Pesan Rahbar

Home » » Pembahasan Imamah dalam Hadist

Pembahasan Imamah dalam Hadist

Written By Unknown on Thursday 4 February 2016 | 05:55:00


Mengenai hadis-hadis dari Ahli Sunnah, kita cukupkan sampai di sini. Adapun mengenai kesahihan kandungannya, kami akan meyebutkan hadis-hadis yang dibawakan oleh Hakim Naisyaburi yang menyebutkan bahwa orang-orang yang hadir di medan mubahalah hanya lima orang saja; yaitu Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain as.

Dalam Ma’rifah ‘Ulûm Al-Hadîts,[1] pertama-tama Naisya-buri menukil dari Ibnu Abbas mengenai turunnya ayat Mubahalah, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah diri Nabi saw., nisâ’ana adalah Fathimah Zahra, abnâ’ana adalah Hasan dan Husain. Kemudian ia mengakui kemutawatiran hadis-hadis yang ada dalam tafsir Ibnu Abbas dan dalam tafsir lainnya sekaitan dengan dalam masalah ini. semua menye-butkan sabda ucapan Nabi saw. kepada keluarga beliau sebagai berikut, “Hâ’ulâ’i abnâ’anâ wa anfusanâ wa nisâ’anâ”, yaitu ‘Mereka adalah anak-anakku dan diri-diriku serta istri-istriku.’

Jelas tikdalah memadai untuk memaparkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok sahabat seperti; Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. sekaitan dengan bab ini dalam buku seringkas ini. Namun demikian, kami akan menyebutkan sejumlah referensi yang mencatat atau menyinggung hadis-hadis itu.[2]


Hadis-hadis Syi‘ah Imamiyah

Dalam sumber-sumber hadis Syi‘ah, banyak ditemukan hadis-hadis sekaitan dengan peristiwa mubahalah ini. Ada baiknya jika kita ketengahkan beberapa di antaranya sebagai contoh:


Hadis Pertama

Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as. bahwa orang-orang Kristen Najran datang kepada Nabi saw. ketika telah tiba waktu shalat mereka. Di masjid itu pula mereka menabuh lonceng dan menunaikan shalat sesuai dengan cara mereka sendiri. Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah! Mereka melakukan hal itu di masjidmu!

Nabi saw. menjawab, “Biarkan mereka!”

Setelah menyelesaikan shalat, mereka datang menghadap Nabi saw. dan berkata, “Untuk apa kamu mengajak kami?” Nabi saw. menjawab, “Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah Yang Esa. Sesungguhnya aku adalah rasul Allah, dan Isa adalah hamba Allah. Dia makan dan minum dan memenuhi hajat-nya.” Mereka berkata, “Jika ia hamba Allah, lalu siapa ayahnya?” Saat itulah turun ayat kepada Nabi saw. yang berbunyi, “Apa pendapatmu tentang Adam? Dia adalah hamba dan makhluk Allah, makan dan minum … dan kawin.” Mereka berkata, “Ya.” Maka, Nabi saw. bersabda:

“Jika setiap hamba dan makhluk Allah harus memiliki seorang ayah, siapakah ayah Adam?” Mereka diam membisu; tak bisa menjawab. Allah swt. menurunkan dua ayat ini, “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.[3]

“Sebagai lanjutannya adalah ayat Mubahalah: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.[4]

Nabi saw. berkata, “Mari bermubahalah denganku! Bila aku benar, Allah akan menurunkan azab ke atas kalian, dan bila aku bohong, Allah akan menurunkan azab ke atasku.” Mereka menjawab, “Dalam hal ini engkau benar.” Kemudian mereka berjanji untuk melakukan mubahalah. Ketika mereka sampai di rumah, para tokoh berkata, “Bila Nabi saw. melakukan mubahalah bersama kaumnya, ia bu-kan Nabi, dan lakukanlah mubahalah dengannya. Namun jika dia datang bersama keluarganya untuk melakukan mubahalah, maka kita tidak melakukan mubahalah dengannya.”

Pagi keesokan harinya, mereka datang di tempat yang telah ditentukan, dan di sana mereka melihat Nabi saw. bersama Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain. Pada waktu itu, mereka bertanya, “Siapa mereka yang bersamamu itu?” Dikata-kan kepada mereka, “Lelaki itu adalah sepupu, washi (wakil) dan menantunya; Ali bin Abi Thalib. Dan wanita itu adalah putrinya, sedangkan dua anak itu adalah Hasan dan Husain.”

