Pembukaan Ganefo di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 10-22 November 1963. (Foto: www.delcampe.net)
GANEFO diselenggarakan selama 12 hari. Ada 51 negara peserta yang turut bertanding dalam 20 cabang olahraga. Sekitar 2.700 atlet berkompetisi, ditambah ofisial dan wartawan dari berbagai negara peserta.
51 negara peserta ini datang dari empat benua: Asia (Afghanistan, Burma, Kamboja, Srilanka, Korea Utara, Indonesia, Irak, Jepang, Laos, Lebanon, Mongolia, Pakistan, Palestina, China, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Thailand, dan Vietnam Utara), Afrika (Aljazair, Guinea, Maroko, Nigeria, Mali, Senegal, Somalia, Tunisia, dan Republik Persatuan Arab), Eropa (Albania, Belgia, Bulgaria, Cekoslovakia, Finlandia, Prancis, Jerman Timur, Hungaria, Italia, Belanda, Polandia, Rumania, Uni Soviet dan Yugoslavia), serta Amerika (Argentina, Bolivia, Brazil, Chili, Cuba, Dominika, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela).
“Atletik menjadi cabang olahraga paling populer dengan 23 kontingen berkompetisi di dalamnya, diikuti balap sepeda (16), tenis meja (15), tenis (14), tinju (13) dan renang (13). Tuan rumah mengikuti semua cabang olahraga, diikuti China dan Korea Utara yang berkompetisi di 13 cabang,” tulis Russell Field dalam The Olympic Movement’s Response to the Challenge of Emerging Nationalism in Sport: An Historical Reconsideration of GANEFO.
Namun tak semua negara mengirimkan kontingen terbaiknya. Mayoritas negara yang berpartisipasi menaruh simpati pada Ganefo namun tak ingin keanggotaannya di IOC ikut terancam.
“Sebagian besar negara partisipan tidak mengirimkan kontingen yang resmi karena takut dikeluarkan dari Olimpiade. Secara umum, hanya atlet-atlet berkaliber lebih rendah dari level Olimpiade yang dikirim ke Ganefo,” tulis Rusli Lutan dan Fan Hong dalam “The Politicization of Sport: GANEFO-A Case Study” yang terhimpun dalam Sport, Nationalism, and Orientalism: The Asian Games.
Sebagian contohnya adalah Jepang. Meski diundang pemerintah Indonesia, komite olimpiade mereka menolak untuk hadir di Ganefo. Namun himpunan pengusaha Jepang yang takut bisnisnya di Indonesia terganggu akibat penolakan ini akhirnya mengirimkan kontingen sendiri, tanpa restu komite nasionalnya.
Maroko dan Filipina mengirim delegasi yang direkrut dari prajurit militer. Brazil, Bolivia, dan Chili mengirimkan atlet dari kalangan mahasiswa. Begitu pula negara-negara Eropa, mayoritas kontingen yang dikirim berasal dari organisasi olahraga milik faksi-faksi politik oposisi di negara masing-masing.
Salah satu yang paling mencolok adalah kontingen Belanda dengan atletnya Guda Heijke, perenang berusia 16 tahun, yang berhasil menyabet emas untuk cabang renang. “Dia dikirim oleh Nederlandse Culturele Sportbond, organisasi pemuda dengan basis sosialis yang kental di Belanda,” tulis Russell Field.
“Kalau saya lihat, menurut saya Ganefo itu seperti ajang hura-hura ya,” ujar Yohannes Paulus Lay, atlet atletik yang ikut berkompetisi dalam Ganefo, sambil terkekeh. “Ada yang lari tidak pakai spikes, kita pakai spikes sudah hebat sekali saat itu.”
“Yang penting kita berolahraga, senang, banyak teman. Beda dengan Asian Games; di sana orang yang kami lawan sudah punya nama saat itu. Mereka lebih elit. Saya pribadi merasa Ganefo kompetitifnya tidak ada,” tambahnya.
Ganefo memang tidak menitikberatkan pada sisi olahraga saja. Selama 12 hari itu juga diadakan Ganefo Art Festival, yang terdiri dari acara pentas seni dan pemutaran film negara-negara Nefos. Salah satu yang paling mendapat perhatian adalah rombongan dari Mexico, dengan penyanyi Maria de Lourdes sebagai bintangnya.
“Gadis Mexico yang mempunyai suara ‘metzo Soprano’ itu telah mendapatkan publikasi yang baik dari wartawan di Jakarta setelah memberikan pertunjukkannya di gedung Megaria,” tulis harian Bintang Timur 23 November 1963 dalam artikel “Maria Jadi Rebutan!”.
Secara umum, di lapangan Ganefo berlangsung sukses. Di hari terakhir, Tiongkok menjadi pemuncak klasemen diikuti Uni Soviet, Indonesia, Republik Persatuan Arab, dan Korea Utara. Setelah penutupan, para kontingen dari luar negeri dijadwalkan melakukan kunjungan ke berbagai wilayah Indonesia, antara lain ke Bali, Bandung, Medan dan Cirebon.
Keberhasilan Ganefo memberikan efek politis yang besar. Pada 24 dan 25 November 1963, dua hari setelah penutupan Ganefo, para delegasi mencanangkan pendirian Conference of New Emerging Forces (Conefo), dengan harapan mempermanenkan Ganefo.
Sukarno ditasbihkan sebagai pendiri Ganefo. Dia pula yang mencanangkan Conefo, dengan tujuan menghimpun suara negara-negara Nefos dalam sebuah organisasi resmi. Menurutnya, perjuangan melawan imperialisme belum akan berakhir dan Ganefo akan terus ada untuk melawan. Sebuah gedung baru pun dibangun untuk menjadi markasnya –sekarang menjadi Gedung MPR/DPR.
Kendati demikian, Indonesia tetap berharap bisa mengikuti Olimpiade di Tokyo. Akhirnya pada 27 April 1964, KOI mengirimkan surat kepada IOC meminta pencabutan skors atas Indonesia untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. IOC bergeming. Namun atas desakan anggotanya yang berasal dari negara-negara Arab dan Jepang sebagai tuan rumah, IOC akhirnya mencabut skorsing terhadap Indonesia. Namun IOC tetap mengajukan syarat: melarang atlet-atlet Indonesia yang ikut berkompetisi di Ganefo untuk mengikuti Olimpiade.
Kontingen Indonesia tetap berangkat. Setelah sampai di Tokyo, mereka mengancam IOC: mengizinkan seluruh kontingen Indonesia untuk ikut dalam Olimpiade atau seluruhnya akan mengundurkan diri. IOC tetap pada putusannya. Indonesia pun akhirnya memutuskan angkat kaki dari Olimpiade Tokyo 1964.
“Go to hell with IOC, kita negara-negara berkembang sudah punya ajang olahraganya sendiri, Ganefo,” ujar Sukarno.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email