Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label ABNS OLAH RAGA. Show all posts
Showing posts with label ABNS OLAH RAGA. Show all posts

Usai Angkat Beban 1/2 Ton, Pembuluh Darah si Atlet `Meledak`


Eddie Hall adalah jawara angkat berat dan menjadi orang pertama yang mampu mengangkat beban setengah ton. Namun sayang, tak lama setelah keberhasilannya itu, ia segera hilang kesadaran.

Atlet asli Stoke-on-Trent, Staffordshire, Inggris ini selesai melakukan angkatan menakjubkan di Kejuaraan Deadlift Dunia yang digelar di Leeds Arena selama akhir pekan kemarin. Namun ia kemudian mengakui, prestasi itu hampir membunuhnya.

Pecah pembuluh darah di otak menjadi penyebab pria perkasa ini pingsan. Padahal Hall baru dinobatkan sebagai orang terkuat yang pernah hidup.

Dua pesaing lainnya berhasil mengejar skor beban Hall sebelumnya yang mencapai 465 kg, sehingga pria berjuluk 'The Beast' ini kembali ke panggung untuk terakhir kalinya.

Hall sekarang telah menetapkan rekor dunia baru setelah sebelumnya mengalami masalah besar, ketika ia pingsan sesaat setelah melakukan deadlift.

Dengan hidung sedikit berdarah Hall kembali berdiri di hadapan penonton yang tertegun.

Setelah itu...


Nyawa di Ujung Kuku

"Itu hampir membunuhku. Tekanan pada tubuhku begitu nyata. Aku pingsan setelahnya," kata Hall kepada Yorkshire Post.

"Aku yakin prestasi itu akan berada di buku-buku sejarah untuk waktu yang sangat lama. Ini perasaan yang hebat, seperti manusia pertama di bulan, manusia pertama yang berlari di bawah empat menit.

"Dan sekarang aku orang pertama yang melakukan deadlift setengah ton. Itu sejarah dan aku sangat bangga menjadi bagian dari itu," katanya.


(Merdeka/Dream/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Karier Petinju Wanita India Terancam Berakhir


Karier petinju amatir L. Sarita Devi terancam usai setelah ia menolak menerima mendali perunggu di podium Asian Games lalu, kata pihak Organisasi Tinju Internasional (AIBA) pada Rabu (12/11).

Medali perunggu milik L. Sarita Devi dibiarkan tergeletak, karena petinju wanita asal India tersebut menolak pengalungan medali karena dianggap dicurangi wasit di semi final. (Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon)

Perwakilan AIBA dari Taiwan, Ching-ko Wu, menyatakan bahwa hal yang dilakukan Sarita tidak bisa diterima dalam setiap kompetisi olahraga.

"Saya pikir karir tinjunya akan selesai. Komisi disiplin akan memeriksa kasus ini dan segera akan memberikan keputusan akhir," kata Ching-kuo Wu melalui sambungan telepon kepada Reuters.

Peristiwa penolakan medali oleh Sarita terjadi saat ia merasa marah setelah kalah dari petinju lokal Park Ji-na di semifinal tinju divisi perempuan kelas ringan di Asian Games.

Dibantu suaminya, Sarita lalu memprotes keputusan wasit dan hakim atas kekalahannya. Wasit dan hakim yang menolak protes Sarita lalu dituduh curang oleh tim India.

Pada hari penyerahan medali, Sarita yang sudah berdiri di podium menolak untuk mengenakan medali yang diberikan kepadanya.

Ia hanya memegang dan berusaha menggantungkan medali tersebut ke leher Park.

Ketika prosesi penyerahan berakhir, Sarita meninggalkan medali di podium, meski sudah diberitahu untuk membawanya pulang.

Atas kejadian tersebut, AIBA kemudian menangguhkan dan melarang Sarita untuk ikut dalam Kejuaraan Dunia Tinju Wanita yang akan di selenggarakan di Pulau Jeju pekan ini.

"Setiap atlet harus menghormati keputusan wasit dan hakim. Jadi petinju ini sedang menghadapi hukuman berat. Dia telah mencoreng nama negaranya sendiri," kata Wu.