Mereka kemudian membatalkan janji mubahalah. Kepada Nabi saw. mereka berkata, “Kami akan menyiapkan apa saja yang membuatmu puas. Maafkanlah kami jika tidak dapat melakukan mubahalah denganmu!” Nabi saw. kemu-dian melakukan perjanjian dengan mereka; yaitu mereka harus membayar jizyah.

Hadis Kedua

Dalam Tafsir Al-Burhan, Sayyid Bahrani meriwayatkan dari Ibnu Babawaih dari Imam Ali bin Musa Ridha as.,

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung antara Imam Ali bin Musa Ridha dan Ma’mun beserta Ulama (tentang perbedaan Itrah ‘keluarga’ Nabi saw. dan umat, lalu keutamaan Itrah atas umat), Imam berkata, “Kondisi di mana Allah menjelaskan ihwal pribadi-pribadi yang memi-liki kesucian ilahi, di mana Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mengajak mereka bersamanya melakukan mubahalah. Allah swt. berfirman, “maka katakanlah (kepada-nya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu.”

Para ulama berkata kepada Imam Ridha as., “Maksud dari kata anfusana adalah pribadi Nabi saw. sendiri!” Imam Ridha as. menjawab, “Kalian keliru dalam hal ini. justru maksud dari kata anfusana adalah Ali bin Abi Thalib. Dalilnya adalah sabda Nabi saw. kepada Bani Wali’ah, “La’ab‘atsanna ilaihim rajulan ka nafî (Aku akan mengutus seseorang seperti diriku kepada mereka).”

“Maksud dari abna’ana adalah Hasan dan Husain, sementara kata nisa’ana adalah untuk Fathimah Zahra. Ini adalah kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan keutamaan yang berada di luar kemampuan manusia yang sampai kepada mereka. Ini juga kemuliaan yang tidak dapat diraih oleh orang lain, dan itu adalah diri Ali bin Abi Thalib disamakan dengan diri Nabi saw.”[5]


Hadis Ketiga

Harun Rasyid berkata kepada Imam Musa bin Ja’far as., “Bagaimana engkau tahu bahwa dirimu keturunan Nabi saw. padahal keturunan manusia itu diwarisi lewat anak lelaki, sementara engkau adalah keturunan dari anak pe-rempuan Nabi saw.?”

Imam Musa bin Ja’far a.s memohon untuk tidak menjawab soalan itu. Harun berkata, “Engkau harus menjelaskan argumentasimu dalam masalah ini. Engkau keturunan Ali bin Abi Thalib yang mengklaim tahu Al-Qur’an secara sempurna. Tidak ada sesuatu yang tidak engkau ketahui. Allah swt. berfirman. “Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.”[6] Engkau berargumentasi dengan ayat ini dan tidak butuh pendapat ulama dan qiyas mereka.”

Imam Musa bin Ja’far as. menjawab dengan mem-bacakan sebuah ayat yang menyebutkan ihwal Nabi Isa as. sebagai keturunan Nabi Ibrahim as., “Dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas.”[7]

Imam bin Ja’far as. bertanya kepada Harun, “Siapa ayah Nabi Isa as.? Harun menjawab, “Isa dilahirkan tanpa memiliki seorang ayah.” Imam Musa bin Ja’far as. berkata, “Allah menyertakan Nabi Isa as. sebagai keturunan para nabi lewat Sayyidah Maryam. Kami juga lewat ibu kami; Fathimah Zahra, menjadi ketu-runan Nabi saw.”

Imam Musa bin Ja’far as. menjelaskan dalil lain menjawab pertanyaan Harun. Imam Musa bin Ja’far as. membacakan ayat Mubahalah seraya berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengklaim bahwa dalam prosesi mubahalah, ada orang lain yang bersama Nabi saw. selain Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain. Nabi saw. menyelimuti mereka dengan kain kisa’. Dengan dasar ini, maksud dari kata abnâ’anâ” adalah Hasan dan Husain as., nisâ’anâ” adalah Fathimah Zahra, dan anfusanâ adalah Ali bin Abi Thalib as.”[8]


Hadis Keempat

Hadis ini diriwayatkan oleh Syeikh Mufid dalam kitab Al-Ikhtishâsh.

