Kaum perempuan Iran telah menemukan kembali “hijab” yang Islami serta nilai-nilai humanistiknya setelah sekian puluh tahun — secara terpaksa — mentolerir “kebudayaan telanjang ala Barat”. Rezim boneka Barat, Pahlevi, selama lima puluh tahun masa teror dan penindasan telah memaksa kaum Muslimat Iran untuk meninggalkan hijab dan menyerah kepada kebudayaan telanjang.
Sebagian dari para Ibu masih dapat mengisahkan pengalaman-pengalaman pahit mereka dalam masa kekuasaan Raja Pahlevi Pertama, di mana pasukan-pasukan polisi mencegat kaum perempuan yang sedang berjalan di jalan-jalan raya dengan merobek cadar mereka, sehingga kemudian kaum Muslimat Iran meniru pola atau cara berpakaian perempuan-perempuan Barat. Pada masa itu betapa kaum perempuan berusaha membatasi diri semaksimal mungkin untuk keluar rumah karena takut.
Akibat dari berbagai tindakan rezim serta bimbingan yang salah, terutama dari kalangan yang mengaku terpelajar dan otaknya telah dicuci dengan nilai-nilai Barat, maka banyak perempuan Iran menanggalkan identitasnya, bukan saja (identitas) sebagai perempuan, melainkan juga sebagai manusia.
Mereka dikondisikan untuk mereduksi perannya sebagai Ibu yang mulia dan terhormat; dan dengan alasan manipulatif demi partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial, mereka kemudian didorong untuk mengembangkan serta menyebarluaskan nilai-nilai Barat yang menjadikan tubuh (tubuh perempuan) sebagai objek perhatian melebihi moral, kreatifitas mental, bahkan keyakinan keagamaan.
Bersyukur, dalam keadaan demikian, kaum Muslimat Iran sadar bahwa mereka hanya dijadikan sebagai boneka, objek pujian atau sanjungan, dan sorotan atas tampilan lahiriah mereka, padahal semua itu sekadar pemenuhan gejolak hawa nafsu kaum hedonis. Apalagi pada pertemuan pertama, hanya tubuh perempuan yang menarik bagi laki-laki.
Kendati begitu, sayang sekali, karena kondisinya sudah direkayasa sedemikian rupa, maka perempuan sampai pada keputusan bahwa mereka harus menyerah kepada “nilai-nilai sosial modern”. Dalam keadaan demikian berlaku kaidah, makin bertelanjang dan menarik secara lahiriah, maka semakin diterima dan diperhatikan. Dan bagi mereka (laki-laki hedonis) yang menginginkan perempuan dengan ukuran penilaian seperti itu pasti menetapkan spesifikasi fisik, bukan kepribadian sebagai manusia atau sebagai anggota masyarakat (makhluk sosial).
Pada masa itu kaum Muslimat Iran sungguh terperangkap dalam kesakitan. Mereka kehilangan identitas sebagai perempuan dan juga sebagai bagian penting dari masyarakat manusia.
***
ADA satu pengaruh keterpautan antara hijab dan penguatan nilai-nilai Islami serta tuntutan-tuntutan moralitas dari Revolusi Islam Iran. Pada masa revolusi, perempuan menemukan kembali identitas atau jatidiri mereka. Paling tidak, “hijab” — sebagai pakaian perempuan Islam — menjadi salah satu jalan yang mengalihkan perhatian masyarakat kepada kreatifitas mental dan moralitas.
Sekarang, pakaian mereka tidak lagi memamerkan lekuk-lekuk tubuh. Dengan kata lain, pandangan syahwati laki-laki yang jahat akan teralihkan kepada kepribadian (perempuan) sebagai manusia.
Saat ini masyarakat Islam Iran sedang menilai peranan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan (sosial, politik, kebudayaan, keagamaan, dan sebagainya) dengan juga memberikan penghargaan yang layak atas peran mereka dalam keluarga.
Kaum Muslimat Iran pun sangat puas dengan kondisi sekarang, terutama karena tidak lagi menjadi objek “tontonan berjalan”, sekaligus terhindar dari keterjebakan dalam strategi rekayasa tenaga pemasar gratis yang dirancang secara licik (bin manipulatif) oleh industri-industri mode pakaian dan pabrik-pabrik berbagai produk kecantikan.
Keadaan itu kemudian, bersama kaum laki-laki, mendorong mereka semakin terlibat aktif mengambil peran dalam berbagai ranah kehidupan di semua level, namun tetap tidak meninggalkan peran utama mereka sebagai seorang Ibu yang sekaligus memuliakannya karena — dengan merujuk pada Hadits Rasulullah Muhammad Saw. — di bawah telapak kakinya lah terletak “surga”.
Di mana pun kiprah mereka, hijab merefleksikan kekukuhan tekad dan ketinggian kehormatan mereka.[**]
1 Juni, 2011.
Dikutip dari Majalah “Yaum Al-Quds”, No. 6 Jumadil Awwal 1403 H.
(Majalah-Yaum-Al-Quds/Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email