Pesan Rahbar

Home » » Mengingat Bahwa Pengenalan Tehadap Tuhan Bisa Diperoleh Melalui Pengenalan Diri

Mengingat Bahwa Pengenalan Tehadap Tuhan Bisa Diperoleh Melalui Pengenalan Diri

Written By Unknown on Friday 30 September 2016 | 21:23:00


Mengingat bahwa pengenalan tehadap Tuhan bisa diperoleh melalui pengenalan diri, lalu apa yang dimaksud dengan pengenalan diri tersebut dan bagaimana caranya untuk sampai ke sana?


Jawaban:

Pertanyaan ini menyoroti hadis yang populer dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.; “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya” [1].

Hadis ini dan begitu pula hadis-hadis lain yang menjelaskan hubungan erat antara pengenalan manusia dengan pengenalan Tuhan mengundang bermacam-macam penafsiran dan pembahasan yang berkepanjangan di tengah para ulama.

Dalam pandangan yang global, pengenalan manusia terhadap Tuhan swt. terbagi pada dua macam:
1. Pengenalan Hushuli; yakni pengenalan yang didapat melalui jalur akal, pemikiran, dalil dan burhan.
2. Pengenalan Hudhuri; yakni pengenalan terhadap wujud Tuhan swt. secara langsung dan tanpa perantara apapun. Ilmu hudhuri terhadap Tuhan swt. ini mempunyai beberapa tingkatan yang di antaranya adalah:

2-1. Ilmu Hudhuri yang tanpa dicari; pengenalan Tuhan swt. yang semacam ini bersifat kefitrahan dan ada dalam diri setiap orang, kedatangannya pun di luar keinginan diri tersebut. Pengenalan yang bersifat kefitrahan ini ada di kebanyakan orang dalam bentuk potensi yang bisa dia faktualkan melalui usaha yang keras dan dia tingkatkan dari keadaan yang tidak tentu menjadi pengenalan hudhuri yang disadari. Pengenalan ini diisyaratkan pula oleh dua ayat al-Qur’an:


2-1-1.

فَاَقِم وَجهَکَ لِلدِّینِ حَنِیفًا فِطرَتَ اللهِ اللَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَیهَا / الروم: 30.

Artinya: “Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama (Islam), fitrah (agama) Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya”. (QS. Ar-Rum: 30).

2-1-2.

وَ اِذ اَخَذَ رَبُکَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِم ذُرِّیَّتَهُم وَ اَشهَدَهُم عَلَی اَنفُسِهِم اَلَستُ بِرَبِّکُم قَالُوا بَلَی شَهِدنَا اَن تَقُولُوا یَومَ القِیَامَةِ اِنَّا کُنَّا عَن هذَا غَافِلِینَ * اَو تَقُولُوا اِنَّمَا اَشرَکَ آبَاؤُنَا مِن قَبلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّةً مِن بَعدِهِم اَفَتُهلِکُنَا بِمَا فَعَلَ المُبطِلُونَ / الاعراف: 172-173.

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri mereka, “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” mereka menjawab “Betul, kami menjadi saksi”, yang demikian supaya kalian tidak mengatakan di hari kiamat “Sesungguhnya kami orang-orang yang lalai tentang ini. * Atau agar kalian tidak mengatakan “Sesungguhnya bapak-bapak kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini hanyalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka, maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat itu?”. (QS. Al-A’raf: 172-173).

2-2. Ilmu Hudhuri yang dicari; yaitu ilmu hudhuri yang jelas dan disadari, orang yang berusaha keras dan berhasil menempuh tahapan-tahapan kesempurnaan mempunyai kelayakan untuk menerima anugerah ilmu hudhuri ini dari Allah swt.. Ilmu atau pengenalan ini ada beberapa tingkatan yang kuat dan lemah, tingkatannya yang paling tinggi adalah tujuan final penciptaan dan merupakan puncak kesempurnaan manusia. Meskipun pengenalan hudhuri ini mirip dengan yang pertama dalam hal tidak bisa diperoleh secara langsung oleh manusia, tapi pengantar-pengantarnya tergolong tindakan bebas manusia.

Dengan kata lain, pada hakikatnya kesempurnaan ini adalah balasan untuk perbuatan-perbuatan bebas manusia yang secara utuh akan diberikan kepadanya di akhirat. Namun demikian, sebagian dari tingkatan pengenalan hudhuri ini sudah dimiliki oleh wali-wali Allah swt. sejak mereka masih di dunia. Al-Qur’an menyebut ilmu atau pengenalan hudhuri ini dengan “ru’yah”, “syuhud”, “nadzor” dan semisalnya:


وُجُوهٌ یَومَئِذٍ نَاضِرَةٌ * اِلَی رَبِّهَا نَاظِرَةٌ / القیامة: 22-23.

Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu bercahaya. * Kepada Tuhannya mereka melihat”. (QS. Al-Qiyamah: 22-23).

وَ کَذلِکَ نُرِي اِبرَاهِیمَ مَلَکُوتَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرضِ وَ لِیَکُونَ مِنَ المُوقِنِینَ / الانعام: 75.

Artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan supaya dia termasuk orang-orang yang yakin”. (QS. Al-An’am: 75).

Dan atas dasar bahwa pengenalan Tuhan melalui pengenalan diri berada dalam kerangka ilmu hudhuri, maka jawaban untuk dua pertanyaan di atas adalah berbeda, pertanyaan pertama apakah maksudnya pengenalan diri? Dan pertanyaan yang kedua adalah bagaimana cara untuk sampai ke sana?


Pengenalan Diri

1. Pengenalan Fitrah

Yang dimaksud dengan pengenalan diri dalam bentuk pertama ilmu hudhuri adalah pengenalan terhadap fitrah dan penciptaan manusia, yakni seseorang sadar dan mengerti apakah fitrah?
Apa saja pandangan dan kecenderungan yang bersifat kefitrahan?
Apa analisa al-Qur’an tentang fitrah?
Apa mungkin ditemukan titik-titik kesamaan di antara semua orang?
Apa tolok ukur untuk mengidentifikasi titik-titik kesamaan itu?
Apa ketepatgunaan awal manusia terhadap titik-titik kesamaan itu serupa?
Apa maksudnya bahwa masalah ketuhanan adalah bersifat kefitrahan?
Apa berarti Tuhan ada dalam wujud manusia?
Jika memang demikian, lalu kenapa sebagian dari mereka mengingkari Tuhan dan berpaling dari-Nya? [2]

Ada berbagai cara untuk mencapai pengenalan ini dan menyibak kembali hal-hal yang bersifat kefitrahan:

1-1. Metode Empiris atau Historis;
Dengan merujuk pada masyarakat, sejarah dan perubahan-perubahan yang terjadi di sana kita dapat menemukan elemen-elemen yang hadir di semua ruang dan waktu –walau mungkin sedikit berbeda antara satu sama yang lain dari sisi kuat dan lemahnya, tapi tetap itu menjadi bukti hal-hal yang bersifat kefitrahan tersebut–.

Dan sudah barang tentu elemen-elemen itu harus berada dalam kerangka kemanusiaan, oleh karena itu mental pemerasan orang lain untuk kepentingan pribadi, pelanggaran terhadap hak orang lain, kezaliman dan anti keadilan –yang juga selalu disaksikan oleh sejarah– tidak termasuk elemen-elemen kefitrahan.

1-2. Metode Rasional;
Dengan bersandarkan pada argumentasi asolatul umum (Kesejatian Umum) maka kecenderungan-kecenderungan manusia (seperti kecenderungan pada ilmu, keutamaan dan lain sebagainya) akan terbukti sebagaimana kecenderungan untuk bergerak menuju Tuhan, rasa ingin menyembah Tuhan, dan kefitrahan agama akan juga akan terbukti.

1-3. Metode Penyaksian;
Dengan merujuk pada intuisi dan kesaksian dalam diri maka kecenderungan dan pandangan yang bersifat kefitrahan akan mudah untuk dikenali. Manakala seseorang menengok dalam dirinya dan terlepas dari seluruh ciri khas dan kondisi yang meliputi niscaya dia akan merasakan ternyata dia mencintai keindahan dan pengetahuan, dia juga merindukan keutamaan-keutamaan moral, memuji siapa saja yang menyandang keutamaan itu, dan berusaha untuk menghidupkan kembali keutamaan-keutamaan itu dalam dirinya. Dengan demikian maka dia dapat menemukan kecenderungan-kecenderungannya yang bersifat kefitrahan.

1-4. Metode Tekstual;
Dengan merujuk pada al-Qur’an dan sunnah (literatur hadis) maka kecenderungan dan pandangan manusia yang bersifat kefitrahan dapat diidentifikasi dan diklasifikasi.


2. Pengenalan Kepribadian

Yang dimaksud dengan pengenalan diri dalam bentuk kedua dari pengenalan yang hudhuri adalah pengenalan terhadap jiwa, kepribadian dan kemanuisaan manusia itu sendiri, yakni hendaknya seseorang tahu apakah jiwa?
Apa ciri-cirinya?
Apa tingkatan-tingkatannya dan bagaimana tingkatan-tingkatan itu saling berhubungan?
Bagaimanakah bentuk hubungan antara jiwa dan tubuh?
Apakah jiwa, akal dan hati itu satu?
Jika tidak, lalu apa yang membedakan antara mereka?
Bagaimana pengertian jiwa (nafs) menurut al-Qur’an dan hadis?
Apa yang dimaksud dengan naik-turunnya jiwa?
Apa yang dimaksud dengan pengembangan dan penyucian jiwa?
Bagaimanakah hubungan antara jiwa dan tindakan?
Apa saja kemampuan yang dimiliki oleh jiwa?
Apa maksudnya keabstrakan (kemujaradan) jiwa?
Apa saja kekuatan-kekuatan yang dimilikinya? Apa mungkin pengenalan Tuhan dapat diperoleh melalui pengenalan jiwa?
Sampai manakah tingkatan dari pengenalan ini?
Kesimpulannya adalah manusia harus mengenali jiwa, ruh dan hakikat dirinya agar dia tahu siapakah dia dulu, siapakah dia sekarang, dan akan menjadi siapa dia di masa mendatang? [3]

Allah swt. menekankan pengenalan ini di dalam al-Qur’an dengan ibarat yang betul-betul mengundang perenungan:

یآ اَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا عَلَیکُم اَنفُسَکُم لَا یَضُرُّکُم مَن ضَلَّ اِذَا اهتَدَیتُم اِلَی اللهِ مَرجِعُکُم جَمِیعًا فَیُنَبِّئُکُم بِمَا کُنتُم تَعمَلُونَ / المائدة: 105.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian! Orang yang sesat tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk, hanya kepada Allah tempat kembali kalian semuanya, maka dia akan terangkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. Al-Ma’idah: 105).

Potongan akhir ayat di atas tentang kepulangan semua manusia kepada Allah swt. dan mereka akan menerima hasil dari perbuatan-perbuatan mereka sendiri pada hari pertemuan dengan Allah swt., menjelaskan bagaimana pentingnya perintah untuk mengenal diri dan hakikat jiwa. Dengan perspektif ini maka arti dari hadis “barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya” adalah: siapa saja yang mengenal dirinya sebagaimana adanya dan sebagai manivestasi Tuhan, maka dia juga mengenal dan menyaksikan Tuhannya.

Sebelum memasuki pembahasan tentang bagaimana caranya sampai pada pengenalan diri dalam bentuknya yang kedua, ada poin-poin yang perlu untuk diperhatikan:
Pertama. Pengembangan diri dan proses kesempurnaannya tergantung sekali pada pengenalan diri dan juga penguasaan tentang faktor-faktor kemunduran serta faktor-faktor kemajuan.

Kedua. Pada hakikatnya, pengenalan diri (jiwa) adalah pengenalan terhadap jalan dan pejalan, karena diri manusia berjalan menuju Tuhan, dan jalan yang harus ditempuh oleh manusia adalah tingkatan-tingkatan dirinya, dengan melalui satu tingkatan maka dia akan naik ke tingkatan yang selanjutnya. Dan lebih penting dari itu semua, menurut ayat al-Qur’an, tujuan dari jalan ini adalah Tuhan. Oleh karena itu manusia harus senantiasa mengingat Tuhan, sebab jika dia melupakan tujuan dari jalan yang dia tempuh maka secara otomatis dia juga telah melupakan jalannya sendiri. Dengan kata lain, lupa terhadap Tuhan akan menyebabkan lupa terhadap diri sendiri.

Ketiga. Pengenalan yang ditekankan oleh sumber-sumber otentik Islam adalah pengenalan yang menjadi perantara untuk pengenalan terhadap Tuhan dan bukan pengenalan yang dimaksudkan untuk hal-hal yang lain.

Keempat. Berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis, pengenalan ini juga harus merupakan prinsip praktis yang berarti proses menuju kesempurnaan, karena selain itu maka pengenalan diri dari sisi keilmuan dan teoritis tidak lebih dari pengenalan terhadap konsep-konsep saja. [4]

Sebetulnya, sesuatu yang mampu mengantarkan manusia sampai pada kesaksian Tuhan adalah pengenalan terhadap hakikat diri sekaligus gerakan menuju kedudukan dan kesempurnaan dirinya, dan hal ini hanya bisa diperoleh dengan cara beramal dan bertaqwa. [5]

Selain apa yang telah disebutkan di atas, dari dua arah pengenalan diri akan berujung pada pengenalan Tuhan: Pertama-tama kita harus tahu bahwa hakikat keberadaan manusia adalah ketergantungan dan kebutuhan yang total terhadap Tuhan serta sama sekali tidak memiliki kemandirian. Maka itu seluruh keberadaan kita beserta atribut-atributnya adalah milik Tuhan dan bergantung pada-Nya:

اِنَّا لِلّهِ / البقرة: 156.

Artinya: “Sesungguhnya kita milik Allah”. (QS. Al-Baqarah: 156).

Tuhan adalah hakikat yang kekal yang mengadakan segala sesuatu dan yang memberikan semua kesempurnaan pada segala sesuatu tersebut, termasuk di antaranya adalah manusia:


هُوَ الحَیُّ القَیُّومُ / البقرة: 255؛ آل عمران: 2؛ طه: 111.

Artinya: “Dialah Yang Hidup Kekal lagi Berdiri Sendiri”. (QS. Al-Baqarah: 255; Alu Imran: 2; Thaha: 111).

Dia sama sekali tidak butuh pada siapa saja dan apa saja:

یآ اَیُّهَا النَّاسُ اَنتُمُ الفُقَرَاءُ اِلَی اللهِ وَاللهُ هُوَ الغَنِيُّ الحَمِیدُ /فاطر: 15.

Artinya: “Hai manusia, kalianlah yang memerlukan Allah, sedang Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Fathir: 15).

Ini adalah hakikat-hakikat yang bisa dicapai dengan cara kehadiran dan kesaksian serta penyingkiran hal-hal yang menghalangi makrifat seperti kelalaian yang diakibatkan oleh keterlenaan dalam syahwat dan kecintaan terhadap dunia. [6]

Kemudian yang kedua bahwa dengan cara mengenali kemampuan batin dan lahir manusia dan mengakui kelemahannya dalam mengenali semua kemampuan yang dia miliki serta kebingungannya dalam mengetahui hakikat ruh, dia bisa mendapatkan secercah pengenalan tentang Tuhan, sebab dalam diri manusia terdapat tiupan ruh Tuhan sehingga dia bisa menjadi khalifah-Nya di bumi.


Penerjemah: Nasir Dimyati


Referensi:

1. Abdul Wahid bin Muhammad, Amadi Tamimi, Syarhu Ghuraril Hikam wa Durarul Kalim, hal. 232.
2. Untuk lebih jelasnya Anda bisa merujuk pada buku “Seresyte Inson” karya Ali Syirwani.
3. Untuk lebih jelasnya Anda bisa merujuk pada buku “Duruse Ma’rifate Nafs” karya Hasan Hasan Zadeh Amuli, dan “Maqolot” karya Muhammad Syuja’i, jilid 1.
4. Sayid Muhammad Husein Thaba’ Thaba’i, al-Mizan, jilid 6, halaman 163-169.
5. Untuk lebih jelasnya Anda bisa merujuk pada buku “Maqolot” karya Muhammad Syuja’i, jilid 2 dan 3.
6. Lihatlah al-Quran, surat al-A’raf, ayat 179.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: