Pesan Rahbar

Home » » Sekilas Mengenai Imamah

Sekilas Mengenai Imamah

Written By Unknown on Monday, 11 January 2016 | 15:27:00


Keyakinan tentang Kepemimpinan (Imamah)

Kita yakin, kepemimpinan juga merupakan salah satu bagian ushuluddin (dasar-dasar agama); tidak sempurna iman seseorang kecuali jika meyakininya. Dalam persoalan ini pun seseorang tidak diperkenankan bertaklid pada orang tua, keluarga, dan para pembimbingnya, walau setinggi apapun derajat mereka, namun harus memiliki argumentasi sebagaimana diharuskan dalam masalah Tauhid (ketuhanan) dan Kenabian.

Paling tidak, seorang mukallaf (penerima beban kewajiban) harus memiliki keyakinan bahwa sempurnanya tanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas bersyariatnya ditentukan oleh benar-tidaknya dia dalam meyakini masalah kepemimpinan ini. Dan kalaupun kepemimpinan bukanlah salah satu cabang ushuluddin, maka dalam hal ini pun tetap tidak diperbolehkan untuk bertaklid. Namun, karena kepemimpinan termasuk ushuluddin, maka wajib meyakininya. Dari sisi bahwa sempurnanya tanggung jawab seorang mukallaf atas semua kewajiban yang telah diberitahukan Allah secara jelas merupakan kewajiban, berdasarkan logika, sementara tidak semua kewajiban telah diberitahukan dengan pasti dan jelas, maka untuk itu dia harus merujuk kepada orang yang diyakini, bila diikuti, akan mampu (membantu) menyempurnakan tanggung jawabnya, yang menurut mazhab Imamiyah dinamakan dengan imam.

Sebagaimana halnya dalam kenabian, kita pun meyakini bahwa kepemimpinan juga merupakan buah kasih sayang Allah (kepada hamba-Nya). Oleh sebab itu, sudah merupakan kelaziman adanya pembawa petunjuk pada setiap zaman yang mewarisi tugas-tugas Nabi saww dalam misi penyebaran hidayah serta bimbingan, menuju kemaslahatan dan kebahagian di dunia maupun di akhirat. Imam juga harus memiliki kekuasaan universal atas seluruh umat manusia, untuk mengatur permasalahan, kemaslahatan, dan penegakan keadilan di antara mereka, sekaligus menghilangkan kezaliman maupun permusuhan di antara mereka.

Dengan demikian, kepemimpinan adalah kelanjutan dari kenabian. Adapun dalil-dalil yang meniscayakan pengutusan para rasul dan nabi, juga merupakan dalil bagi pengangkatan imam setelah (wafatnya) Rasulullah saww.

Untuk itu, perlu ditegaskan bahwa manifestasi kepemimpinan tidak dapat dengan cara lain kecuali melalui nash (teks, pernyataan) dari Allah Swt melalui lisan suci Nabi saww atau imam sebelumnya; bukan diangkat melalui pemilihan oleh umat manusia. Benar, ini tidak dapat berarti bahwa jika manusia ingin mengangkat seorang imam, mereka lantas dapat mengangkatnya sendiri. Atau, jika ingin menentukan imam, mereka lalu dapat menentukannya sendiri, sehingga bila mereka ingin meninggalkan imam yang telah mereka tentukan itu, mereka dapat meninggalkannya sesuaka hati agar dapat hidup tanpa seorang imam. Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saww bersabda,
“Barangsiapa mati dan tidak mengenal imam zamannya, maka dia telah mati seperti jahiliah.”

Oleh karena itu, satu zaman pun tidak boleh kosong dari imam yang wajib ditaati dan dipilih oleh Allah; baik diterima oleh umat manusia maupun tidak; didukung ataupun tidak; ditaati ataupun tidak; hadir di tengah-tengah umat ataupun ghaib (tersembunyi) dari umatnya. Sebagaimana Nabi saww pun pernah bersembunyi dari pandangan umat di dalam gua, maka hal ini dapat juga terjadi pada diri seorang imam. Dan menurut logika, tidak ada masalah dalam hal panjang-pendeknya masa keghaiban tersebut.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Ra’d ayat 7:
Dan pada setiap kaum (pastilah) ada sang pemberi petunjuk.

Juga, dalam surat Fathir ayat 24, Allah Swt berfirman:
Dan tidak ada suatu umat pun yang kosong dari pemberi peringatan.


Keyakinan atas Kemaksuman Imam

Kita yakin bahwa sebagaimana nabi, imam pun harus maksum dari segala dosa dan cela; baik secara terang-terangan ataupun tersembunyi; dari masa kecil hingga ajal menjemput; disengaja maupun tidak. Sebagaimana pula, dia harus maksum dari kelalaian, kesalahan, dan lupa. Sebab, para imam adalah para penjaga dan penegak syariat yang mengemban misi Nabi saww, dan dalil yang membuktikan kemaksuman para nabi tidak berbeda dengan dalil yang memberikan keyakinan kepada kita tentang kemaksuman para imam.

Bukanlah mustahil bagi Allah

Tuk satukan alam di satu tempat


Keyakinan terhadap Sifat-sifat dan Keilmuan Imam

Sebagaimana juga nabi, imam pun harus merupakan orang yang paling utama di kalangan umat manusia dari sisi sifat-sifat kesempurnaan, seperti keberanian, kedermawanan, kemuliaan, kejujuran, dan keadilan. Juga, dari segi (kemampuannya) mengatur, tingkat (kecerdasan) akal, hikmah, dan akhlaknya; dalil yang menunjukkan hal ini bagi nabi juga relevan untuk imam.

Adapun ketinggian ilmu seorang imam tentang berbagai dimensi pengetahuan dan hukum-hukum Allah, didapatkannya dari Nabi saww atau imam sebelumnya, dan jika ada hal baru, itu diketahuinya melalui potensi suci ilham yang diberikan Allah kepadanya. Andaisaja seorang imam ingin mengetahui sesuatu hal yang hakiki, maka pengetahuannya tidak akan pernah, tidak pula memerlukan argumen logika maupun pengajaran dari guru. Meski demikian, ilmu seorang imam memiliki potensi untuk bertambah. Karena itu, Rasulullah saww berucap dalam doa beliau, “Ya Allah, tambahlah ilmu untukku.”

Dalam psikologi, telah terbukti bahwa setiap manusia, di waktu-waktu tertentu dalam hidupnya, adakalanya dapat mengetahui suatu hal melalui dugaan, yang merupakan bagian dari ilham sebagai potensi tersembunyi dalam diri manusia yang dianugerahkan Allah Swt. Tentu saja, intensitas dan taraf potensi ini berbeda-beda pada diri setiap manusia, yang disebabkan oleh perbedaan pribadi setiap manusia. Adakalanya, pada waktu tertentu, terlintas dalam benak seseorang sebuah pengetahuan yang tak memerlukan pemikiran, pendahuluan, argumentasi, maupun pembelajaran dari para pendidik. Setiap manusia akan mengalami banyak kesempatan seperti ini dalam hidupnya. Karena itu, potensi ilham pada diri manusia mungkin saja mencapai tingkatan paling sempurna, sebagaimana dikatakan para filsuf klasik maupun modern.

Oleh karena itu, kita katakan–dan pada dasarnya sangat mungkin terjadi–bahwa potensi ilham pada diri seorang imam yang disebut dengan potensi-suci akan mampu mencapai tingkat kesempurnaan sangat tinggi, yakni tingkat kebersihan jiwa-suci yang berpotensi menerima pelbagai pengetahuan di setiap waktu dan kondisi. Artinya, kapan pun imam terfokus perhatiannya pada sesuatu dan ingin mengetahuinya, maka dia akan mampu memahaminya dengan potensi-suci ilham tersebut, tanpa harus bergantung pada mukadimah-mukadimah ataupun pengajaran seorang guru, sehingga semua pengetahuan tersebut menjelma dalam diri imam, sebagaimana bayangan yang menjelma dalam cermin yang bersih tanpa keraguan.

Sebagaimana halnya pada diri Nabi saww, hal di atas juga telah dengan jelas dikutip dalam sejarah para imam; sejak masa kecil hingga dewasa, mereka semua tak tumbuh dalam bimbingan seseorang pun. Bahkan, tidak pernah belajar pada seorang guru pun, meski untuk kemampuan membaca dan menulis. Mereka juga tidak pernah belajar di sekolah ataupun berguru pada seorang ustadz, meski telah terbukti bahwa mereka mampu mencapai peringkat keilmuan tertinggi. Setiapkali ditanya tentang sesuatu, mereka langsung dapat menjawabnya secara spontan, sehingga tak pernah terlontar kata “ tidak tahu “ dari lisan-lisan mereka. Begitu pula, mereka tidak pernah menunda jawaban, agar dapat merujuk atau memikirkan jawabannya terlebih dahulu. Padahal, di sisi lain, kita dapati para fukaha Islam, para perawi, maupun ulama, ketika menukil riwayat dan pengetahuan dari para guru terkemuka, terkadang masih mengalami kelupaan ataupun keraguan dalam beberapa persoalan; sesuatu yang wajar bagi manusia di setiap era dan zaman.


Keyakinan atas (Keharusan) Taat kepada Para Imam

Kita yakin, para imam adalah para ulil amri yang diperintahkan untuk ditaati oleh Allah Swt. Mereka juga merupakan para saksi, pintu, jalan, serta pembimbing bagi manusia untuk menuju Allah Swt. Mereka pun adalah tempat penjelmaan ilmu Allah Swt, sekaligus penerjemah wahyu dan tonggak ketauhidan kepada-Nya serta khazanah pengetahuan-Nya. Karena itu, mereka merupakan pelindung bagi segenap penghuni bumi, sebagaimana bintang-bintang merupakan pelindung bagi langit (seperti terkandung dalam sabda Nabi saww). Demikian pula, sebagaimana sabda Nabi saww, “Bagi umat ini, mereka bagaikan perahu Nabi Nuh; siapasaja yang berlayar dengannya akan selamat, dan siapasaja yang menolaknya akan tenggelam dan binasa.” Juga, sebagaimana disinggung dalam al-Quran, Allah telah berfirman tentang para imam dalam surat al-Anbiya’ ayat ke 26-27:
Mereka adalah para hamba dimuliakan yang tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.

