Waktu masih menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sebagian orang yang baru saja selesai menunaikan ibadah salat asar berjamaah, memilih untuk rehat di sekitar pekarangan Masjid Agung Sunda Kelapa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Setidaknya masih ada jeda waktu sekitar dua jam lagi jelang waktu berbuka puasa. Namun, berbeda dengan penampakan masjid ini di hari biasanya, sejak seminggu belakangan pekarangan masjid selalu ramai pada sore hingga malam hari.
Tidak hanya oleh orang-orang yang ingin beribadah, namun juga dengan tenda-tenda berwarna putih yang diisi oleh para pedagang yang menjajakan barangnya.
Masjid yang dibangun pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin ini memang dikenal sebagai salah satu masjid paling sibuk di ibukota. Tak hanya penuh dengan jamaah yang hendak melaksanakan kegiatan kerohanian. Namun di akhir pekan, lantai teratas dari masjid tersebut sering kali disewakan untuk resepsi pernikahan.
Selama ramadan, kawasan pekarangan masjid kemudian 'dimanfaatkan' sebagai arena bazar. Tidak diketahui dengan pasti, sejak kapan kegiatan seperti bazar ramadan ini menjadi pemandangan rutin di Masjid Agung Sunda Kelapa.
Paling tidak, menurut pengakuan Reza (30), salah seorang pedagang baju koko dan sajadah yang berjualan di depan gerbang utama masjid, bazar ramadan di Masjid Agung Sunda Kelapa sudah sangat diminati sejak lima atau enam tahun terakhir.
"Saya saja sudah empat tahun jualan disini," ujar Reza.
Jenis barang yang dijajakan para pedagang pun cukup beragam. Mulai dari keperluan dan pernak-pernik menyambut ramadan dan hari raya Idul Fitri, seperti busana muslim, mukena, sarung, jilbab dan kopiah. Hingga benda-benda pelengkap penampilan sehari-hari, seperti sepatu, sandal, tas juga pakaian dalam dan parfum.
Sementara di dekat lapangan futsal yang berada di sisi kiri masjid, terdapat tenda-tenda kecil yang disediakan untuk pedagang makanan dan minuman. Seperti es cendol, sup buah, mie ayam, siomay, bakso serta jajanan seperti sosis dan kentang goreng.
Bahkan, berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, para pedagang gerobak yang berdiri di depan gerbang masjid justru lebih diminati. Karena pembelinya tidak hanya para jamaah masjid, namun juga pekerja di sekitar area masjid dan pengguna jalan.
Namun, seperti kata pepatah. Kalau sudah rezeki, memang tidak akan ke mana. Paling tidak, itulah yang diyakini oleh Ibnu. Salah seorang pedagang pakaian dalam pria yang mengaku masih berusia 19 tahun.
Tahun ini adalah kali pertama bagi Ibnu, yang baru saja mencoba peruntungan sebagai wiraswastawan untuk berjualan di bazar ramadan Masjid Sunda Kelapa. Di luar perkiraannya, ternyata ada saja jamaah masjid yang membeli dagangannya.
Menjadi satu-satunya pedagang pakaian dalam dari sekitar 50 pedagang yang mengisi bazar ramadan Masjid Sunda Kelapa ternyata jadi berkah tersendiri buatnya.
"Sebenarnya tiap Minggu saya juga jualan di CFD (Car Free Day). Memang belum ada store-nya. Tapi di sini lumayan banget. Dari jam 16.00 WIB sampai 22.00 WIB saja kadang bisa dapat Rp1 juta sampai Rp1,5 juta," kata Ibnu.
Keuntungan ini tentunya tidak hanya dirasakan para pedagang, namun juga para jemaah yang datang. Jika para pedagang mendapatkan keuntungan secara materi, para jamaah yang sebagian besar justru bukan penduduk yang tinggal di sekitar kawasan masjid, juga merasa diuntungkan dari segi waktu.
Seperti one stop shopping, kata Olla (34), warga Kalimalang, Jakarta Timur, yang bekerja di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Ia bisa berbuka puasa, salat Tarawih dan belanja berbagai macam kebutuhan, untuk dirinya, anak serta suaminya dalam satu kawasan.
"Saya sebenarnya jarang banget pergi belanja. Tapi setiap ke sini, pasti disempatkan buat lihat-lihat. Lumayan, tadi dapet celana buat anak saya. Alhamdulillah, harganya juga masih terjangkau," kata Olla.
Dipenuhi Warga yang Iktikaf
Jelang akhir ramadan, biasanya masjid-masjid besar di Indonesia bakal dipenuhi oleh masyarakat yang ingin melakukan ibadah iktikaf. Tapi, di Masjid Agung Sunda Kelapa, meski ramadan baru berjalan seminggu lamanya, teras masjid yang saat ini disulap menjadi tempat beristirahat, tampak mulai dipenuhi warga yang melakukan iktikaf.
Di sisi kiri teras, telah berjejer tas-tas berisi pakaian, bantal maupun selimut yang dibawa oleh peserta iktikaf. Seperti tempat mengungsi, mereka pun rela tidur dengan beralaskan karpet seadanya ditemani terpaan angin malam. Mereka, yang sebagian besar didominasi oleh perempuan dan laki-laki paruh baya, mengaku sama sekali tak mengkhawatirkan kondosi kesehatan mereka.
"Kalau sudah diniatkan karena Allah, Lillahi Ta'ala, insya Allah enggak bakal masuk angin," celetuk Kusniwati (53), warga Cibubur, Jakarta Timur.
Terlebih, menurut Kusniwati yang mengaku selama tujuh tahun terakhir melakukan iktikaf di Masjid Sunda Kelapa, kondisi masjid berusia 47 tahun ini sangat nyaman jika dibandingkan masjid besar dan megah lainnya di ibu kota. Seperti Masjid Istiqlal dan Masjid At Tin.
"Di At Tin atau Istiqlal repot. Mau kencing saja harus naik turun tangga dulu. Kalau disini kan toiletnya dekat. Setiap sahur dan berbuka juga disediakan makanan oleh petugas. Ada saja yang menyumbang. Jadi, sangat nyaman," ujarnya.
Sementara bagi Tika (65), pensiunan pegawai negeri sipil Departemen Kesehatan yang tinggal di kawasan Rawamangun mengatakan, dengan memulai iktikaf lebih awal, ia jadi lebih tekun beribadah.
Apalagi, ibu dari tiga orang anak ini sudah tinggal sendiri. Semenjak suaminya meninggal dan ketiga orang anaknya harus tinggal di luar kota karena alasan pekerjaan.
"Kalau di rumah sendirian kadang saya suka takut juga. Di sini kan banyak temannya. Lebih tekun juga ibadahnya karena enggak mikirin urusan duniawi lagi. Jadi kerjaannya salat dan mengaji saja," ujar Tika.
(CNN-Indonesia/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email