Komentar Wu akan terasa mengejutkan bagi dunia tinju India, yang sedang berusaha untuk mengurangi hukuman Sarita sebelum diberangkatkan ke Olimpiade 2016 di Brazil.

(Reuters/CNN-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tolak Terima Medali, Petinju Wanita India Kena Sanksi Larangan Tanding


Petinju Wanita India, Laishram Sarita Devi mendapat larangan tampil selama setahun oleh Asosiasi Tinju Internasional (AIBA). Ia memeperoleh hukuman itu lantaran menolak untuk menerima medali perunggu pada Asian Games Incheon 2014 di Korea Selatan.

Petinju berusia 29 tahun itu mengganggap keputusan hakim merugikan dirinya ketika melawan petinju tuan rumah Park Ji-Na di partai semifinal. Pada upacara pemberian medali, Sarita sambil menangis tersedu-sedu itu menolak menerima medali perunggu miliknya.

Sarita akhirnya menerima medali itu pada 10 Desember. Penyerahan medali perunggu itu diterima dari Sekjen Asosiasi Olimpiade India (IOA) Rajeev Mehta. Meski begitu, Sarita akan tetap diijinkan untuk mengikuti kualifikasi Olimpiade 2016 di Rio de Jainero. Ia bakal kembali naik ring pada November 2015.

Namun, beda halnya dengan nasib sang pelatih Sarita, BI Fernandez. Ia dilaporkan akan mendapat larangan melatih selama dua tahun di dunia tinju.

(MTVN/Lam-Post/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dokumen 2014: Petinju Wanita Asal India, Menolak Menerima Medali


Insiden penolakan medali terjadi di ajang Asian Games 2014, Incheon, Korea Selatan. Adalah petinju wanita India, Laishram Sarita Devi yang menolak medali perunggu di atas podium kehormatan.

Seperti dilansir Reuters, Devi yang kalah dengan skor 3-0 dari petinju tuan rumah, Park Ji Na, merasa dicurangi oleh wasit. Devi pun berada di posisi ke empat. Insiden terjadi saat pemberian medali di atas podium.

Dua insiden terjadi. Pertama, Devi menolak dikalungkan medali perunggu. Kedua, saat semua usai dibagikan medali, Devi turun podium dan mengalungkan medali itu ke lawannya, Park Ji Na. Suasana di tribun penonton pun begitu riuh. Sampai ada teriakan, "Shame boxing, shame boxing."

(Reuters/Memobee/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Bungkam Prancis, Portugal Jadi Raja Eropa


Penantian panjang Portugal menjadi raja Eropa akhirnya terentaskan di kota Paris. Cristiano Ronaldo cs berhasil membungkam tuan rumah Prancis dengan skor tipis 1-0 di stadion Stade de France, Saint-Denis, Paris, Senin (10/7) dini hari WIB.

Meski kehilangan CR7 diawal laga akibat cedera, ternyata tak menghilangkan taji The Selecao. Meski terus dikepung Prancis, Portugal berhasil membendung setiap serangan yang ada. Hasil tersebut tak lepas dari penampilan ciamik penjaga gawang Portugal, Rui Patricio.

Bukan hanya juara, kemenangan Portugal meruntuhkan catatan minor saat bertemu tim Ayam Jantan pada sebuah laga resmi. Terakhir Portugal berhasil menaklukan Prancis terjadi pada tahun 1975 dengan skor 2-0.

Sang arsitek, Fernando Santos berhasil melakukan pergantian gemilang. Eder dimasukan pada menit ke-79 menggantikan bintang muda masa depan Portugal, Renato Sanches. Ternyata pergantian tersebut berbuah manis. Ujung tombak bertubuh jangkung itu berhasil membayar lunas kepercayaan yang diberikan padanya.

Eder dengan yakin melesatkan sebuah tendangan keras jarak jauh pada menit ke-109 dan boommm! Gol pun terjadi. Gol tunggal tersebut cukup membuat negaranya mengecap juara Piala Eropa. Selamat Portugal!

(Courtesy-of-You-Tube/Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Perjalanan hidup Muhammad Ali, ‘petinju terhebat’ dan pejuang hak sipil

Muhammad Ali berdiri di atas Sonny Liston Mei 1965 di Lewiston, Maine. (Foto: AP)

Muhammad Ali dalam puncak karirnya, merupakan pria yang paling terkenal di planet bumi.

Bakat tinjunya berkembang karena kepercayaan dirinya yang sangat besar.
“Saya merupakan yang terhebat,” kata dia, dan siapa yang bisa meragukan seorang pria yang menang Juara Dunia Kelas Berat selama tiga kali.

Dia terkenal lantang mendukung hak-hak sipil yang membuatnya dicintai oleh jutaan orang di dunia.

Di masa hidupnya, Ali pernah ditanya bagaimana dia ingin dikenang, suatu kali dia mengatakan:”Sebagai seorang pria yang tidak pernah menjual kaumnya. Tetapi jika itu terlalu berlebihan, maka (kenanglah) sebagai seorang petinju yang baik. Saya tidak akan keberatan jika Anda tidak menyebutkan bagaimana saya menariknya saya.”


Kehilangan sepeda

Ali lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay di Louisville, Kentucky, pada 17 Januari 1942, anak seorang pelukis reklame. Dia dinamai seperti seorang abolisionis atau penentang perbudakan yang terkenal pada abad ke-19.

Ketika dia berusia 12 tahun, dia melaporkan kehilangan sepeda dan mengatakan kepada seorang petugas polisi bawah dia ingin “memukul” pelakunya.

Muhammad Ali menderita parkinson setelah menggantung sarung tinju.

Petugas polisi, Joe Martin, melatih petinju cilik ini di sebuah pusat kebugaran lokal dan menyarankan bocah ini untuk belajar tinju sebelum dia menantang pencuri.

Clay dengan cepat berlaga di ring, dan memulai debutnya pada 1954 dalam sebuah pertandingan amatir yang berlangsung selama tiga menit.

“Dia berhasil karena dia memiliki tekad yang lebih tinggi dibandingkan sebagian besar anak laki-laki lain,” kata Martin. “Dia merupakan pekerja keras dibanding anak-anak lain yang pernah saya latih.”
Selama lima tahun, karir amatirnya berkembang dan dia menang di berbagai kejuaraan Golden Gloves Tournament of Champions pada 1959.

Pada 1960 dia terpilih masuk dalam tim AS untuk bertanding di Olimpiade Roma. Awalnya dia menolak pergi karena dia takut terbang. Akhirnya dia pun pergi dengan membawa parasut cadangan kedua dan menggunakannya selama penerbangan, menurut anak laki-laki Joe Martin.

Upaya itu pun membuahkan hasil. Pada 5 September 1960, dia mengalahkan petinju Polandia Zbigniew Pietrzykowski dan menjadi juara Olimpiade di kelas berat ringan.

Dia menerima sambutan sebagai pahlawan ketika timnya kembali ke New York, tetapi kenyataan masyarakat AS yang terbelah dialaminya ketika kembali ke kampung halamannya di Kentucky dan ditolak ketika akan memesan meja di sebuah restoran.

Dalam otobiografinya di tahun 1975, Ali mengklaim bahwa dia melempar medali Olimpiadenya karena jijik tetapi kemudian dia mengungkapkan medali itu hilang setahun setelah kembali dari Roma.


Kasar

Meski baru berusia 18 tahun, dia bergabung dengan tinju berbayar dan kemudian memulai karir profesionalnya di tahun yang sama dengan poin kemenangan enam ronde dari Tunney Hunsaker, seorang kepala polisi dari West Virginia.

Muhammad Ali meraih medali emas di Olimpiade di Roma pada 1960.

“Clay cepat seperti petir,” kata Hunsaker setelah pertandingan.”Saya berusaha menggunakan trik yang saya ketahui untuk mengalahkan dia tetapi dia sangat bagus.”

Ali juga belajar pada Angelo Dundee, pelatih yang berperan besar dalam kesuksesan karir tinjunya.

