertulis, seperti tertulis pada serat-serat sastra kuno jawa yang mengandung nilai-nilai esoteris monotheisme. Pada awalnya monotheisme esoteris adalah budaya keyakinan rakyat yang bersifat lisan. Kemudian dimasa Syekh Siti Jenar ketika peradaban manusia sudah semakin kompleks maka monotheisme esoteris masuk ke periode tertulis seperti dalam serat-serat sastra kuno jawa.
Oleh karena itu masa keemasan budaya Kejawen di pulau Jawa berlangsung jauh lebih awal dari kedatangan para Walisanga dari Hadramauth ke pesisir utara pulau Jawa. Karena dari anggapan sejarah awam bahwa sejak masa Islam masuk ke Jawa oleh walisanga sampai dengan masa sekarang ini, budaya kejawen belum pernah mengalami masa keemasan. Padahal secara antropologi masyarakat sudah jelas bahwa pada suatu masa lampau, budaya Kejawen pernah mengalami masa keemasan di pulau Jawa. Oleh karena itu masa keemasan budaya kejawen pastilah terjadi sebelum masa para walisanga berdakwah di Jawa.
Para Walisanga justru pihak yang berusaha menghapus budaya Kejawen. Hal diatas tampak pada konflik antara Walisanga dengan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar dengan paham Wahdatul Wujudnya memiliki kesamaan paralel dengan paham Manunggaling Kawula Gustinya budaya Kejawen. Syekh Siti Jenar lebih cenderung mengangkat sisi esoteris islam daripada para walisanga yang lebih mementingkan sisi material atau mengangkat simbol-simbol luarnya saja. Dan ternyata sisi esoteris islam Syekh Siti Jenar ini memiliki kesamaan dengan keyakinan Kejawen.
Memang Syekh Siti Jenar dalam ungkapan-ungkapannya seolah-olah seperti tidak menekankan sisi syariat Islam. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut sebenarnya maksud beliau bukanlah demikian. Maksud Syekh Siti Jenar adalah bahwa pengamalan syariat apabila tidak disertai dengan kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh kepada Allah dan dengan tujuan kebaikan dari orang-orang yang melaksanakannya, maka makna dari amalan-amalannya akan sia-sia. Maksud dari Syekh Siti Jenar ini tentunya juga dipahami oleh seluruh kaum muslimin pada saat itu dan tentunya juga dipahami pula oleh para Walisanga. tapi kenyataannya para Walisanga tetap menjatuhkan vonis kepada Syekh Siti Jenar. Berdasarkan hal tersebut di depan maka hanya ada satu kemungkinan alas an bagi para Walisanga untuk bersikap keras kepada Syekh Siti Jenar, alasan tersebut adalah alasan perebutan pengaruh dan simpati dari masyarakat muslimin di pulau Jawa secara keseluruhan, atau dengan kata lain alasan para Walisanga tersebut lebih bermakna politis.
Kerajaan Mataram Islam Pewaris Inti Irfan dam Akhlak Mazhab Ahlulbayt
1. Patut diingat bahwa masyarakat Jawa sebelum memeluk agama Islam besar kemungkinan telah berperadaban tinggi dan banyak yang memahami filsafat tingkat tinggi yang mereka peroleh dari peradaban sebelumnya, seperti peradaban Zoroaster ataupun monotheisme rakyat lapisan bawah Elam. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan Syekh Siti Jenar berkenaan dengan paham Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya merupakan ungkapan filosofis yang sangat mudah dicerna kaum muslimin di Nusantara pada saat itu, daripada kaum muslimin di Nusantara pada saat sekarang ini.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah darimana asalnya perbedaan kesepahaman ?ajaran? antara Syekh Siti Jenar dengan para walisanga? yang kedua belah pihak dinyatakan dalam riwayat adalah sama-sama mubaligh islam. Darimana Syekh Siti Jenar mendapatkan ajaran Wahdatul Wujud? Apakah dari luar Nusantara ataukah memang sudah ada paham monotheisme di Jawa sebelum beliau menjadi ulama yang mempunyai nilai-nilai yang sama dengan sisi esoteris islam? Ada dua kemungkinan besar tentang asal-usul Syekh Siti Jenar mendapatkan nilai-nilai esoteris Islam. Kemungkinan pertama adalah bahwa Syekh Siti Jenar mendapatkannya dari budaya asli masyarakat. Kemudian beliau menampilkannya dengan bentuk nilai-nilai budaya Kejawen. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya asli masyarakat tersebut, pada uraian selanjutnya nanti akan dibahas pendapat Nancy Florida, seorang asing yang mencermati budaya kejawen pada suluk dan wirid, dan dia berkata bahwa budaya Kejawen bukan berasal dari Hindu. Apabila kemungkinan pertama ini benar, maka Syekh Siti Jenar mendapatkan pemahaman hikmah manunggaling kawula Gusti itu dari orang syiah keturunan kaum musafir Perlak Pesisir yang hijrah ke pulau Jawa.
Kemungkinan kedua adalah bahwa Syekh Siti Jenar mendapatkan ilmunya secara utuh dari peradaban Islam di timur tengah. Apabila hal ini merupakan kebenaran maka pada masa itu mazhab dalam Islam yang sangat menonjolkan sisi esoterisnya hanya Islam dari mazhab syiah. Mazhab syiah mengalami perkembangan di daerah Persia dan saat ini menjadi mayoritas di wilayah-wilayah Iran dan Irak. Jumlah yang signifikan dijumpai di Pakistan dan Afghanistan. Beberapa pengamat budaya Kejawen berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar adalah orang yang berkebangsaan Persia. berdasarkan pendapat para ahli sejarah budaya Kejawen tersebut maka besar pula bahwa kemungkinan kedua adalah kebenaran sejarah budaya Kejawen.
Apapun kebenaran dari dua kemungkinan tersebut, hasilnya tetap sama saja, yaitu memperkuat argumentasi bahwa pengaruh Islam syiah dari Persia sangat kuat di Nusantara Jawa sebelum kaum muslim Sunni masuk wilayah tersebut. Karena keturunan kaum musafir Perlak yang merantau ke pulau Jawa sebenarnya juga merupakan keturunan Persia, dan kerajaan Perlak merupakan kerajaan Islam Syiah.
Situasi sosial-politik masyarakat dan penguasa Islam di pulau Jawa yang seperti tergambar pada deskripsi diatas, sedikit banyak menunjukkan situasi sebelumnya bahwa dakwah para Walisanga ke Nusantara lebih bermotifkan politis. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena wilayah Nusantara pernah menjadi basis kuat Islam mazhab Syiah di dunia. Keadaan di timur tengah sendiri pada masa itu penuh dengan nuansa persaingan antara dua mazhab Islam, Islam Sunni dan Islam Syiah, dimana penguasa Islam di timur tengah pada masa itu adalah kaum muslimin yang bermazhab Islam Sunni. Kekuasaan yang saat itu berada di tangan Bani Umayyah maupun Bani Abbasyah berusaha untuk menghapus Islam mazhab Syiah. Maka juga merupakan suatu kemungkinan bahwa dakwah para walisanga adalah skenario yang didatangkan oleh penguasa Bani Abbas untuk men-Sunni-kan masyarakat Syiah di Nusantara. Karena pada saat itu syiah yang di Persia sendiri dianut secara sembunyi-sembunyi justru sangat kuat posisinya di Nusantara. Dalam sejarah memang dakwah para wali lebih banyak berafiliasi dengan penguasa, baik penguasa Majapahit yang pada awalnya belum memeluk Islam maupun penguasa Demak (Majapahit Islam).
Apabila teori diatas adalah situasi sebenarnya di Nusantara. Maka semakin memperkuat argumentasi bahwa budaya kejawen sebenarnya adalah keyakinan masyarakat Islam Syiah yang terdesak oleh dakwah Islam Sunni pimpinan Walisanga. Mereka kemudian menyamarkan keyakinan mazhabnya itu. Apabila tekanan ini berlangsung terus-menerus maka simbol-simbol fisik maupun ritual mazhab ini pasti akan hilang. Yang masih bertahan adalah nilai spiritualnya saja. Inti nilai spiritual Islam Syiah yang di masa selanjutnya menjadi budaya kejawen. Sepertinya masyarakat spiritual Kejawen terdesak ke pedalaman pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam yang bernuansa Sufistik.
