Oleh: La Ode Zulfikar Toresano (Aba Zul)
Masih adakah peluang di negeri ini bagi pembuatan dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan sistemik yang bisa memperbaiki nasib rakyat? Yang jelas, buruknya moralitas atau kompetensi personal sebagian anggota legislatif, aparat eksekutif dan yudikatif (penegak hukum); rapuhnya struktur ekonomi-politik yang membingkai moralitas serta kompetensi tersebut (ini ditinjau dari perspektif filsafat yang mendasari sebuah ideologi); lemahnya institusionalisasi politik; dan juga belum sistemisnya proses-proses politik, berkontribusi besar terhadap tersumbatnya mobilitas vertikal masyarakat dan juga partisipasi politik mereka.
Di kalangan partai-partai politik besar yang ada di parlemen, misalnya, aroma yang (sudah) tertebar adalah adanya gejala kuat saling mengunci atau saling menyelamatkan kepentingan politik subyektif. Hasil jajak pendapat pun mengungkapkan ketidakpuasan publik terhadap kinerja partai-partai politik (75,3 persen dari responden) yang dianggap gagal memperjuangkan aspirasi masyarakat (Kompas, 10/1/2011).
Partai Golkar sangat antusias membongkar skandal (korupsi) Bank Century yang diduga terkait dengan Partai Demokrat dalam hal pendanaan kampanye Pemilu 2009. Sementara itu, bersama-sama Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat berkepentingan menampilkan ke atas panggung realitas konkret perihal keterlibatan tiga perusahaan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, yang diduga sebagai penyuap terbesar di balik kasus (mafia pajak) Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Di lain pihak, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lebih mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap skandal Bank Century dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan ketimbang kasus (suap) cek perjalanan yang melibatkan hampir semua anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (2004-2009) dari PDI-P.
Kemudian, boleh saja Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) berbangga bahwa hanya mereka berdualah yang dengan tegas menolak rencana pembangunan gedung baru DPR yang sangat borjuis itu, tetapi bukankah mereka tidak menyetujui usulan hak angket mafia perpajakan, padahal hal itu sangat bertentangan dengan aspirasi masyarakat luas? Bila klaim memperjuangkan kepentingan rakyat itu benar, mengapa kedua partai ini tidak menginisiasi usulan pembukaan data pajak dan laporan kekayaan secara transparan?
Singkatnya, setiap fraksi (partai politik/parpol) yang ada di DPR kini (2009-2014) tidak satupun yang optimal berkontribusi dalam pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, dan penyusunan anggaran (budgeting). Semua partai yang memiliki kursi di DPR kini (termasuk di dalamnya adalah Partai Kebangkitan Bangsa/PKB, Partai Persatuan Pembangunan/PPP, Partai Keadilan Sejahtera/PKS, dan Partai Hati Nurani Rakyat/Partai Hanura) pasti mendapat sorotan negatif terkait dengan salah satu atau beberapa soal berikut: Bank Century, hak angket mafia pajak, pertunjukan tari perut di Turki [yang ibu kotanya adalah Istanbul, tetapi pada tahun 330 Masehi bernama Byzantium sebagai pusat Kekaisaran Romawi (Romawi Timur), yang terletak di Selat Bosphorus, meski oleh Kaisar Konstantinus kemudian diubah namanya menjadi Konstantinopel (dalam bahasa Yunani disebut “Konstantinopolis”, yang artinya adalah “Kota Constantine”)], rencana pembangunan gedung baru DPR yang borjuis (dengan anggaran lebih dari Rp 1 triliun), usulan dana aspirasi bagi setiap anggota DPR (oleh Partai Golkar) untuk daerah-daerah pemilihan, membuka situs porno saat rapat paripurna DPR, pemborosan serta ketidakefektifan kunjungan kerja (studi banding) ke luar negeri, dugaan permainan anggaran negara di Badan Anggaran (Banggar) DPR, dan rendahnya produktifitas legislasi DPR.
Dengan kata lain, citra DPR yang buruk itu merupakan konsekuensi dari kinerja riil di bidang legislasi, budgeting, serta pengawasan; dan bahwa — meminjam terminologi fisika mekanika — ia merupakan resultante dari banyak vektor oleh banyak aktor yang berinteraksi dalam sebuah sistem yang bernama “Dewan Perwakilan Rakyat”.
Tabel 1: Anggaran pembuatan satu rancangan undang-undang (RUU) inisiatif DPR (2009-2014) untuk tahun 2011 dan 2012.
Catatan:
1. Diolah oleh Jurnal Parlemen Online (Jurnal ParlemenO) dari berbagaisumber.
2. DPR = Dewan Perwakilan Rakyat
3. BURT = Badan Urusan Rumah Tangga.
4. Banggar = Badan Anggaran
Terhadap Tabel 1 diatas, pertama kita perlu pertanyakan, mengapa untuk rencana alokasi anggaran tahun 2012 terlebih dahulu ditetapkan anggaran penyusunan dan pembahasan 76 RUU, padahal DPR belum menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012? (Kompas, 6/5/2011). Bukankah didahulukannya penetapan anggaran termaksud — ketimbang penetapan Prolegnas 2012 — sangat terkait dengan strategi membangun alasan untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri? Selain alasan ini, apa argumen yang melatari anggota DPR sehingga masih saja tetap melestarikan kebiasaan langsung menetapkan plafon anggaran untuk beberapa kali kunjungan kerja ke luar negeri, padahal saat plafon anggaran ditetapkan, DPR belum menentukan rencana kunjungan kerja? Bukankah logika yang tepat (bukan logika terbalik: kepala di kaki, kaki di kepala, seperti dalam lirik sebuah lagu) adalah lebih dahulu mengusulkan (dan menentukan) prolegnas serta rencana kunjungan kerja, dan atas dasar itu, baru kemudian disusul dengan menetapkan plafon anggaran?
Legislasi dan Kunjungan Kerja
Mengacu pada Tabel 1 itu juga, beranikah DPR memberikan jaminan — kalau perlu dibuat secara tertulis yang disahkan bersama perwakilan para konstituen masing-masing anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR — bahwa kenaikan anggaran tersebut akan mendorong peningkatan kualitas proses pembuatan dan substansi RUU yang dihasilkan? Jaminan ini penting karena adanya realitas menyakitkan, bahwa kenaikan biaya kunjungan kerja ke luar negeri, antara lain, didasarkan pertimbangan untuk kenyamanan transportasi pesawat terbang. “Waktu kami ke Jepang, kami harus nombok 600-1.200 dollar Amerika Serikat kalau naik kelas eksekutif, karena kami jatahnya bisnis,” ujar Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono (dari Fraksi Partai Demokrat) — Kompas, 3/5/2011.
Bila Kepala Kelompok Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Baleg DPR — yang juga adalah anggota Komisi II DPR — Arif Wibowo menengarai, “Ada semacam permainan harga antara agen travel dan kesekretariatan DPR (karena penggunaan anggaran diatur dan dikelola Sekretariat Jenderal DPR) sehingga seolah-olah biaya yang harus dikeluarkan DPR lebih mahal, dan bahwa tanpa permainan harga, hampir dipastikan anggaran kunjungan kerja akan turun sehingga kebutuhan biaya pembuatan RUU bisa lebih murah, di mana untuk satu RUU biaya pembuatannya cukup hanya Rp 4 miliar” (Kompas, 4/5/2011), mengapa DPR tidak serius mengusulkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK untuk mengusut tuntas (bukan sekadar “mengusut gertak”, apalagi kategori gertakannya adalah gertak sambal yang kehangatan cabenya mirip dengan hangat-hangat tahi bebek) dugaan penyimpangan anggaran tersebut?
Dengan juga mempertimbangkan rendahnya prestasi DPR di bidang legislasi, di mana dari 70 RUU yang ditargetkan — pada tahun 2010 — hanya 16 RUU yang disetujui menjadi undang-undang, dan juga belum jelasnya berapa RUU yang bisa diselesaikan (dan disetujui) pada akhir 2011 nanti, pantas atau etiskah DPR mengusulkan kenaikan alokasi anggaran pembuatan RUU (inisiatif DPR) untuk tahun 2012?
Tabel 2: Indikator produk legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (2009-2014) untuk tahun 2009, 2010, dan 2011.
Catatan:
1. Diolah oleh Jurnal Parlemen Online (Jurnal ParlemenO) dari berbagai sumber.
2. RUU = Rancangan Undang Undang
3. UU = Undang-Undang
Merujuk pada tabel 2 di atas, dibandingkan dengan tahun 2009, pada tahun 2010 terjadi penurunan kinerja legislasi lebih dari separuh, yakni dari 47,56 persen (48%) menjadi 22,86 persen (23%). Bukankah, dari tahun ke tahun, anggaran untuk DPR terus meningkat?
Dengan kemerosotan kinerja tersebut adakah kesediaan DPR untuk melakukan penataan ulang perencanaan legislasi agar target (legislasi) dapat tercapai dan juga dengan kualitas (RUU) yang tinggi?
Oleh karena itu, ketimbang terburu-buru mengusulkan kenaikan alokasi anggaran untuk tahun 2012 [meskipun menurut Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono, angkanya baru ancar-ancar (Kompas, 4/5/2011)], mengapa tidak terlebih dahulu dilakukan pengkajian — yang transparan — soal keabsahan klaim hegemonik bahwa peningkatan anggaran merupakan solusi penyelesaian problem legislasi? Tidakkah para anggota DPR menyadari bahwa sesungguhnya problem legislasi sangat kompleks, sehingga tidak bisa dipandang secara sederhana — dengan nalar yang datar atau linear — sekadar persoalan anggaran? Bila semua persoalan diselesaikan dengan “pendekatan anggaran” (project oriented), apa bedanya dengan mekanisme kerja otak kaum kapitalis borjuis (lumpen borjuasi)?
***
SEMENTARA itu, dari berbagai kritik masyarakat soal kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri yang boros dan tidak jelas manfaatnya, mengapa DPR tidak terdorong untuk terlebih dahulu membuat perbandingan, mana yang lebih efisien (berdaya guna) dan efektif (berhasil guna), melakukan kunjungan kerja ke luar negeri — untuk mendapatkan masukan yang terkait dengan pembuatan RUU — ataukah cukup dengan mencari data atau dokumen melalui internet dan kantor kedutaan besar (negara yang menjadi obyek pembanding) di Jakarta (juga Kedutaan Besar Republik Indonesia/KBRI di luar negeri), berkorespondensi kepada pemerintah atau parlemen negara yang dirujuk, serta mengirim/mengutus staf atau tenaga ahli DPR ke luar negeri?
Masalahnya, selain begitu singkatnya waktu kunjungan kerja, sebagian para anggota DPR juga kurang mahir berbahasa Inggris (yang mengganggu efektifitas komunikasi dengan pihak-pihak yang ditemui). Lagipula ada kecenderungan meningkatnya pragmatisme penyusunan perencanaan anggaran (yang antara lain tercermin pada kebiasaan menetapkan langsung plafon anggaran untuk beberapa kunjungan ke luar negeri, padahal saat plafon anggaran ditetapkan, DPR belum menentukan rencana kunjungan kerja, Kompas, 6/5/2011) dan juga kurangnya perencanaan tentang jadwal kerja pihak yang dituju.
Sebagai contoh, kunjungan kerja rombongan anggota Komisi VIII DPR ke gedung Parlemen Australia pada 29 April lalu (2011) hanya menghasilkan kegiatan berfoto bersama di depan New Parliament House dan Old Parliament House — dan tak sempat masuk ke gedung parlemen — karena anggota Parlemen Australia sedang reses (Kompas, 6/5/2011). Bukankah ini mengindikasikan tidak adanya perencanaan jadwal dalam kegiatan kunjungan kerja? Akibatnya, kesedihan bercampur kelucuan mengiringi kunjungan kerja itu karena para anggota Komisi VIII DPR hanya mendapatkan brosur — dari beberapa orang — tentang program pemberantasan kemiskinan di Australia. Apa bedanya dengan mendapatkan brosur dari Kantor Kedutaan Australia di Jakarta?
Kelemahan tadi semakin diperparah dengan tidak adanya sinkronisasi dengan negara tujuan studi banding. Mengapa Australia yang dipilih sebagai negara tujuan studi banding tentang fakir miskin dan pemberantasan kemiskinan, padahal ciri khas pembangunan kesejahteraan atau pendekatan jaminan serta perlindungan sosial antara Pemerintah Indonesia dan Australia sangat berbeda?
Lagipula, kunjungan kerja ke luar negeri yang selama ini dilakukan anggota DPR hanya didasari semangat memanfaatkan anggaran yang sudah dialokasikan (Kompas, 6/5/2011). Mengapa anggaran nganggur yang sudah dialokasikan itu tidak dimanfaatkan saja buat memberdayakan konstituen para anggota DPR?
***
JIKA para anggota DPR enggan merubah paradigma berpikir (mindset revolution) dan mekanisme serta sistem kerja mereka, jangan salahkan bila kemudian rakyat menuding mereka sekadar mesin politik konspiratif yang digerakkan kekuatan para elitenya yang berotak kapital (fulus), dan sesungguhnya bukan bekerja untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan, melainkan sebagai agen kekuatan kapital. Lebih parah lagi bila rakyat kemudian menjuluki para anggota DPR yang terhormat itu dengan apa yang oleh Jeffrey A Winters (2011) — guru besar ilmu politik dari Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat — diistilahkan sebagai “oligarki politik”.
Mengapa? Karena bagi Winters, oligarki beda dengan elite. “Sejak masa Plato dan Aristoteles hingga munculnya Teori Elite pada tahun 1895, konsep oligarki selalu terkait dengan kelompok kecil yang berkuasa karena punya uang atau pengaruh; dan bahwa oligarki muncul karena adanya stratifikasi kekayaan (atau pengaruh),” kata Winters.
Karena fenomena stratifikasi tersebut muncul secara menonjol sejak Soeharto berkuasa di negeri ini, yakni ketika ia membagi-bagikan kesempatan usaha dan investasi kepada sekelompok pengusaha tertentu (dan kemudian mereka ini dikendalikan secara personal oleh Soeharto, bukan oleh institusi apapun, untuk melestarikan kekuasaan atau politik Soeharto dan kroninya), maka jangan salahkan rakyat bila terhadap kelompok anggota DPR tertentu yang arogan dan terkesan melecehkan rakyat — sebagaimana yang sering terekspos di media massa — dituding sebagai bagian dari oligarki politik (partai politik) yang secara esensial aliran politiknya mirip dengan oligarki ala rezim Orde Baru (Soeharto).
Beberapa contoh konkret cikal bakal praktik oligarki di DPR adalah begitu berkuasanya pimpinan partai politik (parpol) dalam mengajukan — atau menentukan urutan daftar — calon anggota legislatif (caleg) yang akan berlaga di pemilihan umum (pemilu) dan adanya usulan pemberhentian antarwaktu (recall) oleh elite parpol terhadap anggotanya yang duduk di DPR dengan alasan ketidaktaatan pada aturan internal parpol, padahal recall seharusnya didasarkan pada penilaian kinerja dan pertanggungjawaban anggota DPR yang bersangkutan.
Dengan demikian, bukankah kualitas anggota DPR akan sangat bergantung pada oligarki parpol yang pragmatis dan sekadar menjadikan parpol sebagai instrumen bagi-bagi atau perebutan kekuasaan (“power sharing” or “power struggle”)? Dalam sistem demikian, bisa jadi anggota DPR yang baik justru tersisih, seperti yang dapat disimpulkan dari percakapan Kompas dengan Eva Kusuma Sundari, Malik Haramain, dan Bambang Soesatyo, berturut-turut adalah anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/F-PDIP, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa/F-PKB, dan Fraksi Partai Golongan Karya/FP-Golkar (Kompas, 19/4/2011).
Oknum-oknum dalam oligarki parpol pasti menaati betul pengertian “politik” seperti yang dirumuskan oleh Harold Lasswell (dengan para pendukungnya yang bermental skeptis dan peragu) bahwa “politik adalah siapa mendapatkan apa(dan dengan besaran seberapa), kapan, dan bagaimana.”
Dalam konteks partai-partai politik yang berkoalisi, pengertian politik seperti itu bisa saja diterjemahkan: “Apakah semua parpol sudah mendapatkan bagian? Parpol-parpol mana saja yang (sudah) mendapatkan atau sedang menunggu peluang emas? Parpol-parpol mana saja yang sama sekali belum mendapatkan apa-apa, sehingga perlu dijadwalkan kapan bisa mendapatkan peluang dan bagaimana cara atau persyaratannya?
Bila benar kaidah tersebut berlaku riil dan konkret dalam perpolitikan di negeri ini, maka pasti rakyat dan konstituen tidak akan pernah diposisikan sebagai mitra politik karena mereka hanya akan dijadikan sebagai obyek dan sasaran manipulasi oleh segelintir elite politik yang bertengger (bercokol) dalam dinasti atau oligarki politik. Bukankah itu adalah sebuah tragedi, mengingat dari perspektif teori situasi historis (Theory of Historical Situation), parpol dibentuk untuk mengagregasikan aspirasi rakyat dan sebagai upaya sistem politik untuk mengatasi krisis legitimasi, integrasi, serta partisipasi sebagai akibat dari perubahan masyarakat yang berdimensi luas?
Bila demokrasi oligarki seperti dalam gambaran di atas dibiarkan subur, ia akan menjadi gerbang menuju terowongan (pengap) “Demokrasi Kapital”, yang untuk seterusnya akan memproyeksikan nilai-nilai hegemonik kapitalnya ke berbagai arah dan ranah sehingga akan tercipta kesenjangan yang makin tajam antara para elite (penganut oligarki politik) dan rakyat banyak. Dengan kata lain, Demokrasi Kapital memiliki peluang besar ditransplantasikan gen-nya (genetic transplantation) ke dalam tubuh rakyat untuk menjadi bentuk-bentuk demokrasi nista lainnya, antara lain “Demokrasi Sembako”, di mana tuntutan atau protes rakyat akan dibungkam dan dibodohi dengan bantuan sembako (charity). Bukankah demokrasi seperti itu identik dengan “dehumanisasi”?
***
AGAKNYA tidak keliru bila mayoritas rakyat berpendapat bahwa sebagian besar anggota DPR saat ini kurang peka alias “bebal” terhadap jeritan rakyat. J Kristiadi menulis, “Dalam pasemon dan legenda yang masih hidup di lereng Gunung Merapi, asal muasal perilaku bebal disebabkan kebiasaan mereka sejak kecil mengonsumsi rebung (bambu muda). Setelah dewasa, sosoknya seperti anyaman bambu (dalam bahasa Jawa disebut gedhek) sehingga orang yang dogol dan tidak punya malu disebut rai gedhek” (Kompas, 9/11/2010).
***
DENGAN kondisi seperti disebutkan tadi, bisakah rakyat berharap banyak pada DPR untuk memperjuangkan nasib mereka di tengah himpitan kebijakan-kebijakan yang berlindung di balik pelaksanaan undang-undang (prosedur hukum) yang di antaranya beraroma neoliberal?
Maka, pesimisme kita bisa menjadi meningkat bukan saja karena lemahnya institusionalisasi politik dan belum sistemisnya proses-proses politik di negeri ini — seperti disebutkan di atas — melainkan juga tidak adanya check and balances (saling mengawasi secara seimbang) di antara institusi-institusi demokrasi, di samping kurangnya komunikasi dzahiriah maupun bathiniah dari para elite politik atau the rulling elite terhadap rakyat; ditambah lagi dengan runtuhnya integritas sebagian besar penegak hukum, padahal sesungguhnya hukum dapat menjadi penjaga moral bangsa bila ditegakkan penuh tanggung jawab, kepastian, dan keadilan; apalagi ia (hukum) tidak berada dalam ruang kosong atau vakum kultural. Artinya, hukum yang dilihat dari kacamata hukum belaka (dengan mengabaikan perspektif multiaspek) berpeluang besar memutuskan “suatu kejahatan”, misalnya, sebagai “bukan kejahatan” karena terselubung (rekayasa) mekanisme hukum resmi.
Untuk itu, bersama-sama dengan reformasi di bidang-bidang lainnya, perlu dilakukan reformasi hukum yang mencakup reformasi perundang-undangan (legislation reform atau legal substance reform), legal structure reform, danlegal culture reform (yang dilengkapi dengan reformasi kelembagaan, reformasi administrasi, dan morality reform).
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Namun, bisakah legislation reform itu juga mencakup penghapusan hak presiden dalam memberi tanda tangan atau persetujuan atas permohonan izin pemeriksaan hukum terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pelanggaran hukum, misalnya dengan mereformasi atau merevisi Pasal 36 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang menyebutkan, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden); atau bahkan perlu dilakukan amandemen kelima UUD 1945 untuk, antara lain, menghilangkan hak prerogatif presiden seperti dalam pemberian izin pemeriksaan hukum terhadap kepala daerah; atau juga dengan memangkas kewenangan legislasi presiden — seperti yang diproteksi dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat — dalam rangka terciptanya keseimbangan institusi-institusi negara.
Dalam produk amandemen kelima UUD 1945, fungsi presiden (pemerintah) dikembalikan pada posisinya sebagai lembaga eksekutif dan justru ini akan memperkuat sistem presidensial.
Terus terang, menurut saya, dengan hanya sebatas merevisi Pasal 36 Ayat 1 UU No. 32/2004 tidak akan pernah mampu menempatkan Kejaksaan Agung (Kejagung), misalnya, dalam posisi yang setara dengan presiden (dan kehakiman), yang memungkinkan ia terkondisi untuk berani atau tidak ragu menjalankan kewenangannya langsung menyidik atau memeriksa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi.
Dengan kata lain, seperti yang selama ini berlangsung, Kejagung akan terus memelihara (mengemong) keraguan bahwa ketiadaan izin presiden akan di permasalahkan di persidangan, meski berdasarkan Pasal 36 UU No 32/2004 tersebut dimungkinkan jika dalam waktu 2 x 30 hari sejak berkas dikirim izin presiden tidak turun, penyidik bisa langsung mengadakan pemeriksaan atas kepala daerah termaksud.
Dengan demikian solusi atas kebuntuan tersebut bukan sekadar menempuh langkah lanjut, seperti mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih kasus termaksud bila dalam 60 hari tidak ada izin dari presiden, atau mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 36 Ayat 1 UU No 32/2004 itu sebagai penguat Rancangan Undang-Undang Antikorupsi (RUU Antikorupsi).
Intinya, dalam proses berbangsa dan bernegara kita butuh adanya keseimbangan institusi-institusi negara dalam rangka saling mengawasi secara seimbang (check and balances) demi terciptanya demokrasi yang sehat dan beradab, penegakkan hukum (law enforcement), serta penguatan hak-hak asasi manusia dan keadilan. Dan itu hanya bisa terwujud jika diatur secara tegas dalam konstitusi (UUD 1945). Soalnya, hingga saat ini pemberian izin tertulis (dari presiden) tersebut sering mengalami hambatan, sehingga juga mempersulit pemberantasan korupsi di daerah, padahal hingga April 2011, setidaknya ada 155 kepala daerah yang sedang tersangkut masalah hukum (Kompas, 7/4/2011), dan bahwa berdasarkan catatan Kejagung sejak tahun 2005 hingga April 2011, 61 kepala daerah tidak dapat diperiksa sebagai tersangka atau saksi kasus korupsi karena belum mendapatkan izin dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 8/4/2011). Bukankah berdiri tegaknya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), salah satunya, adalah berkat topangan dari pilar-pilar kekuatan daerah? Masalahnya, bagaimana pilar-pilar itu menjadi kuat bila para kepala daerahnya terlibat dalam pelanggaran hukum (korupsi)?
Sekaitan dengan hambatan pemberian izin tertulis dari presiden, seperti disebutkan di atas, apakah hambatan tersebut merupakan masalah di birokrasi atau di kejaksaan? Entahlah. Yang jelas, Kejagung berpendapat bahwa izin dari presiden harus diperoleh sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan (Kompas, 8/4/2011).
***
DALAM dialog petang pada suatu hari di minggu kedua April 2011 — yang ditayangkan Metro TV — Dr Hermawan Sulistyo (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI) bertanya kepada Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI-P (di DPR), “Siapa yang mengawasi anggota DPR?” Tjahjo kemudian menjawab: “dirinya sendiri” (mungkin maksudnya adalah anggota DPR itu sendiri yang berhak mengawasi diri sendiri). Bukankah ini mengindikasikan rendahnya pemahaman akuntabilitas terhadap rakyat? Dalam dialog itu Hermawan juga menggugat kekurangpekaan para anggota DPR atas protes masyarakat terkait dengan rencana pembangunan gedung DPR yang sangat mewah itu. Namun, segera saja Ignatius Mulyono, anggota DPR dari Partai Demokrat, menyergap: “Masyarakat (rakyat) yang mana?”, yang kemudian ditimpali oleh Hermawan, “Anda tidak pernah menyimak pemberitaan di media massa, ya!” Atas timpalan ini, Mulyono menjawab, yang sering ngomong di media massa itu, kan “pengamat”.
Kepada Mulyono, saya hanya mau mengatakan, masyarakat kelas bawah — korban rekayasa sistem kapitalisme atau neoliberalisme — sudah lama lelah dengan nasib mereka yang apes terus dan bosan menantikan realisasi janji-janji politik yang pernah diumbarkan dengan mulut berbusa-busa saat musim kampanye pemilu dulu, dan kini mereka terpojok ibarat penderita tuna wicara. Dalam kondisi seperti itu, salahkah para pengamat atau intelektual [rausyanfiqratau (calon) ulil albab (meminjam terminologi Al-Qur’an)] membantu menyuarakan aspirasi kaum tertindas atau kaum Marhaen (mustadh’afin — Al Qur’an 28:5), misalnya lewat media massa? Bukankah dalam karut marut seperti sekarang, para pengamat yang menyuarakan aspirasi kalangan — yang terkondisikan oleh sistem politik untuk terpaksa menjadi — tuna wicara (rakyat) lebih mulia daripada para tuna rungu (the rulling elite) yang enggan mendengarkan pekikan amanat penderitaan rakyat?
***
AGAKNYA, urgensi amandemen kelima UUD 1945 didasari alasan yang cukup banyak dan bisa dipertanggungjawabkan ke-shahih-annya, di antaranya bukan saja untuk keperluan penguatan kewenangan (terutama kewenangan legislasi) Dewan Perwakilan Daerah/DPD dalam rangka mewujudkan konsep dua kamar yang kuat (strong bicameralism) dalam sistem parlemen kita — yakni DPR dan DPD — dan pemayungan atau pemijakan legislation reform berupa penghapusan hak presiden dalam memberi tanda tangan atau persetujuan atas permohonan izin pemeriksaan hukum terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pelanggaran hukum, seperti disebutkan tadi, tetapi juga untuk (pemayungan dan pemijakan) pembuatan aturan, mekanisme, atau sistem agar rakyat sebagai pemegang kedaulatan dapat menegakkan haknya untuk menarik dukungan atas anggota-anggota DPR — juga DPD dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) — yang dinilai menghianati amanah yang telah diberikan, tanpa harus menunggu pemilu (Pemilihan Umum) berikutnya. Pasalnya, kalau kita sebagai penumpang angkutan umum, misalnya, yang memercayakan keselamatan hidup kita untuk diantarkan ke stasiun perhentian tertentu, lantas di sepanjang perjalanan sang sopir bertindak ugal-ugalan, apakah logis kita harus membiarkan nasib kita ditentukan oleh perilaku sang sopir yang mengobral janji bahwa pasti ia akan bertanggungjawab menjamin keselamatan penumpang hingga sampai di tempat tujuan, dan bahwa penumpang dilarang memprotes perilaku ugal-ugalan si sopir selama dalam perjalanan?
Memang, ketentuan perundang-undangan yang ada tidak mengatur hak masyarakat pemilih untuk melakukan recall (penghentian) dan impeach(pemecatan) terhadap anggota DPR. Undang-undang hanya memberikan hak recall kepada parpol. Masalahnya, apakah masyarakat ikhlas diambil semua haknya sebagai pemilih (dan pemegang kedaulatan) oleh parpol? Dari perspektif fiqh (Islamic jurisprudence), misalnya, bagaimana hukumnya bila hak politik masyarakat diambil sepenuhnya oleh parpol tanpa keikhlasan masyarakat itu sendiri? Dalam konteks ini, tidakkah sebaiknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hal itu?
Seharusnya, sebagai pemegang kedaulatan, masyarakat tidak boleh dibatasi hak pilihnya dan juga hak-hak lainnya yang terkait dengan itu. Memang, Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 menjamin hak masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, tapi mengapa undang-undang masih mendiskriminasi masyarakat dari hegemoni parpol? Maka, dalam produk amandemen kelima UUD 1945 nanti harus diatur secara tegas pemijakan dan pemayungan semua aspek dari hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem Demokrasi Pancasila, sekaligus menutup ruang gerak politik pembodohan dan pembohongan bahwa, antara lain, kesewenang-wenangan anggota DPR hanya bisa dikoreksi melalui mekanisme pemilu berikutnya. Tanpa kebebasan memantau dan mengoreksi sepak terjang para anggota DPR (DPD dan DPRD), apa bedanya para anggota DPR itu dengan sang sopir ugal-ugalan seperti disebutkan tadi?
***
TERKAIT dengan amandemen kelima UUD 1945, khususnya tentang pasal yang mengatur recall dan/atau impeach oleh masyarakat terhadap wakil mereka (DPR, DPD, dan DPRD) yang berkinerja buruk, saya ringkaskan beberapa fakta berikut (yang dirujuk dari tulisan Feri Amsari: “Legislator Benalu dan Pemecatannya”, Kompas, 27/4/2011) sebagai pembanding dan bahan pertimbangan. Pertama, di India dan Uganda, pemecatan (recall) wakil rakyat dapat dilakukan masyarakat.
Kedua, di Amerika Serikat (AS), terutama di Negara Bagian Oregon, setiap pejabat negara — eksekutif, legislatif, dan yudikatif — dapat diberhentikan melalui impeachment di pengadilan.
Ketiga, di Jepang, dengan mengumpulkan pernyataan sikap (petisi) sebanyak sepuluh persen suara rakyat, di daerah pemilihan tertentu, seorang anggota parlemen dapat dipecat.
***
BERDASARKAN prinsip dan etika demokrasi, seharusnya kehendak dan hak memecat wakil rakyat datang dari rakyat itu sendiri. Lalu, apakah bukan suatu kelancangan bila parpol menetapkan sendiri kewenangan recall padahal rakyatlah yang memilih wakilnya secara langsung?
Oleh karena itu, dari tiga model atau mekanisme pemecatan wakil rakyat yang dikemukakan di atas, mungkin dapat dipilih pola paduan, misalnya Jepang dan AS, di mana setelah terpenuhinya syarat (persentase) pengumpulan petisi di daerah pemilihan tertentu, para pengumpul petisi kemudian dapat mengajukan perkara impeachment ke pengadilan.
Sampai di sini, apakah akan timbul ketidakstabilan di parlemen bila terjadiimpeachment? Sama sekali tidak! Karena pemecatan dilakukan melalui pengadilan dan atas inisiatif masyarakat pemilih. Dengan kata lain, kegaduhan hanya akan terjadi bila wakil rakyat yang di-impeach itu memang bermental perusuh, dan kepadanya biar penegak ketertiban yang mendisiplikannya.
Kita yakin, bila aturan recall dan/atau impeach seperti dimaksudkan di atas bisa diakomodir pada pasal tertentu dalam UUD 1945 yang akan diamandemen nanti (amandemen kelima), maka nasib rakyat tidak akan lagi dipermainkan oleh sekelompok petualang politik atau politisi pragmatis yang duduk di parlemen.[**]
Jakarta, 29 Mei 2011.
(Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email