Merekalah orang-orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan disucikan sesuci-sucinya.

Bahkan, kita percaya bahwa perintah mereka adalah perintah Allah, dan larangan mereka adalah larangan Allah Swt. Ketaatan kepada mereka adalah taat kepada Allah, dan maksiat terhadap mereka samasaja bermaksiat kepada Allah Swt. Menjadikan mereka sebagai wali (pemimpin) sama dengan menjadikan Allah sebagai wali, dan memusuhi mereka sama dengan memusuhi Allah Swt. Kita tidak boleh menentang mereka; orang yang melawan mereka samasaja dengan menentang Rasulullah saww, dan siapasaja yang menentang Rasullulah saww berarti menentang Allah Swt. Dengan demikian, seseorang harus tunduk, mematuhi perintah, dan melaksanakan kata-kata mereka.

Oleh sebab itu, kita meyakini bahwa hukum-hukum syariat Allah takkan sampai (pada kita) kecuali melalui jalur mereka, bahkan tidak dibenarkan melaksanakan hukum-hukum selain yang datang dari mereka. Dengan demikian, tanggung jawab seorang mukallaf tidak tertunaikan bila merujuk pada selain mereka. Demikian pula, seseorang tidak akan pernah merasa tenang dalam hubungannya antara dirinya dengan Allah, sekaitan penunaian tugas-tugas kewajiban, kecuali bila melalui jalur para imam as. Mereka bagaikan perahu penyelamat Nabi Nuh as; siapapun yang berlayar dengannya akan selamat dan yang berpaling darinya akan tenggelam di lautan yang berkecamuk dengan ombak pelbagai kesesatan, keakuan, dan permusuhan.

*****


Di zaman kita seperti ini, sudah tidak perlu lagi bagi kita membahas masalah pembuktian bahwa para imam adalah para khalifah yang sah secara syariat. Sebab, ini adalah masalah klasik dalam sejarah dan pembuktiannya takkan pernah mengubah perputaran zaman dari awal kembali, tidak pula akan mengembalikan hak-hak yang telah dirampas kepada pemiliknya. Akan tetapi, yang perlu kita perhatikan adalah, sebagaimana disebutkan di atas, keharusan bagi kita untuk merujuk kepada para imam tersebut dalam menyimpulkan hukum-hukum yang disyariatkan Allah Swt, serta melaksanakan apasaja yang diajarkan Rasulullah saww secara benar, sebagaimana beliau ajarkan. Dan mengambil hukum-hukum dari para perawi dan mujtahid yang tidak menimba ilmu dari lautan ilmu para imam dan tidak mencecap pancaran cahaya keilmuan mereka, akan sangat jauh dari kebenaran sehingga seorang mukallaf tidak akan merasa puas bahwa dirinya telah menunaikan semua tugas yang diwajibkan Allah Swt kepadanya.

Sebab, dengan terjadinya perbedaan pendapat yang tak berujung-pangkal di kalangan umat ini sekaitan dengan hukum-hukum syariat, maka seorang mukallaf akan selalu merasa bingung, sehingga akan merujuk pada mazhab dan pendapat manapun yang diinginkannya. Padahal, dia dituntut untuk selalu mencari, hingga mendapatkan hujah yang kuat antara dirinya dengan Allah Swt dalam memilih suatu mazhab tertentu yang diyakini dapat menghantarkannya kepada hukum-hukum Allah Swt, sehingga dapat merasa bahwa semua tanggung jawab kewajibannya telah ditunaikan. Sebagaimana dia yakin akan adanya hukum-hukum yang diwajibkan atasnya, maka dia pun harus yakin akan tertunaikannya tanggung jawab atas kewajiban-kewajibannya. Ya, yakinnya seseorang terhadap (hukum-hukum) tertentu akan menuntut keyakinan akan tertunaikannya tanggung jawab (sebagai mukallaf).

Dalam pada itu, dalil qath’i (kokoh)-lah yang mengarahkan kita mengikuti Ahlul Bait seraya menunjukkan bahwa mereka adalah tempat rujukan otentik setelah Nabi saww dalam persoalan hukum-hukum syariat yang diturunkan Allah Swt. Paling tidak, sabda beliau ini,
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan pernah tersesat setelahku selamanya; yakni al-Tsaqalain (dua hal yang berat), yang salah satunya lebih besar dari yang lain, yaitu kitab Allah yang membentang dari langit hingga ke bumi dan keluargaku (Ahlul Baitku). Keduanya tidak akan pernah terpisah hingga keduanya menemuiku di Telaga Haudh kelak.” 

Hadis ini sepakat diriwayatkan oleh mazhab Ahlussunnah maupun Syiah.