Kerajaan Islam pedalaman tersebut adalah kesultanan Mataram. Secara spiritual kebatinan sebenarnya kerajaan ini sangat menonjolkan sisi islam esoterik yang identik dengan irfani pada Islam mazhab Syiah. Bisa dikatakan kerajaan Mataram Islam pulau Jawa identik dengan kerajaan Islam dinasti Safawi di Persia yang tahun berdirinya nyaris bersamaan dengan berdirinya kerajaan Mataram yaitu pada abad ke 16. Kerajaan dinasti Safawi di Iran bernuansa esoteris Islam. Bahkan di timur tengah bersama kerajaan Fatimiyyin Mesir, pemerintahan dinasti Safawi Iran merupakan satu-satunya kerajaan bernuansa sufi/irfani yang pernah berdiri.
Apabila tidak ada kerajaan Mataram Islam di pulau Jawa, maka kesultanan dinasti Safawi, kesultanan Perlak dan kesultanan dinasti Fatimiyyin Mesir merupakan kesultanan Islam bernuansa sufi/irfani yang pernah berdiri dalam sejarah Islam. Kesultanan Mataram juga kesultanan islam sufisme. Maka pada abad ke 16 terdapat 4 kekhalifahan Islam yang berdiri nyaris bersamaan, yaitu kesultanan Usmani di Turki yang lebih awal berdirinya, Safawi Sufi di Persia, Mughal di India dan Mataram islam di pulau Jawa. Dua kerajaan bernuansa sufi/irfani yaitu Safawi dan Mataram. Sedangkan dua kerajaan lainnya yaitu kerajaan Usmani dan Mughal lebih menonjolkan sisi eksoteris dengan merasa cukup berpegang pada simbol-simbol syariat.
Jika Mataram benar merupakan kerajaan Islam Sunni dan bukannya sebuah kerajaan berasal dari masyarakat Syiah yang kemudian berubah kulit karena pada masa setelahnya kehilangan simbol-simbol kesyiahannya, maka hanya kerajaan tersebut saja yang merupakan kerajaan Islam bermazhab Sunni yang punya kecenderungan irfani/sufistik di dunia ini. Suatu pola yang sangat tidak lazim dan amat sukar dipercaya. Tradisi sufi jarang sekali dijumpai pada masyarakat Sunni bahkan di timur tengah. Di timur tengah, para sufi yang memiliki nama besar pun kesulitan mempunyai pengikut, apalagi sampai mampu mendirikan kerajaan. Usaha maksimal para sufi di tengah masyarakat Sunni hanya mendirikan tarekat-tarekat tradisional yang proporsinya masih jauh dibawah pesantren-pesantren Sunni dan kurang mendapat apresiasi dari masyarakat Sunni sendiri, baik di Nusantara maupun Timur tengah. Karena hal diatas maka suatu kewajaran apabila pemerhati sejarah Islam di pulau Jawa kemudian menyimpulkan bahwa terdapat kontribusi ajaran keyakinan Islam dari mazhab lain yang membentuk kerajaan Islam Mataram, sehingga kerajaan tersebut bernuansa sufistik. Suatu hal yang bahkan di pusat Islam Sunni di timur tengah sendiri suatu hal yang belum pernah terjadi.
Hanya ada satu atau dua orang sufi saja dari tengah-tengah masyarakat Sunni timur tengah yang mampu menonjol ajarannya hingga sampai mempunyai murid atau pengikut yang dapat dilacak sampai sekarang. Diantaranya adalah Rumi dan Ibn Arabi. Tapi Rumi juga seorang sufi yang berasal dari Persia, ia berada di Khurasan awal abad ke abad 13 yang kemudian setelah banyak belajar kemudian melancong ke barat. Pada saat itu Persia sudah bermazhab Syiah sehingga kajian esoteris Islam sudah diajarkan kepada masyarakat. Akan tetapi di wilayah barat Daulah, kajian esoteris merupakan sesuatu pencerahan luar-biasa yang belum pernah didapatkan oleh orang-orangnya. Kemungkinan kuat sekali bahwa Rumi mendapatkan kajian esoteris Islam dari para ulama Syiah di Khurasan. Tapi kehebatan Rumi dan Arabi di dunia Sunni juga tidak mendapatkan apresiasi yang besar. Ajaran mereka pada masyarakat Sunni ternyata terhenti di masa depan. Jejak Peninggalan-peninggalan Irfanisme Kerajaan Mataram Islam.
Mataram Islam mempunyai nilai-nilai ajaran irfan/sufisme yang maju dan tidak hanya bersifat lisan akan tetapi juga telah tertuliskan. Nilai-nilai sufisme Mataram tertulis dalam serat-serat sastra jawa kuno. Nilai-nilai spiritual jawa kuno ini di Mataram adalah budaya tertulis Kejawen dan sama sekali tidak bernuansa Hindu atau Budha. Seperti yang dikatakan oleh Nancy Florida seorang ahli serat-serat sastra jawa kuno dalam sebuah interview tanya jawab yang dimuat oleh Kompas, 22 Maret 2009.
Dalam buku Membaca Post-Kolonialitas Nancy menulis,
‘Saya ingin merenggangkan gambaran fiksi yang melukis tembok kraton Mataram sebagai benteng kukuh (seolah-olah tanpa pintu) yang melestarikan dibaliknya suatu kebudayaan asli Hindu-Budha yang bertentangan dengan islam. Waktu tembok keraton itu didirikan (lengkap dengan pintunya) dunia intelektual keraton dan intelektual pesantren tidak hidup dalam pertentangan binaris.’
Kemudian penanya: Jadi, sebenarnya dimana pengaruh Hindu pada suluk ataupun wirid Selama ini selalu ada pandangan pengaruh Hindu sangat kuat pada Jawa?
Nancy menjawab: ajaran tasawuf yang berbentuk puisi itu disebut suluk, sedangkan yang dalam bentuk prosa disebut wirid. Dalam budaya jawa lebih banyak suluk. Banyaknya karya suluk ini menandakan bahwa pengajaran sastra Jawa sangat kuat pada abad ke 16.
Ya pengajaran tasawuf sangat kuat dan sophisticated di abad ke 18 dan 19. Suluk itu lebih kuat karena pengaruh islam, bukan Hinduisme.
Kemudian penanya: Bagaimana dengan wayang? juga ritual-ritual Jawa yang dianggap Hindu
Nancy menjawab: Kalau kita lihat wayang, wayang itu telah disambung-sambungkan dengan dunia islam. Kita lihat juga Ajisaka. Menarik sekali itu cerita legenda awal tanah jawa. Ajisaka kan belajar ke Mekkah, itu yang mendirikan Hindu Jawa.. Yang dianggap oleh awam sebagai Hindu itu sebenarnya adalah tasawuf Islam. Tidak seperti islam dipraktekkan sekarang.
Kemudian penanya: jadi ada suatu politik kolonial yang mencoba mengkorting pengaruh islam, terutama setelah perang Diponegoro?
Nancy menjawab: Menurut saya begitu. Dari 500 naskah di kraton Surakarta, hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya Islam. Ini kan menarik. Jadi, kalau kraton di Jawa terutama diwakili oleh kraton Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta selama ini dicitrakan sebagai Hinduistik, itu sama sekali salah. Kalangan berpengaruh di dalam kraton, termasuk para penasehat spiritual dan pujangga bahkan umumnya mendapatkan pendidikan agama di pondok pesantren. Di masa lalu, islam (di kraton) lebih fleksibel karena lebih cenderung pada tarekat.
Pengajaran tasawuf dikatakan oleh Nancy marak pada abad ke 18 sampai abad ke 19. Tentunya pengajaran di masa itu sudah sistematis disertai dengan diktat-diktat budaya tertulis yaitu suluk dan wirid. Lembaganya juga sudah formal yaitu lembaga-lembaga pesantren. Akan tetapi pasti terdapat masa-masa panjang sebelumnya yaitu masa pembentukan budaya tertulis kejawen di pulau Jawa itu sendiri. Yaitu budaya lisannya. Periode ini semestinya mengambil masa yang lebih panjang. Bisa 5 sampai 6 abad sebelumnya.
Sedikit-banyak wawancara dengan Nancy diatas telah menunjukkan bahwa spiritual Kejawen bukanlah berasal dari Hindu akan tetapi berasal dari Islam. Wilayah Jawa adalah titik kedua monotheisasi Nusantara oleh peradaban Islam setelah wilayah Aceh yang merupakan wilayah dakwah Islam pertama. Islam adalah simbol monotheisme yang sangat sukses dianut oleh masyarakat di pulau Jawa. Akan tetapi anehnya peninggalan riwayat-riwayat pengislaman masyarakat hampir tidak ditemukan. Kalau berdasar sejarah komunitas Islam awal pertama di Nusantara, Perlak/Lamuri adalah wilayah islam pertama. Maka ada kemungkinan masuknya orang-orang Islam Perlak ke Jawa dan mengislamkan masyarakatnya adalah setelah tahun 988 Masehi. Karena pada tahun tersebut terjadi perang saudara di Perlak yang memecah kesultanan Perlak menjadi dua Negara yaitu Perlak pedalaman yang beraliran Sunni dan Perlak pesisir yang beraliran Syiah.
Jejak Peninggalan Antropologi Budaya Masyarakat dan Arkeologi yang Mengindikasikan Adanya Pengaruh Islam Syiah dari Persia di pulau Jawa pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara
Dugaan kuat pengaruh Islam syiah Persia di pulau Jawa sesuai dengan fakta yang tertera pada batu nisan atas nama Fatimah Binti Maimun. Nama tersebut untuk ukuran situasi pada jaman dahulu yang tertera pada angka tahun yaitu tahun 1086 Masehi sangat kental bernuansa Syiah. Huruf dan pola prasasti nisan tersebut juga memiliki pola Persia. hal tersebut semakin memperkuat argumentasi bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara pada masa awalnya dan mampu mengislamkan sebagian besar penduduk Nusantara adalah agama Islam yang bermazhab syiah.
Tauhid mazhab Islam syiah mempunyai kesamaan dengan Spiritual Kejawen, bahkan identik. Paham pandangan dunia Ilahiah-nya mazhab Syiah identik dengan manunggaling kawula Gusti-nya Spiritual Kejawen dan paham Wahdatul Wujud-nya Syekh Siti Jenar.
Oleh karena itu besar sekali kemungkinan bahwa Spiritual Kejawen berasal muasal dari Tauhid mazhab Islam syiah. Karena kalau berdasarkan sejarah masuknya Islam di Nusantara maka sejak kehadirannya oleh walisanga, Islam tidak pernah mengalami dimana pengajaran nilai-nilai sisi esoteris menonjol. Para walisanga adalah mubaligh Islam yang kental dengan kultur Arab Islam Sunni. Dan kultur Islam Hadhramauth cenderung menampilkan sisi eksoteris atau sisi luar yang simbolik dari Islam seperti kajian fiqih dan syariat saja hingga sampai masa sekarang ini. Apabila kita mengacu kedatangan Islam di Nusantara berasal dari dakwah Walisanga sebagai sebuah kebenaran, maka sama saja dengan kita menganggap bahwa sisi esoteris islam (spiritual kejawen) tidak pernah mengalami masa keemasan di Nusantara Jawa ini.
Kemudian apabila dilihat dari peninggalan-peninggalan simbol-simbol ritual terdapat satu kesamaan antara spiritual Kejawen dengan Islam Syiah yang luar biasa tepat. Yaitu suatu tradisi ritual Kejawen yang berlangsung pada bulan Muharram. Bulan Muharram mempunyai nilai khusus bagi masyarakat Kejawen. Sebenarnya bulan ini juga mendapatkan perlakuan khusus dalam tradisi Islam, baik Islam Sunni maupun Islam Syiah. Akan tetapi perlakuan khusus untuk bulan Muharram pada tradisi spiritual kejawen lebih mirip dengan tradisi Islam Syiah daripada perlakuan khusus terhadap bulan Muharram pada Islam Sunni. Muslim Sunni menganggap bulan Muharram sebagai bulan kegembiraan dan penuh kemenangan karena peristiwa hijrah. Oleh karena itu Islam Sunni menyambut bulan Muharram dengan perayaan-perayaan yang mengekspresikan kegembiraan.
Sedangkan spiritual Kejawen dan Islam Syiah sama-sama menetapkan bulan Muharram sebagai bulan yang penuh dengan kesedihan dan keprihatinan. Islam Syiah menjadikan bulan Muharram ini sebagai bulan kesedihan karena pada bulan tersebut terjadi peristiwa tragedi yang mengenaskan. Yaitu tragedi pembantaian Al-Husein cucunda nabi di padang Karbala. Peristiwa tersebut juga disebut dengan peristiwa Asyura (baca: Asyuro). Orang-orang spiritual Kejawen pada bulan ini juga masyarakatnya dilarang bersenang-senang, dilarang menikahkan anak, dilarang mengadakan pesta. Bulan Muharram harus diisi dengan penuh keprihatinan dan menempuh asketisme yang serius.
Darimana orang-orang spiritual Kejawen mendapatkan pengetahuan akan kekhususan bulan Muharram yang penuh keprihatinan? Yang jelas bukan dari Hindu, karena penanggalan kejawen adalah sama dengan penanggalan Islam dan bukan penanggalan Hindu. Jadi apabila peringatan kesedihan Muharram itu dilaksanakan setiap tahunnya atas dasar penanggalan Jawa maka hari tragedinya akan bergeser menurut bulan pada tahun Saka yang merupakan sistem penanggalan Hindu.
Kemudian orang-orang spiritual Kejawen juga menamai nama bulan Muharram dengan nama Kejawen yaitu dengan nama: Syuro. Pertanyaannya adalah: darimana orang-orang spiritual Kejawen menamai bulan Muharram dengan nama Syuro? Betapa miripnya nama bulan Kejawen ini dengan nama tragedi umat muslim syiah yang terjadi di bulan Muharram yaitu tragedi Asyuro. Yang jelas tidak ada peringatan tragedi Asyuro pada bulan Muharram pada umat muslim Sunni. Bahkan nama Asyuro sama sekali tidak dikenal dalam khasanah perbendaharaan kata pada umat muslim Sunni.
Babad Diponegoro: Fakta Takterbantahkan Akan Akar Kesyiahan Kraton Yogya di Masa Awal
Terdapat sebuah babad (cerita sejarah) Mataram terbitan terakhir yang khusus. Babad terbitan terakhir ini khusus karena isinya merupakan biografi si penulis. Selain itu juga karena si penulis membuatnya di luar wilayah Mataram. Si penulis ini adalah Pangeran Diponegoro. Beliau menulis buku babad yang kemudian disebut dengan babad Diponegoro ini di pengasingan. Buku babad ini masih asli, tidak sempat di’modifikasi’ oleh tangan-tangan ‘ahli’ budaya asia tenggara pemerintah Hindia Belanda.
Penulis babad tersebut, adalah Pangeran Diponegoro sendiri merupakan putra Mataram, beliau putra sulung Sultan HB III. Walaupun secara umum pada masa muda Pangeran Diponegoro. masyarakat mengenal beliau sebagai pengikut tarekat Sattariyyah, akan tetapi menjelang awal perjuangannya yang tertulis pada uraian beliau sendiri dalam babadnya, mengindikasikan bahwa beliau adalah pengikut ahlul bayt. Terdapat sepenggal kisah dalam babad tersebut yang mengisahkan suatu perintah oleh seseorang kepada Pangeran Diponegoro. Dalam babad tersebut perintah yang turun kepada beliau adalah perintah perang melawan Belanda. Perintah itu turun dari seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dari beliau, yaitu suatu perintah dari Ratu Adil. Melihat penyampaian bahasa sastra puisi oleh beliau dalam babad yang menggambarkan suatu sejarah (Puisi sekaligus prosa), sepertinya wacana Ratu Adil adalah suatu hal umum di masyarakat Mataram pada saat itu. Babad tersebut menampilkan bahwa seolah-olah masyarakat Mataram pada awal abad ke 19 telah terbiasa dan familier dengan terminologi konsep Ratu Adil, bukanlah sesuatu hal yang asing dan khusus bagi mereka sehari-hari. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa Ratu Adil memanggil beliau (Pangeran Diponegoro). Kemudian terjadi juga dialog antara Ratu Adil dengan Pangeran Diponegoro.
Konsep tentang Ratu Adil terdapat dalam hampir semua budaya besar yang pernah eksis di dunia ini. Konsep tersebut terdapat dalam Islam, Hindu, Kristen, Yahudi, Zoroaster dan budaya-budaya lainnya. Akan tetapi apabila kita membaca buku babad, konsep dan ciri dari Ratu Adil yang digambarkan dalam babad Diponegoro tersebut hanya mempunyai persamaan bahkan identik dengan terminologi Ratu Adil menurut Islam mazhab Syiah. Pada babad digambarkan Ratu Adil memakai surban hijau. Dalam syiah surban hijau merupakan identitas Sayyid (keturunan Rasulullah) yang mempunyai kedudukan tinggi. Cerita pada babad melukiskan bahwa Ratu Adil wajahnya mengeluarkan cahaya yang kemilau. Demikian pula dalam riwayat-riwayat orang-orang syiah yang mengalami penyaksian berjumpa dengan Imam Mahdi (Ratu Adil) di Persia, mereka mengatakan bahwa beliau (Imam Mahdi) bercahaya wajahnya. Kemudian persamaan yang paling penting bahwa dalam mazhab syiah Imam Mahdi diyakini telah hadir (telah dilahirkan). Konsep Mahdiisme yang mana figur Al-Mahdi diyakini sudah eksis di dunia ini hanya memiliki persamaan dengan cerita pada babad Pangeran Diponegoro tersebut. yang mana dalam babad diceritakan bahwa beliau berdialog dengan Imam Mahdi. Secara tidak langsung cerita dalam babad itu mendeskripsikan bahwa Imam Mahdi sudah eksis (sudah lahir), sama dengan konsep Mahdiismenya mazhab syiah. Pada budaya-budaya lain termasuk dalam terminologi Islam sunni, figur juru selamat akhir zaman ini (Al-Mahdi) diyakini belum lahir.
NB:
Patut diketahui, perang Diponegoro yang merupakan perintah Imam Mahdi kepada Pangeran Diponegoro ini bukanlah perang remeh. silahkan dilihat di wikipedia, perang ini berskala internasional. Perang ini membawa korban 8000 orang asli kulit putih Belanda. Hal ini menjadikannya Perang Diponegoro atau perang Jawa sebagai perang kolonial dengan korban dari pihak penjajah kulit putih Eropa terbesar di dunia sepanjang sejarah kolonialisme. Tidak sebuah perang koloniaolisme-pun baik di Amerika Utara, Afrika, Amerika Tengah, Asia Tenggara, Amerika Selatan, Asia Selatan yang membawa korban dari pihak penjajah Eropa yang berkulit putih sebanyak perang Diponegoro. Penduduk negeri Belanda sendiri di masa itu belum mencapai 1 juta jiwa.
kemudian patut diketahui pula bahwa Belanda dengan bantuan keuangan yang misterius pada abad ke 17 itu disponsori membentuk angkatan darat terkuat di dunia untuk mensukseskan kolonialisme di pulau Jawa. Hal ini diakui oleh kerajaan Inggris yang menyatakan bahwa Belanda pada abad ke 17 mempunyai angkatan darat terkuat di dunia.
Selain itu berdasarkan sumber babad Diponegoro itu dapat disimpulkan bahwa tujuan Perang Diponegoro tersebut bukanlah mengusir penjajah Belanda, akan tetapi mempertahankan keislaman masyarakat Jawa, dan tujuan tersebut berhasil. terbukti dengan setelah masa perang usai, Belanda mempergiat aksi misionaris di pulau Jawa. Selain itu digalakkan pula aksi indianisasi (berusaha menghapus sumber-sumber sejarah budaya masyarakat Jawa dengan gubahan mereka, yang kemudian menampilkan kepada masyarakat bahwa seolah2 masyarakat Jawa pada awalnya beragama Hindu). Tapi praktik Indianisasi ini juga gagal, hanya berhasil di lingkungan istana/keraton. Tapi perjuangan P. Diponegoro lebih ke pedesaan, sehingga resistensi masyarakat pedesaan kuat menghadapi serangan ‘budaya’ atau indianisasi dari pihak Belanda.
Salah satu ‘karya’ Indianisasi yang sekarang ‘sukses’ adalah kitab babad tanah jawi, Buku Babad ini diciptakan setelah Perang Diponegoro usai. dibalik digubahnya kitab ini sangat jelas bahwa isi kitab ini sangat bernuansa Indianisasi Belanda berkenaan dengan silsilah keturunan raja-raja Mataram Islam kepada raja-raja Majapahit. pada buku babad ini ditampilkan cerita yang sangat ‘maksa’ bahwa Ki Bondan Kejawan sebenarnya adalah keturunan Prabu Brawijaya V.
(DarutTaqrib/Al-shia/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email