Pokok-pokok Bahasan 1:
- Mukaddimah.
- Cara-cara Mengetahui Hukum.
- Pembagian Taklid.
- Amal Ibadah tanpa Taklid.
1. Mukaddimah
Setiap mukallaf diwajibkan mempelajari masalah-masalah hukum syar’i yang dilakukannya sehari-hari, seperti masalah shalat, puasa, bersuci, sebagian muamalah dan lain sebagainya. Jika ia tidak mempelajari hukum-hukum tersebut sehingga menyebabkan ia meninggalkan hal yang wajib atau melakukan hal yang haram, maka ia berdosa. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 6, bab taklid, masalah 6).
Perhatian:
* Mukallaf ialah setiap orang yang telah memenui syarat-syarat taklif.
* Syarat-syarat taklif ialah:
1. Baligh.
2. Berakal.
3. Mampu. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1892).
* Tanda-tanda baligh adalah salah satu dari tiga hal berikut ini:
1. Tumbuhnya bulu di bawah perut.
2. Mimpi (yang menyebabkan keluar mani).
3. Genap berusia 15 tahun Hijriyah bagi laki-laki. Genap berusia 9 tahun Hijriyah bagi perempuan. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 742, 1887, 1889).
* Sekedar melakukan hubungan suami isteri, jika tidak mengeluarkan mani, tidak dianggap sebagai tanda baligh. Tetapi hal itu menyebabkan wajibnya mandi junub. Apabila ketika itu ia tidak mandi junub, maka ia wajib mandi junub ketika telah mencapai usia baligh. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1891).
* Selama seseorang itu tidak memiliki salah satu dari tanda-tanda baligh tersebut, maka secara syar’i ia belum dinamakan baligh dan ia pun belum diwajibkan melakukan hukum-hukum syar’i.(Ajwibah al-Istifta’at, soal 1891).
* Sekedar perkiraan telah tumbuh bulu di bawah perut atau mimpi keluar mani lebih cepat dari usia baligh, maka hal itu belum dianggap cukup untuk menjadikan seseorang telah baligh. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1890).
* Darah yang keluar dari seorang wanita yang usianya belum mencapai 9 tahun, bukan sebagai tanda baligh. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1892).
* Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tolok ukur baligh itu berdasarkan hitungan tahun Hijriyah. Apabila tahun kelahiran seseorang berdasarkan tahun Syamsiyah atau Masehi, maka ia dapat mengetahuinya dengan cara menghitung selisih antara tahun Hijriyah dengan tahun Syamsiyah atau Masehi (Setiap tahun Hijriyah itu kurang dari 10 hari, 21 jam dan 17 menit dari tahun Syamsiyah atau Masehi). (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1887, 1888).
2. Cara-cara Mengetahui Hukum
Setiap mukallaf dapat mengetahui hukum-hukum syar’i dengan tiga cara:
Pokok-pokok Bahasan 2:
1. Ijtihad.
2. Ihtiyath.
3. Taklid. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 1).
1. Ijtihad
Ijtihad ialah: menyimpulkan dan mengeluarkan hukum-hukum syar’i dan undang-undang Ilahi dari sumber-sumber yang diakui oleh para fakih dan ulama Islam.
2. Ihtiyath
Ihtiyath ialah: melakukan suatu pekerjaan sedemikian rupa sehingga seseorang merasa yakin bahwa ia telah melaksanakan tugas syar’inya. Misalnya jika terdapat suatu perbuatan yang diharamkan oleh sebagian mujtahid, sementara sebagian mujtahid lainnya tidak mengharamkannya, maka ia tidak melakukannya. Dan jika terdapat suatu perbuatan yang diwajibkan oleh sebagian mujtahid, semenrtara sebagian mujtahid lainnya tidak mewajibkannya, maka ia melakukannya (Ajwibah al-Istift’at, soal 1 dan 3, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 1).
3. Taklid
Taklid ialah: Mengikuti dan mengamalkan fatwa-fatwa seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1 dan 3 dan istifta’ Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 1).
Perhatian:
* Masalah taklid, di samping dapat ditetapkan berdasarkan dalil lafdzi , akal juga dapat menghukumi bahwa seseorang yang jahil dalam hukum-hukum agama harus merujuk kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 1).
* Seorang mukallaf yang belum mencapai peringkat mujtahid dalam hukum-hukum agama, ia harus bertaklid atau berihtiyath. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 1).
* Mengingat bahwa melakukan ihtiyath dalam amal ibadah itu memerlukan pengetahuan atas tata-cara dan tempat-tempatnya, dan juga lebih banyak menyita waktu, maka si mukallaf lebih baik bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 2).
* Taklid itu diwajibkan kepada setiap orang yang telah memenuhi tiga syarat:
1. Mukallaf (telah baligh).
2. Bukan mujtahid.
3. Bukan muhtath. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 1).
3. Pembagian taklid
Taklid kepada mujtahid yang telah wafat ada dua bagian:
1. Ibtida’i , yaitu seorang mukallaf mulai bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah wafat, padahal ketika mujtahid itu masih hidup, ia tidak bertaklid kepadanya. Taklid semacam ini, secara ihtiyath wajib tidak dibolehkan.
2. Baqa’i, yaitu seorang mukallaf tetap meneruskan taklidnya kepada seorang mujtahid yang telah wafat, dan ketika mujtahid tersebut masih hidup dia bertaklid kepadanya. Taklid semacam ini dibolehkan dalam semua masalah fikih, termasuk dalam masalah-masalah yang hingga kini belum sempat dia amalkan. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 22 dan 41 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 4).
Perhatian:
* Di dalam taklid baqa’i, tidak ada perbedaan antara mujtahid itu a’lam (lebih pandai) ataupun tidak. Pada kedua kondisi itu dibolehkan. Tetapi sebaiknya jangan meninggalkan ihtiyath untuk tetap bertaklid kepada mujtahid mayit yang a’lam. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 35).
* Taklid ibtida’i atau tetap bertaklid kepada mujtahid mayit dan batasan-batasannya, harus merujuk kepada mujtahid yang hidup dan secara ihtiyath harus yang a’lam. Tetapi apabila kebolehan bertaklid kepada mujtahid mayit itu disepakati oleh fuqaha’ pada masanya, maka izin dari mujtahid a’lam tidak diperlukan lagi. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 23, 36 dan 40 dan Istifta’ dari Kantor rahbar, bab Taklid, masalah 4).
* Seseorang yang ketika bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat itu belum baligh, tetapi ia bertaklid kepadanya dengan cara yang benar, maka ia diperbolehkan untuk tetap bertaklid kepadanya setelah marja’nya itu wafat. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 42).
* Apabila seseorang bertaklid kepada seorang mujtahid, dan setelah mujtahid itu wafat, ia bertaklid kepada mujtahid lainnya di dalam beberapa masalah, kemudian mujtahid yang kedua pun wafat, maka dalam hal ini ia dibolehkan untuk tetap bertaklid kepada mujtahid yang pertama di dalam masalah-masalah yang ia belum berpindah taklid darinya. Sementara di dalam masalah-masalah yang ia sudah berpindah taklid darinya, ia dibolehkan memilih antara tetap mengikuti fatwa-fatwa mujtahid yang kedua atau berpindah kepada mujtahid yang masih hidup. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 37).
4. Beramal Ibadah tanpa Taklid
Amal ibadah seseorang yang ia lakukan tanpa taklid, atau taklidnya tidak benar, dapat dianggap sah apabila:
1. Sesuai dengan ihtiyath (kehati-hatian).
2. Sesuai dengan waqi’ (kenyataan).
3. Sesuai dengan fatwa mujtahid yang wajib ia taklidi. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 7).
Pokok-pokok Bahasan 3:
-Syarat-syarat Marja’ Taklid.
-Tab’idh dalam Taklid.
5. Syarat-syarat Marja’ Taklid
Perhatian :
* Seorang itu dapat menjadi marja’ taklid dan bisa ditaklidi jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Laki-laki.
2. Baligh.
3. Berakal sehat.
4. Bermadzhab Syi’ah Imamiyah.
5. Anak halal.
6. Secara ihtiyath wajib, masih hidup.
7. Adil.
8. Mengingat pentingnya kedudukan marja’iyah dalam masalah fatwa, maka secara ihtiyath wajib seorang marja’ harus bersifat zuhud, wara’ dan tidak rakus terhadap materi duniawi.
9. Mujtahid.
10. Secara ihtiyath wajib, harus a’lam (paling pandai) dari para mujtahid lainnya.
(Ajwibah al-Istifta’at, soal 12, 15, 16, 21 dan 22 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 2).
Penjelasan Syarat ke – 7
1. Adil adalah merupakan kondisi jiwa yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa bertakwa sehingga ia tidak mungkin meninggalkan hal-hal yang diwajibkan dan melakukan hal-hal yang diharamkan. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 562).
2. Seseorang dikatakan adil apabila menyandang sifat tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa ketakwaannya sampai kepada tingkatan dimana ia tidak akan melakukan dosa dan maksiat (meninggalkan hal-hal yang wajib atau melakukan hal-hal yang haram) dengan sengaja. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 13 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 2).
3. Untuk menilai keadilan seseorang, cukup hanya dengan memperhatikan kebaikan lahiriyahnya saja. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 562).
Penjelasan Syarat ke – 9
1. Ijtihad dari satu sisi terbagi kepada dua bagian:
a. Ijtihad Mutlak: Seseorang yang telah mampu melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa dalam seluruh bab fikih. Orang itu disebut sebagai "Mujtahid Mutlak".
b. Mujtahid Mutajazzi: Seseorang yang mampu melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa hanya dalam sebagian bab fikih saja seperti shalat, puasa dan lainnya. Orang itu disebut sebagai "Mujtahid Mutajazzi". (Ajwibah al- Istifta’at, soal 10).
2. Fatwa seorang mujtahid mutlak disamping merupakan hujjah bagi dirinya, orang lainpun dapat bertaklid kepadanya. Begitu pula dengan fatwa mujtahid mutajazzi. Tetapi secara ihtiyath mustahab hendaknya tidak bertaklid kepada mujtahid mutajazzi. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 10).
Penjelasan Syarat ke – 10
1. Yang dimaksud a’lam (lebih pandai) adalah bahwa seseorang itu lebih mampu dalam melakukan ijtihad. Dengan kata lain bahwa dia lebih mampu dalam mengetahui hukum-hukum Ilahi dibandingkan dengan para mujtahid lainnya dan lebih mengetahui dalil-dalilnya dalam berijtihad. Disamping itu pula ia lebih mengetahui kondisi zamannya yang mempengaruhinya dalam menentukan objek-objek hukum. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 16 dan istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 2).
2. Dalil diwajibkan bertaklid kepada mujtahid yang a’lam adalah berdasarkan tingkah laku uqala’ (orang-orang yang berakal) dan hukum akal. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 20).
3. Kewajiban bertaklid kepada mujtahid a’lam itu -berdasarkan ihtiyath wajib- adalah dalam masalah-masalah dimana fatwa mujtahid a’lam berbeda dengan fatwa mujtahid yang tidak a’lam. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 16).
4. Hanya sekedar memungkinkan kurangnya syarat pada mujtahid a’lam -secara ihtiyah wajib- tidak boleh seseorang bertaklid kepada mujtahid yang bukan a’lam dalam masalah-masalah yang diikhtilafkan. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 17).
Beberapa Poin Syarat-syarat Marja’ Taklid
* Keabsahan bertaklid kepada marja’ yang telah memenuhi syarat tidak disyaratkan bahwa marja’ tersebut telah menyandang marja’iyah atau memiliki risalah amaliyah. Oleh karena itu apabila seorang mukallaf telah membuktikan syarat-syarat marja’iyah pada seorang mujtahid, ia boleh bertaklid kepadanya sekalipun marja’ tersebut belum menduduki kursi marja’iyah atau tidak memiliki risalah amaliyah. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 9).
* Bertaklid kepada seorang marja’ taklid yang telah memenuhi syarat tidak disyaratkan harus senegara atau satu tempat tinggal dengan si mukallaf. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 11).
* Para ayah dan ibu berkewajiban memberikan petunjuk dan bimbingan kepada anak-anak mereka yang baru saja menginjak usia taklif (balig) dimana mereka sudah harus memilih marja’ taklid, tetapi mereka mendapatkan kesuliutan dalam memahami masalah-masalah taklid sehingga tidak dapat menentukan tugas syar’i mereka. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 4).
6. Tab’idh dalam Bertaklid
1. Tab’idh dalam bertaklid ialah seseorang membagi-bagi dalam taklidnya, yakni pada sebagian masalah ia bertaklid kepada seorang marja’ dan pada sebagian lainnya bertaklid kepada marja’ yang lainnya.
2. Mukallid (seseorang yang bertaklid) dibolehkan bertaklid dalam sebagian hukum kepada seorang marja’ yang a’lam dalam masalah tersebut. Misalnya dalam bab ibadah ia bertaklid kepada seorang marja’, sementara dalam bab mu’amalah ia bertaklid kepada marja’ yang lainnya, atau dalam hukum-hukum individu ia bertaklid kepada seorang marja’ dan dalam hukum-hukum sosial, politik dan ekonomi ia bertaklid kepada marja’ yang lainnya. Bahkan apabila si mukallaf dapat membuktikan a’lamiyah setiap marja’ dalam masalah-masalah tertentu yang diwajibkan bertaklid kepadanya, maka secara ihtiyath wajib ia harus melakukan tab’idh dalam bertaklid ketika terdapat ikhtilaf dalam fatwa. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 18 dan Istifta’ Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 5).
Pokok-pokok Bahasan 4:
- Cara-cara Mengetahui Mujtahid yang Memenuhi Syarat.
- Cara-cara Memperoleh Fatwa Seorang Mujtahid.
- Hukum-hukum ‘Udul (pindah taklid).
- Berbagai Masalah Taklid.
7. Cara-cara Mengetahui Mujtahid yang Memenuhi Syarat
Mujtahid yang telah memenuhi syarat dapat diketahui dengan dua cara:
a. Dengan cara ithmi’nan (keyakinan hati) yang diperoleh baik melalui informasi yang tersebar di masyarakat umum, atau melalui pembuktian pribadi, maupun melalui cara-cara lainnya.
b. Dengan kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan . (Ajwibah al-Istifta’at, soal 25 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab taklid, masalah 3).
Perhatian:
* Apabila terdapat kesaksian syar’i (seperti kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah ) bahwa seorang mujtahid telah layak dan memenuhi syarat, maka kesaksian tersebut menjadi hujjah syar’i selama tidak ada kesaksian lainnya yang bertentangan dengannya. Dan kesaksian semacam itu dapat dipegang sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan . Pada kondisi seperti ini tidak diwajibkan mencari dan menetapkan adanya kesaksian yang bertentangan dengannya. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 22 dan 27).
8. Cara-cara Memperoleh Fatwa Seorang Mujtahid
a. Mendengarnya langsung dari mujtahid yang bersangkutan.
b. Mendengarnya dari dua atau seorang yang adil.
c. Mendengarnya dari seseorang yang dianggap jujur.
d. Merujuk kepada risalah amaliyahnya jika risalah amaliyah itu tidak terdapat kekeliruan. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 25).
Perhatian:
* Dalam hal menukil fatwa seorang mujtahid dan menjelaskan hukum-hukum syar’i, tidak disyaratkan harus memperoleh izin darinya. Tetapi dalam melakukan hal itu tidak boleh salah dan keliru. Apabila ternyata salah dalam melakukan hal itu, maka ia wajib meluruskannya segera dan mengabarkan kepada orang-orang yang telah mendengar darinya. Dan si pendengar tidak diperkenankan mengamalkan apa yang ia dengar dari seseorang sampai ia merasa yakin akan kejujuran si penyampai. (Ajwibah al-Isrtifta’at, soal 28).
9. Hukum-hukum Udul (Pindah Taklid)
1. Tempat-tempat dibolehkan udul kepada mujtahid yang tidak a’lam:
a. Pada masalah-masalah dimana mujtahid a’lam tidak memiliki fatwa, sementara mujtahid yang tidak a’lam tidak ber-ihtiyath dan tidak memiliki fatwa yang jelas.
b. Pada masalah-masalah dimana fatwa mujtahid yang tidak a’lam tidak bertentangan dengan fatwa mujtahid a’lam.
c. Pada masalah-masalah dimana fatwa a’lam menyalahi ihtiyath, sementara fatwa mujtahid yang tidak a’lam sesuai dengan ihtiyath. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 8, 19 dan 20).
2. Tempat-tempat Tidak dibolehkan Udul :
a. Udul dari mujtahid hidup kepada mujtahid hidup lainnya -secara ihtiyath wajib- tidak dibolehkan, kecuali mujtahid tersebut tidak memenuhi sebagian syarat marja’iyah. Misalnya marja’ yang kedua a’lam dibandingkan marja’ pertama dan fatwanya bertentangan dengan fatwa marja’ yang pertama.
b. Tidak boleh kembali bertaklid kepada mujtahid yang sudah mati setelah udul darinya kepada mujtahid hidup dalam masalah-masalah dimana ia sudah berpindah taklid darinya. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 31, 38, 39, 45 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 5).
Perhatian:
* Adanya dugaan bahwa fatwa seorang marja’ a’lam itu tidak sesuai dengan zaman atau kondisi pada masanya atau sulit diamalkan, tidak bisa dijadikan sebagai alasan kebolehan udul darinya kepada mujtahid lain. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 45).
10. Beberapa Masalah Taklid
1. Ketika seorang mukallaf di tengah-tengah melakukan shalat berbenturan dengan masalah yang ia belum ketahui hukumnya, ia dibolehkan mengamalkan salah satu dari dua pilihan yang dimungkinkannya sampai ia menyelesaikan shalatnya. Tetapi setelah shalat ia harus menanyakan masalah tersebut. Apabila ternyata apa yang telah ia lakukan itu menyebabkan batal shalatnya, maka ia wajib mengulangi lagi shalatnya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 6).
2. Jahil (tidak mengetahui) -dari satu sisi- terbagi dua:
a. Jahil Qashir : Seseorang yang sama sekali tidak menyadari ketidak tahuannya atau ia tidak mengetahui cara menghilangkan ketidak tahuannya tersebut.
b. Jahil Muqashshir : Seseorang yang menyadari ketidak tahuannya dan iapun mengetahui cara menghilangkannya, tetapi ia enggan untuk mempelajari hukum-hukum. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 46 dan 47).
- Ihtiyath wajib ialah kewajiban melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan karena ihtiyath (kehati-hatian). Di dalam ihtiyath wajib si mukallid dibolehkan merujuk kepada mujtahid yang tidak ber-ihtiyath dan mempunyai fatwa yang jelas, tetapi harus menjaga urutan a’lamiyahnya. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 8 dan 48).
- Beberapa istilah yang biasa terdapat di dalam kitab-kitab fikih seperti: "Fihi Isykal", "Musykil" dan "La Yakhlu Min Isykal" menunjukkan atas ihtiyath. Kecuali istilah "La Isykala Fihi", ia menunjukkan atas fatwa. (Ajwibah al-Istifata’at, soal 50).
- Di dalam pengamalan hukum tidak terdapat perbedaan antara istilah "tidak boleh" dengan istilah "haram". (Ajwibah al-Istifta’at, soal 51).
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email