Marilah kita teliti lebih jauh lagi kandungan hadis di atas, sehingga kita akan mendapatkan sesuatu yang memuaskan dan menakjubkan, dari sisi susunan kalimat dan maknanya. Dalam sabda Nabi saww itu dikatakan: jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan pernah tersesat setelahku selamanya. Maksudnya, yang ditinggalkan untuk kita adalah dua hal yang berat (al-Tsaqalain) secara bersamaan, di mana keduanya merupakan satu kesatuan. Karenanya, tidaklah cukup hanya dengan berpegang-teguh pada salah satunya; mesti berpegang-teguh pada keduanya agar kita tidak pernah tersesat selamanya, sepeninggal Nabi saww.

Adapun makna sabda beliau: keduanya tidak akan pernah terpisah hingga keduanya menemuiku di Telaga Haudh kelak. Maksudnya, seseorang takkan pernah memperoleh hidayah bila memisahkan keduanya dan tidak berpegang teguh pada keduanya secara bersamaan. Lantaran itu pula para imam diibaratkan sebagai “Perahu Penyelamat” dan “Pelindung bagi Penghuni Bumi”. Siapapun yang berpaling dari mereka akan ditenggelamkan ke jurang kesesatan dan takkan pernah selamat. Adapun mengenai orang-orang yang menafsirkan itu hanya sebagai mencintai saja tanpa mematuhi perkataan dan mengikuti jalan mereka, maka hal ini seperti lari dari kebenaran tanpa mengharapkan kebenaran tersebut. Ini tidak lain merupakan dampak kefanatikan dan kelalaian dari jalur kebenaran dalam menafsirkan bahasa Arab yang telah sangat jelas.

*****

Kayakinan dalam Mencintai Ahlul Bait

Dalam surat al-Syurâ ayat ke-23, Allah Swt berfirman:
Katakanlah, “Aku tidak meminta dari kalian suatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku.”

Nash di atas merupakan tambahan bagi wajibnya berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Maksudnya, setiap muslim wajib mencintai Ahlul Bait, karena dalam ayat di atas Allah Swt membatasi orang yang wajib dicintai oleh setiap orang dengan kata “al-Qurba” (keluarga) saja.

Riwayat mutawatir dari Nabi saww menyatakan bahwa mencintai Ahlul Bait merupakan tanda keimanan, sementara membenci mereka adalah tanda kemunafikan. Siapapun yang mencintai mereka, maka Allah dan Rasul-Nya akan mencintainya, dan siapapun yang membenci mereka, maka Allah dan Rasul-Nya akan membencinya.

Bahkan mencintai Ahlul Bait Nabi saww merupakan sebuah hal penting dalam Islam yang tidak dapat ditolak dan diragukan lagi. Meski dengan beragam perbedaan di antara kelompoknya, kaum muslimin menyepakati masalah ini, kecuali kelompok kecil yang dianggap sebagai musuh keluarga Muhammad saww. Mereka disebut dengan nawashib, yaitu orang yang melakukan penentangan kepada keluarga Muhammad saww. Oleh karena itu, mereka tergolong di antara kaum yang ingkar terhadap ajaran Islam yang telah ditetapkan. Dan orang yang mengingkari ajaran Islam, sebagaimana terhadap kewajiban shalat dan zakat, dapat dikategorikan sebagai ingkar kepada inti risalah. Bahkan menurut penelitian lain, ini dianggap ingkar terhadap risalah itu sendiri, meski secara lahiriah mengucapkan dua kalimat syahadah. Sebab itulah, membenci keluarga Muhammad saww merupakan tanda-tanda kemunafikan, sementara mencintai mereka adalah tanda-tanda keimanan. Dan karena itu pulalah, orang yang membenci mereka berarti membenci Allah dan Rasul-Nya.

*****


Tidak diragukan lagi, ketika Allah Swt mewajibkan kita untuk mencintai Ahlul Bait, maka hal itu tidak lain lantaran mereka adalah orang-orang yang patut dicintai dan diikuti dari sisi kedekatan mereka kepada Allah Swt, kedudukan mereka di sisi-Nya, serta sucinya mereka dari segala bentuk kesyirikan, maksiat, dan semua yang dapat menjauhkan mereka dari kemuliaan maupun keridhaan Allah Swt. Tak mungkin dibayangkan, andaikata Allah mewajibkan kita untuk mencintai orang yang bermaksiat atau tidak taat kepada-Nya dengan sebaik-baik ketaatan. Bahkan orang seperti ini tidak akan mempunyai kerabat, teman, dan orang yang bersedia dekat dengannya, kecuali meraka yang sama-sama menjadi budak para makhluk.

Benar, orang yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka. Dan orang yang wajib dicintai oleh semua manusia adalah orang yang paling takwa dan utama di antara mereka semua. Sebab, kalau tidak, maka orang selainnya yang wajib dicintai. Atau, ketika Allah memberikan keutamaan kepada sebagian orang di antara yang lainnya agar wajib dicintai dan diikuti, maka hal ini akan menjadi sia-sia dan dianggap tak memperhatikan hak maupun tingkat keutamaan.


Keyakinan kepada Para Imam

Kita tidak meyakini, sekaitan dengan para imam, sebagaimana keyakinan kaum Ghulat dan kaum Halawiyyun (alangkah buruknya kata-kata yang terlontar dari mulut mereka), namun kita meyakini bahwa para imam adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka memiliki apa yang kita miliki, dan kita pun memiliki apa yang mereka miliki, tetapi (bedanya) mereka adalah para hamba yang dimuliakan, beroleh keutamaan, dan dicintai Allah. Mereka berada di puncak kesempurnaan manusia dalam keilmuan, ketakwaan, keberanian, kemuliaan, keutamaan, dan semua akhlak serta sifat-sifat terpuji lainnya, sehingga tak seorang pun yang menandingi mereka dalam kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu, pantaslah bila mereka menjadi imam dan pemberi petunjuk serta rujukan sepeninggal Nabi saww dalam segala urusan manusia. Mereka merupakan penegak hukum-hukum atau aturan lainnya, dan dalam masalah agama, sebagai penerang dan penentu syariat, serta dalam kaitannya dengan Al-Quran, sebagai penafsir dan penakwil.

Imam Ja’far al-Shadiq as pernah berkata,
“ Apapun yang kalian dengar dari kami (Ahlul Bait) tentang hal-hal yang diperbolehkan bagi para makhluk, namun kalian tidak mengetahui atau memahaminya, maka janganlah kalian tolak, dan kembalikanlah (sandarkanlah itu) kepada kami. Dan apapun yang kalian dengar dari kami (Ahlul Bait) tentang hal-hal yang tidak semestinya bagi para makhluk, namun kalian belum mengetahui atau memahaminya, maka ingkarilah dan jangan kalian kembalikan (sandarkan itu) kepada kami.”


Keyakinan bahwa Kepemimpinan berdasarkan Nash

Kita yakin bahwa sebagaimana kenabian, masalah kepemimpinan tidak lain didasarkan pada nash Allah Swt, melalui lisan suci Rasulullah saww atau imam yang diangkat dengan nash saat dia akan memberitakan tentang datangnya imam setelahnya. Atauran ini tidaklah berbeda dengan masalah kenabian. Maksudnya, manusia tidak boleh mengatur dan tak punya hak pilih tentang siapa yang ditentukan Allah sebagai pemberi petunjuk atau pembimbing bagi seluruh umat manusia. Sebab, orang yang memiliki jiwa suci untuk mengemban tugas berat kepemimpinan universal dan memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia tidak lain harus berdasarkan rekomendasi dan ditentukan oleh Allah semata.

Kita yakin, Nabi saww telah menyampaikan nash tentang khalifah dan imam bagi umat manusia setelah beliau; di mana dalam berbagai kesempatan beliau telah menunjuk sepupu beliau, Ali bin Abi Thalib, sebagai pemimpin bagi kaum mukminin dan penjaga wahyu serta pemimpin umat. Kemudian, beliau mengangkatnya dan mengambil baiat dari segenap kaum mukminin di hari al-Ghadir dengan sabda beliau,
“Siapasaja yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga. Ya Allah, per-wali-kan (pimpin)lah orang yang menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin), dan musuhilah orang yang memusuhinya. Tolonglah orang yang menolong Ali, dan jangan Engkau tolong orang yang tidak menolongnya. Dan kebenaran akan selalu berputar bersamanya ke mana pun dia berputar.”

Adapun kesempatan pertama dalam menyampaikan nash tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ini adalah sabda beliau ketika memanggil para kerabat serta keluarga dekatnya. Beliau saww bersabda,
“Inilah (Ali) yang merupakan saudara, washi, dan khalifahku setelahku. Maka, dengar dan patuhilah dia!” Padahal, kala itu Imam Ali masih kecil dan belum mencapai akil baligh. Ucapan Nabi saww semacam ini sering kali diserukan (dalam pelbagai kesempatan), seperti, “Wahai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukaan Harun di sisi Musa, namun bedanya tidak ada nabi lagi setelahku.” 

Dan masih banyak lagi riwayat maupun ayat, yang menunjukkan pembuktian tentang kepemimpinan universal ini, seperti ayat ke-55 dari surat al-Ma’idah, di mana Allah berfirman:

Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakatnya dalam keadaan rukuk.

Turunnya ayat ini adalah ketika Imam Ali melakukan sedekah dengan cincin saat beliau sedang rukuk. Konteks ayat dan riwayat ini tidak bisa diterapkan pada segala hal yang berkait dengan masalah kepemimpinan dan tiada penjelasan yang menunjukkan makna kepemimpinan tersebut.[2]

Kemudian, beliau ( Imam Ali ) as memberitakan kepemimpinan al-Hasan as dan al-Husain as, lalu al-Husain as memberitakan nash tentang kepemimpinan putra beliau, yaitu Ali Zainal Abidin as. Demikian seterusnya, seorang imam memberitahukan hal ini kepada imam berikutnya, hingga imam terakhir yang akan kita kaji dalam pembahasan mendatang.