Kemenangan demi kemenangan diraihnya, diperkuat oleh promosi diri yang kasar, membawanya dalam ketenaran.

Sikap Clay yang luar biasa di dalam ring yang memperlihatkan tarian mengeliling lawannya seperti petinju kelas ringan.

Muhammad Ali memiliki gaya yang khas dalam bertinju, yaitu seperti menari di sekitar lawannnya.

Dia mengajari mereka, dia memuaskan banyak orang dengan gaya pamernya, kaki yang diseret dan refleks yang cepat.

Di luar ring, Clay melawan rasisme yang ketika itu masih menjadi persoalan besar di AS pada 1960an.

Dalam kurun waktu itu pula Clay memeluk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Muhammad Ali. Dia mengatakan Cassius Clay, merupakan “nama budaknya”, dan dia protes m terhadap sejumlah orang yang tetap menggunakan nama lahirnya.


Penjara dan brutal

Ali mengalahkan George Foreman di Zaire yang disebut sebagai pertandingan “Rumble in the Jungle” pada pada Oktober 1974.

Di luar tinju Ali pernah menolak mengikuti wajib militer, dan mendapatkan hukuman penjara atas sikapnya. Dia dihanjar lima tahun penjara, tetapi setelah tiga tahun muncul penolakan dari warga AS terhadap perang Vietnam. Kemudian Ali mendapatkan penangguhan hukuman dan kembali ke ring pada 1970 dengan menang atas Jerry Quarry.

Tetapi kemudian pada 1971 Ali pertama kalinya kalah untuk pertama kalinya dalam karir profesionalnya oleh Joe Frazier. Ali kembali meraih kemenangan dari Frazier tiga tahun kemudian.

Mungkin momen terbaik Ali pada Oktober 1974 ketika dia mengalahkan George Foreman di Zaire yang disebut sebagai pertandingan “Rumble in the Jungle”.
Pada usia 32 tahun, Ali menjadi pria kedua dalam sejarah yang meraih kembali juara dunia kelas berat.


Ali dan Joe Frazier

Ali ketika bertanding dengan Joe Frazier yang disebutnya ‘dekat dengan kematian di ring’.

Setahun kemudian, Ali bertemu dengan Frazier untuk ketiga kalinya yang dijuluki “Thrilla in Manila” mungkin pertandingan itu merupakan yang paling brutal dalam sejarah tinju kelas berat.
Ali mengatakan saat itu dia sangat dekat dengan kematian di ring tinju, tetapi kemudian dia menang setelah kubu Frazier menghentikan pertandingan setelah ronde ke-14.

Ali dapat dan mungkin harus pensiun pada saat itu, tetapi dia bertanding kembali.
Pada Februari 1978, dia kehilangan gelarnya yang direbut Leon Spinks, pemenang medali Olimpiade 1976 yang lebih muda 12 tahun darinya.

Delapan bulan kemudian dia kembali ke laga tinju dunia, dengan jumlah penonton yang mencapai jutaan.

Saat itu Ali menang gelar juara dunia untuk ketiga kalinya pada usia 36 tahun.


Penghargaan

Ali dikenal sangat dermawan, meski diperkirakan dia menghasilkan uang lebih dari $60 juta dollar dari ring tinju, tetapi pada 1979, dia tampak hanya sedikit memiliki kekayaan.

Itu merupakan salah satu alasan dia menolak untuk mundur dari ring tinju, tetapi kemudian dia kalah dan gelar juaranya pindah ke mantan rekan latihannya Larry Holmes di Las Vegas pada 1980.

Ali kemudian kembali bertanding melawan petinju Kanada Trevor Berbick pada Desember 1981, dan setelah kehilangan poin, akhirnya dia pun ‘menggantung sarung tinjunya’ di usia 40 tahun.

Muhammad Ali membawa obor sebelum menyalakan menara Olimpiade Atlanta 1996.

Setelah itu sejumlah rumor menyebut tentang kesehatannya. Dia cadel ketika berbicara, berjalan dengan menyeret kaki dan seringkali mengantuk.

Ali didiagnosa menderita Parkinson, tetapi dia terus bepergian untuk memenuhi berbagai undangan di sejumlah negara.

Sejumlah penghargaan pun diberikan kepada Muhammad Ali, pada 2005, dia mendapatkan dua penghargaan sipil tertinggi di AS – Presidential Citizens Medal dan Presidential Medal of Freedom – atas teladan yang diberikan kepada negara.

Di tahun yang sama dia tampil dalam pembukaan lembaga non-profit Muhammad Ali Center di Louisville, Kentucky, yang mempromosikan perdamaian, tanggung jawab sosial dan penghormatan.

Karirnya sebagai petinju sangat mengagumkan. Dia membukukan rekor sepanjang 21 tahun karir profesionalnya, dengan menang dalam 56 pertandingan, 35 KO dan lima kali kalah.

(BBC-Indonesia/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ganefo, Bukan Sekadar Kompetisi Olahraga Biasa. Sebagian negara peserta tak mengirimkan delegasi resmi karena khawatir kena sanksi IOC. “Go to hell with IOC,” kata Sukarno

Pembukaan Ganefo di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 10-22 November 1963. (Foto: www.delcampe.net)

GANEFO diselenggarakan selama 12 hari. Ada 51 negara peserta yang turut bertanding dalam 20 cabang olahraga. Sekitar 2.700 atlet berkompetisi, ditambah ofisial dan wartawan dari berbagai negara peserta.

51 negara peserta ini datang dari empat benua: Asia (Afghanistan, Burma, Kamboja, Srilanka, Korea Utara, Indonesia, Irak, Jepang, Laos, Lebanon, Mongolia, Pakistan, Palestina, China, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Thailand, dan Vietnam Utara), Afrika (Aljazair, Guinea, Maroko, Nigeria, Mali, Senegal, Somalia, Tunisia, dan Republik Persatuan Arab), Eropa (Albania, Belgia, Bulgaria, Cekoslovakia, Finlandia, Prancis, Jerman Timur, Hungaria, Italia, Belanda, Polandia, Rumania, Uni Soviet dan Yugoslavia), serta Amerika (Argentina, Bolivia, Brazil, Chili, Cuba, Dominika, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela).

“Atletik menjadi cabang olahraga paling populer dengan 23 kontingen berkompetisi di dalamnya, diikuti balap sepeda (16), tenis meja (15), tenis (14), tinju (13) dan renang (13). Tuan rumah mengikuti semua cabang olahraga, diikuti China dan Korea Utara yang berkompetisi di 13 cabang,” tulis Russell Field dalam The Olympic Movement’s Response to the Challenge of Emerging Nationalism in Sport: An Historical Reconsideration of GANEFO.

Namun tak semua negara mengirimkan kontingen terbaiknya. Mayoritas negara yang berpartisipasi menaruh simpati pada Ganefo namun tak ingin keanggotaannya di IOC ikut terancam.

“Sebagian besar negara partisipan tidak mengirimkan kontingen yang resmi karena takut dikeluarkan dari Olimpiade. Secara umum, hanya atlet-atlet berkaliber lebih rendah dari level Olimpiade yang dikirim ke Ganefo,” tulis Rusli Lutan dan Fan Hong dalam “The Politicization of Sport: GANEFO-A Case Study” yang terhimpun dalam Sport, Nationalism, and Orientalism: The Asian Games.

Sebagian contohnya adalah Jepang. Meski diundang pemerintah Indonesia, komite olimpiade mereka menolak untuk hadir di Ganefo. Namun himpunan pengusaha Jepang yang takut bisnisnya di Indonesia terganggu akibat penolakan ini akhirnya mengirimkan kontingen sendiri, tanpa restu komite nasionalnya.

Maroko dan Filipina mengirim delegasi yang direkrut dari prajurit militer. Brazil, Bolivia, dan Chili mengirimkan atlet dari kalangan mahasiswa. Begitu pula negara-negara Eropa, mayoritas kontingen yang dikirim berasal dari organisasi olahraga milik faksi-faksi politik oposisi di negara masing-masing.

Salah satu yang paling mencolok adalah kontingen Belanda dengan atletnya Guda Heijke, perenang berusia 16 tahun, yang berhasil menyabet emas untuk cabang renang. “Dia dikirim oleh Nederlandse Culturele Sportbond, organisasi pemuda dengan basis sosialis yang kental di Belanda,” tulis Russell Field.

“Kalau saya lihat, menurut saya Ganefo itu seperti ajang hura-hura ya,” ujar Yohannes Paulus Lay, atlet atletik yang ikut berkompetisi dalam Ganefo, sambil terkekeh. “Ada yang lari tidak pakai spikes, kita pakai spikes sudah hebat sekali saat itu.”

“Yang penting kita berolahraga, senang, banyak teman. Beda dengan Asian Games; di sana orang yang kami lawan sudah punya nama saat itu. Mereka lebih elit. Saya pribadi merasa Ganefo kompetitifnya tidak ada,” tambahnya.

Ganefo memang tidak menitikberatkan pada sisi olahraga saja. Selama 12 hari itu juga diadakan Ganefo Art Festival, yang terdiri dari acara pentas seni dan pemutaran film negara-negara Nefos. Salah satu yang paling mendapat perhatian adalah rombongan dari Mexico, dengan penyanyi Maria de Lourdes sebagai bintangnya.

“Gadis Mexico yang mempunyai suara ‘metzo Soprano’ itu telah mendapatkan publikasi yang baik dari wartawan di Jakarta setelah memberikan pertunjukkannya di gedung Megaria,” tulis harian Bintang Timur 23 November 1963 dalam artikel “Maria Jadi Rebutan!”.

Secara umum, di lapangan Ganefo berlangsung sukses. Di hari terakhir, Tiongkok menjadi pemuncak klasemen diikuti Uni Soviet, Indonesia, Republik Persatuan Arab, dan Korea Utara. Setelah penutupan, para kontingen dari luar negeri dijadwalkan melakukan kunjungan ke berbagai wilayah Indonesia, antara lain ke Bali, Bandung, Medan dan Cirebon.

Keberhasilan Ganefo memberikan efek politis yang besar. Pada 24 dan 25 November 1963, dua hari setelah penutupan Ganefo, para delegasi mencanangkan pendirian Conference of New Emerging Forces (Conefo), dengan harapan mempermanenkan Ganefo.

Sukarno ditasbihkan sebagai pendiri Ganefo. Dia pula yang mencanangkan Conefo, dengan tujuan menghimpun suara negara-negara Nefos dalam sebuah organisasi resmi. Menurutnya, perjuangan melawan imperialisme belum akan berakhir dan Ganefo akan terus ada untuk melawan. Sebuah gedung baru pun dibangun untuk menjadi markasnya –sekarang menjadi Gedung MPR/DPR.

Kendati demikian, Indonesia tetap berharap bisa mengikuti Olimpiade di Tokyo. Akhirnya pada 27 April 1964, KOI mengirimkan surat kepada IOC meminta pencabutan skors atas Indonesia untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. IOC bergeming. Namun atas desakan anggotanya yang berasal dari negara-negara Arab dan Jepang sebagai tuan rumah, IOC akhirnya mencabut skorsing terhadap Indonesia. Namun IOC tetap mengajukan syarat: melarang atlet-atlet Indonesia yang ikut berkompetisi di Ganefo untuk mengikuti Olimpiade.

Kontingen Indonesia tetap berangkat. Setelah sampai di Tokyo, mereka mengancam IOC: mengizinkan seluruh kontingen Indonesia untuk ikut dalam Olimpiade atau seluruhnya akan mengundurkan diri. IOC tetap pada putusannya. Indonesia pun akhirnya memutuskan angkat kaki dari Olimpiade Tokyo 1964.

“Go to hell with IOC, kita negara-negara berkembang sudah punya ajang olahraganya sendiri, Ganefo,” ujar Sukarno.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Tinju Kiri Ali di Jakarta. Dalam lawatan pertamanya ke Jakarta, Ali membuat petinju asal Belanda, Rudi Lubbers, babak belur

Muhammad Ali, juara dunia tinju kelas berat, di Jakarta, 1973. (Foto: rosaleencunningham.com)

PERTARUNGAN Muhammad Ali yang paling diingat publik adalah ketika dia menghadapi Joe Frazier pada 8 Maret 1971 di New York, AS. Ali kalah dalam pertandingan bertajuk “Pertarungan Abad Ini” untuk kali pertama setelah menang 31 kali berturut-turut. Gelar juara dunia kelas berat pun lepas dari genggamannya.

Publik menanti pertarungan Ali-Frazier selanjutnya. Sebagai pemanasan melawan Frazier, Ali menjalani satu pertandingan di Jakarta. Promotor Raden Sumantri berhasil menggelar pertandingan Ali melawan Rudi Lubbers, juara tinju kelas berat asal Belanda. Awalnya akan dilaksanakan di Surabaya pada 14 Oktober 1973, tapi pertandingan dialihkan ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973.

Ali dielu-elukan bak pahlawan terutama karena dia seorang Muslim. Dia juga dianggap representasi pahlawan bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga.

“Lubbers jelas menjadi representasi kolonialisme Belanda, dan orang-orang Indonesia bersemangat melihat kemenangan politik mereka terulang di atas ring,” tulis Julio Rodriguez, “Documenting Myth” dalam Sports Matters: Race, Recreation, and Culture suntingan John Bloom dan Michael Nevin Villard.

Secara teknis, Ali tidak dalam kondisi terbaik. Persiapannya hanya sepuluh hari. Ali tidak meremehkan reputasi Lubbers sebagai kuda hitam. Seperti kebiasaannya mengumbar omongan kepada pers sebelum bertanding, Ali sesumbar akan menumbangkan Lubbers di ronde kelima.

Pertandingan disiarkan secara internasional. Pertandingan nongelar ini tetap menarik khalayak ramai. Tiket yang dibandrol Rp 1.000 sampai Rp 27.500 ludes terjual.

“Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. 35.000 orang Indonesia datang untuk menonton. Ditambah pameran tentang Ali yang ikut menarik 45.000 orang untuk datang melihat-lihat,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali.

Seperti diperkirakan, pertandingan berjalan berat sebelah. Ali mempermaikan Lubbers habis-habisan sampai hidungnya patah dan mata kanannya bengkak. Lubbers bertahan selama 12 belas ronde. Ali menang angka, bukan knock out seperti sesumbarnya.

“Ali harus mengakui bahwa Lubbers lebih tangguh daripada yang dia pikirkan. Begitu pula Rudi yang merasa sudah memberikan yang terbaik yang dia bisa, dan percaya bahwa Ali juga melakukan hal yang sama di pertandingan itu. Pertarungan dengan Ali memberikan Lubbers 15 menit ketenaran. Dia akhirnya kembali ke jalur kejuaraan Eropa,” tulis Joe Ryan dalam Heavyweight Boxing in the 1970’s: The Great Fighters and Rivalries.

Ali meraih kemenangan dengan mudah; mayoritas hanya dengan tinju kirinya. Ketika ditanya mengapa dia hanya mengandalkan tangan kiri, Ali menjawab sambil mengepalkan tangan kanan, “Saya harus menyimpan ini untuk Joe Frazier.”

Ali kembali melawan Joe Frazier di New York pada 28 Januari 1974. Dia berhasil membalas kekalahan sebelumnya dengan menang angka. Pada 30 Oktober 1974, Ali kembali menjadi juara dunia kelas berat setelah menumbangkan George Foreman dalam pertarungan sengit di Kinshasa, Zaire.

Setelah gantung sarung tinju, Ali masih sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia untuk menyapa penggemarnya.


(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Sepakbola Kontra Nazi. Politik tak berhasil memporak-porandakan sepakbola Ukraina, Sebuah klub sepakbola justru lahir dan memberikan kebanggaan

FC Start: 1. Georgy Timofeyev 2. Nikolai Trusevich 3. Ivan Kuzmenko 4. Pavel Komarov 5. Alexei Klimenko 6. Nikolai Korotkykh 7. Vasily Sukharev 8. Feodor Tyutchev 9. Makar Goncharenko 10. Mikhail Putistin 11. Mikhail Melnik. (Foto: sites.duke.edu)

INSTABILITAS politik di Ukraina ikut mempengaruhi persepakbolaannya. Selain menunda liga utamanya, laga persahabatan Ukraina melawan AS awal Maret silam hampir gagal. Beruntung Ukraina tak menjadi kontestan Piala Dunia di Brazil yang tinggal berbilang hari. Konsentrasi tim bisa-bisa terganggu.

Dunia sepakbola Ukraina juga pernah terganggu ketika pendudukan Jerman-Nazi semasa Perang Dunia II. Jerman-Nazi membagi wilayah Ukraina menjadi tiga pemerintahan administratif dengan peraturan-peraturan berbeda. Perbedaan kebijakan pembangunan olahraga di tiga wilayah administratif itu mengakibatkan perkembangan olahraga berbeda-beda.

Pemerintah pendudukan Jerman juga menghentikan liga sepakbola setempat dan melarang klub Dynamo Kiev. Beberapa pemainnya dianggap terkait dengan Uni Soviet, musuh Jerman di front timur. Untuk menggantikannya, Reichkommissariaat Ukraine (RKU) –pemerintah administratif bentukan Jerman yang mengendalikan wilayah utara, timur, tengah, dan selatan Ukraina– mengizinkan pendirian klub FC Start pada musim semi 1942.

Para pemain FC Start kebanyakan mantan pemain Dynamo Kiev. Mereka dikumpulkan kembali oleh Iosrif Kordik, manajer toko roti yang gandrung olahraga. Orang pertama yang dikontak Kordik adalah Nikolai Trusevich, kiper kharismatik Dynamo Kiev. Dari Trusevich, jejak bekas rekannya ditelusuri, seperti dua penyerang hebat Ivan Kuzmenko dan Pavel Komorov serta bek muda Alexei Klimenko. Pemain-pemain lain FC Start berasal dari bekas pemain klub Lokomotiv Kiev dan beberapa serdadu Jerman dan Hungaria.

Meski begitu, Start harus mendanai sendiri klubnya. Mereka minim fasilitas. Para pemain harus menyapu halaman toko roti Degtyarevskaya, tempat kebanyakan mereka bekerja, untuk digunakan sebagai tempat latihan pada malam harinya.

Pada laga perdananya, 7 Juni, Start menumbangkan klub Rukh dengan skor 7-2. Start kemudian makin sering tanding dan mengalahkan klub-klub domestik. “Selama musim panas, Start memainkan beberapa laga melawan tim-tim yang terdiri dari garnisun pendudukan Rumania, Hungaria, dan Jerman, dan memenangi semua pertandingan itu,” tulis Vadim Furmanov, “From the Docks to the Death Match: The Rise of Football in Ukraine,” dimuat www.footandball.net.

Setelah itu, Start mulai diundang melawan klub-klub milik militer Jerman. Pada 17 Juli, Start mempecundangi PGS, klub Angkatan Darat Jerman, dengan skor 6 gol tanpa balas. Pemerintah pendudukan Jerman kebakaran jenggot. Start lalu dijawalkan tanding melawan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Jerman, pada 6 Agustus. Start memenuhi undangan itu plus menerima ancaman intimidatif. Tapi lagi-lagi Start menang. Mereka menjadikan sepakbola sebagai simbol perlawanan.

“Kekalahan itu mengirimkan gelombang kejut kepada pemerintah pendudukan Jerman. Hal itu bukan hanya penghinaan terhadap pendudukan Nazi, tapi juga menginspirasi orang-orang Ukraina dan menggerogoti pendudukan Jerman,” tulis laman http://kiev4tourists.com.

Flakelf dan pemerintah pendudukan tak terima. Sebuah tindakan balasan pun dipersiapkan.

(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)

Terkait Berita: