Makna
kehidupan merupakan satu pembahasan penting filsafat. Sebelumnya masalah
ini dikaji dengan tema "tujuan kehidupan". Pertanyaan seperti apa makna
kehidupan, mengapa manusia diciptakan dan mengapa manusia harus
menanggung segala kesulitan, merupakan pertanyaan penting dan mendasar
yang senantiasa disampaikan manusia.
Sekaitan dengan hal ini akan dibahas
pendapat Allamah Thabathabai, mufassir dan filsuf kontemporer yang
banyak mempengaruhi para pemikir setelahnya. Poin baru dalam pandangan
beliau adalah kehidupan menemukan maknanya dalam ilmu dan kesadaran,
komitmen terhadap akhlak dan perilaku manusiawi, bertanggung jawab dalam
ajaran agama dan dalam keyakinan akan Tuhan dan semangat tauhid.
Kehidupan menjadi tidak bermakna dalam melupakan diri, pemikiran
materialistik, tidak memahami posisi manusia, jauh dari keyakinan akan
Allah dan meyakini manusia sebagai pusat segala sesuatu. Semua ini
merupakan hasil dari peradaban Barat.
Lupa diri, kosong dan nihilisme
Kebermaknaan berarti adanya aktivitas
dan gerakan dimana suluknya berdasarkan tujuan khusus. Dengan demikian,
sesuai dengan kaidah "mengetahui sesuatu dari kebalikannya", maka adanya
tujuan adalah bermaknanya kehidupan dan kebingungan adalah tidak
bermaknanya kehidupan.
Apakah dalam kehidupan manusia, perbuatan dan gerakan Afaqi dan Anfasi, kehendak dan tidak berkehendak memiliki tujuan atau dilakukan tanpa diketahui dan ambigu?
Harus dikatakan bahwa seluruh gerakan
telah diarahkan pada satu tujuan khusus. Tidak dapat dikatakan bahwa
gerakan dan aktivitas manusia ini seperti sebuah kebingungan yang
mengarah pada tujuan yang tidak diketahui. Dengan demikian, tidak akan
ada pembenaran dan analisa logis untuknya. Ketidakbermaknaan dengan
artian kebetulan (sudfah) dan nihilisme tidak ada dalam pandangan
Allamah Thabathabai. Pada hakikatnya, di alam ini tidak ada tempat bagi
ketidakbermaknaan yang berarti tidak memiliki tujuan dan nihil.
Tujuan penciptaan
Satu masalah yang begitu ingin diraih
oleh manusia adalah menjawab pertanyaan tentang apa motivasi Allah Swt
menciptakan dunia. Apakah di dunia ini, manusia memiliki kewajiban atau
tidak?
Sumber dari pertanyaan ini kembali pada
manusia yang setiap waktu menyaksikan segala perbuatan dan gerakannya
memiliki tujuan. Bila manusia atau setiap makhluk yang memiliki perasaan
tidak akan melakukan perbuatan tanpa sebab, maka dalam perbuatan yang
memiliki nilai-nilai ilahi pasti ada tujuan tersembunyi di sana. Adanya
tujuan merupakan aturan universal yang berlaku di setiap bagian alam.
Tidak mungkin dapat dibayangkan ada satu geraka yang tidak mengarah
pada satu tujuan.
Allamah Thabathabai mengajukan
pertanyaan ini dan ketika menjawabnya beliau berkata, "Bila ditanyakan
apa tujuan dari perbuatan Allah Swt dan apa tujuannya, maka jawabannya
adalah tujuan dari alam yang tidak sempurna ini adalah menjadi alam yang
sempurna. Bila ada yang bertanya bahwa apa yang hendak dihilangkan dari
diri-Nya lewat penciptaan ini, apa keuntungan dan kesempurnaan yang
ingin diraih-Nya, maka pertanyaan seperti ini adalah salah dan
jawabannya negatif!"
Jawaban tentang tujuan penciptaan
disampaikan lewat bahasa agama. Tujuan Allah Swt menciptakan alam ini
untuk menyampaikan manfaat kepada yang lain bukan untuk diri-Nya. Tujuan
dari perbuatan pada hakikatnya adalah kesempurnaan perbuatan dan tujuan
dari pelaku adalah kesempurnaan pelaku. Bila pelakunya sudah sempurna,
maka dalam kondisi ini, pelaku dan tujuan. Dari sini, tujuan Allah Swt
menciptakan alam adalah Zat-Nya, bukan yang lain.
Penggagas ilmu baru seperti Galileo
Galilei, Kepler dan Newton merupakan manusia beragama yang tidak punya
keraguan mengenai adanya tujuan dalam penciptaan Allah. Tapi para ilmuan
pasca Galileo melihat dunia ini benar-benar tidak memiliki tujuan dan
tidak bermakna. Mereka meninggalkan ajaran agama lalu menggantikannya
dengan pemikiran khurafat. Pemikiran tentang alam yang tidak memiliki
tujuan berujung pada keyakinan mengenai tidak bermaknanya kehidupan
manusia.
Fyodor Dostoyevsky dan Kierkegaard
bergabung dengan para pemikir ini. Mereka meminggirkan pemikiran agama
dan menguasai pemikiran ilmu-ilmu empiris membuat cara pandang mereka
akan dunia menjadi berubah. Dunia yang hidup dan cemerlang berubah
menjadi dunia yang mati dan kelam. Akhirnya banyak yang mulai berpikir
untuk bagaimana membuat kehidupan menjadi bermakna. Di masa inilah para
uskup Katolik Amerika mengeluarkan pernyataan bahwa kebingungan manusia
di dunia modern berasal dari ketiadaan iman dan meninggalkan Allah dan
agama.
Sementara Allamah Thathabai, sambil
menegaskan adanya tujuan dalam penciptaaan dunia, tujuan itu bersifat
universal disertai supremasi hukum kausalitas, beliau juga meyakini
bahwa masalah ini merupakan tema paling sulit dalam pembahasan filsafat.
Beliau juga menambahkan bahwa masalah makna dunia merupakan pembahasan
filsafat yang sangat detil disertai argumentasi pasti dan logika yang
tidak ada keraguannya. Pada hakikatnya tema ini sesuai dengan masalah
Ma'ad (Hari Kebangkitan) yang didapatkan para wali Allah Swt lewat
wahyu.
Dengan mencermati prinsip pemikiran
manusia modern dapat dikatakan bahwa penguasaan Allamah Thabathabai akan
ilmu-ilmu rasional dan wahyu maka sangat diharapkan beliau menyampaikan
pandangannya tentang makna kehidupan manusia. Jelas, sebuah dunia yang
tidak memiliki tujuan akan menciptakan kehidupan yang tidak bermakna. Di
sini, lewat pendapat Allamah Thabathabai, manusia dapat menyaksikan
bagaimana agama memberikan makna bagi kehidupan masyarakat.