Imam Musa bin Ja’far as. berkata, “Umat Islam sepakat bahwa saat Nabi saw. mengajak orang Kristen Najran untuk melakukan mubahalah. Di balik kain kisa’ hanya ada Nabi saw., Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain as. Berdasarkan hadis ini, ayat yang berbunyi, “Maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu”, maksud dari abna’ana (anak-anak kami) adalah Hasan dan Husain, nisa’ana (istri-istri kami) adalah Fathimah, dan anfusana (diri kami) adalah Ali bin Abi Thalib as.[9]


Pandangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

Penulis Tafsîr Al-Manâr pertama-tama menyatakan: “Diriwa-yatkan; Nabi saw. memilih Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra dan kedua anak mereka untuk melakukan mubahalah. Mereka dibawa keluar oleh Nabi saw. seraya berkata kepada mereka, “Bila saya berdoa, maka kalian katakan amin!” Selanjutnya dia mengutip riwayat Muslim dan Tur-mudzi secara ringkas lalu menulis:
Imam Syeikh Muhammad Abduh berkata, “Telah disepakati riwayat-riwayat yang menceritakan ihwal Nabi saw. memilih Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra as. dan kedua anak mereka untuk melakukan muba-halah. Kata nisâ’anâ untuk Fathimah dan kata anfusanâ untuk Ali. Akan tetapi riwayat-riwayat ini bersumber dari Syi‘ah (dan mereka membuat palsu hadis-hadis ini) dan maksud mereka sudah jelas. Mereka senan-tiasa berusaha menyebarkan riwayat-riwayat seperti ini, dan cara yang seperti ini juga dapat ditemukan di dalam Ahli Sunnah! Akan tetapi orang-orang yang membuat riwayat-riwayat seperti ini tidak mampu secara baik menerapkannya. Karena kata nisâ’anâ dalam bahasa Arab tidak pernah dipakai untuk anak perempuan, khususnya pada kondisi ketika orang tersebut memiliki istri, dan ini bertentangan dengan bahasa Arab. Lebih sulit lagi bila memaknai kata anfusanâ sebagai Ali bin Abi Thalib!”[10]

Sebagai tokoh pembaharu Islam, uaraian Abduh di atas ini sungguh aneh. Di satu sisi, ia memberikan perhatian terhadap banyaknya hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini, begitu juga kesepakatan ulama tetang hadis-hadis ini. Namun di sisi lain, ia mengklaim bahwa hadis-hadis ini hanyalah hadis-hadis buatan.

Mungkinkah seorang muslim—apalagi seorang ulama besar—sesederhana itu mengingkari hakikat sunnah Rasu-lullah saw. yang murni dan diakui? Bila hadis-hadis dalam buku-buku Sahih dan Musnad yang diriwayatkan dengan sanad sahih, apalagi dalam buku-buku seperti buku Sahih Muslim yang oleh Ahli Sunnah diakui sebagai salah satu dari dua buku yang paling bisa dipercaya setelah Al-Qur’an dari buku-buku yang lain begitu rentan, lalu harus percaya pada rujukan yang mana untuk membuktikan atau menolak sebuah masalah dalam mazhab-mazhab Islam? Kalau hadis mutawatir yang dinukil oleh imam mazhab dianggap tak bisa dipercaya, lantas hadis yang mana yang bisa dipercaya?!

Apakah menerima atau menolak hadis harus berdasar-kan tolok ukur, atau siapa saja bisa menerima atau menolak setiap hadis berdasarkan selera pribadi? Bukankah ini mempermainkan sunnah Nabi saw.?

Abduh tidak melihat makna ayat secara detail. Ia ber-anggapan bahwa kata nisâ’anâ itu digunakan untuk Sayyidah Fathimah. Padahal nisâ’anâ ini digunakan untuk maknanya sendiri; dimana istri-istri Nabi saw. saat itu ada sembilan orang, dan tidak satu pun yang memiliki kelayakan posisi ini, sementara itu hanya satu orang wanita saja yang terhitung sebagai Ahlul Bait beliau serta memiliki kelayakan posisi tersebut, yaitu Fathimah as. yang dibawa oleh Rasu-lullah saw. untuk mubahalah.[11]

Mengenai anfusana, kata ini sudah dibahas di awal tulisan ini dan akan dibahas kembali secara detail pada pokok berikutnya.


Sebuah Hadis Palsu dan Diprotes Ahli Sunnah

Masalah lain yang sudah jelas adalah tidak ada orang yang hadir di medan mubahalah kecuali lima orang Ahlul Bait as. Atas dasar ini, riwayat yang dinukil dari Ibnu Asakir dalam sebagian buku-buku bahwa Nabi saw. membawa Abu Bakar dan anak-anaknya, Umar bin Khaththab dan anak-anaknya, dan Ali dan anak-anaknya, tidaklah benar, karena:

Pertama, berdasarkan catatan para peneliti seperti Alusi dalam tafsirnya; Rûh Al-Ma’ânî,[12] hadis ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh ijma para ulama. Oleh karena itu, hadis ini tidak bisa dipercaya.

Kedua, dalam sanad hadis ini, ada beberapa orang pembohong, seperti Said bin Anbasah Razi, dimana Dzahabi dalam Mîzân Al-I‘tidâl[13] mengatakan: “Yahya bin Mu’in me-ngatakan, “Ia (Said bin Anbasah Razi) sangat pembohong.” Dan Abu Hatim berkata, “Ia (Said bin Anbasah Razi) tidak jujur.” Demikian juga dalam sanad hadis ini, ada nama Haitsam bin Adi, dimana Dzahabi dalam buku Siyar A‘lâm Al-Nubalâ’[14] mengatakan: “Ibnu Mu’in dan Ibnu Daud mem-berikan keaaksian, “Ia (Haitsam bin Adi) sangat pem-bohong.” Nasa’i dan yang lainnya menyatakan bahwa hadis-hadis Haitsam tertolak.

Yang lebih ironis dari itu, hadis palsu ini malah disangkut-pautkan kepada Imam Shadiq dan Imam Baqir as.!


Pasal Keempat

Ali as. adalah Diri Nabi saw.

Bahasan sebelumnya sudah cukup jelas bahwa maksud dari kata anfusanâ bukan hanya diri Nabi saw. Merujuk keterangan hadis yang ada, orang-orang yang hadir di medan mubahalah hanya Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain as, sehingga kata anfusanâ dalam ayat itu tidak lain hanyalah Ali as., dan ini merupakan salah satu dari sekian keutamaan Ali as., bahkan keutamaannya yang paling tinggi.

Dalam ayat ini, Ali as. dikenalkan sebagai diri Nabi saw. Yakni, mengingat setiap orang tidak memiliki lebih dari satu diri, dan Ali as. juga tidak mungkin sebagai diri Nabi saw. secara hakiki, maka jelas bahwa pemakaian kata anfusanâ ini bukan pemakaian secara hakiki, tetapi maksudnya adalah kesamaan. Lantaran kesamaan ini bersifat mutlak, maka setiap kekhususan, sifat dan posisi yang dimiliki oleh Nabi saw. juga dimiliki oleh Ali as. kecuali ada dalil yang menge-cualikan kesamaan itu sebagaimana pengecualian dalam masalah kenabian. Salah satu kesamaan yang dimiliki oleh Ali adalah kepemimpinan Nabi saw. atas umat dan keuta-maannya atas seluruh alam, bahkan dalam perbandingannya dengan nabi-nabi terdahulu.

Atas dasar ini, ayat Mubahalah—selain menunjukkan posisi kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan keutamaannya atas umat setelah Nabi saw.—juga menunjukkan keutamaan-nya atas nabi-nabi sebelumnya.


Penjelasan Fakhru Razi Seputar Ayat

Dalam tafsirnya, Fakhru Razi menuliskan:
“Di kota Rey, ada seorang guru Syi‘ah Imamiyah.[15] Ia meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib ra. lebih utama dari para nabi kecuali Nabi Muhammad saw. Bukti yang dia ajukan atas kedudukan Ali ra. yang lebih tinggi dari para nabi adalah firman Allah swt. dalam ayat Mubahalah, “… wa anfusanâ wa anfusakum.” Karena maksud dari anfusanâ bukan diri Rasulullah saw. sendiri, sebab seseorang tidak mungkin memang-gil dirinya sendiri. Atas dasar ini, yang dimaksud selain Rasulullah saw. adalah Ali bin Abi Thalib ra., dan ijma pun menerima demikian ini. Dengan demikian, ayat Mubahalah menunjukkan bahwa diri Ali adalah diri Rasulullah saw., dan tidak mungkin secara hakiki diri Ali adalah diri Rasulullah. Kesimpulannya, diri ini seperti diri itu dan melazimkan bahwa dua diri tersebut sama dalam semua sisi. Hanya dua hal yang terkecualikan dalam kesamaan ini; yaitu kenabian dan keutamaan. Karena berdasarkan ijma, Ali ra. bukan seorang nabi dan tidak lebih utama dari Rasulullah saw. Untuk itu, penerapan pada semua masalah tetap valid, dan berdasarkan ijma Rasulullah saw. lebih utama dari para nabi, maka Ali ra. tentunya juga lebih utama dari para nabi.

Kemudian guru itu menambahkan, “Argumentasi ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diterima oleh teman maupun lawan. Hadis itu adalah sabda Rasu-lullah saw. yang berbunyi, “Barang siapa yang ingin menyaksikan Adam as. dalam amalannya, Nuh as. dalam ketaatannya, Ibrahim as. dalam kecintaannya, Musa as. dalam kewiba-waannya dan Isa as. dalam keterpilihannya, maka lihatlah Ali bin Abi Thalib as.!”

Fakhru Razi melanjutkan uraiannya:
“Ulama Syi‘ah lainnya juga berargumentasi bahwa Ali bin Abi Thalib ra. lebih utama dari para sahabat. Karena ayat Mubahalah menunjukkan bahwa diri Ali sama dengan diri Rasulullah saw., kecuali apabila ada suatu dalil yang mengecualikan. Dan mengingat diri Rasulullah saw. lebih utama dari diri para sahabat, maka diri Ali lebih utama dari diri para sahabat.”

Kemudian, Fakhru Razi mengajukan keberatan terhadap salah satu bagian dari argumentasi tersebut, dan pada bagian akhir pertanyaan seputar ayat Mubahalah, kami akan kami menyinggung sekaligus mendiskusikannya.


Hadis-hadis Ihwal Ali as. adalah Diri Nabi saw.

Hadis-hadis yang menjelaskan Ali bin Abi Thalib a.s. sebagai diri Nabi saw. bisa dibagi menjadi tiga kelompok:


Kelompok Pertama: Hadis-hadis tentang Ayat Mubahalah

Sebagian dari hadis-hadis ini menjelaskan kehadiran Ahlul Bait a.s. di medan mubahalah yang telah kita sebutkan sebelumnya. Kali ini, kita akan menyimak beberapa kalimat masih sekaitan dengan masalah ini secara ringkas:

1. Ibnu Abbas membacakan ayat Mubahalah dan berkata, “wa Aliyun nafsuhu” (Dan Ali adalah dirinya).[16]

2. Setelah Sya’bi menyebutkan ucapan Jabir bin Abdullah tentang Ahlul Bait as., ia mengatakan, “abnâ’anâ ada-lah Hasan dan Husain, nisâ’anâ adalah Fathimah Zahra’ dan anfusanâ adalah Ali bin Abi Thalib.”[17]

3. Setelah Hakim Naisyaburi menegaskan kemutawatiran hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dan sabahat-sabahat lainnya; bahwa Rasulullah saw. membawa Ali bin Abi Thalib, Fathimah Zahra, Hasan dan Husain as. untuk menyertai beliau, ia juga menga-kui kemutawatiran hadis yang menjelaskan abnâ’anâ adalah Hasan dan Husain, nisâ’anâ adalah Fathimah, anfusanâ adalah Ali bin Abi Thalib.[18]

4. Dalam sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib as. menyumpahi Ashhab Syûrâ (Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqash) dan mengingatkan keutamaan-keutamaannya, ia berkata, “Demi Allah! Adakah di antara kalian yang lebih dekat kepada Rasulullah saw. daripada diriku dari sisi keturunan dan kekeluargaan? Adakah orang selain diriku yang telah dijadikan oleh Rasulullah sebagai dirinya sendiri, anak-anaknya seba-gai anak-anaknya sendiri? Sama sekali, tidak ada.”[19]


Kelompok Kedua: Hadis-hadis tentang Kabilah Bani Wali’ah

Hadis-hadis ini diriwayatkan dari para sabahat seperti Abu Dzar, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Hanthab. Kandungan hadis-hadis itu adalah bahwa Rasulullah saw. bersabda (berdasarkan jalur riwayat dari Abu Dzar): “Bani Wali’ah harus meninggalkan kelakuan mereka. Kalau tidak, maka aku akan mengirim seorang laki-laki seperti diriku ke-pada mereka yang akan menjalankan perintahku di tengah-tengah mereka. Ia akan membunuh orang-orang yang ber-perang dan menawan keluarganya ….”

Umar yang saat itu berada ia di belakangku mengata-kan, “Siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah itu? Aku men-jawab, “Yang dimaksud beliau bukan kamu juga bukan temanmu (Abu Bakar).” Umar bertanya lagi, “Lantas siapakah yang dimaksud? Aku menjawab, “Orang yang sedang men-jahit sepatunya”. Umar membalas, “Orang yang sedang menjahit sepatunya adalah Ali bin Abi Thalib!”[20]

Kelompok Ketiga: Hadis-hadis tentang Orang-orang yang Paling Dicintai Rasulullah saw.

Pada sebagian hadis-hadis ini, Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah yang paling baik di antara semua orang dan yang lebih engkau cintai?”

Setelah Rasulullah saw. menjawab, beliau ditanya tentang kedudukan Ali bin Abi Thalib as. dalam kecintaan dan keutamaannya. Rasulullah saw. menghadap ke arah para sahabat dan bersabda, “Ini adalah pertanyaan tentang diriku sendiri! Ali adalah diriku.”[21]

Pada sebagian hadis-hadis ini, Sayyidah Fathimah as. bertanya kepada ayahnya, “Ya Rasulullah saw.! Engkau tidak menjelaskan tentang Ali? Rasulullah saw. menjawab, “Ali adalah diriku! Pernahkah kamu melihat seseorang mengata-kan tentang dirinya sendiri?”[22]

Hadis-hadis ini diriwayatkan dari sebagian sahabat seperti Amr bin Ash, Aisyah dan kakeknya; Amr bin Syuaib.

Dari hadis-hadis yang diriwayatkan dengan berbagai macam redaksi ini, bisa disimpulkan bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah diri Rasulullah saw. Hadis-hadis ini me-nguatkan argumentasi ayat Mubahalah mengenai kemutlakan kesamaan Ali as. dengan Rasulullah saw. kecuali bila ada dalil yang mengecualikan kesamaan ini seperti masalah kenabian.

Dengan demikian, semua keutamaan dan posisi Rasu-lullah saw. selain kenabian termasuk dalam kemutlakan ini, seperti keutamaan atas umatnya bahkan atas semua makh-luk dan kepemimpinannya atas semua umat.

Referensi:
[1]. Ma’rifah ‘Ulûm Al-Hadîts:cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut; hal. 50.
[2] . Ahkam Al-Qur’an: Jashash; jil. 2; hal. 14, cet. Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut, Ikhtishash Mufid: hal. 56, cet. Mansyurat Jamaah Al-Mudarrisin Fi Al-Hauzah Al-Ilmiyah, Asbab An-Nuzul: hal. 68; cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Usud Al-Ghabah: jil. 4; hal. 25; cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut; Al-Ishabah, jil. 2, hal. 271; Al-Bahr Al-Muhith, jil. 3, hal. 479, cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut; Al-Bidayah Wa An-Nihayah, jil. 5, hal. 49, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut; Al-Burhan, jil. 1, hal. 289, cet. Muassasah Matbuati Ismailiyan; At-Taj Al-Jami Li Al-Ushul, jil. 3, hal. 333, cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut; Tarikh Madinah Dimasyq, jil. 42, hal. 431, cet. Dar Al-Fikr; Tadzkirah Al-Khawash Al-Umah, hal. 17, cet. Najaf; Tafsir Ibnu Kasir, jil. 1, hal. 378, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut; Tafsir Al-Baidhawi, jil. 1, hal. 163, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut; Tafsir Al-Khazan (Lubab At-ta’wil), jil. 1, hal. 236, cet. Dar Al-Fikr; Tafsir Ar-Razi, jil. 8, hal. 80, cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut; Tafsir As-Samarqandi (Bahrul Ulum) jil. 1, hal. 274, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut; Tafsir Thabari, jil. 3, hal. 299-301, cet. Dar Al-Fikr; Tafsir Tanthawi, jil. 2, hal. 130. Cet. Dar Al-Ma’arif, Kairo; Tafsir Ali bin Ibrahim Qomi, jil. 1, hal. 104; Tafsir Al-Mawardi, jil. 1, hal. 389 dan 399, cet. Muassasah Al-Kutub Ats-Tsaqafiyah/ Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut; Tafsir Al-Munir, jil. 3, hal. 245, 248, 249, cet. Dar Al-Fikr; Tafsir An-Nasafi (dalam syarah Kahazan), jil. 1, hal. 236, cet. Dar Al-Fikr; Tafsir An-Naisyaburi, jil. 3, hal. 213, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut; Talkhis al-Mustadrak, jil. 3, hal. 150, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut; Jami Ahkam Al-Qur’an, Qurthubi, jil. 4, hal. 104, cet. Dar Al-Fikr; Jami Al-Ushul, jil. 9, hal. 469, cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut; Al-Jami Ash-Shahih Lit-Turmudzi, jil. 5, hal. 596, cet. Dar Al-Fikr; Ad-Dur Al-Mantsur, jil. 2, hal. 230-233, cet. Dar Al-Fikr; Dalail An-nubuwah Abu Na’im Isfahani, hal. 297; Dzakhair Al-Uqbah, hal. 25, cet. Muassasah Al-cet. Wafa, Beirut; Ruh Al-Ma’ani, jil. 3, hal. 134, cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Beirut; Ar-Riyadh An-Nadhrah, jil. 3, hal. 134, cet. Dar An-Nadwah Al-Jadidah, Beirut; Zad Al-Masir Fi Ulum At-Tafsir, jil. 1, hal. 339, cet. Dar Al-Fikr; Syawahid At-Tanzil, Hakim Haskani, jil. 1, hal. 155-167, cet.Majma Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah; Shahih Muslim, jil. 5, hal. 23, Kitab Fadhail Ash-Shahabah, Bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, hadis 32, cet. Muassasah Izzuddin; Ash-Shawaiq Al-Muhriqah, hal. 145, cet. Maktabah Kairo; Fath Al-Qadir, jil. 1, hal. 216, cet. Mesir (menurut Ihqaq); Faraid Al-Simthain, jil. 2, hal. 23 & 24, cet. Muassaah Mahmudi, Beirut; Al-Fushul Al-Muhimmah, hal. 23-25, 126 &127, cet. Mansyurat Al-A’lami; Kitab At-Tashil Li Ulum At-Tanzil, jil. 1, hal. 109, cet. Dar Al-Fikr; Al-Kasyaf, jil. 1, hal. 193, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut; Madarij An-Nubuwah, hal. 500, cet. Bombay (menurut Ihqaq); Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, jil. 3, hal. 150, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 185, cet. Dar Shadir, Beirut; Misykah Al-Mashabih, jil. 3, hal. 1731, cet. Al-Maktab Al-Islami; Mashabih As-Sunnah, jil. 4, hal. 183, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut; Mathalib As-Suul, hal. 7, cet. Tehran; Ma’alim At-Tanzil, jil. 1, hal. 480, cet. Dar Al-Fikr; Ma’rifah Ushul Al-Hadits, hal. 50, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut; Manaqib Ibnu Maghazili, hal. 263, cet. Al-Maktabah Al-Islamiyah, Tehran.
[3] . QS. Ali Imran [3]: 59.
[4] . QS. Ali Imran [3]: 61.
[5] . Tafsir Al-Burhan, jil. 1, hal. 289, cet. Muassasah Matbuati Ismailiyan.
[6] . QS. Al-An’an [ ]: 38.
[7] . QS. Al-An’am [6]: 84 & 85.
[8] . Al-Burhân: jil. 1, hal. 289, cet. Muassasah Matbuati Ismailiyan.
[9] . Al-Ikhtishâsh: hal. 56, cet. Min Mansyurat Jamaah Al-Mudarrisin fi Al-Hauzah Al-Ilmiyah.
[10] . Tafsir Al-Manâr: jil. 3, hal. 322, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut.
[11] . Dalam hal ini, silakan merujuk ayat Tathhir.
[12] . Ruh Al-Ma’ani, jil. 3, hal. 190, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi.
[13] . Mîzân Al-I’tidâl: jil. 2, hal. 154, cet. Dar Al-Fikr.
[14] . Siyar A’lâm An-Nubala’: jil. 10, hal. 104, cet. Muassasah Al-Risalah.
[15] . Tokoh yang disebutkan oleh Fakhru Razi adalah salah seorang mujtahid besar dan guru besar aqidah Syi‘ah sekaligus juga gurunya. Muhadis Qummi menyebutkannya: “Syeikh Sadid Ad-Din Mahmud bin Ali bin Al-Hasan Himshi Razi adalah seorang tokoh teolog dan karyanya yang berjudul At-Ta’liq Al-Iraqi adalah buku teologi. Menurut catatan Syeikh Baha’i, ia adalah seorang tokoh Syi‘ah dan tinggal di desa Himsh di kota Rey. Desa itu telah punah. (Safinah Al-Bihar, jil. 1, hal. 340, cet. Ketab Khaneye Mahmudi). Sayyid Muhsin Jabal Amil menukil dari sebuah manuskrip At-Ta’liq Al-Iraqi. Di sana tertulis, naskah ini hasil dikte dari pemikir besar Sadid Ad-Din; ahli teologi Syaih dalam dialog Singa Podium. Mahmud bin Ali bin Hasan Himshi. Semoga Allah memuliakannya dan merendahkan musuh-musuhnya. (A’yan Asy-Syi‘ah, jil. 10, hal 105, cet. Dar At-Ta’aruf Li Al-Matbu’at, Beirut). Firouz Abadi dalam Al-Qâmûs Al-Muhîth berkata: “Mahmud bin Ali Al-Himshi; ahli teolog dan gurunya Imam Fakhruddin (Al-Qâmûs Al-Muhîth, jil. 2, hal. 299, cet. Dar Al-Ma’rifah, Beirut). Dari kesaksian Firouz Abadi bisa dipahami bahwa guru besar kalam dan ahli teologi ini juga gurunya Fakhru Razi, tetapi dia sendiri dalam uraiannya di atas itu tidak menyinggung data dan identitas ini.
[16] . Ma’rifah Ulum Al-Hadits, hal. 50, cet. Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, Beirut.
[17] . Asbab Al-Nuzul, hal. 67, cet. Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, Beirut.
[18] . Ma’rifah Ulum Al-Hadits, hal. 50, cet. Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, Beirut.
[19]. Tarikh Madinah Damsyiq, jil. 42, hal. 431, cet. Dar Al-Fikr.
[20] . As-Sunan Al-Kubra li Al-Nisa’i, jil. 5, hal. 127, cet. Dar Al-Kutub Al-ilmiyah, Beirut. Perisetnya di bawahnya mengatakan: “Dalam sanad hadis ini, perawi-perwinya tsiqah dan bisa dipercaya”.
Al-Mushannif Li Ibn Syaibah, jil. 6, hal. 374, cet. Dar At-Taj. Al-Mu’jam Al-Ausath Liththabrani, jil. 4, hal. 477, cet. Maktabah Al-ma’arif, Riyadh.
Perlu diperhatikan bahwa dalam buku Mu’jam Al-Ausath, ungkapan “ka nafsî” (seperti diriku) sengaja atau karena kesalahan ditulis menjadi “li nafsî” (bagi diriku). Dalam Majma’ Az-Zawaid, Haitsami meriwayatkan dari Thabrani dengan ungkapan “ka nafsii”.Majma Az-Zawaid Haitsami, jil. 7, hal .110, cet. Dar Al-Kitab Al-Arabi, dan hal. 240, cet. Dar Al-Fikr.
[21]. Jami Al-Ahadits, Suyuthi, jil. 16, hal. 256-257, cet. Dar Al-Fikr. Kanz Al-ummal, jil. 13, hal. 142 &143, cet. Muassasah Ar-Risalah.
[22] . Manâqib Khârazmî: hal. 148, cet. Muassasah An-Nasyr Al-Islami. Maqtal Al-Husain a.s., hal. 43, cet. Maktabah Al-Mufid.

(Darut-Taqrib/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: