Mengapa aksi-aksi teror di Tanah Air dan dunia seperti sulit dibasmi? Apa pula yang menyebabkan keberadaan komplotan penebar teror itu tak mudah dideteksi sejak dini oleh aparat intelijen dan Polisi? Apa penyebab sebenarnya sehingga para pelaku aksi teror berupa bom bunuh diri seolah selalu ada yang baru dari waktu ke waktu? Dan lebih dari itu, benarkah orang-orang yang terlibat dalam jaringan dan sel-sel teroris ini telah kehilangan jatidirinya sebagai manusia?
Di Indonesia, kabar terbaru hasil pengungkapan jaringan terduga teroris di Tangerang Selatan, Payakumbuh, Deli Serdang serta Batam membuktikan bahwa mereka menyebarkan ideologi radikal melalui sel-sel kecil yang sulit terdeteksi.
Seorang pengamat terorisme mengatakan orang-orang itu terhubung satu sama lain karena kesamaan ide yang tersebar melalui media sosial, sehingga dianggap akan menyulitkan polisi karena pelakunya hampir selalu baru. Kenapa demikian? Karena sebagian besar orang yang bergabung dalam sel-sel kecil itu tidak pernah menjadi jaringan sebelumnya. Salah satu contohnya adalah sosok Dian Yulia Novi, calon pengebom bunuh diri yang ditangkap polisi di Bekasi, pekan lalu.
Diketahui bahwa Dian belum pernah menjadi bagian atau kelompok jaringan teroris, tapi dia hanya sepakat dengan ide. Ide jihad yang tersebar di mana-mana. Pola seperti itu berbeda dengan pola rekrutmen lama yang dilatari identitas kolektif. Dulu, kata si pengamat, fenomenanya orang masuk ke kelompok dulu, jadi identitas kolektif, apakah Jamaah Islamiyah, Darul Islam, atau apapun, kemudian baru terlibat dalam aksi kekerasan. Sekarang, lanjutnya, kemunculan sel-sel kecil itu lebih dilatari keterhubungan (connective action) karena adanya kesamaan ide. Artinya, mereka hanya saling sepakat dengan idenya saja, tapi kemudian terkonek melalui grup WA, grup Telegram dan media sosial lainnya. Melalui media sosial itulah, kelompok-kelompok kecil ini ‘bergerak’. Berangkat dari ide yang sama, yaitu kalau tidak bisa hijrah atau bergabung dengan al-Baghdadi (pimpinan ISIS) di Suriah, maka lakukan saja amaliah jihad di sini, di Indonesia.
Sekadar informasi, hari Rabu (21/12/2016), dalam waktu hampir bersamaan, polisi telah menewaskan tiga orang terduga teroris di Tangerang Selatan dan menangkap tiga orang lainnya di Payakumbuh, Sumatera Barat, Deli Serdang, Sumatera Utara, serta di Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Tindakan kepolisian ini berdasarkan pengembangan pengungkapan jaringan teroris di Bekasi, dengan temuan barang bukti Bom Panci pada pekan lalu, yaitu keterangan calon pengebom bunuh diri bernama Dian Yulia Novi.
Tak berselang lama, Tim Densus 88 kembali melakukan aksi penggerebekan terduga teroris yang bermarkas di rumah apung Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, bertepatan dengan Hari Natal, Minggu (25/12/2016).
Dalam operasi ini, tercatat 2 terduga teroris tewas dan 2 orang lainnya berhasil ditangkap hidup-hidup.
Siapakah sebenarnya orang-orang ini? Latar belakang dan motivasi apa yang telah membuat mereka melabuhkan pilihan hidup-matinya sebagai teroris?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, mungkin ada baiknya kita renungkan paparan singkat dan sederhana dari seorang kawan berikut ini.
Melalui tokoh Stepan Fedorov dalam lakonnya, peraih Nobel Sastra Albert Camus menyatakan bahwa terorisme bukanlah permainan bagi mereka yang masih direpotkan dengan urusan moral. Maka tak perlu terlampau heran jika kita saksikan betapa para teroris itu selalu berlaku kejam dan tak punya belas kasihan. Konon hal itu terjadi karena mereka telah lebih dulu mematikan sisi kelembutan manusiawinya dalam diri mereka, sebelum pada akhirnya benar-benar menjadi si raja tega dan pembunuh sadis berdarah dingin.
Tak hanya soal perasaan, para aktor pelaku teror itu pun—dengan keyakinan yang dimilikinya, takkan pernah dihinggapi rasa bersalah atas semua tindakannya. Tak terkecuali tindakan keji yang dalam kacamata umum jelas-jelas dinilai menabrak aturan moral dan kemanusiaan.
Apa yang bagi kita tampak aneh dan di luar nalar, sebaliknya bagi mereka yang pemahaman radikal telah begitu meresap ke dalam dagingnya, mengalir dalam darah dan meracuni otaknya, bakal terasa biasa jika hanya urusan menghilangkan nyawa manusia.
Mungkin inilah gambaran watak necrofil seperti kata Erich Fromm, yakni watak layaknya mayat yang membuat orang dapat merampas tanpa risih, bisa menyiksa tanpa rasa iba. Mungkin juga para teroris inilah sejatinya golongan True Machiavelian, yang dalam hidupnya semata mempertuhankan tujuan dengan mempersetankan cara.
Lalu makhluk apakah para teroris itu sesungguhnya? Benarkah seperti kata Joseph Brodsky, “Marilah bercermin, dan lihatlah, kita manusia, makhluk berbahaya.” Atau justru pernyataan bijak penyair sufi Sa’di, “Jika kalbumu tak mampu tergetar oleh penderitaan orang lain, tak pantas kau menyebut dirimu manusia,” yang lebih pas untuk menggambarkan jatidiri mereka?
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email