Menurut Habib Ali Zainal Abidin, meski Anda memandang orang kafir sebagai orang yang tak beriman pada Allah, jangan terburu-buru menilai ia lebih hina dari Anda. Pasalnya, kata Habib Ali, Anda tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan diri Anda di penghujung kelak.
“Kalau penghujung ia itu baik? Bukankah dalam hadis diceritakan orang yang membunuh 99 orang lalu ia tetapkan (genapkan) menjadi 100 orang kemudian bertaubat pada Allah dan diterima taubatnya,” kata Habib Ali dalam video ceramahnya yang telah ditonton 400 ribu kali lebih oleh pengguna Youtube, (15/1).
Orang yang dikisahkan dalam hadis itu pun dimasukkan ke surga oleh Allah walau belum beramal baik apapun. Ia hanya baru memiliki niat baik, yaitu kehendak untuk bertaubat.
Habib Ali lalu berkisah lagi tentang orang yang alim dan disanjung-sanjung oleh banyak orang di zaman Nabi Musa. “Tapi pada penghujungnya digambarkan oleh Allah Swt sebagai ulama suu’ (buruk),” katanya.
Jadi kalau melihat orang kafir, lanjut Habib Ali kembali menekankan, jangan terburu-buru menilai kita lebih baik dari dia sebelum penghujung yang menentukan.
“Saya tak tahu penghujung saya apa, dan penghujung dia apa,” katanya.
Memang kita membenci pada kekufuran, tapi bukan kepada individunya. Karena kita tidak tahu bagaimana nasib penghujung individu seseorang.
Mengenai persoalan ini, Habib Ali memberi contoh bagaimana menyikapinya dengan bijak. Kalau kita melihat orang yang lebih tua dari kita namun tidak shalat misalnya. Karena lebih tua secara usia, kita bisa memandang bahwa ia lebih dulu mengenal Islam jauh sebelum kita mengenal agama ini.
“(Dia) sudah berbuat baik sebelum saya berbuat baik. Mungkin dia akan mendapatkan hidayah (lagi),” katanya.
Kepada yang lebih muda usianya dan kerap kita padang lebih hina, maka kita lihat bahwa sesungguhnya kita-lah yang lebih dulu berbuat dosa sebelum ia melakukannya.
“Tengok kekurangan diri (kita) dan kelebihan yang ada pada orang (lain),” pesan Habib Ali.
Dengan sikap seperti ini, baru seseorang bisa memasuki pintu tawadhu. Berbeda jika setiap orang mempertahankan egonya masing-masing maka setiap dari kita mau dihormati. Sedemikian besarnya ego yang dipertahankan, kita akan emosi atau marah jika tidak dihormati orang lain.
“Kata Abu Yazid Al Busthami, orang itu dikatakan tawadhu kalau tengok dirinya tak ada nilai,” jelasnya dengan dialek Melayu.
Dalam konteks ini, Habib Ali mengutip sabda Rasulluah Saw tentang kemungkinan kita melihat orang secara lahir tampak kusut tapi jika ia berdoa, Allah mengabulkannya.
“Orang yang mungkin tampak berpakaian rapi, pakai selendang, serban, kopiah, belum tentu itu merupakan suatu quality (mutu) di sisi Allah,” katanya.
Tapi mengapa kita menghukum orang dari segi dzahirnya, pakaiannya? Apakah Nabi mengajarkan kita untuk menilai seseorang dari segi pakaian?
“Ini agama, adalah agama menilai hati orang. Yang dinilai oleh Allah adalah hati orang.”
Sehingga, bagi Habib Ali, kita yang mengaku berpegang teguh pada ajaran ini tidak berhak untuk menilai seseorang hanya sebatas dari sisi apa yang tampak secara lahiriah.[]
Berikut petikan video ceramah Habib Ali Zainal Abidin:
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email