Keyakinan tentang Jumlah Para Imam

Kita meyakini bahwa para imam yang memiliki sifat kepemimpinan yang benar ini adalah rujukan kita dalam semua persoalan hukum syariat yang di-nash-kan kepada mereka. Pengemban kepemimpinan ini adalah 12 orang imam, di mana Nabi saww telah menyebutkan nash tentang semua nama mereka:
1. Abu al-Hasan, Ali bin Abi Thalib (al-Murtadha), lahir pada tahun 23 sebelum hijrah dan syahid pada tahun ke-40 setelah hijrah.
2. Abu Muhammad, al-Hasan bin Ali (al-Zaki), lahir pada tahun 2 H, wafat pada tahun 50 H.
3. Abu Abdillah, al-Husain bin Ali (Sayyid al-Syuhada), lahir pada tahun 3 H, wafat pada tahun 61 H.
4. Abu Muhammad, Ali bin al-Husain (Zainal Abidin), lahir pada tahun 38 H, wafat pada tahun 95 H.
5. Abu Ja’far, Muhammad bin Ali (al-Baqir), lahir pada tahun 57 H, wafat pada tahun 114 H.
6. Abu Abdillah, Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq), lahir pada tahun 83 H, wafat pada tahun 148 H.
7. Abu Ibrahim, Musa bin Ja’far (al-Kadzim), lahir pada tahun 128 H, wafat pada tahun 183 H.
8. Abu al-Hasan, Ali bin Musa (al-Ridha), lahir pada tahun 148 H, wafat pada tahun 203.
9. Abu Ja’far, Muhammad bin Ali (al-Jawad), lahir pada tahun 195 H, wafat pada tahun 220 H.
10. Abu Al-Hasan, Ali bin Muhammad (al-Hadi), lahir pada tahun 212 H, wafat pada tahun 254 H.
11. Abu Muhammad, al-Hasan bin Ali (al-Askari), lahir pada tahun 232, wafat pada tahun 260 H.
12. Abu al-Qasim, Muhammad bin al-Hasan (al-Mahdi), lahir pada tahun 256 H, sampai sekarang).

Al-Mahdi adalah al-Hujjah di masa kita, yang sedang ghaib sekaligus sedang dinanti-nantikan kehadirannya—semoga Allah mempercepat dan memudahkan kemunculan beliau, agar dapat memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman dan kejahatan.


Keyakinan tentang al-Mahdi

Sesungguhnya, kabar gembira tentang munculnya al-Mahdi dari keturunan Fathimah as di akhir zaman—untuk memenuhi bumi dengan keadilan dan kesejahteraan setelah bumi ini dipenuhi kezaliman dan kejahatan—telah ditetapkan (disebutkan) Nabi saww dengan jalur yang mutawatir. Seluruh kaum muslimin pun tahu akan hadis tersebut, meski berbeda jalur periwayatannya.

Perihal al-Mahdi ini bukanlah sebuah pemikiran yang dibuat-buat oleh kalangan Syiah untuk menghilangkan kezaliman dan kejahatan. Andaisaja pemikiran tentang al-Mahdi ini tidak ditetapkan Rasul saww dan tidak diketahui semua kaum muslimin serta tidak tertanam dalam jiwa mereka, tentu para pengaku al-Mahdi (palsu) di abad-abad permulaan, seperti al-Kisaniyah, al-Abbasiyin, dan beberapa kalangan Alawiyyin serta selainnya, telah mampu mengelabui umat sekaligus menanamkan keyakinan tersebut guna meraih kedudukan dan kekuasaan. Sehingga, mereka menjadikan pengakuan palsunya itu sebagai jalan untuk menguasai dan menundukkan hati umat di hadapan pera penguasa tersebut.

Sementara kita—dengan iman atas kebenaran Islam yang merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah untuk memperbaiki umat manusia, dan apapun yang kita lihat, seperti meluasnya kezaliman dan kebejatan di muka alam ini, sehingga tiada lagi keadilan maupun kebaikan sebagai pijakan, serta apa yang kita lihat berupa ketidakpedulian kaum muslimin terhadap agama mereka sendiri; tidak terlaksananya hukum maupun aturan-aturannya di semua negeri islami; tidak adanya konsistensi mereka terhadap satu di antara ribuan ajaran Islam—masih tetap harus menunggu jalan keluar agar Islam mendapatkan kekuatannya kembali, guna memperbaiki alam semesta yang telah terpuruk di jurang kezaliman dan kebejatan.

Namun, rasanya tak mungkin Islam mampu mendapatkan kekuatannya kembali untuk mengatur seluruh dunia. Ini didasarkan pada kenyataan saat ini dan masa lampau, dengan adanya perbedaan tolok ukur dan pola pikir dalam aturan dan hukum yang digunakan. Dari dulu hingga kini, mereka tetap pada pendiriannya dengan bidah, penentangan hukum, dan kesesatan mereka. Sungguh, Islam takkan dapat meraih kekuatannya kembali, kecuali bila adanya seorang penegak kebenaran agung yang mampu mempersatukan langkah sekaligus memerangi penyelewengan agama yang dilakukan oleh orang-orang sesat. Dan dengan inayah (pertolongan) serta kasih sayang Allah, dia akan mampu menghapus bidah dan kesesatan. Benar, Allah akan menghadirkan seseorang sebagai pemberi petunjuk, yang memiliki kedudukan nan agung dan kepemimpinan universal serta kemampuan luar biasa, agar bumi ini dapat dipenuhi dengan kesejahteraan dan keadilan, setelah dipenuhi kezaliman dan kebejatan.

Ringkasnya, meratanya kondisi buruk pada manusia yang mencapai puncak kezaliman dan kebejatannya–dan adanya keimanan akan kebenaran agama ini serta keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir—akan menuntut adanya penantian akan munculnya seorang pembaharu (al-Mahdi) guna menyelamatkan alam dari keadaannya saat ini. Karena itulah, semua kelompok dalam Islam, bahkan umat di luar Islam pun percaya pada penantian ini. Namun, perbedaan antara mazhab Imamiyah dengan selainnya adalah bahwa Imamiyah berkeyakinan bahwa pembaharu (al-Mahdi) adalah seseorang yang sudah dikenal dan lahir pada tahun 256 Hijriyah dan masih hidup (hingga hari ini). Beliau adalah putra al-Hasan al-Askari yang bernama Muhammad. Ini berdasarkan ketetapan janji Nabi saww dan keluarganya, dan yang mutawatir di kalangan kita, Imamiyah. Yakni, bahwa beliau telah dilahirkan dan sekarang sedang dighaibkan. Sebagaimana diketahui, kepemimpinan tidak boleh terputus dari masa ke masa, meski imamnya masih dighaibkan. Dia akan dimunculkan kembali pada hari yang dijanjikan Allah Swt. Ini merupakan salah satu dari rahasia-Nya, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata.

Hanya saja, hidup beliau dalam kurun waktu panjang ini tidak terlepas dari mukjizat yang dianugerahkan Allah kepadanya. Alangkah agungnya mukjizat ini; beliau diangkat sebagai imam bagi seluruh makhluk, padahal beliau masih berumur 5 tahun ketika ayahanda beliau berpulang ke haribaan-Nya. Sebagaimana, agungnya mukjizat Isa; mampu berbicara kepada manusia ketika masih bayi, yang kemudian diutus sebagai nabi di kalangan umat manusia.

Baik panjangnya masa hidup (beliau) yang melebihi umur yang wajar, ataupun anggapan bahwa ini adalah umur yang wajar dan tidak tertolak secara medis, meski saat ini ilmu kesehatan belum berhasil memanjangkan umur manusia, dan sesungguhnya Allah Swt Mahamampu, sebenarnya telah terjadi pada umur panjang Nabi Nuh as dan tetap hidupnya Nabi Isa as, sebagaimana dikabarkan dalam al-Quran al-Karim. Ya, jika ada seseorang yang meragukan pemberitaan al-Quran tentang hal ini, maka “ucapkanlah selamat tinggal kepada Islam”.

Lebih mengherankan lagi, jika seorang muslim bertanya-tanya tentang mungkinnya hal di atas, sementara dia mengaku beriman kepada kitab suci al-Quran.

Poin yang juga penting untuk disampaikan di sini dan agar kita pun sadar adalah bahwa arti penantian al-Mahdi ini bukanlah diamnya kaum muslimin tanpa berusaha mengembalikan kejayaan agama mereka. Sebaliknya, mereka harus menyelamatkannya dan berjihad di jalan Allah serta mengamalkan semua hukum-hukumnya. Juga, melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Bahkan, setiap muslim adalah pelaksana kewajiban ajaran-ajaran Islam yang telah diturunkan, sehingga harus berusaha mempelajarinya secara benar, dengan sarana yang benar-benar dapat membantu menghantarkannya pada pengetahuan tersebut. Di samping, dia wajib pula melaksanakan amar makruf nahi mungkar semampunya. “Setiap dari kalian bagaikan penggembala, dan setiap dari kalian bertanggung jawab atas gembalaannya.” Seorang muslim tidak boleh menunda kewajiban-kewajibannya hanya dengan (alasan) menanti kemunculan al-Mahdi, sang pembaharu dan pemberi kabar gembira serta petunjuk. Sebab, ini tidak mengugurkan tanggung jawabnya dan tidak menyebabkan tertangguhkannya amal perbuatan. Juga, tidak menjadikannyas lepas dari tanggung jawab, seperti hewan-hewan gembalaan.


Keyakinan tentang Taqiyah

Dalam sebuah hadis sahih, Imam Ja’far al-Shadiq as berkata,
“Taqiyah adalah agamaku dan agama ayah-ayahku.” Juga, “Siapa saja yang tidak ber-taqiyah, maka dia tidak beragama.”

Taqiyah merupakan syiar bagi Ahlul Bait as, sebagai penolong mereka dan para pengikutnya dari marabahaya dan pertumpahan darah. Juga, memperbaiki kondisi kaum muslimin serta dapat menghimpun dan mempersatukan langkah mereka.

Jalan keluar ini diyakini oleh mazhab Imamiyah tetapi tidak oleh mazhab atau kelompok maupun umat selainnya. Padahal, setiap manusia, jika diri atau hartanya terancam bahaya lantaran tersiarnya keyakinannya, sudah sewajarnya menyembunyikan keyakinannya itu dan ber-taqiyah di tempat-tempat yang dapat membahayakannya. Ini merupakan tuntutan fitrah akal, dan pada kenyataannya kaum Imamiyah dan para imam mereka memang mengalami pelbagai serangan musibah dan pemboikotan atas kebebasan mereka dalam banyak kesempatan; di setiap masa sebelum ada umat atau kelompok lain yang bergabung bersama mereka. Dalam banyak kesempatan, mereka terpaksa menggunakan cara taqiyah agar terhindar dari bahaya yang ditimbulkan kaum penentang. Mereka juga menanggalkan jati diri dan menyembunyikan keyakinan serta perbuatannya dari kaum penentang iru, ketika akan membahayakan agama maupun dunianya. Karena itu, mazhab Imamiyah terkenal dengan konsep taqiyah-nya, yang tidak dimiliki oleh mazhab lain.

Taqiyah memiliki hukum-hukum dari sisi wajib dan tidaknya melakukan taqiyah. Ini bersandar pada perbedaan tingkat risiko bahayanya, yang disebutkan bagian-bagiannya dalam kitab-kitab fikih ulama. Namun, pada dasarnya taqiyah bukanlah sesuatu yang wajib, bahkan dalam kondisi tertentu taqiyah boleh atau wajib ditinggalkan, seperti ketika unjuk kebenaran keyakinan sebagai upaya penyelamatan terhadap agama ataupun di saat berkhidmat kepada Islam serta jihad di jalan Allah. Dalam kondisi seperti ini, harta benda dan jiwa menjadi tak berharga (harus dikorbankan). Adakalanya, taqiyah diharamkan, yakni ketika perbuatan-perbuatan itu dapat menyebabkan terbunuhnya orang terhormat atau semaraknya kebatilan dan rusaknya agama. Atau, sangat membahayakan kaum muslimin karena menyesatkan atau membudayakan kezaliman dan kedurjanaan di antara mereka.

Alhasil, makna taqiyah dalam mazhab Imamiyah bukanlah menggalang perkumpulan secara sembunyi-sembunyi yang bertujuan melakukan pengerusakan, sebagaimana dituduhkan sebagian musuh-musuh kaum Imamiyah, yang tidak mau mengerti makna yang sebenarnya dan tak mau berusaha memahami kebenaran pendapat Imamiyah. Taqiyah juga tidak dapat diartikan sebagai menjadikan agama dan ajaran-ajarannya sebuah rahasia, sehingga tidak boleh didengar oleh orang yang tidak memeluknya. Bagaimana mungkin ini terjadi, padahal buku-buku dan tulisan-tulisan ulama Imamiyah dalam hukum-hukum fikih, pembahasan-pembahasan teologi, ataupun ajaran lainnya telah menyebar dan melampaui batas penantian suatu umat untuk memeluk ajarannya.

Benar, keyakinan kita tentang taqiyah telah menimbulkan kedengkian di hati mereka yang ingin mencaci kaum Imamiyah, dengan menyebarkan beberapa tuduhan di tengah masyarakat; seolah-olah kedengkian mereka takkan reda kecuali dengan membantai kaum Imamiyah hingga ke akar-akarnya. Sebagaimana di masa-masa ketika cukup dengan hanya mengatakan bahwa orang ini syiah, maka dia akan dibantai oleh musuh-musuh Ahlul Bait, seperti kaum Umawiyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah.

Jika celaan para pendengki bersandar pada tuduhan (bahwa itu) tidak sesuai dengan syariat dari sisi agama, maka harus saya katakan: Pertama, kami adalah orang-orang yang mengikuti para imam kami dan meneladani petunjuk mereka yang telah menyuruh dan mewajibkan kami untuk ber-taqiyah pada saat-saat diperlukan. Ketahuilah, taqiyah di mata para imam tergolong ajaran agama. Bukankah Anda telah mendengar perkataan Imam Ja’far al-Shadiq as, “Siapasaja yang tidak ber-taqiyah, maka dia tidak beragama.”

Kedua, disyariatkannya taqiyah sangat jelas dalam al-Quran al-Karim, yakni firman Allah Swt dalam surat al-Nahl ayat 106:
Kecuali orang yang terpaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan.

Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Ammar bin Yasir, yang terpaksa harus menunjukkan kekufuran lantaran takut kepada musuh-musuh Islam. Dalam kesempatan lain, Allah Swt berfirman:
Kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.

Demikian pula, firman-Nya dalam surat al-Mukmin ayat 28:
Dan telah berkata seorang lelaki yang beriman di antara pengikut-pengikut Firaun yang menyembunyikan imannya.


Catatan Kaki:

[2]. Rujuklah kitab berjudul al-Saqifah karya penulis yang di dalamnya menjelaskan nash-nash al-Quran di atas dan kitab lain.

(Haidarrein/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: